Anda di halaman 1dari 5

Tonsilitis

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang termasuk dalam cincin Waldeyer.
Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatina (tonsil faucial), tonsil lingual, tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/
Gerlachs tonsil). Penyebaran infeksi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman.
Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Tonsilitis Akut
Proses patologis tonsillitis akut (Adams, 1997):
1. Peradangan biasa daerah tonsila saja.
2. Pembentukan eksudat.
3. Selulitis tonsilla dan daerah sekitarnya.
4. Pembentukan abses peritonsilar.
5. Nekrosis jaringan.
Tonsillitis Viral
Gejalanya lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok.
Penyebab paling sering adalah virus Epstein-Barr (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Tonsilitis Bakterial
Etiologi
Kuman grup A Streptococcus haemolitikus yang dikenal sebagai strept throat,
pneumokokus, Streptokokus viridian, dan Streptococcus pyogenes (Rusmardjono &
Soepardi, 2007).
Patofisiologi
Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya
leukosit PMN sehingga terbentuk detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri
mati, dan epitel yang terlepas. Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut
tonsillitis folikularis. Bila bercak menjadi satu membentuk alur akan terjadi tonsillitis
lakunaris. Bercak detritus juga dapat melebar membentuk pseudomembran yang menutup
tonsil (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Gejala dan Tanda
Masa inkubasi 2-4 hari. Sering ditemukan nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan,
demam tinggi, rasa lesu, nyeri sendi, tidak nafsu makan dan otalgia. Otalgia terjadi karena
nyeri alih melalui N. IX. Tonsil tampak membengkak, hiperemis dan terdapat detritus
berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh pseudomembran. Kelenjar submandibula bengkak
dan nyeri tekan (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Terapi
Antibiotika spektrum lebar penisilin, eritromisin. Antipiretik dan obat kumur yang
mengandung desinfektan (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Komplikasi
Pada anak sering menimbulkan otitis media akut, sinusitis, abses peritonsil (Quincy
throat), abses parafaring, bronchitis, glomerulonefritis akut, miokarditis, arthritis serta
septikemia akibat infeksi v. jugularis interna (sindrom Lemierre). Akibat hipertrofi tonsil
mengakibatkan pasien bernapas melalui mulut, tidur mendengkur, gangguan tidur karena
sleep apnea (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Tonsilitis Kronik
Patologi
Proses radang berulang menyebabkan epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis,
sehingga diganti dengan jaringan parut yang mengalami pengerutan sehingga kripti melebar,
yang kemudian diisi dengan detritus. Proses ini berjalan terus sehingga menembus kapsul
tonsil dan melekat dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak disertai dengan
pembengkakan kelenjar submandibula (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Gejala dan Tanda
Tonsil membesar, permukaan tidak rata, kriptus melebar, diisi oleh detritus. Rasa
tenggorok mengganjal, kering, napas berbau (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Terapi
Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut dengan berkumur atau obat isap.
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan serta
kecurigaan neoplasma (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi yang hampir absolut adalah berikut ini (Adams, 1997):
1. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan napas yang kronik.
2. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur.
3. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat badan
penyerta.
4. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma).
5. Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.
Non-indikasi dan kontraindikasi untuk tonsilektomi adalah dibawah ini (Adams, 1997):
1. Infeksi pernapasan bagian atas yang berulang.
2. Infeksi sistemik atau kronis.
3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya.
4. Pembesaran tonsil tanpa gejala-gejala obstruksi.
5. Rhinitis alergika.
6. Asma
7. Diskrasia darah
8. Ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh.
9. Tonus otot yang lemah.
10. Sinusitis
Komplikasi
Komplikasi pada daerah sekitar berupa rinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara
perkontinuitatum. Komplikasi jauh secara hematogen atau limfogen berupa endokarditis,
artritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan furunkulosis
(Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Hipertrofi Adenoid
Secara fisiologis adenoid membesar pada anak usia 3 tahun dan kemudian mengecil
dan hilang sama sekali pada usia 14 tahun. Bila sering infeksi saluran napas atas maka terjadi
hipertrofi adenoid, sehingga timbul sumbatan koana dan tuba Eustachius (Rusmardjono &
Soepardi, 2007).
Akibat sumbatan koana pasien akan bernapas melalui mulut sehingga terjadi a) fasies
adenoid, b) faringitis dan bronkitis, c) gangguan ventilasi dan drainase sinus paranasal
sehingga menimbulkan sinusitis kronik. Akibat sumbatan tuba Eustachius akan terjadi otitis
media akut berulang, otitis media kronik dan akhirnya dapat terjadi otitis media supuratif
kronik. Selain itu hipertrofi adenoid dapat menimbulkan gangguan tidur, tidur ngorok,
retardasi mental, dan pertumbuhan fisik berkurang (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Diagnosis
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat tertahannya gerakan velum palatum
molle saat fonasi, pemeriksaan rinoskopi posterior, pemeriksaan digital untuk meraba
adenoid dan pemeriksaan radiologik dengan membuat foto lateral kepala (Rusmardjono &
Soepardi, 2007).
Terapi
Bedah adenoidektomi dengan cara kuretase memakai adenotom (Rusmardjono &
Soepardi, 2007).
Indikasi adenoidektomi berdasarkan satu atau lebih keadaan dibawah ini (Adams, 1997):
1. Obstruksi jalan napas bagian atas kronis dengan akibat gangguan tidur, kor
pulmonale, atau sindrom apnea waktu tidur.
2. Nasofaringitis purulen kronis walaupun penatalaksanaan medik adekuat.
3. Adenoiditis kronis atau hipertrofi adenoid berhubungan dengan produksi dan
persistensi cairan telinga tengah (otitis media serosa atau otitis media mukosa).
4. Otitis media supuratif akut recuren yang tidak mempunyai respons terhadap
penatalaksanaan medic dengan antibiotik profilaksis.
5. Kasus-kasus otitis media supuratif kronis tertentu pada anak-anak dengan hipertrofi
adenoid penyerta.
6. Curiga keganasan nasofaring (hanya biopsi).
Komplikasi Adenoidektomi
Perdarahan, kerusakan dinding belakang faring jika terlalu belakang, kerusakan torus
tubarius jika terlalu lateral, dan dapat mengakibatkan oklusi tuba Eustachius dan akan timbul
tuli konduktif (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Pharyngitis
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus, bakeri,
alergi, trauma, toksin, dan lain-lain (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Faringitis Akut
Faringitis Viral
Gejala dan Tanda
Demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan. Faring dan tonsil
hiperemis. Virus influenza, coxzachievirus dan cytomegalovirus tidak menimbulkan eksudat.
Coxzachievirus dapat menimbulkan lesi vasikular di orofaring dan lesi kulit berupa
maculopapular rash. Adenovirus juga menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak
selain faringitis. Epstein Barr Virus (EBV) menyebabkan faringitis disertai eksudat yang
banyak, pembesaran kelenjar limfe, terutama retroservikal dan hepatosplenomegali
(Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Faringitis yang disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri
menelan, mual dan demam, faring tampak hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut di
leher, dan pasien tampak lemah (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Terapi
Istirahat dan minum yang cukup, kumur dengan air hangat, analgetika jika perludan
tablet isap. Dapat diberi juga antivirus metisoprinol (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Faringitis Bakterial
Infeksi grup A Streptococcus hemolitikus penyebab faringitis akut pada dewasa
(15%) dan anak (30%) (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Gejala dan Tanda
Nyeri kepala hebat, muntah kadang demam tinggi, jarang disertai batuk. Tonsil
tampak membesar, faring dan tonsil hiperemis terdapat eksudat. Kemudian timbul petechiae
pada palatum dan dasar faring. Kelenjar limfe leher anterior membesar, kenyal, dan nyeri
pada penekanan (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Terapi
Antibiotik penicillin, amoksisilin, atau eritromisin. Kortikosteroid dexamethason,
analgetika, dan kumur dengan air hangat atau antiseptic (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
Laryngitis
Laringitis Akut
Radang akut laring umumnya merupakan kelanjutan dari rinofaringitis, yang
disebabkan oleh bakteri (menyebabkan peradangan lokal) atau virus (menyebabkan
peradangan sistemik) (Hermani et.al, 2007).
Gejala dan Tanda
Terdapat gejala radang umum, seperti demam, malaise, serta gejala lokal seperti
suara parau sampai afoni, nyeri menelan atau bicara, serta gejala sumbatan laring. Selain itu
terdapat batuk kering dan kemudian disertai dengan dahak kental (Hermani et.al, 2007).
Pada pemeriksaan mukosa laring hiperemis, membengkak, terutama diatas dan
dibawah pita suara. Biasanya juga terdapat tanda radang akut di hidung atau sinus paranasal
atau paru (Hermani et.al, 2007).
Terapi
Istirahat bicara dan bersuara 2-3 hari. Menghindari udara lembab dan iritasi pada
faring dan laring. Antibiotik diberikan bila peradangan berasal dari paru. Bila terdapat
sumbatan laring dilakukan pemasangan pipa endotrakeal atau trakeostomi (Hermani et.al,
2007).
Laringitis Kronis
Sering disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum yang berat, polip hidung atau
bronkitis kronis, atau oleh penyalahgunaan suara seperti berteriak atau berbicara keras
(Hermani et.al, 2007).
Gejala dan Tanda
Seluruh mukosa laring hiperemis dan menebal, permukaannya tidak rata dan
hiperemis, dan terkadang terdapat metaplasi skuamosa. Terdapat gejala suara parau menetap,
rasa tersangkut di tenggorok, sehingga pasien sering mendehem tanpa mengeluarkan sekret
karena mukosa yang menebal (Hermani et.al, 2007).
Terapi
Mengobati peradangan di hidung, faring, serta bronkus yang mungkin menjadi
penyebab laringitis kronis itu. Pasien diminta untuk tidak banyak berbicara (vocal rest)
(Hermani et.al, 2007).

PEMBAHASAN
Secara fisiologis, adenoid akan membesar pada usia 3 tahun dan kemudian akan
mengecil dan hilang sendiri pada usia 14 tahun. Anak yang berusia 8 tahun, menjadi
predisposisi kejadian hipertrofi adenoid (tonsilla pharyngea). Pada mulanya anak tersebut
mengalami infeksi saluran nafas atas (ISPA) disebabkan oleh berbagai etiologi, seperti virus,
bakteri, dan alergi. Kemudian sitokin proinflamasi yang dirilis oleh tubuh mengakibatkan
terjadinya badan panas, nyeri menelan disebabkan oleh edema mukosa tonsilla palatina dan
pharynx, dan pembesaran kelenjar leher terjadi akibat penjalaran infeksi melalui jalur
limfogen ke kelenjar limfe terdekat.
Keluhan tersebut kumat-kumatan dan diderita sejak umur 3 th, berarti radang
tonsil dan pharynx tersebut termasuk proses radang kronis. Penderita sudah berobat ke
puskesmas setempat beberapa kali, tapi belum ada perbaikan mungkin dikarenakan
ISPA yang berulang sehingga inflamasi pada tonsil dan pharynx juga kembali terjadi secara
berulang. Suara serak yang kemudian muncul menandakan bahwa plica vocalis yang
hiperemis dan edema terjadi sebagai akibat penjalaran proses inflamasi yang telah sampai
pada larynx.
Mukosa edem, hiperemi, beringus pada hidung merupakan tanda inflamasi pada
hidung yang terjadi akibat ISPA berulang. Membrana timpani retraksi pada telinga terjadi
akibat tekanan negative pada cavum tympani sebagai konsekuensi dari obstruksi tuba akibat
pembesaran adenoid yang menutup OPTAE di nasopharynx.
Pembesaran tonsil T2-T2 fibrosis menandakan tonsillitis yang berulang sehingga
dalam proses penyembuhan jaringan berubah menjadi jaringan parut. Tonsilla palatine yang
terdapat banyak cripte menyebabkan sisa makanan mudah tersangkut sehingga menjadi
predisposisi terjadinya infeksi. Cripte melebar terdapat detritus menjadi penanda sisa-sisa
infeksi. Adenoid tampak menonjol merupakan akibat dari hipertrofi adenoid yang
kemudian menutup OPTAE, selain itu terdapat kemungkinan inflamasi akibat penjalaran
infeksi yang ditandai oleh hiperemi adenoid. Mukosa faring hiperemis merupakan tanda
terjadinya penjalaran infeksi dan inflamasi ke pharynx.
Pemeriksaan ASTO= +, menunjukkan bahwa infeksi terjadi akibat bakteri
Streptococcus beta haemolyticus yang sering menyebabkan tonsillitis. Lekositosis, LED
meningkat menunjukkan hasil pemeriksaan laboratorium yang merujuk kepada proses
infeksi. Adanya infeksi meningkatkan system pertahanan tubuh, sehingga terjadi peningkatan
leukosit, sehingga kemudian juga meningkatkan jumlah komponen sel darah dalam plasma,
sehingga darah lebih cepat mengendap. Dugaan terjadinya hipertrofi adenoid juga semakin
kuat karena pada pemeriksaan rontgen nasofaring terlihat adenoid membesar.
Penatalaksanaan pasien dalam kasus dapat berupa terapi kausatif, simtomatik, dan suportif
atau rehabilitatif. Terapi kausatif dapat berupa antibiotik sesuai dengan bakteri penyebab dan
tonsilektomi. Terapi simtomatik berupa analgesik dan antipiretik, serta terapi suportif berupa
obat kumur untuk menjaga kebersihan oral.

Anda mungkin juga menyukai