Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendidikan Kesehatan
1. Pengertian Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan adalah suatu proses yang menjembatani kesenjangan
antara informasi dan tingkah laku kesehatan dan berbuat sesuai dengan informasi
tersebut agar mereka menjadi lebih tahu dan lebih sehat (Budioro, 1998). Menurut
Purwanto (1999) pendidikan kesehatan merupakan proses belajar, dalam hal ini
berarti terjadi proses perkembangan atau perubahan kearah yang lebih tahu dan
lebih baik pada diri individu. Pada kelompok masyarakat dari tidak tahu tentang
nilai-nilai kesehatan menjadi tahu, dari tidak mampu mengatasi sendiri masalah-
masalah kesehatan menjadi mampu.
Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan
kesehatan adalah usaha atau kegiatan untuk membantu individu, keluarga atau
masyarakat dalam meningkatkan kemampuan untuk mencapai kesehatan secara
optimal.
2. Tujuan Pendidikan Kesehatan
Menurut WHO (1954) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), tujuan
pendidikan kesehatan adalah untuk meningkatkan status kesehatan dan mencegah
timbulnya penyakit, mempertahankan derajat kesehatan yang sudah ada,
memaksimalkan fungsi dan peran pasien selama sakit, serta membantu pasien dan
keluarga untuk mengatasi masalah kesehatan. Secara umum tujuan dari
pendidikan kesehatan adalah mengubah perilaku individu atau masyarakat
dibidang kesehatan. Tujuan ini dapat diperinci lebih lanjut antara lain, menjadikan
kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai dimasyarakat, menolong individu agar
mampu secara mandiri atau kelompok mengadakan kegiatan untuk mencapai
tujuan hidup sehat, mendorong pengembangan dan menggunakan secara tepat
sarana pelayanan kesehatan yang ada (Herawani, 2001).
Sedangkan menurut Machfoed (2005), pendidikan kesehatan merupakan
proses perubahan, yang bertujuan untuk mengubah individu, kelompok dan
masyarakat menuju hal-hal yang positif secara terencana melalui proses belajar.
Perubahan tersebut mencakup antara lain pengetahuan, sikap, dan keterampilan
melalui proses pendidikan kesehatan. Pada hakikatnya dapat berupa emosi,
pengetahuan, pikiran keinginan, tindakan nyata dari individu, kelompok, dan
masyarakat. Pendidikan kesehatan merupakan aspek penting dalam meningkatkan
pengetahuan keluarga, dengan melakukan pendidikan kesehatan berarti petugas
kesehatan membantu keluarga dalam usaha untuk meningkatkan derajat
kesehatan.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Menurut Lawrence Green (1980), sebagaimana dikutip Notoatmodjo &
Wuryaningsih (2000) bahwa perilaku kesehatan seseorang dipengaruhi oleh tiga
faktor, yaitu faktor predisposisi, faktor pemudah, dan faktor pemerkuat.
Faktor predisposisi meliputi pendidikan, ekonomi (pendapatan), hubungan
sosial (lingkungan, sosial, budaya), pengalaman pengetahuan, sikap, nilai, umur,
kebiasaan, kepercayaan, tradisi, dan persepsi. Pendidikan seseorang akan
berpengaruh dalam memberi respon terhadap sesuatu yang datang dari luar.
Orang dengan pendidikan tinggi akan memberi respon yang lebih rasional
terhadap informasi yang datang dan akan berpikir sejauh mana keuntungan yang
mungkin akan mereka peroleh dari pendidikan kesehatan. Pada status ekonomi
dalam keluarga mempengaruhi daya beli keluarga dalam memenuhi kebutuhan,
semakin tinggi pendapatan keluarga akan lebih mudah tercukupi konsumsi
makanan sehat dibanding dengan status ekonomi rendah. Hal ini akan
mempengaruhi pemenuhan kebutuhan pada keluarga.
Selanjutnya pada hubungan sosial (lingkungan, sosial, budaya), manusia
adalah makhluk sosial dimana kehidupan saling berinteraksi antara satu dengan
yang lain. Keluarga yang berinteraksi secara langsung akan lebih besar terpapar
informasi. Sehingga lingkungan sekitar mempengaruhi untuk mengkonsumsi
makanan yang berstatus gizi tinggi. Sedangkan pada pengalaman keluarga tentang
makanan yang berstatus gizi tinggi diperoleh dari tingkat kehidupan keluarga
dalam mengkonsumsi makanan-makanan yang sehat (Notoatmodjo, 2003).
Faktor kedua yang dapat mempengaruhi perilaku adalah faktor pemudah,
mencakup ketersediaan sumber-sumber dan fasilitas yang memadai. Sumber-
sumber dan fasilitas tersebut harus digali dan dikembangkan dari keluarga itu
sendiri. Faktor pendukung ada dua macam, yaitu fasilitas fisik dan fasilitas umum.
Fasilitas fisik yaitu fasilitas atau sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-
obatan. Sedangkan fasilitas umum yaitu media massa, meliputi TV, radio,
majalah, ataupun flamlet (Notoatmodjo & Wuryaningsih, 2000).
Faktor pemerkuat sebagai faktor ketiga yang mempengaruhi perilaku
kesehatan meliputi sikap dan perilaku petugas. Semua petugas kesehatan baik
dilihat dari jenis dan tingkatannya pada dasarnya adalah pendidik kesehatan.
Karenanya, petugas kesehatan harus memiliki sikap dan perilaku yang sesuai
dengan nilai-nilai kesehatan. Selain itu perilaku tokoh masyarakat juga dapat
merupakan panutan orang lain untuk berperilaku sehat (Notoatmodjo &
Wuryaningsih, 2000).
Selain faktor-faktor tersebut, menurut Purwanto (1999) faktor keturunan dan
lingkungan juga berpengaruh terhadap perkembangan pembawaan atau perilaku
seseorang.
4. Proses Pendidikan Kesehatan
Dalam proses pendidikan kesehatan terdapat tiga persoalan pokok yaitu
masukan (input), proses (process), dan keluaran (output). Masukan (input) dalam
pendidikan kesehatan menyangkut sasaran belajar yaitu individu, kelompok dan
masyarakat dengan berbagai latar belakangnya. Proses (process) adalah
mekanisme dan interaksi terjadinya perubahan kemampuan dan perilaku pada diri
subjek belajar. Dalam proses pendidikan kesehatan terjadi timbal balik berbagai
faktor antara lain adalah pengajar, teknik belajar, dan materi atau bahan pelajaran.
Sedangkan keluaran (output) merupakan kemampuan sebagai hasil perubahan
yaitu perilaku sehat dari sasaran didik melalui pendidikan kesehatan
(Notoatmodjo, 2003).
5. Metode Pendidikan Kesehatan
Menurut Notoatmodjo (2003), metode pembelajaran dalam pendidikan
kesehatan dipilih berdasarkan tujuan pendidikan kesehatan, kemampuan perawat
sebagai tenaga pengajar, kemampuan individu, kelompok, masyarakat, besarnya
kelompok, waktu pelaksanaan pendidikan kesehatan, dan ketersediaan fasilitas
pendukung. Metode pendidikan kesehatan dapat bersifat pendidikan individual,
pendidikan kelompok, dan pendidikan massa. Metode yang sering digunakan
dalam pendidikan kesehatan yaitu bimbingan dan penyuluhan, wawancara,
ceramah, seminar, simposium, diskusi kelompok, buzz group, curah gagas, forum
panel, demonstrasi, simulasi, dan permainan peran.
6. Sasaran Pendidikan Kesehatan
Sasaran pendidikan kesehatan adalah masyarakat atau individu baik yang
sehat maupun yang sakit. Sasaran pendidikan kesehatan tergantung pada tingkat
dan tujuan penyuluhan yang diberikan. Lingkungan pendidikan kesehatan di
masyarakat dapat dilakukan melalui berbagai lembaga dan organisasi masyarakat
(Notoatmodjo, 2003).

B. Pengetahuan
1. Pengertian
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera,
yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Namun demikian
sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui indera penglihatan dan
pendengaran (Notoatmodjo, 2003). Berdasarkan Kam (2005), pengetahuan
dianggap sebagai sesuatu yang diketahui berkaitan dengan proses pembelajaran.
Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan
adalah sesuatu yang diketahui berkaitan dengan proses pembelajaran dengan
menggunakan panca indera.
2. Tingkat Pengetahuan
Tingkat pengetahuan dalam domain kognitif menurut Notoatmodjo (2003)
meliputi tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (application), analisis
(analysis), sintesis (syntesis), dan evaluasi (evaluation).
Tahu (know) diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah diajarkan
melalui pendidikan kesehatan. Termasuk kedalam pengetahuan tingakat ini adalah
mengingat kembali (recall) sesuatu spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari
dalam pendidikan kesehatan. Oleh karena itu tahu merupakan tingkat
pengetahuan paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang
apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan,
menyatakan. Salah satu contohnya adalah mendefinisikan apa yang dimaksud
dengan gizi buruk. Tingkatan pengetahuan selanjutnya adalah memahami
(comprehension), artinya kemampuan untuk menjelaskan dan
menginterpretasikan dengan benar tentang objek yang diketahui. Seseorang yang
telah paham tentang sesuatu harus dapat menjelaskan, memberi contoh, dan
menyimpulkan. Misalnya keluarga paham apa itu gizi buruk pada balita
(Notoatmodjo, 2003).
Aplikasi (application) sebagai tingkat pengetahuan yang ketiga merupakan
kemampuan seseorang untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada
situasi dan kondisi nyata atau dapat menggunakan hukum-hukum, rumus, serta
metode dalam situasi nyata. Misalnya keluarga dapat menyajikan menu makan
seimbang dan bernutrisi tinggi, khususnya pada balita dengan gizi buruk.
Sementara analisis (analysis) sebagai tingkat pengetahuan yang keempat
diartikan sebagai kemampuan untuk menguraikan kedalam bagian-bagian lebih
kecil, tetap masih didalam suatu struktur objek tersebut dan masih terkait satu
sama lain. Ukuran kemampuan menganalisis ditunjukkan dengan dapat
menggambarkan, membuat bagan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan.
Salah satu contohnya adalah keluarga mampu membedakan antara balita gizi
buruk dengan balita yang tidak menderita gizi buruk (Notoatmodjo, 2003).
Sintesis (syntesis) sebagai tingkat pengetahuan yang kelima, adalah suatu
kemampuan untuk menggabungakan bagian-bagian didalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru atau kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang ada. Ukuran kemampuan mensintesis diperlihatkan
dengan dapat menyusun, meringkas, merencanakan, dan menyesuaikan suatu teori
yang telah ada. Misalnya ibu dapat merencanakan makanan apa yang seharusnya
diberikan pada balita pagi, siang, dan malam. Tingkat pengetahuan yang terakhir
adalah evaluasi (evaluation) yaitu kemampuan untuk melakukan penelitian
terhadap suatu objek. Evaluasi dapat menggunakan kriteria yang telah ada atau
disusun sendiri. Misalnya ibu dapat mengetahui manfaat pemberian ASI pada
balita (Notoatmodjo, 2003).
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Nasution (1999)
dalam Notoatmodjo (2007) adalah tingkat pendidikan, informasi, budaya,
pengalaman, dan sosial ekonomi. Semakin tinggi tingkat pendidikan
(pengetahuan) seseorang maka ia akan mudah menerima informasi tentang gizi
buruk pada balita, sehingga mereka akan lebih cepat paham tentang makanan-
makanan apa saja yang harus diberikan pada balita, faktor yang mempengaruhi
pengetahuan selanjutnya adalah informasi. Keluarga yang mempunyai sumber
informasi melalui pendidikan kesehatan tentang gizi buruk lebih jelas mengenai
gizi buruk tersebut. Faktor lain yang mempengaruhi pengetahuan seseorang
adalah budaya, karena budaya yang diperoleh belum sesuai dengan budaya yang
ada sekarang, sehingga mempengaruhi informasi yang ada (Notoatmodjo, 2003).
Pengalaman sebagai faktor yang juga dapat mempengaruhi pengetahuan
berkaitan dengan umur dan pendidikan individu, maksudnya semakin
bertambahnya umur dan pendidikan yang tinggi, pengalaman akan lebih luas.
Yang terakhir faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah sosial ekonomi, hal
ini berarti bahwa tingkat keluarga untuk memenuhi kebutuhan nutrisi balita
disesuaikan dengan penghasilan yang ada. Sehingga menuntut pengetahuan yang
dimiliki dipergunakan semaksimal mungkin, begitupun dalam pembelian
makanan, mereka sesuaikan dengan pendapatan keluarga (Notoatmodjo, 2003).
4. Pengukuran Tingkat Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara langsung atau
dengan angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari
responden atau subjek penelitian. Kedalaman pengetahuan responden yang ingin
diukur atau diketahui, dapat disesuaikan dengan tingkat pengetahuan
(Notoatmodjo, 2002).



C. Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap Pengetahuan
Menurut WHO (1954), sebagaimana dikutip oleh Notoatmodjo (2003), bahwa
pemberian pendidikan kesehatan adalah suatu upaya untuk menciptakan perilaku
masyarakat yang kondusif untuk kesehatan, artinya pendidikan kesehatan berupaya
agar masyarakat mengetahui atau menyadari bagaimana memelihara kesehatan
mereka. Lebih dari itu pendidikan kesehatan pada akhirnya bukan hanya sekedar
meningkatkan pengetahuan masyarakat, namun yang lebih penting adalah mencapai
perilaku kesehatan (health behaviour). Berarti tujuan akhir pendidikan kesehatan
adalah agar masyarakat dapat mempraktekan hidup sehat bagi dirinya sendiri dan
bagi masyarakat dapat berperilaku hidup sehat.
Menurut Mariyani (2009), bahwa kegiatan penyuluhan kesehatan atau
pendidikan kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang secara bermakna
jika dibandingkan dengan yang tidak diberikan penyuluhan. Demikian pula bahwa
pendidikan kesehatan dan peningkatan pengetahuan dapat meningkatkan perilaku
kesehatan. Berdasarkan hasil analisa dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Ambarwati dan Sintowati (2006), menunjukkan bahwa pengetahuan dan perilaku ibu-
ibu meningkat setelah diberikan pendidikan kesehatan.




D. Gizi Buruk
1. Pengertian
Menurut Nency & Arifin (2008), gizi buruk (severe malnutrition) adalah
suatu istilah teknis yang umum dipakai oleh kalangan praktisi gizi, kesehatan, dan
kedokteran untuk menunjukkan bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan
gizi menahun. Gizi buruk merupakan status / kondisi seseorang yang kekurangan
nutrisi, atau nutrisinya di bawah standar rata-rata (Subagyo, 2008). Menurut
Arisman (2004), gizi buruk (KEP berat) adalah apabila hasil penimbangan BB/U
<60% dari baku persentil 50 Harvard (median WHO NCHS). Sedangkan menurut
Depkes. RI (2000), mendefinisikan gizi buruk (KEP berat) bila hasil penimbangan
BB pada KMS berada di Bawah Garis Merah (BGM).
Dapat disimpulkan, bahwa gizi buruk ( severe malnutrition/ KEP berat )
adalah kondisi dimana keadaan nutrisi balita dibawah rata-rat, ditunjukkan dengan
hasil penimbangan berat badan per umur <60% dari baku persentil 50 Harvard,
serta bila hasil penimbangan BB pada KMS berada di Bawah Garis Merah
(BGM).
2. Macam Gizi Buruk dan Tanda-tandanya
Status gizi buruk dibagi menjadi tiga yakni gizi buruk karena kekurangan
protein (disebut kwashiorkor), karena kekurangan karbohidrat atau kalori (disebut
marasmus) dan gizi buruk akibat kekurangan kedua-duanya (marasmik
kwashiorkor) (Subagyo, 2008).

a. Kwashiorkor
Kwashiorkor sering juga diistilahkan sebagai busung lapar (Honger
Oedema). Pada kondisi kwashiorkor penampilan anak seperti anak yang gemuk
(sugarbaby) bilamana dietnya mengandung cukup energi (karbohidrat), namun
mengalami kekurangan protein. Keadaan tersebut diperlihatkan adanya atrofi
pada ekstremitas bawah bagian atas. Pertumbuhan anak yang mengalami
kwashiorkor menjadi terganggu, dan berat badan di bawah 80% dari baku
Havard persentil 50 walaupun terdapat edema, begitu pula tinggi badannya
terutama jika KEP sudah berlangsung lama (Pudjiadi, 2005).
Perubahan mental pada anak yang menderita kwashiorkor juga sangat
mencolok. Pada umumnya mereka banyak menangis dan pada stadium lanjut
bahkan sangat apatis. Edema baik yang ringan maupun berat ditemukan pada
sebagian besar penderita kwashiorkor. Walaupun jarang, asites dapat
mengiringi edema. Atrofi otot selalu ada hingga penderita tampak lemah dan
berbaring terus-menerus. Penderita kwashiorkor juga perlu diperhatikan adanya
gejala gangguan pada saluran pencernaan. Pada anoreksia yang berat penderita
menolak segala macam makanan, hingga adakalanya makanan hanya dapat
diberikan melalui sonde lambung. Diare tampak pada sebagian besar penderita,
dengan feses yang cair dan mengandung banyak asam laktat karena
mengurangnya produksi laktase dan enzim disakaridase lain (Pudjiadi, 2005).
Perubahan pada rambut sering dijumpai juga pada penderita kwashiorkor,
baik mengenai texture maupun warnanya. Sangat khas bagi penderita
kwasiorkor ialah rambut yang mudah dicabut. Misalnya tarikan ringan didaerah
temporal mengakibatkan tercabutnya seberkas rambut tanpa reaksi si penderita.
Pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala yang
kusam, kering, halus, jarang, dan berubah warnanya. Warna rambut yang hitam
menjadi merah, coklat, kelabu, maupun putih. Rambut alis pun menunjukan
perubahan. Akan tetapi tidak demikian dengan rambut matanya yang justru
memanjang (Pudjiadi, 2005).
Perubahan kulit juga dapat terjadi pada pendeita kwashiorkor yang oleh
Williams, dokter wanita yang melaporkan adanya penyakit kwashiorkor, diberi
nama crazy pavement dermatosis merupakan kelainan kulit yang khas bagi
penyakit kwashiorkor. Kelainan kulit tersebut dimulai dengan titik-titik merah
menyerupai ptechia, berpadu menjadi bercak yang lambat laun menjadi hitam.
Setelah bercak hitam mengelupas, maka terdapat bagian-bagian yang merah
dikelilingi oleh batas-batas yang masih hitam. Bagian tubuh yang sering
membasah dikarenakan keringat atau air kencing, dan yang terus-menerus
mendapat tekanan merupakan predeleksi crazy pavement dermatosis, seperti
punggung, pantat, sekitar vulva, dan sebagainya. Perubahan kulit lainpun dapat
ditemui, seperti kulit yang kering dengan garis kulit yang mendalam, luka yang
mendalam tanpa tanda-tanda inflamsi. Kadang-kadang pada kasus yang sangat
lanjut ditemui ptechia tanpa trombositopenia dengan prognosis yang buruk bagi
si penderita (Pudjiadi, 2005).
Hati yang membesar merupakan gejala yang sering ditemukan juga pada
penderita kwashiorkor. Kadang-kadang batas hati terdapat setinggi pusar. Hati
yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa kenyal pada rabaan
dengan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam. Sediaan hati demikian
jika dilihat dibawah mikroskop menunjukkan, bahwa banyak sel hati terisi
dengan lemak. Sedangkan pada kondisi kwashiorkor yang sangat berat
perlemakan terdapat pada hampir semua sel hati. Adakalanya terlihat juga
adanya fibrosis dan nekrosis hati (Pudjiadi, 2005).
Anemi ringan selalu ditemukan pada penderita kwashiorkor. Bilamana
kwashiorkor disertai oleh penyakit lain terutama ankylostomiasis, maka dapat
dijumpai anemi yang berat. J enis anemia pada kwashiorkor bermacam-macam,
seperti normositik normokrom, mikrositik hipokrom, dan makrositik
hiperkrom. Perbedaan macam anemia pada kwashiorkor dapat dijelaskan oleh
kekurangan berbagai faktor yang mengiringi kekurangan protein, seperti zat
besi, asam folik, vitamin B
12
, vitamin C, tembaga, dan insufisiensi hormon.
Macam anemi yang terjadi menunjukkan faktor mana yang lebih dominan.
Pada pemeriksaan sumsum tulang sering ditemukan mengurangnya sel sistem
eritropoetik. Hipoplasia atau aplasia sumsum tulang demikian disebabkan
terutama oleh kekurangan protein dan infeksi menahun (Pudjiadi, 2005).
Ada hipotesis yang mengatakan, bahwa pada penyakit kwashiorkor tubuh
tidak dapat beradaptasi terhadap keadaan baru yang disebabkan oleh
kekurangan protein maupun energi. Oleh sebab itu banyak perubahan
biokimiawi dapat ditemukan pada penderita kwashiorkor, misalnya kadar
albumin serum, globulin serum, kolesterol serum, dan Tes thymol turbidity
(Pudjiadi, 2005).
Albumin serum yang merendah merupakan kelainan yang sering dianggap
spesifik dan sudah ditemukan pada tingkat dini. Maka McLaren memberi angka
(skor) untuk membedakan kwashiorkor dan maramus. Lebih rendah kadar
albumin serum, lebih tinggi pemberian angkanya. Sementara pada kadar
globulin dalam serum kadang-kadang menurun akan tetapi tidak sebanyak
menurunnya albumin serum, hingga pada kwashiorkor terdapat rasio albumin/
globulin yang biasanya 2 menjadi lebih rendah, bahkan pada kwashiorkor yang
berat ditemukan rasio yang terbalik. Fraksinasi globulin serum dilakukan
dengan cara elektroforesis menunjukkan fraksi alfa1-globulin dan gamma-
globulin yang tinggi, beta-globulin yang rendah, sedangkan alfa2-globulin tidak
berbeda secara bermakna jika dibandingkan dengan yang terdapat pada anak
sehat (Pudjiadi, 2005).
Poey dalam Pudjiadi (2005) mengungkapkan, pada penderita kwashiorkor,
terutama yang berat, kadar kolesterol darahnya rendah. Mungkin saja
rendahnya kolesterol darah disebabkan oleh makanan sehari-harinya yang
terdiri dari sayuran hingga tidak mengandung kolesterol, atau adanya gangguan
dalam pembentukan kolesterol dalam tubuh. Tes tersebut merupakan tes fungsi
hati. Penentuan terhadap 109 penderita kwashiorkor memberi hasil sebagai
berikut: pada 73 penderita meninggi, sedangkan pada selebihnya tidak. Tidak
ditemukan korelasi antara tingginya kekeruhan dan beratnya perlemakan hati
maupun prognosis.
b. Marasmus
Marasmus dapat terjadi pada segala umur, akan tetapi yang sering dijumpai
pada bayi yang tidak mendapat cukup ASI dan tidak diberi makanan
penggantinya atau sering diserang diare. Marasmus juga dapat terjadi akibat
berbagai penyakit lain, seperti infeksi, kelainan bawaan saluran pencernaan
atau jantung, malabsorpsi, gangguan metabolik, penyakit ginjal menahun, dan
juga pada gangguan saraf pusat. Perhatian ibu dan pengasuh yang berlebihan
hingga anak dipaksa mengahabiskan makanan yang disediakan, walaupun
jumlahnya jauh melampaui kebutuhannya, dapat menyebabkan anak kehilangan
nafsu makannya, atau muntah begitu melihat makanan atau formula yang akan
diberikannya. Adakalanya anak demikian menolak segala macam makanan
hingga pertumbuhannya terganggu (Pudjiadi, 2005).
Muka seorang penderita marasmus menunjukkan wajah seorang tua.
Anak terlihat sangat kurus (vel over been) karena hilangnya sebagian besar
lemak dan otot-ototnya. Anak menangis, juga setelah mendapat makan oleh
sebab masih merasa lapar. Kesadaran yang menurun (apatis) terdapat pada
penderita marasmus yang berat. Kulit biasanya kering, dingin, dan mengendor
disebabkan kehilangan banyak lemak dibawah kulit serta otot-ototnya.
Walaupun tidak sering seperti pada penderita kwashiorkor, adakalanya tampak
rambut yang kering, tipis, dan mudah rontok (Pudjiadi, 2005).
Lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit mengurang. Otot-otot
atrofi, hingga tulang-tulang terlihat lebih jelas. Penderita marasmus lebih sering
menderita diare atau konstipasi. Tidak jarang terdapat bradikardi. Pada
umumnya tekanan darah penderita rendah dibandingkan dengan anak sehat
seumur. Terdapat pula frekuensi pernapasan yang mengurang. Pada umumnya
ditemukan kadar hemoglobin yang agak rendah (Pudjiadi, 2005).
c. Kwashiorkor Marasmik
Penyakit kwashiorkor marasmik memperlihatkan gejala campuran antara
penyakit marasmus dan kwashiorkor. Makanan sehari-harinya tidak cukup
mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada
penderita demikian disamping menurunnya berat badan dibawah 60% dari
normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan
rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula. Pada
penyakit KEP terdapat perubahan nyata daripada komposisi tubuhnya, seperti
jumlah dan distribusi cairan, lemak, mineral, dan protein, terutama protein otot.
Tubuh mengandung lebih banyak cairan. Keadaan ini merupakan akibat
menghilangnya lemak, otot, dan jaringan lain (Pudjiadi, 2005).
Terutama pada anak-anak dengan edema terdapat lebih banyak cairan
ekstrasel dibandingkan dengan yang tanpa edema. Kalium menurun, terutama
yang terdapat dalam sel, hingga menimbulkan gangguan metabolik pada organ-
organ seperti otot, ginjal, dan pankreas. Metcoff dalam Pudjiadi (2005)
menemukan dalam sel otot kadar natrium dan fosfor inorganik yang meninggi
dan kadar magnesium yang menurun.
3. Faktor-faktor Penyebab Gizi Buruk
Menurut Subagyo (2008), gizi buruk disebabkan oleh beberapa faktor.
Faktor pertama penyebab gizi buruk adalah faktor pengadaan makanan yang
kurang mencukupi untuk suatu wilayah tertentu. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh
kurangnya potensi alam atau kesalahan distribusi. Faktor kedua, adalah dari segi
kesehatan sendiri, yakni adanya penyakit kronis terutama gangguan pada
metabolisme atau penyerapan makanan. Selain itu, Supari (2008) menyebutkan
ada tiga hal yang saling terkait dalam hal gizi buruk, yaitu kemiskinan,
pendidikan rendah, dan kesempatan kerja rendah. Ketiga hal itu mengakibatkan
kurangnya ketersediaan pangan dirumah tangga dan pola asuh anak keliru. Hal ini
mengakibatkan kurangnya asupan gizi dan balita sering terkena infeksi penyakit
(Supari, 2008).
4. Pengobatan Gizi Buruk
Menurut Pudjiadi (2005) pengobatan KEP berat ialah untuk menurunkan
mortalitas dan memulihkan kesehatan secepatnya. Penderita KEP-berat
seyogyanya dirawat di rumah sakit, walaupun memisahkan penderita dari ibunya
ada untung-ruginya. Kemungkinan kurang perawatan dan mendapat infeksi
dirumah sakit tentu ada. Bahkan menurut Depkes. RI (1999), balita dengan tanda-
tanda klinik KEP berat (Marasmus, Kwashiorkor, dan Marasmik Kwashiorkor)
harus dirawat inap. Maka tempat yang merawat penderita, baik di Rumah Sakit
maupun Puskesmas harus dilengkapi dengan cukup perawat dan ditempatkan di
ruangan yang terpisah dari ruangan-ruangan lain yang ditempati oleh anak-anak
yang sedang menderita penyakit infeksi (Pudjiadi, 2005).
Perlu diketahui bahwa penderita KEP-berat sangat mudah terjangkit penyakit
infeksi. Bisanya penderita KEP-berat menderita juga kekurangan zat gizi lain,
seperti xeroftalmia, stomatitis angularis, dan sebagainya. Lagipula hampir semua
penderita KEP-berat menderita penyakit infeksi sebagai penyakit penyerta oleh
karena daya tahan terhadap infeksi sangat mengurang. Pada pemeriksaan
penderita KEP-berat secara rutin dicari ada tidaknya kekurangan zat gizi lain dan
infeksi. Dengan demikian maka bukan saja diberikan terapi dietetis, melainkan
juga terapi terhadap penyakit penyertanya (Pudjiadi, 2005).


E. Gizi Buruk pada Balita
Menurut Notoatmodjo (2003), anak balita merupakan kelompok umur yang
rawan terjadinya gizi buruk. Kelompok ini merupakan kelompok umur yang paling
menderita akibat gizi (KKP), dan jumlahnya dalam populasi besar. Beberapa kondisi
atau anggapan yang menyebabkan anak balita ini rawan gizi dan rawan kesehatan
antara lain anak balita baru berada dalam masa transisi dari makanan bayi ke
makanan orang dewasa, biasanya anak balita ini sudah mempunyai adik, atau ibunya
sudah bekerja penuh, sehingga perhatian ibu sudah berkurang, anak balita sudah
mulai main ketanah, dan sudah dapat main diluar rumahnya sendiri, sehingga lebih
terpapar dengan lingkungan yang kotor dan kondisi yang memungkinkan untuk
terinfeksi dengan berbagai macam penyakit, dan anak balita belum dapat mengurus
dirinya sendiri, termasuk dalam memilih makanan. Dipihak lain ibunya sudah tidak
begitu memperhatikan lagi makanan anak balita, karena dianggap sudah dapat makan
sendiri (Notoatmodjo, 2003).
Gizi buruk pada balita dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait.
Menurut Nency dan Arifin (2008), penyebab balita mengalami kasus gizi buruk
disebabkan karena asupan makanan yang kurang atau anak sering sakit/ terkena
infeksi. Asupan makanan yang kurang disebabkan oleh banyak faktor. Pertama, tidak
tersedianya makanan secara adekuat, terkait langsung dengan kondisi sosial ekonomi,
bencana alam, perang, maupun kebijakan politik dan ekonomi yang memberatkan
rakyat.
Data Indonesia dan negara lain menunjukkan bahwa adanya hubungan timbal
balik antara kurang gizi dan kemiskinan. Kemiskinan merupakan penyebab pokok
atau akar masalah gizi buruk, terutama yang menyerang para balita. Proporsi balita
gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan
penduduk, makin tinggi persentasi balita yang mengalami gizi buruk. Kedua, balita
tidak cukup mendapatkan makanan bergizi dan seimbang, makanan alamiah terbaik
bagi bayi yaitu air susu ibu, dan sesudah 6 bulan anak mendapat makanan
pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya. Pada keluarga
dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah seringkali anaknya harus
puas dengan makanan yang seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi pada
balita karena ketidaktahuan. Ketiga, pola makan yang salah. Suatu studi positive
deviance mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan balita disuatu desa
miskin hanya sebagian kecil yang mengalami gizi buruk, padahal orang tua mereka
semuanya petani miskin. Hasil dari studi ini diketahui, ternyata pola pengasuhan anak
berpengaruh pada timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan
kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan, mengerti soal pentingnya ASI, manfaat
Posyandu dan kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat.
Faktor berikutnya adalah karena balita sering sakit (frequent infection). Menjadi
penyebab terpenting kedua gizi buruk, apalagi dinegara terbelakang dan yang sedang
berkembang seperti Indonesia, dimana kesadaran akan kebersihan/ personal hygiene
yang masih kurang, serta ancaman endemisitas penyakit tertentu, khususnya infeksi
kronik, seperti TBC. Kaitan infeksi dan gizi buruk seperti layaknya lingkaran setan
yang sukar diputuskan, karena keduanya saling terkait dan saling memperberat.
Kondisi infeksi kronik akan menyebabkan kurang gizi, dan kondisi malnutrisi sendiri
akan memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan, sehingga memudahkan
terjadinya infeksi (Nency dan Arifin, 2008).

F. Kerangaka Teori












Pendidikan
Kesehatan
Faktor Pemerkuat
(Reinforcing factors):
1. Sikap petugas
kesehatan
2. Perilaku petugas
kesehatan
Faktor Pemudah (Enabling
factors):
1. Fasilitas fisik:
Fasilitas kesehatan,
misal Puskesmas,
obat-obatan
2. Fasilitas umum:
Media informasi,
misal TV, Koran,
majalah, flamlet
Faktor Predisposisi
(Predisposing factors):
1. P
endidikan
2. E
konomi
(pendapatan)
3. H
ubungan sosial
4. P
engalaman
5 P

Penyebab Perilaku
(Behavior)
Gambar 1. Kerangka Teori
Sumber: Notoatmodjo (2003)

G. Kerangka Konsep Penelitian


Pendidikan kesehatan tentang
gizi buruk pada balita
Tingkat pengetahuan ibu
tentang gizi buruk pada
balita
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

H. Variabel Penelitian
1. Variabel independen (bebas)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pendidikan kesehatan tentang gizi
buruk pada balita
2. Variabel dependen (terikat)
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan ibu tentang gizi
buruk pada balita.

I. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan tingkat pengetahuan ibu
tentang gizi buruk pada balita sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan
di Puskesmas Mranggen III, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak.

Anda mungkin juga menyukai