Anda di halaman 1dari 25

Puncak-Puncak Bahasa Melayu (1)

oleh: Abdul Malik


SIAPAKAH yang mengusulkan bahasa Melayu dijadikan bahasa persatuan bangsa
Indonesia setelah merdeka kelak? Ternyata, usul itu berasal dari R.M. Soewardi
Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) dalam makalahnya yang disampaikan pada 28
Agustus 1916 dalam Kongres Pengajaran Kolonial di Den Haag, Belanda. Setelah itu,
pada Kongres I Pemuda Indonesia muncul dua pendapat untuk nama bahasa nasional
Indonesia. Muh. Yamin mengusulkan nama bahasa Melayu, sebagaimana nama
asalnya, sedangkan M. Tabrani mengusulkan nama baru untuk bahasa itu yaitu bahasa
Indonesia. Alhasil, Kongres I Pemuda Indonesia itu pada 26 Mei 1926 menyetujui nama
bahasa Indonesia seperti yang diusulkan M. Tabrani.

Bahasa Indonesia berasal dari atau adalah juga bahasa Melayu tak ada keraguan atau
bantahan dari pihak mana pun karena memang itulah kenyataannya. Akan tetapi,
kawasan bahasa Melayu di dunia ini sangat luas dan variasi bahasa Melayu juga tak
sedikit. Ditinjau dari sudut geografis, banyak sekali dialek Melayu yang tersebar di
nusantara ini. Dengan demikian, bahasa Melayu dialek manakah yang diangkat
menjadi bahasa Indonesia? Tulisan ini berusaha mengungkap perkara yang mustahak
itu.

Puncak Pertama: Zaman Sriwijaya

Bahasa Melayu merupakan salah satu bahasa alamiah (bahasa linguistik) di antara
5.000-an bahasa alamiah yang ada di dunia ini. Sejak bila tepatnya bahasa Melayu
dikenal di muka bumi ini tak ada orang yang mengetahuinya dengan pasti setakat ini.
Walaupun begitu, dari sumber prasejarah, diyakini bahwa bahasa Melayu telah
digunakan oleh bangsa Melayu sejak 4.000 tahun silam. Keyakinan itu didasari oleh
kenyataan bahwa pada abad ketujuh (Sriwijaya) bahasa Melayu sudah mencapai
kejayaannya. Tak ada bahasa di dunia ini yang dapat berjaya secara tiba-tiba tanpa
melalui perkembangan tahap demi tahap.

Sejauh yang dapat ditelusuri, puncak pertama kejayaan bahasa Melayu terjadi sejak
abad ketujuh (633 M) sampai dengan abad keempat belas (1397 M.) yaitu pada masa
Kemaharajaan Sriwijaya. Menurut Kong Yuan Zhi (1993:1), pada November 671 Yi Jing
(635713), yang di Indonesia lebih dikenal sebagai I-tsing, berlayar dari Guangzhou
(Kanton) menuju India dalam kapasitasnya sebagai pendeta agama Budha. Kurang dari
dua puluh hari ia sampai di Sriwijaya, yang waktu itu sudah menjadi pusat pengkajian
ilmu agama Budha di Asia Tenggara. Di Sriwijayalah selama lebih kurang setengah
tahun Yi Jing belajar sabdawidya (tata bahasa Sansekerta) sebagai persiapan
melanjutkan perjalanannya ke India. Setelah tiga belas tahun belajar di India
(Tamralipiti/Tamluk), ia kembali ke Sriwijaya dan menetap di sana selama empat tahun
(686689) untuk menyalin kitab-kitab suci agama Budha. Setelah itu ia kembali ke
negerinya, tetapi pada tahun yang sama ia datang kembali ke Sriwijaya dan menetap di
sana sampai 695.

Dari catatan Yi Jing itulah diketahui bahasa yang disebutnya sebagai bahasa Kunlun,
yang dipakai secara luas sebagai bahasa resmi kerajaan, bahasa agama, bahasa ilmu
dan pengetahun, bahasa perdagangan, dan bahasa dalam komunikasi sehari-hari
masyarakat. Yi Jing menyebutkan bahwa bahasa Kunlun telah dipelajari dan dikuasai
oleh para pendeta agama Budha Dinasti Tang. Mereka menggunakan bahasa Kunlun
untuk menyebarkan agama Budha di Asia Tenggara. Dengan demikian, bahasa Kunlun
menjadi bahasa kedua para pendeta itu. Ringkasnya, bahasa Kunlun merupakan
bahasa resmi Kemaharajaan Sriwijaya dengan seluruh daerah taklukannya yang
meliputi Asia Tenggara. Pada masa itu bahasa Kunlun telah menjadi bahasa
internasional. Ternyata, bahasa Kunlun yang disebut Yi Jing dalam catatannya itu ialah
bahasa Melayu Kuno.

Pada masa Sriwijaya itu bahasa Melayu telah bertembung dengan bahasa Sansekerta
yang dibawa oleh kebudayaan India. Bangsa India menyebut bahasa Melayu sebagai
Dwipantara sejak abad pertama masehi lagi (Levi, 1931 dalam Hassim dkk., 2010:3).
Pertembungan dengan bahasa Sansekerta menyebabkan bahasa Melayu mengalami
evolusi yang pertama. Bahasa Melayu telah berkembang menjadi bahasa ilmu
pengetahuan dan mampu menyampaikan gagasan-gagasan baru yang tinggi, yang
sebelumnya tak ada dalam kebudayaan Melayu (lihat Ismail Hussein, 1966:1011).

Dari perenggan di atas jelaslah bahwa bahasa Melayu (Kuno) sudah tersebar luas di
Asia Tenggara dan mencapai puncak kejayaan pertamanya sejak abad ketujuh karena
digunakan sebagai bahasa resmi Kemaharajaan Sriwijaya. Itu pulalah sebabnya,
bahasa Melayu mampu menjadi lingua franca dan menjadi bahasa internasional di Asia
Tenggara. Masa Sriwijaya itu dikenal sebagai tradisi Melayu-Budha dengan
peninggalannya berupa prasasti-prasasti di Kedukan Bukit, Palembang (tahun Saka
605 = 683 M.), di Talang Tuwo, Palembang (tahun Saka 606 = 864 M.), di Kota Kapur,
Bangka (tahun Saka 608 = 686 M.), di Karang Berahi, hulu Sungai Merangin (tahun
Saka 608 = 686 M.). Semua prasasti itu menggunakan huruf Pallawa (India Selatan)
dan bercampur dengan kata pungut dari bahasa Sansekerta.

Puncak Kedua: Zaman Melaka

Setelah masa kegemilangan dan kecemerlangan Sriwijaya meredup, pusat tamadun
Melayu berpindah-pindah. Perpindahan itu dimulai dari Bintan, Melaka, Johor, Bintan,
Lingga, dan Penyengat Indrasakti.

Antara abad ke-12 hingga abad ke-13 berdirilah kerajaan Melayu di Selat Melaka.
Kerajaan Melayu tua itu dikenal dengan nama Kerajaan Bintan-Temasik, yang wilayah
kekuasaannya meliputi Riau dan Semenanjung Tanah Melayu. Sesudah masa Bintan-
Temasik inilah termasyhur pula Kerajaan Melaka sejak abad ke-13.

Pada awal abad kelima belas Kerajaan Melaka sudah menjadi pusat perdagangan
dunia di sebelah timur yang maju pesat. Para saudagar yang datang dari Persia,
Gujarat, dan Pasaisambil berniagajuga menyebarkan agama Islam di seluruh
wilayah kekuasaan Melaka. Tak hanya itu, mereka pun menyebarkan bahasa Melayu
karena penduduk tempatan yang mereka kunjungi tak memahami bahasa para
pedagang itu, begitu pula sebaliknya. Jalan yang harus ditempuh ialah menggunakan
bahasa Melayu. Bersamaan dengan masa keemasan Melaka ini, dimulailah tamadun
Melayu-Islam. Bahasa Melayu pun mendapat pengaruh bahasa Arab dan bangsa-
bangsa pedagang itu (Arab, Parsi, dan lain-lain) menjadikannya sebagai bahasa kedua
mereka.

Menurut Ensiklopedia Bahasa Utama Dunia (1998:56), ulama Gujarat seperti Nuruddin
al-Raniri berkarya dan berdakwah dengan menggunakan bahasa Melayu. Begitu pula
Francis Xavier yang menyampaikan summon dalam bahasa Melayu ketika beliau
berada di Kepulauan Maluku. Masuknya Islam ke dunia Melayu makin meningkatkan
bahasa Melayu sebagai bahasa internasional dalam dunia Islam dan menjadi bahasa
kedua terbesar setelah bahasa Arab (www.prihatin.net).

Pada masa kejayaan Melaka itu bahasa dan kesusastraan Melayu turut berkembang.
Bahasa Melayu menjadi bahasa resmi kerajaan, bahasa perdagangan, bahasa ilmu dan
pengetahuan, di samping bahasa perhubungan sehari-hari rakyat. Bahasa Melayu yang
berkembang pada zaman Melaka ini disebut bahasa Melayu Melaka. Malangnya, pada
1511 Kerajaan Melaka dapat ditaklukkan oleh Portugis dan lebih tragis lagi, khazanah
kebudayaan zaman Melaka itu musnah terbakar ketika terjadi penyerbuan oleh
penjajah itu.
(Bersambung)

















Asal Usul Bahasa Melayu

Asal usul perkataan Melayu masih belum dapat disahkan oleh sejarawan.
Bagaimanapun terdapat beberapa bukti sejarah yang cuba mengaitkan asal-usul
bahasa Melayu, seperti mana berikut:
1. Catatan orang China yang menyatakan bahawa sebuah kerajaan Mo-lo-yeu
mempersembahkan hasil bumi kepada raja China sekitar 644-645 Masihi.
Dikatakan orang Mo-lo-yeu mengirimkan Utusan ke negara China untuk
mempersembahkan hasil-hasil bumi kepada raja China.
2. Ada yang mempercayai kerajaan Mo-lo-yeu berpusat di daerah Jambi, Sumatera ,
daripada sebatang sungai yang deras alirannya, iitu Sungai Melayu.
3. Satu lagi catatan orang China ialah catatan rahib Buddha bernama I-Tsing yang
menggunakan kata ma-lo-yu tentang dua buah kerajaan yang dilawatinya sekitar 675
Masihi.
4. Dalam bahasa Jawa Kuno, perkataan ``Mlayu'' bermaksud berlari atau mengembara.
Hal ini boleh dipadankan dengan orang Indo-Melayu (Austonesia) yang bergerak dari
Yunan.


Asal Usul Bangsa Melayu
Dipercayai berasal daripada golongan Austronesia di Yunan.
Kumpulan pertama dikenali sebagai Melayu Proto.
Berpindah ke Asia Tenggara pada Zaman Batu Baru (2500 Sebelum Masihi)
Keturunannya Orang Asli di Semenanjung Malaysia, Dayak di Sarawak dan Batak di
Sumatera.
Kumpulan kedua dikenali sebagai Melayu Deutro
Berpindah ke Asia Tenggara pada Zaman Logam kira-kira 1500 Sebelum Massihi.
Keturunannya orang Melayu di Malaysia
Dikatakan lebih bijak dan dan mahir daripada Melayu Proto.
Bijak dalam bidang astronomi, pelayaran dan bercucuk tanam.
Bilangan lebih banyak daripada Melayu Proto.
Menduduki kawasan pantai dan lembah di Asia Tenggara.
Orang ini, kumpulan pertama dan kedua, dikenali sebagai Austronesia.
Bahasa-bahasa yang terdapat di Nusantara sekarang berpunca daripada bahasa
Austronesia ini.


Nik Safiah Karim menerangkan bahawa bahasa Austronesia ialah satu rumpun bahasa
dalam filum bahasa Austris bersama-sama dengan rumpun bahasa Austroasia dan
Tibet-China (rujuk carta alir di atas).
Bahasa Melayu termasuk dalam bahasa-bahasa Golongan Sumatera bersama-sama
dengan bahasa-bahasa Acheh, Batak, Minangkabau, Nias, Lampung dan Orang Laut.

Perkembangan Bahasa Melayu
Ahli bahasa membahagikan perkembangan bahasa Melayu kepada tiga tahap utama
iaitu:
Bahasa Melayu Kuno,
Bahasa Melayu Klasik dan
Bahasa Melayu Moden.

Bahasa Melayu Kuno
Merupakan keluarga bahasa Nusantara
Kegemilangannya dari abad ke-7 hingga abad ke-13 pada zaman kerajaan Sriwijaya,
sebagai lingua franca dan bahasa pentadbiran.
Penuturnya di Semenanjung, Kepulauan Riau dan Sumatera.
Ia menjadi lingua franca dan sebagai bahasa pentadbiran kerana:
Bersifat sederhana dan mudah menerima pengaruh luar.
Tidak terikat kepada perbezaan susun lapis masyarakat
Mempunyai sistem yang lebih mudah berbanding dengan bahasa Jawa.
Banyak dipengaruhi oleh sistem bahasa Sanskrit. Bahasa Sanskrit kemudian dikenal
pasti menyumbang kepada pengkayaan kosa kata dan ciri-ciri keilmuaan (kesarjanaan)
Bahasa Melayu.
Bahasa Melayu mudah dipengaruhi Sanskrit kerana:
Pengaruh agama Hindu
Bahasa Sanskrit terletak dalam kelas bangsawan, dan dikatakan mempunyai
hierarki yang tinggi.
Sifat bahasa Melayu yang mudah dilentur mengikut keadaan dan keperluan.
Bahasa Melayu kuno pada batu-batu bersurat abad ke-7 yang ditulis dengan huruf
Pallawa:
Batu bersurat di Kedukan Bukit, Palembang (683 M)
Batu bersurat di Talang Ruwo, dekat Palembang (684 M)
Batu bersurat di Kota Kampur, Pulau Bangka (686 M)
Batu bersurat di Karang Brahi, Meringin, daerah Hulu Jambi (686 M)
Bahasa Melayu kuno pada batu bersurat di Gandasuli, Jawa Tengah (832 M) ditulis
dalam huruf Nagiri.
Ciri-ciri bahasa Melayu kuno:
Penuh dengan kata-kata pinjaman Sanskrit
Susunan ayat bersifat Melayu
Bunyi b ialah w dalam Melayu kuno (Contoh: bulan - wulan)
bunyi e pepet tidak wujud (Contoh dengan - dngan atau dangan)
Awalan ber- ialah mar- dalam Melayu kuno (contoh: berlepas-marlapas)
Awalan di- ialah ni- dalam bahasa Melayu kuno (Contoh: diperbuat - niparwuat)
Ada bunyi konsonan yang diaspirasikan seperti bh, th, ph, dh, kh, h (Contoh:
sukhatshitta)
Huruf h hilang dalam bahasa moden (Contoh: semua-samuha, saya: sahaya)

Peralihan Bahasa Melayu Kuno Ke Bahasa Melayu Klasik
Peralihan ini dikaitkan dengan pengaruh agama Islam yang semakin mantap di Asia
Tenggara pada abad ke-13.
Selepas itu, bahasa Melayu mengalami banyak perubahan dari segi kosa kata, struktur
ayat dan tulisan.
Terdapat tiga batu bersurat yang penting:
a. batu bersurat di Pagar Ruyung, Minangkabau (1356)
ditulis dalam huruf India
mengandungi prosa melayu kuno dan beberapa baris sajakm Sanskrit.
bahasanya berbeza sedikit daripada bahasa batu bersurat abad ke-7.
b. Batu bersurat di Minye Tujuh, Acheh (1380)
masih memakai abjad India
buat pertama kalinya terdapat penggunaan kata-kata Arab seperti kalimat nabi,
Allah dan rahmat
c. batu bersurat di Kuala Berang, Terengganu (1303-1387)
ditulis dalam tulisan Jawi
membuktikan tulisan Arab telah telah digunakan dalam bahasa Melayu pada
abad itu.
Ketiga-tiga batu bersurat ini merupakan bukti catatan terakhir perkembangan bahasa
Melayu kerana selepas abad ke-14, muncul kesusasteraan Melayu dalam bentuk
tulisan.

Bahasa Melayu Klasik
Kegemilangannya boleh dibahagikan kepada tiga zaman penting:
Zaman kerajaan Melaka
Zaman kerajaab Acheh
Zaman kerajaan Johor-Riau
Antara tokoh-tokoh penulis yang penting ialah Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-
Sumaterani, Syeikh Nuruddin al-Raniri dan Abdul Rauf al-Singkel.
Ciri-ciri bahasa klasik:
ayat: panjang, berulang, berbelit-belit.
banyak ayat pasif
menggunakan bahasa istana
kosa kata klasik: ratna mutu manikam, edan kesmaran (mabuk asmara), sahaya,
masyghul (bersedih)
banyak menggunakan perdu perkataan (kata pangkal ayat): sebermula, alkisah,
hatta, adapun.
ayat songsang
banyak menggunakan partikel ``pun'' dan `'lah''

Bahasa Melayu Moden
Bermula pada abad ke-19. Hasil karangan Munsyi Abdullah dianggap sebagai
permulaan zaman bahasa Melayu moden.
Sebelum penjajahan Beritish, bahasa Melayu mencapai kedudukan yang tinggi,
berfungsi sebagai bahasa perantaraan, pentadbiran, kesusasteraan, dan bahasa
pengantar di pusat pendidikan Islam.
Selepas Perang Dunia Kedua, British merubah dasar menjadikan bahasa Inggeris
sebagai pengantar dalam sistem pendidikan.
Semasa Malaysia mencapai kemerdekaan, Perlembagaan Persekutuan Perkara 152
menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan.
Akta Bahasa Kebangsaan 1963/1967 menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa
rasmi negara. Laporan Razak 1956 mencadangkan bahasa Melayu sebagai pengantar
dalam sistem pendidikan negara.


Sumbangan Naskah Kuno Daerah Riau bagi Pembinaan dan Penyatuan Bahasa
Melayu

Oleh: U. U. Hamidy[2]
Sejarah telah memberi bukti yang jelas bagaimana peranan bahasa Melayu di Asia
Tenggara, baik sebelum kedatangan kekuatan asing (penjajah), maupun setelah
kedatangannya. Posisinya sebagai salah satu bagian dari rumpun bahasa Melayu
Polinesia seperti yang dibuktikan oleh Wilhelm von Humboldt, atau disebut juga rumpun
Austronesia oleh W. Schmidt (C. A. Mees, Tatabahasa Indonesia, 1954). Sifat bangsa
Melayu yang pelaut dan suka berdagang, merupakan latar belakang sejarah yang
memberi peluang besar baginya untuk berkembang. Tetapi sungguhpun demikian,
bahasa ini tidak tersebar secara luas jika tidak persebarannya tidak didukung oleh
pusat kekuasaan dan kebudayaan.
Sedikitnya ada lima pusat penyebaran bahasa Melayu yang cukup menentukan bagi
wajahnya sekarang ini. Pertama, kerajaan maritim Sriwijaya. Sriwijaya telah memakai
bahasa Melayu sebagai bahasa resmi, bahasa dagang dan bahasa agama serta ilmu
pengetahuan. Sebagai bahasa resmi, maka perluasan kekuasaan Sriwijaya juga
menjadi perluasan pemakaian bahasa Melayu. Ini terjadi hampir sekitar lima abad, yaitu
abad ke-6 sampai ke-11 M. Peranan Sriwijaya sebagai pusat perdagang di Asia
Tenggara pada masa itu, tentu juga berpengaruh kuat bagi perkembangan bahasa
Melayu, sebab semua interaksi dagang terjadi dalam bahasa ini. Agaknya peranan
Sriwijaya sebagai pusat dagang merupakan cakal bakal bagi bahasa Melayu yang
kelak menjadi bahasa lingua franca di Asia Tenggara. Selain lain, zaman Sriwijaya juga
memberikan peluang yang cukup besar bagi pertumbuhan bahasa Melayu.
Hubungannya dengan bahasa Sanskrit, disebabkan oleh kehadiran agama kebudayaan
yang datang dari India, menyebabkan bahasa ini mendapat peluang memperkaya
dirinya. Hubungan dua bahasa itu berada dalam keadaan saling menguntungkan.
Bahasa Sanskerta memerlukan bahasa Melayu untuk mencernakan gagasan dan
falsafat agama-kebudayaan Hindu-Buddha, sedangkan bahasa Melayu memperoleh
penyegaran budaya.
Kuatnya kedudukan Sriwijaya dalam bidang kekuasaan, perdagangan, dan agama
serta kebudayaan, menyebabkan bahasa Melayu juga mendapat kedudukan yang
penting. Bagaimanapun juga sifat kekuasaan dan iklim budaya semasa itu,
meniscayakan perluasan dan pertumbuhan bahasa Melayu merupakan pangkal bagi
pembentukan citra budaya Nusantara.
Setelah Sriwijaya, kita mendengar pula peranan Pasai di Aceh yang cukup jaya pada
abad ke-12 M, yang diikuti kemudian dengan lebih kukuh oleh kerajaan Aceh
Darussalam dalam abad-abad berikutnya. Meskipun daerah ini memakai bahasa Aceh
dalam pergaulan masyarakat sehari-hari, namun telah terjadi suatu hal yang aneh
dalam penerimaan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi dengan pihak luar. Dan, satu
lagi yang lebih penting, karya-karya dalam bidang agama dan ilmu pengetahuan telah
menjadikan bahasa Melayu sebagai sarananya. Kenyataan ini tampaknya tidak terlepas
dari kenyataan tentang peranan dan dominasi bahasa Melayu ketika itu dalam
pergaulan masyarakat di Asia Tenggara -seperti yang telah berlaku pada masa
kerajaan Sriwijaya, sehingga pihak Pasai-Aceh dengan begitu arif memilih jalan bagi
kepentingan pengaruhnya serta bagi kepentingan penyebaran agama dan budaya
Islam. Kalaulah karya-karya Hamzah Fansuri, Shamsuddin Al-Sumatrani, dan Nuruddin
Ar-Raniri tidak dituliskan dalam bahasa Melayu, gema dari kerajaan Aceh Darussalam,
agaknya tidak akan secemerlang itu.
Bagi bahasa Melayu sendiri, peranan Pasai-Aceh itu cukup menentukan dalam langkah
awal pembinaan bahasa Melayu. Jika pada masa Sriwijaya bahasa ini telah dikodekan
dengan menggunakan abjad dari India, seperti huruf Pallawa dan Dewanagari, maka
semasa Pasai-Aceh, ulama dan pujangga Islam di kerajaan itu telah menggunakan
abjad Arab untuk mengabadikan karya-karya mereka. Memandang pada jumlah dan
mutu karya-karya dari kerajaan ini, maka nilai-nilai pembinaan dan pengembangan
bahasa Melayu amatlah berharga. Hamzah Fansuri serta murid-muridnya tidak
diragukan lagi telah memperkaya khazanah bahasa Melayu dengan bahasa Arab dan
budaya Islam. Beliaulah agaknya yang telah menjadi orang pertama mengambil inisiatif
membuat tulisan Arab-Melayu Jawi bagi kepentingan penerbitan waktu itu, dengan cara
memanfaatkan abjad Arab. Oleh sebab itu tidaklah berlebihan, kalau Hamzah Fansuri
diberi julukan sebagai sesepuh bahasa Melayu (lihat Gayo Elhak, Hamzah Fansuri
Bapak Bahasa Melayu dalam Yudha Minggu, 26 Ogustus 1984).
Kejayaan Aceh bersambung dengan baik pada belahan Semenanjung Melaka dengan
kejayaan Melaka. Melaka merupakan lanjutan dari kerajaan Bintan Tumasik, yang
kemudian mendapatkan tanah yang subur untuk berkembang di kota pelabuhan itu.
Kerajaan Melayu Melaka, sebagai pusat kekuasaan dan pusat perdagangan,
memainkan peranan yang penting dalam perkembangan bahasa Melayu. Meskipun
dalam hal keilmuan Islam, Melaka masih berguru kepada Aceh, namun peranan Melaka
dalam pengembangan agama Islam dan kebudayaannya tetap tertumpu di Asia
Tenggara. Posisi agama dan budaya Islam yang telah tertanam di Aceh oleh para
ulama dan para penyair, memantapkan kedudukannya dalam zaman Melaka abad ke-
15 dan 16 M. Tampaknya zaman Aceh dan Melaka itulah yang telah membuka pintu
bahasa Melayu yang paling menentukan, sehingga bahasa Melayu menjadi bahasa
ilmu pengetahuan. Pertemuan bahasa Melayu dengan agama dan kebudayaan Islam
telah membuahkan kreativitas jasmani dan rohani para ulama dan pengarang dunia
Melayu, hasilnya bahasa Melayu memantapkan kedudukannya sebagai bahasa
kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Inilah sumbangan terbesar dari Islam kepada
bahasa Melayu, seperti yang pernah juga diulas oleh Syed Muhammad Naquib (lihat
Mana Sikana, Sastra Islam dan Hubungannya dengan Sastra Melayu, Dewan Bahasa,
jilid 20, bilangan 8, 1976). Kehadiran Islam ke dalam bahasa dan budaya Melayu
sesungguhnya telah memberikan suatu citra begitu rupa, yang sebelumnya tidak
pemah dimiliki oleh bahasa dan budaya itu. Islamlah tampaknya yang telah berhasil
membina identitas bahasa dan budaya Melayu dalam bentuk bahasa tinggi, sehingga
bahasa dan budaya Melayu mempunyai tenaga pendorong yang kuat untuk
berkembang. Wajah dan citra Melayu sebelumnya telah dibina kembali oleh agama ini,
sehingga falsafah orang Melayu yang sebelumnya dirumuskan dalam adat istiadat
mereka, kemudian disemak kembali secara mendasar, sehingga menjadi bersendikan
syarak (hukum Islam). Karya-karya sastra yang sebelumnya bercorak Hinduisme,
segera diislamisasikan sehingga seragam dan konsisten dengan citra Islam yang agung
dalam pandangan orang Melayu (lihat U.U. Hamidy, Agama dan Kehidupan dalam
Cerita Rakyat, Bumi Pustaka, 1983).
Pemakaian tulisan Arab-Melayu bagi kepentingan bahasa dan budaya Melayu telah
menimbulkan suatu revolusi kebudayaan dalam dunia kreativitas kebudayaan Melayu.
Didahului oleh penyair besar Hamzah Fansuri serta murid-murid dan kawan-kawannya,
kreativitas budaya itu berkembang terus hingga zaman Melaka, sehingga
perkembangan zaman mulai diisi dengan karya-karya dalam bahasa Melayu. Tetapi
dari seluruh episode rangkaian kreativitas itu, agaknya yang paling menarik
diperhatikan ialah masa pembinaan dan pengembangan bahasa Melayu dalam riwayat
kerajaan Riau-Lingga. Namun, sebelum kita mengulas hal itu perlulah pula dicatat
terlebih dahulu, bahawa pembinaan bahasa Melayu juga telah berlangsung secara
hampir bersamaan dengan zaman Riau-Lingga itu, di kawasan Minangkabau. Di daerah
itu bahasa Melayu juga telah berkembang subur, sedang karya tulis dalam bahasa
Melayu segera lahir setelah mesin cetak abjad Arab-Melayu sampai ke sana.
Percetakan Al-Yunusiah di Padang Panjang, menjadi satu percetakan yang cukup
besar peranannya dalam pengembangan bahasa dan budaya Melayu, di belahan barat
tersebut.
***
Dimensi pembinaan dan pengembangan bahasa Melayu di kawasan kerajaan Riau-
Lingga (selepas terpisah dengan Johor-Pahang oleh kemajuan Singapura dan
Perjanjian London 1824) memang merupakan suatu sesi yang amat penting dan patut
disimak begitu rupa, bagi kepentingan menyegarkan kembali iklim kreativitas serta
memperbaiki kualitas bahasa Melayu di Asia Tenggara ketingkat yang lebih matang.
Zaman kerajaan Riau semenjak pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20, menjadi
zaman kreativitas bahasa dan budaya Melayu berkembang cukup subur.
Sebelum melangkah kepada pembicaraan itu, ingin dijelaskan terlebih dahulu pokok
pangkal yang telah memberi dasar dan makna kepada pelbagai ragam kegiatan tadi.
Selepas abjad Arab-Melayu mulai dikembangkan dari zaman kerajaan Aceh, berlanjut
terus kepada tradisi Melaka dan Johor, maka Raja Ali Haji kembali memantapkannya
dengan menyusun beberapa kitab dalam bidang bahasa (seperti Bustanul-Katibin, 1857
dan Kitab Pengetahuan Bahasa, 1859) sehingga bahasa Melayu mendapatkan
standarisasi yang lebih memadai. Pembinaan bahasa itu tidak berhenti dengan
berakhirya hayat pengarang tersebut, tetapi berlanjut pula kepada generasi di
belakangnya. Beberapa penulis di kawasan Riau meneruskan dunia kreativitas Raja Ali
Haji, sehingga bahasa dan budaya Melayu di Riau makin jelas wujudnya.
Tentang Raja Ali Haji, kita memang patut memberikan ulasan yang lebih luas, sebab
kesadaran sejarah yang pernah tumbuh subur dalam diri datuknya, Raja Fisabilillah
atau Marhum Teluk Ketapang itu, ternyata menyala terus dalam semangat dan hujung
penanya. Dia dengan begitu baik telah membuka pintu yang lebar kepada para penulis
di kawasan Riau-Lingga (yang sebagian besar adalah saudara dan anak cucunya)
sehingga kehadirannya sebagai seorang intelektual Melayu semasa itu dapat
memainkan peranan yang cukup bererti (lihat U.U. Hamidy dll. Pengarang Melayu
dalam Kerajaan Riau dan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dalam Sastra Melayu,
1981).
Dia seorang pemikir Melayu, yang dengan kesadaran budaya yang begitu kuat telah
banyak menumpukan perhatiannya kepada masalah masyarakat dan budaya
lingkungannya, namun dia bukanlah seorang xenopobi. Dia menggali dan mencari
pelbagai sumber, bagi minuman batinnya, sehingga tampak keluasan dan keragaman
pikirannya.
Perhatiannya yang khas terhadap bahasa Melayu, jelas berpangkal dari kesadaran dan
tanggungjawab sosio-budayanya. Dia menyesali kecenderungan kalangan Melayu
meniru bahasa Inggris dan Belanda, dengan menggunakan kata-kata seperti bilang
untuk maksud katakan, cakap (bicara) dan kata kasi tahu yang seharusnya beritahu
(lihat Anthony Reid & David Marr, Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka, 1983). Sebab, dia
memandang kerusakan bahasa akan memberikan pula kerusakan kepada masyarakat,
sebagaimana Sayyidina Ali bin Abi Talib memandang kerusakan masyarakat dapat
tercermin dari kerusakan bahasa.
Ada tiga titik tumpuan perhatian Raja Ali Haji sebagai cendekiawan Riau yang paling
depan. Dia membina bahasa Melayu sebegitu rupa, sehingga pemakaian bahasa
Melayu semakin bernilai standar. Hal ini dilakukannya dengan menulis kitab tata
bahasa Melayu, kamus dan menulis syair. Kemudian dia menulis sejarah. Jika dalam
karya bahasa dan sastra, pengarang ini memberikan tanggungjawab intelektualnya
terhadap kebudayaan Melayu, maka dalam bidang sejarah, Raja Ali Haji telah
memperlihatkan bagaimana tanggungjawabnya terhadap masyarakat. Dia mengkritik
bagaimana pertumpahan darah dan perebutan kekuasaan antara raja-raja Melayu, baik
yang berasal dari darah Melayu maupun Bugis dan campurannya. Dia menceritakan
dan memaparkan, sekaligus juga mengkritik, bagaimana hawa nafsu lebih banyak
dipergunakan daripada hati dan fikiran, demi untuk kepentingan pribadi raja-raja itu.
Akibatnya, masyarakat dan kerajaanlah yang menderita. Ini semuanya tergambar
dengan baik dalam kitabnya Tuhfat al-Nafis.
Barangkali, oleh kesadaran budaya dan rasa tanggungjawab yang besar akan
keselamatan masyarakat dan kerajaan itulah, maka pengarang Riau ini memandang
perlu menulis lagi beberapa kitab mengenai pedoman pemerintahan bagi raja-raja,
seperti Muqaddima Fi Intizam dan Thamarakat al-Mihmah. Dengan hukum yang
berlandaskan Islam, Raja Ali Haji hendak meluruskan jalan kehidupan penguasa dan
masyarakat, sehingga segalanya berlaku atas hukum yang benar. Dalam pandangan
Raja Ali Haji, semakin taat seorang hamba kepada Allah, akan semakin tentramlah
masyarakat; sedang kembalikannya akan menimbulkan konflik yang tidak
berkesudahan. Riau pada masa itu, mengutip tulisan Barbara Watson Andaya dan
Virginia Matheson, beruntung dipimpin oleh orang-orang yang berilmu. Dalam hal ini,
sumbangan Raja Ali Haji tidaklah kecil. Diperolehnya sumpah setia antara pihak Melayu
dan Bugis, yang menjadi suatu hal yang nyata, bagaimana kritik-kritik Raja Ali Haji
dalam berbagai kitabnya telah diperindahkan.
Dari keadaan ini, maka Raja Ali Haji dilihat bagaikan satu kekuatan besar yang telah
mendorong kreativitas dalam bidang ilmu dan pemikiran keagamaan dalam zamannya.
Dia tidak hanya sekadar seorang pemikir yang terpisah dan sepi dari masyarakatnya,
tetapi seorang cendekiawan yang langsung berfikir dan berbuat bagi kepentingan hidup
bersama. Karya-karyanya yang ada sekitar sepuluh buah (lihat antara lain, U.U.
Hamidy, Riau Sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan Melayu, 1983) akan tetap
menjadi bahan-bahan yang berharga terhadap kepentingan sejarah, sosio-budaya dan
agama, dalam dimensi kehidupan bangsa-bangsa di Asia Tenggara.
Jerih payah dan kreativitas dari Raja Ali Haji dalam bidang sastra, bahasa, agama dan
kebudayaan lainnya, telah memberikan perspektif yang cerah kepada para pengarang
dan cendekiawan setelahnya. Tidak lama setelah ia meninggal (diperkirakan meninggal
pada tahun 1870), maka muncullah generasi pengarang dan cendekiawan muda di
kawasan kerajaan Riau dan daerah sekitarnya. Perhatian mereka yang sungguh-
sungguh dalam bidang bahasa dan kebudayaan, serta perhatiannya yang istimewa
terhadap agama Islam, telah menubuhkan suatu kegiatan kebudayaan yang amat besar
artinya. Dalam lapangan agama, tarikat Naqsyahbandiyah telah menjadi semacam
tarikat yang diakui resmi oleh kerajaan, sebab temyata raja-raja Riau telah
menerimanya dengan baik, bahkan ada yang sampai menjadi khalifah tarikat tersebut
(lihat karangan Abu Hassan Sham, dalam kumpulan karangan bersama Tamadun Islam
di Malaysia, 1980). Dalam hal kebudayaan, maka Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi
telah membuat satu perpustakaan, yang kemudian terkenal dengan nama Khutub
Khanah Marhum Ahmadi (yang pada penghujung abad ke-19 itu nilai kitab-kitab
perpustakaannya ada yang seharga 10,000 dollar). Tetapi yang amat penting dalam
uraian ini adalah terbentuknya satu perkumpulan penulis dan cendekiawan yang berada
di Riau, yang diberi nama Rusydiah Klab.
Perkumpulan kaum cendekiawan di Riau yang bernama Rusydiah Klab, harus diakui
memang telah digerakkan oleh para keturunan raja-raja Riau, yang masa itu
merupakan kalangan cerdik pandai. Di antara mereka yang sangat menonjol, baik
gagasan maupun buah karyanya ialah Raja Ali Kelana, Raja Khalid Hitam dan Raja
Abdullah. Perkumpulan ini ternyata tidak bersifat ke daerahan yang sempit, sebab
ternyata kaum cendekiawan yang berasal dari luar daerah Riau juga ikut serta sebagai
anggota.
Kegiatan Rusydiah Klab tidak hanya terbatas kepada kegiatan intelektual dalam ilmu
pengetahuan dan agama, tetapi juga terlibat dalam kepentingan politik praktis kerajaan
Riau (sehingga sebagian dari gerak langkahnya tidak dapat diketahui dengan jelas,
karena dirahasiakan) namun nilainya bagi kemajuan bahasa dan budaya Melayu cukup
berarti. Perkumpulan ini telah membedakan antara anggota yang senior (teras) dengan
anggota muda. Setiap anggota muda hendaklah mempromosikan hasil karyanya dalam
bentuk karya bertulis, untuk menduduki anggota teras. Hal ini menjadi tanda,
bagaimana karya seseorang dalam bidang ilmu dan budaya telah menjadi ukuran
penting untuk memandangnya sebagai seorang cendekiawan. Upaya Rusydiah Klub, di
samping mendorong dan menerbitkan karya-karya para anggotanya, juga telah
menterjemahkan dan mencetak kembali karya-karya yang mereka anggap cukup
berguna buat masa itu. Tentulah memandang kepentingan serupa itu, mereka dengan
kerjasama pihak kerajaan Riau telah berhasil membuat percetakan yang diberi nama
Mathbaat al-Riauwiyah atau Mathbaat al-Ahmadiyah sekitar tahun 1894. Kelak,
setelah percetakan itu tidak berfungsi setelah kerajaan Riau dihapuskan oleh Belanda
pada tahun 1913, maka mereka membuat percetakan sekaligus penerbitan di
Singapura yang diberi nama Al-Ahmadiyah Press, sebagai satu bagian dari cabang
syarikat dagang yang mereka dirikan di Pulau Midai.
Adanya Rusydiah Klab, dan berbagai kemudahan yang terbuka bagi kegiatan kreatifitas
kawasan Riau pada penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah memberikan
iklim budaya dan ilmu pengetahuan yang cukup cerah. Gedung Rusydiah Klab yang
berdampingan dengan istana Sultan Riau ketika itu, tentulah menjadi satu pusat
kegiatan cendekiawan Melayu. Tetapi setelah Rusydiah Klab berkurang peranannya
oleh pertentangan yang makin tajam dengan pihak Belanda, yang berakhir dengan
pemakzulan sultan kerajaan Riau -maka masjid Pulau Penyengat, mungkin telah
menggantikan sebagian dari kegiatan itu. Meskipun sebelumnya, tentu juga, telah
mengambil posisi dengan menekankan kepada pendidikan dan kajian Islam. Masjid
Pulau Penyengat telah menyediakan dua ruangan khusus. Satu disediakan bagi para
musafir, yang biasanya para ulama dan cendekiawan, sebagai tempat mereka
menginap. Ruangan yang satu lagi merupakan ruangan mudzakarah, yaitu tempat
diskusi mengenai berbagai masalah agama dan ilmu pengetahuan. Tradisi serupa itu
tentu sedikit banyak memberikan makna bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bahkan sampai mendekati kehadiran Jepang, di Pulau Penyengat masih dapat
bertahan sekolah Madrah Muallimin dan Kolej Islam, di bawah pimpinan Raja Haji
Muhamad Yunus Ahmad.
Itulah berbagai faktor budaya yang telah memberikan kesempatan bagi daerah Riau
mengambil peranan tertentu dalam pembinaan dan pengembangan budaya Melayu.
Mulai dari masa Raja Ali Haji, sampai masa Rusydiah Klab dan berakhir dengan masa
kejayaan Al-Ahmadiah Press di Singapura hingga masa kedatangan Jepang, maka
daerah Riau telah mewariskan sejumlah karya tulis, yang dewasa ini telah dicetak
dengan menggunakan huruf Arab-Melayu, sedangkan sebagian masih dalam bentuk
naskah tulisan tangan, juga dengan huruf yang sama. Untuk mengetahui dengan lebih
saksama, marilah kita kutip hasil penelitian tahun 1982 (dikutip daripada hasil penelitian
U.U. Hamidy dll., Naskah Kuno Daerah Riau, Projek IDKD Daerah Riau 1982/198.
01 Jumlah Naskah : Jumlah besar 108 buah

: Jumlah judul 101 judul

02 Jumlah Pengarang : Anak jati Riau 22 orang

: Bermastautin di Riau 4 orang

: Luar Riau 28 orang

02 Naskah dan pengarang : Dikenal pengarangnya, 98 buah naskah

: Tidak dikenal 10 buah naskah

03 Jenis Pengarang : Laki-laki 89 buah naskah

: Perempuan 4 buah naskah

: Tidak diketahui 5 buah naskah

: Orang biasa 51 buah naskah

: Bangsawan 43 buah naskah

: Tidak diketahui 14 buah naskah

: Anak jati Riau 71 buah naskah

: Bermastautin di Riau 6 buah naskah

: Luar Riau 21 buah naskah

: Tidak diketahui 10 buah naskah

04 Bahasa Naskah : Bahasa Melayu 90 buah naskah

: Bahasa Arab 15 buah naskah

: Perancis 1 buah naskah

: Bahasa Arab dan Melayu 2 buah naskah

05 Bentuk Salinan : Tercetak 87 buah naskah

: Manuskrip 20 buah naskah

: Diketik 1 buah naskah

06 Tempat penerbitan (asal naskah) : Di Riau 52 naskah

: Daerah lain 35 buah naskah

: Belum diterbitkan 20 buah naskah

: Tidak diketahui di mana diterbitkan 1 buah
naskah

07 Keadaan Naskah : Utuh 90 buah naskah

: Rusak ringan 13 buah naskah

: Rusak berat 5 buah naskah
Pengarang-pengarang Riau dewasa itu, ternyata bukan hanya dari kalangan lelaki saja,
tetapi juga dari kalangan perempuan. Wanita Melayu ketika itu tampaknya juga sedikit
banyak mengambil bagian dalam kegiatan budaya dan ilmu pengetahuan. Jika deretan
nama-nama yang cukup terkenal seperti Raja Ali Haji, Raja Ali Kelana, Raja Hitam
Khalid, Raja Abdullah (Alias Abu Muhammad Adnan) Haji Jaafar bin Abu Bakar Lingga,
Raja Haji Abdullah bin Raja Haji Osman bin Ishak Meral-Karimun, Raja Haji Ahmad
Riau (Haji Ahmad Tabib) Engku Haji Daud (tabib kerajaan Riau Lingga) Haji
Muhammad Kasim bin Haji Muhammad Husin al-Riauwiyah, Raja Jumat, dan Raja
Abdul Mutalib, adalah kalangan cendekiawan dan penulis Riau dari kalangan lelaki,
maka dari kalangan perempuan telah tampil nama-nama seperti Raja Aisyah Sulaiman,
Hadijah Terung, Salamah binti Ambar, dan Raja Zaleha.
(Sementara itu pada belahan rantau Riau lainnya seperti di Kuantan dan Inderagiri, juga
telah menyambung mata pena bekas kerajaan Riau-Lingga itu dengan para pengarang
seperti Tuan Guru Abdurrahman Siddik, Kiyai Abdurrahman Yakub, dan Umar Amin
Husin).
Keragaman naskah kuno daerah Riau, tidak hanya sekadar menggambarkan
keragaman dimensi budaya dan ilmu pengetahuan. Naskah-naskah ini juga telah
menjadi tumpuan para ulama, sebagaimana juga Riau ketika seabad yang lalu menjadi
tumpuan dan tempat bermuara para ulama dan cendekiawan Asia Tenggara. Di Riau
telah terkumpul karya-karya dari pengarang dan ulama yang berasal dari Pattani seperti
karya Amad bin Muhammad Zain bin Mustafa al-Fathani, Abdullah al-Fathani. Dari
belahan Singapura tersimpan karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, dari Sambas
Kalimantan Barat dan karya Al-Syech Muhammad Zainuddin al-Sambawi, dari Banjar
Kalimantan Selatan ada karya Muhammad Thaib ibn Masud al-Banjarat, sedangkan
dari Betawi ada karya Abdullah bin Alwi bin Abdullah bin Muhsin al-Atthas Betawi.
Dengan demikian, dalam kegiatan keagamaan, budaya dan ilmu pengetahuan, daerah
Riau pada penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah menjadi pusat kegiatan
para ulama, penulis dan cendekiawan yang berada di Asia Tenggara, saat itu. Jika kita
sebutkan nama-nama lain, maka kita akan memasukkan lagi berbagai ulama dan
penulis dari kawasan Arab dan Mesir, serta karya-karya bangsa Barat, terutama
Belanda. Sebagian daripada ulama dan cendekiawan itu ada yang bermukim di Riau,
seperti Al-Haj Muhammad Amin bin Muhammad Thahir Al-Minangkabawi, sedangkan
sebagian lagi ada yang pernah berkunjung ke Riau, dan yang lainnya mempunyai
kontak-kontak dengan Riau seperti H van de Waal dan Roorda van Eijsinga.
Kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan di dunia Melayu saat itu, khusunya Riau,
tidaklah sekadar menulis karya-karya sendiri dan menerbitkannya, tetapi juga dilakukan
bentuk-bentuk lain, seperti kerjasama antara beberapa penulis atau ilmuan serta
mengadakan kegiatan lainnya, Dalam upaya memperluas horizon ilmu pengetahuan,
maka anggota-anggota Rusydiah Klab telah menerjemahkan Mana at-Tahyat karya
Sayid al Syarif Abdullah ibni Muhammad Saleh Al Zawawi dari bahasa Arab ke dalam
bahasa Melayu. Begitu pula kitab Kalfiat al-Zikir ala Tariqah al-Naqsahbandiyah, telah
dimelayukan pula dari karya Sayid Syarif Muhammad Saleh bin Syarif Abdul Rahman
al-Zawawi. Masih ada lagi beberapa karya terjemahan, dan penterjemahnya bukan
hanya kaum lelaki seperti Raja Haji Muhammad Said bin Raja Haji Muhammad Thaher
Riau atau Raja Haji Abdullah bin Raja Hasan (Alias Abu Muhammad Adnan) yang
menterjemahkan Syair Syahinsah dan Syair Seribu Satu Hari dari bahasa Arab ke
dalam bahasa Melayu, tetapi juga dijumpai penerjemah wanita, seperti Badriah
Muhammad Thaher yang telah menerjemahkan Adab al-Fatat karya Ali Effenei Fikri
(dari Bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu).
Sementara itu pengarang Riau, Haji Ibrahim telah membuat kitab bacaan untuk sekolah
rendah yang berjudul Cakap-cakap Rampai-Rampai Bahasa Melayu Lahar, dengan
bantuan H. van de Wall.
Uraian di atas memberikan beberapa kesimpulan kepada kita. Pertama daerah Riau
pernah menjadi pusat kegiatan para ulama dan cendekiawan di Asia Tenggara. Kedua,
para ulama dan cendekiawan itu dapat dikatakan mewakili sebagian besar negara-
negara Asean sekarang ini. Ketiga, karya ulama dan pengarang itu telah ditulis dan
banyak yang dicetak atau diterbitkan dengan menggunakan bahasa Melayu dengan
standar Riau, atau standar Riau-Johor dalam huruf Arab-Melayu. Keempat, para ulama
dan cendekiawan itu pernah bekerjasama dalam lapangan agama dan kebudayaan.
Dan kelima, mereka pernah membuat suatu perkumpulan yang bernama Rusydiah Klab
(Perkumpulan Kaum Cendekiawan) di Riau.
Memandang tradisi dan makna karya-karya mereka yang demikian banyak dan cukup
beragam (bidang agama, bahasa, sastra, hukum, sejarah, adat dan pendidikan), maka
karya-karya mereka ini patut dipergunakan untuk membina dan menyatukan kembali
nafas bahasa dan budaya Melayu di rantau Asia Tenggara. Mengambil naskah kuno
daerah Riau yang serupa itu akan besar artinya bagi penyatuan bahasa Melayu.
Pertimbangan itu, pertama-tama atas dasar kedudukan geografi daerah ini, yang boleh
dikatakan terletak di tengah-tengah rantau Asia Tenggara. Sedangkan dari sudut
sejarah, kita dapat memandang peranan yang pernah diambil oleh Riau (Johor, Pahang
dan Lingga) dalam pembinaan bahasa Melayu.
Kajian yang seksama oleh para ilmuan atau cerdik pandai Asean atau Asia Tenggara,
tidak hanya bermanfaat dalam usaha pembinaan dan penyatuan bahasa Melayu di
rantau ini, tetapi juga akan bermanfaat untuk merevitalisasi pelbagai dimensi budaya
Melayu yang pernah hadir di kawasan ini. Bagi Indonesia, Malaysia dan Brunei, bahasa
Melayu telah menjadi salah satu identitas nasional sehingga menjadi alat penyatuan
dalam cita-cita dan aspirasi bersama, sedangkan bagi kawasan Singapura, Thailand
(khususnya daerah Pattani) bahkan juga agaknya bagi daerah Moro di Filipina dan
sekitar 300,000 orang Melayu di Sri Lanka, bahasa Melayu telah menjadi salah satu
bahasa pendukung kebudayaan.
KAWASAN ASIA TENGGARA DALAM DINAMIKA SEJARAH KEBUDAYAAN
Dr. Agus Aris Munandar
Departemen Arkeologi FI B UI

/01/ Fajar Kebudayaan
Kawasan Asia Tenggara pada masa protosejarah sebenarnya merupakan wilayah yang dinamis
dalam perkembangan kebudayaannya. Wilayah tersebut merupakan terminal migrasi bangsa
yang datang dari arah Asia kontinental. Dalam upaya menempati wilayah yang baru saja dihuni,
manusia migran dari daratan Asia mengembangkan kebudayaannya yang akan menjadi dasar
perkembangan kebudayaan Asia Tenggara hingga kini.
Setelah beberapa ratus abad bermukim di daratan Asia Tenggara, orang-orang yang kemudian
mengembangkan kebudayaan Austronesia tersebut, sebagian ada yang melanjutkan migrasinya
ke wilayah kepulauan, menyebar ke arah kepulauan Nusantara dan juga Filipina, bahkan terus
berlanjut ke arah pulau-pulau di Samudera Pasifik. Menurut Robert von Heine Geldern, migrasi
ke arah wilayah kepulauan terjadi dalam dua tahap, yaitu:
1. Tahap pertama berlangsung dalam kurun waktu antara 2500--1500 SM
2. Tahap kedua berlangsung dalam kurun waktu yang lebih muda antara 1500500 SM
(Von Heine Geldern 1932 and 1936; Soejono 1984: 206--208).

Kesimpulan tersebut didasarkan kepada berbagai penemuan arkeologi, antara lain monument-
monumen dari tradisi megalitik yang tersebar di berbagai wilayah Asia Tenggara termasuk di
Indonesia. Kajian megalitik menunjukkan bahwa di masa silam terjadi dua gelombang migrasi
dari Asia Tenggara daratan seraya membawa hasil-hasil kebudayaan megalitiknya. Gelombang
pertama menghasilkan kebudayaan megalitik tua dengan cirinya selalu menggunakan batu-batu
alami besar, sedikit pengerjaan pada batu, dan minimnya ornament. Dalam gelombang kedua
migrasi dihasilkan kebudayaan megalitik muda yang mempunyai cirri, batu-batu tidak selalu
berukuran besar, telah banyak pengerjaan pada batu, dan juga telah banyak digunakan ornamen
dengan beragam bentuknya. Megalitik muda itu telah menempatkan nenek moyang bangsa-
bangsa Asia Tenggara dalam era proto-sejarah. Bersamaan dengan berkembangnya kebudayaan
megalitik muda, kemahiran mengolah bijih logam telah maju, sehingga masa itu juga telah
dihasilkan benda-benda dari perunggu dan besi.
/02/ Kebudayaan Austronesia
Para ahli dewasa ini menyatakan bahwa migrasi orang-orang Austronesia kemungkinan terjadi
dalam era yang jauh lebih tua, migrasi itu telah berlangsung mulai kurun waktu 6000 SM hingga
awal tarikh Masehi. Akibat mendapat desakan dari pergerakan bangsa-bangsa di Asia Tengah,
orang-orang pengembang kebudayaan Austronesia bermigrasi dan akhirnya menetap di wilayah
Yunnan, salah satu daerah di Cina Selatan. Kemudian berangsur-angsur mereka menyebar
memenuhi seluruh daratan Asia Tenggara hingga mencapai pantai. Selama kehidupannya di
wilayah Asia Tenggara daratan sambil mengembangkan kebudayaannya yang diperoleh dalam
pengalaman kehidupan mereka.
Pada sekitar tahun 3000-2500 BC, orang-orang Austronesia mulai berlayar menyeberangi lautan
menuju Taiwan dan kepulauan Filipina. Diaspora Austronesia berlangsung terus hingga tahun
2500 SM mereka mulai memasuki Sulawesi, Kalimantan dan pulau-pulau lain di sekitarnya.
Dalam sekitar tahun 2000 SM kemungkinan mereka telah mencapai Maluku dan Papua. Dalam
masa yang sama itu pula orang-orang Austronesia dari daratan Asia Tenggara berangsur-angsur
memasuki Semenanjung Malaysia dan pulau-pulau bagian barat Indonesia. Migrasi ke arah
pulau-pulau di Pasifik berlanjut terus hingga sekitar tahun 500 SM hingga awal dihitungnya
tarikh Masehi.
Ketika migrasi telah mulai jarang dilakukan, dan orang-orang Austronesia telah menetap dengan
ajeg di beberapa wilayah Asia Tenggara, terbukalah kesempatan untuk lebih mengembangkan
kebudayaan secara lebih baik lagi. Berdasarkan temuan artefaknya, dapat ditafsirkan bahwa
antara abad ke-5 SM hingga abad ke-2 M, terdapat bentuk kebudayaan yang didasarkan kepada
kepandaian seni tuang perunggu, dinamakan Kebudayaan Dong-son. Penamaan itu diberikan atas
dasar kekayaan situs Dong-son dalam beragam artefaknya, semuanya artefak perunggu yang
ditemukan dalam jumlah besar dengan bermacam bentuknya. Dong-son sebenarnya nama situs
yang berada di daerah Thanh-hoa, di pantai wilayah Annam (Vietnam bagian utara). Hasil-hasil
artefak perunggu yang bercirikan ornament Dong-son ditemukan tersebar meluas di hampir
seluruh kawasan Asia Tenggara, dari Myanmar hingga kepulauan Kei di Indonesia timur.
Bermacam artefak perunggu yang mempunyai ciri Kebudayaan Dong-son, contohnya nekara
dalam berbagai ukuran, moko (tifa perunggu), candrasa (kampak upacara), pedang pendek, pisau
pemotong, bejana, boneka, dan kampak sepatu. Ciri utama dari artefak perunggu Dong-son
adalah kaya dengan ornamen, bahkan pada beberapa artefak hampir seluruh bagiannya penuh
ditutupi ornamen. Hal itu menunjukkan bahwa para pembuatnya, orang-orang Dong-son
(senimannya) memiliki selera estetika yang tinggi (Wagner 1995: 2526). Kemahiran seni
tuang perunggu dan penambahan bentuk ornamen tersebut kemudian ditularkan kepada seluruh
seniman sezaman di wilayah Asia Tenggara, oleh karenanya artefak perunggu Dong-son dapat
dianggap sebagai salah satu peradaban pengikat bangsa-bangsa Asia Tenggara.
Seorang ahli sejarah Kebudayaan bernama J.L.A.Brandes pernah melakukan kajian yang
mendalam tentang perkembangan kebudayaan Asia Tenggara dalam masa proto-sejarah. Brandes
menyatakan bahwa penduduk Asia Tenggara daratan ataupun kepulauan telah memiliki 10
kepandaian yang meluas di awal tarikh Masehi sebelum datangnya pengaruh asing, yaitu:
1. Telah dapat membuat figur boneka
2. Mengembangkan seni hias ornamen
3. Mengenal pengecoran logam
4. Melaksanakan perdagangan barter
5. Mengenal instrumen musik
6. Memahami astronomi
7. Menguasai teknik navigasi dan pelayaran
8. Menggunakan tradisi lisan dalam menyampaikan pengetahuan
9. Menguasai teknik irigasi
10. .Telah mengenal tata masyarakat yang teratur
Pencapaian peradaban tersebut dapat diperluas lagi setelah kajian-kajian terbaru tentang
kebudayaan kuno Asia Tenggara yang telah dilakukan oleh G.Coedes. Beberapa pencapaian
manusia Austronesia penghuni Asia Tenggara sebelum masuknya kebudayaan luar.
Di bidang kebudayaan materi telah mampu:
Kemahiran mengolah sawah, bahkan dalam bentuk terassering dengan teknik irigasi yang
cukup maju
Mengembangkan peternakan kerbau dan sapi
Telah menggunakan peralatan logam
Menguasai navigasi secara baik
Pencapaian di bidang sosial
Menghargai peranan wanita dan memperhitungkan keturunan berdasarkan garis ibu
Mengembangkan organisasi sistem pertanian dengan pengaturan irigasinya
Pencapaian di bidang religi:
Memuliakan tempat-tempat tinggi sebagai lokasi yang suci dan keramat
Pemujaan kepada arwah nenek moyang/leluhur (ancestor worship)
Mengenal penguburan kedua (secondary burial) dalam gentong, tempayan, atau
sarkopagus.
Wacana
Dalam hal religi penduduk kepulauan Indonesia masa itu mengenal upacara pemujaan kepada
arwah nenek moyang (ancestor worship). Kekuatan supernatural yang dipuja umumnya adalah
arwah pemimpin kelompok atau ketua suku yang telah meninggal. Sebagai sarana pemujaannya
didirikan berbagai monumen megalitik, antara lain punden berundak, menhir, dolmen, kubur
batu, batu temu gelang, dan lain-lain.
Mempercayai mitologi dalam binary, kontras antara gunung-laut, gelap-terang, atas-bawah,
lelaki-perempuan, makhluk bersayap, makhluk yang hidup dalam air, dan seterusnya (Hall 1988:
9).
Dalam pada itu kesatuan budaya bangsa Austronesia di Asia Tenggara lambat laun menjadi
memisah, membentuk jalan sejarahnya sendiri-sendiri. Menurut H.Th.Fischer, terjadinya bangsa
dan aneka suku bangsa di Asia Tenggara disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1. Telah ada perbedaan induk bangsa dalam lingkungan orang Austronesia sebelum mereka
melakukan migrasi.
2. Setelah bermigrasi mereka tinggal di daerah dan pulau-pulau yang berbeda, lingkungan
yang tidak seragam, dan kemampuan adaptasi budaya mereka dengan alam setempat.
3. Dalam waktu yang cukup lama setelah bermigrasi mereka jarang melakukan komunikasi
antarasesamanya (Fischer 1980: 22-25).
Berdasarkan ketiga hal itulah sub-sub bangsa Austronesia terbentuk, mereka ada ratusan yang
tinggal di kepulauan Indonesia, puluhan di Filipina, Malaysia, dan Myanmar, dan yang lainnya
ada yang menetap di Kamboja, Thailand, Laos, Vietnam, Brunei, dan Singapura. Sebenarnya
terdapat beberapa hal lainnya yang menjadikan bangsa Austronesia terbagi dalam sub-sub
bangsa, yaitu (a) adanya pengaruh asing yang berbeda-beda memasuki kebudayaan yang mereka
usung, dan (b) adanya penjajahan bangsa-bangsa barat di wilayah Asia Tenggara dengan
karakter dan rentang waktu yang berbeda pula. Demikianlah pada masa yang sangat kemudian
terbentuklah bangsa-bangsa Asia Tenggara yang mempunyai kebudayaan dengan aneka coraj
bentuknya, namun apabila ditelusuri bentuk awalnya niscaya dari bentuk kebudayaan
Austronesia yang telah mengalami akulturasi selama berabad-abad dengan berbagai kebudayaan
luar yang datang.
/03/ Di antara Dua Kebudayaan Dunia
Kebudayaan Austronesia tidak mungkin berkembang sendiri di wilayah Asia Tenggara, karena
kawasan tersebut menjadi arena pertemuan dua kebudayaan besar Asia yang telah lama
berkembang, kedua kebudayaan itu adalah India dan Cina. Di awal tarikh Masehi, dalam periode
protosejarah, dapat dipastikan banyak pelaut dan niagawan dari Cina dan India saling
berkunjung. Para pelaut tersebut sudah pasti melalui laut, selat, dan pantai-pantai Asia Tenggara.
Pada masa itulah terjadi interaksi antara para pelaut Cina dan India dengan penduduk Asia
Tenggara yang merupakan bangsa besar Austronesia yang telah mengalami diasporanya.
Kebudayaan bangsa-bangsa di Asia Tenggara (baca: Austronesia) akhirnya diperkaya dengan
diterimanya pengaruh dua kebudayaan besar Asia pada masa itu. Maka tidak mengherankan
apabila banyak aspek kebudayaan yang datang dari India dan Cina kemudian diterima oleh sub-
bangsa-bangsa Austronesia di Asia Tenggara. Apabila diperhatikan secara saksama, maka
banyak bangsa Asia Tenggara yang pada awal tarikh Masehi justru menerima kebudayaan India.
Penduduk di wilayah Jawa, Sumatera, Bali, Semenanjung Malaysia, Tumasik (Singapura),
Thailand, Khmer, Champa, Myanmar yang menerima aspek-aspek budaya India. Adapun Laos
dan Vietnam banyak dipengaruhi oleh budaya Cina, walaupun pengaruh kebudayaan India
meninggalkan pula jejaknya --walau sedikit-- di Laos dan Vietnam. Filipina agaknya lebih lama
berada dalam masa proto-sejarah dan tetap mengembangkan kebudayaan Austronesia yang awal.
Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang dapat dilacak di Filipina, dapat ditafsirkan bahwa
Filipina tidak banyak mendapat pengaruh dari kebudayaan India atau Cina. Penduduk Filipina
selatan langsung menerima agama Islam dalam abad ke-15, sedangkan penduduk Filipina di
pulau-pulau bagian utara yang masih mengembangkan kebudayaan Austronesia langsung
bergaul dan menerima kebudayaan Spanyol yang mengembangkan agama Katholik.
Apabila dibuat prosentasinya negara-negara Asia Tenggara yang mendapat pengaruh budaya
India dan yang mendapat pengaruh budaya Cina di awal tarikh Masehi, maka keluarlah angka
70 % untuk budaya India, 20 % untuk budaya Cina, dan 10 % yang masih mengembangkan
budaya Austronesianya, artinya tidak mendapat pengaruh dari dua kebudayaan tersebut.
Sebenarnya hanya 3 aspek yang diterima dari kebudayaan India oleh kebudayaan sub-bangsa-
bangsa Austronesia di Asia Tenggara, yaitu (1) agama Hindu-Buddha, (2) penggunaan aksara
Pallava yang menjadi dasar terbentuknya aksara-aksara tradisional Asia Tenggara, dan (3) sistem
kalender Saka. Berpijak kepada 3 hal itulah maka kebudayaan Austronesia menjadi lebih pesat
berkembang memasuki zaman sejarahnya. Sumbangan dari kebudayaan Cina yang mengendap
dan menjadi dasar perkembangan perkembangan kebudayaan selanjutnya hampir sedikit
dirasakan oleh orang-orang Austronesia, kecuali pengaruh politik yang dirasa lebih dominan dari
pada India. Banyak sumber sejarah Asia Tenggara selalu menyatakan bahwa raja-raja yang baru
dilantik akan mengirimkan utusan ke Cina sebagai informasi atas kedudukan barunya dan seperti
meminta pengesahan dari para kaisar Cina.
Ketika agama Islam mulai mengembangkan institusi kerajaan pertama di Asia Tenggara, yaitu
Samudera Pasai di wilayah Aceh; banyak bangsa Asia Tenggara daratan masih setia
melaksanakan ritus agama Buddha Mahayananya, seperti di Laos, Thailand. Khmer, dan
Myanmar. Islam seakan-akan hanya Berjaya di wilayah Asia Tenggara kepulauan dan
semenanjung, sementara di pedalaman Asia Tenggara tidak mendapat sambutan yang semarak.
Agama Islam adalah pengaruh luar yang datang lebih kemudian ke Asia Tenggara, sesuai dengan
para pembawanya yang merupakan kaum niagawan, maka pada awalnya agama tersebut
perkembang di wilayah yang mempunyai pantai dan bandar niaga, sudah pasti Islam akan
berkembang di wilayah kepulauan dan wilayah tepian continental yang kerapkali dikunjungi para
pedagang Islam.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Islam adalah bentuk kebudayaan ketiga yang turut memperkaya
perkembangan kebudayaan Austronesia di Asia Tenggara. Hanya saja diakui bahwa agama
tersebut hanya dipeluk oleh sebagian dari sub bangsa Austronesia yang lazim dinamakan ras
Melayu, tetapi Melayu tidak identik dengan Islam.
/06/ Akar Peradaban Asia Tenggara
Selanjutnya adalah perihal peradaban yang dikembangkan oleh bangsa-bangsa Asia Tenggara
yang sebenarnya adalah sub-bangsa Austronesia. Telah dikemukakan bahwa kebudayaan
keturunan orang-orang Austronesia di negara-negara Asia Tenggara berkembang sesuai dengan
jalan sejarah dan juga pengaruh asing yang mendatanginya. Peradaban oleh para ahli kurang
lebih didefinisikan sebagai bagian dari kebudayaan yang baik, maju, dan indah. Termasuk ke
dalam peradaban adalah keberaksaraan, masyarakat yang kompleks, kemajuan teknologi, dan
pembangunan pemukiman.
Bangsa-bangsa Asia Tenggara telah memiliki benih dari perkembangan peradabannya.
Datangnya pengaruh kebudayaan India, Cina, dan Islam, sejatinya bagaikan air penyiram benih
yang siap disemaikan. Benih itulah yang mengakar jauh sejak masa prasaejarah lalu memasuki
era protosejarah dan akhirnya menembus zaman sejarah. Akar yang sama itu dimiliki oleh
bangsa-bangsa Asia Tenggara, akar tersebut berupa segala pencapaian yang telah berhasil diraih
oleh bangsa Austronesia sebelum pengaruh luar memperkaya kebudayaan mereka. Akar itu
adalah segala kepandaian yang dimiliki bangsa Austronesia dalam masa prasejarah sebagaimana
yang telah dikemukakan terdahulu. Kemudian masuklah berbagai aspek kebudayaan dari India
(terbanyak) dan Cina. Sumbangan terpenting dari kebudayaan India sebenarnya adalah
pengenalan terhadap aksara. Maka aksara Pallava lah yang dipilih oleh nenek moyang orang
Indonesia, Thailand, Khmer, dan Myanmar untuk menuliskan pengalaman-pengalaman mereka
dalam prasasti. Berkat adanya aksara juga pengetahuan dan perjalanan hidup nenek moyang
bangsa-bangsa Asia tenggara itu didokumentasikan dalam suatu historiografi Asia Tenggara
yang disebut berbeda-beda pada tiap bangsa. Di Indonesia sendiri ada yang menyebutnya dengan
Babad, Hikayat, Tambo, Salasilah, Bo, Sajarah, dan lain-lain. Dengan dikenalnya tulisan Pallava
Asia Tenggara memasuki Zaman sejarahnya, sekitar abad ke-4 M, sebelumnya masih dalam
zaman transisi antara prasejarah dan sejarah yang disebut proto-sejarah. Dengan demikian akar
peradaban bangsa-bangsa Asia Tenggara yang kelak bergabung dalam ASEAN adalah
Peradaban Austronesia minus aksara.
/07/ Epilog: Central Consepts of ASEAN Civilization
ASEAN dalam dinamika kebudayaan Austronesia sebenarnya terletak di pusat ethno-genesisnya.
Di tengah wilayah Austronesia yang membentang dari barat adalah Madagaskar hingga Pulau
Paskah di timur, dan mulai dari Taiwan-mikronesia di utara sampai wilayah Selandia Baru di
selatan, itulah wilayah jelajah nenek moyang Austronesia.
Dalam suatu kebudayaan pasti terdapat konsep-konsep inti sehingga menjadi kebudayaan
tersebut tetap bertahan dan mempunyai jati dirinya, walaupun harus menembus ruang geografi
dan zaman-zaman berbeda. Setelah memperhatikan perkembangan kebudayaan di Asia Tenggara
tempat terbentuknya ASEAN, maka terdapat beberapa central concept yang dapat dikembangkan
bersama oleh negara-negara ASEAN sebagai peradaban ASEAN (ASEAN Civilization),
1. Kebudayaan leluhur bersama Austronesia: jejak kebudayaan ini ada di setiap negara
ASEAN hingga sekarang, walaupun tersaput oleh anasir kebudayaan baru yang datang
kemudian. Contoh: terekam dalam bahasa, arsitektur rumah tradisional, tata kota, the
soul of government system, religi etnik, kesenian, ornamen, adat sopan satun, dan lain-
lain.
2. Kemampuan peradaban ASEAN untuk berinteraksi dan berdialog dengan budaya luar
yang datang, kemudian unsur budaya luar itu menjadi luluh dan dianggap sebagai milik
sendiri. Akibat adanya kemampuan tersebut penduduk wilayah Asia Tenggara sejak masa
silam tidak pernah menjadi India atau menjadi Cina dalam bidang budaya, melainkan
tetap Austronesia.
3. Tradisi agraris dan maritim yang sebenarnya sangat kuat mengakar, namun akibat
kolonialisme banyak negara yang melupakan kedua kemampuan itu. ASEAN sebagai
ethno-genesis Austronesia harus mampu mengembangkan lagi pencapaian-pencapaian
baru di bidang agraris (telah dipelopori Thailand) dan maritim (seharusnya Indonesia).
4. Toleransi dan Solidaritas ASEAN telah ditunjukkan sejak masa silam. Terdapat berita
tertulis yang menyatakan ada kerjasama antara beberapa kerajaan Asia Tenggara untuk
membendung pengaruh Cina yang selalu mendesak ke selatan.
5. Penyebaran peradaban kita bukan berasal dari mana-mana, namun menyebar ke mana-
mana. Bercermin sejak masa silam wilayah Asia Tenggara selalu didatangi oleh
pengaruh luar, dan pengaruh budaya Asia Tenggara itu meluas hingga sepertiga dari bola
bumi.
Demikian beberapa postulat penting yang dapat diangkat dari kebudayaan Austronesia yang
sebenarnya menjadi dasar terbentuknya kebudayaan di negara-negara ASEAN. Dalam
kebudayaan tersebut terdapat hal-hal yang maju, indah, dan bermutu bagi kepentingan seluruh
umat manusia, itulah yang disebut peradaban Austronesia; tentunya sekarang dapat dijuluki The
ASEAN Civilization.

Anda mungkin juga menyukai