KEWAJIBAN DAN HAK ANTARA PASIEN DENGAN RUMAH SAKIT
DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2009
TENTANG RUMAH SAKIT
ABSTRAK Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit ditetapkan untuk mengatur penyelenggaraan Rumah Sakit di Indonesia, salah satu pertimbangan ditetapkannya undang- undang ini adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan rumah sakit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengkritisi pengaturan tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit serta menganalisis apakah pengaturan tentang kewajiban dan hak tersebut telah memberikan kepastian hukum bagi pasien dan rumah sakit melalui penelitian normatif yaitu mengkaji norma-norma dalam hukum positif dengan menggunakan pendekatan konseptual, perundang-undangan dan sejarah. Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa undang-undang ini belum mengatur secara lengkap tentang kewajiban rumah sakit, kewajiban dan hak pasien, dengan demikian undang-undang ini belum sepenuhnya memberikan kepastian hukum bagi pasien dan rumah sakit. Diharapkan agar perlu adanya pengkajian agar undang-undang ini dapat memberikan kepastian hukum bagi pasien dan rumah sakit serta perlu dilakukan pembaharuan terhadap undang-undang ini sebagai bagian dari upaya pembaharuan hukum nasional. Kata kunci: Pengaturan kewajiban dan hak merupakan unsur penting dalam upaya memberikan kepastian hukum bagi pasien dan rumah sakit
A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT diamanatkan untuk menjalin hubungan yang baik dengan sang Khalik dan menjalin hubungan yang baik dengan sesama manusia. Dalam konteks hubungan sesama manusia, manusia disebut makhluk sosial di mana manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, demikian pula dalam upaya untuk mendapatkan kondisi kesehatan yang prima maka seseorang membutuhkan bantuan dari orang lain yang mempunyai kemampuan dalam bidang kesehatan yaitu tenaga kesehatan. Untuk dapat melakukan upaya kesehatan tenaga kesehatan harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Kesehatan merupakan kebutuhan yang penting dan mendasar bagi setiap manusia, kebutuhan akan kesehatan meliputi kehidupan manusia sepanjang hayat, jika tidak didukung oleh kondisi kesehatan yang baik maka manusia tidak dapat menjalankan segala aktivitas kehidupannya dengan baik pula, oleh karena masalah kesehatan merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia maka setiap orang berhak untuk hidup sehat dan memperoleh pelayanan kesehatan serta setiap orang mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Kesempatan memperoleh pelayanan kesehatan dijamin oleh konstitusi Indonesia yang termuat dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen kedua yang mengatur bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan 3
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dengan demikian setiap warga Negara Indonesia dijamin haknya untuk hidup sehat dan untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pelayanan kesehatan, artinya hak untuk hidup sehat dan untuk memperoleh pelayanan kesehatan merupakan hak konstitusional setiap warga Negara Indonesia tanpa terkecuali yang harus dihormati oleh setiap orang dan pemerintah wajib melindungi hak warga negara tersebut. Hak atas kesehatan dipertegas lagi dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang mengatur bahwa Setiap orang berhak atas kesehatan. Hal tersebut dapat diartikan adanya penegasan pentingnya perlindungan hak atas kesehatan bagi semua orang. Di samping itu kesehatan juga merupakan kewajiban setiap orang untuk berperilaku hidup sehat sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 11 yang mengatur bahwa setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya. Atas dasar ketentuan di atas maka masalah kesehatan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tenaga kesehatan dan sarana kesehatan akan tetapi menjadi tanggung jawab setiap orang agar kehidupan manusia menjadi berkualitas. Jika ditinjau secara khusus, kesehatan menyangkut semua segi kehidupan manusia dan ruang lingkupnya sangat luas, dalam sejarah perkembangannya telah terjadi perubahan orientasi pemikiran mengenai upaya pemecahan masalah kesehatan, proses perubahan tersebut sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan sosial budaya masyarakat sehingga upaya kesehatan tidak hanya sekedar penyembuhan saja akan tetapi menyangkut upaya-upaya yang luas, menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia bahwa upaya-upaya kesehatan tersebut menyangkut upaya 4
peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) yang bersifat menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. 1 Dengan demikian kesehatan tidak hanya proses penyembuhan saja setelah timbulnya penyakit akan tetapi juga mencakup upaya peningkatan kondisi kesehatan, upaya pencegahan kemungkinan timbulnya penyakit yaitu upaya menghindari penyebab timbulnya suatu penyakit dan upaya memulihkan kondisi kesehatan setelah menderita sakit. Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan yang disebut tenaga kesehatan adalah: a. tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi b. tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan c. tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker. d. tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomology kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian e. tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien f. tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara g. tenaga keteknisian medis meliputi radiographer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis. Untuk menjadi tenaga kesehatan harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan di bidang kesehatan, pengetahuan dan ketrampilan tersebut diperolah dari lembaga pendidikan kesehatan sesuai dengan program studi yang dikembangkan oleh lembaga
1 Depkes RI, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta, 1987, hal.3. 5
pendidikan yang dibuktikan kepemilikan ijazah, dan untuk dapat melakukan upaya kesehatan tenaga kesehatan harus memiliki izin dari pejabat yang berwenang. Tuntutan masyarakat terhadap tenaga kesehatan tidak hanya menyangkut tersedianya tenaga kesehatan saja akan tetapi seiring dengan kemajuan tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat maka tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi bidang keahlian dan faktor penting lainnya yaitu sumber daya tenaga kesehatan yang berkulitas, fasilitas pelayanan kesehatan, tekhnologi alat kesehatan serta informasi publik. Sumber daya untuk menunjang kesehatan dapat berasal dari pemerintah dan masyarakat dan masalah penyelenggaraan upaya kesehatan merupakan tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah berupa rumah sakit pemerintah, puskesmas, puskesmas pembantu, polindes, bidan desa, sumber pembiayaannya berasal dari pemerintah, sedangkan sumber daya kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat adalah rumah sakit swasta, dokter praktik swasta baik perorangan maupun praktik bersama, Bidan Praktik Swasta (BPS) dan sebagainya, terjaminnya upaya kesehatan yang baik sangat tergantung kepada upaya pembinaan sumber daya kesehatan yang baik pula. Pelayanan kesehatan (health care services) merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan baik perseorangan, maupun kelompok atau masyarakat secara keseluruhan. 2
Menurut Bambang Giatno, Kepala Badan PPSDM Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa arah pembinaan sumber daya manusia (SDM) kesehatan adalah tenaga kesehatan yang berkualitas, tenaga kesehatan yang beretika dan berdedikasi,
2 Lihat Veronica Komalawati, Aspek Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan : Suatu Kajian, Jurnal Hukum Bisnis, hal.17. 6
merata dalam jumlah dan jenis yang memadai. 3 Permasalahan tenaga kesehatan yang kurang berkualitas dan kurang beretika menjadi isu yang mengemuka akhir-akhir ini, banyak kasus terjadinya kesalahan tindakan medik dikarenakan tidak mampunya tenaga kesehatan melakukan pertolongan sesuai dengan standar yang ditetapkan, dalam kasus lain juga ditemukan kurangnya etika tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat seperti kurang ramah terutama terhadap pasien miskin, suka marah dan berbicara kurang sopan. Oleh karena itu arah pembinaan sumber daya manusia (SDM) kesehatan tersebut harus menjadi agenda utama pembinaan sumber daya kesehatan agar tenaga kesehatan memiliki kualitas keilmuan dan ketrampilan, beretika dan berdedikasi. Menurut Endang Kusuma Astuti bahwa tenaga kesehatan yang berkualitas diukur dari standar profesi yang telah dirumuskan oleh organisasi profesi (IDI) yaitu standar ketrampilan, standar sarana, standar perilaku dan standar catatan medis. 4
Dewasa ini ada kecenderungan terjadinya pergeseran fungsi rumah sakit dari fungsi moral dan sosial ke orientasi bisnis yang memicu rumah sakit cenderung mengejar keuntungan dan kurang mempertimbangkan faktor moral, kemanusiaan dan sosial, praktiknya upaya kesehatan baru dapat dilaksanakan jika telah memenuhi syarat administrasi dan jaminan kepastian mampu membayar biaya pengobatan. Hal inipun berpengaruh kepada mutu pelayanan, jika pasien memiliki jaminan mampu untuk membayar biaya pengobatan akan mendapatkan respon positif dan akan mendapatkan pelayanan yang prima dari tenaga kesehatan, akan tetapi jika pasien orang yang tidak
3 Bambang Giatno, Kebijakan DEPKES Dalam Pengadaan Sumber Daya Manusia (SDM) Bidan, Kongres XIV IBI, Padang, 3 Nopember 2008. 4 Endang Kusuma Astuti, Transaksi Terapeutik dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit, PT. Citra Aditya Bhakti, Semarang, 2009, hal.33. 7
mampu maka kurang mendapat pelayanan yang baik, hal inilah yang menunjukkan terjadinya pergeseran fungsi rumah sakit dari fungsi moral dan sosial menjadi fungsi komersil. Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kesehatan yang merata dalam jumlah dan jenis yang memadai dapat ditempuh dengan cara menyelenggarakan pendidikan tenaga kesehatan baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat, dengan mencetak tenaga kesehatan maka diharapkan penyebaran tenaga kesehatan akan merata. Dalam hal ini masyarakat merasakan kurangnya tenaga kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan karena banyak tenaga kesehatan yang enggan bertugas di daerah-daerah yang terpencil yang sebenarnya sangat membutuhkan tenaga kesehatan terutama dokter, permasalahan lain adalah fasilitas kesehatan dan biaya alat kesehatan yang relatif mahal. Pemerintah berusaha menyediakan dana dan melakukan kontrol terhadap barang dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara memaksimalkan akses barang dan/atau jasa termasuk biaya kesehatan, menurut Elfindri kontrol pemerintah terhadap barang dan jasa pelayanan kesehatan dilakukan atas dasar pertimbangan penting yakni menghindarkan salah alokasi dalam pembiayaan, menjaga agar tidak terjadi ketimpangan pembiayaan, menghindari agar tidak terjadi pemborosan, dan menghindari pembengkakan pembiayaan. 5 Akan tetapi upaya ini belum secara maksimal dapat dilaksanakan oleh pemerintah yang mengakibatkan banyak rumah sakit pemerintah tidak memiliki peralatan yang memadai sesuai dengan tuntutan akan kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat dewasa ini.
5 Elfindri, Ekonomi Layanan Kesehatan, Andalas Press, Padang, 2003, hal.27. 8
Permasalahan lain adalah tentang kualitas tenaga kesehatan masih menjadi keluhan banyak orang, tenaga kesehatan yang tersedia masih dirasa kurang memenuhi kualifikasi keahlian, hal ini menunjukkan sistem pendidikan kesehatan dinilai belum berjalan secara maksimal dan sistem rekrutmen tenaga kesehatan perlu dievaluasi kembali, karena jika tidak ditindaklanjuti sejak dini dikawatirkan tingkat kesalahan dan kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan akan semakin meningkat dan dapat merugikan masyarakat, petugas kesehatan maupun sarana kesehatan itu sendiri. Dengan adanya perkembangan yang pesat dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan kesehatan yang dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, maka pemerintah membuka kesempatan yang besar kepada tenaga kesehatan untuk membuka bisnis di bidang pelayanan kesehatan baik perseorangan maupun secara bersama-sama. Kesempatan ini sangat bermanfaat karena dapat membantu pemerintah dalam upaya membuka akses kesehatan yang lebih besar kepada masyarakat akan kebutuhan kesehatan, di sisi lain dengan dibukanya bisnis layanan kesehatan diharapkan dapat memberikan pelayanan yang bermutu, cepat dan terjangkau oleh masyarakat luas di samping bertujuan meningkatkan pendapatan bagi tenaga kesehatan dan masyarakat itu sendiri. Menurut Richard Burton Simatupang sebagaimana dikutip oleh Johannes Ibrahim dan Lindawati Sewu mendefinisikan bisnis adalah:
Sebagai keseluruhan kegiatan usaha yang dijalankan oleh orang atau badan secara teratur dan terus menerus, yaitu berupa kegiatan mengadakan barang-barang atau jasa-jasa maupun fasilitas-fasilitas untuk diperjual belikan, dipertukarkan, atau disewagunakan dengan tujuan mendapatkan keuntungan. 6
6 Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis Dalam Perspektif Manusia Modern, PT.Refika Aditama, Bandung, 2007, hal.25. 9
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian bisnis adalah Usaha dagang, usaha komersial dalam dunia perdagangan. 7 Jika dianalisis dari kedua pengertian bisnis tersebut maka bisnis mengandung unsur-unsur sebagai beriku: 1. Adanya suatu kegiatan 2. Dilakukan oleh orang atau badan 3. Dilakukan secara teratur dan terus menerus 4. Bergerak dalam bidang barang dan/atau jasa 5. Perdagangan 6. Komersil/keuntungan Bisnis layanan kesehatan dewasa ini pada dasarnya juga bertujuan untuk mendapatkan nilai ekonomi/komersil disamping tujuan sosial dari pelayanan jasa kesehatan yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, tenaga kesehatan akan melakukan upaya kesehatan yang disepakati dengan pasien dan dari upaya tersebut tenaga kesehatan akan mendapatkan imbalan jasa, yang unik dalam transaksi pelayanan jasa kesehatan adalah bahwa imbalan jasa ini tidak dihubungkan dengan hasil (sembuh/tidak sembuh) dari upaya yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tetapi adalah mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien tersebut. Menurut Bahder Johan Nasution Jadi menurut hukum, objek perjanjian dalam transaksi terapeutik bukan kesembuhan pasien, melainkan mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien. 8 Dokter tidak dapat menjamin kesembuhan bagi pasien akan tetapi dokter wajib melakukan upaya semaksimal mungkin untuk kesembuhan pasien.
7 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT.Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hal.138. 8 Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal.11. 10
Bisnis dalam kesehatan merupakan suatu hal yang wajar dilakukan karena semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan kesehatan. Alexandra Indriyanti Dewi menyatakan Banyak rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang benar-benar memanfaatkan lembaganya sebagai mesin penghasil uang, dengan alasan fungsi ekonomi. 9 Dengan demikian sarana kesehatan dewasa ini pada umumnya dapat dikategorikan sebagai bentuk lembaga bisnis yang menyelenggarakan praktik untuk mendapatkan nilai ekonomis di samping nilai sosial. Bisnis bidang layanan kesehatan dewasa ini berkembang begitu pesat, hal tersebut menunjukkan adanya iklim yang baik dalam bisnis layanan kesehatan ditunjang dengan semakin baiknya tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan, dengan demikian diharapkan akses masyarakat terhadap pusat layanan kesehatan menjadi lebih besar. Walaupun demikian bukan berarti kesempatan tersebut dengan mudah diperoleh akan tetapi harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan oleh pemerintah berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, dan karena biasanya yang membuka bisnis layanan kesehatan ini adalah dokter maka perlu juga adanya pengawasan dari organisasi profesi karena praktik yang dilakukan dalam layanan kesehatan sangat erat hubungannnya dengan profesi kedokteran. Dalam hal ini perlu diketahui juga tentang profesi, menurut Wirjonodjojo Basoeki sebagimana dikutip oleh Hendrojono Soewono bahwa ciri-ciri profesi memiliki batasan sebagai berikut:
1. Sebagai penguasaan sistem tentang keahlian; 2. Melalui pendidikan khusus yang lama;
9 Alexandra Indriyanti Dewi, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher, Jakarta, 2008, hal.299. 11
3. Pekerjaan full-time 4. Menunjukkan pada dedikasi dan pelayanan pada masyarakat; 5. Mempunyai monopoli tentang kehliannya; 6. Menjunjung tinggi koliagilitas; 7. Mengatur dan mengontrol diri sendiri melalui etik dan moral. 10
Dengan demikian suatu profesi harus mempunyai keahlian, melalui pendidikan khusus, dilakukan secara terus menerus, berhubungan dengan orang banyak, kolegalitas dalam ikatan profesi dan memiliki kode etik. Suatu profesi juga terikat berbagai peraturan baik yang ditetapkan oleh pemerintah maupun yang dikeluarkan oleh organisasi profesi, bisnis layanan kesehatan dan harus memenuhi persyaratan administratif, memiliki sarana dan sumberdaya kesehatan yang memadai. Dari unsur-unsur profesi tersebut maka pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan pada umumnya adalah suatu profesi, suatu profesi biasanya menjadi anggota ikatan profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Persatuan Perawat Seluruh Indonesia (PPNI). Salah satu tugas ikatan profesi adalah menetapkan kode etik profesi dan menindak anggota profesi jika melanggar kode etik profesi. Menurut M.Yusuf Hanafiah dan Amri Amir bahwa Etika profesi yang tertua adalah etik kedokteran, yang merupakan prinsip- prinsip moral atau asas-asas akhlak yang harus diterapkan oleh para dokter dalam hubungannya dengan pasien, teman sejawatnya dan masyarakat umumnya. 11 Lebih lanjut M.Yusuf Hanafiah dan Amri Amir menyatakan bahwa pekerjaan profesi kesehatan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Mengikuti pendidikan sesuai dengan dengan standar nasional 2. Pekerjaan berlandaskan etik profesi
10 Hendrojono Soewono, Perlindungan Hak-hak Pasien dalam Transaksi Terapeutik, Srikandi, Surabaya, hal.18. 11 M.Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGC, Medan, 1998, hal.2. 12
3. Mengutamakan panggilan kemanusiaan daripada keuntungan 4. Pekerjaannya legal melalui perizinan 5. Anggota-anggotanya belajar sepanjang hayat 6. Anggota-anggotanya bergabung dalam suatu organisasi profesi. 12
Permasalahan etika profesi sangat penting untuk menjadi perhatian dan pegangan bagi para tenaga kesehatan karena dengan berpedoman kepada etika profesi dapat terhindar dari kemungkinan terjadinya kesalahan dan kelalaian dalam menjalankan tugas keprofesiannya. Produk perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang mengatur tentang kesehatan ataupun yang berhubungan dengan kesehatan cukup banyak dari tingkat undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri kesehatan dan keputusan menteri kesehatan hal ini menunjukkan bahwa permasalahan kesehatan merupakan salah satu hal penting yang harus mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah karena permasalahan kesehatan sangat kompleks dan dinamis dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Dalam pelaksanaan bisnis layanan kesehatan sudah tentu akan terjadi hubungan antara tenaga kesehatan dan/atau sarana kesehatan dengan pengguna jasa kesehatan (pasien), pasien membutuhkan pelayanan kesehatan untuk menangani penyakit yang dideritanya dan tenaga kesehatan dan/ atau sarana kesehatan membutuhkan pasien untuk melakukan upaya kesehatan dan dari upaya kesehatan tersebut maka tenaga kesehatan dan/ atau sarana kesehatan akan mendapatkan imbalan jasa, dengan adanya hubungan tersebut mengakibatkan munculnya kewajiban dan hak dari kedua belah pihak.
12 Ibid. 13
Hal penting yang perlu disoroti dalam konteks ini adalah tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan Rumah Sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan, kewajiban dan hak tersebut menjadi isu sentral dalam beberapa waktu belakangan ini, pasien sebagai pemakai jasa menjadi pihak yang sering dirugikan jika terjadi permasalahan dalam hubungan antara pasien dan dokter, demikian pula sebaliknya rumah sakit menjadi pihak yang sering dipersalahkan dalam pemberian pelayanan kesehatan. Intensitas gugatan terhadap pelayanan tenaga kesehatan terutama dokter dan rumah sakit semakin meningkat, M.C. Inge Hartini menyatakan sebagaimana yang dikutip oleh Muladi bahwa:
Dalam majalah Tempo edisi Maret 2004 serangkaian gugatan pasien terhadap dokter maupun rumah sakit muncul ke permukaan. Tampaknya fenomena ini akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan pendidikan dan kesadaran masyarakat akan hak-haknya. 13
Permasalahan kewajiban dan hak antara pasien dan rumah sakit menjadi suatu permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar dari semua kalangan karena permasalahan ini menyangkut kepentingan orang banyak, semakin tinggi tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat semakin tinggi pula intensitas gugatan oleh pasien terhadap rumah sakit. Bahder Johan Nasution menyatakan bahwa:
Munculnya kasus-kasus di bidang kesehatan merupakan indikasi bahwa kesadaran hukum masyarakat semakin meningkat. Semakin sadar masyarakat akan aturan hukum semakin mengetahui mereka akan hak dan kewajibannya dan semakin luas pula suara-suara yang menuntut agar hukum memainkan peranannya di bidang kesehatan. 14
13 Muladi, Hak Asasi Manusia, Refika Aditama, Bandung, 2009, hal.186. 14 Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hal.4. 14
Pada tanggal 28 Oktober 2009 telah disahkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153), beberapa pertimbangan disahkannya undang-undang ini adalah dalam rangka meningkatkan mutu dan jangkauan pelayanan rumah sakit serta pengaturan hak dan kewajiban masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dan untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan rumah sakit. Di dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit tersebut diatur tentang kewajiban dan hak rumah sakit dan pasien, kewajiban rumah sakit diatur dalam pasal 29, hak rumah sakit diatur dalam pasal 30, kewajiban pasien diatur dalam pasal 31 dan hak pasien diatur dalam pasal 32. Jika dicermati tentang pengaturan kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit tersebut ada beberapa hal yang peneliti kritisi yaitu: 1. Pasal 29 yang mengatur tentang kewajiban rumah sakit tidak diatur kewajiban rumah sakit untuk mengganti tenaga kesehatan yang tidak memiliki kompetensi dalam memberikan pelayanan medik terhadap pasien di rumah sakit setelah mendapat keluhan dari pasien, tidak diatur kewajiban rumah sakit untuk menyediakan ruang khusus bagi penderita penyakit yang berbahaya bagi pasien lain (ruang isolasi). 2. Pasal 31 ayat (1) hanya mengatur bahwa setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap rumah sakit atas pelayanan yang diterimanya dan ayat (2) menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pasien diatur dengan peraturan menteri. 3. Pasal 32 yang mengatur tentang hak pasien tidak diatur tentang hak pasien untuk menerima atau menolak dijadikan objek percobaan penggunan obat dan/atau alat kesehatan, hak untuk menolak dirawat oleh tenaga kesehatan yang tidak memiliki kompetensi, hak pasien untuk menghentikan upaya pengobatan yang dilakukan oleh 15
tenaga kesehatan di rumah sakit, hak pasien untuk menerima isi rekam medik miliknya dan hak pasien untuk meminta dirujuk ke rumah sakit lain. Dengan kondisi demikian maka peneliti akan melakukan analisis dan kritik, dengan analisis dan kritik tersebut diharapkan akan dilakukan penyempurnaan terhadap undang-undang ini terutama ketentuan yang mengatur tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit, dengan dilakukannya penyempurnaan terhadap pengaturan tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi pasien dan rumah sakit. Menurut Bahder Johan Nasution Dalam rangka pembangunan sektor kesehatan yang demikian kompleks dan luas, sangat dirasakan, bahwa peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya kesehatan perlu lebih disempurnakan dan ditingkatkan. 15 Penyempurnaan tersebut penting untuk dilaksanakan karena permasalahan kesehatan sangat kompleks dan sangat luas apalagi dalam era globalisasi dewasa ini, posisi bidang kesehatan menurut WTO/GATS menyatakan antara lain bahwa profesi dokter dan dokter gigi saat ini termasuk dalam sektor jasa bisnis. 16
B. Rumusan Masalah Berdasarkan hal-hal yang telah diungkapkan di atas, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit dalam perspektif Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit ?
15 Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hal.3. 16 www. STADTAUS.com, Perlindungan Konsumen Kesehatan Berkaitan Dengan Malpraktik Medik, diakses tanggal 7 Juni 2010. 16
2. Apakah pengaturan tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit dalam perspektif Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit telah memberikan kepastian hukum bagi pasien dan rumah sakit?
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis terhadap ketentuan yang mengatur tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit dalam perspektif Undang- Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. 2. Untuk menganalisis dan mengkritisi apakah ketentuan yang mengatur tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit dalam perspektif Undang- Undang Nomor 44 Tahun 2009 telah memberikan kepastian hukum bagi pasien dan rumah sakit.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diupayakan akan memberikan manfaat bagi semua pihak yang mempunyai hubungan dengan layanan kesehatan baik teoretis maupun praktis, manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara Akademis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu hukum khususnya tentang hukum kesehatan. 2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran kepada pasien dan rumah sakit tentang pentingnya memahami kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit. 3. Sebagai acuan bagi kegiatan penelitian khususnya penelitian di bidang hukum kesehatan, baik bagi para akademisi maupun peneliti lainnya. 17
E. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Sebagai konsekuensi pemilihan topik yang akan dikaji dalam penelitian yang objeknya adalah permasalahan hukum tentang kewajiban dan hak pasien dan rumah sakit, maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian juridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji kaedah-kaedah atau norma-norma dalam hukum positif. 2. Pendekatan Yang digunakan Dikarenakan penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, maka pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu dengan cara meneliti teori-teori dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan hubungan hukum antara pasien dengan rumah sakit. Dan pendekatan perundang-undangan (normative approach) dengan cara meneliti ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang kewajiban dan hak pasien dan Rumah Sakit yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit serta pendekatan sejarah (historical approach) yaitu dengan cara mempelajari sejarah rumah sakit. 3. Pengumpulan Bahan Hukum Bahan-bahan hukum yang telah diperoleh akan diinventarisir dan diidentifikasi untuk digunakan sebagai bahan menganalisis pokok permasalahan dalam penelitian ini. Identifikasi bahan hukum primer, sekunder maupun tertier dilakukan secara kritis, logis dan sistematis, dikumpulkan berdasarkan sistem kartu (card system), hal ini dilakukan untuk mempermudah proses pengolahan bahan hukum tersebut, dengan demikian bahan hukum akan disusun dan dikelompokkan menurut bentuk, jenis dan 18
tingkatannya. Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang berasal dari Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 29 Tahu 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kehakiman yang digunakan untuk mempertajam analisis yang dilakukan yang ada hubungan dengan permasalahan yang dibahas. b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan hukum yang diperoleh dari bahan-bahan pendukung yang menjelaskan bahan hukum primer yaitu dengan mempelajari buku-buku dan literatur ilmiah lainnya yang ada relevansi dengan penulisan tesis ini. c. Bahan hukum tertier adalah bahan yang dapat memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti Black Law Dictionary, Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan sebagainya. 4. Analisis bahan hukum Yaitu semua bahan hukum yang telah dikumpulkan baik itu bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang berhubungan dengan kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit serta bahan hukum tertier diseleksi dan dinilai dari aspek hukum, apakah bahan hukum tersebut ada hubungan dan memperkuat serta mendukung jawaban atas permasalahan yang berhubungan dengan pengaturan 19
kewajiban dan hak antara pasien dengan Rumah Sakit. Bahan hukum yang telah diseleksi dan ada hubungan dengan permasalahan tersebut diklasifikasi sesuai dengan tingkat relevansinya. Bahan hukum kemudian dianalisis dan dikaji dan menarik kesimpulan dari semua permasalahan yang dibahasi, kajian dilakukan sedemikian rupa sehingga menggambarkan permasalahan dan pemecahannya secara jelas dan komprehensif.
F. Sistematika Penulisan Dalam upaya memberikan pedoman dalam penelitian dan penulisan serta untuk memberikan gambaran bagaimana penulisan dan laporan dilakukan, maka disusun sistematika penulisan sebagai berikut: 1. Bab I tentang Pendahuluan. Dalam bab ini akan diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. 2. Bab II tentang Tinjauan Umum Tentang Rumah Sakit. Dalam bab ini akan dipaparkan tentang pengertian dan pembagian rumah sakit , sejarah rumah sakit, rumah sakit sebagai lembaga bisnis, rumah sakit dalam konteks hospital laws dan hospital by laws, kepastian hukum dalam penyelenggaraan rumah sakit serta karakteristik hubungan hukum antara pasien dengan rumah sakit. 3. Bab III tentang Gambaran Umum Tentang Kewajiban dan Hak Antara Pasien dengan Rumah Sakit. Dalam bab ini akan dipaparkan tentang pengertian tentang kewajiban dan hak pasien dengan rumah sakit, pengaturan tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit, hubungan hukum antara 20
pasien dengan rumah sakit serta tanggung jawab rumah sakit secara hukum terhadap pasien. 4. Bab IV tentang Kewajiban dan Hak Antara Pasien dengan Rumah Sakit dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Dalam bab ini akan dipaparkan pengaturan tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit dalam perspektif Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, kepastian hukum tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit dalam perspektif Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. 5. Bab V tentang Penutup. Dalam bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan berdasarkan temuan dari pengolahan bahan hukum, dan pengajuan saran yang berhubungan dengan pengaturan kewajiban dan hak antara pasien dengan Rumah Sakit dalam perspektif Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
21
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG RUMAH SAKIT
A. Pengertian dan Pembagian Rumah Sakit Rumah sakit didirikan dan diselenggarakan dengan tujuan utama untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam bentuk asuhan perawatan, tindakan medis dan diagnostik serta upaya rehabilitasi medis untuk memenuhi kebutuhan pasien. Pemenuhan kebutuhan untuk pasien harus didasarkan atas batas-batas kemampuan rumah sakit. Dalam tatanan atau sistem kesehatan nasional rumah sakit menjadi salah satu unsur untuk dapat menjawab tujuan pembangunan kesehatan yaitu untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Bahkan rumah sakit dewasa ini dijadikan sebagai salah satu bentuk tingkat kemajuan bidang kesehatan di suatu negara, oleh karena itu jika suatu rumah sakit memiliki tenaga kesehatan yang kompeten dan lengkap serta didukung oleh prasarana dan sarana yang menunjang maka akan menjadi tujuan utama masyarakat apalagi jika tingkat keberhasilan dalam melakukan upaya kesehatan akan sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit tersebut. Menurut anggaran dasar Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) rumah sakit adalah suatu sarana dalam mata rantai sistem kesehatan nasional yang mengemban tugas pelayanan kesehatan untuk seluruh masyarakat. Rumah sakit mengemban tugas mulia yaitu memberikan pelayanan kesehatan bagi seluruh anggota masyarakat yang membutuhkan. Sedangkan menurut panitia etika rumah sakit sebagaimana yang dikutip oleh Endang Kusuma Astuti, rumah sakit adalah suatu sarana yang merupakan bagian dari sistem pelayanan kesehatan yang menjalankan rawat inap, 22
rawat jalan dan rehabilitasi berikut segala penunjangnya. 17 Dalam hal ini lebih ditekankan tentang sistem pelayanan yang umum dilakukan oleh rumah sakit yaitu menjalankan rawat inap, rawat jalan dan rehabilitasi berikut segala penunjangnya seperti sumber daya manusia, prasarana dan sarana, keuangan, manajemen dan sebagainya. Rumah sakit menurut American Hospital Association sebagaimana dikutip oleh Wiku Adisasmito:
Rumah sakit adalah suatu organisasi tenaga medis professional yang terorganisasi serta sarana kedokteran yang permanen dalam menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis, serta pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien. 18
Dari pengertian rumah sakit tersebut memberi makna bahwa rumah sakit merupakan kumpulan dari tenaga medis yang membentuk suatu organisasi dalam suatu sarana yang bersifat permanen untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berkesinambungan terhadap pasien. Rumah sakit menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Dalam hal ini rumah sakit dimaksudkan sebagai sarana kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan terhadap diri seseorang dan dilakukan secara paripurna, selain menyelenggarakan rawat inap dan rawat jalan juga menjalankan pelayanan kegawatdaaruratan.
17 Endang Kusuma Astuti, Op.Cit., hal. 51. 18 Wiku Adisasmito, Sistem Manejemen Lingkungan Rumah Sakit, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 1. 23
Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan Nomor 031/Birhup/1972 Tentang Rumah Sakit Pemerintah, rumah sakit adalah suatu kompleks atau ruangan yang dipergunakan untuk menampung dan merawat orang sakit atau bersalin, kamar-kamar orang sakit yang berada dalam satu perumahan khusus seperti rumah sakit khusus, rumah sakit bersalin, lembaga masyarakat, kapal laut. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 983/1992 yang dimaksud dengan rumah sakit adalah sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. Fokus pengertian menurut keputusan menteri tersebut adalah rumah sakit selain berfungsi sebagai sarana pelayanan kesehatan juga berfungsi untuk kepentingan pendidikan dan penelitian ilmu kedokteran, ilmu kedokteran sebagai salah satu ilmu terapan selain tenaga kesehatan dituntut untuk memiliki ilmu pengetahuan yang baik tentang kesehatan juga harus ditunjang dengan tingkat keterampilan yang baik pula apalagi dewasa ini semakin banyak muncul penyakit yang belum ada obat dan standar upaya penangannya perlu adanya pelatihan dan penelitian untuk menjawab permasalahan tersebut, oleh karena itu untuk menciptakan tenaga kesehatan yang kompeten harus ditetapkan rumah sakit sebagai lembaga penelitian dan pendidikan bagi calon tenaga kesehatan. Menurut peneliti rumah sakit adalah suatu sarana yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bersifat sosial maupun bisnis kepada masyarakat yang didukung oleh sumber daya menusia, sarana dan prasarana yang memadai untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Dari beberapa definisi rumah sakit tersebut maka dapat dipetik kesimpulan bahwa rumah sakit memiliki unsur-unsur: 1. Sarana pelayanan kesehatan, pendidikan dan penelitian 24
2. Memiliki sumber daya manusia, prasarana dan sarana serta penunjang lainnya 3. Menyelenggarakan pelayanan rawat inap, gawat darurat dan rawat jalan 4. Dilaksanakan secara terorganisir 5. Menjalankan fungsi sosial dan bisnis Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 031/Birhup/1972, rumah sakit ditinjau dari sudut kepemilikan dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu: a. Rumah Sakit pemerintah yang dikelola oleh : 1). Departemen Kesehatan 2). Departemen Dalam Negeri 3). Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan 4). Badan Usaha Milik Negara (BUMN). b. Rumah Sakit swasta yang bersifat: 1). Yang bukan mencari keuntungan (not for profit) dan 2). Yang bersifat mencari keuntungan (for profit) Rumah sakit pemerintah adalah rumah sakit yang diselenggarakan oleh badan- badan pemerintah, didanai secara penuh oleh pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah serta tenaga kesehatannya diangkat dan diawasi langsung oleh pemerintah serta didirikan untuk memberikan pelayanan secara menyeluruh kepada masyarakat dan lebih cenderung berfungsi sosial. Rumah sakit swasta adalah rumah sakit yang didirikan oleh pihak swasta atau nonpemerintah, yaitu oleh orang perorangan 25
ataupun oleh badan hukum yang lazim dalam bentuk yayasan dan bertujuan mencari keuntungan. Selain itu rumah sakit ada yang didirikan oleh organisasi keagamaan. Menurut Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, rumah sakit dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu: 1. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan : Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus (Pasal 19 ayat (1). 2. Berdasarkan pengelolaannnya : Rumah Sakit Publik dan Rumah Sakit Privat (Pasal 20 ayat (1). Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang menyelenggarakan banyak jenis layanan kesehatan, seperti layanan kesehatan umum, bedah, mata, kebidanan, anak, THT, jantung dan sebagainya. Sedangkan rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan khusus penyakit tertentu seperti rumah sakit jantung, rumah sakit stroke, rumah sakit jiwa, rumah sakit kanker dan sebagainya. Rumah sakit publik adalah rumah sakit yang diselenggarakan oleh pemerintah sedangkan rumah sakit privat adalah rumah sakit yang diselenggarakan oleh nonpemerintah. Selain itu dikenal Rumah Sakit Pendidikan yaitu ru mah sakit yang menyelenggarakan pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam bidang pendidikan profesi dokter, pendidikan kedokteran berkelanjutan dan pendidikan tenaga kesehatan lainnya (Pasal 23 Ayat (1). Rumah sakit juga diklasifikasi berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit (Pasal 24), klasifikasi tersebut adalah: 1. Rumah Sakit kelas (tipe) A adalah rumah sakit yang menyediakan pelayanan medis spesialistik luas dan subspesialistik yang luas. 26
2. Rumah Sakit kelas (tipe) B adalah rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan medis spesialistik luas dan subspesialistik terbatas. 3. Rumah Sakit kelas C (tipe) adalah rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan medis spesialistik minimal untuk vak besar yaitu penyakit dalam, kesehatan anak, bedah dan obstetric-ginekologi. 4. Rumah Sakit kelas (tipe) D adalah rumah sakit yang menyediakan pelayanan dasar oleh dokter umum. Pelayanan medis spesialistik seperti spesialis bedah, spesialis kandungan, spesialis anak, spesialis mata, spesialis penyakit dalam dan sebagainya, sedangkan sub spesialis dari spesialistik kandungan contohnya adalah sub spesialis onkologi yaitu kanker kandungan, tumor kandungan dan sebagainya.
B. Sejarah Rumah Sakit
Menurut Emeritus John Gilissen dan Emeritus Frits Gorle bahwa sejarah adalah mempelajari perjalanan waktu masyarakat di dalam totalitasnya. 19 Rumah sakit adalah salah satu lembaga yang mengalami perkembangan sejalan dengan perjalanan waktu masyarakat, untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang rumah sakit maka akan peneliti ungkapkan sejarah rumah sakit. Sejarah rumah sakit menurut Karyadi dalam tulisannya yang berjudul Rumah Sakit adalah sebagaimana yang tertuang di bawah ini. Dalam sejarah, antara kepercayaan dan pengobatan memiliki hubungan yang erat, tempat pengobatan orang sakit pertama kali dilaksanakan di kuil Mesir, kuil yang
19 Emeritus John Gilissen dan Emeritus Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2007, hal. 119. 27
berfungsi sebagai sarana ibadah juga berfungsi sebagai tempat pengobatan, demikian juga kuil Asclepius di Yunani juga memberikan pengobatan kepada orang sakit yang kemudian dicontoh oleh bangsa Romawi sebagai kepercayaan. Kuil kepercayaan untuk Asclepius dibangun pada tahun 291 SM di Tanah Tiber Roma yang hampir sama dengan kepercayaan bangsa Romawi. Institusi yang spesifik untuk pengobatan pertama kali ditemukan di India, Rumah Sakit Brahmanti pertama kali didirikan di Srilangka pada tahun 431 SM, kemudian Raja Ashoka juga mendirikan 18 rumah sakit di Hindustan pada tahun 230 SM dengan dilengkapi tenaga medis dan perawat yang dibiayai kerajaan. Rumah sakit pertama yang melibatkan konsep pengajaran pengobatan dengan mahasiswa yang diberikan oleh tenaga ahli adalah Akademi Gundishapur di Kerajaan Persia. Bangsa Romawi menciptakan pengobatan untuk para budak, gladiator dan prajurit sekitar 100 tahun SM, adopsi kepercayaan Kristiani turut mempengaruhi pelayanan medis di sana. Konsili Nicea I pada tahun 325 memerintahkan pihak gereja untuk memberikan pelayanan kepada orang-orang miskin, sakit, janda dan musafir. Setiap satu katedral di setiap kota harus menyediakan satu pelayanan kesehatan salah satunya adalah Saint Sampson di Konstantinopel dan Basil. Bangunan ini berhubungan langsung dengan bangunan gereja dan disediakan pula tempat terpisah untuk penderita lepra. Rumah sakit abad pertengahan di Eropa juga mengikuti pola tersebut, di setiap tempat peribadahan biasanya terdapat pelayanan kesehatan oleh pendeta dan suster, namun beberapa di antaranya terpisah dari tempat peribadahan demikian pula rumah sakit yang terspesialisasi untuk penderita lepra, kaum miskin atau musafir. 28
Rumah sakit dalam sejarah Islam memperkenalkan standar pengobatan tinggi pada abad ke-8 hingga abad ke-12, rumah sakit pertama kali didirikan pada abad ke-9 hingga ke-10 mempekerjakan 25 staf pengobatan dan perlakuan pengobatan berbeda untuk penyakit yang berbeda pula. Rumah sakit yang didanai pemerintah muncul pula dalam sejarah Tiongkok pada awal abad ke-10. Perubahan rumah sakit menjadi lebih sekuler di Eropa terjadi pada abad ke-16 hingga abad ke-17 tetapi baru pada abad ke-18 rumah sakit modern pertama dibangun dengan hanya menyediakan pelayanan dan pembedahan medis. Inggris pertama kali memperkenalkan konsep ini, Guy,s hospital didirikan di London pada tahun 1724 atas perintaan seorang saudagar kaya Thomas Guy. Rumah sakit yang dibiayai swasta seperti ini kemudian menjamur di seluruh Inggris Raya. Di koloni Inggris di Amerika kemudian berdiri Pennsylvania General Hospital di Philadelphia pada tahun 1751, setelah terkumpul sumbangan. Di Eropa daratan rumah sakit biasanya dibiayai oleh dana publik, namun secara umum pada pertengahan abad ke- 19 hampir seluruh negara di Eropa dan Amerika Utara telah memiliki keberagaman rumah sakit. Pada tahun 1919, dr. N.F. Liem menggagas untuk mengganti dan menggabungkan Rumah Sakit Kota (Stadverband Ziekenhuis) dengan Rumah Sakit Kota Pembantu (Hulp Stadverband Ziekenhuis) di Semarang menjadi Centrale Begrliijke Ziekenninricting yang dikenal dengan nama CBZ. Pada tanggal 9 September secara resmi CBZ berdiri setelah memakan waktu 5 tahun pembangunan sejak tahun 1920 dengan kapasitas 500 tempat tidur dalam bangsal-bangsal besar yang dapat menampung 45 tempat tidur. Ooiman Van Leeuwen dan Opzichter sebagai perencana serta Bapak Wijanarko sebagai pelaksana jauh sebelumnya telah merancang pemisahan antara poliklinik dan ruang rawat inap di 29
samping membangun asrama, dapur, pencucian, laboratorium, kamar obat, kantor administrasi dan garasi. Perumahan dokter dan karyawan dibangun mengelilingi rumah sakit sengaja untuk efisiensi dan mempermudah pelayanan gawat darurat pada masa lalu. Pada awal berdirinya tersedia beberapa ahli di bidang penyakit dalam, bedah, kebidanan dan penyakit kandungan, serta mengutamakan fungsi pelayanan medis berupa pengobatan kuratif dan fungsi pendidikan paramedis. Dalam perkembangan selanjutnya rumah sakit diklasifikasi berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit.
C. Rumah Sakit Sebagai Lembaga Bisnis
Pada konsep awal rumah sakit merupakan sebuah lembaga sosial yang mengedepankan fungsi dan tanggung jawab sosial dan dilaksanakan dengan pertimbangan kemanusiaan untuk kesejahteraan masyarakat, dengan demikian Rumah Sakit bukan merupakan lembaga bisnis tetapi merupakan lembaga moral yang nonprofit yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan. Seiring dengan perkembangan alam fikiran masyarakat dewasa ini rumah sakit pada konsep awal semata-mata melakukan pelayanan kesehatan yang bersifat sosial mengalami perubahan, hal ini disebabkan semakin sulit rumah sakit mendapatkan biaya yang berasal dari sumbangan para dermawan untuk menopang operasional rumah sakit ditambah dengan tingginya biaya operasional yang harus dikeluarkan oleh rumah sakit, sehingga biaya operasional lebih tinggi dibandingkan pemasukan, kondisi demikian dapat mengancam eksistensi dari rumah sakit itu sendiri. Atas dasar alasan tersebut maka pendiri/pengelola rumah sakit membuat kebijaksanaan yaitu biaya yang diperlukan untuk melakukan upaya kesehatan dibebankan kepada pasien. Kondisi demikian tidak dapat 30
dihindari oleh rumah sakit terutama bagi rumah sakit swasta untuk kelangsungan operasional rumah sakit dan nasib tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit maka kecenderungan ini tidak dapat dihindari, di sisi lain pembiayaan operasional rumah sakit tidak mungkin digantungkan secara penuh kepada keuangan pemerintah dan donator. Dewasa ini daerah memacu untuk menggali Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari berbagai sektor termasuk sektor pelayanan kesehatan. Dengan dijadikannya rumah sakit pemerintah sebagai salah satu sektor yang dapat menggenjot pendapatan maka fungsi rumah sakit menjadi berfungis bisnis. Dalam konteks ini perlu dilakukan pendakatan yuridis formal bahwa rumah sakit merupakan salah satu jenis pelayanan publik yang mempunyai tanggung jawab sosial terhadap kebutuhan masyarakat akan kesehatan. Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warganegara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggaran pelayanan publik. Di dalam pasal 5 ayat (2) diatur bahwa ruang lingkup pelayanan publik meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya. Rumah sakit merupakan salah satu jenis pelayanan kesehatan yang melakukan rangkaian kegiatan pemenuhan kebutuhan jasa pelayanan kesehatan bagi masyarakat, dengan demikian rumah sakit adalah salah satu bentuk pelayanan publik. Tentang penyelenggara pelayanan publik dalam pasal 1 ayat (2) ditegaskan bahwa penyelenggara pelayanan 31
publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggaraan Negara, kooporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Hal tersebut berarti bahwa rumah sakit pemerintah termasuk dalam ruang lingkup pelayanan publik yang harus lebih mengedepankan kepentingan sosial, Negara mempunyai tanggung jawab untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945, oleh karena itu rumah sakit pemerintah harus tetap berkomitmen untuk mendahulukan kepentingan sosial. Penyelenggara rumah sakit swasta di Indonesia kebanyakan berbentuk yayaan dan badan hukum lain yang bersifat sosial dalam bentuk perkumpulan, secara filosofis rumah sakit swasta dibentuk tidak untuk mencari keuntungan. Di dalam Kode Etik Rumah Sakit Indonesia Tahun 1986 ada pernyataan bahwa rumah sakit sebagai unit sosio-ekonomi tidak semata-mata mencari keuntungan. Hal ini berarti rumah sakit diperbolehkan mencari keuntungan akan tetapi tidak boleh mengutamakan keuntungan tetapi harus berperan sebagai lembaga sosial. Adapun bentuk-bentuk fungsi sosial rumah sakit swasta yaitu:
1. Penyediaan 25% tempat tidur bagi pasien tidak mampu atau miskin 2. Membebaskan biaya perawatan pasien yang benar-benar tidak mampu 3. Memberikan tariff khusus bagi pasien tidak mampu 4. Mengutamakan pertolongan darurat tanpa mempertimbangkan biaya atau uang muka 5. Terlibat dalam program pemerintah di bidang kesehatan, misalnya ikut penangulangan bencana. 20
20 Lihat Ahdiana Yuni Lestari, Aspek Hukum Komersialisasi Rumah Sakit Swasta Dalam Kaitanya Dengan Pelayanan Kesehatan Yang berfungsi Sosial, Jurnal Hukum Bisnis, hal. 26. 32
Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit ada ketentuan yang menegaskan kedudukan rumah sakit sebagai lembaga sosial yaitu dalam pasal 29 ayat (1) huruf f ditegaskan bahwa rumah sakit wajib melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa. Berdasarkan hal tersebut undang-undang ini tidak dibedakan kewajiban antara rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta, menurut peneliti dari sisi tanggung jawab sosial ada perbedaan mendasar antara rumah sakit pemerintah dan swasta yaitu: 1. Rumah sakit pemerintah wajib menggratiskan pasien tidak mampu/miskin melalui berbagai program, sedangkan bagi rumah sakit swasta hanya menggratiskan biaya perawatan bagi pasien yang benar-benar tidak mampu/miskin, bagi pasien yang tidak mampu/miskin rumah sakit swasta hanya memberlakukan tarif khusus bukan gratis. 2. Penyediaan tempat tidur bagi pasien umum dalam bentuk bangsal dan zaal lebih banyak dibandingkan dengan tempat tidur khusus/VIP, sedangkan rumah sakit swasta cenderung menyediakan tempat tidur khusus/VIP lebih banyak dibandingkan tempat tidur umum dalam bentuk bangsal/zaal. 3. Rumah sakit pemerintah wajib menyediakan ambulan gratis, rumah sakit swasta tetap membebankan biaya ambulan kepada pasien. 4. Rumah sakit pemerintah wajib memberikan pelayanan kesehatan bencana tanpa terkecuali karena ditopang langsung oleh pemerintah, sedangkan rumah sakit swasta memberikan pelayanan kesehatan bencana sesuai dengan kemampuan pelayanannya. 33
Berhubungan dengan fungsi bisnis, ditegaskan dalam pasal 30 ayat (1) yaitu menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan remunerasi, insentif, dan penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka pengembangan pelayanan, menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, mendapatkan insentif pajak bagi rumah sakit publik dan rumah sakit yang ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan. Menurut peneliti ada perbedaan antara rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta dalam menjalankan fungsi bisnis yaitu: 1. Penetapan besarnya imbalan jasa yang harus diberikan oleh pasien kepada rumah sakit ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan untuk rumah sakit swasta ditetapkan oleh rumah sakit sendiri. 2. Rumah sakit pemerintah tidak bebas untuk menjalin kerjasama dan menerima bantuan dari pihak lain sedangkan rumah sakit swasta memiliki kebebasan untuk menjalin kerjasama dan untuk menerima bantuan dari pihak lain. 3. Insentif pajak rumah sakit pendidikan bagi rumah sakit pemerintah ditetapkan oleh pemerintah contohnya ditentukan dalam Perda, sedangkan untuk rumah sakit swasta berdasarkan kesepakatan antara rumah sakit dengan lembaga pendidikan. Menurut Pasal 21 Undang-Undang Nomor 44 Tahu 2009 Tentang Rumah Sakit ditegaskan bahwa Rumah sakit privat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dikelola oleh badan hukum dengan tujuan provit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero. Dari pasal 21 tersebut dapat dipahami bahwa rumah sakit swasta bertujuan untuk mencari keuntungan dari kegiatan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, jelas bahwa antara rumah sakit publik dan rumah sakit privat memiliki 34
orientasi yang sangat berbeda yaitu rumah sakit publik mengemban tugas sebagai pelayanan sosial sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap masyarakat sedangkan rumah sakit swasta bertujuan untuk mencari keuntungan. Walaupun demikian menurut peneliti rumah sakit pemerintah dapat saja menjalankan fungsi bisnis untuk mencari keuntungan karena operasional rumah sakit pemerintah dewasa ini tidak dapat menggantungkan subsidi dari pemerintah, demikian pula sebaliknya bagi rumah sakit swasta yang didirikan untuk mencari keuntungan tidak boleh hanya mengedepankan kepentingan bisnis akan tetapi tetap memperhatikan kepentingan sosial sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap kesehatan masyarakat, artinya harus ada keseimbangan antara kedua kedua fungsi tersebut.
Salah satu prinsip bisnis yang dapat dipergunakan oleh rumah sakit adalah konsep balance scorecard yaitu konsep bahwa perusahaan yang sukses tidak hanya mengejar keuntungan saja, tetapi juga berusaha untuk mengejar kepuasan pengguna, pengembangan sumber daya manusia dan proses yang bermutu. 21
Menurut peneliti konsep ini penting untuk diterapkan di setiap rumah sakit di Indonesia jika didukung oleh komitmen yang kuat dari pemerintah dan penyelenggara rumah sakit.
D. Rumah Sakit Dalam Konteks Hospital Laws dan Hospital By Laws
Istilah hospital Laws terdiri dari dua kata yaitu hospital dan laws, hospital berarti rumah sakit dan law adalah hukum, hospital laws adalah seperangkat kaedah yang mengatur semua aspek yang berkaitan dengan kerumah-sakitan, dibuat oleh badan legislatif, keberadaannya mengikat pemerintah, seluruh rakyat Indonesia dan seluruh
21 Ibid., hal.27. 35
rumah sakit, termasuk rumah sakit asing. 22 Hospital laws berarti segala hukum yang mengatur tentang rumah sakit dan mengikat pemerintah, rakyat terutama rumah sakit. Hukum rumah sakit mengatur semua rumah sakit yang ada tanpa ada kecuali apakah rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, termasuk juga rumah sakit asing yang didirikan di Indonesia. Hukum rumah sakit juga tidak hanya terbatas oleh aturan yang mengatur khusus tentang rumah sakit akan tetapi semua aturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan rumah sakit. Hukum rumah sakit dapat berupa undang-undang, asas- asas hukum pelayanan kesehatan di rumah sakit, peraturan pemerintah dan sebagainya. Pada tingkat undang-undang seperti ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata, KUHP, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Pelayanan Publik, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit dan sebagainya. Pada tingkat peraturan pemerintah seperti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 Tentang Tenaga Wajib Simpan Rahasia Kedokteran, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan. Selain itu rumah sakit juga tunduk pada peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti Peraturan Menteri Kesehatan Nomor :585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor:749a/Men.Kes/per/XII/1989 tentang Medical Record dan sebagainya.
22 http://eryrusty.blogspot.com/2009/03/hospital-bylaws.html, diakses tanggal 24 Oktober 2010. 36
Rumah sakit dalam konteks hospital laws tidak hanya berpegang dan tunduk terhadap segala bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku akan tetapi juga tunduk kepada asas-asas hukum umum dan asas-asas hukum khusus yang berlaku dalam ruang lingkup pelayanan medis di rumah sakit. Menurut Sudikno Mertokusumo asas hukum dibagi 2 (dua) yaitu asas hukum umum dan asas hukum khusus, asas hukum umum ialah asas hukum yang berhubungan dengan seluruh bidang hukum seperti asas siapa yang merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi, demi kepastian hukum dan sebagainya sedangkan asas hukum khusus berfungsi dalam bidang yang lebih sempit sdalam bidang hukum tertentu seperti asas konsensualisme, asas legalitas dan sebagainya. Scholten mendefinisikan asas hukum adalah: Pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya. 23
Menurut Scholten asas hukum merupakan pikiran-pikiran dasar dan pikiran- pikiran dasar tersebut dirumuskan secara kongkrit dalam aturan-aturan perundang- undangan dan putusan-putusan hakim. Eikema Hommes berpendapat sebagaimana dikutip oleh Alexandra Indriyanti Dewi bahwa asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang kongkrit akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku. 24 Eikema Hommes lebih menekankan bahwa asas hukum bukan norma hukum yang nyata tetapi asas hukum menjadi petunjuk bagi hukum yang berlaku. Beberapa contoh asas hukum umum adalah:
23 J.J. H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 11. 24 Alexandra Indriyanti Dewi, Op. Cit., hal.166. 37
1. Siapa yang mempunyai kepentingan hukum dapat mengajukan gugatan (point dinteret point daction) 2. Hakim tidak boleh menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada/kabur aturan (Non Miquet) 3. Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain harus mengganti kerugian tersebut. Dalam pelayanan kesehatan juga berlaku asas hukum khusus, menurut Alexandra Indriyanti Dewi di dalam ilmu kesehatan yang dijadikan dasar dalam pelayanan medis di rumah sakit dikenal beberapa asas yaitu : a). Sa science et sa conscience, ya ilmunya ya hati nuraninya, maksud dari pernyataan asas ini adalah bahwa kepandaian seorang ahli kesehatan tidak boleh bertentangan dengan hati nurani dan kemanusiaannya Biasanya digunakan pada pengaturan hak-hak dokter, di mana dokter berhak menolak dilakukannya tindakan medis jika bertentangan dengan hati nuraninya. b). Agroti Salus Lex Suprema, keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi. c). Deminimis noncurat lex, hukum tidak mencampuri hal-hal yang sepele. Hal ini berkaitan dengan kelalaian yang dilakukan oleh petugas kesehatan. Selama kelalaian tersebut tidak berdampak merugikan pasien maka hukum tidak akan menuntut. d). Res Ipsa loquitur, faktanya telah berbicara. Digunakan di dalam kasus-kasus malpraktik di mana kelalaian yang terjadi tidak perlu pembuktian lebih lanjut karena faktanya terlihat jelas. 25
Dapat dijelaskan di sini bahwa dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit berlaku asas hukum khusus yaitu Sa science et sa conscience, dokter tidak boleh melakukan upaya kesehatan yang diminta oleh pasien yang bertentangan dengan hati nurani dan kemanusiaan seperti melakukan aborsi atas permintaan pasien, euthanasia dan
25 Ibid., hal. 167. 38
sebagainya. Agroti Salus Lex Suprema, dokter harus mengakui bahwa keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi dalam arti bahwa dokter harus mengedepankan keselamatan pasiennya dan melakukan upaya maksimal demi keselamatan pasiennya, dalam kondisi yang kritis dokter tidak boleh berfikir lain kecuali mengupayakan keselamatan pasien dan dokter tidak boleh menolak untuk melakukan tindakan penyelamatan nyawa pasien. Deminimis noncurat lex, dalam kesehatan hukum tidak akan mencampuri hal-hal sepele yang menimpa pasien dan tidak merugikan pasien, tenaga kesehatan mungkin melakukan kelalaian seperti lamban melakukan upaya kesehatan terhadap pasien yang tidak parah (emergency) maka hukum tidak akan menuntut, kecuali sebaliknya. Res Ipsa loquitur, dalam hal ini tenaga kesehatan lalai dan atau melakukan kesalahan dalam melakukan tugasnya dan mengkibatkan kerugian fisik seperti cacat permanen atau kematian, atau mengakibatkan gangguan jiwa pasien di mana faktanya jelas maka tidak perlu pembuktian lebih lanjut maka hukum akan bertindak. Di rumah sakit terjadi hubungan hukum antara tenaga kesehatan dan pasien yang dilakukan dalam bentuk hubungan kontraktual, asas hukum dalam hubungan kontraktual adalah: 1. Asas konsensual, di mana masing-masing pihak harus menyatakan persetujuannya baik secara eksplisit (lisan) maupun secara implisit (tertulis) seperti dalam bentuk melakukan pendaftaran, memberikan nomor urut atau menjual karcis). 2. Asas itikad baik, kedua belah pihak harus memiliki itikad baik dalam menjalin hubungan kontraktual. 3. Asas bebas, pada prinsipnya kedua belah pihak mempunyai kebebasan dalam menjalin hubungan kontraktual terutama yang menyangkut hak dan kewajiban, 39
akan tetapi perlu disadari bahwa hubungan terapeutik penuh dengan uncertainly di mana hasil dan resikonya tidak dapat diperhitungkan secara matematik. 4. Asas tidak melanggar hukum, walaupun kedua belah pihak boleh mengadakan hubungan kontraktual secara secara bebas tetapi tidak boleh melanggar hukum. Contohnya kedua belah pihak sepakat untuk melakukan aborsi tanpa indikasi medis, hal tersebut tidak boleh dianggap hubungan terapeutik tetapi merupakan pemufakatan jahat. Dokter pun tidak dapat digugat mengganti kerugian atas dasar wanprestasi. 5. Asas kepatutan dan kebiasaan, kebiasaan dan kepatutan yang berlaku di dunia kedokteran sedikit berbeda dengan hubungan kontraktual pada umumnya, penghentian upaya kesehatan oleh pasien secara sepihak dapat dilakukan jika kepercayaan kepada tenaga kesehatan telah hilang. Hukum medis bertumpu kepada 2 (dua) asas yaitu: 1. Hak atas pelayanan kesehatan (the right to health care) 2. Hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination) Hak atas pelayanan kesehatan (the right to health care) menunjukkan bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, dalam konteks ini ada unsur tanggung jawab dari Pemerintah untuk menyelenggarakan sarana kesehatan agar kebutuhan masyarakat akan kesehatan dapat terpenuhi dengan baik dan rumah sakit harus dapat menyelenggarakan rumah sakit yang dapat memenuhi standar dan pelayanan kesehatan yang bermutu, rumah sakit tidak boleh menolak untuk melakukan upaya kesehatan. Hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination) merupakan hak dasar 40
pasien bahwa pasienlah yang menentukan apa yang harus dilakukan oleh rumah sakit terhadap dirinya dan rumah sakit tidak boleh melakukan apa yang tidak diinginkan atau tidak ada izin dari pasien yang bersangkutan. Kedua asas tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum medis di rumah sakit. Dengan demikian di dalam rumah sakit dalam konteks hospital laws selain berlaku semua peraturan yang berhubungan dengan rumah sakit juga berlaku asas hukum yang bersifat umum dan asas hukum khusus yang bertujuan agar penyelenggaraan rumah sakit tetap dalam koridor aturan dan asas hukum yang berlaku. Hospital by laws adalah peraturan yang dibuat sepihak oleh rumah sakit, berlaku di rumah sakit yang bersangkutan, mengikat semua pihak yang berinteraksi dengan rumah sakit (staf manajemen, para professional, karyawan, pasien dll). Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 29 huruf r Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit yang mengatur bahwa setiap rumah sakit mempunyai kewajiban menyusun dan melaksanakan peraturan internal rumah sakit (hospital by laws). Hospital by laws berfungsi untuk mengatur kewenangan dan tanggungjawab pemilik, direksi dan tenaga kerja dalam rumah sakit, mengatur hak dan kewajiban semua pihak yang berinteraksi dengan rumah sakit dan mengatur tata laksana menjalankan tugas, wewenang, kewajiban dan hak serta sebagai pedoman bagi rumah sakit dalam penyelenggaraan rumah sakit. Sedangkan kegunaan hospital by laws adalah: 1. Sebagai pedoman intern rumah sakit 2. Sebagai pedoman bagi pihak ekstern yang berunteraksi dengan rumah sakit termasuk pasien 41
3. Sebagai sarana untuk menjamin efentifitas, efisiensi dan mutu bagi pelaksanaan tugas dan kewajiban rumah sakit 4. Sebagai syarat untuk keperluan akreditasi 5. Sebagai sarana perlindungan hukum bagi semua pihak 6. Sebagai acuan dalam penyelesaian sengketa atau konflik Adalah menjadi kewajiban bagi rumah sakit untuk dapat mematuhi semua pedoman penyelenggaraan rumah sakit baik itu dalam konteks hospital laws maupun dalam konteks hospital by laws.
E. Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan Rumah Sakit Dengan adanya hospital laws dan hospital by laws bertujuan agar penyelenggaraan rumah sakit tetap tunduk terhadap peraturan yang berlaku baik ketentuan hukum umum sebagaimana yang diatur dalam KUHP dan KUHPerdata, ketentuan hukum khusus yang mengatur tentang kesehatan dan rumah sakit serta peraturan intern rumah sakit. Dengan kondisi tersebut diharapkan agar segala peraturan dan ketentuan yang mengatur tentang penyelenggaraan rumah sakit memberikan kepastian hukum baik bagi masyarakat maupun rumah sakit itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa tujuan hukum adalah terpelihara dan terjaminnya keteraturan (kepastian) dan ketertiban. Tanpa keteraturan dan ketertiban, kehidupan manusia yang wajar memang tidak mungkin. 26 Kepastian hukum menurut Faisal adalah perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga Negara 27 . Kepastian hukum menurut peneliti adalah peraturan yang dimuat
26 Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1999, hal. 50. 27 Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Mata Padi Presindo, Yogyakarta, 2010, hal. 81. 42
secara pasti dan jelas dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin tidak adanya keragu-raguan dalam penerapan hukum. Dengan adanya kepastian hukum akan tercipta tindakan yang selalu terkendali dalam koridor hukum bagi masyarakat maupun penguasa. UUD 1945 Pasal 28D angka (1) menegaskan bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dengan demikian UUD 1945 mengamanatkan bahwa salah satu hak setiap orang adalah memperoleh kepastian hukum, kepastian hukum mutlak dibutuhkan oleh negara yang berdasarkan atas hukum. Kepastian hukum sering dipertentangkan dengan keadilan yaitu dalam upaya mencapai kepastian hukum apakah rasa keadilan dikesampingkan atau dalam mencapai rasa keadilan apakah harus mengenyampingkan asas kepastian hukum. Idealnya rasa keadilan harus sejalan dengan kepastian hukum, kedua unsur tersebut harus saling mengisi yaitu keadilan yang berdasarkan kepastian hukum dan kepastian hukum yang berdasarkan rasa keadilan. Arief Hidayat menyatakan bahwa hukum harus memenuhi rasa keadilan dan membahagiakan seluruh masyarakat, selain mengandung kepastian hukum. 28
Selanjutnya Arief Hidayat menyatakan bahwa konsep negara hukum mencakup empat tuntutan dasar, yakni kepastian hukum, hukum berlaku sama bagi seluruh penduduk, adanya legitimasi demokrasi dalam pembuatan hukum, dan menjunjung tinggi martabat manusia. Erman Rajagukguk menyatakan bahwa kepastian hukum adalah prasyarat berhasilnya pembangunan. 29 Di dalam negara yang sedang membangun unsur kepastian hukum menjadi salah satu kunci keberhasilan pembangunan karena dalam kondisi tersebut berlakunya aturan yang pasti akan memantapkan langkah pembangunan yang
28 Lihat Arief Hidayat, Kepastian Hukum Harus Sejalan Dengan Rasa Keadilan, http://www. antaranews.com/berita, diakses 4 September 2010.
banyak melibatkan pihak dalam negeri dan luar negeri serta mencakup banyak sisi kehidupan manusia, oleh sebab itu unsur kepastian hukum menjadi prasyarat berhasilnya pembangunan suatu negara, Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa:
Dalam hukum harus ada keadilan dan kepastian hukum, kepastian hukum itu penting agar orang tidak bingung. Tapi keadilan dan kepastian hukum itu sendiri merupakan dua sisi mata uang, keadilan dan kepastian hukum tidak perlu dipertentangkan. Kalimatnya jangan kita potong : keadilan yang pasti identik dengan kepastian yang adil. 30
Menurut beliau di dalam suatu produk hukum harus memuat unsur keadilan dan kepastian hukum, tujuan kepastian hukum adalah agar orang tidak bingung, tidak ragu ataupun salah menafsirkan suatu peraturan yang berlaku. Jika salah menafsirkan dapat mengakibatkan suatu keputusan hukum akan jauh dari rasa keadilan, oleh karena itu beliau menyatakan bahwa antara keadilan dan kepastian hukum adalah dua sisi mata uang. Dikatakan adil jika berdasarkan aturan yang pasti, dikatakan pasti jika telah memuat unsur rasa kedilan, artinya kedua unsur tersebut harus seimbang. Fungsi hukum dan asas-asas dasar negara hukum adalah: Asas kepastian hukum, warga masyarakat bebas dari tindakan pemerintah dan pejabatnya yang tidak dapat diprediksi dan sewenang-wenang. Implementasi asas ini menuntut dipenuhinya : - Syarat legalitas dan konstitusionalitas, tindakan pemerintah dan pejabatnya bertumpu pada perundang-undangan dalam kerangka konstitusi - Syarat Undang-Undang menetapkan berbagai perangkat aturan tentang cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan - Syarat perundang-undangan hanya mengikat warga masyarakat setelah diundang dan tidak berlaku surut (Non Retroaktif). - Asas peradilan bebas terjaminnya obyektifitas, imparsialitas, adil dan manusiawi.
30 Lihat Jimly Assiddiqie, Keadilan, Kepastian Hukum dan keteraturan, http://www.suarakarya- online.com/news. diakses 4 September 2010. 44
- Asas bahwa Hakim tidak boleh menolak mengadili perkara dengan alasan hukum tidak ada atau tidak jelas (Asas Non Miquet). 31
Hal yang penting dari pendapat tersebut adalah bahwa asas kepastian hukum bertujuan agar masyarakat terhindar dari tindakan pejabat yang dapat bertindak sewenang-wenang karena tidak adanya aturan yang mengatur, oleh karena itu tindakan pejabat harus bertumpu pada aturan yang berlaku. Di sisi lain di dalam hukum berlaku asas bahwa hakim tidak boleh menolak suatu perkara karena alasan hukumnya tidak ada atau tidak jelas (Asas Non Miquet). Asas Non Miquet menjadi dasar penting dalam mengatasi permasalahan kekosongan hukum, artinya hakim harus selalu siap dan tidak boleh menolak perkara yang masuk dan harus tetap memprosesnya, selanjutnya tugas hakimlah untuk menemukan hukum untuk menangani perkara-perkara tersebut, agar tidak terjadi tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh hakim dalam menemukan hukum. Menurut peneliti sebaiknya hukum yang ada tetap menjamin kepastian hukum agar tindakan hakim tetap dalam koridor hukum dan hakim tidak boleh semaunya menafsirkan atau mencari hukum lain yang justru dapat menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan. Walaupun masalah pelayanan kesehatan telah banyak diatur dalam berbagai macam bentuk peraturan perundang-undangan akan tetapi masih ada beberapa ketentuan yang seharusnya diatur tetapi tidak diatur yang sifatnya sangat penting, demikian juga dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit masih ada beberapa hal penting yang seharusnya diatur tetapi tidak diatur dalam undang-undang ini apalagi hal tersebut berhubungan dengan kewajiban dan hak pasien yang telah menjadi
31 Lihat M. Choliq, Fungsi Hukum dan Asas-asas Dasar Negara Hukum, http://www.suara karya- online.com/news. Diakses 4 September 2010. 45
isu sentral masyarakat dewasa ini karena tingginya intensitas permasalahan yang timbul antara rumah sakit dan pasien, dengan kondisi demikian akan mempengaruhi kepastian hukum baik bagi rumah sakit maupun pasien. Berpedoman dengan pendapat para ahli dia atas menunjukkan bahwa permasalahan kepastian hukum sangat penting selain agar tidak terjadi kebingungan bagi masyarakat juga dapat mengontrol tindakan pihak tertentu seperti rumah sakit agar tidak out of control, kontrol yang sangat efektif adalah kontrol yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan dan di lain pihak dalam melakukan penegakan hukum tidak akan mengalami permasalahan karena hal tersebut telah diatur secara tegas dalam suatu peraturan perundang-undangan. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa kepastian hukum merupakan unsur penting dalam tatanan hukum suatu negara agar tercapai kedamaian hidup manusia, oleh karena itu setiap peraturan perundang-undangan harus menjamin adanya kepastian hukum bagi setiap orang termasuk Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
F. Karakteristik Hubungan Hukum Antara Pasien Dengan Rumah Sakit
Kesehatan sebagai satu unsur kebutuhan mendasar bagi manusia tidak dapat menghindar dari aspek hukum karena hubungan antar tenaga kesehatan dengan pasien merupakan hubungan antar subjek hukum yang menimbulkan akibat hukum, ditambah semakin meningkatnya kasus-kasus yang terjadi dalam bidang kesehatan terutama adanya kesalahan, kesengajaan, kelalaian yang mengakibatkan kerugian bagi pasien. Rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan dalam menyelenggarakan aktivitasnya mengandung muatan hukum. Suryani Supardan berpendapat bahwa:
46
Kegiatan pelayanan kesehatan merupakan suatu transaksi yang sering kali berhubungan dengan prestasi, sedangkan di sisi lain, kegiatan ini menimbulkan adanya kontraprestasi atau imbalan. Kegiatan tersebut berlangsung terus menerus sehingga menjadi suatu kebiasaan, yang akhirnya membentuk peraturan, dan terutama mengandung muatan hukum. 32
Pembahasan tentang muatan hukum dalam praktik rumah sakit tidak dapat dipisahkan dari hukum kesehatan, menurut Black Law Dictionary, Hukum kesehatan (health law) adalah law, ordinance, or codes prescribing sanitary standards and regulations, designed to promote and preserve the health of the community. 33 Yang artinya hukum kesehatan adalah = hukum, peraturan, atau perundang-undangan yang menentukan standar-standar dan peraturan-peraturan, dirancang untuk memajukan dan menjaga kesehatan masyarakat, hukum kesehatan dapat berupa peraturan, perundang- undangan yang berisi tentang standar dan aturan yang bertujuan untuk memajukan dan menjaga kesehatan masyarakat. Menurut H.J.J. Leenen sebagaimana yang dikuti oleh J. Guwandi, hukum kesehatan adalah:
Semua peraturan hukum yang berhubungan langsung pada pemberian pelayanan kesehatan dan penerapannya pada hukum perdata, hukum administrasi dan hukum pidana. Arti peraturan di sini tidak hanya mencakup pedoman internasional, hukum kebiasaan, hukum yurispudensi, namun ilmu pengetahuan dan kepustakaan dapat juga merupakan sumber hukum. 34
Menurut Van Der Mijn hukum kesehatan sebagai kumpulan peraturan yang berkaitan dengan pemberian perawatan dan juga penerapannya kepada hukum perdata,
32 Suryani Supardan dan Dadi Anwar Hadi, Etika Kebidanan dan Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta, 2005, hal. 113.
33 Blacks Law Dictionary, 5 th ed. 1978.
34 J. Guwandi, Hukum Medik (Medical Law), Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal.12. 47
hukum pidana dan hukum administrasi. 35 Jadi hukum kesehatan menyangkut hukum perdata, pidana dan administrasi. H.J.J. Leenen dan Van Der Mijn memfokuskan hukum kesehatan pada peraturan yang mengatur pemberian pelayanan kesehatan yang penerapannya dapat dilaksanakan menurut hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana. Menurut Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI) yang dikutip oleh M. Yusuf Hanafiah dan Amri yang dimaksud dengan hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan dengan langsung dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapannya. 36 Pemeliharaan dan pelayanan kesehatan sangat luas karena dapat dilakukan oleh semua tenaga medis sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan, oleh sebab itu hukum kesehatan mencakup komponen-komponen hukum kedokteran/kedokteran gigi, keperawatan, farmasi, Rumah Sakit, kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan, kebidanan dan sebagainya. Selain itu dalam hukum kesehatan juga dikenal istilah hukum medik (medical law) yang sebenarnya pengertiannya berbeda dengan hukum kesehatan, hukum medik (medical law) menurut Van der Mijn sebagaimana dikutip oleh Guwandi adalah hukum yang mempelajari hubungan yuridis di mana dokter menjadi salah satu pihak, adalah bagian dari hukum kesehatan. 37
Oleh karena itu dalam praktik pelayanan kesehatan di rumah sakit sering muncul istilah pelayanan medik, sengketa medik, persetujuan tindakan medik, rekam medik dan sebagainya istilah tersebut lebih mengacu kepada hukum medik. Perbedaan antara hukum kesehatan dan hukum medik adalah terletak pada cakupan hukum tersebut, hukum
35 Ibid., hal. 13. 36 M. Yusuf Hanafiah dan Amri Amir, Op. Cit., hal. 3. 37 J. Guwandi, Op. Cit., hal.13. 48
kesehatan lebih luas dari hukum medik, hukum medik merupakan bagian dari hukum kesehatan, hukum medik lebih spesifik mengatur tentang hubungan hukum antara rumah sakit dengan pasiennya. Aspek hukum dalam hubungan antara pasien dan rumah sakit memiliki karakteristik sendiri yaitu: 1. Aspek hubungan hukum, hubungan hukum antara rumah sakit dan pasien terjadi pada saat terjadi kesepakatan antara rumah sakit dan pasien untuk melakukan upaya kesehatan terhadap pasien. Secara khusus hubungan hukum antara pasien dan Rumah Sakit akan dibahas pada bab III. 2. Aspek objek perjanjian dalam transaksi terapeutik, berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata diatur tentang syarat sahnya suatu perjanjian salah satunya adalah mengenai sesuatu hal tertentu (objek perjanjian). Secara umum syarat tersebut juga berlaku dalam hubungan hukum antara pasien dengan rumah sakit yaitu harus ada objek tertentu. Menurut Bahder Johan Nasution:
Dalam hukum perikatan sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, dikenal adanya dua macam perjanjian yaitu : a. Inspanningverbentenis, yakni perjanjian upaya, artinya kedua belah pihak yang berjanji berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan b. Resultaatverbentenis, yakni suatu perjanjian bahwa pihak yang berjanji akan memberikan suatu resultaat, yaitu suatu hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan. 38
Dalam hubungan terapeutik antara pasien dengan rumah sakit yang menjadi objek perjanjian adalah mencari upaya yang maksimal untuk kesembuhan pasien, tenaga kesehatan hanya berkewajiban untuk mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan
38 Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hal. 13. 49
pasien dengan penuh kesungguhan serta mengerahkan semua ilmu pengetahuan dan perhatiannya untuk kesembuhan pasien. 3. Aspek perbuatan hukum, setiap tindakan medis yang dilakukan oleh dokter baik diagnostik maupun terapeutik selalu mengandung perbuatan hukum, tindakan dokter yang bagaimana yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan hukum dan yang menimbulkan akibat hukum, lebih jelas akan dipaparkan sebagaimana yang tertuang di bawah ini : a. Malpraktik (malpractice) Malpraktik (malpractice) berasal dari kata mal yang berarti buruk dan practice yang berarti tindakan atau praktik, malpraktik berarti tindakan atau praktik yang buruk. Malpraktik dapat berupa: 1). Criminal malpractice, malpraktik yang memenuhi unsur pidana, perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela, adanya kesalahan berupa kesengajaan (intentional), kecerobohan (recklessness) ataupun kealpaan (negligence). Menurut Taylor yang dikutip oleh Endang Kusuma Astuti seorang dokter baru dapat dipersalahkan dan digugat menurut hukum apabila telah memenuhi unsur : a). Duty (kewajiban) b). Dereliction of That Duty (penyimpangan kewajiban) c). Damage (kerugian) d). Direct causal relationship (berkaitan langsung). 39
2). Civil malpractice, dokter tidak melakukan prestasi sebagaimana yang telah disepakati atau dokter melakukan perbuatan yang melawan hukum. Unsur civil malpractice adalah: a). Dokter melakukan wanprestasi, wanprestasi menurut Subekti adalah:
(1).Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan. (2).Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan. (3).Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat. (4). Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. 40
Menurut Bahder Johan Nasution, wanprestasi dalam pelayanan kesehatan jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
(1). Hubungan antara dokter dengan pasien terjadi berdasarkan kontrak terapeutik (2). Dokter telah memberikan pelayanan kesehatan yang tidak patut yang menyalahi tujuan kontrak terapeutik (3). Pasien menderita kerugian akibat tindakan dokter yang bersangkutan. 41
Wanprestasi dalam hubungan antara pasien dengan dokter harus ada kontrak terapeutik, tetapi dokter menyimpang dari tujuan kontrak terapeutik yang disepakati, akibatnya pasien menderita kerugian. b).Dokter melakukan perbuatan melanggar hukum Menurut Wirjono Prodjodikoro perbuatan melanggar hukum adalah:
Bahwa perbuatan itu mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan dari masyarakat. Dan kegoncangan ini tidak hanya terdapat, apabila peraturan-peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar (langsung), melainkan juga, apabila peraturan-peraturan kesusilaan, keagamaan dan sopan santun dalam masyarakat dilanggar (langsung). 42
40 Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1987, hal. 45. 41 Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hal. 63. 42 Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal.7. 51
Perbuatan melanggar hukum tidak hanya terbatas pada perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku akan tetapi adalah hukum yang lebih luas yaitu melanggar susila, agama dan kesopanan. 3) Administrative malpractice, tenaga kesehatan melanggar peraturan yang berlaku seperti persyaratan menjalankan profesi medis, batas kewenangan, kewajiban dan sebagainya, maka tenaga kesehatan tersebut dapat dipersalahkan, contohnya menjalankan praktik tanpa izin, izin kadaluarsa, tidak membuat rekam medis dan sebagainya. Menurut J. Guwandi, dikatakan terdapat malpraktek medis apabila:
a). Adanya sikap-tindak seorang dokter yang: -bertentangan dengan etika, moral dan disiplin -bertentangan dengan hukum -bertentangan dengan standar profesi medis -kekurangan ilmu pengetahuan atau ketinggalan di dalam profesinya yang sudah berlaku umum di kalangan tersebut. b).Menelantarkan, kelalaian, kurang hati-hati, acuh, kurang peduli terhadap keselamatan pasien, kesalahan yang menyolok, dan sebagainya. 43
b. Kecelakaan Medis (Medical Mishap) Menurut J.Guwandi kelalaian medis dapat dipersalahkan, sedangkan pada kecelakaan medis tidak dapat dipersalahkan, asalkan ini merupakan kecelakaan murni, di mana tidak ada unsur kelalaian. 44 Dikatakan kecelakaan jika tindakan dokter tersebut sudah sesuai dengan etika profesi dan standar profesi medis tetapi
terjadinya kecelakaan tidak dapat dicegah dan terjadinya tidak diduga sebelumnya. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa dari aspek perbuatan melanggar hukum konsepnya sama dengan perbuatan melanggar hukum secara umum di mana perbuatan tersebut mengandung akibat hukum, tindakan dokter kemungkinan dapat terjadi kelalaian, malpraktik yang dapat dikategorikan dapat dipersalahkan dan akan berakibat hukum baik secara administrasi, perdata maupun pidana. Akan tetapi perbuatan yang dikategorikan sebagai kecelakaan, tenaga kesehatan tidak dapat dipersalahkan karena tindakan tersebut telah dilakukan sesuai dengan kode etik dan standar profesi dan akibatnya tidak dapat dihindari dan tidak diduga sebelumnya. 4. Aspek beban pembuktian Salah satu unsur penting dalam permasalahan hukum kesehatan adalah tentang pembuktian mengingat tidak mudah begitu saja untuk pembuktian dalam kasus-kasus hukum kesehatan : a. Pada criminal malpractice pembuktiannya didasarkan atas dipenuhi atau tidaknya unsur pidana, yaitu: 1). Melawan hukum 2). Kemampuan bertanggungjawab 3). Kesalahan 4). Hubungan kausal antara tindakan dengan akibat yang ditimbulkan 5). Ada tidaknya alasan pemaaf 53
Kesalahan merupakan unsur yang penting dalam hukum pidana karena menyangkut pertanggungjawaban, menurut. Sahuri Lasmadi Sebab asas pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah tidak di pidana jika tidak ada kesalahan (geen straf Zonder Schuld; Acrus non facit reum nisi mens sir rea). 45
Sedangkan unsur-unsur kesalahan dalam hukum pidana adalah apabila suatu perbuatan : 1). Bersifat bertentangan dengan hukum 2). Akibatnya dapat dibayangkan 3). Akibatnya dapat dihindari 4). Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan b. Pada civil malpractice, diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata yaitu: tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian, dikatakan civil malpraktik jika memenuhi unsur-unsur: 1). Pasien harus mengalami suatu kerugian 2). Ada kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan 3) Ada hubungan kausal antara kesalahan dan kerugian 4). Perbuatan itu melawan hukum Sedangkan cara untuk melakukan pembuktian dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu: 1). Secara langsung yaitu dengan membuktikan unsurnya secara langsung yaitu unsur kewajiban, menelantarkan kewajiban, rusaknya kesehatan, dan adanya
45 Sahuri Lasmadi, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam perspektif Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia, Disertasi Doktor Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2003, hal.116. 54
hubungan langsung antara tindakan menelantarkan kewajiban dengan rusaknya kesehatan. 2). Secara tidak langsung yaitu dengan cara mencari fakta-fakta yang membuktikan adanya kesalahan di pihak dokter berdasarkan doktrin Res Ipsa Loquitor (The Think Speaks for it Self), fakta tersebut adalah fakta yang tidak mungkin terjadi jika dokter tidak lalai, fakta yag terjadi berada di bawah tanggung jawab dokter, pasien tidak ikut menyumbang timbulnya fakta itu. Dalam hukum pidana beban pembuktian terletak pada pihak penuntut umum, tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66 KUHAP), sedangkan dalam hukum perdata pada beberapa keadaan dapat diberlakukan pembalikan beban pembuktian, Kedua belah pihak berada pada kedudukan yang sama beban pembuktian berada pada pihak penggugat. Dalam kenyataan penggugat sangat sulit mendapatkan bukti-bukti karena pada umumya pasien awan dalam permasalahan medis. di pihak lain dokter enggan untuk memberikan bukti dan fakta yang objektif, oleh karena itu berdasarkan prinsip Res Ipsa Loquitur dapat diberi kesempatan kepada tergugat untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah (pembuktian terbalik). Chrisdiono M.Achadiat menegaskan bahwa:
Doktrin Res Ipsa Loquitur tidaklah membuktikan sesuatu, melainkan hanya memberikan suatu kemungkinan terbatas untuk memindahkan beban pembuktian dari penggugat kepada tergugat sehingga tidak dapat diterapkan secara otomatis. Dengan penerapan doktrin ini sebenarnya pembuktian oleh pasien sebagai penggugat tidaklah diperlukan lagi karena kesalahan/kelalaian yang terjadi telah sedemikian jelasnya. 46
46 Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman, EGC, Jakarta, 2006, hal. 67. 55
Dengan demikian dalam kasus sengketa medik pembuktiannya dapat dibebankan kepada tergugat untuk membuktikan bahwa tindakan yang dilakukannya benar (pembuktian terbalik) karena penggugat belum tentu menguasai permasalahan medik asalkan kesalahan tersebut sangat jelas (Asas Res Ipsa Loquitur).
56
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG KEWAJIBAN DAN HAK ANTARA PASIEN DENGAN RUMAH SAKIT
A. Pengertian Kewajiban dan Hak Antara Pasien Dengan Rumah Sakit Berbicara tentang kewajiban dan hak maka tidak dapat dipisahkan dengan subjek hukum, subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban, subjek hukum dibagi menjadi 2 (dua) yaitu orang (naturlijke person) dan badan hukum (recht person). Pendukung hak dan kewajiban adalah pihak yang mempunyai kepentingan, yang menggunakan dan yang mempunyai tanggung jawab terhadap hak dan kewajiban tersebut. Orang (person) menurut Subekti adalah pembawa hak atau subjek di dalam hukum. 47 Setiap orang mempunyai hak sejak lahir bahkan dalam perkembangan selanjutnya manusia yang masih dalam kandungan telah memiliki hak-hak dasar. Menurut Mochtar Kusumaatmaja dan Arief Sidharta Jadi, badan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban berdasarkan hukum yang bukan manusia, yang dapat menuntut atau dituntut subjek hukum lain di muka pengadilan. 48 Dalam kondisi demikian maka badan hukum mempunyai hak dan kewajiban layaknya manusia sebagai subjek hukum. Ciri-ciri badan hukum adalah:
(a) memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang-orang yang menjalankan kegiatan dari badan-badan hukum tersebut; (b) memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terpisah dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang- orang yang menjalankan kegiatan badan hukum tersebut; (c) memiliki tujuan tertentu; (d) berkesinambungan (memiliki kontinuitas) dalam arti keberadaannya tidak terikat pada orang-orang tertentu, karena hak-hak dan kewajiban-
47 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1992, hal.19. 48 Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Op. Cit., hal. 82. 57
kewajibannya tetap ada meskipun orang yang-orang yang menjalankannya berganti. 49
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia hak adalah kekuasaan yang benar atas sesuatu, kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan, tugas menurut hukum, sedangkan menurut Saut P. Panjaitan hak adalah peranan yang boleh tidak dilaksanakan (bersifat fakultatif), sedangkan kewajiban merupakan peranan yang harus dilaksanakan (bersifat imperatif). 50 Seseorang dapat memilih apakah akan menggunakan atau tidak hak tersebut, menggunakan atau tidak menggunakan hak tersebut adalah hak seseorang, kewajiban harus dilaksanakan karena jika tidak dilaksanakan dapat merugikan orang lain. Menurut Mochtar Kusumaatmadja pengertian hak dan kewajiban adalah: Pengertian hak pada dasarnya berintikan kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu berkenaan dengan sesuatu atau terhadap subjek hukum tanpa halangan atau gangguan dari pihak manapun, dan kebebasan tersebut memiliki landasan hukum (diakui atau diberikan oleh hukum) dan karena itu dilindungi hukum. Karena memiliki landasan hukum dan dilindungi hukum, maka pihak atau pihak-pihak lainnya berkewajiban untuk membiarkan atau tidak mengganggu pihak yang memiliki hak melaksanakan apa yang menjadi haknya itu. Jadi, orang yang berhak adalah seorang yang memiliki kewenangan-kewenangan untuk melakukan perbuatan tertentu, termasuk menuntut sesuatu. Perbuatan yang dilakukan berdasarkan dan sesuai dengan kewenangannya itu disebut perbuatan hukum yang sah. Orang yang berhak itu memiliki kebebasan untuk menggunakan haknya, termasuk cara-cara menggunakan kewenangan-kewenangan yang timbul dari haknya itu, sepanjang tidak melanggar melanggar hak orang lain, aturan hukum, ketertiban umum dan/atau kesusilaan. Sedangkan kewajiban pada dasarnya adalah keharusan (yang diperintahkan atau ditetapkan oleh hukum) untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, yang jika tidak dipenuhi akan menimbulkan akibat hukum tertentu bagi pengemban kewajiban tersebut. 51
Hal yang dapat dipetik dari pengertian hak dan kewajiban menurut Mochtar Kusumaatmadja tersebut adalah hak dan kewajiban merupakan hubungan korelatif yaitu suatu hubungan hukum di mana hak dari salah satu pihak merupakan kewajiban dari pihak lain, demikian sebaliknya. Hak tersebut harus berdasarkan hukum (diakui atau diberikan oleh hukum), dan kewajiban tersebut harus berdasarkan hukum (yang diperintah atau ditetapkan oleh hukum) oleh karenanya pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut dilindungi oleh hukum. Tentang hak, Peter Mahmud Marzuki membagi hak menjadi 2 (dua) macam: Hak yang melekat pada manusia yang diciptakan satu paket oleh Allah dengan manusia itu sendiri dalam tulisan ini disebut hak-hak orisinil. Akan tetapi, tidak dapat dibantah selain hak yang melekat pada diri manusia secara kodrati memang ada hak yang merupakan bentukan hukum karena diciptakan oleh hukum. Hak- hak yang merupakan bentukan hukum tersebut disebut hak-hak derivatif. 52
Hak orisinil berupa hak hidup, hak atas kebebasan, hak milik sedangkan hak derivatif yaitu hak yang diakui oleh hukum yaitu hak yang diciptakan oleh undang-undang, kebiasaan dan perjanjian. Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta: Tentang hak secara umum dapat dibedakan ke dalam ada dua yakni hak mutlak (hak absolut) dan hak nisbi (hak relatif). Hak mutlak adalah hak yang dapat dipertahankan terhadap siapapun, misalnya hak milik atas sebuah mobil memberikan kepada pemilik mobil itu kebebasan untuk memakai, menjual,menukarkan, meminjamkan, memberikan atau bahkan membuang mobil tersebut, dan dalam hal itu ia bebas dari gangguan atau intervensi oleh pihak manapun, contoh lain, hak mutlak adalah apa yang disebut Hak Asasi Manusia. Hak nisbi adalah hak yang memberikan kewenangan kepada subjek hukum untuk menuntut pihak tertentu yang hanya dapat dipertahankan kepada pihak tertentu
52 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hal. 185. 59
saja, misalnya pemilik sebuah buku hanya mempunyai kewenangan untuk menuntut pembayaran harga buku tersebut hanya dari pembeli buku itu. 53
Dari kedua pembagian hak tersebut dapat disimpulkan bahwa hak orisinil atau hak mutlak adalah hak asasi manusia yang diberikan oleh Allah kepada setiap manusia dan dapat dipertahankan kepada siapapun juga, sedangkan hak derivatif atau hak relatif adalah hak yang dimiliki oleh orang tertentu saja karena diberikan oleh undang-undang ataupun timbul dari perjanjian dan hanya dapat dipertahankan terhadap orang-orang tertentu saja. Menurut Endang Kusuma Astuti Pasien adalah orang sakit (yang dirawat dokter, penderita (sakit). 54 Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi, tidak jauh berbeda pengertian pasien yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung mapun tidak langsung di Rumah Sakit. Menurut peneliti pasien adalah orang yang membutuhkan pelayanan kesehatan dari tenaga kesehatan/sarana kesehatan. Menurut peneliti yang dimaksud dengan hak pasien adalah hak yang dimiliki oleh pasien dalam upaya memperoleh pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, kewajiban pasien
adalah kewajiban yang dibebankan kepada pasien dalam upaya memperoleh pelayanan kesehatan di Rumah Sakit. Pasien dalam praktik rumah sakit dapat dikelompokkan menjadi: 1. Pasien dalam, yaitu pasien yang memperoleh pelayanan tinggal atau rawat pada suatu unit pelayanan kesehatan tertentu, atau pasien yang dirawat di Rumah Sakit. 2. Pasien jalan/luar, yaitu pasien yang hanya memperoleh pelayanan kesehatan tertentu atau disebut dengan pasien jalan. 3. Pasien gawat darurat yaitu pasien yang harus memperoleh pelayanan kesehatan dengan cepat terutama untuk keselamatan nyawa pasien. Kewajiban dan hak yang timbul dalam hubungan hukum antara pasien dengan rumah sakit merupakan hubungan timbal balik, kewajiban pasien adalah beban yang harus dilaksanakan oleh pasien terhadap rumah sakit dan pasien harus melaksanakan kewajiban tersebut, hak pasien adalah hak yang dapat dimiliki oleh pasien dan rumah sakit harus memenuhi hak tersebut, hak rumah sakit adalah hak yang dimiliki oleh rumah sakit terhadap pasien, dan pasien harus memenuhi hak rumah sakit tersebut sedangkan kewajiban rumah sakit adalah kewajiban yang dibebankan kepada rumah sakit terhadap pasien dan rumah sakit harus melaksanakannya. B. Pengaturan Tentang Kewajiban dan Hak Pasien Dengan Rumah Sakit Bidang kesehatan di Indonesia termasuk bidang yang banyak diatur dalam peraturan perundang-undangan hal tersebut disebabkan luasnya cakupan bidang kesehatan itu sendiri termasuk pengaturan yang berhubungan dengan kewajiban dan hak 61
antara pasien dengan rumah sakit, untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan jelas maka peneliti akan menjabarkannya sebagaimana yang tertuang di bawah ini: 1. Di dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit kewajiban Rumah sakit diatur dalam Pasal 29, hak rumah sakit diatur dalam Pasal 30, kewajiban pasien diatur dalam Pasal 31 dan hak pasien diatur dalam Pasal 32 (dibahas secara komprehensif pada bab IV). 2. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran mengatur kewajiban tenaga kesehatan untuk menyimpan rahasia kedokteran yaitu segala rahasia yang menyangkut pekerjaan dalam lapangan kedokteran termasuk kewajiban tenaga kesehatan dan rumah sakit untuk menjaga kerahasiaan tentang diri pasien yang berobat di rumah sakit. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia pada intinya mengamanatkan bahwa tindakan bedah mayat harus ada persetujuan dari pasien. Persetujuan pasien adalah prinsip dasar dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit, persetujuan dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis dan persetujuan dapat diberikan oleh pasien tersebut atau keluarga terdekat. 4. Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan, pada Pasal 22 diatur tentang kewajiban tenaga kesehatan untuk: a. menghormati hak pasien b. menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien c. memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan 62
d. meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan e. membuat dan memelihara rekam medis Pasal 23 hanya mengatur hak pasien untuk menuntut ganti rugi jika pelayanan kesehatan yang diterimanya mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau kematian. Dalam Peraturan Pemerintah ini tidak diatur tentang hak tenaga kesehatan dan kewajiban pasien. Sebelum melakukan tindakan medik di rumah sakit, dokter harus meminta persetujuan dari pasien, hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik pada intinya mengatur bahwa seluruh tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien. Persetujuan tindakan medik merupakan unsur penting dalam pelayanan medik di rumah sakit bahwa tindakan medik harus mendapatkan persetujuan dari pasien atau keluargnya setelah pasien mendapatkan informasi yang lengkap dari dokter (informed consent), persetujuan tersebut dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, untuk pengobatan yang memiliki resiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis dari pasien atau keluarga terdekat. Demikian juga rumah sakit wajib membuat rekam medik setiap tindakan medik yang dilakukan di rumah sakit, hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 749a/Men.Kes/Per/XII/1989 Tentang Rekam Medis/Medical Record mengatur tentang kewajiban rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien wajib membuat rekam medis. Rekam medik 63
berisi data-data kesehatan pasien termasuk tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh dokter, isi rekam medik adalah milik pasien. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pengaturan tentang kewajiban dan hak yang terjalin antara pasien dengan tenaga kesehatan diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan berupa undang-undang dan peraturan pemerintah serta di dalam kebijakan pemerintah dalam bentuk Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), hal ini menunjukkan bahwa permasalahan kewajiban dan hak antara pasien dengan tenaga kesehatan dan/atau sarana kesehatan merupakan permasalahan yang kompleks dan luas sehingga aturanya tersebar dalam berbagai bentuk produk hukum dan kebijakan. Secara umum permasalahan pelayanan kesehatan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Hal ini juga menandakan bahwa perhatian pemerintah terhadap permasalahan hubungan antara pasien dengan tenaga kesehatan dan/atau sarana kesehatan cukup baik, di mana dikeluarkannya berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat/pasien dan tenaga kesehatan dan/atau sarana kesehatan serta demi terjaminnya perlindungan hukum atas hak-hak kedua belah pihak.
C. Hubungan Hukum Antara Pasien Dengan Rumah Sakit Secara umum hubungan hukum mempunyai pengertian sebagai hubungan antara dua subjek hukum atau lebih di mana hak dan kewajiban di satu pihak berhadapan dengan hak dan kewajiban di pihak lain, sedangkan subjek hukum secara umum dapat 64
diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban, subjek hukum dibagi atas 2 (dua) macam yaitu manusia (naturlijke person) dan badan hukum (rechts person), manusia (naturlijke person) adalah setiap manusia yang sejak dilahirkan sampai meninggal dunia sebagai subjek hukum, badan hukum (rechts persoon) adalah tiap pendukung hak dan kewajiban yang bukan manusia 55 , dinamakan badan hukum karena pengaturannya sesuai dengan hukum yang berlaku seperti Perseroan Terbatas (PT), yayasan dan koperasi. Menurut Mudjiono, di dalam hukum ada dua macam badan hukum yaitu : badan hukum publik, seperti Negara, Daerah-daerah, dan lain sebagainya dan badan hukum perdata di mana bentuk dan susunannya diatur oleh hukum privat. 56 Badan hukum publik adalah lembaga yang didirikan berdasarkan hukum publik yang menyangkut kepentingan publik (orang banyak) atau kepentingan Negara, sedangkan badan hukum perdata (privat) adalah badan hukum yang didirikan oleh pribadi orang/perkumpulan untuk mencapai tujuan tertentu, badan hukum privat dapat bergerak di bidang nonprofit (sosial) dan profit (laba). Setiap hubungan hukum memiliki 2 (dua) segi yaitu kekuasaan/hak dan kewajiban, di mana salah satu pihak memiliki hak atas pihak lain dan sebaliknya satu pihak memiliki kewajiban terhadap pihak lain dan dapat pula kedua-duanya mengemban hak dan kewajiban dari hubungan hukum tersebut. Syarat terjadinya hubungan hukum pertama adanya dasar hukumnya yaitu adanya peraturan yang mengatur hubungan tersebut, kedua adanya peristiwa hukum yaitu perbuatan yang menimbulkan akibat hukum bagi kedua belah pihak. Hubungan hukum antara pasien dengan rumah sakit bermula dari Transaksi Terapeutik, pada saat pasien datang ke rumah sakit untuk berkosultasi tentang kondisi
55 Mudjiono, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1991, hal. 45. 56 Ibid, hal. 46. 65
kesehatannya terjadi komunikasi antara pasien dengan dokter, pasien menyampaikan keluhannya dan dokter menyampaikan upaya apa yang dapat dilakukan dokter terhadap pasiennya (informed concent), kemudian pasien menginginkan suatu tindakan dari dokter dan sebaliknya dokter menawarkan tindakan yang dapat dilakukan dokter beserta kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, pada saat itulah sebenarnya terjadi suatu transaksi terapeutik, pada saat pasien dan dokter sepakat/menyetujui tindakan yang akan dilakukan maka pada saat itulah sebenarnya terjadinya persetujuan tindakan terapeutik/ kontraktual. Perlu dipahami bahwa dimulainya hubungan hukum antara pasien dengan dokter/rumah sakit yaitu pada saat tercapainya kesepakatan antara kedua belah pihak. Persetujuan adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orag lain atau lebih (Pasal 1313 KUH Perdata). Pasal tersebut menjadi dasar hubungan antara pasien dan Rumah Sakit dimana kedua belah pihak terikat terhadap persetujuan yang dicapai dan persetujuan tersebut menjadi undang-undang bagi kedua belah pihak (Pasal 1338 KUH Perdata), dengan demikian persetujuan yang telah disepakati akan menimbulkan akibat hukum bagi kedua belah pihak. Persetujuan yang dibuat harus memenuhi persyaratan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu: 1. Adanya kesepakatan dari kedua belah pihak, dalam hal ini disebut persetujuan tindakan medis. Persetujuan dapat berupa : a. Dinyatakan (expressed concent) baik secara lisan maupun tertulis, tindakan tertulis biasanya untuk tindakan yang mengandung resiko tinggi seperti bedah. b. Tersirat atau dianggap telah diberikan persetujuan (implied concent), yaitu dalam keadaan normal dan darurat (Permenkes Nomor 585). Munir Fuady 66
mengemukakan bahwa dalam hukum kontrak ada yang disebut kontrak tersamar secara hukum (implied in-law contract) yaitu kontrak tersamar secara hukum ini merupakan satu-satunya jenis kontrak yang sebenarnya sama sekali tidak ada unsur kesepakatan kehendak di antara kedua belah pihak, tetapi oleh hukum diasumsi adanya unsur kesepakatan kehendak tersebut. 57 Dapat dicontohkan terjadinya kecelakaan, dokter melakukan pertolongan terhadap korban yang tidak sadar maka setelah sembuh tanpa diminta, korban selayaknya membayar biaya pengobatan yang telah dilakukan oleh dokter walaupun sebelumnya tidak ada persetujuan tentang upaya tersebut. 2. Kecakapan para pihak, dalam hal ini kedua belah pihak harus cakap untuk membuat kesepakatan, pasien di bawah umur harus mendapat persetujuan dari orangtua/wali/keluarga dekat/induk semang. 3. Suatu pokok persoalan/objek tertentu, Dalam hukum hal ini objek perjanjiannya adalah inspanningsverbintenis (objeknya adalah mencari cara terbaik untuk kesembuhan pasien) bukan resultaatsverbintenis (objeknya hasil). 4. Suatu sebab yang halal/sah, untuk menentukan halal/sahnya atau tidaknya suatu perjanjian dapat dinilai dari 2 (dua) unsur yaitu: a. Berdasarkan perjanjian, bahwa apa yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum seperti kesepakatan untuk menggugurkan kandungan. b. Berdasarkan hukum, tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
57 Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1999, hal.51. 67
Akibat hukum dari hubungan hukum antara pasien dengan dokter/Rumah Sakit dapat berupa tuntutan ganti rugi karena salah satu pihak wanprestasi dan jika terjadi kesalahan berupa kesengajaan (intentional), kecerobohan (recklessness) ataupun kealpaan (negligence), berdasarkan asas Barangsiapa merugikan orang lain, harus memberikan ganti rugi (Pasal 1365 KUH Perdata). Menurut Veronica Komalawati, ada dua teori hukum yang menunjang adanya hubungan hukum antara dokter dan pasien yaitu : Contract Theory dan Undertaking Theory. 58 Contract Theory adalah jika dokter setuju untuk merawat seseorang dengan imbalan honor tertentu, maka diciptakan pengaturan kontraktualnya, sedangkan Undertaking Theory yaitu jika dokter merelakan diri untuk memberikan perawatan kepada seseorang maka tercipta hubungan professional disertai kewajiban perawatan terhadap si penerima. Pada dasarnya hubungan hukum terjalin pada saat tercapai kata sepakat untuk melakukan upaya pelayanan kesehatan antara dokter dan pasien. Menurut hukum perdata, hubungan professional dokter-pasien dapat terjadi karena 2 hal, yaitu:
1). Berdasarkan perjanjian (ius contractu) yang berbentuk kontrak terapeutik secara sukarela antara dokter dengan pasien berdasarkan kehendak bebas. Tuntutan dapat dilakukan bila terjadi apa yang disebut wanprestasi, yakni pengingkaran terhadap hal yang diperjanjikan. Dasar tuntutan adalah tidak melakukan, terlambat melakukan, salah melakukan ataupun melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan menurut perjanjian itu. 2). Berdasarkan hukum (ius delicto),berlaku prinsip siapa yang merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi. 59
Aspek hukum harus dipahami oleh tenaga kesehatan maupun pasien agar terjalin hubungan yang baik antara kedua belah pihak, pemahaman terhadap aspek hukum tersebut juga bertujuan meminimalisir terjadinya sengketa medik.
D. Tanggung Jawab Rumah Sakit Secara Hukum Terhadap Pasien Telah diterangkan sebelumnya bahwa dalam praktik pelayanan kesehatan dapat terjadi wanprestasi, kesalahan berupa kesengajaan, kecerobohan ataupun kealpaan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit di mana tindakan dari tenaga kesehatan di rumah sakit tersebut menimbulkan kerugian bagi pasien, siapakah yang patut bertanggung jawab ?. Menurut Bahder Johan Nasution, pertanggungjawaban dokter bersumber pada 2 (dua) dasar hukum yaitu: Pertama, berdasarkan pada wanprestasi (contractual liability) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1239 KUHPerdata. Kedua, berdasarkan perbuatan melanggar hukum (onrechmatigedaad) sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. 60 Pasal 1239 KUHPerdata mengatur bahwa tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak memenuhi kewajibannya, Pasal 1365 KUHPerdata mengatur bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesembronoan. Secara umum bagi tenaga kesehatan baik yang bekerja di rumah sakit/sarana kesehatan lainnya mempunyai tanggung jawab sebagai berikut yaitu: 1. Tanggung jawab etik yang menyangkut kode etik kedokteran yang terangkum dalam lafal sumpah dan dijabarkan dalam KODEKI.
60 Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hal. 63. 69
2. Tanggung jawab profesi yang berkaitan dengan profesi tenaga kesehatan menyangkut kemampuan dan keahlian dalam menjalankan tugas profesinya. 3. Tanggung jawab hukum meliputi, hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana. Menurut Nusye Kl.Jayanti, ada beberapa teori untuk menentukan siapa yang harus bertanggung jawab jika adanya tuntutan dari pasien terhadap Rumah Sakit yaitu: 1. Personal Liability Adalah tanggung jawab yang melekat pada individu seseorang. Artinya siapa yang berbuat dialah yang bertanggung jawab, tanggung jawab tersebut tidak dapat dialihkan kepada orang lain. 2. Strict Liability Adalah tanggung jawab tanpa kesalahan, contohnya rumah sakit yang menjual obat harus bertanggung jawab jika terjadi keracunan obat walaupun bukan Rumah Sakit yang memproduksi obat. Terjadinya keracuan rumah sakit dapat dipersalahkan karena kemungkinan menjual obat kadaluarsa atau tercampurnya obat dengan bahan lain. Pertanggungjawabannya tidak dibebankan kepada perusahaan yang memproduksi obat, kecuali jika obat tersebut adalah hasil racikan langsung dari dokter maka pertanggungjawabannya dibebankan kepada dokter yang bersangkutan. 3. Vicarious Liability Adalah rumah sakit harus bertanggung jawab akibat kesalahan yang dibuat oleh bawahannya, hal ini sejalan dengan Pasal 1367 KUHPerdata : Seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi 70
tangungannya, atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Dalam konteks ini jika kesalahan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang bekerja untuk rumah sakit maka rumah sakit harus ikut bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya tersebut. 4. Respondent Liability Adalah tanggung jawab tanggung renteng antara dokter dan rumah sakit hanya dapat terjadi pada posisi dokter/tenaga kesehatan sebagai employee/bawahan, bukan sebagai mitra. Dalam hal ini dokter dan rumah sakit dibebankan untuk mengemban tanggung jawab secara bersama-sama atas kesalahan yang dilakukan oleh dokter yang bekerja utuk rumah sakit tersebut. 5. Corporate Liability Yang bertanggung jawab adalah pemerintah, misalnya kurangnya ketersediaan obat dan kurangnya tenaga kesehatan di suatu daerah. Dalam konteks ini Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus bertanggung jawab jika terjadi kurangnya ketersediaan dan pasokan obat di suatu daerah, kurangnya jumlah tenaga kesehatan termasuk tenaga kesehatan yang kurang kompeten. 6. Res Ipsa Loquitor Liability Tanggungjawab yang diakibatkan perbuatan melebihi wewenang, misalnya seorang perawat melakukan tindakan selayaknya seorang dokter tanpa kewenangan atau kesalahan yang mengakibatkan kerugian bagi pasien tersebut terlihat jelas dan nyata. Kesalahan tersebut adalah jelas dan nyata karena perawat tidak berhak melakukan tindakan selayaknya seorang dokter berdasarkan pengaturan tentang batas kewenangan yang boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan selain dokter (paramedis). 71
Dari pembahasan di atas jelas bahwa rumah sakit dalam hal ini pihak manajemen dan pemilik rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawaban jika terjadi tuntutan dari pasien atas dasar wanprestasi ataupun perbuatan melanggar hukum berdasarkan teori Vicarious Liability yaitu rumah sakit harus ikut bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya dan Respondent Liability yaitu tanggungjawab renteng antara dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit dalam hubungan dokter/tenaga kesehatan sebagai bawahan. Dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit juga menegaskan bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit.
72
BAB IV KEWAJIBAN DAN HAK ANTARA PASIEN DENGAN RUMAH SAKIT DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2009 TENTANG RUMAH SAKIT
A. Pengaturan Kewajiban dan Hak Antara Pasien Dengan Rumah Sakit Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
Menurut Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta sumber hukum formil bertalian dengan masalah atau persoalan di manakah kita bisa mendapatkan dan menemukan ketentuan-ketentuan atau kaedah-kaedah hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat. 61 Hal ini berarti masyarakat dapat memperoleh sumber yang pasti tentang ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk mengatur kehidupan masyarakat. Salah satu sumber hukum formil adalah undang-undang, menurut Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan peraturan perundang- undangan secara hirarkhis undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang berada di bawah Undang-Undang Dasar (UUD). Undang-undang ditetapkan berdasarkan persetujuan bersama antara Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), materi dalam undang-undang biasanya mengatur tentang ketentuan yang bersifat umum termasuk tentang hak dan kewajiban.
Pengaturan tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan Rumah Sakit di dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 bertujuan untuk memberi pedoman yang jelas bagi kedua belah pihak tentang kewajiban dan hak yang timbul dalam hubungan
hukum, dengan demikian diharapkan akan terjalin hubungan yang baik bagi pasien dan rumah sakit. Pasien diharapkan dapat mengetahui kewajibannya sebagai pasien terhadap rumah sakit, demikian pula rumah sakit dapat mengetahui kewajibannya terhadap pasien, Pasien dapat mengetahui hak yang dimilikinya dalam hubungan hukum tersebut demikian pula rumah sakit dapat mengetahui hak yang dimiliki rumah sakit terhadap pasien. Jika kedua belah pihak mengetahui akan kewajiban dan haknya masing-masing maka akan terjalinnya hubungan yang saling menghormati dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Untuk itulah perlu dikemukakan di bab ini pengaturan tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. selanjutnya peneliti akan memberikan analisis dan kritik terhadap ketentuan-ketentuan kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit tersebut. 1. Kewajiban rumah sakit diatur dalam pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, dapat dijabarkan sebagai berikut : a.Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit kepada masyarakat b.Memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit c. Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya d. Berperan aktif dalam memberikan pelayanan keehatan pada bencana, sesuai dengan kemampuan pelayanannya 74
e. Memberikan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin f. Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan g. Membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai acuan dalam melayani pasien h. Menyelenggarakan rekam medis i. Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak, lanjut usia j. Melaksanakan sistem rujukan k. Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta peraturan perundang-undangan l. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien m. Menghormati dan melindungi hak-hak pasien n. Melaksanakan etika rumah sakit o. Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana p. Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara regional maupun nasional q. Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi 75
r. Menyusun dan melaksanakan peraturan internal rumah sakit (hospital by laws) s. Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas rumah sakit dalam melaksanakan tugas t. Memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan bebas rokok Jika dikaitkan beberapa ketentuan tersebut dengan ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka dapat dianalisis sebagai berikut: a. Kewajiban rumah sakit untuk memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit (pasal 29 ayat (1) huruf a), memberikan informasi yang benar , jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien (pasal 29 ayat (1) huruf l), sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata yang menegaskan bahwa tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilapan, ataudiperoleh dengan paksaan atau penipuan. Rumah sakit tidak boleh memberikan informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan rumah sakit dalam memberikan pelayanan baik itu menyangkut kualitas pelayanan tenaga kesehatan maupun prasarana dan sarana serta alat penunjang yang dimiliki rumah sakit karena hal tersebut dapat dikategorikan adanya unsur penipuan dalam perjanjian. Rumah sakit harus memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur kepada pasien. Menurut Pasal 1328 KUHPerdata persetujuan yang mengandung unsur penipuan maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. b. Kewajiban rumah sakit untuk menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta peraturan perundang-undangan (pasal 29 ayat (1) huruf k), sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata bahwa salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah suatu sebab yang tidak terlarang. Rumah 76
sakit wajib menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan seperti menggugurkan kandungan tanpa ada alasan medis. Jika peneliti analisis dari pengaturan kewajiban rumah sakit terhadap pasien, ada beberapa ketentuan yang perlu peneliti kritisi yaitu: a. Dalam pasal tersebut tidak dicantumkan kewajiban rumah sakit untuk mengganti tenaga kesehatan yang tidak memiliki kompetensi dalam memberikan pelayanan terhadap pasien setelah ada keluhan dari pasien. b. Dalam pasal tersebut tidak dicantumkan kewajiban rumah sakit untuk menyediakan ruang khusus (ruang isolasi) bagi pasien yang mengidap penyakit yang dapat membahayakan/menular terhadap pasien lainnya. Kewajiban rumah sakit untuk mengganti tenaga kesehatan yang tidak memiliki kemampuan dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien setelah adanya keluhan dari pasien harus dicantumkan dalam undang-undang ini, argumen peneliti adalah sesuai dengan asas dalam hukum kesehatan yaitu asas hak atas pelayanan kesehatan (the right to health care) bahwa pasien berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dari rumah sakit, kemudian asas Agroti Salus Lex Suprema yaitu keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi, pasien yang ditangani oleh tenaga kesehatan yang tidak memiliki kemampuan akan membahayakan keselamatan pasien tersebut. Jika dihubungkan dengan Pasal 8 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang/jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan kesehatan adalah pelayanan jasa, Rumah 77
Sakit dilarang memperkerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki kemampuan yang disyaratkan dalam standar profesi apalagi hal tersebut memiliki tingkat resiko tinggi terhadap keselamatan manusia. Jika dihubungkan dengan Pasal 15 huruf a Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik bahwa penyelenggara pelayanan publik wajib menempatkan pelaksana yang kompeten. Kewajiban Rumah Sakit untuk menyediakan ruang khusus (ruang isolasi) bagi penderita penyakit yang dapat membahayakan/menular terhadap pasien lain harus dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, adalah menjadi kewajiban rumah sakit untuk menyediakan khusus/isolasi bagi penderita penyakit berbahaya/menular. 2. Hak Rumah Sakit diatur dalam pasal 30 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, dapat dijabarkan sebagai berikut : a. Menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi sumber daya manusia sesuai dengan klasifikasi rumah sakit b. Menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan remunerasi, insentif, dan penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan c. Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka mengembangkan pelayanan d. Menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan e. Menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian f. Mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan kesehatan 78
g. Mempromosikan layanan kesehatan yang ada di rumah sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan h. Mendapatkan insentif pajak bagi rumah sakit publik dan rumah sakit yang ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan Jika dikaitkan beberapa ketentuan tersebut dengan ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka dapat dianalisis sebagai berikut: a. Hak rumah sakit untuk menerima imbalan jasa pelayanan (pasal 30 ayat (1) huruf b), sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1314 KUHPerdata bahwa suatu persetujuan memberatkan adalah suatu persetujuan yang mewajibkan tiap pihak untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Rumah sakit berhak menerima imbalan jasa dari pasien setelah pasien menerima pelayanan kesehatan dari rumah sakit, dalam konteks ini terjalin hubungan saling membutuhkan dan menguntungkan antara rumah sakit dan pasien di mana jika salah satu pihak wanprestasi berakibat merugikan pihak lain dan dapat digugat atas dasar wanprestasi. b. Hak rumah sakit untuk menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian (pasal 30 ayat (1) huruf e), sejalan dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut. Jika pasien atau pihak lain tidak memenuhi kewajiban terhadap rumah sakit maka rumah sakit dapat menggugat atas dasar wanprestasi. 79
3. Kewajiban Pasien diatur dalam pasal 31 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap Rumah Sakit atas pelayanan yang diterimanya b. Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pasien diatur dengan peraturan Menteri Berdasarkan analisis peneliti terhadap ketentuan tentang kewajiban pasien tersebut maka ada beberapa kritik yang peneliti sampaikan yaitu ketentuan ini hanya menegaskan bahwa pasien mempunyai kewajiban terhadap rumah sakit atas pelayanan kesehatan yang diterimanya tanpa mencantumkan secara limitatif kewajiban apa saja yang harus dipenuhi oleh pasien terhadap rumah sakit dan akan diatur dalam peraturan menteri adalah sangat tidak tepat, menurut peneliti kewajiban pasien harus dicantumkan dalam undang-undang karena hak dan kewajiban merupakan aturan yang umum yang menyangkut kepentingan orang banyak (umum), suatu aturan yang bersifat umum harus diatur dalam undang- undang. Argumen peneliti ini berdasarkan pada pendapat beberapa ahli, Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa Pada masyarakat modern, aturan yang bersifat umum tempat dituangkannya perlindungan kepentingan-kepentingan itu adalah undang-undang. 62 Pengaturan tentang hak dan kewajiban merupakan ketentuan yang bersifat umum, oleh karena itu kewajiban pasien harus diatur secara limitatif dalam undang-undang ini. Selanjutnya perangkat hukum suatu Negara
62 Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., hal. 157. 80
harus mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga Negara 63 . Perangkat hukum tersebut salah satunya adalah undang-undang, dan perangkat hukum tersebut harus menjamin hak dan kewajiban warga Negara agar ada perlindungan terhadap kepentingan warga negara. Sudikno Mertokusumo menegaskan bahwa Kalau hendak mencari hukumnya, arti sebuah kata, maka dicarilah terlebih dahulu dalam undang-undang, karena undang-undang bersifat otentik dan tertulis, yang lebih menjamin kepastian hukum. 64 Dari tiga pendapat ahli tersebut dapat dipahami bahwa tempat dituangkannya perlindungan kepentingan-kepentingan (hak dan kewajiban) adalah undang-undang, perangkat hukum suatu Negara harus mampu menjamin hak dan kewajiban warga Negara dan untuk mencari hukumnya adalah pada undang-undang. Menurut peneliti kewajiban pasien yang harus diatur dalam undang-undang ini adalah: a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya kepada tenaga kesehatan di rumah sakit b. Mematuhi ketentuan yang berlaku di rumah sakit c. Mematuhi kesepakatan dengan rumah sakit. d. Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter e. Menghormati kepentingan pasien lain f. Menghormati hak rumah sakit g. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima di rumah sakit sesuai dengan ketentuan yang berlaku
Perlu dipahami juga bahwa hubungan hukum antara pasien dengan rumah sakit adalah hubungan yang setara dan seimbang maka hak dan kewajiban pasien dengan rumah sakit harus diatur dalam peraturan yang memiliki tingkatan yang sama yaitu dalam satu undang-undang bukan dipisahkan di dalam ketentuan lain. Jadi jelaslah bahwa ketentuan tentang hak dan kewajiban harus diatur secara limitatif dalam undang-undang bukan dalam peraturan menteri, undang-undang adalah sumber hukum yang paling diprioritaskan, sedangkan peraturan menteri adalah aturan pelaksana yang lebih bersifat teknis bukan mengatur ketentuan yang bersifat umum, undang-undang adalah sumber hukum yang diprioritaskan dan secara hirarkhis berada di bawah UUD maka dapat dengan mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, sedangkan peraturan menteri yang merupakan produk kebijakan pemerintah tidak mudah untuk diketahui dan dipahami oleh masyarakat, undang- undang menjadi pedoman yang kuat dan pasti bagi setiap orang, sampai saat ini peraturan menteri yang mengatur tentang kewajiban pasien belum ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. 4. Hak Pasien diatur dalam pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit b. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien c. Memperoleh pelayanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi d. Memperoleh layanan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional 82
e. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi f. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatnya g. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di rumah sakit h. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar rumah sakit i. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya j. Mendapatkan informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan k. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya l. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis m. Menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lain n. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit o. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakukan rumah sakit terhadap dirinya p. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya 83
q. Menggugat dan/atau menuntut rumah sakit apabila rumah sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana r. Mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Jika peneliti analisis ketentuan tentang hak pasien terhadap rumah sakit tersebut dengan prinsip-prinsip hukum privat adalah : a. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatnya sesuai dengan asas hukum perdata bahwa barang siapa merugikan orang lain wajib menganti kerugian yang diderita (Pasal 1365 KUHPerdata), pengaduan tersebut dapat dilakukan jika salah satu pihak dinilai telah merugikan pihak lain atau telah melanggar kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak. b. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya, hal ini sesuai dengan pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur bahwa salah satu syarat sahnya persetujuan adalah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak sebagai syarat subjektif perjanjian. Berdasarkan analisis peneliti terhadap ketentuan tentang hak pasien tersebut maka ada beberapa kritik yang dapat peneliti sampaikan yaitu : a. Dalam pasal tersebut tidak diatur tentang hak pasien untuk menyetujui atau menolak untuk dijadikan objek percobaan penggunaan obat dan/atau kesehatan di rumah sakit. Analisis ini berdasarkan asas informed concent yaitu tenaga kesehatan 84
harus menyampaikan informasi terlebih dahulu kepada pasien bersedia atau tidak untuk mencoba alat kesehatan atau obat baru yang digunakan rumah sakit setelah itu pasien dapat menentukan bersedia atau tidak artinya keputusan tetap berada pada pasien, dan dalam hukum kesehatan berlaku asas bahwa pasien yang menentukan nasibnya sendiri (the right to self determination). b. Dalam pasal tersebut tidak diatur tentang hak pasien untuk menghentikan upaya kesehatan yang dilakukan di rumah sakit karena berdasarkan asas bahwa pasien berhak menentukan nasib dirinya sendiri ( the right to self determination) walaupun akibat penghentian upaya kesehatan tersebut akan mengakibatkan kondisi yang lebih parah bagi pasien. c. Dalam pasal tersebut tidak diatur tentang hak pasien untuk mendapatkan isi rekam medik dari rumah sakit tentang penyakit yang dialaminya, hal ini berdasarkan asas informed concent, rumah sakit harus menyampaikan data-data medis kepada pasien tentang kondisi kesehatan dirinya dengan informasi tersebut pasien dapat menentukan upaya kesehatan apa yang dipilihnya, data medis tersebut adalah milik pasien. Secara yuridis diatur bahwa rumah sakit wajib menyelenggarakan rekam medis (Pasal 29 Ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit), dalam Pasal 9 Ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 749a/Men.Kes/Per/XII/1989 Tentang Rekam Medis/Medical Record ditegaskan bahwa isi rekam medik adalah milik pasien. d. Dalam pasal tersebut tidak diatur tentang hak pasien untuk meminta dirujuk ke rumah sakit lain jika rumah sakit dinilai tidak mampu untuk melakukan upaya pengobatan terhadap dirinya, biasanya pasien meminta karena rumah sakit dinilai 85
tidak mampu untuk melakukan upaya pengobatan hal tersebut berdasarkan asas the right to health care bahwa pasien berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan asas bahwa pasien berhak menentukan nasib dirinya sendiri ( the right to self determination), pasienlah yang menentukan apakah akan minta dirujuk ke rumah sakit lain atau tidak. Secara yuridis diatur juga bahwa rumah sakit wajib menyelenggarakan sistem rujukan (Pasal 29 Ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit). Hak pasien untuk menyetujui atau menolak penggunaan alat/obat untuk kepentingan penelitian, hak pasien untuk menghentikan upaya pengobatan, hak pasien untuk memperoleh isi rekam medik dan hak pasien untuk meminta dirujuk ke rumah sakit lain harus dicantumkan dalam undang-undang ini. Akhirnya peneliti menyimpulkan bahwa undang-undang ini belum mengatur secara lengkap tentang kewajiban rumah sakit, kewajiban pasien dan hak pasien yang menurut peneliti hal tersebut penting untuk diatur karena akan menjadi sumber hukum bagi rumah sakit dalam menjalankan kegiatannya terutama yang berhubungan dengan pasien. Dalam kondisi demikian aturan yang lengkap menjadi syarat mutlak bagi hukum kesehatan itu sendiri, jangan sampai karena tidak adanya aturan mengenai sesuatu hal yang terjadi dalam praktek kedokteran akan menjadi permasalahan dalam hubungan hukum antara rumah sakit dan pasien. Dapat peneliti simpulkan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit terdapat norma yang kosong, sedangkan di dalam hukum berlaku asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan hukum tidak atau 86
kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya, dan juga berlaku asas bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. G. Kepastian Hukum Dalam Pengaturan Tentang Kewajiban dan Hak Antara Pasien Dengan Rumah Sakit Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (1) mengatur bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Unsur kepastian hukum dimasukkan dalam konstitusi kita menunjukkan bahwa permasalahan kepastian hukum merupakan hal mendasar bagi warga Negara dan menjadi hak bagi setiap warga Negara untuk memperoleh kepastian hukum, oleh karena itu permasalahan kepastian hukum perlu menjadi perhatian semua pihak, dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat semakin tinggi pula tingkat kesadaran manusia di bidang hukum serta semakin sadar akan pentingnya perlindungan kewajiban dan hak-haknya dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu para perumus undang-undang harus memperhatikan unsur kepastian hukum tersebut, kekurang hati-hatian perumus undang-undang dikawatirkan akan mengakibatkan terjadinya konflik norma, norma yang kabur dan kekosongan norma. Menurut Peter Mahmud Marzuki dengan penyimpangan terhadap aturan yang dibuat oleh mereka yang berwenang membuat aturan menyebabkan adanya ketidakpastian hukum. 65 Penyimpangan yang terjadi seperti adanya pasal-pasal yang dihilangkan/dikurangi/ditambah karena faktor titipan ataupun faktor tekanan dari pihak
65 Peter Mahmud Marzuki, Loc.Cit. 87
lain yang mengarah ke tindakan kolusi, sehingga produk hukum yang dihasilkan tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Secara khusus dalam perkembangan dewasa ini tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan bagi diri pribadi dan keluarganya semakin meningkat sehingga intensitas hubungan antara masyarakat dengan tenaga kesehatan dan/sarana kesehatan semakin meningkat pula. Alhasil dunia kesehatan menjadi lahan yang menjanjikan untuk peningkatan ekonomi baik pemerintah maupun masyarakat khususnya tenaga kesehatan. Sarana layanan kesehatan berupa rumah sakit pemerintah dan swasta, klinik kesehatan swasta, dokter praktek swasta, bidan praktek swasta serta layanan kesehatan lainnya berdiri menjamur di mana-mana. Hal tersebut merupakan fenomena positif karena dengan banyaknya sarana kesehatan yang berdiri maka akses masyarakat terhadap sarana kesehatan semakin mudah dan terjangkau dengan mudah, di sisi lain secara ekonomis dapat meningkatkan ekonomi tenaga kesehatan dan masyarakat pada umumnya, paradigma masyarakat terhadap kesehatan memandang bahwa kesehatan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia. Masyarakat dan pemerintah dewasa ini menilai bahwa rumah sakit tidak hanya dijadikan sebagai sarana sosial semata akan tetapi rumah sakit dapat menjadi lahan bisnis yang sangat menjanjikan. Perubahan orientasi tersebut menyebabkan rumah sakit berusaha mencari keuntungan yang besar dari jasa pelayanan kesehatan terhadap pasien, mahalnya biaya pemeriksaan, biaya penginapan, biaya obat dan biaya pelayanan lainnya. Dalam posisi demikian pasien adalah pihak yang tidak dapat memilih kecuali membayar semua biaya yang telah ditetapkan oleh rumah sakit, di sisi lain mahalnya biaya kesehatan belum tentu dibarengi oleh pelayanan yang baik dari rumah sakit, 88
permasalahan kompetensi tenaga kesehatan, pelayanan yang tidak baik, standar pelayanan yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan Rumah Sakit dan sebagainya, dalam keadaan demikian pasien tetap menjadi pihak yang dirugikan. Akibatnya gugatan/tuntutan dari pasien terhadap rumah sakit semakin marak pula yang menimbulkan merosotnya nama baik rumah sakit di mata masyarakat. Sebenarnya hal-hal yang peneliti utarakan di atas dapat ditekan asalkan kedua belah pihak memahami dan menghormati kewajiban dan hak yang melekat pada masing- masing pihak, untuk itu pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit agar hubungan antara pasien dan rumah sakit dapat berlangsung dengan baik. Perlu dipahami pula pola hubungan antara pasien dan Rumah Sakit adalah pola hubungan mitra sejajar yang saling menguntungkan, pasien membutuhkan tenaga kesehatan dan/atau sarana kesehatan untuk melakukan upaya penyembuhan terhadap penyakit yang dideritanya, dan rumah sakit akan mendapatkan keuntungan secara ekonomis dari pelayanan yang telah dilakukan selain itu tingkat kepercayaan masyarakat sangat tergantung dari pelayanan yang baik yang diberikan oleh tenaga kesehatan dan/atau sarana kesehatan. Sebagaimana yang telah peneliti analisis dan kritik ternyata pengaturan tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit tidak semua hal krusial diatur, peneliti menilai bahwa pengaturan kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit terdapat kekosongan norma. 1. Menilai aspek kepastian hukum tentang pengaturan kewajiban dan hak pasien dan rumah sakit dalam perspektif Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit 89
Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 bertujuan untuk terjaminnya kepastian hukum bagi rumah sakit dan masyarakat, Rumah Sakit akan memiliki pedoman tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan suatu Rumah Sakit dan bagi masyarakat akan memiliki pedoman yang jelas jika melakukan hubungan hukum dengan rumah sakit terutama yang menyangkut tentang kewajiban dan hak kedua belah pihak. Sebagaimana yang telah peneliti ungkapkan bahwa ada beberapa kewajiban dan hak penting yang tidak diatur dalam undang- undang ini yaitu tidak diaturnya kewajiban rumah sakit untuk mengganti tenaga kesehatan yang tidak kompeten dan kewajiban untuk menyediakan ruang isolasi, tidak diaturnya kewajiban pasien, tidak diaturnya hak pasien untuk menyetujui atau menolak dijadikannya objek percobaan penggunaan obat/alat kesehatan di rumah sakit, hak pasien untuk menghentikan upaya kesehatan, hak pasien untuk mendapatkan isi rekam medik dan hak pasien untuk meminta dirujuk ke rumah sakit lain. Dengan demikian menurut peneliti undang-undang ini belum sepenuhnya memberikan kepastian hukum bagi pasien dan rumah sakit. Permasalahan kewajiban dan hak adalah permasalahan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, undang-undang sebagai salah satu peraturan perundang-undangan selayaknya dapat memberikan perlindungan yang kuat terhadap hak-hak warga Negara, demikian juga dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit selayaknya mengatur secara tegas dan lengkap tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit. Undang-undang bersifat otentik dan berbentuk tertulis yang lebih menjamin kepastian hukum. 66 Untuk itu perlu
66 Lihat Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit. 90
dilakukan beberapa upaya nyata agar undang-undang ini dapat memberikan kepastian hukum. 2. Upaya penemuan dan pembaharuan hukum kesehatan yang dapat memberikan kepastian hukum Adalah suatu kenyataan bahwa ketentuan yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) belum dapat menjawab semua permasalahan hukum yang terjadi di Indonesia, hal ini disebabkan cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hak-haknya dalam kesehatan. Dalam kondisi demikian perlu adanya pengaturan-pengaturan yang lebih spesifik agar aturan tersebut dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam masyarakat. Di Indonesia salah satu pengaturan yang bersifat spesifik adalah hukum kesehatan, ada banyak aturan hukum yang mengatur tentang kesehatan yang sebagian telah peneliti ungkapkan, dalam hukum kesehatan KUHP dan KUHPerdata menjadi sumber hukum dan dapat menjadi asas bagi hukum kesehatan, seperti asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP), asas kebebasan berkontrak (Pasal 1329 KUHPerdata), syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata), perjanjian karena kekhilapan, paksaan atau tipuan (Pasal 1321 KUHPerdata), orang yang tidak cakap membuat perjanjian (Pasal 1330 KUHPerdata), persetujuan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum (Pasal 1337 KUHPerdata), persetujuan adalah undang-undang bagi yang membuat perjanjian (Pasal 1338 KUHPerdata), kewajiban mengganti kerugian (Pasal 1365 KUHPerdata), tindakan karena kelalaian dan kesembronoan (Pasal 1366 KUHPerdata), tanggung jawab atas 91
perbuatan yang dilakukan oleh orang yang menjadi tanggung jawabnya (Pasal 1367 KUHPerdata) dan sebagainya. Hukum yang mengatur secara spesifik diharapkan dapat memgakomodir semua permasalahan hukum di ruang lingkupnya masing-masing, demikian juga dalam lapangan hukum kesehatan seharusnya dapat menjawab semua permasalahan dalam lingkup kesehatan salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 yang mengatur tentang Rumah Sakit. Sebagaimana yang telah penulis ungkapkan sebelumnya bahwa Undang- Undang Nomor 44 Tahun 2009 belum sepenuhnya mengatur kewajiban antara pasien dengan rumah sakit secara jelas dan lengkap padahal kewajiban dan hak tersebut yang peneliti ungkapkan terjadi dalam praktik pelayanan kesehatan di Indonesia. Sumbangan pemikiran akan menjadi penting dalam upaya pembaharuan hukum kesehatan dan diharapkan agar pemerintah untuk melakukan upaya preventif berupa penetapan aturan yang dapat menjamin kepastian hukum bagi masyarakat. Secara teoretis jika terdapatnya konflik norma adalah kembali ke asas hukum, jika terjadi kekaburan norma dapat dilakukan penafsiran/interpretasi dan jika terjadi kekosongan norma dapat dilakukan penemuan dan pembentukan hukum. Secara teoretis terdapat dua 2 (dua) langkah yang dapat dilakukan dalam menghadapi permasalahan kekosongan norma (Rechtsvacuum) yaitu : a. Penemuan hukum (rechsvinding) 92
Dalam menghadapi kekosongan hukum, orang berpegang pada asas ius curia novit. Dengan asas ini hakim dianggap tahu hukum. 67 Tidak boleh ada alasan bahwa hakim tidak tahu hukum, hakim wajib menggali hukum yang berlaku di dalam masyarakat. Hakim dalam tugasnya mengambil keputusan jika terjadi gugatan/tuntutan maka hakim dituntut untuk mengambil keputusan seadil-adilnya berdasarkan aturan yang berlaku, dalam hal tidak adanya aturan yang mengatur tentang sesuatu permasalahan hukum maka hakim tidak boleh menolak perkara, hal ini sesuai dengan asas hukum yaitu bahwa seorang hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan aturannya tidak ada atau tidak jelas . Dalam keadaan tersebut seorang hakim dituntut untuk menggali hukum/menemukan hukum yang dapat diperoleh dari sumber hukum lain. Sumber utama penemuan hukum adalah peraturan perundang-undangan, kemudian kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional barulah doktrin. 68 Undang-undang merupakan sumber hukum yang penting dan utama oleh karena itu undang-undang diprioritaskan dari sumber- sumber hukum lainnya karena undang-undang bersifat otentik dan tertulis yang lebih menjamin kepastian hukum, didukung oleh keyakinan hakim itu sendiri. Akan tetapi tidak semua hakim mempunyai kemampuan untuk menggali sumber- sumber hukum yang berlaku di dalam masyarakat, dalam kondisi demikian akan menimbulkan permasalahan baru yaitu keputusan yang diambil oleh hakim memiliki kemungkinan tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Bila dikaitkan dengan asas pengadilan mengadili menurut hukum maka hakim harus menggali hukum yang hidup di dalam masyarakat baik itu bersumber dari undang-
67 Lihat Sahuri Lasmadi, Bahan Kuliah Teori Ilmu Hukum (Teori Hukum), Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Jambi, Jambi, 2008, hal.26. 68 Lihat Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hal.48. 93
undang, kebiasaan, yurisprudensi dan sebagainya, bahwa apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus bertindak berdasarkan inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut. 69 Kegiatan penemuan hukum juga tidak hanya diserahkan kepada hakim dan pembentuk undang-undang, tetapi dosen serta peneliti hukum dalam penulisannya melakukan penemuan hukum yang bersifat teoretis yang akan menghasilkan doktrin sebagai salah satu sumber hukum dapat menggali hukum, kegiatan penemuan hukum juga menyangkut pembentukan hukum baru (rechtsvorming). b. Pembentukan hukum (Rechtsvorming) Dalam rangka pembangunan sektor kesehatan yang demikian kompleks dan luas, sangat dirasakan, bahwa peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya kesehatan perlu lebih disempurnakan dan ditingkatkan. Sehubungan dengan hal tersebut maka para praktisi kesehatan dan akademisi bidang hukum kesehatan harus dapat memberikan sumbangan pemikiran dengan cara merumuskan aturan hukum kesehatan yang dapat menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Rumusan itu menjadi bahan pemikiran dan bahan masukan bagi pembuat undang-undang agar dapat melakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap undang-undang dengan cara merevisi undang-undang tersebut, Menurut peneliti sejak saat ini perlu ada rumusan tentang upaya pembentukan hukum (Rechtsvorming) dengan melibatkan akademisi hukum kesehatan dan praktisi kesehatan sebagai bagian dari upaya law reform di Indonesia, tujuannya tidak lain
69 Lihat Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2008, hal.7. 94
adalah agar Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit benar- benar dapat dilaksanakan secara efektif dan dapat menjamin rasa keadilan serta kepastian hukum bagi masyarakat.
95
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari pembahasan yang telah peneliti paparkan maka peneliti dapat merumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Bahwa kesadaran pasien terhadap pentingnya jaminan atas kewajiban dan hak semakin meningkat seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan ekonomi masyarakat, undang-undang sebagai salah satu sumber hukum yang penting untuk menjamin perlindungan kewajiban dan hak, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit belum mengatur secara lengkap tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit. 2. Bahwa Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit belum sepenuhnya memberikan kepastian hukum bagi pasien dan rumah sakit
B. Saran Berdasarkan kesimpulan yang peneliti sampaikan di atas, maka peneliti mengajukan beberapa saran yaitu: 1. Perlu dilakukan pengkajian terhadap pengaturan kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit agar tercipta aturan yang dapat memberikan jaminan dan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak. 2. Diharapkan agar dapat dilakukan pembaharuan terhadap pengaturan tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit yang dapat 96
memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi pasien dan rumah sakit dalam upaya pembaharuan hukum kesehatan pada khususnya dan pembaharuan hukum nasional pada umumnya.
97
DAFTAR PUSTAKA Buku Alexandra Indriyanti Dewi. 2008. Etika dan Hukum Kesehatan. Pustaka Book Publisher, Yogyakarta. Bahder Johan Nasution. 2005. Hukum Kesehatan pertanggungjawaban dokter. Rineka Cipta, Surabaya. Blacks Law Dictionary. 1978.
Chrisdiono M.Achadiat. 2006. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman. EGC, Jakarta. Departemen Kesehatan RI.1987. Sistem Kesehatan Nasional. Depkes RI, Jakarta. Elfindri.2003. Ekonomi Layanan Kesehatan. Andalas University Press, Padang. Emeritus John Gilissen dan Emeritus Frits Gorle. 2007. Sejarah Hukum Suatu Pengantar. Refika Aditama, Bandung. Endang Kusuma Astuti. 2006. Transaksi Terapeutik dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit. Citra Aditya Bhakti, Semarang. Faisal. 2010. Menerobos Positivisme Hukum. Rangkang Education, Yogyakarta Hendrojoyo Soewono. 2006. Perlindungan Hak-hak Pasien dalam transaksi Terapeutik. Srikandi, Surabaya. Indonesia Legal Central Publising. 2006. Kamus Hukum, Jakarta. Ishaq. 2007. Dasar-dasar Ilmu Hukum. Sinar Grafika, Jakarta. J. Guwandi.2004. Hukum Medik (Medical Law). Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. J.J.H. Bruggink. 1999. Refleksi Tentang Hukum. Citra Aditya Bhakti, Bandung. Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu.2007. Hukum Bisnis Dalam Perspektif Manusia Modern. PT.Refika Aditama, Bandung. Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, 1999. Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.
Mujiono. 1991. Pengantar Ilmu Hukum Indonesia. Liberty, Yogyakarta. Muladi. 2009. Hak Asasi Manusia. Refika Aditama, Bandung. 98
Munir Fuady. 1999. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis).PT. Citra Aditya Bakti, Bandung M.Yusuf Hanafiah dkk. 1999. Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan. EGC, Jakarta. Nusye Kl.Jayanti. 2009. Penyelesaian Hukum dalam malpraktik kedokteran. Pustaka Yustisia, Yogyakarta. Peter Mahmud Marzuki. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Kencana, Jakarta. Philipus M.Hadjon dan Tatik Sri Djatmiati. 2009. Argumentasi Hukum. UGM Press, Yogyakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1987. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Balai Pustaka, Jakarta. Solahuddin. 2008. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Acara Pidana dan Perdata. Visimedia, Jakarta.
Subekti. 1985. Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa, Jakarta. Subekti. 1987. Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta. Sudikno Mertokusumo. 2009. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Liberty, Yogyakarta.
Suryani Soepardan.2008. Etika Kebidanan dan Hukum Kesehatan. EGC, Jakarta. Wirjono Prodjodikoro. 2000. Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang Dari Sudut Hukum Perdata. Mandar Maju, Bandung. Wiku Adisasmito. 2007. Sistem Manajemen Lingkungan Rumah Sakit. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2008. Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung.
Jurnal/Majalah Ilmiah Ahdiana Yuni Lestari, Aspek Hukum Komerisalisasi Rumah Sakit Swasta Dalam kaitannya Dengan Pelayanan Kesehatan yang Berfungsi Sosial. Jurnal Hukum Bisnis Nomor 2 Tahun 2004. Jakarta. Veronica Komalawati,2004. Aspek Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan: Suatu Kajian, Jurnal Hukum Bisnis Nomor 2 Tahun 2004. Jakarta.
99
Makalah Seminar/ Disertasi Bambang Giatno.2008. Makalah Seminar dalam Kongres XIV IBI, Padang.
Sahuri L, Pertanggungjawaban Korporsi Dalam perspektif Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia, Disertasi Doktor Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2003 Sahuri Lasmadi.2008. Bahan Kuliah Teori Ilmu Hukum (Teori Hukum). Universitas Jambi Program Pasca Sarjana Program Magister Ilmu Hukum, Jambi.
Internet Arief Hidayat. Kepastian Hukum Harus Sejalan Dengan Rasa Keadilan,.http://www. antaranews.com/berita.
Jimly Assiddiqie. Keadilan, Kepastian Hukum dan keteraturan. http://www.suarakarya- online.com/news. diakses 4 September 2010.
M.Choliq. Fungsi Hukum dan Asas-asas Dasar Negara Hukum. http://www.suara karya- online.com/news.
Peraturan Perundang-undangan 1. Undang-undang Republik Indonesia, Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821)
Republik Indonesia, Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389)
Republik Indonesia, Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038)
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1441, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063 ) 100
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072)
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1966 Tentang Tenaga Wajib Simpan Rahasia Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3803).
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3195).
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3637).
Peraturan Menteri
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :749a/Men.Kes/per/XII/1989 tentang Medical Record.