Anda di halaman 1dari 10

TUGAS FARMOKOLOGI

OBAT ANTI-INFLAMASI NON STEROID






Dosen Pembimbing: dr. Anggelia Puspasari


Disusun Oleh:
Gita Tanbao Suselin
NIM: G1A112024






PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS JAMBI
2014/2013

OBAT ANTI-INFLAMASI NON STEROID
I. Ibuprofen
a. Mekanisme kerja
Ibuprofen merupakan turunan sederhana asam fenilpropionat. Pada dosis sekitar 2400
mg per hari, efek anti inflmasi ibuprofen setara dengan 4 g aspirin.
Ibuprofen bekerja dengan cara menghambat enzim cyclo-oxygenase (COX). Enzim
ini berperan dalam pengeluaran prostaglandin, yang merupakan zat kimiawi yang jika
diproduksi ketika tubuh mengalami cedera akan menyebabkan nyeri dan inflamasi.
Dengan menghambat enzim COX, maka produksi prostaglandin akan menurun, yang
berarti berkurangnya sensari rasa nyeri dan inflamasi. Ibuprofen merupakan
penghambat nonselektif untuk kedua isoform COX.
Ibuprofen efektif untuk meredakan nyeri ringan hingga sedang melalui efeknya pada
peradangan.
b. Farmakodinamik
Aktivitas anti-inflamasi OAINS diperantarai terutama melalui inhibisi biosintesis
prostaglandin. Pada uji coba menggunakan darah lengkap manusia, ibuprofen setara
dalam menghambat kedua isoenzim, COX-1 dan COX-2
Ibuprofen bersifat analgesic, anti-inflamasi, anti-piretik, dan menghambat agregasi
trombosit.
c. Farmakokinetik
Waktu paruh ibuprofen adalah 2 jam. Ibuprofen diekskresikan melaui urin sekitar
<1%.
d. Indikasi
Ibuprofen digunakan untuk mengatasi nyeri ringan hingga sedang seperti pada
penyakit arthritis, sprain dan strain, dan nyeri post operasi. Obat ini mampu
menghilangkan nyeri dan mengurangi inflamasi. Ibuprofen juga bias digunakan untuk
mengobati demam dan gejala flu. Ibuprofen efektif dalam mengobati duktus arterious
paten yang sedang menutup pada bayi-bayi premature, dengan efektivitas dan
keamanan yang sama dengan indomestasin.
e. Efek Samping
Terjadi iritasi dan perdarahan saluran cerna, walaupun lebih jarang daripada aspirin.
Disamping gejala saluran cerna (yang dapat diubah oleh penelanan bersama
makanan), telah dilaporkan terjadi ruam, pruiritus, tinnitus, pusing, nyeri kepala,
meningitis aspetik (khususnya pada penderita lupus eritematosus sistemik), dan
retensi cairan.
Efek terhadap ginjal meliputi gagal ginjal akut, nefritis interstisial, dan sindrom
nefrotik, tapi semuanya ini jarang terjadi. Akhirnya dilaporkan terjadi hepatitis.
f. Interaksi Obat
Ibuprofen dapat meningkatkan kadar lithium dalam darah dengan cara mengurangi
ekskresi lithium di ginjal.
Ibuprofen juga dapat mengurangi efek penurunan tekanan darah jika digunakan
bersamaan dengan obat anti-hipertensi. Ini mungkin dikarenakan penurunan kadar
prostaglandin yang juga berperan dalam mengatur tekanan darah.
Ketika ibuprofen dikombinsikan dengan methotrexate atau aminoglikosid, kadar
methotrexate atau aminoglikosid dalam darah akan meningkat. Hal ini dapat memicu
peningkatan efek dari obat-obat tersebut.
Pasien yang tengah mengkonsumsi obat-obat antikoagulan harus menghindari
penggunaan ibuprofen, karena dapat menyebabkan perdarahan.
Penggunaan ibuprofen bersamaan dengan aspirin dapat meningkatkan risiko ulkus
pada saluran pencernaan. Selain itu, pemberian ibuprofen mengantagonisasi inhibisi
trombosit ireversibel yang dipicu oleh aspirin, oleh karena itu, terapi ibuprofen pada
pasien dengan peningkatan risiko kardiovaskular dapat membatasi efek
kardioprotektif milik aspirin.
g. Sediaan Obat
Oral: tablet 100, 200, 400, 600, 800 mg; tablet kunyah 50, 100 mg; kapsul 200 mg;
suspensi 100 mg/2,5 mL, suspensi 100 mg/5mL. Obat tetes 40 mg/mL.
Dosis.
Dewasa: 200 atau 400 mg/4-6 jam
Terapi arthritis: 300-800 mg 3 atau 4 kali sehari
Anak-anak (6 bulan 12 tahun): 5-10 mg/kgBB/6-8 jam, dosis maksimum:
40mg/kgBB/hari.
Terapi juvenile arthritis: 20-40 mg/kgBB/hari dalam 3-4 dosis terbagi.
Ibuprofen harus digunakan bersamaan dengan makanan.

h. Perhatian dan Peringatan
Tidak ada studi yang cukup jelas tentang pengguanaan ibuprofen pada ibu hamil.
Akan tetapi, penggunaan ibuprofen selama kehamilan tidak dianjurkan. Ibuprofen
harus dihindari penggunaannya saat hamil tua untuk mengurangi risiko penutupan
premature duktus arterious pada jantung janin.
Ibuprofen diekskresikan ke dalam air susu ibu, namun American Acadeny of
Pediatric menyebutkan bahwa ibuprofen dapat digunakan ketika ibu tengah
menyusui.
II. Meloxicam
a. Mekanisme kerja
Meloxicam adalah suatu enolkarboksamida yang berkaitan dengan piroxicam dan
terbukti lebih menghambat COX-2 daripada COX-1, khususnya pada dosis terapinya
yang paling rendah, yakni 7,5 mg/hari. Meloxicam tidak seselektif coxib lainnya dan
mungkin dianggap cenderung selektif daripada sangat selektif.
b. Farmakokinetik
Waktu paruh Meloxicam adalah 20 jam. Meloxicam tidak ditemukan dalam urin
c. Indikasi
Meloxicam digunakan untuk meredakan nyeri dan inflamasi kronis seperti pada
rheumatoid arthritis dan ankylosing spondylitis, akan tetapi dapat juga digunakan
pada nyeri akut pada osteoarthritis.
d. Efek Samping
Meloxicam menyebabkan lebih sedikit gejala dan komplikasi pada saluran cerna
daripada piroxicam, diclofenac, dan naproxen, meskipun dapat juga ditemukan efek
seperti diare, nyeri abdomen, serta sulit menelan. Efek samping lain meloxicam yang
jarang terjadi adalah sakit kepala, lelah akibat anemia, nyeri sendi, nyeri punggung,
insomnia, gatal-gatal, ruam kulit, infeksi vesika urinary, dan infeksi saluran
pernafasan atas.
e. Interaksi Obat
Interaksi meloxicam hampir sama dengan ibuprofen terkait dengan penggunaan
bersama obat lain seperti lithium, anti-hipertensi, methotrexate, aminoglikosid dan
obat antikoagulan.
Meloxicam meningkatkan efek negative cyclosporine pada fungsi ginjal dan
mengurangi efek furosemide dan obat-obat diuretic thiazide karena penghambatan
prostaglandin.
Penggunaan meloxicam pada penderita asma, dan alergi aspirin atau OAINS lain
harus dihindari.
f. Sediaan Obat
Oral: tablet 7,5; 15 mg; suspensi 7,5 mg/5 mL.
Dosis
Pengguanaan awal: 7,5 mg/hari.
Terapi juvenile rheumatoid arthritis: 0,125mg/kgBB/hari sampai 7,5 mg/hari
Meloxicam dapat dikonsumsi dengan atau tanpa makanan.
g. Perhatian dan Peringatan
Hindari penggunaan meloxicam pada ibu hamil saat usia kehamilan memasuki
trisemester pertama dan kedua. Ini dikarenakan meloxicam dapat menyebabkan
penutupan premature ductus arterious.
Belum ada studi yang menjelaskan jika meloxicam diekskresikan ke dalam air susu
ibu.
III. Celecoxib
a. Mekanisme kerja
Celecoxib merupakan penghambat COX-2 selektif sekitar 10-20 kali lebih selektif
untuk COX-2 daripada COX-1. Penghambat COX-2 memiliki efek analgesic,
antipiretik, dan anti-inflamasi serupa dengan OAINS nonelektif tapi efek sampingnya
pada saluran pencernaan telah berkurang sebesar separuhnya.
b. Farmakodinamik
Celecoxib merupakan penghambat COX-2 yang sangat selektif. Celecoxib tidak
mempengaruhi fungsi trombosit pada dosisnya yang normal. Efektivitas celecoxib
serupa dengan OAINS lama tapi lebih aman untuk pencernaan. Di lain pihak,
celecoxib dapat meningkatkan insidens edema dan hipertensi.
c. Farmakokinetik
Waktu paruh celecoxib adalah 11 jam. Celecoxib diekskresikan melalui urine sekitar
27% termasuk metabolit.
d. Indikasi
Celecoxib digunakan untuk meredakan nyeri, demam, osteoarthritis, juvenile arthritis,
rheumatoid arthritis, dan ankylosing spondylitis. Celecoxib tidak dapat mencegah
perkembangan dari penyakit-penyakit arthritis. Obat ini hanya mengurangi gejala dan
tanda dari arthritis.
e. Efek Samping
Efek samping yang paling sering muncul dalam penggunaan celecoxib adalah sakit
kepala, nyeri perut, susah menelan, diare, mual, faltus dan insomnia. Efek lain seperti
gagal ginjal, gagal jantung, hipertensi, nyeri dada, ganggguan pendengaran, ulkus
pada usus, perdarahan, gangguan penglihatan, kelelahan, fotosensitif, retensi cairan
dan gejala flu juga bisa dijumpai pada pasien pengguna celecoxib.
Seperti halnya penghambat COX-2 lain, pada dosis biasa celecoxib tidak memiliki
dampak pada agregasi trombosit, yang diperantarai oleh isoenzim COX-1. Akibatnya,
celecoxib tidak memiliki efek kardioprotektif seperti OAINS nonselektif.
f. Interaksi Obat
Penggunaan secara bersamaan celecoxib dengan aspirin dan OAINS lain dapat
meningkatkan ulkus pada usus dan lambung.
Fluconazole meningkatkan kadar celecoxib dalam darah dengan cara mencegah
eliminasi celecoxib di hepar. Sehingga, terapi celecoxib harus dimulai pada dosis
rendah pada pasien yang tengah mengkonsumsi fluconazole.
Celecoxib dapat meingkatkan kadar lithium dalam darah hingga 17% dan dapat
menyebabkan keracunan lithium.
Interaksi celecoxib dengan obat anti-hipertensi dan anti-koagulan memiliki efek yang
sama dengan OAINS lain.
g. Sediaan Obat
Oral: kapsul 100, 200 mh
Dosis.
Terapi osteoarthritis: 100 mg 2 kali sehari, atau 200 mg/hari
Terapi rheumatoid arthritis: 200 mg 2 kali sehari
Nyeri akut: 400 mg/hari pada hari pertama dan diikuti dengan 200 mg jika
diperlukan, lalu 200 mg 2 kali sehari
h. Perhatian dan Peringatan
pada hewan, studi menunjukkan penggunaan celecoxib dengan dosis dua kali lebih
banyak dari dosis yang direkomandasi berbahaya bagi janin. Celecoxib tidak boleh
dikonsumsi pada masa kehamilan tua karena berisiko menyebabkan gangguan
jantung pada bayi. Celecoxib hanya boleh dikonsumsi pada ibu hamil jika manfaat
lebih besar daripada potensi risiko pada janin.
Celecoxib terbukti diskekresikan ke dalam air susu ibu. Ibu menyusui harus
menghindari penggunaan celecoxib atau berhenti menyusui.
IV. Indomethacin
a. Mekanisme kerja
Mekanisme kerja indomethacin pada umumnya hamper sama dengan mekanisme
kerja ibuprofen. Indomethacin merupakan penghambat COX nonselektif yang peten
dan dapat menghambat fosfolipase A dan c, menurunkan migrasi neutrophil, dan
menurunkan proliferasi sel T dan sel B.
b. Farmakodinamik
Aktivitas anti-inflamasi OAINS diperantarai terutama melalui inhibisi biosintesis
prostaglandin. Pada uji coba menggunakan darah lengkap manusia, indomethacin
ternyata lebih efektif dalam menghambat COX-1.
Indomethacin bersifat analgesic, anti-inflamasi, anti-piretik, dan menghambat
agregasi trombosit.
c. Farmakokinetik
Waktu paruh indomethacin adalah 4-5 jam. Indomethacin diekskresikan melalui urin
sekitar 16%.
d. Indikasi
Indomethacin diindikasikan untuk keadaan reumatik dan khusunya popular untuk
gout dan spondilits ankilosa. Selain itu, indomethacin telah digunakan untuk
mengobati duktus arteriosus paten. Obat ini telah diujikan pada berbagai uji coba
kecil atau tak terkontrol untuk berbagai penyakit lain,termasuk sindrom Sweet,
arthritis rheumatoid juvenile, pleurisy, sindrom nefrotik, diabetes insipidus, vaskulitis
urtikaria, nyeri pascaepisiotomi, dan profilaksis untuk osifikasi heterotropik pada
artroplasti. Sediaan indomethacin untuk mata tampaknya efektif untuk peradangan
konjungtiva dan untuk mengurangi nyeri pascaabrasi kornea traumatic. Peradangan
gusi berkurang pasca pemberian bilas mulut indomethacin. Injeksi epidural mampu
meredakan nyeri setara dengan yang dicapai dengan metil prednisolone pada sindrom
pascalaminektomi.
e. Efek Samping
Efek terhadap saluran cerna meliputi nyeri abdomen, diare, perdarahan slauran cerna,
dan pankreatitis. Nyeri kepala dialami oleh 15-25 % penderita dan mungkin disertai
dengan pusing, bingun, dan depresi. Adanya psikosis dan halusinasi jarang dilaporkan
terjadi, meliputi trombositopenia dan anemia aplastic. Hyperkalemia telah dilaporkan
dan berhubungan dengan inhibisi sintesis prostaglandin di ginjal. Nekrosis papiler
ginjal juga pernah diamati terjadi.
f. Interaksi Obat
Cholestyramine dan colestipol dapat menurunkan absorpsi indomethacin ddengan
cara mengikat indomethacin dalam usus dan mencegah absorpsi indomethacin ke
dalam tubuh.
Penggunaan indomethacin harus dihindari pada pasien dengan riwayat penyakit asma
atau alergi terhadap aspirin atau OAINS lain.
Jika aspirin dikonsumsi bersamaan dengan indomethacin, akan terjadi peningkatan
risiko ulkus pada lambung dan usus.
Interaksi celecoxib dengan lithium, methotrexate, aminoglikosid, obat anti-hipertensi,
anti-koagulan, furosemide memiliki efek yang sama dengan OAINS lain.
g. Sediaan Obat
Oral: kapsul 25, 50 mg; kapsul lepas-berkelanjutan 75 mg; suspensi 25 mg/5 mL.
Rektal: supositoria 50 mg.
Dosis.
Dewasa: dosis yang dianjurkan untuk inflamasi atau rheumatoid 50-200 mg/ hari
terbagi dalam 2-3 dosis
Dosis lanjutan 75-150 mg dibagi menjadi dua dosis harian.
Terapi bursitis atau tendonitis: dosis total 75-150 mg/ hari dibagi menjadi 3 atau 4
dosis atau 75-150 mg/hari dibagi menjadi dua dosis


h. Perhatian dan Peringatan
Belum ada studi yang cukup pada penggunaan indomethacin pada ibu hamil.
Indomethacin mungkin dapat berefek buruk pada janin.
Indomethacin diekskresikan ke dalam air susu ibu, oleh karena itu konsumsi
indomethacin pada ibu menyusui harus dihindari.

Daftar Pustaka
1. Katsung, Betram. G. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. Jakarta: EGC.
2. MIMS Edisi 127.
3. www.medicinenet.com/ibuprofen
4. www.medicinenet.com/meloxicam
5. www.medicinenet.com/celecoxib
6. www.medicinenet.com/indomethacin
7. www.patient.co.uk/medicine/ibuprofen

Anda mungkin juga menyukai