Anda di halaman 1dari 101

KEWAJIBAN DAN HAK ANTARA PASIEN DENGAN RUMAH SAKIT

DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2009


TENTANG RUMAH SAKIT


ABSTRAK
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit ditetapkan untuk mengatur
penyelenggaraan Rumah Sakit di Indonesia, salah satu pertimbangan ditetapkannya undang-
undang ini adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan rumah sakit.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengkritisi pengaturan tentang
kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit serta menganalisis apakah pengaturan
tentang kewajiban dan hak tersebut telah memberikan kepastian hukum bagi pasien dan
rumah sakit melalui penelitian normatif yaitu mengkaji norma-norma dalam hukum positif
dengan menggunakan pendekatan konseptual, perundang-undangan dan sejarah. Dari
penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa undang-undang ini belum mengatur
secara lengkap tentang kewajiban rumah sakit, kewajiban dan hak pasien, dengan demikian
undang-undang ini belum sepenuhnya memberikan kepastian hukum bagi pasien dan rumah
sakit. Diharapkan agar perlu adanya pengkajian agar undang-undang ini dapat memberikan
kepastian hukum bagi pasien dan rumah sakit serta perlu dilakukan pembaharuan terhadap
undang-undang ini sebagai bagian dari upaya pembaharuan hukum nasional.
Kata kunci: Pengaturan kewajiban dan hak merupakan unsur penting dalam upaya
memberikan kepastian hukum bagi pasien dan rumah sakit





Supeno, S.H., M.H.
Staf Pengajar Stikes Merangin
2

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT diamanatkan untuk
menjalin hubungan yang baik dengan sang Khalik dan menjalin hubungan yang baik
dengan sesama manusia. Dalam konteks hubungan sesama manusia, manusia disebut
makhluk sosial di mana manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan manusia lain dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya, demikian pula dalam upaya untuk mendapatkan kondisi
kesehatan yang prima maka seseorang membutuhkan bantuan dari orang lain yang
mempunyai kemampuan dalam bidang kesehatan yaitu tenaga kesehatan. Untuk dapat
melakukan upaya kesehatan tenaga kesehatan harus memiliki pengetahuan dan
ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Kesehatan merupakan kebutuhan yang penting dan mendasar bagi setiap manusia,
kebutuhan akan kesehatan meliputi kehidupan manusia sepanjang hayat, jika tidak
didukung oleh kondisi kesehatan yang baik maka manusia tidak dapat menjalankan
segala aktivitas kehidupannya dengan baik pula, oleh karena masalah kesehatan
merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia maka setiap orang berhak untuk
hidup sehat dan memperoleh pelayanan kesehatan serta setiap orang mempunyai
kesempatan yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Kesempatan
memperoleh pelayanan kesehatan dijamin oleh konstitusi Indonesia yang termuat
dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen kedua yang mengatur bahwa
setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
3

lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Dengan demikian setiap warga Negara Indonesia dijamin haknya untuk hidup sehat dan
untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pelayanan kesehatan, artinya hak untuk
hidup sehat dan untuk memperoleh pelayanan kesehatan merupakan hak konstitusional
setiap warga Negara Indonesia tanpa terkecuali yang harus dihormati oleh setiap orang
dan pemerintah wajib melindungi hak warga negara tersebut. Hak atas kesehatan
dipertegas lagi dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan yang mengatur bahwa Setiap orang berhak atas kesehatan. Hal tersebut dapat
diartikan adanya penegasan pentingnya perlindungan hak atas kesehatan bagi semua
orang. Di samping itu kesehatan juga merupakan kewajiban setiap orang untuk
berperilaku hidup sehat sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 11 yang mengatur
bahwa setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan,
mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya. Atas dasar
ketentuan di atas maka masalah kesehatan tidak hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah, tenaga kesehatan dan sarana kesehatan akan tetapi menjadi tanggung jawab
setiap orang agar kehidupan manusia menjadi berkualitas.
Jika ditinjau secara khusus, kesehatan menyangkut semua segi kehidupan
manusia dan ruang lingkupnya sangat luas, dalam sejarah perkembangannya telah terjadi
perubahan orientasi pemikiran mengenai upaya pemecahan masalah kesehatan, proses
perubahan tersebut sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan sosial
budaya masyarakat sehingga upaya kesehatan tidak hanya sekedar penyembuhan saja
akan tetapi menyangkut upaya-upaya yang luas, menurut Departemen Kesehatan
Republik Indonesia bahwa upaya-upaya kesehatan tersebut menyangkut upaya
4

peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif) dan pemulihan
(rehabilitatif) yang bersifat menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.
1
Dengan
demikian kesehatan tidak hanya proses penyembuhan saja setelah timbulnya penyakit
akan tetapi juga mencakup upaya peningkatan kondisi kesehatan, upaya pencegahan
kemungkinan timbulnya penyakit yaitu upaya menghindari penyebab timbulnya suatu
penyakit dan upaya memulihkan kondisi kesehatan setelah menderita sakit.
Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga
Kesehatan yang disebut tenaga kesehatan adalah:
a. tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi
b. tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan
c. tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
d. tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomology
kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan
sanitarian
e. tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien
f. tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara
g. tenaga keteknisian medis meliputi radiographer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi
elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi
dan perekam medis.
Untuk menjadi tenaga kesehatan harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan di
bidang kesehatan, pengetahuan dan ketrampilan tersebut diperolah dari lembaga
pendidikan kesehatan sesuai dengan program studi yang dikembangkan oleh lembaga

1
Depkes RI, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta, 1987, hal.3.
5

pendidikan yang dibuktikan kepemilikan ijazah, dan untuk dapat melakukan upaya
kesehatan tenaga kesehatan harus memiliki izin dari pejabat yang berwenang. Tuntutan
masyarakat terhadap tenaga kesehatan tidak hanya menyangkut tersedianya tenaga
kesehatan saja akan tetapi seiring dengan kemajuan tingkat pengetahuan dan kesadaran
masyarakat maka tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi bidang keahlian dan
faktor penting lainnya yaitu sumber daya tenaga kesehatan yang berkulitas, fasilitas
pelayanan kesehatan, tekhnologi alat kesehatan serta informasi publik. Sumber daya
untuk menunjang kesehatan dapat berasal dari pemerintah dan masyarakat dan masalah
penyelenggaraan upaya kesehatan merupakan tanggung jawab pemerintah, pemerintah
daerah dan masyarakat.
Sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah berupa rumah sakit
pemerintah, puskesmas, puskesmas pembantu, polindes, bidan desa, sumber
pembiayaannya berasal dari pemerintah, sedangkan sumber daya kesehatan yang
diselenggarakan oleh masyarakat adalah rumah sakit swasta, dokter praktik swasta baik
perorangan maupun praktik bersama, Bidan Praktik Swasta (BPS) dan sebagainya,
terjaminnya upaya kesehatan yang baik sangat tergantung kepada upaya pembinaan
sumber daya kesehatan yang baik pula. Pelayanan kesehatan (health care services)
merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan
baik perseorangan, maupun kelompok atau masyarakat secara keseluruhan.
2

Menurut Bambang Giatno, Kepala Badan PPSDM Kesehatan Republik Indonesia
menyatakan bahwa arah pembinaan sumber daya manusia (SDM) kesehatan adalah
tenaga kesehatan yang berkualitas, tenaga kesehatan yang beretika dan berdedikasi,

2
Lihat Veronica Komalawati, Aspek Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan : Suatu Kajian, Jurnal
Hukum Bisnis, hal.17.
6

merata dalam jumlah dan jenis yang memadai.
3
Permasalahan tenaga kesehatan yang
kurang berkualitas dan kurang beretika menjadi isu yang mengemuka akhir-akhir ini,
banyak kasus terjadinya kesalahan tindakan medik dikarenakan tidak mampunya tenaga
kesehatan melakukan pertolongan sesuai dengan standar yang ditetapkan, dalam kasus
lain juga ditemukan kurangnya etika tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat seperti kurang ramah terutama terhadap pasien miskin, suka marah
dan berbicara kurang sopan. Oleh karena itu arah pembinaan sumber daya manusia
(SDM) kesehatan tersebut harus menjadi agenda utama pembinaan sumber daya
kesehatan agar tenaga kesehatan memiliki kualitas keilmuan dan ketrampilan, beretika
dan berdedikasi.
Menurut Endang Kusuma Astuti bahwa tenaga kesehatan yang berkualitas
diukur dari standar profesi yang telah dirumuskan oleh organisasi profesi (IDI) yaitu
standar ketrampilan, standar sarana, standar perilaku dan standar catatan medis.
4

Dewasa ini ada kecenderungan terjadinya pergeseran fungsi rumah sakit dari
fungsi moral dan sosial ke orientasi bisnis yang memicu rumah sakit cenderung mengejar
keuntungan dan kurang mempertimbangkan faktor moral, kemanusiaan dan sosial,
praktiknya upaya kesehatan baru dapat dilaksanakan jika telah memenuhi syarat
administrasi dan jaminan kepastian mampu membayar biaya pengobatan. Hal inipun
berpengaruh kepada mutu pelayanan, jika pasien memiliki jaminan mampu untuk
membayar biaya pengobatan akan mendapatkan respon positif dan akan mendapatkan
pelayanan yang prima dari tenaga kesehatan, akan tetapi jika pasien orang yang tidak

3
Bambang Giatno, Kebijakan DEPKES Dalam Pengadaan Sumber Daya Manusia (SDM) Bidan,
Kongres XIV IBI, Padang, 3 Nopember 2008.
4
Endang Kusuma Astuti, Transaksi Terapeutik dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit, PT. Citra
Aditya Bhakti, Semarang, 2009, hal.33.
7

mampu maka kurang mendapat pelayanan yang baik, hal inilah yang menunjukkan
terjadinya pergeseran fungsi rumah sakit dari fungsi moral dan sosial menjadi fungsi
komersil.
Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kesehatan yang merata
dalam jumlah dan jenis yang memadai dapat ditempuh dengan cara menyelenggarakan
pendidikan tenaga kesehatan baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun
masyarakat, dengan mencetak tenaga kesehatan maka diharapkan penyebaran tenaga
kesehatan akan merata. Dalam hal ini masyarakat merasakan kurangnya tenaga
kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan karena banyak tenaga kesehatan yang enggan
bertugas di daerah-daerah yang terpencil yang sebenarnya sangat membutuhkan tenaga
kesehatan terutama dokter, permasalahan lain adalah fasilitas kesehatan dan biaya alat
kesehatan yang relatif mahal. Pemerintah berusaha menyediakan dana dan melakukan
kontrol terhadap barang dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara memaksimalkan
akses barang dan/atau jasa termasuk biaya kesehatan, menurut Elfindri kontrol
pemerintah terhadap barang dan jasa pelayanan kesehatan dilakukan atas dasar
pertimbangan penting yakni menghindarkan salah alokasi dalam pembiayaan, menjaga
agar tidak terjadi ketimpangan pembiayaan, menghindari agar tidak terjadi pemborosan,
dan menghindari pembengkakan pembiayaan.
5
Akan tetapi upaya ini belum secara
maksimal dapat dilaksanakan oleh pemerintah yang mengakibatkan banyak rumah sakit
pemerintah tidak memiliki peralatan yang memadai sesuai dengan tuntutan akan
kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat dewasa ini.

5
Elfindri, Ekonomi Layanan Kesehatan, Andalas Press, Padang, 2003, hal.27.
8

Permasalahan lain adalah tentang kualitas tenaga kesehatan masih menjadi
keluhan banyak orang, tenaga kesehatan yang tersedia masih dirasa kurang memenuhi
kualifikasi keahlian, hal ini menunjukkan sistem pendidikan kesehatan dinilai belum
berjalan secara maksimal dan sistem rekrutmen tenaga kesehatan perlu dievaluasi
kembali, karena jika tidak ditindaklanjuti sejak dini dikawatirkan tingkat kesalahan dan
kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan akan semakin meningkat dan dapat
merugikan masyarakat, petugas kesehatan maupun sarana kesehatan itu sendiri.
Dengan adanya perkembangan yang pesat dalam upaya untuk memenuhi
kebutuhan kesehatan yang dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, maka
pemerintah membuka kesempatan yang besar kepada tenaga kesehatan untuk membuka
bisnis di bidang pelayanan kesehatan baik perseorangan maupun secara bersama-sama.
Kesempatan ini sangat bermanfaat karena dapat membantu pemerintah dalam upaya
membuka akses
kesehatan yang lebih besar kepada masyarakat akan kebutuhan kesehatan, di sisi lain
dengan dibukanya bisnis layanan kesehatan diharapkan dapat memberikan pelayanan
yang bermutu, cepat dan terjangkau oleh masyarakat luas di samping bertujuan
meningkatkan pendapatan bagi tenaga kesehatan dan masyarakat itu sendiri.
Menurut Richard Burton Simatupang sebagaimana dikutip oleh Johannes Ibrahim
dan Lindawati Sewu mendefinisikan bisnis adalah:

Sebagai keseluruhan kegiatan usaha yang dijalankan oleh orang atau badan secara
teratur dan terus menerus, yaitu berupa kegiatan mengadakan barang-barang atau
jasa-jasa maupun fasilitas-fasilitas untuk diperjual belikan, dipertukarkan, atau
disewagunakan dengan tujuan mendapatkan keuntungan.
6


6
Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis Dalam Perspektif Manusia Modern, PT.Refika
Aditama, Bandung, 2007, hal.25.
9


Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian bisnis adalah Usaha
dagang, usaha komersial dalam dunia perdagangan.
7
Jika dianalisis dari kedua
pengertian bisnis tersebut maka bisnis mengandung unsur-unsur sebagai beriku:
1. Adanya suatu kegiatan
2. Dilakukan oleh orang atau badan
3. Dilakukan secara teratur dan terus menerus
4. Bergerak dalam bidang barang dan/atau jasa
5. Perdagangan
6. Komersil/keuntungan
Bisnis layanan kesehatan dewasa ini pada dasarnya juga bertujuan untuk
mendapatkan nilai ekonomi/komersil disamping tujuan sosial dari pelayanan jasa
kesehatan yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, tenaga kesehatan akan melakukan
upaya kesehatan yang disepakati dengan pasien dan dari upaya tersebut tenaga kesehatan
akan mendapatkan imbalan jasa, yang unik dalam transaksi pelayanan jasa kesehatan
adalah bahwa imbalan jasa ini tidak dihubungkan dengan hasil (sembuh/tidak sembuh)
dari upaya yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tetapi adalah mencari upaya yang tepat
untuk kesembuhan pasien tersebut. Menurut Bahder Johan Nasution Jadi menurut
hukum, objek perjanjian dalam transaksi terapeutik bukan kesembuhan pasien, melainkan
mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien.
8
Dokter tidak dapat menjamin
kesembuhan bagi pasien akan tetapi dokter wajib melakukan upaya semaksimal mungkin
untuk kesembuhan pasien.

7
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT.Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hal.138.
8
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta, 2005,
hal.11.
10

Bisnis dalam kesehatan merupakan suatu hal yang wajar dilakukan karena
semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan kesehatan. Alexandra Indriyanti
Dewi menyatakan Banyak rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang benar-benar
memanfaatkan lembaganya sebagai mesin penghasil uang, dengan alasan fungsi
ekonomi.
9
Dengan demikian sarana kesehatan dewasa ini pada umumnya dapat
dikategorikan sebagai bentuk lembaga bisnis yang menyelenggarakan praktik untuk
mendapatkan nilai ekonomis di samping nilai sosial.
Bisnis bidang layanan kesehatan dewasa ini berkembang begitu pesat, hal tersebut
menunjukkan adanya iklim yang baik dalam bisnis layanan kesehatan ditunjang dengan
semakin baiknya tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan, dengan
demikian diharapkan akses masyarakat terhadap pusat layanan kesehatan menjadi lebih
besar. Walaupun demikian bukan berarti kesempatan tersebut dengan mudah diperoleh
akan tetapi harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan oleh
pemerintah berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, dan karena biasanya yang
membuka bisnis layanan kesehatan ini adalah dokter maka perlu juga adanya pengawasan
dari organisasi profesi karena praktik yang dilakukan dalam layanan kesehatan sangat
erat hubungannnya dengan profesi kedokteran.
Dalam hal ini perlu diketahui juga tentang profesi, menurut Wirjonodjojo Basoeki
sebagimana dikutip oleh Hendrojono Soewono bahwa ciri-ciri profesi memiliki batasan
sebagai berikut:

1. Sebagai penguasaan sistem tentang keahlian;
2. Melalui pendidikan khusus yang lama;

9
Alexandra Indriyanti Dewi, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher, Jakarta, 2008,
hal.299.
11

3. Pekerjaan full-time
4. Menunjukkan pada dedikasi dan pelayanan pada masyarakat;
5. Mempunyai monopoli tentang kehliannya;
6. Menjunjung tinggi koliagilitas;
7. Mengatur dan mengontrol diri sendiri melalui etik dan moral.
10



Dengan demikian suatu profesi harus mempunyai keahlian, melalui pendidikan
khusus, dilakukan secara terus menerus, berhubungan dengan orang banyak, kolegalitas
dalam ikatan profesi dan memiliki kode etik. Suatu profesi juga terikat berbagai peraturan
baik yang ditetapkan oleh pemerintah maupun yang dikeluarkan oleh organisasi profesi,
bisnis layanan kesehatan dan harus memenuhi persyaratan administratif, memiliki sarana
dan sumberdaya kesehatan yang memadai. Dari unsur-unsur profesi tersebut maka
pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan pada umumnya adalah suatu profesi,
suatu profesi biasanya menjadi anggota ikatan profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia
(IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Persatuan Perawat Seluruh Indonesia (PPNI).
Salah satu tugas ikatan profesi adalah menetapkan kode etik profesi dan menindak
anggota profesi jika melanggar kode etik profesi. Menurut M.Yusuf Hanafiah dan Amri
Amir bahwa Etika profesi yang tertua adalah etik kedokteran, yang merupakan prinsip-
prinsip moral atau asas-asas akhlak yang harus diterapkan oleh para dokter dalam
hubungannya dengan pasien, teman sejawatnya dan masyarakat umumnya.
11
Lebih
lanjut M.Yusuf Hanafiah dan Amri Amir menyatakan bahwa pekerjaan profesi kesehatan
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Mengikuti pendidikan sesuai dengan dengan standar nasional
2. Pekerjaan berlandaskan etik profesi

10
Hendrojono Soewono, Perlindungan Hak-hak Pasien dalam Transaksi Terapeutik, Srikandi, Surabaya,
hal.18.
11
M.Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGC, Medan, 1998, hal.2.
12

3. Mengutamakan panggilan kemanusiaan daripada keuntungan
4. Pekerjaannya legal melalui perizinan
5. Anggota-anggotanya belajar sepanjang hayat
6. Anggota-anggotanya bergabung dalam suatu organisasi profesi.
12



Permasalahan etika profesi sangat penting untuk menjadi perhatian dan pegangan
bagi para tenaga kesehatan karena dengan berpedoman kepada etika profesi dapat
terhindar dari kemungkinan terjadinya kesalahan dan kelalaian dalam menjalankan tugas
keprofesiannya.
Produk perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang mengatur tentang
kesehatan ataupun yang berhubungan dengan kesehatan cukup banyak dari tingkat
undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri kesehatan dan keputusan
menteri kesehatan hal ini menunjukkan bahwa permasalahan kesehatan merupakan salah
satu hal penting yang harus mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah karena
permasalahan kesehatan sangat kompleks dan dinamis dan menyangkut hajat hidup orang
banyak.
Dalam pelaksanaan bisnis layanan kesehatan sudah tentu akan terjadi hubungan
antara tenaga kesehatan dan/atau sarana kesehatan dengan pengguna jasa kesehatan
(pasien), pasien membutuhkan pelayanan kesehatan untuk menangani penyakit yang
dideritanya dan tenaga kesehatan dan/ atau sarana kesehatan membutuhkan pasien untuk
melakukan upaya kesehatan dan dari upaya kesehatan tersebut maka tenaga kesehatan
dan/ atau sarana kesehatan akan mendapatkan imbalan jasa, dengan adanya hubungan
tersebut mengakibatkan munculnya kewajiban dan hak dari kedua belah pihak.

12
Ibid.
13

Hal penting yang perlu disoroti dalam konteks ini adalah tentang kewajiban dan
hak antara pasien dengan Rumah Sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan, kewajiban
dan hak tersebut menjadi isu sentral dalam beberapa waktu belakangan ini, pasien
sebagai pemakai jasa menjadi pihak yang sering dirugikan jika terjadi permasalahan
dalam hubungan antara pasien dan dokter, demikian pula sebaliknya rumah sakit menjadi
pihak yang sering dipersalahkan dalam pemberian pelayanan kesehatan. Intensitas
gugatan terhadap pelayanan tenaga kesehatan terutama dokter dan rumah sakit semakin
meningkat, M.C. Inge Hartini menyatakan sebagaimana yang dikutip oleh Muladi
bahwa:

Dalam majalah Tempo edisi Maret 2004 serangkaian gugatan pasien terhadap
dokter maupun rumah sakit muncul ke permukaan. Tampaknya fenomena ini
akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan pendidikan dan kesadaran
masyarakat akan hak-haknya.
13



Permasalahan kewajiban dan hak antara pasien dan rumah sakit menjadi suatu
permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar dari semua kalangan
karena permasalahan ini menyangkut kepentingan orang banyak, semakin tinggi tingkat
pendidikan dan kesadaran masyarakat semakin tinggi pula intensitas gugatan oleh pasien
terhadap rumah sakit. Bahder Johan Nasution menyatakan bahwa:

Munculnya kasus-kasus di bidang kesehatan merupakan indikasi bahwa
kesadaran hukum masyarakat semakin meningkat. Semakin sadar masyarakat
akan aturan hukum semakin mengetahui mereka akan hak dan kewajibannya dan
semakin luas pula suara-suara yang menuntut agar hukum memainkan
peranannya di bidang kesehatan.
14




13
Muladi, Hak Asasi Manusia, Refika Aditama, Bandung, 2009, hal.186.
14
Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hal.4.
14

Pada tanggal 28 Oktober 2009 telah disahkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2009 Tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
153), beberapa pertimbangan disahkannya undang-undang ini adalah dalam rangka
meningkatkan mutu dan jangkauan pelayanan rumah sakit serta pengaturan hak dan
kewajiban masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dan untuk memberikan
kepastian hukum bagi masyarakat dan rumah sakit. Di dalam Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit tersebut diatur tentang kewajiban dan hak rumah sakit
dan pasien, kewajiban rumah sakit diatur dalam pasal 29, hak rumah sakit diatur dalam
pasal 30, kewajiban pasien diatur dalam pasal 31 dan hak pasien diatur dalam pasal 32.
Jika dicermati tentang pengaturan kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit
tersebut ada beberapa hal yang peneliti kritisi yaitu:
1. Pasal 29 yang mengatur tentang kewajiban rumah sakit tidak diatur kewajiban rumah
sakit untuk mengganti tenaga kesehatan yang tidak memiliki kompetensi dalam
memberikan pelayanan medik terhadap pasien di rumah sakit setelah mendapat
keluhan dari pasien, tidak diatur kewajiban rumah sakit untuk menyediakan ruang
khusus bagi penderita penyakit yang berbahaya bagi pasien lain (ruang isolasi).
2. Pasal 31 ayat (1) hanya mengatur bahwa setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap
rumah sakit atas pelayanan yang diterimanya dan ayat (2) menegaskan bahwa
ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pasien diatur dengan peraturan menteri.
3. Pasal 32 yang mengatur tentang hak pasien tidak diatur tentang hak pasien untuk
menerima atau menolak dijadikan objek percobaan penggunan obat dan/atau alat
kesehatan, hak untuk menolak dirawat oleh tenaga kesehatan yang tidak memiliki
kompetensi, hak pasien untuk menghentikan upaya pengobatan yang dilakukan oleh
15

tenaga kesehatan di rumah sakit, hak pasien untuk menerima isi rekam medik
miliknya dan hak pasien untuk meminta dirujuk ke rumah sakit lain.
Dengan kondisi demikian maka peneliti akan melakukan analisis dan kritik,
dengan analisis dan kritik tersebut diharapkan akan dilakukan penyempurnaan terhadap
undang-undang ini terutama ketentuan yang mengatur tentang kewajiban dan hak antara
pasien dengan rumah sakit, dengan dilakukannya penyempurnaan terhadap pengaturan
tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit diharapkan dapat
memberikan kepastian hukum bagi pasien dan rumah sakit. Menurut Bahder Johan
Nasution Dalam rangka pembangunan sektor kesehatan yang demikian kompleks dan
luas, sangat dirasakan, bahwa peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya
kesehatan perlu lebih disempurnakan dan ditingkatkan.
15
Penyempurnaan tersebut
penting untuk dilaksanakan karena permasalahan kesehatan sangat kompleks dan sangat
luas apalagi dalam era globalisasi dewasa ini, posisi bidang kesehatan menurut
WTO/GATS menyatakan antara lain bahwa profesi dokter dan dokter gigi saat ini
termasuk dalam sektor jasa bisnis.
16


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah diungkapkan di atas, maka dapat disusun rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit
dalam perspektif Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit ?

15
Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hal.3.
16
www. STADTAUS.com, Perlindungan Konsumen Kesehatan Berkaitan Dengan Malpraktik Medik,
diakses tanggal 7 Juni 2010.
16

2. Apakah pengaturan tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit
dalam perspektif Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit telah
memberikan kepastian hukum bagi pasien dan rumah sakit?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis terhadap ketentuan yang mengatur tentang
kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit dalam perspektif Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
2. Untuk menganalisis dan mengkritisi apakah ketentuan yang mengatur tentang
kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit dalam perspektif Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 2009 telah memberikan kepastian hukum bagi pasien dan
rumah sakit.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diupayakan akan memberikan manfaat bagi semua pihak yang
mempunyai hubungan dengan layanan kesehatan baik teoretis maupun praktis, manfaat
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara Akademis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu
hukum khususnya tentang hukum kesehatan.
2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran kepada
pasien dan rumah sakit tentang pentingnya memahami kewajiban dan hak antara
pasien dengan rumah sakit.
3. Sebagai acuan bagi kegiatan penelitian khususnya penelitian di bidang hukum
kesehatan, baik bagi para akademisi maupun peneliti lainnya.
17


E. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Sebagai konsekuensi pemilihan topik yang akan dikaji dalam penelitian yang
objeknya adalah permasalahan hukum tentang kewajiban dan hak pasien dan rumah
sakit, maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian juridis normatif, yakni
penelitian yang difokuskan untuk mengkaji kaedah-kaedah atau norma-norma dalam
hukum positif.
2. Pendekatan Yang digunakan
Dikarenakan penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, maka
pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan konseptual (conceptual
approach) yaitu dengan cara meneliti teori-teori dan asas-asas hukum yang berkaitan
dengan hubungan hukum antara pasien dengan rumah sakit. Dan pendekatan
perundang-undangan (normative approach) dengan cara meneliti ketentuan-ketentuan
yang mengatur tentang kewajiban dan hak pasien dan Rumah Sakit yang terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit serta pendekatan
sejarah (historical approach) yaitu dengan cara mempelajari sejarah rumah sakit.
3. Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang telah diperoleh akan diinventarisir dan diidentifikasi
untuk digunakan sebagai bahan menganalisis pokok permasalahan dalam penelitian
ini. Identifikasi bahan hukum primer, sekunder maupun tertier dilakukan secara kritis,
logis dan sistematis, dikumpulkan berdasarkan sistem kartu (card system), hal ini
dilakukan untuk mempermudah proses pengolahan bahan hukum tersebut, dengan
demikian bahan hukum akan disusun dan dikelompokkan menurut bentuk, jenis dan
18

tingkatannya. Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang berasal dari Undang-Undang
Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 29 Tahu 2004 Tentang Praktik
Kedokteran, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik,
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kehakiman yang digunakan untuk mempertajam
analisis yang dilakukan yang ada hubungan dengan permasalahan yang dibahas.
b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan hukum yang diperoleh dari bahan-bahan
pendukung yang menjelaskan bahan hukum primer yaitu dengan mempelajari
buku-buku dan literatur ilmiah lainnya yang ada relevansi dengan penulisan tesis
ini.
c. Bahan hukum tertier adalah bahan yang dapat memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti Black Law
Dictionary, Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan sebagainya.
4. Analisis bahan hukum
Yaitu semua bahan hukum yang telah dikumpulkan baik itu bahan hukum
primer maupun bahan hukum sekunder yang berhubungan dengan kewajiban dan hak
antara pasien dengan rumah sakit serta bahan hukum tertier diseleksi dan dinilai dari
aspek hukum, apakah bahan hukum tersebut ada hubungan dan memperkuat serta
mendukung jawaban atas permasalahan yang berhubungan dengan pengaturan
19

kewajiban dan hak antara pasien dengan Rumah Sakit. Bahan hukum yang telah
diseleksi dan ada hubungan dengan permasalahan tersebut diklasifikasi sesuai dengan
tingkat relevansinya.
Bahan hukum kemudian dianalisis dan dikaji dan menarik kesimpulan dari
semua permasalahan yang dibahasi, kajian dilakukan sedemikian rupa sehingga
menggambarkan permasalahan dan pemecahannya secara jelas dan komprehensif.

F. Sistematika Penulisan
Dalam upaya memberikan pedoman dalam penelitian dan penulisan serta untuk
memberikan gambaran bagaimana penulisan dan laporan dilakukan, maka disusun
sistematika penulisan sebagai berikut:
1. Bab I tentang Pendahuluan. Dalam bab ini akan diuraikan tentang latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
2. Bab II tentang Tinjauan Umum Tentang Rumah Sakit. Dalam bab ini akan
dipaparkan tentang pengertian dan pembagian rumah sakit , sejarah rumah
sakit, rumah sakit sebagai lembaga bisnis, rumah sakit dalam konteks hospital
laws dan hospital by laws, kepastian hukum dalam penyelenggaraan rumah
sakit serta karakteristik hubungan hukum antara pasien dengan rumah sakit.
3. Bab III tentang Gambaran Umum Tentang Kewajiban dan Hak Antara Pasien
dengan Rumah Sakit. Dalam bab ini akan dipaparkan tentang pengertian
tentang kewajiban dan hak pasien dengan rumah sakit, pengaturan tentang
kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit, hubungan hukum antara
20

pasien dengan rumah sakit serta tanggung jawab rumah sakit secara hukum
terhadap pasien.
4. Bab IV tentang Kewajiban dan Hak Antara Pasien dengan Rumah Sakit dalam
Perspektif Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
Dalam bab ini akan dipaparkan pengaturan tentang kewajiban dan hak antara
pasien dengan rumah sakit dalam perspektif Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, kepastian hukum tentang kewajiban dan
hak antara pasien dengan rumah sakit dalam perspektif Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
5. Bab V tentang Penutup. Dalam bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan
berdasarkan temuan dari pengolahan bahan hukum, dan pengajuan saran yang
berhubungan dengan pengaturan kewajiban dan hak antara pasien dengan
Rumah Sakit dalam perspektif Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009
Tentang Rumah Sakit.












21

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG RUMAH SAKIT

A. Pengertian dan Pembagian Rumah Sakit
Rumah sakit didirikan dan diselenggarakan dengan tujuan utama untuk
memberikan pelayanan kesehatan dalam bentuk asuhan perawatan, tindakan medis dan
diagnostik serta upaya rehabilitasi medis untuk memenuhi kebutuhan pasien. Pemenuhan
kebutuhan untuk pasien harus didasarkan atas batas-batas kemampuan rumah sakit.
Dalam tatanan atau sistem kesehatan nasional rumah sakit menjadi salah satu
unsur untuk dapat menjawab tujuan pembangunan kesehatan yaitu untuk mencapai
kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan
masyarakat yang optimal. Bahkan rumah sakit dewasa ini dijadikan sebagai salah satu
bentuk tingkat kemajuan bidang kesehatan di suatu negara, oleh karena itu jika suatu
rumah sakit memiliki tenaga kesehatan yang kompeten dan lengkap serta didukung oleh
prasarana dan sarana yang menunjang maka akan menjadi tujuan utama masyarakat
apalagi jika tingkat keberhasilan dalam melakukan upaya kesehatan akan sangat
mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit tersebut.
Menurut anggaran dasar Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI)
rumah sakit adalah suatu sarana dalam mata rantai sistem kesehatan nasional yang
mengemban tugas pelayanan kesehatan untuk seluruh masyarakat. Rumah sakit
mengemban tugas mulia yaitu memberikan pelayanan kesehatan bagi seluruh anggota
masyarakat yang membutuhkan. Sedangkan menurut panitia etika rumah sakit
sebagaimana yang dikutip oleh Endang Kusuma Astuti, rumah sakit adalah suatu sarana
yang merupakan bagian dari sistem pelayanan kesehatan yang menjalankan rawat inap,
22

rawat jalan dan rehabilitasi berikut segala penunjangnya.
17
Dalam hal ini lebih
ditekankan tentang sistem pelayanan yang umum dilakukan oleh rumah sakit yaitu
menjalankan rawat inap, rawat jalan dan rehabilitasi berikut segala penunjangnya seperti
sumber daya manusia, prasarana dan sarana, keuangan, manajemen dan sebagainya.
Rumah sakit menurut American Hospital Association sebagaimana dikutip oleh Wiku
Adisasmito:

Rumah sakit adalah suatu organisasi tenaga medis professional yang terorganisasi
serta sarana kedokteran yang permanen dalam menyelenggarakan pelayanan
kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis, serta
pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien.
18



Dari pengertian rumah sakit tersebut memberi makna bahwa rumah sakit
merupakan kumpulan dari tenaga medis yang membentuk suatu organisasi dalam suatu
sarana yang bersifat permanen untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang
berkesinambungan terhadap pasien.
Rumah sakit menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah
Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan
gawat darurat. Dalam hal ini rumah sakit dimaksudkan sebagai sarana kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan terhadap diri seseorang dan dilakukan secara
paripurna, selain menyelenggarakan rawat inap dan rawat jalan juga menjalankan
pelayanan kegawatdaaruratan.

17
Endang Kusuma Astuti, Op.Cit., hal. 51.
18
Wiku Adisasmito, Sistem Manejemen Lingkungan Rumah Sakit, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007,
hal. 1.
23

Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan Nomor 031/Birhup/1972 Tentang
Rumah Sakit Pemerintah, rumah sakit adalah suatu kompleks atau ruangan yang
dipergunakan untuk menampung dan merawat orang sakit atau bersalin, kamar-kamar
orang sakit yang berada dalam satu perumahan khusus seperti rumah sakit khusus, rumah
sakit bersalin, lembaga masyarakat, kapal laut. Berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 983/1992 yang dimaksud dengan rumah sakit adalah sarana upaya
kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. Fokus pengertian menurut
keputusan menteri tersebut adalah rumah sakit selain berfungsi sebagai sarana pelayanan
kesehatan juga berfungsi untuk kepentingan pendidikan dan penelitian ilmu kedokteran,
ilmu kedokteran sebagai salah satu ilmu terapan selain tenaga kesehatan dituntut untuk
memiliki ilmu pengetahuan yang baik tentang kesehatan juga harus ditunjang dengan
tingkat keterampilan yang baik pula apalagi dewasa ini semakin banyak muncul penyakit
yang belum ada obat dan standar upaya penangannya perlu adanya pelatihan dan
penelitian untuk menjawab permasalahan tersebut, oleh karena itu untuk menciptakan
tenaga kesehatan yang kompeten harus ditetapkan rumah sakit sebagai lembaga
penelitian dan pendidikan bagi calon tenaga kesehatan. Menurut peneliti rumah sakit
adalah suatu sarana yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bersifat sosial
maupun bisnis kepada masyarakat yang didukung oleh sumber daya menusia, sarana dan
prasarana yang memadai untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Dari beberapa definisi rumah sakit tersebut maka dapat dipetik kesimpulan bahwa
rumah sakit memiliki unsur-unsur:
1. Sarana pelayanan kesehatan, pendidikan dan penelitian
24

2. Memiliki sumber daya manusia, prasarana dan sarana serta penunjang lainnya
3. Menyelenggarakan pelayanan rawat inap, gawat darurat dan rawat jalan
4. Dilaksanakan secara terorganisir
5. Menjalankan fungsi sosial dan bisnis
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
031/Birhup/1972, rumah sakit ditinjau dari sudut kepemilikan dibagi menjadi 2 (dua)
macam yaitu:
a. Rumah Sakit pemerintah yang dikelola oleh :
1). Departemen Kesehatan
2). Departemen Dalam Negeri
3). Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan
4). Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
b. Rumah Sakit swasta yang bersifat:
1). Yang bukan mencari keuntungan (not for profit) dan
2). Yang bersifat mencari keuntungan (for profit)
Rumah sakit pemerintah adalah rumah sakit yang diselenggarakan oleh badan-
badan pemerintah, didanai secara penuh oleh pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah serta tenaga kesehatannya diangkat dan diawasi langsung oleh
pemerintah serta didirikan untuk memberikan pelayanan secara menyeluruh kepada
masyarakat dan lebih cenderung berfungsi sosial. Rumah sakit swasta adalah rumah sakit
yang didirikan oleh pihak swasta atau nonpemerintah, yaitu oleh orang perorangan
25

ataupun oleh badan hukum yang lazim dalam bentuk yayasan dan bertujuan mencari
keuntungan. Selain itu rumah sakit ada yang didirikan oleh organisasi keagamaan.
Menurut Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, rumah
sakit dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan : Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit
Khusus (Pasal 19 ayat (1).
2. Berdasarkan pengelolaannnya : Rumah Sakit Publik dan Rumah Sakit Privat (Pasal 20
ayat (1).
Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang menyelenggarakan banyak jenis
layanan kesehatan, seperti layanan kesehatan umum, bedah, mata, kebidanan, anak, THT,
jantung dan sebagainya. Sedangkan rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan khusus penyakit tertentu seperti rumah sakit
jantung, rumah sakit stroke, rumah sakit jiwa, rumah sakit kanker dan sebagainya. Rumah
sakit publik adalah rumah sakit yang diselenggarakan oleh pemerintah sedangkan rumah
sakit privat adalah rumah sakit yang diselenggarakan oleh nonpemerintah. Selain itu
dikenal Rumah Sakit Pendidikan yaitu ru mah sakit yang menyelenggarakan pendidikan
dan penelitian secara terpadu dalam bidang pendidikan profesi dokter, pendidikan
kedokteran berkelanjutan dan pendidikan tenaga kesehatan lainnya (Pasal 23 Ayat (1).
Rumah sakit juga diklasifikasi berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan
rumah sakit (Pasal 24), klasifikasi tersebut adalah:
1. Rumah Sakit kelas (tipe) A adalah rumah sakit yang menyediakan pelayanan medis
spesialistik luas dan subspesialistik yang luas.
26

2. Rumah Sakit kelas (tipe) B adalah rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan
medis spesialistik luas dan subspesialistik terbatas.
3. Rumah Sakit kelas C (tipe) adalah rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan
medis spesialistik minimal untuk vak besar yaitu penyakit dalam, kesehatan anak,
bedah dan obstetric-ginekologi.
4. Rumah Sakit kelas (tipe) D adalah rumah sakit yang menyediakan pelayanan dasar
oleh dokter umum.
Pelayanan medis spesialistik seperti spesialis bedah, spesialis kandungan, spesialis
anak, spesialis mata, spesialis penyakit dalam dan sebagainya, sedangkan sub spesialis
dari spesialistik kandungan contohnya adalah sub spesialis onkologi yaitu kanker
kandungan, tumor kandungan dan sebagainya.

B. Sejarah Rumah Sakit

Menurut Emeritus John Gilissen dan Emeritus Frits Gorle bahwa sejarah adalah
mempelajari perjalanan waktu masyarakat di dalam totalitasnya.
19
Rumah sakit adalah
salah satu lembaga yang mengalami perkembangan sejalan dengan perjalanan waktu
masyarakat, untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang rumah sakit
maka akan peneliti ungkapkan sejarah rumah sakit. Sejarah rumah sakit menurut Karyadi
dalam tulisannya yang berjudul Rumah Sakit adalah sebagaimana yang tertuang di bawah
ini.
Dalam sejarah, antara kepercayaan dan pengobatan memiliki hubungan yang erat,
tempat pengobatan orang sakit pertama kali dilaksanakan di kuil Mesir, kuil yang

19
Emeritus John Gilissen dan Emeritus Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Refika Aditama,
Bandung, 2007, hal. 119.
27

berfungsi sebagai sarana ibadah juga berfungsi sebagai tempat pengobatan, demikian juga
kuil Asclepius di Yunani juga memberikan pengobatan kepada orang sakit yang
kemudian dicontoh oleh bangsa Romawi sebagai kepercayaan. Kuil kepercayaan untuk
Asclepius dibangun pada tahun 291 SM di Tanah Tiber Roma yang hampir sama dengan
kepercayaan bangsa Romawi. Institusi yang spesifik untuk pengobatan pertama kali
ditemukan di India, Rumah Sakit Brahmanti pertama kali didirikan di Srilangka pada
tahun 431 SM, kemudian Raja Ashoka juga mendirikan 18 rumah sakit di Hindustan pada
tahun 230 SM dengan dilengkapi tenaga medis dan perawat yang dibiayai kerajaan.
Rumah sakit pertama yang melibatkan konsep pengajaran pengobatan dengan mahasiswa
yang diberikan oleh tenaga ahli adalah Akademi Gundishapur di Kerajaan Persia.
Bangsa Romawi menciptakan pengobatan untuk para budak, gladiator dan
prajurit sekitar 100 tahun SM, adopsi kepercayaan Kristiani turut mempengaruhi
pelayanan medis di sana. Konsili Nicea I pada tahun 325 memerintahkan pihak gereja
untuk memberikan pelayanan kepada orang-orang miskin, sakit, janda dan musafir.
Setiap satu katedral di setiap kota harus menyediakan satu pelayanan kesehatan salah
satunya adalah Saint Sampson di Konstantinopel dan Basil. Bangunan ini berhubungan
langsung dengan bangunan gereja dan disediakan pula tempat terpisah untuk penderita
lepra.
Rumah sakit abad pertengahan di Eropa juga mengikuti pola tersebut, di setiap
tempat peribadahan biasanya terdapat pelayanan kesehatan oleh pendeta dan suster,
namun beberapa di antaranya terpisah dari tempat peribadahan demikian pula rumah sakit
yang terspesialisasi untuk penderita lepra, kaum miskin atau musafir.
28

Rumah sakit dalam sejarah Islam memperkenalkan standar pengobatan tinggi
pada abad ke-8 hingga abad ke-12, rumah sakit pertama kali didirikan pada abad ke-9
hingga ke-10 mempekerjakan 25 staf pengobatan dan perlakuan pengobatan berbeda
untuk penyakit yang berbeda pula. Rumah sakit yang didanai pemerintah muncul pula
dalam sejarah Tiongkok pada awal abad ke-10. Perubahan rumah sakit menjadi lebih
sekuler di Eropa terjadi pada abad ke-16 hingga abad ke-17 tetapi baru pada abad ke-18
rumah sakit modern pertama dibangun dengan hanya menyediakan pelayanan dan
pembedahan medis. Inggris pertama kali memperkenalkan konsep ini, Guy,s hospital
didirikan di London pada tahun 1724 atas perintaan seorang saudagar kaya Thomas Guy.
Rumah sakit yang dibiayai swasta seperti ini kemudian menjamur di seluruh Inggris
Raya. Di koloni Inggris di Amerika kemudian berdiri Pennsylvania General Hospital di
Philadelphia pada tahun 1751, setelah terkumpul sumbangan. Di Eropa daratan rumah
sakit biasanya dibiayai oleh dana publik, namun secara umum pada pertengahan abad ke-
19 hampir seluruh negara di Eropa dan Amerika Utara telah memiliki keberagaman
rumah sakit.
Pada tahun 1919, dr. N.F. Liem menggagas untuk mengganti dan menggabungkan
Rumah Sakit Kota (Stadverband Ziekenhuis) dengan Rumah Sakit Kota Pembantu (Hulp
Stadverband Ziekenhuis) di Semarang menjadi Centrale Begrliijke Ziekenninricting yang
dikenal dengan nama CBZ. Pada tanggal 9 September secara resmi CBZ berdiri setelah
memakan waktu 5 tahun pembangunan sejak tahun 1920 dengan kapasitas 500 tempat
tidur dalam bangsal-bangsal besar yang dapat menampung 45 tempat tidur. Ooiman Van
Leeuwen dan Opzichter sebagai perencana serta Bapak Wijanarko sebagai pelaksana jauh
sebelumnya telah merancang pemisahan antara poliklinik dan ruang rawat inap di
29

samping membangun asrama, dapur, pencucian, laboratorium, kamar obat, kantor
administrasi dan garasi. Perumahan dokter dan karyawan dibangun mengelilingi rumah
sakit sengaja untuk efisiensi dan mempermudah pelayanan gawat darurat pada masa lalu.
Pada awal berdirinya tersedia beberapa ahli di bidang penyakit dalam, bedah, kebidanan
dan penyakit kandungan, serta mengutamakan fungsi pelayanan medis berupa
pengobatan kuratif dan fungsi pendidikan paramedis. Dalam perkembangan selanjutnya
rumah sakit diklasifikasi berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit.

C. Rumah Sakit Sebagai Lembaga Bisnis

Pada konsep awal rumah sakit merupakan sebuah lembaga sosial yang
mengedepankan fungsi dan tanggung jawab sosial dan dilaksanakan dengan
pertimbangan kemanusiaan untuk kesejahteraan masyarakat, dengan demikian Rumah
Sakit bukan merupakan lembaga bisnis tetapi merupakan lembaga moral yang nonprofit
yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan.
Seiring dengan perkembangan alam fikiran masyarakat dewasa ini rumah sakit
pada konsep awal semata-mata melakukan pelayanan kesehatan yang bersifat sosial
mengalami perubahan, hal ini disebabkan semakin sulit rumah sakit mendapatkan biaya
yang berasal dari sumbangan para dermawan untuk menopang operasional rumah sakit
ditambah dengan tingginya biaya operasional yang harus dikeluarkan oleh rumah sakit,
sehingga biaya operasional lebih tinggi dibandingkan pemasukan, kondisi demikian dapat
mengancam eksistensi dari rumah sakit itu sendiri. Atas dasar alasan tersebut maka
pendiri/pengelola rumah sakit membuat kebijaksanaan yaitu biaya yang diperlukan untuk
melakukan upaya kesehatan dibebankan kepada pasien. Kondisi demikian tidak dapat
30

dihindari oleh rumah sakit terutama bagi rumah sakit swasta untuk kelangsungan
operasional rumah sakit dan nasib tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit maka
kecenderungan ini tidak dapat dihindari, di sisi lain pembiayaan operasional rumah sakit
tidak mungkin digantungkan secara penuh kepada keuangan pemerintah dan donator.
Dewasa ini daerah memacu untuk menggali Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari
berbagai sektor termasuk sektor pelayanan kesehatan. Dengan dijadikannya rumah sakit
pemerintah sebagai salah satu sektor yang dapat menggenjot pendapatan maka fungsi
rumah sakit menjadi berfungis bisnis.
Dalam konteks ini perlu dilakukan pendakatan yuridis formal bahwa rumah sakit
merupakan salah satu jenis pelayanan publik yang mempunyai tanggung jawab sosial
terhadap kebutuhan masyarakat akan kesehatan. Menurut Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan pelayanan
publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warganegara dan
penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh
penyelenggaran pelayanan publik. Di dalam pasal 5 ayat (2) diatur bahwa ruang lingkup
pelayanan publik meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal,
komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi,
perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya.
Rumah sakit merupakan salah satu jenis pelayanan kesehatan yang melakukan rangkaian
kegiatan pemenuhan kebutuhan jasa pelayanan kesehatan bagi masyarakat, dengan
demikian rumah sakit adalah salah satu bentuk pelayanan publik. Tentang penyelenggara
pelayanan publik dalam pasal 1 ayat (2) ditegaskan bahwa penyelenggara pelayanan
31

publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggaraan
Negara, kooporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang
untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata
untuk kegiatan pelayanan publik. Hal tersebut berarti bahwa rumah sakit pemerintah
termasuk dalam ruang lingkup pelayanan publik yang harus lebih mengedepankan
kepentingan sosial, Negara mempunyai tanggung jawab untuk memajukan kesejahteraan
umum sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945, oleh karena itu
rumah sakit pemerintah harus tetap berkomitmen untuk mendahulukan kepentingan
sosial.
Penyelenggara rumah sakit swasta di Indonesia kebanyakan berbentuk yayaan dan
badan hukum lain yang bersifat sosial dalam bentuk perkumpulan, secara filosofis rumah
sakit swasta dibentuk tidak untuk mencari keuntungan. Di dalam Kode Etik Rumah Sakit
Indonesia Tahun 1986 ada pernyataan bahwa rumah sakit sebagai unit sosio-ekonomi
tidak semata-mata mencari keuntungan. Hal ini berarti rumah sakit diperbolehkan
mencari keuntungan akan tetapi tidak boleh mengutamakan keuntungan tetapi harus
berperan sebagai lembaga sosial. Adapun bentuk-bentuk fungsi sosial rumah sakit swasta
yaitu:

1. Penyediaan 25% tempat tidur bagi pasien tidak mampu atau miskin
2. Membebaskan biaya perawatan pasien yang benar-benar tidak mampu
3. Memberikan tariff khusus bagi pasien tidak mampu
4. Mengutamakan pertolongan darurat tanpa mempertimbangkan biaya atau uang
muka
5. Terlibat dalam program pemerintah di bidang kesehatan, misalnya ikut
penangulangan bencana.
20


20
Lihat Ahdiana Yuni Lestari, Aspek Hukum Komersialisasi Rumah Sakit Swasta Dalam Kaitanya
Dengan Pelayanan Kesehatan Yang berfungsi Sosial, Jurnal Hukum Bisnis, hal. 26.
32



Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
ada ketentuan yang menegaskan kedudukan rumah sakit sebagai lembaga sosial yaitu
dalam pasal 29 ayat (1) huruf f ditegaskan bahwa rumah sakit wajib melaksanakan fungsi
sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin,
pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana
dan kejadian luar biasa. Berdasarkan hal tersebut undang-undang ini tidak dibedakan
kewajiban antara rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta, menurut peneliti dari
sisi tanggung jawab sosial ada perbedaan mendasar antara rumah sakit pemerintah dan
swasta yaitu:
1. Rumah sakit pemerintah wajib menggratiskan pasien tidak mampu/miskin melalui
berbagai program, sedangkan bagi rumah sakit swasta hanya menggratiskan biaya
perawatan bagi pasien yang benar-benar tidak mampu/miskin, bagi pasien yang tidak
mampu/miskin rumah sakit swasta hanya memberlakukan tarif khusus bukan gratis.
2. Penyediaan tempat tidur bagi pasien umum dalam bentuk bangsal dan zaal lebih
banyak dibandingkan dengan tempat tidur khusus/VIP, sedangkan rumah sakit swasta
cenderung menyediakan tempat tidur khusus/VIP lebih banyak dibandingkan tempat
tidur umum dalam bentuk bangsal/zaal.
3. Rumah sakit pemerintah wajib menyediakan ambulan gratis, rumah sakit swasta tetap
membebankan biaya ambulan kepada pasien.
4. Rumah sakit pemerintah wajib memberikan pelayanan kesehatan bencana tanpa
terkecuali karena ditopang langsung oleh pemerintah, sedangkan rumah sakit swasta
memberikan pelayanan kesehatan bencana sesuai dengan kemampuan pelayanannya.
33

Berhubungan dengan fungsi bisnis, ditegaskan dalam pasal 30 ayat (1) yaitu
menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan remunerasi, insentif, dan
penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, melakukan
kerjasama dengan pihak lain dalam rangka pengembangan pelayanan, menerima bantuan
dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, mendapatkan
insentif pajak bagi rumah sakit publik dan rumah sakit yang ditetapkan sebagai rumah
sakit pendidikan. Menurut peneliti ada perbedaan antara rumah sakit pemerintah dan
rumah sakit swasta dalam menjalankan fungsi bisnis yaitu:
1. Penetapan besarnya imbalan jasa yang harus diberikan oleh pasien kepada rumah
sakit ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan untuk rumah sakit swasta ditetapkan oleh
rumah sakit sendiri.
2. Rumah sakit pemerintah tidak bebas untuk menjalin kerjasama dan menerima bantuan
dari pihak lain sedangkan rumah sakit swasta memiliki kebebasan untuk menjalin
kerjasama dan untuk menerima bantuan dari pihak lain.
3. Insentif pajak rumah sakit pendidikan bagi rumah sakit pemerintah ditetapkan oleh
pemerintah contohnya ditentukan dalam Perda, sedangkan untuk rumah sakit swasta
berdasarkan kesepakatan antara rumah sakit dengan lembaga pendidikan.
Menurut Pasal 21 Undang-Undang Nomor 44 Tahu 2009 Tentang Rumah Sakit
ditegaskan bahwa Rumah sakit privat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1)
dikelola oleh badan hukum dengan tujuan provit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau
Persero. Dari pasal 21 tersebut dapat dipahami bahwa rumah sakit swasta bertujuan untuk
mencari keuntungan dari kegiatan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat, jelas bahwa antara rumah sakit publik dan rumah sakit privat memiliki
34

orientasi yang sangat berbeda yaitu rumah sakit publik mengemban tugas sebagai
pelayanan sosial sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap masyarakat
sedangkan rumah sakit swasta bertujuan untuk mencari keuntungan.
Walaupun demikian menurut peneliti rumah sakit pemerintah dapat saja
menjalankan fungsi bisnis untuk mencari keuntungan karena operasional rumah sakit
pemerintah dewasa ini tidak dapat menggantungkan subsidi dari pemerintah, demikian
pula sebaliknya bagi rumah sakit swasta yang didirikan untuk mencari keuntungan tidak
boleh hanya mengedepankan kepentingan bisnis akan tetapi tetap memperhatikan
kepentingan sosial sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap kesehatan masyarakat,
artinya harus ada keseimbangan antara kedua kedua fungsi tersebut.

Salah satu prinsip bisnis yang dapat dipergunakan oleh rumah sakit adalah konsep
balance scorecard yaitu konsep bahwa perusahaan yang sukses tidak hanya
mengejar keuntungan saja, tetapi juga berusaha untuk mengejar kepuasan
pengguna, pengembangan sumber daya manusia dan proses yang bermutu.
21



Menurut peneliti konsep ini penting untuk diterapkan di setiap rumah sakit di
Indonesia jika didukung oleh komitmen yang kuat dari pemerintah dan penyelenggara
rumah sakit.

D. Rumah Sakit Dalam Konteks Hospital Laws dan Hospital By Laws

Istilah hospital Laws terdiri dari dua kata yaitu hospital dan laws, hospital berarti
rumah sakit dan law adalah hukum, hospital laws adalah seperangkat kaedah yang
mengatur semua aspek yang berkaitan dengan kerumah-sakitan, dibuat oleh badan
legislatif, keberadaannya mengikat pemerintah, seluruh rakyat Indonesia dan seluruh

21
Ibid., hal.27.
35

rumah sakit, termasuk rumah sakit asing.
22
Hospital laws berarti segala hukum yang
mengatur tentang rumah sakit dan mengikat pemerintah, rakyat terutama rumah sakit.
Hukum rumah sakit mengatur semua rumah sakit yang ada tanpa ada kecuali apakah
rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, termasuk juga rumah sakit asing yang
didirikan di Indonesia. Hukum rumah sakit juga tidak hanya terbatas oleh aturan yang
mengatur khusus tentang rumah sakit akan tetapi semua aturan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan rumah sakit. Hukum rumah sakit dapat berupa undang-undang, asas-
asas hukum pelayanan kesehatan di rumah sakit, peraturan pemerintah dan sebagainya.
Pada tingkat undang-undang seperti ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata, KUHP,
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
Tentang Pelayanan Publik, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
dan sebagainya. Pada tingkat peraturan pemerintah seperti Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1966 Tentang Tenaga Wajib Simpan Rahasia Kedokteran, Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat
Anatomis serta Transplantasi alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia, Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan. Selain itu rumah sakit
juga tunduk pada peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor :585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan
Medik, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor:749a/Men.Kes/per/XII/1989 tentang
Medical Record dan sebagainya.

22
http://eryrusty.blogspot.com/2009/03/hospital-bylaws.html, diakses tanggal 24 Oktober 2010.
36

Rumah sakit dalam konteks hospital laws tidak hanya berpegang dan tunduk
terhadap segala bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku akan tetapi juga
tunduk kepada asas-asas hukum umum dan asas-asas hukum khusus yang berlaku dalam
ruang lingkup pelayanan medis di rumah sakit. Menurut Sudikno Mertokusumo asas
hukum dibagi 2 (dua) yaitu asas hukum umum dan asas hukum khusus, asas hukum
umum ialah asas hukum yang berhubungan dengan seluruh bidang hukum seperti asas
siapa yang merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi, demi kepastian hukum
dan sebagainya sedangkan asas hukum khusus berfungsi dalam bidang yang lebih sempit
sdalam bidang hukum tertentu seperti asas konsensualisme, asas legalitas dan
sebagainya. Scholten mendefinisikan asas hukum adalah:
Pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum
masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan
keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.
23


Menurut Scholten asas hukum merupakan pikiran-pikiran dasar dan pikiran-
pikiran dasar tersebut dirumuskan secara kongkrit dalam aturan-aturan perundang-
undangan dan putusan-putusan hakim. Eikema Hommes berpendapat sebagaimana
dikutip oleh Alexandra Indriyanti Dewi bahwa asas hukum tidak boleh dianggap sebagai
norma-norma hukum yang kongkrit akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar
umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku.
24
Eikema Hommes lebih menekankan
bahwa asas hukum bukan norma hukum yang nyata tetapi asas hukum menjadi petunjuk
bagi hukum yang berlaku. Beberapa contoh asas hukum umum adalah:

23
J.J. H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 11.
24
Alexandra Indriyanti Dewi, Op. Cit., hal.166.
37

1. Siapa yang mempunyai kepentingan hukum dapat mengajukan gugatan (point
dinteret point daction)
2. Hakim tidak boleh menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan
tidak ada/kabur aturan (Non Miquet)
3. Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain
harus mengganti kerugian tersebut.
Dalam pelayanan kesehatan juga berlaku asas hukum khusus, menurut
Alexandra Indriyanti Dewi di dalam ilmu kesehatan yang dijadikan dasar dalam
pelayanan medis di rumah sakit dikenal beberapa asas yaitu :
a). Sa science et sa conscience, ya ilmunya ya hati nuraninya, maksud dari
pernyataan asas ini adalah bahwa kepandaian seorang ahli kesehatan tidak
boleh bertentangan dengan hati nurani dan kemanusiaannya Biasanya
digunakan pada pengaturan hak-hak dokter, di mana dokter berhak menolak
dilakukannya tindakan medis jika bertentangan dengan hati nuraninya.
b). Agroti Salus Lex Suprema, keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi.
c). Deminimis noncurat lex, hukum tidak mencampuri hal-hal yang sepele. Hal
ini berkaitan dengan kelalaian yang dilakukan oleh petugas kesehatan.
Selama kelalaian tersebut tidak berdampak merugikan pasien maka hukum
tidak akan menuntut.
d). Res Ipsa loquitur, faktanya telah berbicara. Digunakan di dalam kasus-kasus
malpraktik di mana kelalaian yang terjadi tidak perlu pembuktian lebih lanjut
karena faktanya terlihat jelas.
25


Dapat dijelaskan di sini bahwa dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit berlaku
asas hukum khusus yaitu Sa science et sa conscience, dokter tidak boleh melakukan
upaya kesehatan yang diminta oleh pasien yang bertentangan dengan hati nurani dan
kemanusiaan seperti melakukan aborsi atas permintaan pasien, euthanasia dan

25
Ibid., hal. 167.
38

sebagainya. Agroti Salus Lex Suprema, dokter harus mengakui bahwa keselamatan pasien
adalah hukum yang tertinggi dalam arti bahwa dokter harus mengedepankan keselamatan
pasiennya dan melakukan upaya maksimal demi keselamatan pasiennya, dalam kondisi
yang kritis dokter tidak boleh berfikir lain kecuali mengupayakan keselamatan pasien dan
dokter tidak boleh menolak untuk melakukan tindakan penyelamatan nyawa pasien.
Deminimis noncurat lex, dalam kesehatan hukum tidak akan mencampuri hal-hal sepele
yang menimpa pasien dan tidak merugikan pasien, tenaga kesehatan mungkin melakukan
kelalaian seperti lamban melakukan upaya kesehatan terhadap pasien yang tidak parah
(emergency) maka hukum tidak akan menuntut, kecuali sebaliknya. Res Ipsa loquitur,
dalam hal ini tenaga kesehatan lalai dan atau melakukan kesalahan dalam melakukan
tugasnya dan mengkibatkan kerugian fisik seperti cacat permanen atau kematian, atau
mengakibatkan gangguan jiwa pasien di mana faktanya jelas maka tidak perlu
pembuktian lebih lanjut maka hukum akan bertindak.
Di rumah sakit terjadi hubungan hukum antara tenaga kesehatan dan pasien yang
dilakukan dalam bentuk hubungan kontraktual, asas hukum dalam hubungan kontraktual
adalah:
1. Asas konsensual, di mana masing-masing pihak harus menyatakan persetujuannya
baik secara eksplisit (lisan) maupun secara implisit (tertulis) seperti dalam bentuk
melakukan pendaftaran, memberikan nomor urut atau menjual karcis).
2. Asas itikad baik, kedua belah pihak harus memiliki itikad baik dalam menjalin
hubungan kontraktual.
3. Asas bebas, pada prinsipnya kedua belah pihak mempunyai kebebasan dalam
menjalin hubungan kontraktual terutama yang menyangkut hak dan kewajiban,
39

akan tetapi perlu disadari bahwa hubungan terapeutik penuh dengan uncertainly di
mana hasil dan resikonya tidak dapat diperhitungkan secara matematik.
4. Asas tidak melanggar hukum, walaupun kedua belah pihak boleh mengadakan
hubungan kontraktual secara secara bebas tetapi tidak boleh melanggar hukum.
Contohnya kedua belah pihak sepakat untuk melakukan aborsi tanpa indikasi medis,
hal tersebut tidak boleh dianggap hubungan terapeutik tetapi merupakan
pemufakatan jahat. Dokter pun tidak dapat digugat mengganti kerugian atas dasar
wanprestasi.
5. Asas kepatutan dan kebiasaan, kebiasaan dan kepatutan yang berlaku di dunia
kedokteran sedikit berbeda dengan hubungan kontraktual pada umumnya,
penghentian upaya kesehatan oleh pasien secara sepihak dapat dilakukan jika
kepercayaan kepada tenaga kesehatan telah hilang.
Hukum medis bertumpu kepada 2 (dua) asas yaitu:
1. Hak atas pelayanan kesehatan (the right to health care)
2. Hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination)
Hak atas pelayanan kesehatan (the right to health care) menunjukkan bahwa setiap orang
berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, dalam konteks ini ada unsur tanggung
jawab dari Pemerintah untuk menyelenggarakan sarana kesehatan agar kebutuhan
masyarakat akan kesehatan dapat terpenuhi dengan baik dan rumah sakit harus dapat
menyelenggarakan rumah sakit yang dapat memenuhi standar dan pelayanan kesehatan
yang bermutu, rumah sakit tidak boleh menolak untuk melakukan upaya kesehatan. Hak
untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination) merupakan hak dasar
40

pasien bahwa pasienlah yang menentukan apa yang harus dilakukan oleh rumah sakit
terhadap dirinya dan rumah sakit tidak boleh melakukan apa yang tidak diinginkan atau
tidak ada izin dari pasien yang bersangkutan. Kedua asas tersebut menjadi dasar
pelaksanaan hukum medis di rumah sakit.
Dengan demikian di dalam rumah sakit dalam konteks hospital laws selain
berlaku semua peraturan yang berhubungan dengan rumah sakit juga berlaku asas hukum
yang bersifat umum dan asas hukum khusus yang bertujuan agar penyelenggaraan rumah
sakit tetap dalam koridor aturan dan asas hukum yang berlaku.
Hospital by laws adalah peraturan yang dibuat sepihak oleh rumah sakit, berlaku
di rumah sakit yang bersangkutan, mengikat semua pihak yang berinteraksi dengan rumah
sakit (staf manajemen, para professional, karyawan, pasien dll). Hal ini sesuai dengan
amanat Pasal 29 huruf r Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
yang mengatur bahwa setiap rumah sakit mempunyai kewajiban menyusun dan
melaksanakan peraturan internal rumah sakit (hospital by laws). Hospital by laws berfungsi
untuk mengatur kewenangan dan tanggungjawab pemilik, direksi dan tenaga kerja dalam
rumah sakit, mengatur hak dan kewajiban semua pihak yang berinteraksi dengan rumah
sakit dan mengatur tata laksana menjalankan tugas, wewenang, kewajiban dan hak serta
sebagai pedoman bagi rumah sakit dalam penyelenggaraan rumah sakit. Sedangkan
kegunaan hospital by laws adalah:
1. Sebagai pedoman intern rumah sakit
2. Sebagai pedoman bagi pihak ekstern yang berunteraksi dengan rumah sakit termasuk
pasien
41

3. Sebagai sarana untuk menjamin efentifitas, efisiensi dan mutu bagi pelaksanaan tugas
dan kewajiban rumah sakit
4. Sebagai syarat untuk keperluan akreditasi
5. Sebagai sarana perlindungan hukum bagi semua pihak
6. Sebagai acuan dalam penyelesaian sengketa atau konflik
Adalah menjadi kewajiban bagi rumah sakit untuk dapat mematuhi semua
pedoman penyelenggaraan rumah sakit baik itu dalam konteks hospital laws maupun
dalam konteks hospital by laws.

E. Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan Rumah Sakit
Dengan adanya hospital laws dan hospital by laws bertujuan agar
penyelenggaraan rumah sakit tetap tunduk terhadap peraturan yang berlaku baik
ketentuan hukum umum sebagaimana yang diatur dalam KUHP dan KUHPerdata,
ketentuan hukum khusus yang mengatur tentang kesehatan dan rumah sakit serta
peraturan intern rumah sakit. Dengan kondisi tersebut diharapkan agar segala peraturan
dan ketentuan yang mengatur tentang penyelenggaraan rumah sakit memberikan
kepastian hukum baik bagi masyarakat maupun rumah sakit itu sendiri.
Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa tujuan hukum adalah terpelihara
dan terjaminnya keteraturan (kepastian) dan ketertiban. Tanpa keteraturan dan ketertiban,
kehidupan manusia yang wajar memang tidak mungkin.
26
Kepastian hukum menurut
Faisal adalah perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban
setiap warga Negara
27
. Kepastian hukum menurut peneliti adalah peraturan yang dimuat

26
Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama
Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1999, hal. 50.
27
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Mata Padi Presindo, Yogyakarta, 2010, hal. 81.
42

secara pasti dan jelas dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin
tidak adanya keragu-raguan dalam penerapan hukum. Dengan adanya kepastian hukum
akan tercipta tindakan yang selalu terkendali dalam koridor hukum bagi masyarakat
maupun penguasa. UUD 1945 Pasal 28D angka (1) menegaskan bahwa Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum, dengan demikian UUD 1945 mengamanatkan
bahwa salah satu hak setiap orang adalah memperoleh kepastian hukum, kepastian
hukum mutlak dibutuhkan oleh negara yang berdasarkan atas hukum. Kepastian hukum
sering dipertentangkan dengan keadilan yaitu dalam upaya mencapai kepastian hukum
apakah rasa keadilan dikesampingkan atau dalam mencapai rasa keadilan apakah harus
mengenyampingkan asas kepastian hukum. Idealnya rasa keadilan harus sejalan dengan
kepastian hukum, kedua unsur tersebut harus saling mengisi yaitu keadilan yang
berdasarkan kepastian hukum dan kepastian hukum yang berdasarkan rasa keadilan.
Arief Hidayat menyatakan bahwa hukum harus memenuhi rasa keadilan dan
membahagiakan seluruh masyarakat, selain mengandung kepastian hukum.
28

Selanjutnya Arief Hidayat menyatakan bahwa konsep negara hukum mencakup empat
tuntutan dasar, yakni kepastian hukum, hukum berlaku sama bagi seluruh penduduk,
adanya legitimasi demokrasi dalam pembuatan hukum, dan menjunjung tinggi martabat
manusia. Erman Rajagukguk menyatakan bahwa kepastian hukum adalah prasyarat
berhasilnya pembangunan.
29
Di dalam negara yang sedang membangun unsur kepastian
hukum menjadi salah satu kunci keberhasilan pembangunan karena dalam kondisi
tersebut berlakunya aturan yang pasti akan memantapkan langkah pembangunan yang

28
Lihat Arief Hidayat, Kepastian Hukum Harus Sejalan Dengan Rasa Keadilan, http://www.
antaranews.com/berita, diakses 4 September 2010.

29
Lihat Erman Rajagukguk, Kepastian Hukum, http://www.legalitas.org, diakses 4 September 2010.
43

banyak melibatkan pihak dalam negeri dan luar negeri serta mencakup banyak sisi
kehidupan manusia, oleh sebab itu unsur kepastian hukum menjadi prasyarat berhasilnya
pembangunan suatu negara, Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa:

Dalam hukum harus ada keadilan dan kepastian hukum, kepastian hukum itu
penting agar orang tidak bingung. Tapi keadilan dan kepastian hukum itu sendiri
merupakan dua sisi mata uang, keadilan dan kepastian hukum tidak perlu
dipertentangkan. Kalimatnya jangan kita potong : keadilan yang pasti identik
dengan kepastian yang adil.
30



Menurut beliau di dalam suatu produk hukum harus memuat unsur keadilan dan
kepastian hukum, tujuan kepastian hukum adalah agar orang tidak bingung, tidak ragu
ataupun salah menafsirkan suatu peraturan yang berlaku. Jika salah menafsirkan dapat
mengakibatkan suatu keputusan hukum akan jauh dari rasa keadilan, oleh karena itu
beliau menyatakan bahwa antara keadilan dan kepastian hukum adalah dua sisi mata
uang. Dikatakan adil jika berdasarkan aturan yang pasti, dikatakan pasti jika telah
memuat unsur rasa kedilan, artinya kedua unsur tersebut harus seimbang. Fungsi hukum
dan asas-asas dasar negara hukum adalah:
Asas kepastian hukum, warga masyarakat bebas dari tindakan pemerintah dan
pejabatnya yang tidak dapat diprediksi dan sewenang-wenang. Implementasi asas
ini menuntut dipenuhinya :
- Syarat legalitas dan konstitusionalitas, tindakan pemerintah dan pejabatnya
bertumpu pada perundang-undangan dalam kerangka konstitusi
- Syarat Undang-Undang menetapkan berbagai perangkat aturan tentang cara
pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan
- Syarat perundang-undangan hanya mengikat warga masyarakat setelah
diundang dan tidak berlaku surut (Non Retroaktif).
- Asas peradilan bebas terjaminnya obyektifitas, imparsialitas, adil dan
manusiawi.


30
Lihat Jimly Assiddiqie, Keadilan, Kepastian Hukum dan keteraturan, http://www.suarakarya-
online.com/news. diakses 4 September 2010.
44

- Asas bahwa Hakim tidak boleh menolak mengadili perkara dengan alasan
hukum tidak ada atau tidak jelas (Asas Non Miquet).
31



Hal yang penting dari pendapat tersebut adalah bahwa asas kepastian hukum
bertujuan agar masyarakat terhindar dari tindakan pejabat yang dapat bertindak
sewenang-wenang karena tidak adanya aturan yang mengatur, oleh karena itu tindakan
pejabat harus bertumpu pada aturan yang berlaku. Di sisi lain di dalam hukum berlaku
asas bahwa hakim tidak boleh menolak suatu perkara karena alasan hukumnya tidak ada
atau tidak jelas (Asas Non Miquet). Asas Non Miquet menjadi dasar penting dalam
mengatasi permasalahan kekosongan hukum, artinya hakim harus selalu siap dan tidak
boleh menolak perkara yang masuk dan harus tetap memprosesnya, selanjutnya tugas
hakimlah untuk menemukan hukum untuk menangani perkara-perkara tersebut, agar
tidak terjadi tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh hakim dalam menemukan
hukum. Menurut peneliti sebaiknya hukum yang ada tetap menjamin kepastian hukum
agar tindakan hakim tetap dalam koridor hukum dan hakim tidak boleh semaunya
menafsirkan atau mencari hukum lain yang justru dapat menimbulkan ketidakpastian dan
ketidakadilan.
Walaupun masalah pelayanan kesehatan telah banyak diatur dalam berbagai
macam bentuk peraturan perundang-undangan akan tetapi masih ada beberapa ketentuan
yang seharusnya diatur tetapi tidak diatur yang sifatnya sangat penting, demikian juga
dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit masih ada
beberapa hal penting yang seharusnya diatur tetapi tidak diatur dalam undang-undang ini
apalagi hal tersebut berhubungan dengan kewajiban dan hak pasien yang telah menjadi


31
Lihat M. Choliq, Fungsi Hukum dan Asas-asas Dasar Negara Hukum, http://www.suara karya-
online.com/news. Diakses 4 September 2010.
45

isu sentral masyarakat dewasa ini karena tingginya intensitas permasalahan yang timbul
antara rumah sakit dan pasien, dengan kondisi demikian akan mempengaruhi kepastian
hukum baik bagi rumah sakit maupun pasien. Berpedoman dengan pendapat para ahli dia
atas menunjukkan bahwa permasalahan kepastian hukum sangat penting selain agar tidak
terjadi kebingungan bagi masyarakat juga dapat mengontrol tindakan pihak tertentu
seperti rumah sakit agar tidak out of control, kontrol yang sangat efektif adalah kontrol
yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan dan di lain pihak dalam melakukan
penegakan hukum tidak akan mengalami permasalahan karena hal tersebut telah diatur
secara tegas dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa kepastian hukum merupakan
unsur penting dalam tatanan hukum suatu negara agar tercapai kedamaian hidup
manusia, oleh karena itu setiap peraturan perundang-undangan harus menjamin adanya
kepastian hukum bagi setiap orang termasuk Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit.

F. Karakteristik Hubungan Hukum Antara Pasien Dengan Rumah Sakit

Kesehatan sebagai satu unsur kebutuhan mendasar bagi manusia tidak dapat
menghindar dari aspek hukum karena hubungan antar tenaga kesehatan dengan pasien
merupakan hubungan antar subjek hukum yang menimbulkan akibat hukum, ditambah
semakin meningkatnya kasus-kasus yang terjadi dalam bidang kesehatan terutama adanya
kesalahan, kesengajaan, kelalaian yang mengakibatkan kerugian bagi pasien. Rumah
sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan dalam menyelenggarakan aktivitasnya
mengandung muatan hukum. Suryani Supardan berpendapat bahwa:

46

Kegiatan pelayanan kesehatan merupakan suatu transaksi yang sering kali
berhubungan dengan prestasi, sedangkan di sisi lain, kegiatan ini menimbulkan
adanya kontraprestasi atau imbalan. Kegiatan tersebut berlangsung terus menerus
sehingga menjadi suatu kebiasaan, yang akhirnya membentuk peraturan, dan
terutama mengandung muatan hukum.
32



Pembahasan tentang muatan hukum dalam praktik rumah sakit tidak dapat
dipisahkan dari hukum kesehatan, menurut Black Law Dictionary, Hukum kesehatan
(health law) adalah law, ordinance, or codes prescribing sanitary standards and
regulations, designed to promote and preserve the health of the community.
33
Yang
artinya hukum kesehatan adalah = hukum, peraturan, atau perundang-undangan yang
menentukan standar-standar dan peraturan-peraturan, dirancang untuk memajukan dan
menjaga kesehatan masyarakat, hukum kesehatan dapat berupa peraturan, perundang-
undangan yang berisi tentang standar dan aturan yang bertujuan untuk memajukan dan
menjaga kesehatan masyarakat. Menurut H.J.J. Leenen sebagaimana yang dikuti oleh J.
Guwandi, hukum kesehatan adalah:

Semua peraturan hukum yang berhubungan langsung pada pemberian pelayanan
kesehatan dan penerapannya pada hukum perdata, hukum administrasi dan hukum
pidana. Arti peraturan di sini tidak hanya mencakup pedoman internasional,
hukum kebiasaan, hukum yurispudensi, namun ilmu pengetahuan dan
kepustakaan dapat juga merupakan sumber hukum.
34



Menurut Van Der Mijn hukum kesehatan sebagai kumpulan peraturan yang
berkaitan dengan pemberian perawatan dan juga penerapannya kepada hukum perdata,


32
Suryani Supardan dan Dadi Anwar Hadi, Etika Kebidanan dan Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta, 2005,
hal. 113.

33
Blacks Law Dictionary, 5
th
ed. 1978.

34
J. Guwandi, Hukum Medik (Medical Law), Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2004,
hal.12.
47

hukum pidana dan hukum administrasi.
35
Jadi hukum kesehatan menyangkut hukum
perdata, pidana dan administrasi. H.J.J. Leenen dan Van Der Mijn memfokuskan hukum
kesehatan pada peraturan yang mengatur pemberian pelayanan kesehatan yang
penerapannya dapat dilaksanakan menurut hukum administrasi, hukum perdata dan
hukum pidana. Menurut Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI) yang
dikutip oleh M. Yusuf Hanafiah dan Amri yang dimaksud dengan hukum kesehatan
adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan dengan langsung dengan
pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapannya.
36
Pemeliharaan dan pelayanan
kesehatan sangat luas karena dapat dilakukan oleh semua tenaga medis sebagaimana yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan,
oleh sebab itu hukum kesehatan mencakup komponen-komponen hukum
kedokteran/kedokteran gigi, keperawatan, farmasi, Rumah Sakit, kesehatan masyarakat,
kesehatan lingkungan, kebidanan dan sebagainya.
Selain itu dalam hukum kesehatan juga dikenal istilah hukum medik (medical
law) yang sebenarnya pengertiannya berbeda dengan hukum kesehatan, hukum medik
(medical law) menurut Van der Mijn sebagaimana dikutip oleh Guwandi adalah hukum
yang mempelajari hubungan yuridis di mana dokter menjadi salah satu pihak, adalah
bagian dari hukum kesehatan.
37

Oleh karena itu dalam praktik pelayanan kesehatan di rumah sakit sering muncul
istilah pelayanan medik, sengketa medik, persetujuan tindakan medik, rekam medik dan
sebagainya istilah tersebut lebih mengacu kepada hukum medik. Perbedaan antara hukum
kesehatan dan hukum medik adalah terletak pada cakupan hukum tersebut, hukum


35
Ibid., hal. 13.
36
M. Yusuf Hanafiah dan Amri Amir, Op. Cit., hal. 3.
37
J. Guwandi, Op. Cit., hal.13.
48

kesehatan lebih luas dari hukum medik, hukum medik merupakan bagian dari hukum
kesehatan, hukum medik lebih spesifik mengatur tentang hubungan hukum antara rumah
sakit dengan pasiennya. Aspek hukum dalam hubungan antara pasien dan rumah sakit
memiliki karakteristik sendiri yaitu:
1. Aspek hubungan hukum, hubungan hukum antara rumah sakit dan pasien terjadi pada
saat terjadi kesepakatan antara rumah sakit dan pasien untuk melakukan upaya
kesehatan terhadap pasien. Secara khusus hubungan hukum antara pasien dan Rumah
Sakit akan dibahas pada bab III.
2. Aspek objek perjanjian dalam transaksi terapeutik, berdasarkan Pasal 1320
KUHPerdata diatur tentang syarat sahnya suatu perjanjian salah satunya adalah
mengenai sesuatu hal tertentu (objek perjanjian). Secara umum syarat tersebut juga
berlaku dalam hubungan hukum antara pasien dengan rumah sakit yaitu harus ada
objek tertentu. Menurut Bahder Johan Nasution:

Dalam hukum perikatan sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, dikenal adanya
dua macam perjanjian yaitu :
a. Inspanningverbentenis, yakni perjanjian upaya, artinya kedua belah pihak
yang berjanji berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang
diperjanjikan
b. Resultaatverbentenis, yakni suatu perjanjian bahwa pihak yang berjanji akan
memberikan suatu resultaat, yaitu suatu hasil yang nyata sesuai dengan apa
yang diperjanjikan.
38



Dalam hubungan terapeutik antara pasien dengan rumah sakit yang menjadi objek
perjanjian adalah mencari upaya yang maksimal untuk kesembuhan pasien, tenaga
kesehatan hanya berkewajiban untuk mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan

38
Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hal. 13.
49

pasien dengan penuh kesungguhan serta mengerahkan semua ilmu pengetahuan dan
perhatiannya untuk kesembuhan pasien.
3. Aspek perbuatan hukum, setiap tindakan medis yang dilakukan oleh dokter baik
diagnostik maupun terapeutik selalu mengandung perbuatan hukum, tindakan dokter
yang bagaimana yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan hukum dan yang
menimbulkan akibat hukum, lebih jelas akan dipaparkan sebagaimana yang tertuang
di bawah ini :
a. Malpraktik (malpractice)
Malpraktik (malpractice) berasal dari kata mal yang berarti buruk dan practice
yang berarti tindakan atau praktik, malpraktik berarti tindakan atau praktik yang
buruk. Malpraktik dapat berupa:
1). Criminal malpractice, malpraktik yang memenuhi unsur pidana, perbuatan
tersebut merupakan perbuatan tercela, adanya kesalahan berupa kesengajaan
(intentional), kecerobohan (recklessness) ataupun kealpaan (negligence).
Menurut Taylor yang dikutip oleh Endang Kusuma Astuti seorang dokter
baru dapat dipersalahkan dan digugat menurut hukum apabila telah
memenuhi unsur :
a). Duty (kewajiban)
b). Dereliction of That Duty (penyimpangan kewajiban)
c). Damage (kerugian)
d). Direct causal relationship (berkaitan langsung).
39


39
Endang Kusuma Astuti, Op. Cit., hal. 193-194.
50

2). Civil malpractice, dokter tidak melakukan prestasi sebagaimana yang telah
disepakati atau dokter melakukan perbuatan yang melawan hukum. Unsur
civil malpractice adalah:
a). Dokter melakukan wanprestasi, wanprestasi menurut Subekti adalah:

(1).Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.
(2).Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
(3).Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
(4). Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
40



Menurut Bahder Johan Nasution, wanprestasi dalam pelayanan kesehatan
jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

(1). Hubungan antara dokter dengan pasien terjadi berdasarkan kontrak
terapeutik
(2). Dokter telah memberikan pelayanan kesehatan yang tidak patut yang
menyalahi tujuan kontrak terapeutik
(3). Pasien menderita kerugian akibat tindakan dokter yang
bersangkutan.
41


Wanprestasi dalam hubungan antara pasien dengan dokter harus ada
kontrak terapeutik, tetapi dokter menyimpang dari tujuan kontrak
terapeutik yang disepakati, akibatnya pasien menderita kerugian.
b).Dokter melakukan perbuatan melanggar hukum
Menurut Wirjono Prodjodikoro perbuatan melanggar hukum adalah:

Bahwa perbuatan itu mengakibatkan kegoncangan dalam neraca
keseimbangan dari masyarakat. Dan kegoncangan ini tidak hanya terdapat,
apabila peraturan-peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar
(langsung), melainkan juga, apabila peraturan-peraturan kesusilaan,
keagamaan dan sopan santun dalam masyarakat dilanggar (langsung).
42


40
Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1987, hal. 45.
41
Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hal. 63.
42
Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal.7.
51



Perbuatan melanggar hukum tidak hanya terbatas pada perbuatan yang
melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku akan tetapi adalah
hukum yang lebih luas yaitu melanggar susila, agama dan kesopanan.
3) Administrative malpractice, tenaga kesehatan melanggar peraturan yang
berlaku seperti persyaratan menjalankan profesi medis, batas kewenangan,
kewajiban dan sebagainya, maka tenaga kesehatan tersebut dapat
dipersalahkan, contohnya menjalankan praktik tanpa izin, izin kadaluarsa,
tidak membuat rekam medis dan sebagainya.
Menurut J. Guwandi, dikatakan terdapat malpraktek medis apabila:

a). Adanya sikap-tindak seorang dokter yang:
-bertentangan dengan etika, moral dan disiplin
-bertentangan dengan hukum
-bertentangan dengan standar profesi medis
-kekurangan ilmu pengetahuan atau ketinggalan di dalam profesinya yang
sudah berlaku umum di kalangan tersebut.
b).Menelantarkan, kelalaian, kurang hati-hati, acuh, kurang peduli terhadap
keselamatan pasien, kesalahan yang menyolok, dan sebagainya.
43



b. Kecelakaan Medis (Medical Mishap)
Menurut J.Guwandi kelalaian medis dapat dipersalahkan, sedangkan pada
kecelakaan medis tidak dapat dipersalahkan, asalkan ini merupakan kecelakaan
murni, di mana tidak ada unsur kelalaian.
44
Dikatakan kecelakaan jika tindakan
dokter tersebut sudah sesuai dengan etika profesi dan standar profesi medis tetapi

43
Guwandi, Op. Cit., hal. 31-32.
44
Ibid., hal. 25.
52

terjadinya kecelakaan tidak dapat dicegah dan terjadinya tidak diduga
sebelumnya.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa dari aspek perbuatan melanggar
hukum konsepnya sama dengan perbuatan melanggar hukum secara umum di mana
perbuatan tersebut mengandung akibat hukum, tindakan dokter kemungkinan dapat
terjadi kelalaian, malpraktik yang dapat dikategorikan dapat dipersalahkan dan akan
berakibat hukum baik
secara administrasi, perdata maupun pidana. Akan tetapi perbuatan yang dikategorikan
sebagai kecelakaan, tenaga kesehatan tidak dapat dipersalahkan karena tindakan
tersebut telah dilakukan sesuai dengan kode etik dan standar profesi dan akibatnya
tidak dapat dihindari dan tidak diduga sebelumnya.
4. Aspek beban pembuktian
Salah satu unsur penting dalam permasalahan hukum kesehatan adalah tentang
pembuktian mengingat tidak mudah begitu saja untuk pembuktian dalam kasus-kasus
hukum kesehatan :
a. Pada criminal malpractice pembuktiannya didasarkan atas dipenuhi atau tidaknya
unsur pidana, yaitu:
1). Melawan hukum
2). Kemampuan bertanggungjawab
3). Kesalahan
4). Hubungan kausal antara tindakan dengan akibat yang ditimbulkan
5). Ada tidaknya alasan pemaaf
53

Kesalahan merupakan unsur yang penting dalam hukum pidana karena
menyangkut pertanggungjawaban, menurut. Sahuri Lasmadi Sebab asas
pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah tidak di pidana jika tidak ada
kesalahan (geen straf Zonder Schuld; Acrus non facit reum nisi mens sir rea).
45

Sedangkan unsur-unsur kesalahan dalam hukum pidana adalah apabila suatu
perbuatan :
1). Bersifat bertentangan dengan hukum
2). Akibatnya dapat dibayangkan
3). Akibatnya dapat dihindari
4). Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan
b. Pada civil malpractice, diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata yaitu: tiap perbuatan
yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti
kerugian, dikatakan civil malpraktik jika memenuhi unsur-unsur:
1). Pasien harus mengalami suatu kerugian
2). Ada kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
3) Ada hubungan kausal antara kesalahan dan kerugian
4). Perbuatan itu melawan hukum
Sedangkan cara untuk melakukan pembuktian dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara
yaitu:
1). Secara langsung yaitu dengan membuktikan unsurnya secara langsung yaitu
unsur kewajiban, menelantarkan kewajiban, rusaknya kesehatan, dan adanya

45
Sahuri Lasmadi, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam perspektif Kebijakan Hukum Pidana di
Indonesia, Disertasi Doktor Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2003, hal.116.
54

hubungan langsung antara tindakan menelantarkan kewajiban dengan rusaknya
kesehatan.
2). Secara tidak langsung yaitu dengan cara mencari fakta-fakta yang
membuktikan adanya kesalahan di pihak dokter berdasarkan doktrin Res Ipsa
Loquitor (The Think Speaks for it Self), fakta tersebut adalah fakta yang tidak
mungkin terjadi jika dokter tidak lalai, fakta yag terjadi berada di bawah
tanggung jawab dokter, pasien tidak ikut menyumbang timbulnya fakta itu.
Dalam hukum pidana beban pembuktian terletak pada pihak penuntut umum,
tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66 KUHAP),
sedangkan dalam hukum perdata pada beberapa keadaan dapat diberlakukan
pembalikan beban pembuktian, Kedua belah pihak berada pada kedudukan yang sama
beban pembuktian berada pada pihak penggugat. Dalam kenyataan penggugat sangat
sulit mendapatkan bukti-bukti karena pada umumya pasien awan dalam permasalahan
medis. di pihak lain dokter enggan untuk memberikan bukti dan fakta yang objektif,
oleh karena itu berdasarkan prinsip Res Ipsa Loquitur dapat diberi kesempatan kepada
tergugat untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah (pembuktian terbalik).
Chrisdiono M.Achadiat menegaskan bahwa:

Doktrin Res Ipsa Loquitur tidaklah membuktikan sesuatu, melainkan hanya
memberikan suatu kemungkinan terbatas untuk memindahkan beban
pembuktian dari penggugat kepada tergugat sehingga tidak dapat diterapkan
secara otomatis. Dengan penerapan doktrin ini sebenarnya pembuktian oleh
pasien sebagai penggugat tidaklah diperlukan lagi karena kesalahan/kelalaian
yang terjadi telah sedemikian jelasnya.
46




46
Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman, EGC, Jakarta,
2006, hal. 67.
55

Dengan demikian dalam kasus sengketa medik pembuktiannya dapat
dibebankan kepada tergugat untuk membuktikan bahwa tindakan yang dilakukannya
benar (pembuktian terbalik) karena penggugat belum tentu menguasai permasalahan
medik asalkan kesalahan tersebut sangat jelas (Asas Res Ipsa Loquitur).



















56

BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG KEWAJIBAN DAN HAK
ANTARA PASIEN DENGAN RUMAH SAKIT

A. Pengertian Kewajiban dan Hak Antara Pasien Dengan Rumah Sakit
Berbicara tentang kewajiban dan hak maka tidak dapat dipisahkan dengan subjek
hukum, subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban, subjek hukum dibagi
menjadi 2 (dua) yaitu orang (naturlijke person) dan badan hukum (recht person).
Pendukung hak dan kewajiban adalah pihak yang mempunyai kepentingan, yang
menggunakan dan yang mempunyai tanggung jawab terhadap hak dan kewajiban
tersebut. Orang (person) menurut Subekti adalah pembawa hak atau subjek di dalam
hukum.
47
Setiap orang mempunyai hak sejak lahir bahkan dalam perkembangan
selanjutnya manusia yang masih dalam kandungan telah memiliki hak-hak dasar.
Menurut Mochtar Kusumaatmaja dan Arief Sidharta Jadi, badan hukum adalah
pendukung hak dan kewajiban berdasarkan hukum yang bukan manusia, yang dapat
menuntut atau dituntut subjek hukum lain di muka pengadilan.
48
Dalam kondisi
demikian maka badan hukum mempunyai hak dan kewajiban layaknya manusia sebagai
subjek hukum. Ciri-ciri badan hukum adalah:

(a) memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang-orang yang
menjalankan kegiatan dari badan-badan hukum tersebut; (b) memiliki hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang terpisah dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang-
orang yang menjalankan kegiatan badan hukum tersebut; (c) memiliki tujuan
tertentu; (d) berkesinambungan (memiliki kontinuitas) dalam arti keberadaannya
tidak terikat pada orang-orang tertentu, karena hak-hak dan kewajiban-

47
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1992, hal.19.
48
Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Op. Cit., hal. 82.
57

kewajibannya tetap ada meskipun orang yang-orang yang menjalankannya
berganti.
49


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia hak adalah kekuasaan yang benar atas
sesuatu, kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan, tugas menurut hukum,
sedangkan menurut Saut P. Panjaitan hak adalah peranan yang boleh tidak dilaksanakan
(bersifat fakultatif), sedangkan kewajiban merupakan peranan yang harus dilaksanakan
(bersifat imperatif).
50
Seseorang dapat memilih apakah akan menggunakan atau tidak
hak tersebut, menggunakan atau tidak menggunakan hak tersebut adalah hak seseorang,
kewajiban harus dilaksanakan karena jika tidak dilaksanakan dapat merugikan orang lain.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja pengertian hak dan kewajiban adalah:
Pengertian hak pada dasarnya berintikan kebebasan untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu berkenaan dengan sesuatu atau terhadap subjek hukum tanpa
halangan atau gangguan dari pihak manapun, dan kebebasan tersebut memiliki
landasan hukum (diakui atau diberikan oleh hukum) dan karena itu dilindungi
hukum. Karena memiliki landasan hukum dan dilindungi hukum, maka pihak atau
pihak-pihak lainnya berkewajiban untuk membiarkan atau tidak mengganggu
pihak yang memiliki hak melaksanakan apa yang menjadi haknya itu. Jadi, orang
yang berhak adalah seorang yang memiliki kewenangan-kewenangan untuk
melakukan perbuatan tertentu, termasuk menuntut sesuatu. Perbuatan yang
dilakukan berdasarkan dan sesuai dengan kewenangannya itu disebut perbuatan
hukum yang sah. Orang yang berhak itu memiliki kebebasan untuk menggunakan
haknya, termasuk cara-cara menggunakan kewenangan-kewenangan yang timbul
dari haknya itu, sepanjang tidak melanggar melanggar hak orang lain, aturan
hukum, ketertiban umum dan/atau kesusilaan. Sedangkan kewajiban pada
dasarnya adalah keharusan (yang diperintahkan atau ditetapkan oleh hukum)
untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, yang jika tidak
dipenuhi akan menimbulkan akibat hukum tertentu bagi pengemban kewajiban
tersebut.
51



49
Ibid.
50
Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 82.
51
Mochtar Kusumaatmadja, Arief Sidharta, Op. Cit., hal. 90-91.
58

Hal yang dapat dipetik dari pengertian hak dan kewajiban menurut Mochtar
Kusumaatmadja tersebut adalah hak dan kewajiban merupakan hubungan korelatif yaitu
suatu hubungan hukum di mana hak dari salah satu pihak merupakan kewajiban dari
pihak lain, demikian sebaliknya. Hak tersebut harus berdasarkan hukum (diakui atau
diberikan oleh hukum), dan kewajiban tersebut harus berdasarkan hukum (yang
diperintah atau ditetapkan oleh hukum) oleh karenanya pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut dilindungi oleh hukum.
Tentang hak, Peter Mahmud Marzuki membagi hak menjadi 2 (dua) macam:
Hak yang melekat pada manusia yang diciptakan satu paket oleh Allah dengan
manusia itu sendiri dalam tulisan ini disebut hak-hak orisinil. Akan tetapi, tidak
dapat dibantah selain hak yang melekat pada diri manusia secara kodrati memang
ada hak yang merupakan bentukan hukum karena diciptakan oleh hukum. Hak-
hak yang merupakan bentukan hukum tersebut disebut hak-hak derivatif.
52


Hak orisinil berupa hak hidup, hak atas kebebasan, hak milik sedangkan hak derivatif
yaitu hak yang diakui oleh hukum yaitu hak yang diciptakan oleh undang-undang,
kebiasaan dan perjanjian.
Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta:
Tentang hak secara umum dapat dibedakan ke dalam ada dua yakni hak mutlak
(hak absolut) dan hak nisbi (hak relatif). Hak mutlak adalah hak yang dapat
dipertahankan terhadap siapapun, misalnya hak milik atas sebuah mobil
memberikan kepada pemilik mobil itu kebebasan untuk memakai,
menjual,menukarkan, meminjamkan, memberikan atau bahkan membuang mobil
tersebut, dan dalam hal itu ia bebas dari gangguan atau intervensi oleh pihak
manapun, contoh lain, hak mutlak adalah apa yang disebut Hak Asasi Manusia.
Hak nisbi adalah hak yang memberikan kewenangan kepada subjek hukum untuk
menuntut pihak tertentu yang hanya dapat dipertahankan kepada pihak tertentu

52
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hal. 185.
59

saja, misalnya pemilik sebuah buku hanya mempunyai kewenangan untuk
menuntut pembayaran harga buku tersebut hanya dari pembeli buku itu.
53


Dari kedua pembagian hak tersebut dapat disimpulkan bahwa hak orisinil atau hak
mutlak adalah hak asasi manusia yang diberikan oleh Allah kepada setiap manusia dan
dapat dipertahankan kepada siapapun juga, sedangkan hak derivatif atau hak relatif
adalah hak yang dimiliki oleh orang tertentu saja karena diberikan oleh undang-undang
ataupun timbul dari perjanjian dan hanya dapat dipertahankan terhadap orang-orang
tertentu saja.
Menurut Endang Kusuma Astuti Pasien adalah orang sakit (yang dirawat dokter,
penderita (sakit).
54
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran, pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah
kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara
langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi, tidak jauh berbeda
pengertian pasien yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit, pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah
kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara
langsung mapun tidak langsung di Rumah Sakit. Menurut peneliti pasien adalah orang
yang membutuhkan pelayanan kesehatan dari tenaga kesehatan/sarana kesehatan.
Menurut peneliti yang dimaksud dengan hak pasien adalah hak yang dimiliki oleh
pasien dalam upaya memperoleh pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, kewajiban pasien

53
Mochtar Kusumaatmadja, Arief Sidharta, Op.Cit., hal. 91-92.
54
Endang Kusuma Astuti, Op. Cit., hal. 87.
60

adalah kewajiban yang dibebankan kepada pasien dalam upaya memperoleh pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit.
Pasien dalam praktik rumah sakit dapat dikelompokkan menjadi:
1. Pasien dalam, yaitu pasien yang memperoleh pelayanan tinggal atau rawat pada suatu
unit pelayanan kesehatan tertentu, atau pasien yang dirawat di Rumah Sakit.
2. Pasien jalan/luar, yaitu pasien yang hanya memperoleh pelayanan kesehatan tertentu
atau disebut dengan pasien jalan.
3. Pasien gawat darurat yaitu pasien yang harus memperoleh pelayanan kesehatan
dengan cepat terutama untuk keselamatan nyawa pasien.
Kewajiban dan hak yang timbul dalam hubungan hukum antara pasien dengan
rumah sakit merupakan hubungan timbal balik, kewajiban pasien adalah beban yang
harus dilaksanakan oleh pasien terhadap rumah sakit dan pasien harus melaksanakan
kewajiban tersebut, hak pasien adalah hak yang dapat dimiliki oleh pasien dan rumah
sakit harus memenuhi hak tersebut, hak rumah sakit adalah hak yang dimiliki oleh rumah
sakit terhadap pasien, dan pasien harus memenuhi hak rumah sakit tersebut sedangkan
kewajiban rumah sakit adalah kewajiban yang dibebankan kepada rumah sakit terhadap
pasien dan rumah sakit harus melaksanakannya.
B. Pengaturan Tentang Kewajiban dan Hak Pasien Dengan Rumah Sakit
Bidang kesehatan di Indonesia termasuk bidang yang banyak diatur dalam
peraturan perundang-undangan hal tersebut disebabkan luasnya cakupan bidang
kesehatan itu sendiri termasuk pengaturan yang berhubungan dengan kewajiban dan hak
61

antara pasien dengan rumah sakit, untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan jelas
maka peneliti akan menjabarkannya sebagaimana yang tertuang di bawah ini:
1. Di dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit kewajiban
Rumah sakit diatur dalam Pasal 29, hak rumah sakit diatur dalam Pasal 30,
kewajiban pasien diatur dalam Pasal 31 dan hak pasien diatur dalam Pasal 32
(dibahas secara komprehensif pada bab IV).
2. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia
Kedokteran mengatur kewajiban tenaga kesehatan untuk menyimpan rahasia
kedokteran yaitu segala rahasia yang menyangkut pekerjaan dalam lapangan
kedokteran termasuk kewajiban tenaga kesehatan dan rumah sakit untuk menjaga
kerahasiaan tentang diri pasien yang berobat di rumah sakit.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis dan
Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia
pada intinya mengamanatkan bahwa tindakan bedah mayat harus ada persetujuan
dari pasien. Persetujuan pasien adalah prinsip dasar dalam pelayanan kesehatan di
rumah sakit, persetujuan dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis dan
persetujuan dapat diberikan oleh pasien tersebut atau keluarga terdekat.
4. Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 Tentang
Tenaga Kesehatan, pada Pasal 22 diatur tentang kewajiban tenaga kesehatan untuk:
a. menghormati hak pasien
b. menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien
c. memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan
dilakukan
62

d. meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan
e. membuat dan memelihara rekam medis
Pasal 23 hanya mengatur hak pasien untuk menuntut ganti rugi jika pelayanan
kesehatan yang diterimanya mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau
kematian. Dalam Peraturan Pemerintah ini tidak diatur tentang hak tenaga kesehatan
dan kewajiban pasien.
Sebelum melakukan tindakan medik di rumah sakit, dokter harus meminta
persetujuan dari pasien, hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan
Tindakan Medik pada intinya mengatur bahwa seluruh tindakan medis harus
mendapatkan persetujuan dari pasien. Persetujuan tindakan medik merupakan unsur
penting dalam pelayanan medik di rumah sakit bahwa tindakan medik harus
mendapatkan persetujuan dari pasien atau keluargnya setelah pasien mendapatkan
informasi yang lengkap dari dokter (informed consent), persetujuan tersebut dapat
dilakukan secara lisan maupun tertulis berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak,
untuk pengobatan yang memiliki resiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis dari
pasien atau keluarga terdekat.
Demikian juga rumah sakit wajib membuat rekam medik setiap tindakan
medik yang dilakukan di rumah sakit, hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 749a/Men.Kes/Per/XII/1989 Tentang Rekam
Medis/Medical Record mengatur tentang kewajiban rumah sakit yang memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien wajib membuat rekam medis. Rekam medik
63

berisi data-data kesehatan pasien termasuk tindakan-tindakan yang telah dilakukan
oleh dokter, isi rekam medik adalah milik pasien.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pengaturan tentang kewajiban dan hak
yang terjalin antara pasien dengan tenaga kesehatan diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan berupa undang-undang dan peraturan pemerintah serta di dalam
kebijakan pemerintah dalam bentuk Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), hal ini
menunjukkan bahwa permasalahan kewajiban dan hak antara pasien dengan tenaga
kesehatan dan/atau sarana kesehatan merupakan permasalahan yang kompleks dan luas
sehingga aturanya tersebar dalam berbagai bentuk produk hukum dan kebijakan. Secara
umum permasalahan pelayanan kesehatan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2009 Tentang Pelayanan Publik.
Hal ini juga menandakan bahwa perhatian pemerintah terhadap permasalahan
hubungan antara pasien dengan tenaga kesehatan dan/atau sarana kesehatan cukup baik,
di mana dikeluarkannya berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan
pemerintah tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi
masyarakat/pasien dan tenaga kesehatan dan/atau sarana kesehatan serta demi
terjaminnya perlindungan hukum atas hak-hak kedua belah pihak.

C. Hubungan Hukum Antara Pasien Dengan Rumah Sakit
Secara umum hubungan hukum mempunyai pengertian sebagai hubungan antara
dua subjek hukum atau lebih di mana hak dan kewajiban di satu pihak berhadapan
dengan hak dan kewajiban di pihak lain, sedangkan subjek hukum secara umum dapat
64

diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban, subjek hukum dibagi atas 2 (dua)
macam yaitu manusia (naturlijke person) dan badan hukum (rechts person), manusia
(naturlijke person) adalah setiap manusia yang sejak dilahirkan sampai meninggal dunia
sebagai subjek hukum, badan hukum (rechts persoon) adalah tiap pendukung hak dan
kewajiban yang bukan manusia
55
, dinamakan badan hukum karena pengaturannya sesuai
dengan hukum yang berlaku seperti Perseroan Terbatas (PT), yayasan dan koperasi.
Menurut Mudjiono, di dalam hukum ada dua macam badan hukum yaitu : badan hukum
publik, seperti Negara, Daerah-daerah, dan lain sebagainya dan badan hukum perdata di
mana bentuk dan susunannya diatur oleh hukum privat.
56
Badan hukum publik adalah
lembaga yang didirikan berdasarkan hukum publik yang menyangkut kepentingan publik
(orang banyak) atau kepentingan Negara, sedangkan badan hukum perdata (privat) adalah
badan hukum yang didirikan oleh pribadi orang/perkumpulan untuk mencapai tujuan
tertentu, badan hukum privat dapat bergerak di bidang nonprofit (sosial) dan profit (laba).
Setiap hubungan hukum memiliki 2 (dua) segi yaitu kekuasaan/hak dan
kewajiban, di mana salah satu pihak memiliki hak atas pihak lain dan sebaliknya satu
pihak memiliki kewajiban terhadap pihak lain dan dapat pula kedua-duanya mengemban
hak dan kewajiban dari hubungan hukum tersebut. Syarat terjadinya hubungan hukum
pertama adanya dasar hukumnya yaitu adanya peraturan yang mengatur hubungan
tersebut, kedua adanya peristiwa hukum yaitu perbuatan yang menimbulkan akibat
hukum bagi kedua belah pihak.
Hubungan hukum antara pasien dengan rumah sakit bermula dari Transaksi
Terapeutik, pada saat pasien datang ke rumah sakit untuk berkosultasi tentang kondisi

55
Mudjiono, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1991, hal. 45.
56
Ibid, hal. 46.
65

kesehatannya terjadi komunikasi antara pasien dengan dokter, pasien menyampaikan
keluhannya dan dokter menyampaikan upaya apa yang dapat dilakukan dokter terhadap
pasiennya (informed concent), kemudian pasien menginginkan suatu tindakan dari dokter
dan sebaliknya dokter menawarkan tindakan yang dapat dilakukan dokter beserta
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, pada saat itulah sebenarnya terjadi suatu
transaksi terapeutik, pada saat pasien dan dokter sepakat/menyetujui tindakan yang akan
dilakukan maka pada saat itulah sebenarnya terjadinya persetujuan tindakan terapeutik/
kontraktual. Perlu dipahami bahwa dimulainya hubungan hukum antara pasien dengan
dokter/rumah sakit yaitu pada saat tercapainya kesepakatan antara kedua belah pihak.
Persetujuan adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan
diri terhadap satu orag lain atau lebih (Pasal 1313 KUH Perdata). Pasal tersebut menjadi
dasar hubungan antara pasien dan Rumah Sakit dimana kedua belah pihak terikat
terhadap persetujuan yang dicapai dan persetujuan tersebut menjadi undang-undang bagi
kedua belah pihak (Pasal 1338 KUH Perdata), dengan demikian persetujuan yang telah
disepakati akan menimbulkan akibat hukum bagi kedua belah pihak. Persetujuan yang
dibuat harus memenuhi persyaratan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata yaitu:
1. Adanya kesepakatan dari kedua belah pihak, dalam hal ini disebut persetujuan
tindakan medis. Persetujuan dapat berupa :
a. Dinyatakan (expressed concent) baik secara lisan maupun tertulis, tindakan tertulis
biasanya untuk tindakan yang mengandung resiko tinggi seperti bedah.
b. Tersirat atau dianggap telah diberikan persetujuan (implied concent), yaitu dalam
keadaan normal dan darurat (Permenkes Nomor 585). Munir Fuady
66

mengemukakan bahwa dalam hukum kontrak ada yang disebut kontrak tersamar
secara hukum (implied in-law contract) yaitu kontrak tersamar secara hukum ini
merupakan satu-satunya jenis kontrak yang sebenarnya sama sekali tidak ada
unsur kesepakatan kehendak di antara kedua belah pihak, tetapi oleh hukum
diasumsi adanya unsur kesepakatan kehendak tersebut.
57
Dapat dicontohkan
terjadinya kecelakaan, dokter melakukan pertolongan terhadap korban yang tidak
sadar maka setelah sembuh tanpa diminta, korban selayaknya membayar biaya
pengobatan yang telah dilakukan oleh dokter walaupun sebelumnya tidak ada
persetujuan tentang upaya tersebut.
2. Kecakapan para pihak, dalam hal ini kedua belah pihak harus cakap untuk membuat
kesepakatan, pasien di bawah umur harus mendapat persetujuan dari
orangtua/wali/keluarga dekat/induk semang.
3. Suatu pokok persoalan/objek tertentu, Dalam hukum hal ini objek perjanjiannya
adalah inspanningsverbintenis (objeknya adalah mencari cara terbaik untuk
kesembuhan pasien) bukan resultaatsverbintenis (objeknya hasil).
4. Suatu sebab yang halal/sah, untuk menentukan halal/sahnya atau tidaknya suatu
perjanjian dapat dinilai dari 2 (dua) unsur yaitu:
a. Berdasarkan perjanjian, bahwa apa yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan
dengan kesusilaan dan ketertiban umum seperti kesepakatan untuk menggugurkan
kandungan.
b. Berdasarkan hukum, tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum yang
berlaku.

57
Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung,
1999, hal.51.
67

Akibat hukum dari hubungan hukum antara pasien dengan dokter/Rumah Sakit
dapat berupa tuntutan ganti rugi karena salah satu pihak wanprestasi dan jika terjadi
kesalahan berupa kesengajaan (intentional), kecerobohan (recklessness) ataupun kealpaan
(negligence), berdasarkan asas Barangsiapa merugikan orang lain, harus memberikan
ganti rugi (Pasal 1365 KUH Perdata).
Menurut Veronica Komalawati, ada dua teori hukum yang menunjang adanya
hubungan hukum antara dokter dan pasien yaitu : Contract Theory dan Undertaking
Theory.
58
Contract Theory adalah jika dokter setuju untuk merawat seseorang dengan
imbalan honor tertentu, maka diciptakan pengaturan kontraktualnya, sedangkan
Undertaking Theory yaitu jika dokter merelakan diri untuk memberikan perawatan
kepada seseorang maka tercipta hubungan professional disertai kewajiban perawatan
terhadap si penerima. Pada dasarnya hubungan hukum terjalin pada saat tercapai kata
sepakat untuk melakukan upaya pelayanan kesehatan antara dokter dan pasien.
Menurut hukum perdata, hubungan professional dokter-pasien dapat terjadi karena
2 hal, yaitu:

1). Berdasarkan perjanjian (ius contractu) yang berbentuk kontrak terapeutik
secara sukarela antara dokter dengan pasien berdasarkan kehendak bebas.
Tuntutan dapat dilakukan bila terjadi apa yang disebut wanprestasi, yakni
pengingkaran terhadap hal yang diperjanjikan. Dasar tuntutan adalah tidak
melakukan, terlambat melakukan, salah melakukan ataupun melakukan
sesuatu yang tidak boleh dilakukan menurut perjanjian itu.
2). Berdasarkan hukum (ius delicto),berlaku prinsip siapa yang merugikan orang
lain harus memberikan ganti rugi.
59




58
Veronica Komalawati, Op.Cit., hal. 20.
59
Lihat Chrisdiono M. Achadiat, Op. Cit., hal. 74-75.
68

Aspek hukum harus dipahami oleh tenaga kesehatan maupun pasien agar terjalin
hubungan yang baik antara kedua belah pihak, pemahaman terhadap aspek hukum
tersebut juga bertujuan meminimalisir terjadinya sengketa medik.

D. Tanggung Jawab Rumah Sakit Secara Hukum Terhadap Pasien
Telah diterangkan sebelumnya bahwa dalam praktik pelayanan kesehatan dapat
terjadi wanprestasi, kesalahan berupa kesengajaan, kecerobohan ataupun kealpaan yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit di mana tindakan dari
tenaga kesehatan di rumah sakit tersebut menimbulkan kerugian bagi pasien, siapakah
yang patut bertanggung jawab ?. Menurut Bahder Johan Nasution, pertanggungjawaban
dokter bersumber pada 2 (dua) dasar hukum yaitu: Pertama, berdasarkan pada
wanprestasi (contractual liability) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1239
KUHPerdata. Kedua, berdasarkan perbuatan melanggar hukum (onrechmatigedaad)
sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata.
60
Pasal 1239 KUHPerdata mengatur
bahwa tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib
diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur
tidak memenuhi kewajibannya, Pasal 1365 KUHPerdata mengatur bahwa tiap perbuatan
yang melanggar hukum dan membawa kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan,
melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesembronoan.
Secara umum bagi tenaga kesehatan baik yang bekerja di rumah sakit/sarana
kesehatan lainnya mempunyai tanggung jawab sebagai berikut yaitu:
1. Tanggung jawab etik yang menyangkut kode etik kedokteran yang terangkum dalam
lafal sumpah dan dijabarkan dalam KODEKI.

60
Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hal. 63.
69

2. Tanggung jawab profesi yang berkaitan dengan profesi tenaga kesehatan menyangkut
kemampuan dan keahlian dalam menjalankan tugas profesinya.
3. Tanggung jawab hukum meliputi, hukum administrasi, hukum perdata dan hukum
pidana.
Menurut Nusye Kl.Jayanti, ada beberapa teori untuk menentukan siapa yang harus
bertanggung jawab jika adanya tuntutan dari pasien terhadap Rumah Sakit yaitu:
1. Personal Liability
Adalah tanggung jawab yang melekat pada individu seseorang. Artinya siapa yang
berbuat dialah yang bertanggung jawab, tanggung jawab tersebut tidak dapat
dialihkan kepada orang lain.
2. Strict Liability
Adalah tanggung jawab tanpa kesalahan, contohnya rumah sakit yang menjual obat
harus bertanggung jawab jika terjadi keracunan obat walaupun bukan Rumah Sakit
yang memproduksi obat. Terjadinya keracuan rumah sakit dapat dipersalahkan
karena kemungkinan menjual obat kadaluarsa atau tercampurnya obat dengan bahan
lain. Pertanggungjawabannya tidak dibebankan kepada perusahaan yang
memproduksi obat, kecuali jika obat tersebut adalah hasil racikan langsung dari
dokter maka pertanggungjawabannya dibebankan kepada dokter yang bersangkutan.
3. Vicarious Liability
Adalah rumah sakit harus bertanggung jawab akibat kesalahan yang dibuat oleh
bawahannya, hal ini sejalan dengan Pasal 1367 KUHPerdata : Seseorang tidak hanya
bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan
juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi
70

tangungannya, atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya. Dalam konteks ini jika kesalahan dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang bekerja untuk rumah sakit maka rumah sakit harus ikut bertanggung jawab atas
kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya tersebut.
4. Respondent Liability
Adalah tanggung jawab tanggung renteng antara dokter dan rumah sakit hanya dapat
terjadi pada posisi dokter/tenaga kesehatan sebagai employee/bawahan, bukan
sebagai mitra. Dalam hal ini dokter dan rumah sakit dibebankan untuk mengemban
tanggung jawab secara bersama-sama atas kesalahan yang dilakukan oleh dokter
yang bekerja utuk rumah sakit tersebut.
5. Corporate Liability
Yang bertanggung jawab adalah pemerintah, misalnya kurangnya ketersediaan obat
dan kurangnya tenaga kesehatan di suatu daerah. Dalam konteks ini Pemerintah dan
Pemerintah Daerah harus bertanggung jawab jika terjadi kurangnya ketersediaan dan
pasokan obat di suatu daerah, kurangnya jumlah tenaga kesehatan termasuk tenaga
kesehatan yang kurang kompeten.
6. Res Ipsa Loquitor Liability
Tanggungjawab yang diakibatkan perbuatan melebihi wewenang, misalnya seorang
perawat melakukan tindakan selayaknya seorang dokter tanpa kewenangan atau
kesalahan yang mengakibatkan kerugian bagi pasien tersebut terlihat jelas dan nyata.
Kesalahan tersebut adalah jelas dan nyata karena perawat tidak berhak melakukan
tindakan selayaknya seorang dokter berdasarkan pengaturan tentang batas
kewenangan yang boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan selain dokter (paramedis).
71

Dari pembahasan di atas jelas bahwa rumah sakit dalam hal ini pihak manajemen
dan pemilik rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawaban jika terjadi tuntutan dari
pasien atas dasar wanprestasi ataupun perbuatan melanggar hukum berdasarkan teori
Vicarious Liability yaitu rumah sakit harus ikut bertanggungjawab atas kesalahan yang
dilakukan oleh bawahannya dan Respondent Liability yaitu tanggungjawab renteng antara
dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit dalam hubungan dokter/tenaga kesehatan
sebagai bawahan. Dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang
Rumah Sakit juga menegaskan bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum
terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan di rumah sakit.













72

BAB IV
KEWAJIBAN DAN HAK ANTARA PASIEN DENGAN RUMAH SAKIT
DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2009
TENTANG RUMAH SAKIT

A. Pengaturan Kewajiban dan Hak Antara Pasien Dengan Rumah Sakit Dalam
Perspektif Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit

Menurut Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta sumber hukum formil
bertalian dengan masalah atau persoalan di manakah kita bisa mendapatkan dan
menemukan ketentuan-ketentuan atau kaedah-kaedah hukum yang mengatur kehidupan
manusia dalam masyarakat.
61
Hal ini berarti masyarakat dapat memperoleh sumber yang
pasti tentang ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk mengatur kehidupan masyarakat.
Salah satu sumber hukum formil adalah undang-undang, menurut Pasal 7 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan peraturan perundang-
undangan secara hirarkhis undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang
berada di bawah Undang-Undang Dasar (UUD). Undang-undang ditetapkan berdasarkan
persetujuan bersama antara Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), materi
dalam undang-undang biasanya mengatur tentang ketentuan yang bersifat umum
termasuk tentang hak dan kewajiban.

Pengaturan tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan Rumah Sakit di
dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 bertujuan untuk memberi pedoman yang
jelas bagi kedua belah pihak tentang kewajiban dan hak yang timbul dalam hubungan

61
Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Op. Cit., hal. 60.
73

hukum, dengan demikian diharapkan akan terjalin hubungan yang baik bagi pasien dan
rumah sakit. Pasien diharapkan dapat mengetahui kewajibannya sebagai pasien terhadap
rumah sakit, demikian pula rumah sakit dapat mengetahui kewajibannya terhadap pasien,
Pasien dapat mengetahui hak yang dimilikinya dalam hubungan hukum tersebut demikian
pula rumah sakit dapat mengetahui hak yang dimiliki rumah sakit terhadap pasien. Jika
kedua belah pihak mengetahui akan kewajiban dan haknya masing-masing maka akan
terjalinnya hubungan yang saling menghormati dan saling menguntungkan bagi kedua
belah pihak.
Untuk itulah perlu dikemukakan di bab ini pengaturan tentang kewajiban dan hak
antara pasien dengan rumah sakit berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit. selanjutnya peneliti akan memberikan analisis dan kritik terhadap
ketentuan-ketentuan kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit tersebut.
1. Kewajiban rumah sakit diatur dalam pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit, dapat dijabarkan sebagai berikut :
a.Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit kepada
masyarakat
b.Memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif
dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah
sakit
c. Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan
pelayanannya
d. Berperan aktif dalam memberikan pelayanan keehatan pada bencana, sesuai dengan
kemampuan pelayanannya
74

e. Memberikan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin
f. Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan
pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan
gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi
kemanusiaan
g. Membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di rumah
sakit sebagai acuan dalam melayani pasien
h. Menyelenggarakan rekam medis
i. Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain sarana ibadah,
parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak, lanjut
usia
j. Melaksanakan sistem rujukan
k. Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta
peraturan perundang-undangan
l. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban
pasien
m. Menghormati dan melindungi hak-hak pasien
n. Melaksanakan etika rumah sakit
o. Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana
p. Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara regional
maupun nasional
q. Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran
gigi
75

r. Menyusun dan melaksanakan peraturan internal rumah sakit (hospital by laws)
s. Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas rumah sakit
dalam melaksanakan tugas
t. Memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan bebas rokok
Jika dikaitkan beberapa ketentuan tersebut dengan ketentuan yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, maka dapat dianalisis sebagai berikut:
a. Kewajiban rumah sakit untuk memberikan informasi yang benar tentang pelayanan
rumah sakit (pasal 29 ayat (1) huruf a), memberikan informasi yang benar , jelas
dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien (pasal 29 ayat (1) huruf l), sejalan
dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata yang menegaskan
bahwa tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena
kekhilapan, ataudiperoleh dengan paksaan atau penipuan. Rumah sakit tidak boleh
memberikan informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan rumah sakit dalam
memberikan pelayanan baik itu menyangkut kualitas pelayanan tenaga kesehatan
maupun prasarana dan sarana serta alat penunjang yang dimiliki rumah sakit
karena hal tersebut dapat dikategorikan adanya unsur penipuan dalam perjanjian.
Rumah sakit harus memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur kepada
pasien. Menurut Pasal 1328 KUHPerdata persetujuan yang mengandung unsur
penipuan maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
b. Kewajiban rumah sakit untuk menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan
standar profesi dan etika serta peraturan perundang-undangan (pasal 29 ayat (1)
huruf k), sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata bahwa salah
satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah suatu sebab yang tidak terlarang. Rumah
76

sakit wajib menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan seperti menggugurkan kandungan tanpa ada alasan medis.
Jika peneliti analisis dari pengaturan kewajiban rumah sakit terhadap pasien, ada
beberapa ketentuan yang perlu peneliti kritisi yaitu:
a. Dalam pasal tersebut tidak dicantumkan kewajiban rumah sakit untuk mengganti
tenaga kesehatan yang tidak memiliki kompetensi dalam memberikan pelayanan
terhadap pasien setelah ada keluhan dari pasien.
b. Dalam pasal tersebut tidak dicantumkan kewajiban rumah sakit untuk
menyediakan ruang khusus (ruang isolasi) bagi pasien yang mengidap penyakit
yang dapat membahayakan/menular terhadap pasien lainnya.
Kewajiban rumah sakit untuk mengganti tenaga kesehatan yang tidak
memiliki kemampuan dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien
setelah adanya keluhan dari pasien harus dicantumkan dalam undang-undang ini,
argumen peneliti adalah sesuai dengan asas dalam hukum kesehatan yaitu asas hak
atas pelayanan kesehatan (the right to health care) bahwa pasien berhak
mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dari rumah sakit, kemudian asas
Agroti Salus Lex Suprema yaitu keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi,
pasien yang ditangani oleh tenaga kesehatan yang tidak memiliki kemampuan akan
membahayakan keselamatan pasien tersebut. Jika dihubungkan dengan Pasal 8 Ayat
(1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang/jasa yang
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Pelayanan kesehatan adalah pelayanan jasa, Rumah
77

Sakit dilarang memperkerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki kemampuan
yang disyaratkan dalam standar profesi apalagi hal tersebut memiliki tingkat resiko
tinggi terhadap keselamatan manusia. Jika dihubungkan dengan Pasal 15 huruf a
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik bahwa
penyelenggara pelayanan publik wajib menempatkan pelaksana yang kompeten.
Kewajiban Rumah Sakit untuk menyediakan ruang khusus (ruang isolasi) bagi
penderita penyakit yang dapat membahayakan/menular terhadap pasien lain harus
dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit,
adalah menjadi kewajiban rumah sakit untuk menyediakan khusus/isolasi bagi
penderita penyakit berbahaya/menular.
2. Hak Rumah Sakit diatur dalam pasal 30 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit, dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi sumber daya manusia sesuai dengan
klasifikasi rumah sakit
b. Menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan remunerasi, insentif, dan
penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
c. Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka mengembangkan
pelayanan
d. Menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
e. Menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian
f. Mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan kesehatan
78

g. Mempromosikan layanan kesehatan yang ada di rumah sakit sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
h. Mendapatkan insentif pajak bagi rumah sakit publik dan rumah sakit yang
ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan
Jika dikaitkan beberapa ketentuan tersebut dengan ketentuan yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, maka dapat dianalisis sebagai berikut:
a. Hak rumah sakit untuk menerima imbalan jasa pelayanan (pasal 30 ayat (1) huruf
b), sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1314 KUHPerdata bahwa
suatu persetujuan memberatkan adalah suatu persetujuan yang mewajibkan tiap
pihak untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu. Rumah sakit berhak menerima imbalan jasa dari pasien setelah pasien
menerima pelayanan kesehatan dari rumah sakit, dalam konteks ini terjalin
hubungan saling membutuhkan dan menguntungkan antara rumah sakit dan
pasien di mana jika salah satu pihak wanprestasi berakibat merugikan pihak lain
dan dapat digugat atas dasar wanprestasi.
b. Hak rumah sakit untuk menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian (pasal 30
ayat (1) huruf e), sejalan dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata bahwa tiap
perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk
mengganti kerugian tersebut. Jika pasien atau pihak lain tidak memenuhi
kewajiban terhadap rumah sakit maka rumah sakit dapat menggugat atas dasar
wanprestasi.
79

3. Kewajiban Pasien diatur dalam pasal 31 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit, dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap Rumah Sakit atas pelayanan yang
diterimanya
b. Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pasien diatur dengan peraturan
Menteri
Berdasarkan analisis peneliti terhadap ketentuan tentang kewajiban pasien tersebut
maka ada beberapa kritik yang peneliti sampaikan yaitu ketentuan ini hanya
menegaskan bahwa pasien mempunyai kewajiban terhadap rumah sakit atas
pelayanan kesehatan yang diterimanya tanpa mencantumkan secara limitatif
kewajiban apa saja yang harus dipenuhi oleh pasien terhadap rumah sakit dan akan
diatur dalam peraturan menteri adalah sangat tidak tepat, menurut peneliti
kewajiban pasien harus dicantumkan dalam undang-undang karena hak dan
kewajiban merupakan aturan yang umum yang menyangkut kepentingan orang
banyak (umum), suatu aturan yang bersifat umum harus diatur dalam undang-
undang. Argumen peneliti ini berdasarkan pada pendapat beberapa ahli, Peter
Mahmud Marzuki menyatakan bahwa Pada masyarakat modern, aturan yang
bersifat umum tempat dituangkannya perlindungan kepentingan-kepentingan itu
adalah undang-undang.
62
Pengaturan tentang hak dan kewajiban merupakan
ketentuan yang bersifat umum, oleh karena itu kewajiban pasien harus diatur secara
limitatif dalam undang-undang ini. Selanjutnya perangkat hukum suatu Negara

62
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., hal. 157.
80

harus mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga Negara
63
. Perangkat
hukum tersebut salah satunya adalah undang-undang, dan perangkat hukum tersebut
harus menjamin hak dan kewajiban warga Negara agar ada perlindungan terhadap
kepentingan warga negara. Sudikno Mertokusumo menegaskan bahwa Kalau
hendak mencari hukumnya, arti sebuah kata, maka dicarilah terlebih dahulu dalam
undang-undang, karena undang-undang bersifat otentik dan tertulis, yang lebih
menjamin kepastian hukum.
64
Dari tiga pendapat ahli tersebut dapat dipahami
bahwa tempat dituangkannya perlindungan kepentingan-kepentingan (hak dan
kewajiban) adalah undang-undang, perangkat hukum suatu Negara harus mampu
menjamin hak dan kewajiban warga Negara dan untuk mencari hukumnya adalah
pada undang-undang. Menurut peneliti kewajiban pasien yang harus diatur dalam
undang-undang ini adalah:
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya
kepada tenaga kesehatan di rumah sakit
b. Mematuhi ketentuan yang berlaku di rumah sakit
c. Mematuhi kesepakatan dengan rumah sakit.
d. Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter
e. Menghormati kepentingan pasien lain
f. Menghormati hak rumah sakit
g. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima di rumah sakit sesuai
dengan ketentuan yang berlaku

63
Lihat Faisal, Loc. Cit.
64
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum., Liberty, Yogyakarta, 2009, hal. 48.
81

Perlu dipahami juga bahwa hubungan hukum antara pasien dengan rumah sakit
adalah hubungan yang setara dan seimbang maka hak dan kewajiban pasien dengan
rumah sakit harus diatur dalam peraturan yang memiliki tingkatan yang sama yaitu
dalam satu undang-undang bukan dipisahkan di dalam ketentuan lain.
Jadi jelaslah bahwa ketentuan tentang hak dan kewajiban harus diatur secara
limitatif dalam undang-undang bukan dalam peraturan menteri, undang-undang
adalah sumber hukum yang paling diprioritaskan, sedangkan peraturan menteri
adalah aturan pelaksana yang lebih bersifat teknis bukan mengatur ketentuan yang
bersifat umum, undang-undang adalah sumber hukum yang diprioritaskan dan secara
hirarkhis berada di bawah UUD maka dapat dengan mudah diketahui dan dipahami
oleh masyarakat, sedangkan peraturan menteri yang merupakan produk kebijakan
pemerintah tidak mudah untuk diketahui dan dipahami oleh masyarakat, undang-
undang menjadi pedoman yang kuat dan pasti bagi setiap orang, sampai saat ini
peraturan menteri yang mengatur tentang kewajiban pasien belum ditetapkan oleh
Menteri Kesehatan.
4. Hak Pasien diatur dalam pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang
Rumah Sakit, dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah
sakit
b. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien
c. Memperoleh pelayanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi
d. Memperoleh layanan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional
82

e. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari
kerugian fisik dan materi
f. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatnya
g. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan
yang berlaku di rumah sakit
h. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang
mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar rumah sakit
i. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data
medisnya
j. Mendapatkan informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis,
tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, resiko dan komplikasi yang mungkin
terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya
pengobatan
k. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh
tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya
l. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis
m. Menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan yang dianutnya selama hal itu
tidak mengganggu pasien lain
n. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di
rumah sakit
o. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakukan rumah sakit terhadap dirinya
p. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan
kepercayaan yang dianutnya
83

q. Menggugat dan/atau menuntut rumah sakit apabila rumah sakit diduga
memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata
ataupun pidana
r. Mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan
melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Jika peneliti analisis ketentuan tentang hak pasien terhadap rumah sakit
tersebut dengan prinsip-prinsip hukum privat adalah :
a. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatnya sesuai dengan
asas hukum perdata bahwa barang siapa merugikan orang lain wajib menganti
kerugian yang diderita (Pasal 1365 KUHPerdata), pengaduan tersebut dapat
dilakukan jika salah satu pihak dinilai telah merugikan pihak lain atau telah
melanggar kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak.
b. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh
tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya, hal ini sesuai dengan pasal
1320 KUHPerdata yang mengatur bahwa salah satu syarat sahnya persetujuan
adalah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak sebagai syarat subjektif
perjanjian.
Berdasarkan analisis peneliti terhadap ketentuan tentang hak pasien tersebut
maka ada beberapa kritik yang dapat peneliti sampaikan yaitu :
a. Dalam pasal tersebut tidak diatur tentang hak pasien untuk menyetujui atau
menolak untuk dijadikan objek percobaan penggunaan obat dan/atau kesehatan di
rumah sakit. Analisis ini berdasarkan asas informed concent yaitu tenaga kesehatan
84

harus menyampaikan informasi terlebih dahulu kepada pasien bersedia atau tidak
untuk mencoba alat kesehatan atau obat baru yang digunakan rumah sakit setelah
itu pasien dapat menentukan bersedia atau tidak artinya keputusan tetap berada
pada pasien, dan dalam hukum kesehatan berlaku asas bahwa pasien yang
menentukan nasibnya sendiri (the right to self determination).
b. Dalam pasal tersebut tidak diatur tentang hak pasien untuk menghentikan upaya
kesehatan yang dilakukan di rumah sakit karena berdasarkan asas bahwa pasien
berhak menentukan nasib dirinya sendiri ( the right to self determination)
walaupun akibat penghentian upaya kesehatan tersebut akan mengakibatkan
kondisi yang lebih parah bagi pasien.
c. Dalam pasal tersebut tidak diatur tentang hak pasien untuk mendapatkan isi rekam
medik dari rumah sakit tentang penyakit yang dialaminya, hal ini berdasarkan asas
informed concent, rumah sakit harus menyampaikan data-data medis kepada
pasien tentang kondisi kesehatan dirinya dengan informasi tersebut pasien dapat
menentukan upaya kesehatan apa yang dipilihnya, data medis tersebut adalah milik
pasien. Secara yuridis diatur bahwa rumah sakit wajib menyelenggarakan rekam
medis (Pasal 29 Ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang
Rumah Sakit), dalam Pasal 9 Ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 749a/Men.Kes/Per/XII/1989 Tentang Rekam Medis/Medical
Record ditegaskan bahwa isi rekam medik adalah milik pasien.
d. Dalam pasal tersebut tidak diatur tentang hak pasien untuk meminta dirujuk ke
rumah sakit lain jika rumah sakit dinilai tidak mampu untuk melakukan upaya
pengobatan terhadap dirinya, biasanya pasien meminta karena rumah sakit dinilai
85

tidak mampu untuk melakukan upaya pengobatan hal tersebut berdasarkan asas the
right to health care bahwa pasien berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang
bermutu dan asas bahwa pasien berhak menentukan nasib dirinya sendiri ( the
right to self determination), pasienlah yang menentukan apakah akan minta dirujuk
ke rumah sakit lain atau tidak. Secara yuridis diatur juga bahwa rumah sakit wajib
menyelenggarakan sistem rujukan (Pasal 29 Ayat (1) huruf j Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit).
Hak pasien untuk menyetujui atau menolak penggunaan alat/obat untuk
kepentingan penelitian, hak pasien untuk menghentikan upaya pengobatan, hak pasien
untuk memperoleh isi rekam medik dan hak pasien untuk meminta dirujuk ke rumah
sakit lain harus dicantumkan dalam undang-undang ini.
Akhirnya peneliti menyimpulkan bahwa undang-undang ini belum mengatur
secara lengkap tentang kewajiban rumah sakit, kewajiban pasien dan hak pasien yang
menurut peneliti hal tersebut penting untuk diatur karena akan menjadi sumber hukum
bagi rumah sakit dalam menjalankan kegiatannya terutama yang berhubungan dengan
pasien. Dalam kondisi demikian aturan yang lengkap menjadi syarat mutlak bagi
hukum kesehatan itu sendiri, jangan sampai karena tidak adanya aturan mengenai
sesuatu hal yang terjadi dalam praktek kedokteran akan menjadi permasalahan dalam
hubungan hukum antara rumah sakit dan pasien. Dapat peneliti simpulkan bahwa
dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit terdapat norma
yang kosong, sedangkan di dalam hukum berlaku asas bahwa pengadilan tidak boleh
menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan hukum tidak atau
86

kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya, dan juga berlaku asas
bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
G. Kepastian Hukum Dalam Pengaturan Tentang Kewajiban dan Hak Antara Pasien
Dengan Rumah Sakit Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (1) mengatur bahwa setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum. Unsur kepastian hukum dimasukkan dalam
konstitusi kita menunjukkan bahwa permasalahan kepastian hukum merupakan hal
mendasar bagi warga Negara dan menjadi hak bagi setiap warga Negara untuk
memperoleh kepastian hukum, oleh karena itu permasalahan kepastian hukum perlu
menjadi perhatian semua pihak, dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan dan
ekonomi masyarakat semakin tinggi pula tingkat kesadaran manusia di bidang hukum
serta semakin sadar akan pentingnya perlindungan kewajiban dan hak-haknya dalam
kehidupan bersama. Oleh karena itu para perumus undang-undang harus memperhatikan
unsur kepastian hukum tersebut, kekurang hati-hatian perumus undang-undang
dikawatirkan akan mengakibatkan terjadinya konflik norma, norma yang kabur dan
kekosongan norma. Menurut Peter Mahmud Marzuki dengan penyimpangan terhadap
aturan yang dibuat oleh mereka yang berwenang membuat aturan menyebabkan adanya
ketidakpastian hukum.
65
Penyimpangan yang terjadi seperti adanya pasal-pasal yang
dihilangkan/dikurangi/ditambah karena faktor titipan ataupun faktor tekanan dari pihak

65
Peter Mahmud Marzuki, Loc.Cit.
87

lain yang mengarah ke tindakan kolusi, sehingga produk hukum yang dihasilkan tidak
sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Secara khusus dalam perkembangan dewasa ini tingkat kesadaran masyarakat
akan pentingnya kesehatan bagi diri pribadi dan keluarganya semakin meningkat
sehingga intensitas hubungan antara masyarakat dengan tenaga kesehatan dan/sarana
kesehatan semakin meningkat pula. Alhasil dunia kesehatan menjadi lahan yang
menjanjikan untuk peningkatan ekonomi baik pemerintah maupun masyarakat khususnya
tenaga kesehatan. Sarana layanan kesehatan berupa rumah sakit pemerintah dan swasta,
klinik kesehatan swasta, dokter praktek swasta, bidan praktek swasta serta layanan
kesehatan lainnya berdiri menjamur di mana-mana.
Hal tersebut merupakan fenomena positif karena dengan banyaknya sarana
kesehatan yang berdiri maka akses masyarakat terhadap sarana kesehatan semakin mudah
dan terjangkau dengan mudah, di sisi lain secara ekonomis dapat meningkatkan ekonomi
tenaga kesehatan dan masyarakat pada umumnya, paradigma masyarakat terhadap
kesehatan memandang bahwa kesehatan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia.
Masyarakat dan pemerintah dewasa ini menilai bahwa rumah sakit tidak hanya
dijadikan sebagai sarana sosial semata akan tetapi rumah sakit dapat menjadi lahan bisnis
yang sangat menjanjikan. Perubahan orientasi tersebut menyebabkan rumah sakit
berusaha mencari keuntungan yang besar dari jasa pelayanan kesehatan terhadap pasien,
mahalnya biaya pemeriksaan, biaya penginapan, biaya obat dan biaya pelayanan lainnya.
Dalam posisi demikian pasien adalah pihak yang tidak dapat memilih kecuali membayar
semua biaya yang telah ditetapkan oleh rumah sakit, di sisi lain mahalnya biaya
kesehatan belum tentu dibarengi oleh pelayanan yang baik dari rumah sakit,
88

permasalahan kompetensi tenaga kesehatan, pelayanan yang tidak baik, standar
pelayanan yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan Rumah Sakit dan sebagainya,
dalam keadaan demikian pasien tetap menjadi pihak yang dirugikan. Akibatnya
gugatan/tuntutan dari pasien terhadap rumah sakit semakin marak pula yang
menimbulkan merosotnya nama baik rumah sakit di mata masyarakat.
Sebenarnya hal-hal yang peneliti utarakan di atas dapat ditekan asalkan kedua
belah pihak memahami dan menghormati kewajiban dan hak yang melekat pada masing-
masing pihak, untuk itu pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 44
tahun 2009 Tentang Rumah Sakit agar hubungan antara pasien dan rumah sakit dapat
berlangsung dengan baik. Perlu dipahami pula pola hubungan antara pasien dan Rumah
Sakit adalah pola hubungan mitra sejajar yang saling menguntungkan, pasien
membutuhkan tenaga kesehatan dan/atau sarana kesehatan untuk melakukan upaya
penyembuhan terhadap penyakit yang dideritanya, dan rumah sakit akan mendapatkan
keuntungan secara ekonomis dari pelayanan yang telah dilakukan selain itu tingkat
kepercayaan masyarakat sangat tergantung dari pelayanan yang baik yang diberikan oleh
tenaga kesehatan dan/atau sarana kesehatan.
Sebagaimana yang telah peneliti analisis dan kritik ternyata pengaturan tentang
kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit tidak semua hal krusial diatur,
peneliti menilai bahwa pengaturan kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit
terdapat kekosongan norma.
1. Menilai aspek kepastian hukum tentang pengaturan kewajiban dan hak pasien dan
rumah sakit dalam perspektif Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang
Rumah Sakit
89

Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 bertujuan untuk
terjaminnya kepastian hukum bagi rumah sakit dan masyarakat, Rumah Sakit akan
memiliki pedoman tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan
suatu Rumah Sakit dan bagi masyarakat akan memiliki pedoman yang jelas jika
melakukan hubungan hukum dengan rumah sakit terutama yang menyangkut tentang
kewajiban dan hak kedua belah pihak. Sebagaimana yang telah peneliti ungkapkan
bahwa ada beberapa kewajiban dan hak penting yang tidak diatur dalam undang-
undang ini yaitu tidak diaturnya kewajiban rumah sakit untuk mengganti tenaga
kesehatan yang tidak kompeten dan kewajiban untuk menyediakan ruang isolasi,
tidak diaturnya kewajiban pasien, tidak diaturnya hak pasien untuk menyetujui atau
menolak dijadikannya objek percobaan penggunaan obat/alat kesehatan di rumah
sakit, hak pasien untuk menghentikan upaya kesehatan, hak pasien untuk
mendapatkan isi rekam medik dan hak pasien untuk meminta dirujuk ke rumah sakit
lain. Dengan demikian menurut peneliti undang-undang ini belum sepenuhnya
memberikan kepastian hukum bagi pasien dan rumah sakit.
Permasalahan kewajiban dan hak adalah permasalahan mendasar dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, undang-undang sebagai salah satu peraturan
perundang-undangan selayaknya dapat memberikan perlindungan yang kuat terhadap
hak-hak warga Negara, demikian juga dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit selayaknya mengatur secara tegas dan lengkap tentang
kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit. Undang-undang bersifat otentik
dan berbentuk tertulis yang lebih menjamin kepastian hukum.
66
Untuk itu perlu

66
Lihat Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit.
90

dilakukan beberapa upaya nyata agar undang-undang ini dapat memberikan kepastian
hukum.
2. Upaya penemuan dan pembaharuan hukum kesehatan yang dapat memberikan
kepastian hukum
Adalah suatu kenyataan bahwa ketentuan yang terdapat di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) belum dapat menjawab semua permasalahan hukum yang terjadi di
Indonesia, hal ini disebabkan cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hak-haknya dalam
kesehatan. Dalam kondisi demikian perlu adanya pengaturan-pengaturan yang lebih
spesifik agar aturan tersebut dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam
masyarakat. Di Indonesia salah satu pengaturan yang bersifat spesifik adalah hukum
kesehatan, ada banyak aturan hukum yang mengatur tentang kesehatan yang sebagian
telah peneliti ungkapkan, dalam hukum kesehatan KUHP dan KUHPerdata menjadi
sumber hukum dan dapat menjadi asas bagi hukum kesehatan, seperti asas legalitas
(Pasal 1 ayat (1) KUHP), asas kebebasan berkontrak (Pasal 1329 KUHPerdata),
syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata), perjanjian karena kekhilapan,
paksaan atau tipuan (Pasal 1321 KUHPerdata), orang yang tidak cakap membuat
perjanjian (Pasal 1330 KUHPerdata), persetujuan tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum (Pasal 1337 KUHPerdata),
persetujuan adalah undang-undang bagi yang membuat perjanjian (Pasal 1338
KUHPerdata), kewajiban mengganti kerugian (Pasal 1365 KUHPerdata), tindakan
karena kelalaian dan kesembronoan (Pasal 1366 KUHPerdata), tanggung jawab atas
91

perbuatan yang dilakukan oleh orang yang menjadi tanggung jawabnya (Pasal 1367
KUHPerdata) dan sebagainya.
Hukum yang mengatur secara spesifik diharapkan dapat memgakomodir
semua permasalahan hukum di ruang lingkupnya masing-masing, demikian juga
dalam lapangan hukum kesehatan seharusnya dapat menjawab semua permasalahan
dalam lingkup kesehatan salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2009 yang mengatur tentang Rumah Sakit.
Sebagaimana yang telah penulis ungkapkan sebelumnya bahwa Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 2009 belum sepenuhnya mengatur kewajiban antara pasien
dengan rumah sakit secara jelas dan lengkap padahal kewajiban dan hak tersebut yang
peneliti ungkapkan terjadi dalam praktik pelayanan kesehatan di Indonesia.
Sumbangan pemikiran akan menjadi penting dalam upaya pembaharuan hukum
kesehatan dan diharapkan agar pemerintah untuk melakukan upaya preventif berupa
penetapan aturan yang dapat menjamin kepastian hukum bagi masyarakat. Secara
teoretis jika terdapatnya konflik norma adalah kembali ke asas hukum, jika terjadi
kekaburan norma dapat dilakukan penafsiran/interpretasi dan jika terjadi kekosongan
norma dapat dilakukan penemuan dan pembentukan hukum. Secara teoretis terdapat
dua 2 (dua) langkah yang dapat dilakukan dalam menghadapi permasalahan
kekosongan norma (Rechtsvacuum) yaitu :
a. Penemuan hukum (rechsvinding)
92

Dalam menghadapi kekosongan hukum, orang berpegang pada asas ius curia
novit. Dengan asas ini hakim dianggap tahu hukum.
67
Tidak boleh ada alasan
bahwa hakim tidak tahu hukum, hakim wajib menggali hukum yang berlaku di
dalam masyarakat. Hakim dalam tugasnya mengambil keputusan jika terjadi
gugatan/tuntutan maka hakim dituntut untuk mengambil keputusan seadil-adilnya
berdasarkan aturan yang berlaku, dalam hal tidak adanya aturan yang mengatur
tentang sesuatu permasalahan hukum maka hakim tidak boleh menolak perkara,
hal ini sesuai dengan asas hukum yaitu bahwa seorang hakim tidak boleh menolak
suatu perkara dengan alasan aturannya tidak ada atau tidak jelas . Dalam keadaan
tersebut seorang hakim dituntut untuk menggali hukum/menemukan hukum yang
dapat diperoleh dari sumber hukum lain. Sumber utama penemuan hukum adalah
peraturan perundang-undangan, kemudian kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian
internasional barulah doktrin.
68
Undang-undang merupakan sumber hukum yang
penting dan utama oleh karena itu undang-undang diprioritaskan dari sumber-
sumber hukum lainnya karena undang-undang bersifat otentik dan tertulis yang
lebih menjamin kepastian hukum, didukung oleh keyakinan hakim itu sendiri.
Akan tetapi tidak semua hakim mempunyai kemampuan untuk menggali sumber-
sumber hukum yang berlaku di dalam masyarakat, dalam kondisi demikian akan
menimbulkan permasalahan baru yaitu keputusan yang diambil oleh hakim
memiliki kemungkinan tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Bila
dikaitkan dengan asas pengadilan mengadili menurut hukum maka hakim harus
menggali hukum yang hidup di dalam masyarakat baik itu bersumber dari undang-

67
Lihat Sahuri Lasmadi, Bahan Kuliah Teori Ilmu Hukum (Teori Hukum), Program Magister Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Universitas Jambi, Jambi, 2008, hal.26.
68
Lihat Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hal.48.
93

undang, kebiasaan, yurisprudensi dan sebagainya, bahwa apabila terjadi suatu
peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus
bertindak berdasarkan inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara
tersebut.
69
Kegiatan penemuan hukum juga tidak hanya diserahkan kepada
hakim dan pembentuk undang-undang, tetapi dosen serta peneliti hukum dalam
penulisannya melakukan penemuan hukum yang bersifat teoretis yang akan
menghasilkan doktrin sebagai salah satu sumber hukum dapat menggali hukum,
kegiatan penemuan hukum juga menyangkut pembentukan hukum baru
(rechtsvorming).
b. Pembentukan hukum (Rechtsvorming)
Dalam rangka pembangunan sektor kesehatan yang demikian kompleks dan luas,
sangat dirasakan, bahwa peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya
kesehatan perlu lebih disempurnakan dan ditingkatkan. Sehubungan dengan hal
tersebut maka para praktisi kesehatan dan akademisi bidang hukum kesehatan
harus dapat memberikan sumbangan pemikiran dengan cara merumuskan aturan
hukum kesehatan yang dapat menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Rumusan itu menjadi bahan pemikiran dan bahan masukan bagi
pembuat undang-undang agar dapat melakukan perubahan dan penyempurnaan
terhadap undang-undang dengan cara merevisi undang-undang tersebut, Menurut
peneliti sejak saat ini perlu ada rumusan tentang upaya pembentukan hukum
(Rechtsvorming) dengan melibatkan akademisi hukum kesehatan dan praktisi
kesehatan sebagai bagian dari upaya law reform di Indonesia, tujuannya tidak lain

69
Lihat Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2008, hal.7.
94

adalah agar Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit benar-
benar dapat dilaksanakan secara efektif dan dapat menjamin rasa keadilan serta
kepastian hukum bagi masyarakat.




















95


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah peneliti paparkan maka peneliti dapat merumuskan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa kesadaran pasien terhadap pentingnya jaminan atas kewajiban dan hak
semakin meningkat seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan ekonomi
masyarakat, undang-undang sebagai salah satu sumber hukum yang penting untuk
menjamin perlindungan kewajiban dan hak, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit belum mengatur secara lengkap tentang kewajiban dan hak
antara pasien dengan rumah sakit.
2. Bahwa Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit belum
sepenuhnya memberikan kepastian hukum bagi pasien dan rumah sakit

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang peneliti sampaikan di atas, maka peneliti
mengajukan beberapa saran yaitu:
1. Perlu dilakukan pengkajian terhadap pengaturan kewajiban dan hak antara pasien
dengan rumah sakit agar tercipta aturan yang dapat memberikan jaminan dan
perlindungan hukum bagi kedua belah pihak.
2. Diharapkan agar dapat dilakukan pembaharuan terhadap pengaturan tentang
kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit yang dapat
96

memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi pasien dan rumah sakit dalam upaya
pembaharuan hukum kesehatan pada khususnya dan pembaharuan hukum nasional
pada umumnya.




















97

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Alexandra Indriyanti Dewi. 2008. Etika dan Hukum Kesehatan. Pustaka Book Publisher,
Yogyakarta.
Bahder Johan Nasution. 2005. Hukum Kesehatan pertanggungjawaban dokter. Rineka Cipta,
Surabaya.
Blacks Law Dictionary. 1978.

Chrisdiono M.Achadiat. 2006. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan
Zaman. EGC, Jakarta.
Departemen Kesehatan RI.1987. Sistem Kesehatan Nasional. Depkes RI, Jakarta.
Elfindri.2003. Ekonomi Layanan Kesehatan. Andalas University Press, Padang.
Emeritus John Gilissen dan Emeritus Frits Gorle. 2007. Sejarah Hukum Suatu Pengantar.
Refika Aditama, Bandung.
Endang Kusuma Astuti. 2006. Transaksi Terapeutik dalam Upaya Pelayanan Medis di
Rumah Sakit. Citra Aditya Bhakti, Semarang.
Faisal. 2010. Menerobos Positivisme Hukum. Rangkang Education, Yogyakarta
Hendrojoyo Soewono. 2006. Perlindungan Hak-hak Pasien dalam transaksi Terapeutik.
Srikandi, Surabaya.
Indonesia Legal Central Publising. 2006. Kamus Hukum, Jakarta.
Ishaq. 2007. Dasar-dasar Ilmu Hukum. Sinar Grafika, Jakarta.
J. Guwandi.2004. Hukum Medik (Medical Law). Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
J.J.H. Bruggink. 1999. Refleksi Tentang Hukum. Citra Aditya Bhakti, Bandung.
Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu.2007. Hukum Bisnis Dalam Perspektif Manusia
Modern. PT.Refika Aditama, Bandung.
Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, 1999. Pengantar Ilmu Hukum, Suatu
Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.

Mujiono. 1991. Pengantar Ilmu Hukum Indonesia. Liberty, Yogyakarta.
Muladi. 2009. Hak Asasi Manusia. Refika Aditama, Bandung.
98

Munir Fuady. 1999. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis).PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung
M.Yusuf Hanafiah dkk. 1999. Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan. EGC, Jakarta.
Nusye Kl.Jayanti. 2009. Penyelesaian Hukum dalam malpraktik kedokteran. Pustaka
Yustisia, Yogyakarta.
Peter Mahmud Marzuki. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Kencana, Jakarta.
Philipus M.Hadjon dan Tatik Sri Djatmiati. 2009. Argumentasi Hukum. UGM Press,
Yogyakarta.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1987. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Balai Pustaka, Jakarta.
Solahuddin. 2008. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Acara Pidana dan Perdata.
Visimedia, Jakarta.

Subekti. 1985. Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa, Jakarta.
Subekti. 1987. Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.
Sudikno Mertokusumo. 2009. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Liberty, Yogyakarta.

Suryani Soepardan.2008. Etika Kebidanan dan Hukum Kesehatan. EGC, Jakarta.
Wirjono Prodjodikoro. 2000. Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang Dari Sudut Hukum
Perdata. Mandar Maju, Bandung.
Wiku Adisasmito. 2007. Sistem Manajemen Lingkungan Rumah Sakit. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2008. Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung.

Jurnal/Majalah Ilmiah
Ahdiana Yuni Lestari, Aspek Hukum Komerisalisasi Rumah Sakit Swasta Dalam kaitannya
Dengan Pelayanan Kesehatan yang Berfungsi Sosial. Jurnal Hukum Bisnis Nomor 2
Tahun 2004. Jakarta.
Veronica Komalawati,2004. Aspek Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan: Suatu Kajian,
Jurnal Hukum Bisnis Nomor 2 Tahun 2004. Jakarta.



99

Makalah Seminar/ Disertasi
Bambang Giatno.2008. Makalah Seminar dalam Kongres XIV IBI, Padang.

Sahuri L, Pertanggungjawaban Korporsi Dalam perspektif Kebijakan Hukum Pidana di
Indonesia, Disertasi Doktor Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2003
Sahuri Lasmadi.2008. Bahan Kuliah Teori Ilmu Hukum (Teori Hukum). Universitas Jambi
Program Pasca Sarjana Program Magister Ilmu Hukum, Jambi.

Internet
Arief Hidayat. Kepastian Hukum Harus Sejalan Dengan Rasa Keadilan,.http://www.
antaranews.com/berita.

Erman Rajagukguk. Kepastian Hukum. http://www.legalitas.org.

Jimly Assiddiqie. Keadilan, Kepastian Hukum dan keteraturan. http://www.suarakarya-
online.com/news. diakses 4 September 2010.

M.Choliq. Fungsi Hukum dan Asas-asas Dasar Negara Hukum. http://www.suara karya-
online.com/news.

Peraturan Perundang-undangan
1. Undang-undang
Republik Indonesia, Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3821)


Republik Indonesia, Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389)


Republik Indonesia, Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5038)

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1441,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063 )
100



Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072)


2. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1966
Tentang Tenaga Wajib Simpan Rahasia Kedokteran (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1966 nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
nomor 3803).

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1981
Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi alat dan
atau Jaringan Tubuh Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3195).

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996
Tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996
nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3637).


Peraturan Menteri

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :585/Men.Kes/Per/IX/1989
tentang Persetujuan Tindakan Medik.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :749a/Men.Kes/per/XII/1989
tentang Medical Record.









101

Anda mungkin juga menyukai