Gangguan hipertensi kehamilan menjadi komplikasi medis yang paling umum
dilaporkan selama kehamilan (Martin, 2002). Salah satu penyakit yang paling berkontribusi secara signifikan untuk menyebabkan morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal, adalah pre-eklampsia. Pre-eklampsia umumnya memengaruhi 5% sampai 10% dari seluruh kehamilan (American Academy of Pediatrics and American College of Obstetricians and Gynecologists, 2007). Tidak ada profil yang mengidentifikasi wanita yang akan menderita pre-eklampsia. Tetapi, ada beberapa risiko tertentu yang dikatakan berkaitan dengan perkembangan penyakit, seperti primigravida, grand multi gravida, janin besar, kehamilan dengan janin lebih dari satu, dan morbid obesitas dan faktor- faktor seperti usia, paritas, dan lokasi geografis perlu diwaspadai (Bobak, Lowdermilk & Jensen, 2005). Faktor risiko yang pertama adalah faktor usia. Hasil penelitian ini menyatakan 52,39% ibu yang mengalami pre-eklampsia berat berusia 1835 tahun, sedangkan yang berusia <18 tahun atau >35 tahun berjumlah 47,61%. Hasil penelitian ini berbeda dengan pernyataan Saftlas (1990) dalam Bobak, Lowdermilk & Jensen (2005) bahwa wanita yang berumur <18 tahun atau >35 tahun mempunyai insidensi pre-eklampsia yang lebih tinggi secara bermakna. Dimana usia yang <18 tahun dan >35 tahun memang masuk dalam kategorik kehamilan berisiko tinggi. Salah satu hal yang mungkin menyebabkan perbedaan ini adalah adanya faktor predisposisi lainnya yang menyebabkan kejadian pre-eklampsia berat, selain faktor usia. Dalam penelitian Dly (2011) tentang Angka Kejadian dan Karakteristik Pasien Pre-eklampsia Berat Berulang di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSMH (Rumah Sakit Umum Mohammad Hoesin) Palembang Periode Januari 2009-September 2010, dinyatakan bahwa usia 20-35 tahun (usia produktif) memiliki jumlah terbanyak yang menderita pre-eklampsia berat. Dalam penelitian Arfian (2002) tentang Perbandingan Indeks Pulsasi Arteri Umbilikalis Pada Ibu Normal dan Ibu Pre-Eklampsia Berat dinyatakan bahwa kejadian pre-eklampsia berat didominasi oleh usia 21-34 (79,2%), usia 20 tahun sebesar 2,1% dan 35 tahun sebesar 18,8% dan tidak disebutkan penyebab dari perbedaan hasil penelitian dengan teori yang dipakainya (pre-eklampsia terjadi pada usia 20 tahun dan 35tahun). Menurut American College of Obstetricians and Gynecologist (2002), ditemukan teori lain yang menyatakan bahwa pre-eklampsia terjadi pada saat usia <19 tahun atau >40 tahun. Usia terlalu muda dan terlalu tua merupakan faktor risiko terjadinya pre-eklampsia berat, dan hal ini akan meningkatkan kejadian pre-eklampsia berat. Usia yang muda belum siap secara psikis karena adanya faktor imunologis, sedangkan pada usia lanjut terdapat adanya hubungan dengan hipertensi esssensial. Dimana usia ini juga berhubungan dengan teori iskemia implantasi plasenta, bahwa trofoblas diserap ke dalam sirkulasi, lalu sensitivitas terhadap angiotensin II, rennin, aldosteron meningkat, lalu terjadi spasme pembuluh darah, dan tahanan terhadap garam dan air (Dly, 2011). Usia merupakan faktor yang cukup penting. Utama (2008) juga menyatakan bahwa ibu hamil yang masih berusia muda mengalami ketidakteraturan tekanan darah dan cenderung tidak memperhatikan kehamilannya, ditambah psikis yang belum siap, sehingga akan meningkatkan tekanan darah dan terjadi hipertensi. Ibu hamil dengan usia >35 cenderung mengalami penurunan fungsi organ tubuh, seperti fungsi hati, ginjal, jantung, dan akan lebih mudah mendapatkan penyakit-penyakit. Pada usia 35 tahun ini, berisiko tinggi baik dalam kehamilan, maupun persalinan. Untuk itu diperlukan konseling, dan pemeriksaan antenatal care yang teratur (Utama, 2008). Faktor yang kedua adalah usia kehamilan, dimana pada penelitian ini, pre-eklampsia berat terjadi di usia kehamilan >20 minggu pada keseluruhan responden yaitu: 100%. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Bobak, Lowdermilk dan Jensen (2005) yaitu Pre-eklampsia biasanya terjadi pada usia kehamilan setelah minggu ke 20 atau lebih dari 5 bulan (Trimester II-III) Pada kondisi kehamilan normal terjadi proses apoptosis yang berperan dalam pergantian sitotrofoblas dan pembaruan permukaan sinsitium dari villi korialis, lalu dikeluarkan protein Bcl-2 yang berperan untuk menghambat apoptosis. Tetapi karena eksresi protein Bcl-2 menurun, maka proses apoptosis pada sel sinsitiotrofoblas plasenta meningkat, sehingga terjadi pre-eklampsia berat atau dapat dikarenakan oleh penyempitan arteri spiralis sampai 200, sedangkan pada kehamilan normal arteri spiralis, yaitu 500, menyebabkan penghambatan respon yang adekuat terhadap peningkatan aliran darah, jadi perfusi plasenta yang menurun akan berdampak lepasnya radikal bebas dan iskemia plasenta yang merangsang peningkatan apoptosis. Semua kejadian yan disebutkan diatas terjadi seiring dengan makin tuanya usia kehamilan (Arfian, 2002). Hal ini menyebabkan pre-eklampsia sering terjadi pada kehamilan aterm Wiknjosastro (2002) dalam Utama (2008). Pelaporan Parkland Hospital dalam Arfian (2002) menyatakan bahwa pre-eklampsia terjadi pada kelompok usia kehamilan 32 minggu (preterm), sebanyak 10%, sedangkan sisanya terjadi pada kelompok usia kehamilan 36 minggu (aterm). Ibu yang mengalami pre- eklampsia berat berisiko 26,270 kali ketika usia kehamilan 28 minggu daripada yang berusia kehamilan 28 minggu (Utama, 2008). Oleh karena itu, menurut ACOG (2002), Report (2000), Group (2000) dalam Bobak, Lowdermilk & Jensen (2005), sebaiknya menjelang trimester II-III ibu hamil harus lebih berhati-hati untuk mencegah komplikasi yang lebih berbahaya lagi, karena pre-eklampsia berkontribusi signifikan untuk intra uterin fetal death (IUFD), dan mortalitas perinatal. Faktor selanjutnya adalah status gravida, hasil penelitian ini didapatkan kejadian pre- eklampsia berat pada ibu primigravida sebesar 31,88 %, sedangkan pada ibu multigravida sebesar 68,02%. Dimana, pada kehamilan yang kedua paling dominan ditemukan daripada kehamilan selanjutnya. Hal ini berbeda dengan teori yang menyatakan bahwa insidensi pre- eklampsia terjadi pada kehamilan pertama sebesar 85% (Bobak, Lowdermilk & Jensen, 2005). Menurut Consesus Report (1990), dalam Bobak, Lowdermilk & Jensen (2005) Ibu dengan pasangan baru atau wanita yang baru menjadi ibu ternyata dikatakan memiliki risiko enam kali sampai delapan kali lebih mudah terkena pre-eklampsia daripada ibu multipara. Insidensi untuk kejadian pre-eklampsia berat pada kehamilan pertama hanya 3,9%, kehamilan kedua 1,7 %, dan kehamilan ketiga 1,8%. Namun dari penelitian Dly (2011) tentang Angka Kejadian dan Karakteristik Pasien Pre-eklampsia Berat Berulang di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSMH (Rumah Sakit Mohammad Hoesin) Palembang Periode Januari 2009-September 2010, didapatkan hasil pre- eklampsia berat paling banyak terjadi pada ibu dengan multigravida yaitu sebanyak 69 orang (69,7%). Lalu, penelitian Utama (2008) tentang Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Preeklampsia Berat Pada Ibu Hamil di RSD Raden Mattaher Jambi Tahun 2007, didapatkan hasil bahwa dari 85 ibu yang mengalami kejadian pre-eklampsia berat terdapat 61,2% ibu multigravida, sedangkan dari 85 ibu yang tidak mengalami kejadian pre-eklampsia berat terdapat 63,5% terjadi pada multigravida, dan berdasarkan uji chi square dinyatakan tidak terdapat hubungan bermakna antara status gravida dengan kejadian pre-eklampsia berat. Menurut penelitian Artikasari (2009) tentang Hubungan antara Primigravida dengan Angka Kejadian Pre-eklampsia/Eklampsia Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Periode 1 Januari 31 Desember 2008 didapatkan hasil bahwa primigravida hanya memiliki peluang sebesar 1,458 kali terkena pre-eklampsia/ eklampsia dibandingkan dengan yang bukan primigravida. Teori Bobak, Lowdermilk dan Jensen (2000) dalam Utama (2008) menyatakan pre- eklampsia sering terjadi pada primigravida, khususnya primigravida muda, tetapi teori Bobak, Lowdermilk, dan Jensen (2005) juga mengatakan bahwa pre-eklampsia bisa terjadi pada multiparitas berusia lebih tua (>35 tahun). Jadi, tidak semua primigravida mengalami pasti pre-eklampsia, karena dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor predisposisi lainnya (Manuaba, 1998 dalam Utama, 2008). Oleh karena itu, ibu yang mengalami kehamilan, baik itu primigravida ataupun multigravida sebaiknya melakukan pemeriksaan antenatal care secara teratur untuk mendeteksi diri secara dini tanda-tanda dari pre-eklampsia berat, sehingga memperoleh penanganan yang semestinya (Utama, 2008). Faktor yang ke-empat adalah faktor riwayat penyakit, dimana hasil penelitian ini terdapat 24,5% ibu yang mengalami pre-eklampsia berat memiliki riwayat penyakit, sedangkan yang tidak memiliki riwayat penyakit sebesar 75,5%. Dimana riwayat penyakit yang paling dominan dialami pada kejadian pre-eklampsia berat adalah hipertensi. Hasil penelitian ini berbeda dengan teori yang menyatakan bahwa proses penyakit penyakit pembuluh darah kolagen, penyakit pembuluh darah, penyakit ginjal, ibu yang mempunyai riwayat penyakit hipertensi, dan ibu yang pernah mengalami pre-eklampsia berat pada kehamilan sebelumnya dapat menjadi faktor risiko terjadinya pre-eklampsia berat (Bobak, Lowdermilk & Jensen, 2005). Perbedaan ini terjadi mungkin karena ibu tidak pernah melakukan pemeriksaan kesehatan sebelumnya (screening penyakit) yang menyebabkan sang ibu tidak tahu penyakit yang dialaminya atau kecenderungan masyarakat Indonesia yang akan datang ke pelayanan kesehatan jika telah mengalami tanda dan gejala penyakit, selain itu relatif penyakit akan timbul pada usia tua, maka ketika perawat bertanya dan mencatat dalam status pasien, sang ibu mengatakan tidak memiliki salah satu di antara riwayat penyakit ginjal, jantung, diabetes mellitus, dan sebagainya (Bobak, Lowdermilk & Jensen, 2005). Menurut Utama (2008), riwayat penyakit hanya memiliki 2,786 kali untuk menyebabkan kejadian pre-eklampsia berat. Maka dari itu, sebaiknya perawat memulai wawancara secara detail untuk mengklarifikasi, memperluas, atau melengkapi formulir. Riwayat kesehatan dapat ditanyakan kembali, khususnya jika terdapat diabetes mellitus, penyakit ginjal, dan hipertensi, juga riwayat keluarga perlu sekali untuk digali, untuk mengetahui adanya riwayat pre-eklampsia atau penyakit hipertensi, diabetes mellitus, dan penyakit kronis lain sebagai pencetus pre-eklampsia berat (Rozikhan, 2007). Faktor yang kelima adalah kondisi obstetri. Dalam penelitian ini kejadian pre-eklampsia berat dialami oleh 4,76% ibu hamil yang memiliki kondisi obstetri yang berisiko (seperti kehamilan multipel, janin besar, hidrop janin, polihidroamnion, kehamilan mola hidatidosa) dan yang tidak berisiko sebesar 95,24%. Dimana, kondisi obstetri yang paling dominan adalah kehamilan multipel (gemeli). Hasil penelitian ini berbeda dengan teori Roberts (1990) dalam Bobak, Lowdermilk & Jensen (2005) yang menyatakan bahwa kondisi obstetri yang berkaitan dengan peningkatan massa plasenta, seperti kehamilan multipel, janin besar, hidrop janin, polihidroamnion, kehamilan mola hidatidosa membuat risiko gejala pre-eklampsia menjadi lebih tinggi. Perbedaan ini terjadi karena faktor risiko yang ada pada ibu hamil tidak selalu sama, tidak semua ibu yang mengalami pre- eklampsia berat datang dengan kondisi obstetri yang mengalami komplikasi, mungkin ada faktor predisposisi yang lainnya, tetapi ibu yang mengalami kondisi obstetri yang komplikasi pasti berisiko mengalami kejadian pre-eklampsia berat. Hal ini didukung oleh pernyataan ACOG (2002), Egerman & Sinbai (1999), Walker (2000), dalam Bobak, Lowdermilk dan Jensen (2005) bahwa insidensi pre- eklampsia terjadi pada ibu yang mengalami anomaly rahim yang berat hanya ada 25%-30%, sedangkan ibu hamil dengan janin lebih dari satu hanya ada 14 sampai 20%. Oleh karena itu, sebaiknya ibu hamil melakukan pendeteksian secara dini agar tidak terjadi komplikasi pada kondisi obstetri yang menyebabkan terjadinya pre-eklampsia berat