Anda di halaman 1dari 43

LAMPIRAN II

SISTEM PENGELOLAAN AIR LIMBAH TERPUSAT


PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM
NOMOR TAHUN
TENTANG
PENYELENGGARAAN SISTEM PENGELOLAAN AIR
LIMBAH TERPUSAT

BUKU 4
KELEMBAGAAN, ADMINISTRASI, DAN PEMBIAYAAN

A. KELEMBAGAAN
Pengolahan air limbah yang dihasilkan oleh masyarakat perlu pengelolaan
yang baik, oleh sebab itu perlu dibentuk kelembagaan atau institusi yang
akan bertanggung jawab atas pengoperasian dan pemeliharaan sistem
pelayanan. Tanggung jawab atas pengoperasian dan pemeliharaan berarti
akan menjamin terjadinya hasil pengolahan air limbah melalui sistem
perpipaan yang memenuhi syarat kuantitas dan kualitas.
Kelembagaan penyelenggara SPALT harus dilengkapi dengan sumber daya
manusia yang kompeten di bidang pengelolaan SPALT sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku. Kelembagaan pengelola dibentuk agar
penyelenggaraan SPALT sesuai dengan pengaturan tujuan penyelenggaraan
SPALT. Kegiatan kelembagaan dapat dimulai setelah adanya izin/kerjasama
antara penyelenggara dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

A.1. Penataan Organisasi Pengelola
Proses penyelenggaraan layanan umum SPALT tidak bisa dilepaskan dari
peraturan yang terkait. Idealnya, pengelolaan SPALT dilakukan secara
profesional oleh suatu lembaga pengelola. Pengelolaan ini perlu
memperhatikan keterpisahan fungsi regulator dan operator seperti yang
diamanatkan peraturan.
Dalam konteks tugas pemerintahan, yang dimaksud dengan regulator adalah
pihak yang mengembangkan kebijakan, norma, dan standar, bagi
pelaksanaan pelayanan publik. Regulator kemudian juga melakukan fungsi
pengawasan dan pengendalian agar pelaksanaan pelayanan publik bisa
berjalan sesuai koridor yang telah ditetapkan. Operator, di lain pihak,
merupakan pelaksana pelayanan publik yang melakukan perencanaan dan
implementasi kegiatan sesuai arahan dari regulator.
Pembedaan fungsi ini dapat membantu menghindarkan terjadinya konflik
kepentingan bagi para pelaksana pelayanan publik. Dengan demikian,
diharapkan timbul mekanisme check and balance yang memastikan proses
pelayanan publik berjalan berkesinambungan dan menghasilkan manfaat
sebesar-besarnya bagi masyarakat.
Agar pengelolaan SPALT berjalan dengan lancar, kelembagaan pengelola
perlu telah siap saat SPALT telah terbangun. Khususnya terhadap SPALT
yang investasinya dibantu oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah wajib
berkontribusi menyiapkan perangkat penyelenggaranya agar SPALT yang
terbangun dapat beroperasi dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Hal ini
umumnya menjadi bagian dari kesepakatan tertulis antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah yang mendapatkan bantuan.
Organisasi pengelola perlu ditetapkan tugas dan fungsinya (sebagai
organisasi), penetapan ini setidaknya dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan mengenai kewajiban layanan SPALT yang menjadi urusan wajib
pemerintah daerah. Berikut ini adalah Tabel 4.1 menjelaskan peran
pemerintah daerah (untuk pemerintah provinsi, dan kota/kabupaten)
berdasarkan Lampiran C Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Tugas Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota:
Tabel 4.1. Peran Pemerintah Daerah dalam Subbidang Air Limbah
Sub-sub
Bidang
Pemerintah Daerah Provinsi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Pengaturan 1. Penetapan peraturan daerah
kebijakan pengembangan PS air
limbah di wilayah provinsi
mengacu pada kebijakan
nasional.
2. Pembentukan lembaga
tingkatprovinsi sebagai
penyelenggara PS air limbah di
wilayah provinsi.
3. Penetapan peraturan daerah
NSPK berdasarkan SPM yang
ditetapkan oleh pemerintah.
4. Memberikan izin
penyelenggaraan PS air limbah
lintas kabupaten/kota.
1. Penetapan peraturan daerah
kebijakan pengembangan PS air
limbah di wilayah kabupaten/kota
mengacu pada kebijakan nasional
dan provinsi.
2. Pembentukan lembaga tingkat
kabupaten/kotasebagai
penyelenggara PS air limbah di
wilayah kabupaten/kota.
3. Penetapan peraturan daerah
berdasarkan NSPK yang ditetapkan
oleh pemerintah dan provinsi.
4. Memberikan izin penyelenggaraan
PS air limbah di wilayah
kabupaten/kota.
Sub-sub
Bidang
Pemerintah Daerah Provinsi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Pembinaan 1. Fasilitasi penyelesaian masalah
yang bersifat lintas
kabupaten/kota.
2. Fasilitasi peran serta dunia
usaha dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pengembangan
PS air limbah kabupaten/kota.
3. Fasilitasi penyelenggaraan
(bantek) pengembangan PS air
limbah lintas kabupaten/kota.
1. Penyelesaian masalah pelayanan di
lingkungan kabupaten/kota.
2. Pelaksanaan kerjasama dengan dunia
usaha dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pengembangan PS
air limbah kabupaten/kota.
3. Penyelenggaraan (bantek) pada
kecamatan, pemerintah desa, serta
kelompok masyarakat di wilayahnya
dalam penyelenggaraan PS air
limbah.
Pembangun-
an
1. Fasilitasi pengembangan PS air
limbah lintas kabupaten/kota di
wilayah provinsi.

2. Penyusunan rencana induk
pengembangan PS air limbah
lintas kabupaten/kota.
3. Penanganan bencana alam
tingkat provinsi.
1. Penyelenggaraan pembangunan PS
air limbah untuk daerah
kabupaten/kota dalam rangka
memenuhi SPM.
2. Penyusunan rencana induk
pengembangan PS air limbah
kabupaten/kota.
3. Penanganan bencana alam tingkat
lokal (kabupaten/kota).
Pengawasan 1. Melakukan pengawasan
terhadap penyelenggaraan PS air
limbah di wilayahnya.
2. Evaluasi atas kinerja pengelolaan
PS air limbah di wilayah
provinsi lintas kabupaten/kota.
3. Pengawasan dan pengendalian
atas pelaksanaan NSPK.
1. Monitoring penyelenggaraan PS air
limbah di kabupaten/kota.

2. Evaluasi terhadap penyelenggaraan
pengembangan air limbah di
kabupaten/kota.
3. Pengawasan dan pengendalian atas
pelaksanaan SPM.

A.2. Lembaga Pengelola di Satu Provinsi/Kota/Kabupaten
Beberapa unit SPALT yang memiliki lahan dan spesifikasi teknis tertentu
yang cukup kompleks sebaiknya dikelola secara khusus. Pilihan bentuk
kelembagaan bagi pengelola SPALT semacam itu yang beroperasi di dalam
satu wilayah pemerintahan provinsi/kota/kabupaten adalah:
1. Struktur di dalam SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah)
2. Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD, di bawah struktur Dinas daerah yang
terkait)
3. SKPD atau Unit Kerja SKPD (UPTD) yang menerapkan PPK-BLUD (Pola
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah; selanjutnya akan
dirujuk sebagai BLUD)
4. Perusahaan Daerah/Badan Usaha Milik Daerah (Perusda/BUMD)
Untuk pilihan pertama, sebenarnya pengelolaan masih belum spesifik
menjadi tugas dari unit kerja tersendiri. Fungsi pengelolaan dilekatkan pada
struktur jabatan/posisi yang ada pada SKPD. Kepala Daerah bisa
menetapkan pengelola SPALT kepada Kepala Bidang, atau lebih rendah:
seperti Kepala Subbidang atau Seksi. Lebih buruk lagi bila pengelolaan
SPALT tidak spesifik ditugaskan kepada subbidang/seksi tertentu, melainkan
merupakan bagian dari seluruh tugasnya saja. Tiga pilihan lainnya umumnya
sudah mendapatkan tugas pengelolaan yang lebih spesifik.
Untuk pilihan bentuk lembaga ke-2 hingga ke-4, penjelasan ringkasnya
adalah sebagai berikut:
- Dalam ketentuan PP No.41 Tahun 2007, setiap organisasi daerah yang
berbentuk dinas dapat memiliki unit teknis di bawahnya sesuai kebutuhan;
untuk melaksanakan sebagian kegiatan teknis operasional dan/atau
kegiatan teknis penunjang. Yang dimaksud dengan kegiatan teknis
operasional yang dilaksanakan unit pelaksana teknis dinas (UPTD) adalah
tugas untuk melaksanakan kegiatan teknis yang secara langsung
berhubungan dengan pelayanan masyarakat, sedangkan teknis penunjang
adalah melaksanakan kegiatan untuk mendukung pelaksanaan tugas
organisasi induknya. Pada tingkatan pemerintah provinsi, Kepala UPTD
adalah pejabat eselon III, sedangkan Kepala UPTD di kabupaten/kota
adalah pejabat eselon 4 dengan struktur lebih sederhana (diisi oleh jabatan
fungsional). Proses pembentukan UPTD bisa dilakukan dalam waktu
relatif cepat, mengingat hanya membutuhkan penetapan dari Kepala
Daerah.
- BLUD merupakan lembaga yang menjalankan fungsi layanan publik,
dengan pengelolaan keuangan dan SDM yang lebih leluasa/fleksibel.
Bentukan asal bisa saja setingkat SKPD atau unit kerja SKPD. Keleluasaan
yang dimiliki oleh BLUD pada dasarnya dirancang untuk memenuhi
tuntutan layanan publik yang lebih profesional dan lebih adaptif-responsif.
Keleluasaan ini termasuk: kewenangan untuk menggunakan pemasukan
dari jasa layanan/produk secara langsung untuk kegiatan operasional
tanpa harus diserahkan lebih dahulu kepada kas daerah, boleh merekrut
tenaga profesional non-PNS, serta menetapkan struktur remunerasi
sendiri. Namun keleluasaan tersebut juga diimbangi dengan tanggung
gugat yang lebih besar; seperti audit keuangan oleh auditor independen,
dan pengawasan kinerja yang lebih ketat oleh Dewan Pengawas. Proses
pembentukan BLUD lebih rumit, karena membutuhkan kajian kepatutan
dan kelayakan yang tercantum dalam rencana strategi bisnis, dan lolos
persyaratan yang ditentukan. Namun penetapannya cukup oleh Kepala
Daerah. Proses perencanaan dan penganggaran masih terintegrasi dan
terkonsolidasi dengan SKPD induknya. Seluruh pendapatan BLUD yang
bukan berasal dari APBN/APBD dilaksanakan melalui rekening kas BLUD
dan dicatat dalam kode rekening kelompok pendapatan asli daerah pada
jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah dengan obyek pendapatan
BLUD (Peraturan Menteri Dalam Negeri No.61 Tahun 2007).
- Perusda/BUMD pada dasarnya merupakan badan usaha yang modalnya
sebagian terbesar atau seluruhnya menjadi milik pemerintah daerah.
Secara umum dikenal sebagai bentuk quasi-governmental corporation
(dikenal juga dengan istilah yang lebih singkat: quasi-government), yang
merupakan badan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan
namun juga menjalankan fungsi layanan publik tertentu. Meski ada juga
pendapat bahwa perusda yang berbentuk PT (Perusahaan Terbuka) sudah
mendekati bentuk perusahaan swasta, dan bukan lagi tergolong quasi-
government. Bentukan ini sudah lazim untuk pengelola Bidang Air Minum,
dan sudah digunakan juga oleh beberapa daerah untuk mengelola IPAL.
Aset BUMD, seperti juga BUMN, merupakan perbendaharaan negara yang
administrasinya terpisahkan. Dengan demikian proses perencanaan dan
penganggaran dari BUMD lebih independen dibanding bentukan lembaga
lainnya. Pemerintah daerah dapat memberikan penyertaan modal, sebagai
investasi bagi BUMD, dan dapat memperoleh d4iden bila operasionalnya
menghasilkan laba. Yang dicatat dalam anggaran daerah hanyalah kedua
hal tersebut. Kondisi semacam ini tentu memungkinkan Perusda/BUMD
bergerak lebih gesit, namun konsekuensinya juga menjadi lebih berat.
Sebagai badan usaha, mereka diharuskan untuk bisa menghidupi dirinya
sendiri, dan mampu berkompetisi dengan usaha swasta lainnya. Di sisi lain
pemerintah daerah menjadi lebih terbatas dalam mengendalikan BUMD.
Selain melalui penetapan peraturan, yang dapat dilakukan pemerintah
daerah (selaku pemegang saham terbesar) adalah mengganti direksi
Perusda/BUMD yang gagal menunjukkan kinerja yang diharapkan. Proses
pembentukan Perusda/BUMD merupakan yang tersulit, karena
menyangkut pemisahan aset daerah, maka harus melibatkan persetujuan
DPRD.


Gambar 4.1. Karakteristik Alternatif Lembaga Pengelola

Kriteria yang dapat digunakan dalam menentukan bentuk kelembagaan yang
paling sesuai bagi suatu daerah antara lain:
- Kompleksitas permasalahan dan penanganan SPALT di daerah
- Besaran/kapasitas SPALT yang (akan) dikelola
- Kemampuan dan potensi finansial
Sebenarnya kriteria kompleksitas permasalahan dan kapasitas SPALT yang
dikelola tidaklah sepenuhnya terpisah. Dapat dikatakan bahwa kapasitas
SPALT selayaknya merupakan fungsi dari kompleksitas permasalahan di
daerah.
Kompleksitas permasalahan umumnya terjadi karena karakteristik daerah
dan atau masyarakatnya. Pada beberapa kota, permasalahan polusi akibat air
limbah sudah menjadi permasalahan yang dapat mempengaruhi
kenyamanan warga dan kelayakan huni kawasan permukimannya. Ada juga
kota-kota tertentu yang penanganan permasalahan di atas membutuhkan
perhatian lebih; misalnya karena kota tersebut tergolong dalam tujuan utama
pariwisata nasional, atau karena kepadatan penduduknya yang lebih tinggi
sehingga menimbulkan limbah lebih besar per rumah tangga, atau kondisi
geografi dan geomorfologinya mengakibatkan kawasannya lebih rawan atas
bencana banjir dan erosi. Terhadap kota-kota semacam itu, dapat dikatakan
bahwa permasalahan SPALT lebih kompleks daripada daerah yang lain.
Semakin kompleks, semakin perlu adanya lembaga pengelola dalam bentuk
yang lebih mapan.
S
K
P
D
/
U
P
T
D

* struktur dan
finansial
mengikuti pemda

* kontrol internal
pemda

* pembentukan
oleh Kepala
Daerah
B
L
U
D

* lebih leluasa
mengelola SDM
dan finansial

* kontrol pemda
dan auditor

* pembentukan
oleh Kepala
Daerah setelah
lolos persyaratan
B
U
M
D

* bisa berusaha
seperti layaknya
swasta

* kontrol
eksternal pemda

* pembentukan
harus melalui
persetujuan
DPRD


Gambar 4.2. Hubungan Pilihan Bentuk Lembaga dengan
Permasalahan PLP

Pada kasus dimana pilihan pemerintah daerah terhadap lembaga pengelola
SPALT hanya di dalam struktur SKPD terkait yang ada, maka semakin
kompleks kebutuhan penanganan, akan berarti juga semakin tinggi tingkatan
jabatan/posisi yang perlu diberikan kepada pelaksana urusan SPALT
tersebut. Hal ini dibutuhkan terutama agar pengelola SPALT SPALT
mendapatkan kepastian pengalokasian anggaran yang lebih patut, dan juga
kewenangan yang lebih besar dalam koordinasi pengelolaan. Meski
demikian, jika suatu daerah teridentifikasi memiliki kompleksitas
penanganan yang tinggi, sangat disarankan untuk memilih bentukan lembaga
pengelola yang lebih spesifik, tidak hanya dilekatkan fungsinya kepada
jabatan di dalam struktur SKPD semata.
Sementara itu, kriteria potensi dan kapasitas finansial cenderung menjadi
pembatas.
Struktur lebih
sederhana,
dengan penjabat
fungsional
UPTD
Struktur lebih
leluasa, bisa
melibatkan
profesional
BLUD
Struktur
menyerupai
badan usaha
swasta
BUMD
Semakin kekanan problem semakin kompleks dan atau volume PS PLP yang
dikelola semakin besar, sehingga butuh bentuk organisasi yang lebih mapan

Gambar 4.3. Hubungan Pilihan Bentuk Lembaga dengan Potensi
Finansial

Yang dimaksud dengan kapasitas finansial disini adalah kemampuan daerah
dalam mendanai pembentukan/pengembangan lembaga pengelola SPALT.
Semakin besar kapasitasnya, semakin terbuka pilihan bentuk dan struktur
lembaga pengelola. Pembentukan badan usaha, umumnya membutuhkan
dana investasi awal yang lebih besar, mengingat proses pendiriannya harus
juga mempertimbangkan modal kerja (working capital), yaitu cadangan dana
bagi badan usaha sebelum proses usahanya stabil dan berjalan lancar. Pilihan
bentuk BLUD memungkinkan perekrutan tenaga profesional, yang bisa juga
berkonsekuensi biaya operasional yang lebih tinggi. Meski begitu, apabila
proses operasional berjalan lancar sebagaimana yang direncanakan,
pemilihan bentuk BLUD atau BUMD bisa saja di masa mendatang
meringankan pembiayaan daerah, yaitu bila jasa operasional mereka bisa
menutupi sebagian besar biaya atau bahkan menghasilkan laba.
Yang dimaksud dengan potensi finansial disini adalah kemungkinan
pendapatan (revenue) terutama dari jasa operasional. Apabila pengoperasian
SPALT yang terbangun memiliki potensi pendapatan, maka semakin besar
potensi pendapatan tersebut, maka semakin terbuka pilihan pemerintah
daerah atas bentuk lembaga pengelola. Bahkan, bila kemampuan finansial
daerah tidak cukup memadai, namun ada potensi nyata berupa laba
operasional, maka daerah perlu bersungguh-sungguh mempertimbangkan
bentuk lembaga yang lebih mapan. Karena itu aspek potensi pendapatan ini
lebih kuat pengaruhnya dibandingkan kapasitas pendanaan daerah.
Tidak ada tuntutan
khusus secara
finansial, meskipun
diharapkan jasa
layanannya dapat
menambah retribusi
UPTD
Secara finansial
diharapkan sudah
dapat memperolah
jasa layanan yang
seimbang dengan
biaya operasional
BLUD
Secara finansial
diharapkan sudah
mandiri, termasuk
dalam hal investasi
baru maupun
perbaikan SPALP-T
BUMD
Pilihan bentuk semakin kekanan membutuhkan potensi/kapasitas finansial yang semakin besar
Secara umum, dapat dikatakan bahwa potensi pendapatan yang
memungkinkan cost-recovery, dimana potensi pendapatan sekurang-
kurangnya sama besar dengan biaya operasional, sudah selayaknya
menerapkan PPK-BLUD. Dan jika potensi tersebut lebih besar dari biaya
operasional sehingga memungkinkan diperolehnya laba bersih, tidak ada
salahnya mempertimbangkan bentuk Perusda/BUMD.


Gambar 4.4. Pengaruh Potensi Finansial atas Pilihan Bentuk Lembaga
Pada akhirnya, pertimbangan pilihan bentuk lembaga adalah komposit
(gabungan) dari penilaian atas kriteria yang telah dijelaskan.
Gambar berikut menjelaskan pilihan yang tersedia, dengan mengasumsikan
pembagian nilai kriteria atas tiga tingkatan kondisi: tinggi, sedang, dan
rendah. Perhatikan bahwa kapasitas/potensi finansial cenderung merupakan
pembatas bagi ragam pilihan yang tersedia. Sebagai contoh, untuk
kapasitas/potensi finansial yang rendah, opsi BLUD dan BUMD tidak lagi
disarankan. Sedangkan untuk tingkatan potensi finansial yang sedang, BLUD
muncul sebagai pilihan.

Biaya OM
dominan subsidi
Biaya OM
terpenuhi
Biaya OM
&Penyusutan
terpenuhi
Retribusi < biaya
pelayanan
Pendapatanbiaya
pelayanan
Pendapatan > biaya
pelayanan
Masy.
Penghasilan
rendah
Masy.
Penghasilan
sedang
Masy.
Penghasilan
tinggi
Dinas/
UPTD
BLUD
Perusda

Gambar 4.5. Ragam Pilihan Bentuk Lembaga Berdasarkan Analisis
Kriteria

Pilihan bentuk BLUD masih terbilang baru bagi pengelolaan SPALT. Untuk
memudahkan mempelajarinya, pembahasan mengenai BLUD beserta tata
cara pembentukannya dijelaskan secara lebih rinci pada bagian Lampiran.
Pembentukan BLUD juga dapat dilakukan bertahap, yaitu apabila ada syarat
administratif yang belum terpenuhi (namun harus sudah lolos syarat
substantif dan teknis).

A.3. Kelembagaan Kerjasama Regional
Untuk pengelolaan SPALT yang beroperasi lintas kabupaten, atau lintas
provinsi, dibutuhkan lembaga kerjasama regional.
Salah satu bentuk kerjasama regional yang telah dilakukan adalah TPA
Regional. Ilustrasi tahapan kerjasama untuk TPA hingga pengoperasian dapat
dilihat pada bagan seperti pada TPA regional sebagai berikut. Untuk air
limbah (SPALT), proses kerjasama regional juga bisa mengikuti tahapan
seperti pada Gambar 4.6.
K
o
m
p
l
e
k
s
i
t
a
s

P
e
r
m
a
s
a
l
a
h
a
n
/
P
e
n
a
n
g
a
n
a
n

B
i
d
a
n
g

P
L
P

d
a
n

a
t
a
u

B
e
s
a
r
n
y
a

v
o
l
u
m
e

P
S

P
L
P

y
a
n
g

h
a
r
u
s

d
i
k
e
l
o
l
a

Besarnya potensi pendapatan dari jasa operasional dan atau kapasitas pendanaan daerah
rendah sedang tinggi
t
i
n
g
g
i

s
e
d
a
n
g

r
e
n
d
a
h

UPTD
BLUD
BUMD
UPTD UPTD
BLUD BLUD
BUMD
UPTD UPTD
BLUD
UPTD
BLUD
BUMD

Gambar 4.6. Tahapan Kerjasama Persampahan Regional sebagai
ilustrasi SPALT Regional


Unit Kerja SPALT Regional sekurang-kurangnya terdiri dari:
1. Kepala Unit yang berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab kepada
Kepala Dinas.
2. Sub Bagian Tata Usaha atau Bagian Administrasi yang dipimpin oleh
Kepala Sub Bagian Tata Usaha yang berkedudukan dibawah dan
bertanggungjawab kepada Kepala Unit SPALT Regional
3. Seksi Operasi dan Pemeliharaan yang dipimpin oleh Kepala Seksi Operasi
dan Pemeliharaan berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada
Kepala Unit Kerja SPALT Regional

Bagan Struktur Organisasi Unit Kerja SPALT Regional dapat digambarkan
sebagai berikut:

Gambar 4.7. Contoh Struktur Minimal Unit Kerja SPALT Regional

Uraian tugas untuk masing-masing bagian dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kepala Unit Kerja SPALT Regional memiliki tugas yaitu
menyelenggarakan pengelolaan SPALT Regional diwilayah kerjanya
dengan uraian tugas terdiri dari:
a. menyusun pedoman pelaksanaan tugas dalam bentuk rencana,
program kerja dan jadwal kegiatan Unit Kerja SPALT Regional;
b. menjabarkan dan membagi tugas kepada bawahan untuk kelancaran
pelaksanaan tugas;
c. menelaah dan mempelajari permasalahan teknis operasional dalam
pengelolaan SPALT Regional serta mencari alternatif pemecahannya;
d. menyelenggarakan kegiatan pengeloaan SPALT Regional di
dalamwilayah kerjanya;
e. melakukan monitoring dan evaluasi kinerja pengelolaan SPALT
Regional;
f. melakukan kegiatan pemeliharaan sarana dan prasarana SPALT
Regional;
g. memeriksa dan menilai kinerja bawahan sebagai bahan evaluasi serta
membimbing bawahan guna meningkatkan efekt4itas dan efisiensi
pelaksanaan tugas;
h. menyelenggarakan kegiatan inventarisasi, pendataan dan
pemutakhiran data;
i. mengelola urusan ketatausahaan guna menunjang kinerja dinas;
j. membuat laporan kegiatan Unit SPALT Regional secara berkala
sebagai pertanggungjawaban kegiatan;
Kepala Unit Kerja
SPALP-T Regional
Kepala Subbagian
Tata Usaha
Kepala Seksi
Operasi dan
Pemeliharaan
k. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh atasan sesuai dengan
bidang tugasnya guna tercapainya tujuan organisasi.
2. Kepala Sub Bagian Tata Usaha atau Bagian Administrasi mempunyai tugas
mengelola urusan ketatausahaan guna menunjang kegiatan Unit SPALT
Regional pada wilayah kerjanya dengan uraian tugas terdiri dari:
a. Mengelola penyusunan rencana dan jadwal kegiatan umum sebagai
pedoman pelaksanaan tugas;
b. Menjabarkan dan membagi tugas kepada bawahan sesuai dengan
uraian tugas dan tanggungjawabnya untuk kelancaran pelaksanaan
tugas;
c. melaksanakan koordinasi dalam unit kerja, antar unit kerja, dengan
lembaga masyarakat dan/atau masyarakat terkait;
d. menyelenggarakan administrasi surat menyurat, kearsipan,
perpustakaan, keprotokolan, administrasi kepegawaian, perlengkapan
dan kerumahtanggaan, administrasi keuangan dan tugas satuan
pemegang kas dalam pengurusan gaji dan penghasilan lain pegawai
serta dalam pembiayaan kegiatan;
e. menyampaikan informasi kepada pihak yang berkepentingan untuk
mewujudkan komunikasi yang sinergis;
f. menyusun rencana kebutuhan barang, rencana mekanisme kerja dan
tataruang kantor serta rencana anggaran guna kelancaran pelaksanaan
tugas;
g. menyusun dokumen perencanaan dan pelaporan agar diperoleh
sinkronisasi perencanaan;
h. melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program kerja
satuan organisasi untuk mengetahui kesesuaiannya dengan rencana
program kerja;
i. memeriksa hasil pelaksanaan tugas bawahan sesuai dengan peraturan
dan prosedur yang berlaku agar diperoleh hasil kerja yang benar dan
akurat;
j. memberikan bimbingan dan penilaian kinerja bawahan guna
meningkatkan efekt4itas dan efisiensi pelaksanaan tugas;
k. melaporkan pelaksanaan kegiatan Sub Bagian Tata Usaha kepada
atasan sebagai pertanggungjawaban kegiatan;
l. melaksanakan tugas lain sesuai bidang tugasnya dalam rangka
pencapaian tujuan organisasi.
3. Kepala Seksi Operasi dan Pemeliharaan mempunyai tugas
meyelenggarakan kegiatan pengoperasian dan pemeliharaan secara teknis
SPALT Regional dengan uraian tugas terdiri dari:
a. Mengelola penyusunan rencana dan jadwal kegiatan operasi dan
pemeliharaan SPALT Regional sebagai pedoman pelaksanaan tugas;
b. menjabarkan dan membagi tugas kepada bawahan sesuai dengan
uraian tugas dan tanggungjawabnya untuk kelancaran pelaksanaan
tugas;
c. melaksanakan koordinasi dalam unit kerja, antar unit kerja, dengan
lembaga masyarakat dan/atau masyarakat terkait;
d. menyelenggarakan kegiatan operasi dan pemeliharaan SPALT
Regional;
e. menyusun dokumen perencanaan dan pelaporan agar diperoleh
sinkronisasi perencanaan;
f. melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program kerja
satuan organisasi untuk mengetahui kesesuaiannya dengan rencana
program kerja;
g. memeriksa hasil pelaksanaan tugas bawahan sesuai dengan peraturan
dan prosedur yang berlaku agar diperoleh hasil kerja yang benar dan
akurat;
h. memberikan bimbingan dan penilaian kinerja bawahan guna
meningkatkan efekt4itas dan efisiensi pelaksanaan tugas;
i. melaporkan pelaksanaan kegiatan Seksi Operasi dan Pemeliharaan
kepada atasan sebagai pertanggungjawaban kegiatan;
j. melaksanakan tugas lain sesuai bidang tugasnya dalam rangka
pencapaian tujuan organisasi.

A.4. Tata Kerja Organisasi
Untuk menjamin kelancaraan pelaksanaan tugas pokok dari seluruh bagian di
dalam Unit Kerja SPALT Regional, maka perlu ditetapkan tata kerja
organisasi sebagai berikut:
1. Kepala Unit SPALT Regional dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan
kebijakan yang ditetapkan oleh Kepala Dinas;
2. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Unit, Kepala Sub Bagian Tata
Usaha dan Kepala Seksi Operasi dan Pemeliharaan wajib menerapkan
prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi secara vertikal dan
horisontal, baik dalam lingkungan masing-masing maupun dengan
instansi lain sesuai dengan tugasnya;
3. Setiap pimpinan satuan organisasi dalam lingkungan Unit Kerja SPALT
Regional ber tanggungjawab memimpin dan mengkoordinasikan
bawahannya serta memberikan bimbingan dan petunjuk bagi pelaksanaan
tugas;
4. Setiap pimpinan satuan organisasi dalam lingkungan UnitKerja SPALT
Regional harus mentaati perintah/petunjuk atasan dan bertanggung jawab
kepada atasan masing-masing serta menyampaikan laporan berkala tepat
pada waktunya;
5. Setiap laporan yang diterima oleh pimpinan satuan organisasi dari
bawahannya, wajib diolah dan dipergunakan sebagai bahan untuk
penyusunan laporan lebih lanjut dan untuk memberikan petunjuk kepada
bawahan.

A.5. Penyusunan Standar Operasional dan Prosedur (SOP)
Untuk menjamin kelancaran pengelolaan SPALT Regional yang memenuhi
persyaratan teknis maupun administratif, maka Kepala UPTD menetapkan
Standar Opersional dan Prosedur (SOP) untuk pengelolaan SPALT Regional
yang mengacu kepada standar nasional mapun internasional yang telah
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau referensi
lainnya yang dianggap layak sebagai SOP.
Penyusunan SOP juga diharuskan melibatkan unsur-unsur yang memiliki
kompetensi pengelolaan air limbah.
Penyusunan SOP juga terkait dengan pengelolan data dan informasi SPALT
Regional yang bersangkutan agar pelaksanaan pengelolaan SPALT Regional
dapat diketahui perkembangannya. Sehingga diperlukan pengembangan
Sistem Informasi Manajemen Pengelolaan Air limbah SPALT Regional. Sistem
Informasi Manajemen ini dilakukan secara berkelanjutan dengan keluaran
berupa laporan yang harus disampaikan secara reguler setiap bulan,
triwulanan, semesteran dan akhir tahun atau sewaktu-waktu apabila
diperlukan. Untuk selanjutnya, laporan tersebut disampaikan kepada
Gubernur/Bupati/Walikota atau pihak-pihak yang terkait berdasarkan ijin
dari Kepala UPTD.
Dengan demikian maka SOP yang disusun juga mencakup SOP untuk
monitoring dan evaluasi (monev) penyelenggaraan SPALT Regional.
Monitoring adalah kegiatan mengamati perkembangan pelaksanaan
operasional SPALT dan mengidentifikasi serta mengantisipasi permasalahan
yang timbul dan/atau akan timbul untuk dapat diambil tindakan sedini
mungkin. Sedangkan evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan
realisasi masukan (input) dengan keluaran (output) terhadap rencana dan
standar yang telah ditetapkan.
Pelaksanaan evaluasi harus sistematis, obyektif dan transparan yaitu
dilaksanakan sesuai dengan tata urut sehingga hasil dan rekomendasi dapat
dipertanggungjawabkan; hasil evaluasi tidak dipengaruhi oleh kepentingan
pelaksana kegiatan/pengelola; dan proses perencanaan, pelaksanaan serta
pertanggungjawaban hasil evaluasi harus diketahui oleh pemangku
kepentingan (stakeholders).
Untuk menjamin efektifitas pelaksanaan monev maka perlu ditetapkan
indikator-indikator kinerja berdasarkan kajian-kajian dengan bobot dan skor
yang sesuai dan dapat menggambarkan kinerja SPALT Regional yang
sesungguhnya.

A.6. Peningkatan Kelembagaan PPK-BLUD
Unit SPALT Regional dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan BLUD
sebagaimana yang diatur di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
61 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum Daerah, penerapan PPK-BLUD pada Unit Kerja SPALT
Regional, terlebih dulu harus memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan
administratif.
Unit Kerja SPALT Regional pada dasarnya telah memenuhi persyaratan
substantif yaitu bahwa tugas dan fungsi Unit Kerja SPALT Regional bersifat
operasional dalam menyelenggarakan pelayanan umum yang menghasilkan
semi barang/jasa publik (quasi-public goods).
Untuk memenuhi persyaratan teknis, maka kinerja pelayanan Unit Kerja
SPALT Regional harus dinyatakan layak dikelola melalui BLUD, yaitu
memiliki potensi untuk meningkatkan penyelenggaraan pelayanan secara
efektif, efisien, dan produktif.
Penetapan kriteria ini atas rekomendasi kepala Dinas Pekerjaan Umum.
Disamping itu kinerja keuangan Unit Kerja SPALT Regional telah dinyatakan
sehat, yang ditunjukkan oleh tingkat kemampuan pendapatan dari layanan
yang cenderung meningkat dan efisien dalam membiayai pengeluaran.
Persyaratan administratif dapat terpenuhi, apabila Unit Kerja SPALT
Regional membuat dan menyampaikan dokumen yang meliputi:
1. surat pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan,
keuangan, dan manfaat bagi masyarakat yang dibuat oleh kepala Unit
Kerja dan diketahui oleh kepala Dinas Pekerjaan Umum.
2. pola tata kelola;
3. rencana strategis bisnis;
4. standar pelayanan minimal;
5. laporan keuangan pokok atau prognosa/proyeksi laporan keuangan; dan
6. laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara
independen.
Selanjutnya Unit Kerja SPALT Regional mengajukan permohonan kepada
Kepala Daerah melalui kepala Dinas Pekerjaan Umum, dengan dilampiri
dokumen persyaratan administratif. Atas permohonan tersebut, kepala
daerah membentuk tim penilai untuk meneliti dan menilai usulan penerapan
PPK-BLUD SPALT Regional.
Apabila hasil penilaian oleh tim penilai dinyatakan layak, maka hasil tersebut
disampaikan kepada kepala daerah untuk selanjutnya ditetapkan penerapan
status PPK-BLUD dengan keputusan kepala daerah. Keputusan kepala
daerah selanjutnya disampaikan kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD). Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61
Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum Daerah, bahwa Unit Kerja pada SKPD yang menerapkan PPK-BLUD
selanjutnya disingkat BLUD-Unit Kerja, maka UPTD SPALT Regional yang
telah menerapkan PPK-BLUD selanjutnya disebut dengan Badan Layanan
Umum Daerah (BLUD) SPALT Regional.
Pada keseluruhan tahap pelaksanaan pengelolaan SPALT Regional ini,
TKKSD bertugas melakukan monitoring dan evaluasi, memberikan
pertimbangan apabila terjadi permasalahan serta memberikan masukan
kepada Gubernur dalam penyelesaian perselisihan.

A.7. Perumusan dan Penataan Stuktur Organisasi
Untuk organisasi pengelola yang mengambil bentuk SKPD, pada prinsipnya
urusan SPALT masuk dalam Bidang ke-PU-an. Dengan demikian, setidak-
tidaknya ada jabatan yang mengurusi SPALT di dalam Dinas PU daerah.
Meski demikian, daerah diberi kebebasan untuk mengembangkan
kelembagaannya sendiri, selama masih mengacu kepada peraturan yang
berlaku. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah tidak menentukan jenis perangkat daerah masing-masing
daerah, namun menjelaskan bahwa pembentukannya disesuaikan dengan
potensi dan karakteristik daerah masing-masing, dengan mengikuti
perumpunan urusan-urusan wajib dan pilihan.
Karena itu, semakin besar kebutuhan daerah atas penanganan SPALT, maka
sebaiknya semakin tinggi posisi jabatan yang mengurusnya.
Berikut ini ada beberapa contoh penempatan SPALT dalam struktur dinas.
1. Dinas yang menangani SPALT
Struktur paling maksimal adalah Dinas yang menjalankan fungsi
penyelenggara pelayanan publik satu sektor PLP secara independen,
sebagai contoh adalah Dinas Kebersihan yang menjalankan fungsi layanan
pengelolaan sampah. Hal semacam ini juga bisa berlaku untuk sektor Air
Limbah atau SPALT, bila kondisi daerah membutuhkannya dan
pemerintah daerah memiliki kapasitas yang memadai.

Gambar 4.8. Contoh Struktur Dinas yang Menangani Satu Bidang PLP
Dalam contoh semacam ini, maka fungsi dari subbidang Air Limbah harus
terakomodasi di dalam dinas yang lain, misalnya Dinas PU.
2. Dinas yang menangani urusan ke-PLP-an
Bentuk berikutnya adalah Dinas yang menjalankan fungsi PLP, dengan air
limbah dan drainase diposisikan sebagai bidangnya. Sebagai contoh, hal ini
bisa dilakukan dengan mengadopsi nomenklatur PLP, sehingga bisa
disebut Dinas PLP.

Gambar 4.9. Contoh Struktur Dinas yang Menangani Bidang PLP

3. Bidang yang menangani satu atau lebih subbidang PLP dalam suatu Dinas

Gambar 4.10. Contoh Struktur Dinas dengan PLP Sebagai Bidang

Pada contoh di atas, PLP terkelompok sebagai Bidang, sedangkan sektornya
menjadi seksi.
Pola lain adalah pola campuran, dengan satu atau lebih sektor PLP menjadi
Bidang, lainnya sebagai seksi.

Gambar 4.11. Contoh Struktur dengan Pembedaan Posisi Sektor PLP sebagai
Bidang dan Seksi

Bentuk paling minimal bagi pengelolaan PLP bisa berupa Seksi di bawah
bidang yang lain dalam suatu dinas, seperti pada contoh berikut.

Gambar 4.12. Contoh Struktur dengan PLP sebagai Seksi

Untuk pemerintah daerah yang menggunakan bentuk UPTD sebagai
pengelola SPALT tertentu (misalnya SPALT, IPAL, atau IPLT);
penempatannya adalah di dalam struktur Dinas yang terkait (sesuai dengan
tugas dan fungsi organisasi Dinas). UPTD memiliki garis komando langsung
ke Kepala Dinas seperti para Kepala Bidang, meski Kepala UPTD di
Kabupaten/Kota merupakan pejabat dengan eselon setingkat para Kepala
Seksi di Dinas terkait (eselon 4).

Gambar 4.13. Posisi UPTD dalam Dinas Daerah

Unit pelaksana teknis pada dinas terdiri dari 1 (satu) subbagian tata usaha
dan kelompok jabatan fungsional. Sementara untuk dinas di level
pemerintahan provinsi yang belum terdapat jabatan fungsional dapat
dibentuk paling banyak 2 (dua) seksi (PP No.41/2007).
Penjelasan mengenai Kelompok Jabatan Fungsional, dapat dilihat pada
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis
Penataan Organisasi Perangkat Daerah. Dijelaskan bahwa:
1. Pada masing-masing Perangkat Daerah dapat ditetapkan Jabatan
Fungsional berdasarkan keahlian dan spesialisasi yang dibutuhkan sesuai
dengan prosedur ketentuan yang berlaku;
2. Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas melaksanakan sebagian
tugas Pemerintah Daerah sesuai dengan keahlian dan kebutuhan.
3. Kelompok Jabatan Fungsional terdiri dari sejumlah tenaga fungsional yang
diatur dan ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
4. Kelompok Jabatan Fungsional dipimpin oleh seorang tenaga fungsional
senior yang ditunjuk.
5. Jumlah tenaga fungsional ditentukan berdasarkan kebutuhan dan beban
kerja.
6. Jenis dan jenjang jabatan fungsional diatas diatur berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Kepala Dinas
Bidang A
Seksi A1
Seksi A2
Bidang B
Seksi B2
Seksi B2
Bidang C
Seksi C1
Seksi C2
Bidang D
Seksi D1
Seksi D2
Sekretariat
UPTD
7. Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
8. Satuan kerja perangkat daerah yang dapat didukung oleh kelompok
jabatan fungsional, selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah organisasi
perangkat daerah ditetapkan dalam peraturan daerah berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 dilakukan penyerasian dan
penyesuaian sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penataan struktur organisasi juga bisa mengacu kepada Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 57 tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan
Organisasi Perangkat Daerah, yang menjelaskan pentingnya melakukan
analisis beban kerja dalam merumuskan susunan organisasi.
Ketentuan mengenai analisis beban kerja dapat dilihat pada Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pedoman Analisis
Beban Kerja di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah
Daerah.
Pada dasarnya, analisis dilakukan terhadap setiap substruktur dari
organisasi, dan pada akhirnya dihitung beban kerja dari masing-masing
substruktur tersebut. Dari hasil perhitungan, akan dapat disimpulkan apakah
struktur yang ada sebenarnya masih bisa menampung tugas-tugas lainnya
(ditambah tugasnya) atau sudah kelebihan beban, dan perlu diperbesar.

A.8. Tahapan Kemitraan Pengembangan Infrastruktur
Secara umum, inisiatif pengembangan infrastruktur dalam skema KPS bisa
dimulai dari pihak pemerintah (solicited) maupun pihak swasta (unsolicited).
Untuk proyek yang berdasarkan inisiatif pemerintah, harus melalui sembilan
tahapan berikut ini:

Gambar 4.14. Tahapan Kerjasama Pemerintah-Swasta
Sumber: Dokumen Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tentang KPS
1.
Pemilihan
Proyek
2.
Konsultasi
Publik
3.
Studi
Kelayakan
4.
Tinjauan
Risiko
5.
Bentuk
Kerjasama
6.
Dukungan
Pemerintah
7.
Pengadaan
8.
Pelaksanaan
9.
Pemantauan
Adapun penjelasan tahapannya adalah sebagai berikut:
1. Pemilihan Proyek (atau identifikasi). Pemerintah (dalam hal ini instansi
terkait), mengindentifikasi dan membuat prioritas proyek-proyek
infrastruktur yang berpotensi KPS.
2. Konsultasi Publik. Pemerintah berupaya mendapatkan saran dari publik
pada umumnya dan calon pengembang dan pemberi pinjaman untuk
membantu pembentukan rancangan proyek.
3. Studi Kelayakan adalah rancangan teknis, komersial dan kontraktual
proyek yang memadai untuk memfasilitasi tender proyek kepada mitra-
mitra pihak swasta. Studi Kelayakan harus diselesaikan sebelum proyek
ditenderkan.
4. Tinjauan Risiko adalah pengidentifikasian berbagai risiko dalam proyek
dan hal-hal yang dapat mengurangi risiko tersebut, dan usulan
pengalihan risiko tersebut oleh berbagai pihak dalam Perjanjian
Kerjasama. Pada umumnya, tinjauan risiko ini dilakukan dan merupakan
bagian dari Studi Kelayakan.
5. Bentuk Kerja Sama merupakan tinjauan agar kemitraan KPS distrukturkan
untuk mengoptimalkan nilai bagi publik dan pada saat yang bersamaan
tidak mengurangi minat dari mitra swasta. Pada umumnya, Bentuk Kerja
Sama ini dikaji dalam Studi Kelayakan.
6. Dukungan Pemerintah merupakan penentuan atas bentuk-bentuk
kontribusi pemerintah terhadap suatu proyek, dalam suatu mekanisme,
misalnya insentif pajak, pembebasan tanah, dukungan/jaminan bersyarat,
pembiayaan langsung dan lain-lain. Pada umumnya, kajian Dukungan
Pemerintah dilakukan untuk mengetahui potensi kelayakan suatu proyek
secara perbankan.
7. Pengadaan merupakan pengembangan dari paket tender, dan proses
tender secara keseluruhan yang dimulai sebelum proses kualifikasi
sampai dengan penandatanganan kontrak.
8. Pelaksanaan termasuk pendirian Perusahan Proyek oleh Sponsor Proyek,
pembiayaan, kegiatan konstruksi, pelaksanaan awal dan pengoperasian
proyek oleh Badan usaha.
9. Pemantauan adalah pemantauan terhadap kinerja Badan Usaha oleh
pemerintah sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kerjasama.
Pihak swasta boleh menginisiasi pengembangan infrastruktur, dengan
beberapa syarat berikut ini:
- Belum termasuk/terdaftar dalam rencana pokok (master plan) di sektor
terkait;
- Dapat secara teknis terintegrasi dengan rencana pokok dari sektor terkait;
- Secara ekonomi dan finansial dinilai layak; dan
- Tidak memerlukan Dukungan Pemerintah dalam bentuk kontribusi fiskal,
misalnya tidak perlu bantuan secara langsung.
Sementara tahapannya juga mirip dengan Gambar III.44 di atas, kecuali
bahwa langkah 16 dilakukan sendiri oleh pihak swasta yang memprakarsai
proyek tersebut (pemrakarsa).

A.9. Pemanfaatan Program Corporate Social Responsibility
Saat ini semakin banyak perusahaan yang memahami pentingnya memenuhi
tanggung jawab sosialnya kepada lingkungan dan masyarakat di sekitar
lokasi usahanya. Tanggung jawab tersebut dikenal dengan istilah Corporate
Social Responsibility (CSR). Program CSR tidak selalu berwujud kegiatan amal
(charity), melainkan juga dapat berupa program-program pemberdayaan
masyarakat termasuk dalam hal pengelolaan limbah. Program semacam itu
sesungguhnya memiliki kesamaan/kemiripan dengan program pemerintah.
Kondisi ini dapat dimanfaatkan pemerintah (pusat dan daerah) untuk
bersinergi dengan perusahaan-perusahaan yang hendak melaksanakan
program CSR. Antara lain melalui:
1. Pemberian informasi mengenai rencana pembangunan. Dalam konteks
keciptakaryaan, rencana ini terintegrasi dalam dokumen Rencana Program
Investasi Jangka Menengah (RPIJM). Pemahaman pihak perusahaan
terhadap program akan memungkinkan perencanaan CSR mereka bisa
saling mengisi dengan program pemerintah.
2. Pedoman/Petunjuk Teknis. Pelaksanaan program CSR di bidang SPALT
selayaknya mengacu dan mengikuti pedoman yang berlaku. Pemerintah
telah menerbitkan berbagai pedoman/petunjuk teknis terkait sektor air
limbah.
3. Konsultasi Teknis dan Supervisi. Ditjen Cipta Karya Kementerian PU,
Satker PLP di provinsi, dan dinas-dinas daerah yang terkait dengan
pengembangan SPALT dapat memberi bantuan teknis dalam bentuk
konsultasi bagi perusahaan yang ingin memahami lebih lanjut mengenai
RPIJM, penggunaan buku pedoman dan manual, perencanaan prasarana,
serta bantuan teknis berupa supervisi pada tahap pelaksanaan proyek.
Selain itu bisa dilakukan konsultasi mengenai berbagai alternatif skema
kerjasama dan pembiayaan program, agar program berdampak lebih besar
dan lebih berkelanjutan.
4. Pendanaan Program. Beberapa alternatif pendanaan pembangunan SPALT
antara lain:
a. Dana publik. Dana ini mengalir dari Pusat, Provinsi lalu ke
Pemerintah Kabupaten/Kota; dan terutama berasal dari pajak.
b. Dana Pembangunan Asing (Overseas Development Aid/ODA). Hibah
dan pinjaman luar negeri dari lembaga-lembaga keuangan
internasional seperti Bank Dunia dan ADB.
c. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Berbasis
Masyarakat (OBM)
d. Sektor Swasta/Badan Usaha.
Perusahaan dapat menyesuaikan program CSR bidang SPALT dengan
program pemerintah yang didanai dari sumber lain seperti di atas, agar
tercipta sinergi dan manfaat yang lebih luas.
5. Fasilitasi Kerja Sama dengan Pemangku Kepentingan. Pemerintah dapat
membantu memfasilitasi proses koordinasi dengan para pemangku
kepentingan, seperti dinas/instansi di lingkungan pemerintah, kelompok
kerja/forum (seperti Pokja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
[AMPL]), Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang dibentuk program
PNPM (sampai saat ini mencapai 12.000 BKM), lembaga donor, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM). Fasilitasi pertemuan multipihak
memungkinkan terciptanya kolaborasi/kemitraan, serta solusi kreatif
untuk permasalahan yang kompleks.
Dalam pelaksanaannya, perusahaan dapat bekerjasama langsung dengan
pemerintah daerah yang menjadi lokasi program CSR-nya. Namun apabila
menginginkan kerjasama dengan pemangku kepentingan yang lebih luas dan
menghasilkan program yang berdampak lebih besar dan lebih luas,
perusahaan dapat mempertimbangkan bekerjasama dengan tingkatan
pemerintahan yang lebih tinggi. Pemerintah kabupaten/kota dapat
menggunakan RPIJM sebagai dasar kerjasama dengan perusahaan, sementara
perusahaan dapat menggunakan rencana CSR yang telah disusunya sebagai
dasar pembicaraan dengan pemerintah kabupaten/kota.
Secara singkat, kerjasama multipihak antara perusahaan yang menjalankan
program CSR, Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PU, dan
pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) dapat dilihat pada bagan di
bawah ini.

Gambar 4.15. Bagi Peran Para Pihak dalam Konteks CSR
Sumber: Buku Mewujudkan Permukiman Layak Huni Melalui Kerjasama CSR, Dirjen CK
Untuk subsektor air limbah, sistem pengelolaannya dibagi menjadi dua
sistem, yaitu off site (terpusat) dan on site (setempat).
1. Kegiatan pengolahan sistem off site:
a. Pembangunan instalasi pengolahan air limbah (skala kota/komunal)
b. Pengadaan dan pemasangan pipa/saluran air limbah (skala
kota/komunal)
c. Pengadaan dan pemasangan sambungan rumah (skala kota/komunal)
2. Kegiatan pengolahan sistem on site
a. Pembangunan MCK
b. Pembangunan tangki septik komunal
c. Pembangunan instalasi pengolahan lumpur tinja (IPLT)
Apabila perusahaan dan pemerintah telah bersepakat mengenai bentuk
kerjasama dan bagi peran masing-masing, maka para pihak dapat
mengikatkan diri dalam Nota Kesepakatan (Memorandum of Agreement)

PERUSAHAAN
PELAKU CSR
DIREKTORAT JENDERAL
CIPTA KARYA
PEMERINTAH DAERAH
(PROV./KAB./KOTA)
PROGRAM CSR
INDIKASI
PENDANAAN
RENSTRA CK
RPIJM
EVALUASI
DAFTAR USULAN
SINKRONISASI
KEGIATAN
DAFTAR USULAN
PRIORITAS
ALOKASI
PENDANAAN
USULAN KEGIATAN
PENYIAPAN
RENCANA RINCI
USULAN KEGIATAN
EVALUASI
M O A
A.10. Fungsi Pemerintah Daerah atas Peran Masyarakat
Meskipun beberapa SPALT diserahkan pengelolaannya sebagian kepada
komponen masyarakat, pemerintah daerah tidak boleh lupa bahwa salah satu
tugasnya dalam penanganan urusan wajib ke-PLP-an tetap mencakup empat
hal, yaitu: pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan (PP
No.38 Tahun 2007). Katakanlah proses pembangunan sudah dilakukan, maka
tiga lainnya tetap perlu menjadi perhatian pemerintah daerah. Untuk itu di
dalam stuktur SKPD yang terkait perlu dilekatkan fungsi-fungsi tersebut
secara jelas. Untuk pengaturan, misalnya, praktik penerapan retribusi oleh
lembaga masyarakat pengelola SPALT tidak bisa dibiarkan semata-mata
mengikuti mekanisme pasar, mengingat ada kepentingan publik yang lebih
besar dan bahwa penyediaan SPALT pada dasarnya merupakan bentuk
layanan publik oleh pemerintah. Begitu pula mengenai
penggunaan/pemanfaatan beberapa sumber daya terkait SPALT, yang tidak
boleh dimonopoli hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu
saja. Pengaturan, dalam konteks ini, adalah untuk memastikan bahwa
pemanfaatan dilakukan secara berkeadilan dan mencegah timbulnya konflik
yang meluas.
Unsur pembinaan, selayaknya berlangsung secara menerus selama SPALT
masih dapat dimanfaatkan. Pembinaan yang dilakukan pemerintah daerah
bisa berupa pemberian panduan/pedoman, pelatihan SDM pengelola,
pendampingan teknis, perluasan jejaring kerja dan kerjasama, serta banyak
lagi lainnya. Perlu dihindari kesan bahwa dengan menyerahkan SPALT
kepada komponen masyarakat maka selesai pula tanggung jawab
pemerintah.
Sedangkan pengawasan dilakukan untuk memastikan kelaikan operasional
SPALT yang terbangun, keadilan dalam pemanfaatan, kualitas hasil
pengolahan, akuntabilitas proses pengelolaan, keberlanjutan layanan, dll.
Tentunya dengan adanya fungsi-fungsi di atas, pemerintah daerah
sewajarnya juga mengalokasikan anggaran secara proporsional bagi SKPD
terkait yang bertugas melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan
kepada komponen masyarakat yang berperan mengelola SPALT yang ada.




B. ADMINISTRASI
Kegiatan administrasi wajib dilaksanakan selama penyelenggaraan SPALT
untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi. Kegiatan administrasi ini
dimaksudkan untuk membantu kegiatan operasional dan pemanfaatan
melalui proses pencatatan, pengarsipan, pelaporan seluruh kegiatan harian
dan bulanan. Kegiatan administrasi dilaksanakan sesuai dengan pedoman
akuntansi air minum dan/atau ketentuan lain yang berlaku.

Kegiatan administrasi dilaksanakan oleh Penyelenggara SPALT dan dapat
dilaksanakan melalui kerjasama dengan pihak lain.

B.1. ADMINISTRASI PERKANTORAN
Administrasi perkantoran meliputi pencatatan, pengarsipan, pelaporan dan
kegiatan tata persuratan.

Kegiatan administrasi meliputi pencatatan:
1. Debit harian influen dan efluen
2. Pemakaian bahan kimia.
3. Pemakaian listrik PLN.
4. Pemakaian bahan bakar dan pelumas untuk genset.
5. Kualitas pemeriksaan laboratorium untuk influen dan efluen.

Berdasarkan catatan-catatan tersebut, penyelenggaraan SPALT wajib
membuat laporan bulanan untuk pertanggung jawaban kepada pemerintah.
Personil yang terlibat harus detail dalam memahami dan memelihara agar
instalasi ini senantiasa dalam kondisi yang baik. Kegiatan pencatatan harus
dilakukan secara periodik sesuai dengan suatu standar yang spesifik.
Pencatatan dilakukan dengan melakukan kegiatan inspeksi harian, inspeksi
periodik dan inspeksi pemeliharaan
1. Inspeksi Harian
Inpeksi harian ditetapkan pada jam yang sama setiap hari untuk melihat
apakah ada kelainan/anomali pada sistem atau peralatan yang sedang
berkerja. Hasil inspeksi dicatat dalam Tabel Inspeksi Harian
2. Inspeksi Periodik
Inspeksi periodik dilakukan menurut standar inspeksi yang sudah
ditetapkan sebelumnya. Ini dimaksudkan untuk memahami kondisi
penyusutan sistem dan peralatan yang ada, sehingga dapat dilakukan
perbaikan dan penggantiannya secara teratur. Jika ditemukan cacat atau
kerusakan, langkah-langkah perbaikan harus dilakukan saat itu juga.
Hasil pemeriksaan harus dicatat.
3. Inspeksi Pemeliharaan
Dengan inspeksi tahunan, 6 (enam) bulanan, 4 (empat) bulanan, bulanan
atau harian, tiap-tiap sistem dan peralatan akan terus terekam kondisinya.

B.2. ADMINISTRASI KEUANGAN
Administrasi keuangan meliputi pencatatan pemasukan dan pengeluaran
tertib administrasi keuangan baik yang berasal dari operasional maupun non-
operasional (Contoh Tabel 4.2)

Adminitrasi keuangan berperan dalam mencatat aspek pembiayaan dalam
pengelolaan air limbah sangat penting mengingat sektor air limbah
merupakan sektor yang tidak memberikan keuntungan bagi pengelolanya.
Hal ini dikarenakan banyaknya permasalahan dalam SPALT, diantaranya:

1. Ketidakseimbangan Anggaran dengan Beban Pelayanan
a. Banyak kota menghadapi keterbatasan anggaran untuk
melaksanakan pelayanan pengelolaan air limbah, baik anggaran
untuk pengadaan/penggantian prasarana dan sarana, anggaran
operasional, juga anggaran pemeliharaan/perawatan.
b. Kondisi diatas disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: prioritas
dan perhatian yang masih rendah untuk sektor air limbah,
keterbatasan APBD, dan perencanaan anggaran yang kurang
memadai.






Tabel 4.2. Tabel Contoh Format Laporan Biaya Operasional & Non-
Operasional

Laporan pertanggungjawaban biaya operasi dan Non-operasional
Bagian : ...........................................................
Periode : ...........................................................
No
Jenis Biaya Realisasi Anggaran Selisih (+/-)
1 Controlled cost
-
-
-

Sub total cont. cost
2 Un-controlled cost
-
-
-

Sub total un-cont. cost

Total Biaya
Catatan:
- Controlled cost adalah biaya-biaya yang tanggung jawab pengeluaran/terjadinya
sepenuhnya menjadi wewenang bagian tersebut.
- Un-controlled cost adalah biaya-biaya yang pengeluaran/terjadinya bukan menjadi
wewenang bagian tersebut, walaupun menjadi beban bagian ini.
- Contohnya penyusutan, asuransi dll.

2. Penerimaan Retribusi Tidak Sebanding dengan Biaya Pengelolaan
Hingga saat ini pengelolaan air limbah kabupaten/kota masih
mendapatkan subsidi. Subsidi operasional masih merupakan unsur
dominan dalam penyelenggaraan pengelolaan air limbah. Rendahnya
penerimaan retribusi dan tingginya beban subsidi ini merupakan salah
satu faktor penyebab terbatasnya dana operasional yang berdampak pada
rendahnya mutu pelayanan.
Administrasi keuangan yang dilakukan secara baik juga dapat digunakan
sebagai dasar pertimbangan dalam menganalisis sistem pemulihan biaya
yang terjangkau. Panduan nasional tentang pengelolaan air limbah (2003)
menyatakan bahwa pertimbanganpertimbangan berikut ini perlu disertakan
dalam menentukan harga layanan air limbah:
1. Kesesuaian dengan panduan yang telah ditetapkan pemerintah pusat.
2. Penerapan subsidi-silang dari kelompok ekonomi yang lebih kuat kepada
yang lebih lemah.
3. Persetujuan dari bupati/walikota dan DPRD.
4. Penetapan harga berdasarkan banyaknya air limbah yang dikelola.
5. Jika metode yang dinyatakan dalam butir 4 diatas tidak dapat diterapkan,
maka tarif ditentukan berdasarkan suatu persentase konsumsi air minum
jika data konsumsi tersebut tersedia.
6. Pilihan lainnya adalah untuk jaringan air limbah terpusat tarif dapat
ditetapkan bredasarkan fungsi, wilayah, dan klasifikasi bangunan.
7. Untuk sistem terpusat dimana terdapat jaringan perpipaan yang membawa
air limbah dari sumbernya ke suatu jaringan utama pengumpul dan
selanjutnya ke suatu instalasi pengolahan air limbah, tarif harus ditetapkan
dengan mempertimbangkan :
a. Biaya operasi dan pemeliharaan jaringan perpipaan dan instalasi
pengolahan
b. Biaya rehabilitasi/perbaikan/kerusakan peralatan operasional

Untuk pencatatan administrasi keuangan ini, suatu jaringan terpusat berarti
suatu jaringan air limbah yang terdiri dari jaringan pemipaan yang
mengumpulkan air limbah dari sumbernya dan membawanya ke suatu
instalasi pengolahan (IPAL) terpusat.
Terdapat dua jenis pengaturan kelembagaan bagi pengelolaan jaringan air
limbah semacam ini:
1. Jaringan dikelola oleh perusahaan air minum milik pemerintah daerah,
atau PDAM. Maka tagihan air limbah diterbitkan dan ditagihkan sebagai
bagian dari tagihan air minum. Alasannya adalah
- Berdasarkan panduan nasional, tagihan air limbah dapat ditetapkan
berdasarkan konsumsi air;
- Lebih mudah untuk menerapkan tindakan penertiban bagi pelanggan
karena sanksi yang diberikan dapat dikaitkan dengan layanan air
minum dimana penduduk memiliki ketergantungan yang lebih
tinggi ketimbang pelayanan air limbah yang manfaatnya cenderung
masih belum disadari banyak orang.

Meskipun demikian, pendekatan ini juga memiliki beberapa kelemahan.
Pertama. tidak semua pelanggan layanan air limbah juga sekaligus
menjadi pelanggan PDAM. Kedua mengintegrasikan tagihan air limbah
dan air minum memerlukan penyesuaian sistemik terhadap praktek
penagihan PDAM, yang bisa mengarah pada meningkatnya kebutuhan
sumber data manajemen maupun teknis.

2. Jaringan dikelola oleh instansi yang khusus dibentuk untuk mengelola air
limbah. Untuk IPAL yang dikelola oleh instansi yang dibentuk khusus ini,
makapen agihan melalui d4isi penagihannya sendiri, yang biasanya
terdapat pada bagian keuangan. Namun jika terdapat indikasi bahwa
penagihan dapat ditingkatkan maka dapat ditagihkan sebagai bagian dari
utililitas lain, terutama air minum

C. PEMBIAYAAN
Pembiayaan penyelenggaraan SPAL meliputi pembiayaan untuk
membangun, memperluas, mengoperasikan, dan memelihara sistem fisik
serta meningkatkan sistem nonfisik. Sumber dana untuk pembiayaan dapat
berasal dari:
1. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah;
2. BUMN atau BUMD;
3. koperasi;
4. badan usaha swasta;
5. dana masyarakat; dan/atau
6. sumber dana lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Apabila Pemerintah Daerah tidak mampu melaksanakan SPAL, Pemerintah
dapat memberikan bantuan pendanaan sampai dengan pemenuhan standar
pelayanan minimal yang dibutuhkan secara bertahap. Tata cara penyaluran
bantuan pendanaan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku

C.1 PEMBIAYAAN INVESTASI IPAL
Perkiraan biaya investasi instalasi/proyek terdiri atas: biaya konstruksi, biaya
kompensasi, biaya administrasi, biaya jasa perencanaan teknik, biaya tak
terduga perubahan harga, serta biaya tak terduga perubahan fisik dan pajak
pertambahan nilai (PPN). Komponen biaya instalasi/proyek dinyatakan pada
Gambar 4.16.


Gambar 4.16. Pembiayaan Instalasi/Proyek

Pembiayaan inventasi instalasi/proyek meliputi :
1. Biaya Konstruksi
Biaya Konstruksi terdiri dari biaya langsung (dasar perkiraan dari
perkalian jumlah/ volume pekerjaan dikalikan harga satuan) dan biaya
tidak langsung, yang diperkirakan dari persentase biaya langsung.
2. Biaya Kompensasi
Biaya kompensasi akan meningkat bila ada pembebasan tanah dan
bangunan dan segala sesuatu yang berhubungan dalam pembangunan.
Biaya ini tergantung Surat Keputusan Pemerintah Daerah, yaitu Bupati
atau Gubernur.
3. Biaya Administrasi
Biaya administrasi proyek adalah pengeluaran untuk Pengelola Proyek
dalam pelaksanaan sebenarnya. Biaya ini adalah 5% dari biaya konstruksi,
ditambah biaya tak terduga fisik.
4. Biaya Jasa Perencanaan Teknik
Biaya jasa perencanaan teknik dipakai untuk pembiayaan pekerjaan detail
desain dan supervisi pekerjaan konstruksi, utamanya yang dilakukan oleh
Konsultan. Biaya jasa perencanaan teknik diperkirakan 12% dari biaya
konstruksi ditambah biaya tak terduga fisik.
5. Biaya Tak Terduga Harga
Biaya ini disediakan untuk mengatasi terjadinya eskalasi harga. Dari sudut
pandang ekonomi, dapat diterapkan 2% per tahun untuk total porsi asing
dan lokal.
6. Biaya Tak Terduga Fisik
Biaya tak terduga fisik diterapkan 10% dari biaya konstruksi. Biaya ini
disediakan untuk pembiayaan pengeluaran lainnya, seperti biaya
kompensasi, biaya administrasi, dan biaya untuk kejadian-kejadian lainnya
dalam konstruksi.
7. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diterapkan 10% dari biaya konstruksi
ditambah biaya tak terduga fisik. Perkiraan Biaya Proyek terdiri dari: biaya
konstruksi, biaya tak terduga fisik, biaya administrasi, biaya jasa
perencanaan teknik dan pajak pertambahan nilai (PPN).

C.2. PEMBIAYAAN PEMASANGAN PIPA
Biaya pekerjaan pemasangan pipa air limbah dengan metode clean
construction, meliputi biaya untuk:
1. Pekerjaan persiapan
2. Pekerjaan galian dan pengangkutan tanah galian
3. Pekerjaan pemasangan pipa dan manhole
4. Pekerjaan timbunan kembali
5. Pekerjaan perbaikan jalan, kecuali untuk pekerjaan pengaspalan (overlay)
dimasukkan dalam jenis pekerjaan tersendiri.
Unit biaya pemasangan pipa dikelompokkan berdasarkan:
1. Diameter pipa
2. Kedalaman pipa terpasang

Kedalaman pemasangan pipa dan kondisi tanah setempat serta tinggi muka
air tanah akan menentukan metode pelaksanaan di lapangan, demikian pula
lebar jalan dan kondisi lapangan akan menentukan jenis, tipe, dan kapasitas
peralatan yang digunakan, dimana hal tersebut akan mempengaruhi
besarnya biaya pemasangan. Pembayaran didasarkan pada hasil pengukuran
pipa terpasang di lapangan, dari pusat mainhole ke mainhole berikutnya.
Secara ringkas biaya pemasangan untuk setiap meter panjang pipa seperti
terlihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.3. Gambaran Biaya Pemasangan Pipa

117.7323
Equiv. Total Equiv. Total
Rp. Yen Rp. Yen Rp. Rp. Yen Rp.
Pipe material (800mm) m 2,282.4 1,431,743 0 3,267,810,223 0 3,267,810,223
Pipe Jacking Work m 2,282.4 5,928,780 73,948 13,531,847,472 168,778,915 33,402,577,350 5,747,887,446 168,778,500 25,618,568,442
Temporary Facility Work m 2,282.4 290,619 351 663,308,806 801,122 757,626,788
Pipe Installation thru Shaft m 2,282.4 1,020 0 2,328,048 0 2,328,048
Invert Mortar m 2,282.4 5,195 0 11,857,068 0 11,857,068
Dewatring for jacking m 2,282.4 177,566 0 405,276,638 0 405,276,638
Temporary Facility of Shaft m 2,282.4 11,525 0 26,304,660 0 26,304,660
Pipe Cleaning m 2,282.4 12,625 0 28,815,300 0 28,815,300
Shaft Type 2 no. 4 225,739,131 435,244 902,956,524 1,740,976 1,107,925,633
Shaft Type 4 no. 8 358,093,722 627,225 2,864,749,776 5,017,800 3,455,506,911
Shaft Type 1 no. 20 113,256,526 192,507 2,265,130,520 3,850,140 2,718,416,358
Backfill for Shaft m3 1,021 119,262 0 121,766,502 0 121,766,502
Disposal m3 765 25,392 0 19,424,880 0 19,424,880
Total 24,111,576,417 180,188,954 45,325,636,359 5,747,887,446 168,778,500 25,618,568,442
10,564,133 78,947 19,858,761
Fixed Cost 25,618,568,442 <= 2 untis of Jacking Machine and equipment)
Variable Cost 19,707,067,918 <= Other work item cost
Total Cost 45,325,636,359
For 2.2 km Jacking
Fixed Cost 25,618,568,442 Rp.
Variable Cost 8,957,758 Rp./m
For 5.0 km Jacking
Fixed Cost 25,618,568,442 Rp.
Variable Cost 8,957,758 Rp./m
Unit rate for 5.0 km jacking = 14,081,472 Rp./m
Unit Rate =
Fixed Cost
Amount
Fixed Cost + Variable Cost
Total Length
Breakdown for the original scope
Jacking Pipe Construction - Unit Rate
Unit Rate Amount
Unit rate per meter =
Item unit Q'ty
Exchange rate (Rp/yen)
C.3. PEMBIAYAAN OPERASI, PEMELIHARAAN, DAN REHABILITASI SPALT
Beberapa IPAL menunjukkan kinerja yang baik karena dikelola oleh PDAM
sehingga biaya operasional mendapatkan subsidi dari pelanggan air minum.
Tarif pengelolaan air limbah menjadi satu dengan rekening air minum
sehingga tingkat pembayaran lebih tinggi.
Dalam operasional SPALT, unsur-unsur biaya terdiri dari:
1. Biaya investasi
2. Biaya operasi dan pemeliharaan
3. Biaya pengembangan
4. Biaya retribusi
5. Biaya depresiasi

Penjelasan unsur-unsur biaya tersebut berikut :
1. Biaya Investasi, dalam operasi dan pemeliharaan IPAL yang termasuk
dalam investasi adalah antara lain peralatan untuk mendukung operasi
IPAL. Yang dimaksud dengan investasi disini bukan membuat instalasi
IPAL namun alat-alat perlengkapan pendukung operasi dan pemeliharaan
instalasi.
2. Biaya Operasi dan Pemeliharaan
Biaya operasi dan pemeliharaan terdiri dari :
a. Biaya tetap (fixed cost) atau biaya tidak langsung.
1) Biaya personil (upah/gaji pegawai) termasuk lembur, uang makan
dan transport.
2) Biaya kantor :
- Pemeliharaan gedung
- Pemeliharaan kendaraan operasional kantor
- Pemeliharaan peralatan kantor dan peralatan kerja, P3K
- Biaya langganan listrik dan telepon
- Biaya kebersihan kebun/halaman/lantai
- Biaya operasional kantor (ATK, rapat, dll)
- Biaya bahan : bahan kimia, laboratorium, bahan untuk
treatment lumpur kering
- Biaya Perjalanan
b. Biaya operasi dan pemeliharaan IPAL :
Biaya operasi dan pemeliharaan instalasi IPAL :
1) Operasi dan pemeliharaan unit-unit
- Persiapan operasi (start up)
- Operasi harian
- Operasi mingguan
2) Biaya pemeliharaan jaringan (perpipaan/ IPAL)
- Biaya tenaga kerja
- Biaya pemeliharaan bangunan atau perpipaan
- Biaya operasional
- Biaya pemeliharaan sarana penggelontoran
3) Biaya pemeliharaan sambungan rumah ( house Connection)
- Biaya tenaga kerja
- Biaya pembesihan
- Biaya pemeliharaan bak
4) Biaya O dan P instalasi IPAL
- Biaya pembersihan saringan
- Biaya perawatan mekanik (aerator, pompa)
- Biaya perawatan scraper

3. Biaya Pengembangan
Biaya pengembangan bertalian dengan perluasan (ekspansi) instalasi
maupun perluasan daerah pelayanan. Hal-hal yang menyangkut kegiatan
ini direncanakan secara matang, dari segi teknis dan pembiayaan. Dari
segi teknis tidak memerlukan teknologi tinggi dan dari segi pembiayaan
layak secara ekonomi dan dapat dijangkau dengan kondisi keungan yang
ada. Biaya pengembangan misalnya pengadaan truk tinja baru, pengadaan
gerobak, vacuum pump, submersible pump dan sebagainya, penambahan
sambungan rumah.

4. Biaya Retribusi
Biaya ini dikeluarkan setiap bulan atau setiap tahun, yang ditarik oleh
Pemda. Retribusi ditetapkan dengan PERDA. Retribusi dari pemda
misalnya retribusi jalur pipa, retribusi air baku untuk penggelontoran
(flushing).

5. Biaya Depresiasi
Semua barang-barang yang termasuk kategori investasi, akan mengalami
penyusutan atau depresiasi, seperti instalasi IPAL, peralatan pendukung,
peralatan kantor akan depresiasi dapat digunakan untuk pengadaan
barang/investasi baru.

Selain biaya tersebut di atas, terdapat juga biaya spesifik (Tabel 4.3 dan Tabel
4.4). Biaya spesifik merupakan biaya yang diperlukan untuk pembangunan
dan/atau biaya operasi dan pemeliharaan seluruh atau sebagian komponen
sistem pengelolaan sanitasi yang menggunakan jenis, teknologi dan bahan
tertentu.
Tabel 4.4. Interval Biaya Spesifik Investasi IPAL Sistem OffSite
(Harga dalam US $, 1 US$ = Rp. 9600, harga berlaku tahun 2006, angka-angka
dibulatkan)
No SISTEM
Biaya IPAL /
(m
3
/Hari)
Biaya IPAL / Jiwa
Biaya IPAL /
(kg/BOD5/Hr)
Int.Bwh Int.Atas Int.Bwh Int.Atas Int.Bwh Int.Atas
1
Sanitasi
Komunal
Model l
538 663 44 54 1.261 1.543
2
Sanitasi
Komunal
Model ll
7 19 18 57 504 1.740
3 Biofilter 1 2 108 131 3.599 4.114
4 Aerated lagon 263 3.613 43 156 9.262 25.205
5
Stabilization
Pond
794 2052 118 252 3.710 7.769
6
Rotating
Biological
Contactor
231 333 26 96
Sumber: Buku Saku Biaya Spesifik Investasi Air Limbah, Subdit Investasi PLP, Departemen PU,
2008

Tabel 4.5. Interval Biaya Spesifik Jaringan Perpipaan Sistem OffSite
(Harga dalam US $, 1 US$ = Rp. 9600, harga berlaku tahun 2006, angka-angka dibulatkan)
SISTEM
Biaya / PE Biaya / m Panjang Pipa
Int. Bwh Int. Atas Int. Bwh Int .Atas
Jaringan Perpipaan 79 169 137 216
Sumber: Buku Saku Biaya Spesifik Investasi Air Limbah, Subdit Investasi PLP, Departemen PU,
2008







C.4. CONTOH- CONTOH KASUS DI INDONESIA
C.4.1. Biaya Investasi dan Biaya Operasional Pemeliharaan IPAL
Biaya investasi dan biaya operasi serta pemeliharaan sangat bervariasi
tergantung sistem pengolahan yang digunakan. Pengolahan dengan sistem
kolam relatif lebih murah bila dibandingkan dengan sistem pengolahan yang
lain. Contoh besarnya biaya investasi dan operasional IPAL di beberapa
daerah di Indonesia terdapat pada tabel berikut :

Tabel 4.6. Biaya Investasi Beberapa IPAL di Indonesia
Operator
Sistem
Pengolahan
Investasi/m
3

terpakai (Rp)
Investasi/
m
3

disain
(Rp)
Investasi/SR
terpakai (Rp
000)
Investasi/SR
Disain (Rp
000)
Bandung Kolam :
anaerobic,
fakultatif
dan
maturasi
475 63 2.650 892
Banjarmasin Rotating
Biological
contactor
(RBC)
3.274 3.228 16.506 15.845
Cirebon Kolam :
fakultatif
dan
maturasi
423 218 1.485 698
Jogja Kolam
aerobik
1.109 812 6.649 4.871
Medan UASB.
Kolam :
aerobic,
fakultatif
133 35 1.133 319
PD PAL Kolam
aerobik
92 11 5.012 91
Solo Kolam
aerobik
1.658 1.619 3.802 1.166
Sumber : AUSAID, 2006


Tabel 4.7. Biaya Operasional Beberapa IPAL di Indonesia
Operator
Total
Biaya/Rp/bln/SR
Biaya O dan P
Rp/bln/SR
Revenue
Rp/bln/SR.
PDAM Bandung 14.751 12.450 15.265
PDAM Banjarmasin 225.161 62.900 73.090
PDAM Medan 35.580 16.895 15.715
PDAM Solo 9.144 5.914 4.950
Sumber : AUSAID, 2006 (berdasarkan data keuangan tahun 2004)

C.4.2 Struktur Tarif
Penetapan tariff pengolahan air limbah berbeda beda di setiap daerah. Hal
ini tergantung besarnya biaya investasi dan biaya operasional yang
dikeluarkan oleh SPALT yang digunakan. Berikut ini terdapat beberapa
contoh penetapan tarif air limbah di beberapa daerah di Indonesia.
1. Kota Medan
a. Tarif air limbah ditetapkan pada tahun 2002 berdasarkan Keputusan
Gubernur No. 539/1023/2002 tanggal 23 Desember 2002 dan SK
direksi PDAM Tirtanadi NO. 151/KPTS/2002 tanggal 25 November
2002. Sejak saat itu belum pernah ada perubahan tarif. Tarif yang
berlaku terlalu rendah dan tidak memadai untuk memenuhi
kebutuhan operasi dan pemeliharaan sehingga perlu disubsidi. Baik
oleh pemerintah daerah maupun oleh PDAM.
b. Tarif dikenakan per meter persegi bangunan dan dibagi menjadi dua
kelas. Kelas A adalah untuk pelanggan dengan konsumsi air minum
kurang dari 30 m
3
per bulan dan kelas B adalah untuk konsumsi lebih
dari 30 m
3
per bulan.
Tabel 4.8. Tarif Air Limbah Kota Medan
Klasifikasi Tarif Kelas A*) Rp/m
2
Kelas B **) Rp/m
2

A Sosial
1 Sosial Umum-S1 25 25
2 Sosial Khusus-S2 35 55
B Non Komersial
1 Rumah Tangga A-NA1 45 65
2 Rumah Tangga B-NA2 55 75
3 Rumah Tangga C-NA3 65 80
4 Rumah Tangga D-NA4 70 85
5
Kedutaan Besar/Konsulat-
NA5
80 100
Klasifikasi Tarif Kelas A*) Rp/m
2
Kelas B **) Rp/m
2

6 Institusi Pemerintah 55 95
C Usaha
1 Usaha Kecil N1 140 140
2 Usaha kecil N2 175 175
D Industry
1 Industr kecil IN1 170 140
2 Industry Besar IN2 175 175
E Komersial Khusus 575 170
Sumber : Keputusan Gubernur No. 539/1023/2002


2. Kota Banjarmasin
Tabel 4.9. Tarif Air Limbah di Kota Banjarmasin
Kategori Diskripsi
Tarif
(Rp/bulan)
A . Sosial
A 1. Sosial umum Hidran Umum, WC Umum, Tempat
ibadah termasuk Musholla dan
Langgar
5.000
A 2. Sosial Khusus Pusat layanan kesehatan, puskesmas,
rumah sakit umum, pusat rehabilitasi,
sarana social lainnya.
10.000
B NON-USAHA
B 1 Rumah Tangga A1 Rumah sederhana 5.000
B 2 Rumah Tangga A2 Rumah tidak sederhana & tidak
mewah
10.000
B 3 Rumah Tangga A3 Rumah mewah 25.000
B 4 Rumah Tangga A 4 Perumahan pemerintah/ABRI 25.000
C .USAHA
C. 1 Usaha kecil
C. 1.1 Usaha kecil I Kios, pedagangan depan rumah,
bengkel kecil. Usaha rumah tangga
kecil, tukang cukur
5.000
C. 1.2 Usaha kecil II Penjahit, usaha salon kecantikan di
rumah
20.00
C. 1.3 Usaha klecil III Praktek dokter di rumah, apotik,
gudang, WC umum di pasar, bengkel
las, penjualan air, kos-kosan, usaha
lain sesuai dengan ijin usahanya.
30.000
C. 2 Usaha menengah Rumah sakit swasta, motel, hotel
melati, depot, pusat pembelanjaan,
gedung bioskop, salon kecantikan,
pusat perbaikan, praktek, klinik
dokterm usaha makanan dan
minuman, tempat pencucian
kendaraan bermotor, usaha lainnya
50.000
Kategori Diskripsi
Tarif
(Rp/bulan)
sesuai dengan ijin usahanya.
C. 3. Usaha besar Hotel berbintang, restoran, mall,
supermarket, bank, kantor PLN dan
Telkom, dealer/Showroom
100.000
D .Industri
D. 1. Industry kecil/rumah Kerajinan, kerajinan rumah tangga,
usaha konveksi kecil, usaha
perternakan kecil, industri kecil
lainnya.
20.000
D. 2. Industri menengah Toko mebel. Toko batako batubata, 50.000
D. 3. Industri besar Perikanan, pabrik es, pabrik makanan
dan minuman, Bandar udara,
pelabuhan, industri besar lain sesuai
ijin usahanya

Pedagang di pasar
A. Pedagang emper 5.000
B. Pedagang meja 500
C. Kios 10.000
D. Toko 15.000
E. Grosir 20.000
Pembuangan Limbah Tinja
ke Instalasi Pengolahan
Limbah Tinja
10.000/m
3

Pengolahan Air Lindi dari
tempat pembuangan Akhir
Basirih
2.000/m
3

Sumber : PD PAL Kota Banjarmasin, 2007

3. DKI Jakarta
Tabel 4.10. Tarif Air Limbah di Kota Jakarta
No. Kategori Pelanggan
Tarif (Rp per m
2
) Luas
Lantai/bulan
I. Rumah Tangga
1. Rumah Tangga Tipe A 72
2. Rumah Tangga Tipe B 90
3. Rumah Tangga Tipe C 108
4. Rumah Tangga Tipe D 126
II Usaha kecil
1. Toko
2. Kantor (sampai 3 lantai) 108
3. Salon kecantikan 126
4. Katering 144
5. Restoran/rumah makan kecil 180
6 Motel 180
No. Kategori Pelanggan
Tarif (Rp per m
2
) Luas
Lantai/bulan
7 Usaha kecil lainnya 180
III Usaha Besar
1 Bangunan bertingkat 396
2 Bangunan bertingkat
termasuk restoran dan pusat
kebugaran
396
3 Pusat pembelanjaan/Mall 396
4 Hotel Bintang l, ll, dan lll 396
5 Apartement/kondominium 540
6 Hotel bintang lV 540
7 Pusat hiburan 576
8 Rumah sakit Swasta 576
9 Hotel bintang V 576
10 Usaha besar Lainnya 576
4 Sosial
1 Tempat ibadah 40
2 Puskesmas 85
Sumber : Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 2379 Tahun 2003

Anda mungkin juga menyukai