Anda di halaman 1dari 22

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tinggalan budaya merupakan saksi sejarah perjalanan bangsa Indonesia
mulai dari jaman ke jaman dengan berbagai kondisi perkembangan dunia. Salah
satu prioritas dalam pembangunan nasional adalah pelestarian (perlindungan,
pemanfaatan, pemeliharaan, dan pengembangan) terhadap warisan budaya sebagai
aset bangsa yang memiliki nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan ekonomi.
Kesenian merupakan salah satu perwujudan jati diri bangsa Indonesia yang
mempunyai ciri khas dari gambaran kehidupan masyarakat Indonesia dari
berbagai etnik. Penelitian ini dititikberatkan pada kesenian atau seni tradisi yang
hampir punah atau mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya, yaitu pada kesenian
tradisional. Maka pada penelitian ini sebagai fokus penelitiannya adalah mengenai
kesenian Ngangkat Goong Kolot di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak,
Propinsi Banten.
Bentuk kesenian ini dipilih dikarenakan adanya ancaman kepunahan.
Faktor-faktor eksternal dan internal tentunya mempunyai peran penting dengan
kondisi kesenian yang terancam punah tersebut, yaitu perlunya dukungan dari
berbagai pihak baik yang berasal dari dalam maupun dari luar lingkup di mana
kesenian itu hidup dan berkembang. Mengingat kesenian di Indonesia merupakan
salah satu kekayaan dan aset bangsa yang memiliki kekhasan yang tidak dimiliki
oleh bangsa lain, maka lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan mempunyai
kewajiban untuk melakukan penelitian pelestarian tinggalan budaya pada bidang
kesenian. Oleh karena itu sangat perlu untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi penyebab keterpurukan kondisi kesenian tersebut. Atas dasar
kondisi keterpurukan kesenian tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk
menjembatani permasalahan-permasalahan serta menemukan solusi pelestarian
terhadap kesenian tersebut. Hal ini dikarenakan kesenian mempunyai andil besar
dalam memperkokoh ketahanan budaya, serta dalam membentuk masyarakat yang
berbudaya.
Banten adalah salah satu provinsi yang ada di Indonesia dan sekaligus
nama suku bangsa yang terdapat di provinsi tersebut. Sebagian orang berpendapat
2

bahwa orang Banten adalah orang Sunda juga, karena kebudayaan yang
ditumbuhkembangkan oleh mereka pada umumnya sama dengan orang Sunda.
Dalam kebahasaan misalnya, orang Banten menggunakan bahasa yang mereka
sebut sebagai Sunda-Banten, yaitu bahasa yang menunjukkan beberapa perbedaan
dibandingkan dengan bahasa Sunda yang lain, terutama dalam intonasinya.
Lepas dari masalah kesamaan dan perbedaan kebudayaan yang ditumbuh
kembangkan oleh orang Sunda dan orang Banten itu, yang jelas bahwa Banten
adalah sebuah suku bangsa yang ada di Provinsi Banten. Sebagaimana masyarakat
suku bangsa lainnya di Indonesia, orang Banten juga mempunyai berbagai jenis
kesenian tradisional. Salah satu diantaranya yang kemudian menjadi lebel
masyarakat Banten adalah debus. Artinya jika seseorang mendengar kata debus,
maka yang terlintas dalam benaknya adalah Banten.

1.2 Batasan Masalah
Peranan kebijakan pemerintah dan kepedulian masyarakat sangat
menentukan kelangsungan hidup sebuah bentuk kesenian tradisi untuk tetap hidup
dan berkembang. Masing-masing komponen pemerintah, masyarakat, pewaris/
ahli waris, kaum agamawan, dan budayawan, mempunyai peranan sendiri-sendiri,
namun saling terkait dalam upaya pelestarian suatu tinggalan budaya. Penelitian
ini dimaksudkan untuk mengetahui sampai sejauh mana peranan masing-masing
komponen yang mempengaruhi eksistensi kesenian debus itu sendiri. Sehingga
perlu diketahui hal-hal sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi eksistensi sebuah kesenian
debus?
2. Sejauh mana masyarakat melihat kesenian debus sebagai bagian dari
kehidupannya?

1.3 Maksud Penelitian
Maksud dibuatnya penelitian ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Penulisan Karya Ilmiah pada semester VI Jurusan Karawitan Sekolah
Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung.


3

1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan eksistensi
kesenian debus yang ada di desa Cisungsang kecamatan Cibeber kabupaten Lebak
provinsi Banten. Penelitian ini diharapkan juga dapat memperkaya sumber
pengetahuan masyarakat akademis khususnya dan masyarakat non akademis pada
umumnya.

1.5 Teori Acuan
Sebagai teori acuan dalam penelitian, penulis menggunakan salah satu dari
teori 7 unsur kebudayaan menurut koentjaraningrat
1
, diantaranya :
1. Sistem religi dan kepercayaan
2. Bahasa
3. Sistem mata pencaharian
4. Sistem ilmu pengetahuan
5. Kesenian
6. Sistem perlengkapan dan teknologi
7. Sistem organisasi dan kemasyarakatan

1.6 Kerangka Pemikiran
Kesenian dapat tumbuh dan berkembang karena dipengaruhi oleh
masyarakat dan lingkungan di mana kesenian itu berada, misalnya kesenian
debus. Kesenian debus hadir karena adanya budaya masyarakat Agraris dan
kehidupan beragama yang dalam ini adalah agama islam. Hal tersebut tercermin
dalam perkakas yang digunakan dalam pertunjukan Debus, yaitu golok serta doa-
doa yang dipanjatkan oleh para pemain. Dalam upaya mendekati persoalan ini,
teori-teori ekologi kebudayaan dapat dipergunakan untuk menjelaskan berbagai
gejala yang menyertai keberadaan kesenian debus. Beberapa teori yang
digunakan, antara lain: Clifford Geertz tentang fenomena masyarakat petani di
Jawa (involusi pertanian), Robert Michael Dove dalam melihat sistem
perladangan pada masyarakat Dayak, dan Roy Ellen dalam melihat sistem
pertanian suku bangsa di Pulau Naolu (Maluku). Andrew Vada ketika meng-

1
Teori Antropologi oleh koentjaraningrat
4

counter hipotesis Clifford Geertz tentang sistem pertanian di Jawa, sering
dijadikan pijakan dalam menganalisis fenomena kebudayaan, seperti yang
disampaikan oleh Marvin Haris dan Leslie White, yang semuanya berpijak pada
Cybernetics Theory dari Talcot Parson.
Di dalam Cybernatics Theory, Talcot Parson menciptakan empat
kebutuhan fungsional manusia, yaitu: adaptation, goal attainment, integration,
dan latern pattern maintenance (AGIL). Adaptation, yaitu individu harus dapat
beradaptasi dengan dunia sosial sekelilingnya. Goal Attainment, yaitu individu
memiliki prioritas tujuan dalam bermasyarakat. Integration, yaitu kelangsungan
hidup ditentukan oleh bagaimana individu bermasyarakat. Sedangkan latent
pattern maintenance, yaitu bagaimana individu bisa merawat hubungan sosial
agar tetap terjaga, kemudian sistem sosial tersebut juga dengan teori cybernetics.
(kumpulan artikel sosial, ekonomi, dan budaya, yoyokemo.blogspot.com).
Struktur Model






Environment

Di dalam teori ekologi kebudayaan tidak dapat meninggalkan hal-hal yang
berkenaan dengan ciri dari budaya masyarakatnya, yang berpengaruh pada
pemahaman masyarakat terhadap kebudayaan (periperol). Di dalam beberapa hal,
kesenian yang ada di Jawa selalu dihubungkan dengan keberadaan mitos-mitos, di
mana di dalamnya terdapat relasi mitos yang menjadikan sebuah budaya ada.
Seperti halnya terdapat mitos-mitos yang menyertai adanya permainan debus
sebagai sebuah bentuk kesenian tradisional masyarakat agraris tersebut.
Budaya (sering juga disebut kebudayaan) adalah keseluruhan sistem
gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1984: 9; dan
1986: 180). Didalam teori kebudayaan menurut koentjaraningrat terdapat 7 unsur


Super Stucture (Idea)
Socio Environment
Tecno Environment
5

yang melandasi adanya sebuah kebudayaan yang mana didalamnya terdapat tata
kelakukan yang berfungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada
tindakan, kelakuan, dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Berhubungan
dengan hal itu, kesenian debus yang didalamnya terdapat pelaku seni dan
penikmat seni berperan sebagai objek kajian yang terdapat dalam tujuh unsur
kebudayaan menurut koentjaraningrat.

1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini lebih ditekankan pada pendekatan kualitatif, karena
pendekatan ini lebih mengandalkan kekuatan pengamatan pancaindera untuk
merefleksi fenomena budaya. Menurut Suwardi Endraswara dikatakan bahwa
(2003:16) :
Pendekatan kualitatif adalah lebih kepada pertimbangan pancaindera
secara akurat untuk melihat kebudayaan yang cenderung berubah-ubah
seiring perubahan zaman. Bahwa tradisi kualitatif cenderung peneliti
sebagai pengumpul data, mengikuti asumsi kultural, dan mengikuti data,
dengan kata lain penelitian kualitatif budaya lebih fleksibel, tidak memberi
harga mati, reflektif, dan imajinatif .

Data primer diperoleh melalui dokumentasi foto dan gambar, kemudian
data sekunder diperoleh dengan mencari informasi yang bersumber dari buku-
buku, tulisan-tulisan, maupun dari para informan dan narasumber.
Data-data yang diperoleh dipergunakan untuk mendeskripsikan hasil
penelitian ke dalam kehidupan masa sekarang, kaitannya dengan eksistensi
kesenian tersebut.
Menurut Bogdan dan Taylor (1975) dalam buku yang ditulis oleh Lexy J
Moleong yang berjudul Metode Kualitatif, bahwa metode kualitatif didefinisikan
sebagai pvrosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong
Lexy J, 2004:14-18). Untuk menjelaskan penelitian ini secara detil dan
komprehensif digunakan pendekatan Deskripsi kualitatif . Metode deskripsi
kualitatif adalah prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan
menggambarkan keadaan subyek atau obyek penelitian (seseorang, lembaga,
masyarakat, dan lain-lain), berdasarkan faktor-faktor yang tampak atau
sebagaimana adanya (Hadrawi Nawawi, 1983:63). Penelitian deskriptif ini tidak
6

hanya mendiskripsikan sesuatu atau fenomena yang sedang diteliti, tetapi juga
mancari makna apa dibalik hasil dari deskripsi tersebut. Metode penelitian yang
digunakan untuk kegiatan penelitian ini meliputi:

1. Pra Survey
Pra survey dilaksanakan dengan mengumpulkan data-data
kepustakaan dan mempelajari tulisan-tulisan yang berkaitan dengan obyek
penelitian sebagai acuan dalam melakukan kegiatan studi. Acuan atau
bahan-bahan yang diperlukan adalah yang berkaitan dengan fokus
penelitian yaitu tentang kesenian debus di desa Cisungsang, kecamatan
Cibeber, kabupaten Lebak, provinsi Banten.
2. Survey
Survey dilaksanakan untuk meninjau lokasi penelitian yang telah
ditentukan sesuai dengan tujuan dari penelitian. Kemudian melakukan
koordinasi dengan instansi/pihak terkait di daerah yang menjadi lokasi
penelitian, yaitu masyarakat yang terkait langsung dengan tujuan
penelitian. Adapun lokasi penelitian ini dilakukan di desa Cisungsang,
kecamatan Cibeber, kabupaten Lebak, provinsi Banten.
3. Pelaksanaan
Pelaksanaan penelitian, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan
data-data di lapangan dengan cara observasi dan wawancara secara
mendalam. Wawancara dilakukan untuk melengkapi data-data yang tidak
mungkin diperoleh melalui metode observasi. Sasaran wawancara meliputi
elemen-elemen masyarakat maupun individu masyarakat tertentu. Hal ini
dikarenakan masing-masing elemen tersebut memiliki kepentingan dan
peranan yang berbeda terhadap penelitian ini.Untuk mendokumentasikan
hasil observasi, dilakukan pengambilan foto-foto.

1.8 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak di
antaranya masyarakat umum, insan akademis, dan lembaga yang bergerak di
bidang kebudayaan untuk dijadikan salah satu kajian yang dapat memberikan
masukan serta pengetahuan.
7


1.9 Jadwal Penelitian
NO KEGIATAN TEMPAT TANGGAL
1.
Pengajuan Proposal
Penelitian
STSI Bandung
2. Kolokium STSI Bandung
3.


Pelaksanaan
Penelitian
Study Pustaka
(literature)

Perpustakaan STSI
Bandung dan Internet


Survai lokasi

Desa Cisungsang
Observasi dan
pengumpulan
data Lapangan
Desa Cisungsang


Penyusunan
Laporan
Sekertariat Mapala
Arga Wilis

Sidang
Penelitian
Sekertariat Mapala
Arga Wilis

Refisi
Penulisan
Sekertariat Mapala
Arga Wilis

4. Penyerahan Laporan
Sekertariat Mapala
Arga Wilis









8

BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1. Sekilas tentang Desa Cisungsang
2.1.1. Administratif
Kasepuhan Banten Kidul khususnya kasepuhan Cisungsang secara
administratif masuk dalam wilayah desa Cisungsang, kecamatan Cibeber,
kabupaten Lebak. Sampai tahun 2010, penduduk desa Cisungsang berjumlah
2.253 jiwa yang dikelompokkan ke dalam 627 Kepala Keluarga. Dengan
mayoritas penduduk memeluk Islam, seluruh masyarakat Cisungsang dalam
komunikasi sehari-hari menggunakan bahasa Sunda. Penggunaan bahasa,
tempat tinggal dan adat istiadat umum yang masih dipelihara menempatkan
mereka ke dalam kelompok suku Sunda. Sebagian besar penduduk
berpendidikan tamatan SD dan SLTP, dengan mata pencaharian utama
bertani sawah dan kebun.
Nama Cisungsang dibentuk dari dua kata: Ci dan Sungsang, secara
harafiah kata Ci adalah bentuk singkat dari cai yang dalam bahasa Sunda
berarti air. Sedangkan Sungsang, dalam bahasa Sunda berarti terbalik atau
berlawanan dari keadaan yang sudah lazim. Maka istilah Cisungsang
dapat diartikan air yang mengalir kembali ke hulu (mengalir secara terbalik).
Nama Masyarakat Adat Cisungsang pada awalnya berasal dari nama salah
satu sungai yang mengalir dari Talaga Sangga Buana. Talaga ini mengalir ke
9 (sembilan) sungai yaitu Sungai Cimadur, Ciater, Cikidang, Cisono,
Ciberang, Cikadu, Cicatih, Cisimeut, dan Cisungsang.

2.1.2. Topografi
Masyarakat Adat Cisungsang terletak di kaki Gunung Halimun, yang
dikelilingi oleh 4 (Empat) desa adat lainnya yaitu desa Cicarucub, Bayah,
Citorek, dan Cipta Gelar. Masyarakat Adat Cisungsang berkedudukan di
kecamatan Cibeber kabupaten Lebak provinsi Banten. Wilayah Masyarakat
Adat Cisungsang memiliki luas 2.800 km2 dengan jumlah penganut adat
Cisungsang 11.000 jiwa dan ini tersebar di kota-kota di Indonesia.

9









Peta Provinsi Banten

2.1.3. Jalur Transportasi
Akses masuk ke Desa Cisungsang dapat ditempuh melalui jalan
beraspal. Sebagian sudah menggunakan aspal hotmix, tetapi sebagian besar
masih berupa jalan desa dengan pasangan batu-batu belah dan pasir yang
disiram aspal. Dari pertigaan jalan antara Cikotok Cibareno, Desa
Cisungsang dapat ditempuh selama 10 menit, dengan menelusuri jalan di
sepanjang pinggiran bukit dan jurang terjal. Untuk menuju ke Masyarakat
Adat Cisungsang memerlukan waktu 5 jam dari kota Rangkasbitung Kab.
Lebak dan dari Kota Serang - Ibu Kota Provinsi Banten dengan jarak tempuh
200 Km. Kondisi jalan menuju Masyarakat Adat Cisungsang cukup baik
dan dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat.

2.1.4. Kebudayaan Masyarakat Cisungsang
Bahasa daerah yang digunakan Masyarakat Adat Cisungsang yaitu
Bahasa Sunda. Sistem pemerintahan yang mereka anut terdapat 3 sistem,
yaitu : sistem pemerintahan negara, sistem kasepuhan/hukum adat, dan sistem
agama /hukum Islam. Masyarakat Adat Cisungsang terdiri dari 11 (sebelas)
Rukun Tetangga (RT) dan 9 (sembilan) Rukun Kampung (RK) yaitu terdiri
dari Kampung Cipayung, Lembur Gede, Pasir Kapundang, Babakan, Sela
Kopi, Pasir Pilar, Gunung Bongkok, Suka Mulya, dan dipimpin oleh seorang
Kepala Adat, yang penunjukannya melalui proses wangsit dari karuhun, yaitu
Abah Usep yang sekarang berusia 38 tahun, dimana beliau mulai memegang
tampuk pimpinan pada usia 19 tahun. Abah Usep ini selain menjadi kepala
10

adat beliau mempunyai keahlian di bidang supranatural yaitu bisa membaca
pikiran orang, dalam menjalankan pemerintahannya Abah Usep dibantu oleh
87 Rendangan artinya orang yang ditunjuk secara turun temurun yang
merupakan perwakilan dari kepala adat.
Mata pencaharian Warga Desa Cisungsang sebagian besar bertani dan
berdagang, namun setelah dipimpin oleh Abah Usep, anak muda Desa
Ciungsang sebagian besar menjadi pekerja buruh ke kota-kota terutama ke
Jakarta dan Sukabumi.
Peralatan Hidup dan Teknologi Masyarakat Adat Cisungsang sudah
mengenal teknologi ditandai dengan adanya penerangan listrik, bentuk rumah
yang sudah mengikuti perkembangan, bertani sudah menggunakan alat-alat
yang modern dan media elektronik sudah ada seperti TV, Radio, Tape
Recorder, Telephon dan Satelit. Tetapi bentuk rumah yang sebenarnya adalah
rumah kayu berbentuk panggung dan untuk memasak masih menggunakan
tungku (hawu) dan diatasnya terdapat tempat untuk menyimpan alat-alat
dapur disebut Paraseuneu.
Religi / Kepercayaan Masyarakat Adat Cisungsang menganut
Agama Islam dan Hukum Adat, dalam perkembangan kehidupan sehari hari
mereka juga menggunakan Syariat Islam salah satu contoh mereka biasa
melakukan shalat. Namun sebagian besar lebih percaya atau lebih meyakini
pada hukum adat. Mereka lebih percaya dengan adanya wangsit dari karuhun
melalui Kepala Adat (Abah Usep).
Masyarakat Adat Cisungsang rata-rata berpendidikan sampai SD
dan SMP tapi ada juga beberapa yang sudah sarjana.
Masyarakat Adat Cisungsang sangat mengagungkan Padi (npare)/
Sripohaci/ Dewi Sri, dengan keyakinan bahwa padi ini sebagai sumber
kehidupan mereka maka masyarakat ini selalu mengadakan upacara-
upacara/ritual-ritual untuk mengagungkan padi diantaranya dari menanam
padi sampai menyimpan padi harus mengadakan selamatan yang disebut
dengan Ngamumule Pare (memelihara padi).



11

BAB III
EKSISTENSI KESENIAN DEBUS
3.1 Hakekat Debus
Permainan debus merupakan bentuk kesenian yang dikombinasikan
dengan seni tari, seni suara dan seni kebatinan yang bernuansa magis. Kesenian
debus biasanya dipertunjukkan sebagai pelengkap upacara adat, atau untuk
hiburan masyarakat. Pertunjukan ini dimulai dengan pembukaan (gembung), yaitu
pembacaan sholawat atau lantunan puji-pujian kepada Nabi Muhammad, dzikir
kepada Allah, diiringi instrumen tabuh selama tiga puluh menit. Acara selanjutnya
adalah beluk, yaitu lantunan nyanyian dzikir dengan suara keras, melengking,
bersahut-sahutan dengan iringan tetabuhan. Bersamaan dengan beluk, atraksi
kekebalan tubuh didemonstrasikan sesuai dengan keinginan pemainnya : menusuk
perut dengan gada, tombak atau senjata almadad tanpa luka; mengiris anggota
tubuh dengan pisau atau golok; makan api; memasukkan jarum kawat ke dalam
lidah, kulit pipi dan anggota tubuh lainnya sampai tebus tanpa mengeluarkan
darah; mengiris anggota tubuh sampai terluka dan mengeluarkan darah tapi dapat
disembuhkan seketika itu juga hanya dengan mengusapnya; menyiram tubuh
dengan air keras sampai pakaian yang dikenakan hancur lumat namun kulitnya
tetap utuh. Selain itu, juga ada atraksi menggoreng kerupuk atau telur di atas
kepala, membakar tubuh dengan api, menaiki atau menduduki tangga yang
disusun dari golok yang sangat tajam, serta bergulingan di atas tumpukan kaca
atau beling. Atraksi diakhiri dengan gemrung, yaitu permainan alat-alat musik
tetabuhan.

3.2 Sejarah Kesenian Debus
Debus merupakan kesenian asli masyarakat Banten yang diciptakan pada
abad ke-16, yaitu tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin
(1532-1570), dalam rangka penyebaran agama Islam. Agama Islam diperkenalkan
ke Banten oleh Sunan Gunung Jati, salah satu pendiri Kesultanan Cirebon, pada
tahun 1520, dalam ekspedisi damainya bersamaan dengan penaklukan Sunda
Kelapa. Kemudian, ketika kekuasaan Banten dipegang oleh Sultan Ageng
Tirtayasa (1651-1682), debus difokuskan sebagai alat untuk membangkitkan
12

semangat para pejuang dalam melawan penjajah Belanda.
2
Apalagi, di masa
pemerintahannya tengah terjadi ketegangan dengan kaum pendatang dari Eropa,
terutama para pedagang Belanda yang tergabung dalam VOC. Kedatangan kaum
kolonialis ini di satu sisi membangkitkan semangat jihad kaum muslimin
Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata,
yaitu terjadinya percampuran akidah dengan tradisi pra-Islam. Hal ini yang
terdapat pada kesenian debus.
Debus atau Almadad diajarkan oleh seorang ulama yang banyak
mengguankan ilmu Hikayat (ilmu Tarekat Qodariah), ada persamaan Debus di
daerah Banten dengan debus yang tumbuh di daerah Aceh dengan sebutan
Deboah. Kemunginan besar asal kata debus juga dari kata Deboah. Syech
Almadad dari Aceh banyak mengajarkan ilmu Hikayat (tarekat) sehingga ilmu ini
banyak tersebar di daerah Banten. Pada abad ke 16 17 M. Debus berkembang
dikalangan laskar Banten. Kadang kadang Sultan Abul Fathi Abdul Satah turut
memimpin debus di kalangan prajurit Banten. Mereka dipimpin oleh beliau
melakukan perang-perangan dengan menggunakan alat yang tajam dan runcing,
seperti tombak dan pedang, dengan keyakinan yang kuat mereka percaya tidak
ada suatu benda tajam apapun yang dapat melukai kulitnya kalau tidak
dikehendaki oleh Allah SWT, kemudian permainan ini teresap pada masyarakat
sehingga terciptanya kesenian debus samapai sekarang.
3.4 Nilai Budaya
Permainan Debus yang dilakukan oleh masyarakat banten, jika dicermati
secara mendalam didalamnya terkandung nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan
dalam kehidupan bersama. Nilai itu adalah nilai religius.
Nilai religius tercermin dalam doa yang dipanjatkan oleh para pemain.
Doa tersebut bertujuan agar para pemain selalu di lindungi dan selalu
mendapatkan keselamatan dari Allah SWT selama menyelenggarakan permainan
Debus.



2
http://www.banten.co.id
13

3.5 Perbandingan Manfaat dan Pandangan Debus dari Zaman ke Zaman
Dilihat dari sejarahnya, pada zaman penjajahan Belanda debus digunakan
sebagai alat untuk melawan para penjajah, khususnya di wilayah Banten. Pada era
globalisasi ini kesenian debus banyak digunakan sebagai pelengkap hiburan pada
acara seren taun. Artinya, ada suatu perubahan fungsi dari kesenian debus sesuai
dengan perkembangan zaman.
Sejarah lain mengatakan bahwa kesenian debus muncul karena adanya
keinginan Nyi Pohaci (dewi Sri) untuk di Reremokeun atau di pesta kan oleh
kesenian yang sederhana. Berikut ini kutipan dari Apih Adeng sebagai
narasumber:
Pedah Nyi Pohaci hayang di reremokeun ku kasenian anu teu
nyusahkeun, nyaeta anu dijieuna tina awi. Nu ka hiji, hayang di
tanggeuy ku rengkong, ka dua hayang digiring ku angklung, tilu
hayang di pirig ku suling, opat hayang di rame-rame ku calung, ka
lima ku celempung, oge teu kaliwat haying dipapag ku kasenian
Debus

Kutipan di atas merupakan mitos yang ada di desa Cisungsang, sehingga
semua kesenian itu merupakan satu paket pertunjukan yang selalu ditampilkan
pada saat seren taun desa Cisungsang.
Dari itu semua, pada zaman sekarang banyak orang yang berasumsi bahwa
orang yang bermain debus identik dengan hal-hal gaib ketika orang itu melihat
dengan kacamata fisik (luar). Tapi ketika kita lihat pada kacamata sejarahnya,
seperti yang tertulis pada pembahasan sebelumnya, pemain debus memanjatkan
doa-doa kepada Tuhan dan melakukan puasa serta proses-proses lainnya yang
memang tidak ada hubungannya dengan ilmu hitam (black magic).

3.6 Kesenian Debus menembus zaman
Kesenian debus berkaitan dengan budaya masyarakat agraris, khususnya
yang berkaitan dengan upacara ritual panen padi. Jenis kesenian tersebut
merupakan jenis kesenian tradisional yang eksistensinya sangat baik di daerahnya,
bahkan bukan hanya di habitat kesenian itu senidiri, sekarang sudah merambah ke
daerah-daerah luar Banten, yaitu di daerah Jawa Barat.
14

Edward Shils dalam bukunya Tradition (1981) yang ditulis dalam makalah
Nunus Supardi yang berjudul Pendekatan Dalam Memprakirakan Potensi
Sumber Daya Manusia (SDM) Kesenian Tradisional, mengatakan bahwa:
Sekurang-kurangnya tiga generasi dalam penerusan atas sesuatu hal,
untuk kemudian dapat digolongkan hal tersebut sebagai tradisi. Sesuatu
akan disebut tradisi bila dianggap oleh masyarakatnya memberikan
manfaat yang masih relevan dengan kemajuan zamannya. Hal ini karena
tradisi memiliki daya ikat yang kadang-kadang sangat hebat, sehingga
yang terlibat di dalamnya menganggap sesuatu itu pantas untuk diteruskan
dan kemudian mengikatkan diri dengannya. (2000:1-2).

Kesenian tradisional juga sebagai kesenian di mana di dalamnya kita dapat
memahami berbagai ajaran yang terkandung di dalamnya, seperti hubungan antar
individu dalam kelompoknya, hubungan manusia dengan lingkungan alam, dan
hubungan manusia dengan Tuhannya. Begitu pula dalam kesenian debus, di mana
dalam kesenian tersebut adanya makna dan gambaran tentang kehidupan budaya
masyarakat agraris. Kesenian tersebut masih ada oleh karena adanya sebuah
kepercayaan masyarakat serta kaitannya dengan kepentingan individual dalam arti
kepuasan pribadi. Kesenian debus di Kecamatan Cibeber kondisinya masih tetap
eksis. Hal ini terjadi karena pelaku seni untuk kesenian ini makin banyak. Bukan
hanya dikalangan orang tua, tapi juga di kalangan anak muda. Disamping itu juga
kesenian debus merupakan inisiatif masyarakatnya untuk terus melestarikan dan
terus mempertunjukan kesenian debus bukan hanya pada acara seren taun (panen
padi) saja, tetapi juga pada acara-acara biasa, seperti arak-arakan khitanan masal,
memperingati hari kemerdekaan nasional, dan acara-acara yang sifatnya
insidensial.
Endang Caturwati dalam bukunya yang berjudul Seni Dalam Dilema
Industri, mengatakan bahwa:
Perkembangan suatu budaya, tentu sedikit atau banyak dipengaruhi oleh
masyarakat pendukungnya yang merupakan suatu proses. Dalam arti bahwa ia
merupakan suatu gejala perubahan, gejala penyesuaian diri, serta gejala
pembentukan yang semuanya disebut sebagai proses sosialisasi. Proses sosialisasi
ini terjadi melalui adanya interaksi sosial yang pembentukannya ditentukan oleh
beberapa faktor antara lain adalah:
1. waktu dan zaman;
15

2. sebab dan tujuan;
3. kebutuhan;
4. harapan;
5. keyakinan;
6. paksaan, dan lain sebagainya. (Caturwati Endang:2004:4).

Perkembangan kesenian debus dari waktu ke waktu memang eksistensinya
sangatlah baik, yang awalnya bila dilihat dari sejarah kesenian ini merupakan ilmu
kebatinan yang digunakan sebagai tameng untuk perang dalam upaya penyebaran
agama islam. Namun setelah berkembangnya zaman hingga kini kesenian debus
tetap ada dan terus berkembang, tentunya hal tersebut dipengaruhi oleh sebab dan
tujuan dari pelaku kesenian debus itu sendiri. Beberapa sebab yang dapat
ditangkap oleh penulis dari berbagai referensi diantaranya, kesenian debus
berkembang karena dalam segi fungsi sudah banyak berubah, dari yang awalnya
sebagai tameng perang kini berganti sebagai seni pertunjukan. Hingga dalam
bentuk pertunjukannya pun banyak elemen-elemen lainnya yang mendukung
menariknya kesenian tersebut. Misalnya terdapat tari-tarian, dibarengi angklung,
dog-dog lojor, dsb sehingga membuat pertunjukan ini lebih meriah. Selain itu
juga, kebutuhan, harapan, keyakinan, serta pakasaan akan pentingnya kesenian
debus dari para pelaku seninya dan habitat dimana kesenian itu berada sangatlah
berperan, dalam hal ini mislanya pada acara seren taun desa Cisungsang. Dalam
satu paket pertunjukannya harus lah terdapat kesenian debus. Karena itu sudah
menjadi kewajiban dari kepala adat desa Cisungsang (Abah Usep) harus
mempertunjukan kesenian debus yang mana sebagai icon dari daerah Banten.
Pada kesenian debus, banyaknya dukungan masyarakat disebabkan oleh
kenyataan bahwa eksistensi kesenian debus hingga saat ini banyak diminati,
khususnya oleh kalangan pemuda. Fungsi vital debus sudah bergeser, yang dahulu
sebagai rutinitas hiburan saat panen padi sedangkan saat ini sebagai permainan
yang dilakukan oleh generasi muda sebagai ajang mempertunjukan. Di dalam
kehidupan kesenian tradisional dalam perjalanannya dipengaruhi oleh beberapa
elemen masyarakat, yaitu:
1. Seniman atau pelaku seni;
2. Pembina atau pengelola seni;
16

3. Masyarakat penikmat seni;
Dari berbagai keterangan-keterangan yang didapat, penulis dapat
menyimpulkan bahwa kesenian debus berkembang dengan baik, karena adanya
kerjasama dari masing-masing elemen tersebut. Seniman atau pelaku seni adalah
seseorang yang selalu melakukan dan menjaga eksistensi kesenian. Apabila
seseorang menjadi pelaku seni maka kesenian itu akan tetap ada dan hidup apabila
mendapat dukungan dari Pembina seni. Dalam hal ini peran pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah sangat dibutuhkan sebagai Pembina dan pengelola
seni. Persoalannya apabila kedua elemen tersebut tidak ada dukungan dari
masyarakat penikmat seninya, maka lambat laun kesenian tradisional itu dalam
hal ini kesenian debus akan punah karena tidak ada masyarakat penikmat seni
tersebut. Pengelola seni atau Pembina seni sangat berperan dalam perkembangan
kesenian ini. Dengan adanya pengelola atau Pembina maka potensi-potensi yang
ada dapat terus dijaga dan dikembangkan, sehingga tetap hidup dan eksis.
Pengelolaan yang baik dan dukungan sarana yang memadai dapat menunjang
kehidupan dan perkembangan kesenian tersebut.

















17

BAB IV
KESIMPULAN
Hasil penelitian membuktikan bahwa kesenian debus dikategorikan salah
satu kesenian yang mempunyai tingkat eksistensi cukup baik. Kesenian ini
berkaitan dengan budaya bertanam padi. Suatu hal yang lazim terdapat pada
Negara agraris seperti Negara Indonesia. Hal itu terbukti dari perkakas yang
digunanakan pada kesenian debus. Selain itu dilihat dari sudut pandang
pertunjukannya, ada beberapa alat kesenian yang terbuat dari bamboo seperti
rengkong, angklung, suling, calung dan celempung. Hal itu membuktikan bahwa
kesenian debus tumbuh dan berkembang didaerah agraris.
Dilihat dari sudut pandang sejarahnya, kesenian ini tumbuh pada saat
penyebaran agama islam di banten. Saat itu masyarakat banten masih memegang
kepercayaan sunda wiwitan. Artinya mereka belum memeluk agama islam.
Setelah masuknya ajaran islam di Banten pada saat pemerintahan Sultan
Hasanudin, kesenian debus dijadikan sebagai tameng untuk memperluas ajaran
Islam.
Relalita yang terjadi sekarang, khususnya daerah Banten selatan
banyaknya yang meminati kesenian ini dikalangan pemuda. Banyak para pemuda
yang ingin mempelajari kesenian ini. Berdasarkan hasil survai lapangan penulis,
memang kesenian ini bisa di pelajari, tentunya dengan beberapa syariat yang
harus di jalani. Seperti menghafal mantra-mantra atau lapaz-lapaz Al-quran yang
di berikan oleh sesepuh disana. Selain itu juga harus mandi malam dan berpuasa.
Anggapan-anggapan tentang ilmu hitam (black magic) pada kesenian ini
tidak benar, karena memang seperti yang telah di jelaskan diatas sesepuh disana
menggunakan lapaz-lapaz dari al-quran. Karena tanpa seizin yang maha kuasa
ilmu kebatinan itu tidak mungkin dapat dikuasai.







18

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Saepul Proposal penelitian Musik Keroncong, Arga Wilis
STSI Bandung, Bandung: 2010
Caturwati Endang Seni Dalam Dilema Industri. Yayasan Aksara
Indonesia. Yogyakarta:2004
Koentjaraningrat Sejarah Teori Antropologi,UI-Press, Jakarta:2007
Muder, Niels Mistisme Jawa-Ideologi di Indonesia. LKIS
Yogyakarta. Yogyakarta: 2001
Suwardi, Endraswara Metode Penelitian Kebudayaan, Gadjah Mada
University Press.Yogyakarta: 2003.
Sumber (Sejarah Debus) : http://ebanten.com/kesenian-debus-banten/
(online ; 05 April 2011, 12:04)
Sumber (Sejarah Debus): http://bantenkaos.com/?p=220
(Online : 4 April 2011, 09:15)















19

DAFTAR NARASUMBER
1. Apih Adeng Jaya Sasmita (sesepuh dan pelaku seni)
2. Bpk. Deden (pelaku seni)
3. Masyarakat setempat
4. Kelapa desa Cisungsang, kecamatan Cibebeber, kabupaten Lebak, provinsi
Banten



























20


BIODATA PENULIS
Nama : Wisnu Wirandi
Tempat, tanggal Lahir : Lebak, 02 Januari 1991
Agama : Islam
Status : Mahasiswa
Jurusan : Karawitan
NIM : 09 222 03
Alamat : Jl. Pramuka No.05 Kp. Pasir Laban RT.01/01 Desa
Cikotok Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak
Provinsi Banten
Angkatan : Kabut Fajar
No telepon : 087871200216 / 085624172923




















21



Lampiran Foto-foto :












Rumah Adat Kasepuhan Cisungsang













Apih Adeng Jaya Sasmita



22













Narasumber dan Penulis















Bapak Deden

Anda mungkin juga menyukai