Anda di halaman 1dari 4

Untung Malaysia Semakin Angkuh

Oleh: Eddy Satriya*)


Kolom Majalah Mingguan FORUM KEADILAN No. 50/24April 2005

Rasa geram, penasaran dan marah menjadi satu di dalam hati setiap kali membaca
pemberitaan tentang betapa Malaysia semakin menyepelekan bangsa Indonesia. Dahulu, seperti
ditulis Amarzan Loebis, Malaysia tanpa tahu malu telah menjadikan Stambul Terang Bulan
menjadi lagu kebangsaan mereka (Tempo, 14-20/3/05). Padahal lagu tersebut sepanjang
pengetahuan saya tidak memiliki irama Mars sedikitpun. Perilaku tidak tahu diri itupun mereka
teruskan melalui tindakan sepihak dalam berbagai kancah politik sehingga memaksa Presiden
Soekarno mencanangkan propaganda “Ganyang Malaysia” pada tahun 1963. Sejarawan Anhar
Gonggong dalam satu diskusi pernah mengingatkan bahwa Malaysia juga tidak memperlihatkan
sikap kooperatif ketika terjadinya pembajakan pesawat Garuda Woyla dua puluh empat tahun
silam. Sikap tersebut telah memaksa pesawat naas itu terpaksa mendarat di Don Muang,
Bangkok.

Terakhir, lalu lalang kapal-kapal perang Malaysia terus berupaya menggagalkan pembangunan
mercusuar di Karang Unarang, Nunukan, Kalimantan Timur. Kapal perang mereka tak henti-
hentinya memancing kesabaran Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk memulai insiden demi
insiden (Kompas, 10/4/05). Diperkirakan provokasi sejenis dengan berbagai varian masih akan
diteruskan Malaysia dalam kesempatan yang berbeda.

Jika dicermati dalam satu dekade terakhir, niscaya akan terekam betapa Malaysia dengan
sangat terprogram, sistematis, dan tentu saja dengan kelicikan tinggi telah memanfaatkan
Indonesia demi kemajuan negerinya. Kemajuan ekonomi yang tercermin dari perbedaan tingkat
upah telah benar-benar dimanfaatkan bagai sebuah magnet berkekuatan dahsyat untuk
menarik tenaga kerja Indonesia (TKI) untuk mendulang Ringgit di sektor perkebunan dan
konstruksi. Begitu pula bagi tenaga kerja wanita (TKW) untuk menjadi pembantu rumah tangga
(PRT). Tragisnya, setelah mereka memiliki Undang-Undang yang lebih tegas tentang imigrasi,
para TKI dan TKW kita yang bermasalahpun diburu laksana hewan liar. Mereka dikenai hukuman
tahanan, diambil harta bendanya, untuk kemudian diusir tanpa ampun. Khusus pekerja pria
yang ditahan, mereka terkadang juga mendapat hukuman cambuk yang meninggalkan bekas di
pantat mereka seperti sering diperlihatkan di layar kaca (Liputan6.com, 2/4/05).

1
Lemahnya penegakan hukum di Indonesia kelihatannya juga dengan sangat jitu telah
dimanfaatkan secara efektif dan efisien oleh para cukong dan tauke yang memang terkenal
lihai untuk memasukkan kayu selundupan ke negerinya dan sebaliknya memasukkan berbagai
produk secara ilegal seperti gula ke wilayah Indonesia.
***
Dalam skala yang lebih kecil, pengalaman pribadi sayapun seakan menambah bukti-bukti
tentang arogansi orang Malaysia. Sewaktu melanjutkan pendidikan di negara bagian
Connecticut, USA, berbagai insiden juga sering terjadi yang dipicu oleh rasa congkak teman-
teman dari Malaysia. Sering mereka menguliahi -bukan hanya sekedar mengajak- secara
berlebihan bahwa kami muslim dari Indonesia sebaiknya mengikuti cara hidup muslim seperti
yang mereka lakukan. Mereka terkadang tega menyakiti hati tuan rumah di berbagai pertemuan
ketika dengan pongahnya memeriksa asal usul dan tingkat kehalalan makanan yang
dihidangkan.

Dalam salah satu pertandingan Bola Volley antar peserta pelatihan di Training Center JICA di
Hatagaya, Tokyo, Jepang pada bulan Desember 1999, beberapa teman dari Malaysia dengan
sengaja melakukan provokasi yang sangat meremehkan saya serta peserta dari Philipina dan
Vietnam. Keributan dapat dihentikan setelah saya menasehati mereka dengan menyebutkan
bahwa sebagian besar guru mereka di Malaysia itu berasal dari berbagai wilayah Indonesia
seperti Minangkabau dan Bugis. Pernyataan keras yang terpaksa saya teriakkan dalam bahasa
Inggris dengan bumbu beberapa f-words ala anak muda di Amerika sana ternyata cukup ampuh
dan menciutkan nyali mereka.

Belum berhenti disitu, akademisi mereka pun ikut menggarapnya secara sistematis. Simaklah
tulisan Dr. Nazaruddin Zainun, Pensyarah Sejarah Asia Tenggara, Pusat Pengajian Ilmu
Kemanusiaan, Universiti Sains Malaysia (USM), Pulau Pinang serta Soijah Likin ahli antropologi
bebas dan pengamat sosial masalah pekerja wanita Indonesia di Malaysia yang diterbitkan
Utusan Malaysia bulan Juni 2004. Artikel yang terbit pasca penganiayaan TKW Nirmala Bonat
tersebut sangat menyinggung perasaan. Zainun dan Likin dengan dinginnya menuliskan betapa
terbelakangnya kehidupan PRT kita yang menurut mereka tidak fasih berbahasa Indonesia,
apalagi Inggris, dan tidak mengenal alat-alat elektronik dalam rumah tangga. Juga digambarkan
mereka bahwa keterpurukan ekonomi Indonesia telah membuat banyak orang kampung di
Indonesia tidak pernah makan ayam dan ikan sehingga mereka tidak pernah tahu apa rasanya
ikan dan ayam. Astaga!

Walaupun artikel tersebut ditulis untuk menggugah pemahaman rakyat Malaysia terhadap

2
perilaku PRT kita, beberapa detil yang diuraikan sungguh sangat menusuk perasaan
(http://utusan.com.my/utusan/archive.asp?y=2004&dt=0602&pub=utusan_malaysia
&sec=rencana&pg=re_06.htm&arc=hive). Masih banyak artikel di negara tersebut yang
mengaitkan masalah imigran Indonesia dengan sifat-sifat dan perilaku negatif masyarakat kita
berdasarkan daerah dan suku, serta keterbelakangan pendidikan yang dialami rakyat saat ini.
Kesemuanya itu memaksa kita mengelus dada dan menjadi tidak percaya bahwa ditengah
kemajuan ekonomi yang mereka capai, ternyata mereka juga mengalami kemunduran akibat
kesombongan mereka sendiri dan belum berjalannya proses demokrasi.
***
Lalu apa artinya semua itu untuk kita? Sebagai sebuah bangsa yang besar kita tentu tetap harus
waspada dan wajib menjaga kedaulatan serta keutuhan bangsa. Berbagai kekurangan dan
ketertinggalan tidaklah harus membuat kita rendah diri. Jika di sisi pertahanan dan keamanan
tugas ini telah diembankan kepada pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), maka sudah
sepatutnya pula semua intelektual yang tersebar di berbagai wilayah dan sektor pembangunan
untuk memulai perannya masing-masing. Selayaknya berbagai kegiatan penelitian terus
dikembangkan, baik tentang penataan hubungan dengan Malaysia maupun yang menyangkut
penggalangan kesadaran bernegara bagi seluruh lapisan masyarakat.

Kaum intelektual kita tanpa kecuali bisa memulai dengan memperbanyak penelitian dan karya
tulis tentang sepak terjang Malaysia, pola hidup dan kegiatan sosial ekonomi masyarakat
perbatasan, serta memberikan analisa kasus TKI, TKW yang ada di Malaysia. Kepada masyarakat
simpatisan TKI dan TKW juga diharapkan untuk bisa memperbanyak berdirinya berbagai
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mampu membantu dan memberikan masukan yang
tepat kepada pemerintah. Tidak bisa dipungkiri, masalah TKI, TKW dan PRT kita di luar negeri
hingga saat ini lebih sering dibahas secara sporadis oleh kelompok media cetak maupun
elektronik dalam laporan khusus mereka. Sangat sedikit penelitian yang pernah dipresentasikan
di berbagai pertemuan ilmiah nasional, regional, apalagi internasional.

Walaupun dalam berbagai kejadian dan kesempatan sangat banyak pelecehan dari pemerintah
serta rakyat Malaysia terhadap kita, tentu banyak pula kelompok ataupun individu yang masih
menjunjung tinggi hak asasi manusia. Di sisi lain, kemelut perbatasan dengan Malaysia ini tentu
besar hikmahnya guna melecut diri kita sendiri untuk lebih maju dan menjadi lebih baik.

Untung ada Malaysia yang seperti kacang lupa dengan kulitnya!


________

3
*) Pemerhati reformasi, menetap di Sawangan-Depok.

Anda mungkin juga menyukai