Anda di halaman 1dari 15

Mengenal “Developmental State”1

Belajar dari Pengalaman Negara-negara Asia Timur Yogi Suwarno2

Memahami paradigma developmental state dalam konteks globalisasi adalah penting,


terlepas dari kisah kesuksesannya di beberapa negara serta kegagalannya di
beberapa negara lain, tetapi lebih untuk mengkaji lebih jauh bagaimana konsep ini
memandu pembangunan ekonomi ke arah kinerja yang lebih baik. Meskipun pengertian
globalisasi sangat luas, akan tetapi menempatkan isu ini secara gegabah akan
membuat salah dalam penilaian dan menentukan penyelesaian masalah. Belajar dari
beberapa pengalaman, sebagai sebuah teori, konsep developmental state telah sampai
pada situasi yang mempertanyakan keandalan dan ketahanannya. Banyak yang percaya
bahwa developmental state telah sangat berhasil di negara-negara Asia Timur, tapi
sayangnya tidak di negara-negara lainnya, terutama di negara-negara Asia Tenggara.
Untuk memahami lebih lanjut apa yang salah dengan negara-negara Asia Tenggara,
tulisan ini memfokuskan diskusi pada kasus Indonesia. Oleh karenanya tulisan ini
ditujukan untuk memahami beberapa isu mendasar yang berhubungan dengan kebijakan
pembangunan Indonesia. Dan juga terutama untuk mencari tahu apa yang salah dengan
developmental state di saat krisis ekonomi melanda di tahun 1997. Mulai dengan
menghubungkan konsep developmental state dengan isu globalisasi dan demokrasi
untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai implementasi developmental state di
Indonesia. Dengan demikian sistematika dalam tulisan ini akan didasarkan pada
beberapa isu penting yang berhubungan dengan kebijakan pembangunan, yaitu 1.
Developmental State 2. Globalisasi 3. Peranan Pemerintah 4. Diskusi pendek
mengenai negara-negara Asia Timur & Tenggara 5. Kasus Indonesia
Tulisan ini dimuat pada Bunga Rampai Administrasi Publik, 2006. Dosen Tetap pada
STIA-LAN Jakarta, menyelesaikan program Master of Arts in Public Administration
pada GSPA-ICU Tokyo pada tahun 2005.
2 1

1
Pada akhirnya akan didapatkan pemahaman umum mengenai alasan dibalik kesuksesan
developmental state di negara-negara Asia Timur, sementara di negara Asia Tenggara
(dalam hal ini Indonesia) tidak. Pada kesimpulan akhir akan ditemukan apa saja
yang menyebabkan sukses atau gagalnya developmental state di Indonesia.

Apa yang dimaksud dengan Developmental State? Developmental state adalah suatu
paradigma yang mempengaruhi arah dan kecepatan pembangunan ekonomi dengan secara
langsung mengintervensi proses pembangunan—yang berbanding terbalik dengan cara
berpikir yang mengandalkan kekuatan pasar—dalam mengalokasikan sumber daya
ekonomi. Paradigma ini membangun tujuan substantif sosial dan ekonomi yang memandu
proses pembangunan dan mobilisasi sosial. Karakteristik dari paradigma ini adalah
negara yang kuat, peran dominan pemerintah, rasionalitas teknokratik dalam
pembuatan kebijakan ekonomi, birokrasi yang otonom dan kompeten serta terlepas
dari pengaruh kepentingan politik. Secara detil dalam Johnson’s formulation (Pei-
Shan Lee, 2002), bahwa yang dimaksud dengan developmental state adalah salah satu
dari di bawah ini :: 1. memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dan produksi
(sebaliknya dari konsumsi dan distribusi) sebagai tujuan fundamental dari kegiatan
negara. 2. merekrut aparat birokrasi ekonomi yang bertalenta tinggi, kohesif dan
disiplin dengan basis merit. 3. mengkonsentrasikan talenta birokrasi ke dalam
lembaga sentral (seperti MITI di Jepang) yang bertanggung jawab atas tugas
transformasi industrial. 4. melembagakan hubungan antar birokrasi dengan elit
bisnis dalam rangka pertukaran informasi dan mendorong kerjasama dalam keputusan-
keputusan penting

berdasarkan pembuatan kebijakan yang efektif. 5. melindungi jaringan pengambil


kebijakan dari tekanan kepentingan dan tuntutan lainnya. 6. mengimplementasikan
kebijakan pembangunan dengan kombinasi jaringan kerja pemerintah dengan dunia
industrial dan kontrol publik atas sumber daya sumber daya, seperti keuangan.

Inti dari paradigma ini adalah peranan dominan lembaga eksekutif. Yang dimaksud
dengan lembaga eksekutif disini adalah otoritas administratif dan kekuatan
politik. Jadi paradigma ini dimaksudkan untuk menegaskan peran pemerintah dalam 2
ekonomi pasar. Kinerja ekonomi dibangun melalui penataan kelembagaan yang kuat
yang dilakukan oleh pemerintah. Ini biasa dikenal dengan proses pembangunan
ekonomi terrencana. Pemerintah menyelenggarakan ekonomi terrencana ini melalui
lembaga yang ditunjuk khusus yang bertanggung jawab atas tugas mengarahkan
pembangunan itu sendiri, dan menjalankan beragam alat kebijakan untuk memastikan
kegiatan bisnis tetap terpelihara dan terkelola dalam kerangka kepentingan
nasional. Hal ini dianggap sebagai prasyarat penting dalam mengelola proses
pembangunan. Namun demikian dalam menjalankan konsep developmental state, adalah
penting untuk memiliki birokrasi yang bertanggung jawab dan kompeten. Dalam
hubungan ini Moon (2002) menjelaskan bahwa organisasi harus terdiri atas
individuindividu yang sangat mampu (capable) yang direkrut melalui persaingan yang
terbuka. Mereka ini memiliki kemampuan analitik dan kompetensi teknis. Ini adalah
sebuah keharusan, karena apabila tidak terpenuhi maka paradigma ini tidak akan
dapat membangun ekonomi dengan arah yang benar. Beeson (2002) menjelaskan bahwa
kunci untuk menjalankan development state yang efektif adalah kapasitas negara
(state capacity), yaitu kemampuan untuk memformulasikan dan mengimplementasikan
kebijakan pembangunan. Selain birokrasi yang kompeten juga diperlukan hubungan
yang efektif dengan dunia usaha sebagai titik penting dalam inisiatif-inisiatif
pembangunan yang berhasil.

Globalisasi: Kesempatan atau Ancaman? Berbicara globalisasi adalah bukan berbicara


mengenai sesuatu yang usang, karena justru fenomena ini tidak terbantahkan. Ada
yang berpendapat bahwa ini adalah sebuah tantangan untuk meretas kehidupan masa
depan yang lebih baik, sementara yang lainnya mensikapinya secara skeptik.
Sebagaimana Mas’oed menjelaskan bahwa terlepas dari adanya perbedaan sudut
pandang, kita harus memahami karaktersitik dan dinamika globalisasi dan dampaknya
terhadap kehidupan politik, ekonomi dan msyarakat pada umumnya. Sebuah definisi
dari Mas’oed yang menjelaskan bahwa globalisasi adalah proses menyatukan dunia
melalui peningkatan modal, produk, jasa, ide, dan orang-orang melintasi batas-
batas internasional. Dalam konteks ekonomi, globalisasi menyatukan pasar dan
menghapus batas kebangsaan. Robert Keohane and Joseph Nye (Yamada, 2002: 61)
menulis bahwa globalisasi memiliki dua karakteristik yang istimewa yaitu jaringan
koneksi dan jarak 3
multikontinental. Jaringan yang dimaksud adalah globalisasi berhubungan tidak
dalam lingkaran yang sederhana, namun dalam hubungan yang kompleks. Ohmae (1995)
percaya bahwa globalisasi biasanya dipandang sebagai fenomena sosio-ekonomi yang
terwujud dalam perubahan struktural dalam lingkup dan skala perubahan budaya,
aliran modal dan semacamnya. Pada taraf tertentu globalisasi sebenarnya produk
dari kecenderungan bahwa pasar meluas karena perusahaanperusahaan dan orang-orang
memanfaatkan kesempatan-kesempatan usaha. Namun globalisasi tidak harus selalu
berhubungan dengan urusan ekonomi semata, melainkan juga dengan masalah politik
dan interaksi antara urusan ekonomi dan politik, dan tentunya juga faktor budaya
sosial yang terus berubah. Globalisasi juga membawa dampak ekonomis dan politis
pada level nasional maupun internasional. Berikut adalah Washington Consensus
sebagai salah satu bagian penting dalam globalisasi ekonomi, yang terdiri atas 10
proposisi, yaitu : 1. Disiplin fiskal 2. Mengarahkan pengeluaran publik (public
spending) ke bidang yang menawarkan pengembalian ekonomi yang tinggi dan
distribusi pendapatan yang lebih baik. 3. Reformasi pajak 4. Liberalisasi suku
bunga 5. Nilai tukar yang bersaing 6. Liberalisasi perdagangan 7. Liberalisasi FDI
(Foreign Direct Investment) 8. Privatisasi 9. Deregulasi 10. Melindungi hak-hak
properti

Kesepuluh poin tersebut di atas memperkuat dan menegaskan kembali globalisasi di


bidang ekonomi. Dapat dikatakan bahwa ekonomi adalah pemicu globalisasi. Pemicu
lainnya dalah politik yang telah mengubah peta kekuatan di dunia. Oleh karenanya
fenomena globalisasi seharusnya dijadikan sebagai sebuah tantangan dalam membangun
dan memperbaiki kehidupan ekonomi. Namun demikian nampaknya yang justru muncul
adalah kesenjangan antara si kaya dengan si miskin, baik secara individu maupun
lembaga. Untuk memahami dan menjelaskan faktor kesuksesan dan kegagalan
developmental state, kita harus menempatkan isu ini ke dalam konteks globalisasi,
4
sehingga akan muncul lebih banyak variabel lain yang muncul mempengaruhi atau
bahkan menghambat developmental state itu sendiri.

Tantangan Globalisasi Paling tidak ada dua isu besar di seputar konsep
developmental state, yaitu demokatisasi dan masa depan developmental state itu
sendiri. Suka atau tidak, demokrasi sebenarnya melemahkan kekuasaan negara yang
sebelumnya sangat besar. Demokrasi tidak hanya meruntuhkan rejim kolot dari posisi
kekuasaan dan dominasi politik yang telah berlangsung lama. Transisi rejim
penguasa dari authoritarian ke demokrasi juga telah mengurai “kerumitan” selama
ini di mana fondasi institusional developmental state terhambat dan dirusak oleh
permainan politik dan konstitusional. Pertanyaan lebih jauh adalah seperti halnya
teka-teki klasik bagi pakar ekonomi politik: apakah demokrasi lebih lemah
dibanding authoritarian dalam konteks kepemerintahan ekonomi? Karena fakta
menunjukkan bahwa sejak angin demokratisasi dihembuskan, terdapat penurunan
kehidupan ekonomi yang signifikan. Sehingga demokratisasi sebagai sebuah proses
global dipandang relatif kontra produktif dengan kemajuan kehidupan ekonomi. Yang
terjadi di Indonesia salah satunya adalah lembaga-lembaga internasional terlalu
turut campur dan menekan pihak Indonesia untuk mengimplementasikan kebijakan
ekonomi sesuai selera mereka. Variabel non-ekonomi seperti demokrasi, HAM dan
sebagainya dijadikan instrumen prasyarat sebelum mendapatkan bantuan finansial.
Lembaga internasional pada dasarnya telah mengambil alih fungsi negara
(kedaulatan) dalam hal penentuan kebijakan ekonomi. Selanjutnya Beeson (2002)
menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi (economic development), terlepas dari
pertumbuhan ekonomi (economic growth) harus mengkombinasikan elemen pertumbuhan
berlanjut (self-sustaining growth), perubahan struktural dalam pola produksi,
pengembangan teknologi, modernisasi sosial, politik dan institusional, dan yang
terakhir adalah perbaikan kondisi manusia. Menurut Mas’oed, adalah menarik bahwa
sebenarnya ekonomi global atau masyarakat global yang murni itu belum eksis. Pada
saat proses globalisasi berjalan dan mengarah sangatlah tergantung dari bagaimana
kita menolak atau menerima proses tersebut. Pada akhirnya semua negara akan
terkena dampak proses-proses global, tetapi reformasi ekonomi harus tetap
berjalan, yang salah satunya bias terwujud apabila ada 5
siatuasi kondusif dalam hubungan internasional. Ini tidak hanya membutuhkan
kerjasama internasional, tetapi juga itikad baik dan itikad politik dari pemimpin.
Tentunya pembangunan ekonomi yang sukses terantung pula pada aksi developmental
state dengan pemanfaatan kapasitas negara yang efektif untuk mencapai tujuan
pembangunan. Reformasi ekonomi harus meliputi kebijakan ekonomi makro dan pembuat
kebijakan itu sendiri. Dalam taraf tertentu negara tetap melanjutkan peran
pentingnya dalam melanjutkan pembangunan ekonomi nasional.

Pengalaman Negara Asia Timur Pengalaman Jepang—dan kebanyakan negara yang


menirunya seperti Taiwan dan Korea Selatan—adalah contoh yang dapat menjelaskan
cara kerja paradigma developmental state. Beeson (2002) menjelaskan bahwa inti
dari developmental state Jepang adalah birokrasi yang kompeten yang berkomitmen
untuk mengimplementasikan proses pembangunan ekonomi yang terrencana. Di negara-
negara tersebut, kapasitas negara (state capacity) yang mapan atau kemampuan untuk
melaksanakan kebijakan industri yang beragam. Mereka juga mempunyai birokrasi yang
ekstensif dan relatif efisien, serta diisi oleh staf yang termasuk talenta-talenta
nasional yang terbaik. Lembaga birokrasi ini tidak hanya merekrut talenta terbaik,
juga mereka mampu memanfaatkan alat-alat kebijakan yang memberikan kepada mereka
otoritas lebih terhadap entitas bisnis. Di Jepang, MITI dan Menteri Keuangan
mempunyai kapasitas untuk mengendalikan tabungan domestik (domestic savings) untuk
menyediakan kredit murah bagi industri-industri tertentu. Melalui cara ini,
perencana Jepang mampu memandu proses industrialisasi sejak dini, dan juga
mendorong lebih banyak industri yang bernilai tinggi, sedangkan industri yang
sudah tua dipindahkan ke negara lain. Pola intervensi negara ini telah ditiru oleh
banyak negara dengan tingkat kesuksesan yang berbeda. Negara tetangga seperti
Taiwan dan Korea meniru pengalaman Jepang lebih dini dan dapat dikatakan sukses,
sementara negara-negara Asia Tenggara meniru belakangan dengan hasil yang berbede-
beda. Namun demikian perdebatan mengenai hasil yang bervariasi ini lebih sering
terlalu akademis. Menurut Beeson (2002) adalah penting untuk diingat bahwa
negaranegara Asia Tenggara, dibandingkan dengan negara-negara Asia Timur, tidak
hanya lemah dari segi sumber daya dan kapasitas, akan tetapi juga mereka
dihadapkan pada pelaksanaan pembangunan yang sangat terlambat. Oleh karenanya
efektivitas 6
implementasi developmental state pada sistem internasional yang sekarang menjadi
perlu dikaji lagi.

Apa yang salah dengan Asia Tenggara? Adalah tidak terbantahkan bahwa developmental
state adalah instrumental penting dalam keajaiban ekonomi Asia Timur. Oleh
karenanya beberapa pemikir berpendapat bahwa model ini cocok untuk ditiru oleh
regional lain, seperti negaranegara Asia Tenggara. Sebelum membahas lebih lanjut,
perlu kita membuat perkecualian untuk Singapura, selain karena secara ekonomi
sudah sangat mapan, Singapura juga sudah dianggap sebagai negara maju. Negara-
negara Asia Tenggara mencoba mengikuti model ini dengan mengimplementasikan
ekonomi yang terrencana. Di awal perjalanannya kelihatan cukup menjanjikan,
diindikasikan dengan angka pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan. Namun demikian
ketika krisis ekonomi melanda kawasan regional tahun 1997, tiba-tiba semuanya
runtuh. Fondasi ekonomi ternyata sangat lemah, dan negara dalam hal ini dianggap
terlalu jauh memainkan perannya, sehingga melemahkan yang lainnya. Pemimpin
keasyikan oleh dunia kekuasaan dan otonomi yang luas, ditambah dengan lemahnya
mekanisme kontrol dari lembaga legislatif dan yudikatif. Hal ini menyebabkan
situasi menjadi rentan ketika ancaman datang dan merusaknya. Krisis ini telah
menyadarkan orang akan citra pertumbuhan ekonomi yang semu. Model kekuasaan yang
dikelola dengan budaya kroni-kapitalisme, termasuk budaya korupsi dan inefisiensi
ternyata tidak bisa selaras berjalan dengan dinamika globalisasi yang kompetitif.
Jika kita menelaah seberapa jauh developmental state diimplementasikan di
Indonesia (pada masa rejim Orde Baru), berdasarkan Johnson’s formulation, kita
menemukan bahwa beberapa poin dalam formulasi ini sebenarnya terpenuhi, seperti
misalnya prioritas akan pertumbuhan ekonomi dan produksi yang tinggi (yang berbeda
dengan konsumsi dan distribusi) sebagai tujuan mendasar dari kegiatan negara,
serta melembagakan hubungan antara birokrasi dengan elit bisnis dalam rangka
pertukaran informasi dan mendorong kerjasama dalam keputusan-keputusan penting.
Sayangnya sistem rekrutmen yang lemah telah menghambat perekrutan dan pembentukan
birokrasi ekonomi yang bertalenta, kohesif dan disiplin dengan basis merit system.
Alhasil tidak ada perlindungan terhadap jaringan kebijakan dari tekanan
kepentingan dan tuntutan kompromi yang terus berkembang. 7
Dalam hal globalisasi ekonomi, terdapat beberapa masalah dengan disiplin fiskal,
baik dalam level pembuatan kebijakan maupun di tataran implementasi. Dan ini
merupakan proses yang masih terus berlanjut dalam mengarahkan pengeluaran negara
ke bidang yang menawarkan pengembalian ekonomi yang tinggi dan distribusi
pendapatan yang lebih baik. Sementara reformasi pajak telah memperlihatkan sesuatu
yang positif. Liberalisasi sendiri merupakan sesuatu yang tidak bias dihindari,
pertanyaannya apakah kita sudah siap dengan segala konsekuensi yang akan muncul.
Privatisasi sebagai salah satu poin dari Washington Consensus dan ciri globalisasi
ekonomi juga sudah dilaksanakan. Sayangnya privatisasi di Indonesia dilakukan
ditengah-tengah konflik kepentingan di tingkat elit, bukan dilakukan secara
professional. Sudah banyak kajian tentang privatisasi di Indonesia yang pada
intinya berkesimpulan bahwa proses ini masih menyisakan banyak masalah. Sebenarnya
pada pertengahan 1980-an, kebijakan pembangunan di Indonesia dikenal dengan
penyesuaian struktural (structural adjustment) sebagai respon pada periode ekonomi
yang sulit (Mas’oed, 1994: 2). Ada empat jenis structural adjustment, yaitu: 1.
stabilisasi jangka pendek dalam hal kebijakan fiscal, moneter dan nilai tukar. 2.
kebijakan struktural untuk meningkatkan output melalui peningkatan efisiensi dan
alokasi sumber daya seperti mengurangi distorsi pasar yang dsebabkan oleh
pengendalian harga, pajak, subsidi dan beberapa hambatan perdagangan, tariff dan
non-tarif. 3. mengimplementasikan kebijakan kapasistas produksi ekonomis melalui

peningkatan tabungan public\k (public savings) dan investasi. 4.


mengimplementasikan kebijakan untuk menciptakan lingkungan legal dan institusional
untuk mendukung mekanisme pasar.

Dua kesalahan mendasar yang dibuat oleh negara-negara Asia Tenggara adalah
birokrasi yang tidak berkualitas dan ketidak mampuan untuk memformulasi dan
mengimplementasi kebijakan pembangunan. Kapasitas negara tidak dapat dicapai pada
level yang optimal, yang membawa dampak pada ketidak mampuan dalam menjalankan
developmental state. Sebagai contoh Indonesia, di mana sejak awal birokrasi
dibangun lebih didasarkan kepada untuk mendukung kepentingan politik daripada

profesionalisme pelayanan publik. Sehingga yang terjadi kemudian adalah birokrasi

8
mempunyai kelemahan dalam mendukung pembangunan dan menjadi justru beban
pembangunan itu sendiri. Selanjutnya Mas’oed menjelaskan bahwa sejak Indonesia
membuka

ekonominya, ternyata tidak diikuti oleh ukuran-ukuran preventif serta kebijakan


preventif untuk mengatasi berbagai masalah. Oleh karenanya beberapa pakar percaya
bahwa kegagalan ini lebih disebabkan oleh pengambil dan pembuat kebijakan, apalagi
proses penyusunan kebijakan yang tidak transparan (pada saat itu). Untuk memahami
apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam menghadapi situasi seperti ini,
kita harus memahami terlebih dahulu peran pemerintah dalam pasar. Dalam hal ini
peran pemerintah didefinisikan sebagai kebijakan apa yang mereka (pemerintah)
ambil terhadap pasar atau bisnis. William G. Shepherd (1979: 3), misalnya, percaya
bahwa kebijakan publik atas bisnis terdiri atas 3 jenis yaitu: antitrust (nama
generik untuk hukum, lembaga dan aksi yang mendorong kompetisi), peraturan, dan
perusahaan publik. Setting kebijakan sendiri mempunyai dua elemen dasar: 1. proses
politik 2. proses ekonomi

Kedua jenis proses ini salaing mempengaruhi. Lebih lanjut Shepherd menjelaskan
bahwa bisnis yang dipengaruhi oleh kebijakan publik bervariasi dalam hal: a.
adanya konflik kepentingan b. industri-industri berbeda dalam hal usia dan gaya.
c. Perusahaan termasuk di dalamnya adalah perusahaan dan bank-bank swasta
konvensional d. Perusahaan swasta sering mempunyai dampak public yang kuat e.
Perusahaan tidak seharusnya diharapkan mempunyai tanggung jawab sosial f. Bisnis
sendiri sifatnya felksibel dan inventif

Dalam beberapa kasus, kebijakan publik terhadap pasar yang terlaku dipaksakan
dilakukan oleh pemerintah, justru merusak pasar itu sendiri. Pasar harus
dibebaskan dalam menentukan harga. Namun intervensi pemerintah tetap diperlukan
ketika harga di pasar tidak terkontrol sehingga menciptakan kesenjangan di antara
mereka. Menelaah posisi peranan pemerintah dalam pasar kelihatannya sangat mudah,
namun dalam kenyataannya peran ini sedikit banyak telah “mengganggu” pasar itu
sendiri. Alih-alih mengelola stabilitas ekonomi makro, menyediakan infrastruktur
fisik 9
dan mensuplai barang publik dan jasa publik, pemerintah justru cenderung menjadi
pemain utama di pasar. Situasi ini dikenal dengan istilah kegagalan pemerintah
(government failure), ketika pasar tidak lagi bekerja sesuai mekanismenya akibat
terlalu banyak intervensi. Namun beberapa pendapat menarik mengatakan bahwa krisis
ekonomi 1997 adalah justru bukan dikarenakan government failure, tetapi lebih
dikarenakan instabilitas keuangan regional sebagai hasil dari spekulasi nilai
tukar, efek domino dan perilaku panik (Moon, 2002: 102). Justru kesalahan terletak
pada globalisasi yang salah arah dan pelemahan kekuasaan negara dalam menegakkan
kebijakan industri, perbankan dan keuangan yang sistemik. Pendapat lain dari Baik
(Euiyoung, 2002: 131) juga menegaskan bahwa krisis ini bukanlah krisis model
developmental state, tetapi lebih disebabkan oleh penyimpangan dari model itu
sendiri. Selanjutnya adalah usaha untuk memahami akar masalah dengan meredefinisi
kembali peran pemerintah di pasar. Robert Wade menjelaskan bahwa peran pemerintah
yang sewajarnya—dalam pandangan neo-klasikal—bahwa fungsi ekonomi pemerintah
adalah 1. mengelola stabilitas ekonomi makro, 2. menyediakan infrastruktur fisik,
seperti pelabuhan, jalan kereta, saluran irigasi dan saluran pembuangan, 3.
mensupplai barang publik (public good) termasuk pertahanan dan keamanan nasional,
pendidikan, informasi pasar, sistem hukum dan perlindungan lingkungan 4.
kontribusi pada pembangunan institusi untuk memperbaiki pasar lapangan kerja,
keuangan dan teknologi,dan lain-lain, 5. menyeimbangkan atau mengurangi distorsi
harga yang muncul dalam kasuskasus kegagalan pasar (market failure), 6.
meredistribusi pendapatan ke masyarakat miskin dalam ukuran yang cukup bagi mereka
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.

Peran-peran inilah yang sebenarnya ditujukan untuk mencegah kegagalan pasar yang
timbul. Akan tetapi banyak negara berkembang salah dalam

mengimplementasikannya. Yang terjadi adalah bahwa dominasi pemerintah terlalu kuat


dan mempengaruhi mekanisme pasar.

10
Indonesia telah memulai membuka pasarnya, namun permasalahan timbul yang
disebabkan oleh perilaku birokasi yang tidak profesional, dan tidak konsisten
serta lemah dalam penegakkan hukum. Birokrasi yang tidak efisien ini juga pada
akhirnya menciptakan ekonomi yang tidak efisien. Stabilitas makro ekonomi mungkin
tercapai, namun kesenjangan antara pemain besar dan kecil masih lebar.
Kecenderungan yang terjadi bahwa pemerintah lebih memfasilitasi pemain besar
daripada yang kecil, yang telah menciptakan ketidak seimbangan sosial ekonomi.
Adelman (1999: 6) menjelaskan bahwa pemerintah telah menggunakan banyak variasi
instrumen langsung ataupun tidak langsung untuk mendorong industrialisasi,
subsidi, tarif, kredit dan keuangan langsung, insentif, kebijakan moneter,
perijinan, pajak, pengaturan investasi dan arus modal asing. Dimulai dari
industrialisasi di Inggris sampai negara-negara OECD, pemerintah berbagai negara
memperluas ukuran pasar domestik dengan menyatukan negara-negara mereka secara
politik dengan berinvestasi dalam bidang transportasi, menghapus bea dan tarif
yang tidak perlu. Pemerintah dalam hal ini juga meningkatkan supply tenaga kerja
dengan mengurangi hambatan-hambatan prosedural dan hukum terhadap mobilitas tenaga
krja antar daerah dan sektor. Pemerintah juga meningkatkan supply keuangan dengan
mendorong pendirian bank pembangunan dan lembaga-lembaga keuangan lainnya yang
dapat mentransfer uang ke industri secara lebih lancar. Termasuk dalm hal ini
adalah pembangunan infrastruktur jalan, listrik dan energi yang memadai. Untuk
kasus Indonesia, ada dua hal yang perlu dicermati, yaitu masalah kebijakan dan
perilaku pemimpin. Kebijakan yang dimaksud juga menyangkut masalah perbaikan
birokrasi. Birokrasi yang efisien akan mengurangi ekonomi biaya tinggi dan
mendapatkan kepercayaan dari investor. Kebijakan ini disusun dalam aspek hukum
seperti dokumentasi, kekuatan dan lembaga-lembaga publik. Namun esensinya adalah
kebijakan di bidang—terutama—ekonomi. dan diaplikasikan oleh orang-orang, yang
bekerja di bawah tekanan dari grup-grup kepentingan (Shepherd, 1979: 58). Itulah
sebabnya mengapa perilaku juga harus diperbaiki untuk mendukung semua ini.
Perubahan perilaku dapat dimulai dengan penegakkan hukum yang kredibel. Dalam
konteks membangun masyarakat madani, pemerintah, sektor swasta dan masyarakat
harus bekerja bersama-sama. Caranya pemerintah memulai dengan itikad baik dan
itikad politik untuk berubah, sementara sektor swasta menciptakan pasar yang
kondusif dan lebih independen, sementara masyarakat mendukungnya melalui
kepercayaan. 11
Model ini tidak dimaksudkan untuk menyederhanakan situasi yang sebenarnnya, namun
karena peran pemerintah yang harus kembali diredefinisi, maka perbaikan seluruh
sektor harus dimulai. Dalam konteks ekonomi hal ini akan memakan waktu yang cukup
lama.

Penutup Dapatkah Indonesia menjadi makmur dengan kehidupan demokrasi dan reformasi
ekonomi?. Seperti yang diungkapkan oleh Cassing (2002), bahwa walaupun masih ada
alasan yang cukup untuk bersikap optimis, ada juga beberapa hal yang perlu
dicermati. Fondasi ekonomi, misalnya, yang dibangun atas dasar kebijakan yang
salah akan menuntun pada arah pembangunan yang tidak diharapkan (misleading).
Faktor lain adalah kewibawaan hukum, di mana hukum harus mampu menunjukkan
supremasinya dan tidak ada keberpihakan pada siapapun. Hanya dengan hukum dan
pranatanya yang berwibawa, maka Indonesia akan membangun kembali kepercayaan para
investor dan stakeholders lainnya, serta menariknya kembali untuk berpartisiasi
dalam pembangunan ke depan. Untuk mencapai sebuah kapasitas negara (state
capacity) yang mumpuni haruslah dimulai dari sebuah birokrasi yang bersih. Dengan
demikian, lingkaran hubungan antara pemerintah, sektor bisnis dapat dibangun dalam
konteks

kepemerintahan yang baik. Dengan kata lain, perlu penataan karakteristik lembaga,
yaitu negara yang kuat, peran dominan pemerintah, rasionalitas teknokratik dalam
pembuatan kebijakan ekonomi, birokrasi yang otonom dan kompeten serta terlepas
dari pengaruh kepentingan politik. Selain itu kerjasama internasional memegang
peranan penting dalam menyesuaikan sumber daya lokal dan mengurangi konflik antar
negara. Kerjasama ini menghubungkan demand-supply antara negara-negara berkembang
dengan negaranegara maju. Tidak seperti yang terjadi di masa lalu, di mana
kerjasama internasional lebih didominasi oleh kepentingan politik belaka,
kerjasama internasional sekarang adalah kerjasama yang didasarkan pada perasaan
sederajat dan seimbang.

___________

12
Sumber Bacaan:

Adelman, Irma. (1999). The End of The Developmental State? A General Equilibrium
Investigation on the Sources of the Asian Crisis within a Multi-Region,
Intertemporal CGE Model. Working Paper for presentation at the Second Annual
Conference on Global Economic Analysis, Denmark, June 20-22, 1999. Beeson, Mark.
(2002). The rise and fall (?) of the developmental state: The vicissitudes and
implications of East Asian interventionism. Cassing, James. (2002). Indonesia in
Transition: Will Economic Prosperity Accompany Democracy?. Journal. Volume IX.
Issue1 Chung-in Moon and Sang-young Rhyu. (2002). Dismantling the Developmental
States. Escobar, Arturo. (1995). Encountering Development: The Making and Unmaking
of The Third World. Princenton University Press. New Jersey. Lee, Pei-Shan.
(2002). Democratization and the Demise of the Developmental State. Paper prepared
for presentation at the Conference on Challenges to Taiwan’s Democracy in the
Post-Hegemonic Era, co-sponsored by Hoover Institution, Stanford University and
Institute for National Policy Research, June 7-8, 2002, Taipei. Mas’oed, Mohtar.
(1994). Politik, Birokrasi dan Pembangunan (Bab 3. Dirigiste atau Laissez-Faire?:
Kebijakan Ekonomi dan Reformasi Administrasi). Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
______________, The Challenge of Globalization and the Response of the
Nationstates: The Case of East Asia. (Unpublished) Ohmae, Kenichi. (1995). The End
of the Nation-State: the Rise of Regional Economies. Free Press. Ricupero, Rubens.
(2002). How Can the Impoverishment of the Poorest Countries Be Stopped?. United
Nations University. Tokyo. Shepherd, William G. (1979).. Public Policies toward
Business. Richard D. Irwin, Inc. Georgetown. Suharyo, Widjajanti I. (2003).
Indonesia’s Transition to Decentralized Governance: An Evolution at the Local
Level. Working Paper for SMERU Research Institute. Yamada, Atsushi (2002) Going
Local in Global Age: Glocalization and TechnoNationalism. Hitotsubashi University.

13
14

Anda mungkin juga menyukai