Definisi Kejadian luar biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologi dalam kurun waktu dan daerah tertentu. Kejadian Luar Biasa (KLB) : adalah timbulnya suatu kejadian kesakitan/kematian dan atau meningkatnya suatu kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok penduduk dalam kurun waktu tertentu (Undang-undang Wabah, 1969).
Kriteria Kejadian Luar Biasa tentang Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa, tergolong kejadian luar biasa jika terdapat unsur : 1. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal 2. Peningkatan kerjadian penyakit terus menerus selama 3 kurun waktu berturut-turut menurut penyakitnya (jam,hari,minggu) 3. Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya 4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata0rata perbulan dalam tahun sebelumnya Peraturan Menteri Kesehatan RI No . 949/ MENKES/SK/VII/2004. Kejadian Luar Biasa (KLB) : timbulnya atau meningkatnya kejadian Kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Batasan KLB meliputi arti yang luas, yang dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Meliputi semua kejadian penyakit, dapat suatu penyakit infeksi akut kronis ataupun penyakit non infeksi. 2. Tidak ada batasan yang dapat dipakai secara umum untuk menentukan jumlah penderita yang dapat dikatakan sebagai KLB. Hal ini selain karena jumlah kasus sangat tergantung dari jenis dan agen penyebabnya, juga karena keadaan penyakit akan bervariasi menurut tempat (tempat tinggal, pekerjaan) dan waktu (yang berhubungan dengan keadaan iklim) dan pengalaman keadaan penyakit tersebut sebelumnya. 3. Tidak ada batasan yang spesifik mengenai luas daerah yang dapat dipakai untuk menentukan KLB, apakah dusun desa, kecamatan, kabupaten atau meluas satu propinsi dan Negara. Luasnya daerah sangat tergantung dari cara penularan penyakit tersebut.
4. Waktu yang digunakan untuk menentukan KLB juga bervariasi. KLB dapat terjadi dalam beberapa jam, beberapa hari atau minggu atau beberapa bulan maupun tahun.
Di Indonesia dengan tujuan mempermudah petugas lapangan dalam mengenali adanya KLB telah disusun petunjuk penetapan KLB, sebagai berikut : 1. Angka kesakitan/kematian suatu penyakit menular di suatu kecamatan menunjukkan kenaikan 3 kali atau lebih selama tiga minggu berturut-turut atau lebih. 2. Jumlah penderita baru dalam satu bulan dari suatu penyakit menular di suatu Kecamatan, menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau lebih, bila dibandingkan dengan angka rata-rata sebulan dalam setahun sebelumnya dari penyakit menular yang sama di kecamatan tersebut 3. Angka rata-rata bulanan selama satu tahun dari penderita-penderita baru dari suatu penyakit menular di suatu kecamatan, menjukkan kenaikan dua kali atau lebih, bila dibandingkan dengan angka rata-rata bulanan dalam tahun sebelumnya dari penyakit yang sama di kecamatan yang sama pula. 4. Case Fatality Rate (CFR) suatu penyakit menular tertentu dalam satu bulan di suatu kecamatan, menunjukkan kenaikan 50% atau lebih, bila dibandingkan CFR penyakit yang sama dalam bulan yang lalu di kecamatan tersebut. 5. Proportional rate penderita baru dari suatu penyakit menular dalam waktu satu bulan, dibandingkan dengan proportional rate penderita baru dari penyakit menular yang sama selama periode waktu yang sama dari tahun yang lalu menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih. 6. Khusus untuk penyakit-penyakit Kholera, Cacar, Pes, DHF/DSS : a. Setiap peningkatan jumlah penderita-penderita penyakit tersebut di atas, di suatu daerah endemis yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan di atas. b. Terdapatnya satu atau lebih penderita/kematian karena penyakit tersebut di atas. Di suatu kecamatan yang telah bebas dari penyakit-penyakit tersebut, paling sedikit bebas selama 4 minggu berturut-turut. 7. Apabila kesakitan/kematian oleh keracunan yang timbul di suatu kelompok masyarakat. 8. Apabila di daerah tersebut terdapat penyakit menular yang sebelumnya tidak ada/dikenal.
Metodologi Penyelidikan KLB
Tingkat atau pola dalam penyelidikan KLB ini sangat sulit ditentukan, sehingga metoda yang dipakai pada penyelidikan KLB sangat bervariasi. Menurut Kelsey et al., 1986; Goodman et al., 1990 dan Pranowo, 1991, variasi tersebut meliputi : 1. Rancangan penelitian, dapat merupakan suatu penelitian prospektif atau retrospektif tergantung dari waktu dilaksanakannya penyelidikan. Dapat merupakan suatu penelitian deskriptif, analitik atau keduanya. 2. Materi (manusia, mikroorganisme, bahan kimia, masalah administratif), 3. Sasaran pemantauan, berbagai kelompok menurut sifat dan tempatnya (Rumah sakit, klinik, laboratorium dan lapangan). 4. Setiap penyelidikan KLB selalu mempunyai tujuan utama yang sama yaitu mencegah meluasnya (penanggulangan) dan terulangnya KLB di masa yang akan datang (pengendalian), dengan tujuan khusus : a. Diagnose kasus-kasus yang terjadi dan mengidentifikasi penyebab penyakit b. Memastikan keadaan tersebut merupakan KLB c. Mengidentifikasikan sumber dan cara penularan d. Mengidentifikasi keadaan yang menyebabkan KLB e. Mengidentifikasikan populasi yang rentan atau daerah yang berisiko akan terjadi KLB Langkah-langkah Penyelidikan KLB 1. Persiapan penelitian lapangan 2. Menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB 3. Memastikan Diagnose Etiologis 4. Mengidentifikasikan dan menghitung kasus atau paparan 5. Mendeskripsikan kasus berdasarkan orang, waktu, dan tempat 6. Membuat cara penanggulangan sementara dengan segera (jika diperlukan) 7. Mengidentifikasi sumber dan cara penyebaran 8. Mengidentikasi keadaan penyebab KLB 9. Merencanakan penelitian lain yang sistematis 10. Menetapkan saran cara pencegahan atau penanggulangan 11. Menetapkan sistim penemuan kasus baru atau kasus dengan komplikasi 12. Melaporkan hasil penyelidikan kepada Instansi kesehatan setempat dan kepada sistim pelayanan kesehatan yang lebih tinggi
Persiapan Penelitian Lapangan Sebelum penyelidikan KLB dilaksanakan perlu adanya persiapan dan rencana kerja. Persiapan lapangan sebaiknya dikerjakan secepat mungkin, dalam 24 jam pertama sesudah adanya informasi (Kelsey., 1986), Greg (1985) dan Bres (1986) mengatakan bahwa persiapan penelitian lapangan meliputi : 1. Pemantapan (konfirmasi) informasi. Informasi awal yang didapat kadang-kadang tidak lengkap, sehingga diperlukan pemantapan informasi untuk melengkapi informasi awal, yang dilakukan dengan kontak dengan daerah setempat. Informasi awal yang digunakan sebagai arahan untuk membuat rencana kerja (plan of action), yang meliputi informasi sebagai berikut : a. Asal informasi adanya KLB. Di Indonesia informasi adanya KLB dapat berasal dari fasilitas kesehatan primer (laporan W1), analisis sistem kewaspadaan dini di daerah tersebut (laporan W2), hasil laboratorium, laporan Rumah sakit (Laporan KD-RS) atau masyarakat (Laporan S-0). b. Gambaran tentang penyakit yang sedang berjangkit, meliputi gejala klinis, pemeriksaan yang telah dilakukan untuk menegakan diagnosis dan hasil pemeriksaannya, komplikasi yang terjadi (misal kematian, kecacatan. Kelumpuhan dan lainnya). c. Keadaan geografi dan transportasi yang dapat digunakan di daerah/lokasi KLB. 2. Pembuatan rencana kerja Berdasar informasi tersebut disusun rencana penyelidikan (proposal), yang minimal berisi : a. Tujuan penyelidikan KLB b. Definisi kasus awal c. Hipotesis awal mengenai agent penyebab (penyakit), cara dan sumber penularan d. Macam dan sumber data yang diperlukan e. Strategi penemuan kasus f. Sarana dan tenaga yang diperlukan. Definisi kasus : definisi kasus sangat berguna untuk arahan pada pencarian kasus nantinya. Mengingat informasi yang didapat mungkin hanya merupakan persangkaan penyakit tertentu atau gejala klinis yang ditemui, maka definisi kasus sebaiknya dibuat longgar, dengan kemungkinan kasus-kasus lain akan masuk. Perbaikan definisi kasus akan dilakukan setelah pemastian diagnose, pada langkah identifikasi kasus dan paparan. Hipotesis awal, hendaknya meliputi penyakit penyebab KLB, sumber dan cara penularan. Untuk membuat hipotesis awal ini dapat dengan mempelajari gejala klinis, ciri dan pola epidemiologis penyakit
tersangka. Hipotesis awal ini dapat berubah atau lebih spesifik dan dibuktikan pada waktu penyelidikan (Bres, 1986). Tujuan penyelidikan KLB selalu dimulai dengan tujuan utama mengadakan penanggulangan dan pengendalian KLB, dengan beberapa tujuan khusus, di antaranya : a. Memastikan diagnosis penyakit b. Menetapkan KLB c. Menentukan sumber dan cara penularan d. Mengetahui keadaan penyebab KLB Pada penyelidikan KLB diperlukan beberapa tujuan tambahan yang berhubungan dengan penggunaan hasil penyelidikan. Misalnya untuk mengetahui pelaksanaan program imunisasi, mengetahui kemampuan sistem surveilans, atau mengetahui pertanda mikrobiologik yang dapat digunakan (Goodman et al., 1990). Strategi penemuan kasus, strategi penemuan kasus ini sangat penting kaitannya dengan pelaksanaan penyelidikan nantinya. Pada penyelidikan KLB pertimbangan penetapan strategi yang tepat tidak hanya didasarkan pada bagaimana memperoleh informasi yang akurat, tetapi juga harus dipertimbangkan beberapa hal yaitu : a. Sumber daya yang ada (dana, sarana, tenaga) b. Luas wilayah KLB c. Asal KLB diketahui d. Sifat penyakitnya. Beberapa strategi penemuan kasus yang dapat digunakan pada penyelidikan KLB dengan beberapa keuntungan dan kelemahannya (Bres, 1986) : a. Penggunaan data fasilitas kesehatan Cepat Terjadi bias seleksi kasus b. Kunjungan ke RS atau fasilitas kesehatan Lebih mudah untuk mengetahui kasus dan kontak Hanya kasus-kasus yang berat c. Penyebaran kuesioner pada daerah yang terkena Cepat, tidak ada bias menaksir populasi Kesalahan interpretasi pertanyaan d. Kunjungan ke tempat yang diduga sebagai sumber penularan Mudah untuk menge-tahui hubungan kasus dan kontak Terjadi bias seleksi dan keadaan sudah spesifik e. Survai masyarakat (survai rumah tanggal, total survai) Dapat dilihat keadaan yang sebenarnya Memerlukan waktu lama, memerlukan organisasi tim dengan baik
f. Survai pada penderita Jika diketahui kasus dengan pasti Memerlukan waktu lama, hasil hanya terbatas pada kasus yang diketahui g. Survai agent dengan isolasi atau serologi Kepastian tinggi, di-gunakan pada penya-kit dengan carrier Mahal, hanya dilakukan jika pemerik saan lab dapat dikerjakan 3. Pertemuan dengan pejabat setempat. Pertemuan dimaksudkan untuk membicarakan rencana dan pelaksanaan penyelidikan KLB, kelengkapan sarana dan tenaga di daerah, memperoleh izin dan pengamanan. Pemastian Diagnosis Penyakit Dan Penetapan KLB Pemastian Diagnosis Penyakit Cara diagnosis penyakit pada KLB dapat dilakukan dengan mencocokan gejala/tanda penyakit yang terjadi pada individu, kemudian disusun distribusi frekuensi gejala klinisnya. Cara menghitung distribusi frekuensi dari tanda-tanda dan gejala-gejala yang ada pada kasus adalah sebagai berikut : 1. Buat daftar gejala yang ada pada kasus 2. Hitung persen kasus yang mempunyai gejala tersebut 3. Susun ke bawah menurut urutan frekuensinya Penetapan KLB Penetapan KLB dilakukan dengan membandingkan insidensi penyakit yang tengah berjalan dengan insidensi penyakit dalam keadaan biasa (endemik), pada populasi yang dianggap berisiko, pada tempat dan waktu tertentu. Dalam membandingkan insidensi penyakit berdasarkan waktu harus diingat bahwa beberapa penyakit dalam keadaan biasa (endemis) dapat bervariasi menurut waktu (pola temporal penyakit). Penggambaran pola temporal penyakit yang penting untuk penetapan KLB adalah, pola musiman penyakit (periode 12 bulan) dan kecenderungan jangka panjang (periode tahunan pola maksimum dan minimum penyakit). Dengan demikian untuk melihat kenaikan frekuensi penyakit harus dibandingkan dengan frekuensi penyakit pada tahun yang sama bulan berbeda atau bulan yang sama tahun berbeda (CDC, 1979). KLB tersembunyi, sering terjadi pada penyakit yang belum dikenal atau penyakit yang tidak mendapat perhatian karena dampaknya belum diketahui. KLB palsu (pesudo-epidemic), terjadi oleh karena : 1. Perubahan cara mendiagnosis penyakit 2. Perubahan perhatian terhadap penyakit tersebut, atau 3. Perubahan organisasi pelayanan kesehatan, 4. Perhatian yang berlebihan.
Untuk mentetapkan KLB dapat dipakai beberapa definisi KLB yang telah disusun oleh Depkes. Pada penyakit yang endemis, maka cara menentukan KLB bisa menyusun dengan grafik Pola Maksimum- minimum 5 tahunan atau 3 tahunan. Deskripsi KLB Deskripsi Kasus Berdasarkan Waktu. Penggambaran kasus berdasarkan waktu pada periode wabah (lamanya KLB berlangsung), yang digambarkan dalam suatu kurva epidemik. Kurva epidemik adalah suatu grafik yang menggambarkan frekuensi kasus berdasarkan saat mulai sakit (onset of illness) selama periode wabah. Kurva ini digambarkan dengan axs horizontal adalah saat mulainya sakit dan sebagai axis vertikal adalah jumlah kasus. Kurva epidemik dapat digunakan untuk tujuan : a. Menentukan / memprakirakan sumber atau cara penularan penyakit dengan melihat tipe kurva epidemik tersebut (common source atau propagated). b. Mengidentifikasikan waktu paparan atau pencarian kasus awal (index case). Dengan cara menghitung berdasarkan masa inkubasi rata-rata atau masa inkubasi maksimum dan minimum. Deskripsi Kasus Berdasarkan Tempat Tujuan menyusun distribusi kasus berdasarkan tempat adalah untuk mendapatkan petunjuk populasi yang rentan kaitannya dengan tempat (tempat tinggal, tempat pekerjaan). Hasil analisis ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber penularan. Agar tujuan tercapai, maka kasus dapat dikelompokan menurut daerah variabel geografi (tempat tinggal, blok sensus), tempat pekerjaan, tempat (lingkungan) pembuangan limbah, tempat rekreasi, sekolah, kesamaan hubungan (kesamaan distribusi air, makanan), kemungkinan kontak dari orang ke orang atau melalui vektor (CDC, 1979; Friedman, 1980). Deskripsi KLB Berdasarkan Orang Teknik ini digunakan untuk membantu merumuskan hipotesis sumber penularan atau etiologi penyakit. Orang dideskripsikan menurut variabel umur, jenis kelamin, ras, status kekebalan, status perkawinan, tingkah laku, atau kebudayaan setempat. Pada tahap dini kadang hubungan kasus dengan variabel orang ini tampak jelas. Keadaan ini memungkinkan memusatkan perhatian pada satu atau beberapa variabel di atas. Analisis kasus berdasarkan umur harus selalu dikerjakan, karena dari age spscific rate dengan frekuensi dan beratnya penyakit. Analisis ini akan berguna untuk membantu pengujian hipotesis mengenai penyebab penyakit atau sebagai kunci yang digunakan untuk menentukan sumber penyakit
Prosedur Penanggulangan KLB 1. Masa pra KLB Informasi kemungkinan akan terjadinya KLB / wabah adalah dengan melaksanakan Sistem Kewaspadaan Dini secara cermat, selain itu melakukakukan langkah-langkh lainnya : a. Meningkatkan kewaspadaan dini di puskesmas baik SKD, tenaga dan logistik. b. Membentuk dan melatih TIM Gerak Cepat puskesmas. c. Mengintensifkan penyuluhan kesehatan pada masyarakat d. Memperbaiki kerja laboratorium e. Meningkatkan kerjasama dengan instansi lain Tim Gerak Cepat (TGC) Sekelompok tenaga kesehatan yang bertugas menyelesaikan pengamatan dan penanggulangan wabah di lapangan sesuai dengan data penderita puskesmas atau data penyelidikan epideomologis. Tugas /kegiatan : a. Pengamatan : Pencarian penderita lain yang tidak datang berobat. Pengambilan usap dubur terhadap orang yang dicurigai terutama anggota keluarga Pengambilan contoh air sumur, sungai, air pabrik dll yang diduga tercemari dan sebagai sumber penularan b. Pelacakan kasus untuk mencari asal usul penularan dan mengantisipasi penyebarannya Pencegahan dehidrasi dengan pemberian oralit bagi setiap penderita yang ditemukan di lapangan. c. Penyuluhahn baik perorang maupun keluarga d. Membuat laporan tentang kejadian wabah dan cara penanggulangan secara lengkap. 2. Pembentukan Pusat Rehidrasi Untuk menampung penderita diare yang memerlukan perawatan dan pengobatan. Tugas pusat rehidrasi : a. Merawat dan memberikan pengobatan penderita diare yang berkunjung. b. Melakukan pencatatan nama , umur, alamat lengkap, masa inkubasi, gejala diagnosa dsb. c. Memberikan data penderita ke Petugas TGC d. Mengatur logistik e. Mengambil usap dubur penderita sebelum diterapi. f. Penyuluhan bagi penderita dan keluarga g. Menjaga pusat rehidrasi tidak menjadi sumber penularan (lisolisasi).
h. Membuat laporan harian, mingguan penderita diare yang dirawat.(yang diinfus, tdk diinfus, rawat jalan, obat yang digunakan dsb. Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya KLB 1. Herd Immunity yang rendah Yang mempengaruhi rendahnya faktor itu, sebagian masyarakat sudah tidak kebal lagi, atau antara yang kebal dan tidak mengelompok tersendiri. 2. Patogenesiti Kemampuan bibit penyakit untuk menimbulkan reaksi pada pejamu sehingga timbul sakit. 3. Lingkungan Yang Buruk Seluruh kondisi yang terdapat di sekitar organisme tetapi mempengaruhi kehidupan ataupun perkembangan organisme tersebut.
2. Memahami dan menjelaskan perilaku kesehatan masyarakat Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, system pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan. Bentuk dari perilaku tersebut ada dua yaitu pasif dan aktif. Perilaku pasif merupakan respon internal dan hanya dapat dilihat oleh diri sendiri sedangkan perilaku aktif dapat dilihat oleh orang lain. Masyarakat memiliki beberapa macam perilaku terhadap kesehatan. Perilaku tersebut umumnya dibagi menjadi dua, yaitu perilaku sehat dan perilaku sakit. Perilaku sehat yang dimaksud yaitu perilaku seseorang yang sehat dan meningkatkan kesehatannya tersebut. Perilaku sehat mencakup perilaku-perilaku dalam mencegah atau menghindari dari penyakit dan penyebab penyakit atau masalah, atau penyebab masalah (perilaku preventif). Contoh dari perilaku sehat ini antara lain makan makanan dengan gizi seimbang, olah raga secara teratur, dan menggosok gigi sebelum tidur. Yang kedua adalah perilaku sakit. Perilaku sakit adalah perilaku seseorang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan untuk memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah kesehatannya. Perilaku ini disebut perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health seeking behavior). Perilaku ini mencakup tindakan-tindakan yang diambil seseorang bila terkena masalah kesehatan untuk memperoleh kesembuhan melalui sarana pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit. Secara lebih detail, Becker (1979) membagi perilaku masyarakat yang berhubungan dengan kesehatan menjadi tiga, yaitu:
1. perilaku kesehatan : hal yang berkaitan dengan tindakan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Contoh : memilih makanan yang sehat, tindakan-tindakan yang dapat mencegah penyakit. 2. perilaku sakit : segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang individuyang merasa sakit, untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit. Contoh pengetahuan individu untuk memperoleh keuntungan. 3. perilaku peran sakit : segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit untuk memperoleh kesehatan. Terdapat dua paradigma dalam kesehatan yaitu paradigma sakit dan paradigma sehat.Paradigma sakit adalah paradigma yang beranggapan bahwa rumah sakit adalah tempatnya orang sakit. Hanya di saat sakit, seseorang diantar masuk ke rumah sakit. Ini adalah paradigma yang salah yang menitikberatkan kepada aspek kuratif dan rehabilitatif. Sedangkan paradigma sehat Menitikberatkan pada aspek promotif dan preventif, berpandangan bahwa tindakan pencegahan itu lebih baik dan lebih murah dibandingkan pengobatan.
3. Memahami dan menjelaskan cakupan pelayanan kesehatan dan imunisasi Syarat pokok pelayanan kesehatan Suatu pelayanan kesehatan dikatakan baik apabila: 1. Tersedia (available) dan berkesinambungan (continuous) Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat tidak sulit ditemukan, serta keberadaannya dalam masyarakat adalah pada setiap saat yang dibutuhkan. 2. Dapat diterima (acceptable) dan bersifat wajar (appropriate) Artinya pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan, keyakinan dan kepercayaan mesyarakat, serta bersifat tidak wajar, bukanlah suatu pelayanan kesehatan yang baik. 3. Mudah dicapai (accessible) Ketercapaian yang dimaksud disini terutama dari sudut lokasi. Dengan demikian, untuk dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik, maka pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting. Pelayanan kesehatan yang terlalu terkonsentrasi di daerah perkotaan saja, dan sementara itu tidak ditemukan didaerah pedesaan, bukanlah pelayanan kesehatan yang baik. 4. Mudah dijangkau (affordable)
Keterjangkauan yang dimaksud adalah terutama dari sudut biaya. Untuk dapat mewujudkan keadaan yang seperti itu harus dapat diupayakan biaya pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal hanya mungkin dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja bukanlah kesehatan yang baik. 5. Bermutu (quality) Mutu yang dimaksud disini adalah yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, yang disatu pihak tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standart yang telah ditetapkan. Prinsip pelayanan prima di bidang kesehatan 1. Mengutamakan pelanggan Prosedur pelayanan disusun demi kemudahan dan kenyamanan pelanggan, bukan untuk memeperlancar pekerjaan kita sendiri. Jika pelayanan kita memiliki pelanggan eksternal dan internal, maka harus ada prosedur yang berbeda, dan terpisah untuk keduanya. Jika pelayanan kita juga memiliki pelanggan tak langsung maka harus dipersiapkan jenis-jenis layanan yang sesuai untuk keduanya dan utamakan pelanggan tak langsung. 2. System yang efektif Proses pelayanan perlu dilihat sebagai sebuah system yang nyata (hard system), yaitu tatanan yang memadukan hasil-hasil kerja dari berbagai unit dalam organisasi. Perpaduan tersebut harus terlihat sebagai sebuah proses pelayanan yang berlangsung dengan tertib dan lancar dimata para pelanggan. 3. Melayani dengan hati nurani (soft system) Dalam transaksi tatap muka dengan pelanggan, yang diutamakan keaslian sikap dan perilaku sesuai dengan hati nurani, perilaku yang dibuat-buat sangat mudah dikenali pelanggan dan memperburuk citra pribadi pelayan. Keaslian perilaku hanya dapat muncul pada pribadi yang sudah matang. 4. Perbaikan yang berkelanjutan Pelanggan pada dasarnya juga belajar mengenali kebutuhan dirinya dari proses pelayanan. Semakin baik mutu pelayanan akan menghasilkan pelanggan yang semakin sulit untuk dipuaskan, karena tuntutannya juga semakin tinggi, kebutuhannya juga semakin meluas dan beragam, maka sebagai pemberi jasa harus mengadakan perbaikan terus menerus. 5. Memberdayakan pelanggan Menawarkan jenis-jenis layanan yang dapat digunakan sebagai sumberdaya atau perangkat tambahan oleh pelanggan untuk menyelesaikan persoalan hidupnya sehari-hari.
Program Pokok Puskesmas 1. Promosi Kesehatan (Promkes) a. Penyuluhan Kesehatan Masyarakat b. Sosialisasi Program Kesehatan c. Perawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) 2. Pencegahan Penyakit Menular (P2M) : a. Surveilens Epidemiologi b. Pelacakan Kasus : TBC, Kusta, DBD, Malaria, Flu Burung, ISPA, Diare, IMS (Infeksi Menular Seksual), Rabies 3. Program Pengobatan : a. Rawat Jalan Poli Umum b. Rawat Jalan Poli Gigi c. Unit Rawat Inap : Keperawatan, Kebidanan d. Unit Gawat Darurat (UGD) e. Puskesmas Keliling (Puskel) 4. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) a. ANC (Antenatal Care) , PNC (Post Natal Care), KB (Keluarga Berencana), b. Persalinan, Rujukan Bumil Resti, Kemitraan Dukun 5. Upaya Peningkatan Gizi a. Penimbangan, Pelacakan Gizi Buruk, Penyuluhan Gizi 6. Kesehatan Lingkungan : a. Pengawasan SPAL (saluran pembuangan air limbah), SAMI-JAGA (sumber air minum-jamban keluarga), TTU (tempat-tempat umum), Institusi pemerintah b. Survey Jentik Nyamuk 7. Pencatatan dan Pelaporan : a. Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP)
Program Tambahan/Penunjang Puskesmas : Program penunjang ini biasanya dilaksanakan sebagai kegiatan tambahan, sesuai kemampuan sumber daya manusia dan material puskesmas dalam melakukan pelayanan
1. Kesehatan Mata : pelacakan kasus, rujukan 2. Kesehatan Jiwa : pendataan kasus, rujukan kasus 3. Kesehatan Lansia (Lanjut Usia) : pemeriksaan, penjaringan 4. Kesehatan Reproduksi Remaja : penyuluhan, konseling 5. Kesehatan Sekolah : pembinaan sekolah sehat, pelatihan dokter kecil 6. Kesehatan Olahraga : senam kesegaran jasmani
Target Indikator Pelayanan Minimal Puskesmas Pelayanan Kesehatan Dasar : 1. Cakupan kunjungan Ibu hamil K4 95 % pada Tahun 2015; 2. Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani 80 % pada Tahun 2015; 3. Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan 90% pada Tahun 2015; 4. Cakupan pelayanan nifas 90% pada Tahun 2015; 5. Cakupan neonatus dengan komplikasi yang ditangani 80% pada Tahun 2010; 6. Cakupan kunjungan bayi 90%, pada Tahun 2010; 7. Cakupan Desa/Kelurahan Universal Child Immunization (UCI) 100% pada Tahun 2010; 8. Cakupan pelayanan anak balita 90% pada Tahun 2010; 9. Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada anak usia 6 - 24 bulan keluarga miskin 100 % pada Tahun 2010; 10. Cakupan balita gizi buruk mendapat perawatan 100% pada Tahun 2010; 11. Cakupan Penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat 100 % pada Tahun 2010; 12. Cakupan peserta KB aktif 70% pada Tahun 2010; 13. Cakupan penemuan dan penanganan penderita penyakit 100% pada Tahun 2010; 14. Cakupan pelayanan kesehatan dasar masyarakat miskin 100% pada Tahun 2015. Pelayanan Kesehatan Rujukan 1. Cakupan pelayanan kesehatan rujukan pasien masyarakat miskin 100% pada Tahun 2015; 2. Cakupan pelayanan gawat darurat level 1 yang harus diberikan sarana kesehatan (RS) di Kabupaten/Kota 100 % pada Tahun 2015. Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa /KLB 1. Cakupan Desa/ Kelurahan mengalami KLB yang dilakukan penyelidikan epidemiologi < 24 jam 100% pada Tahun 2015.
Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat 1. Cakupan Desa Siaga Aktif 80% pada Tahun 2015.
Pelayanan Imunisasi Cakupan imunisasi dalam program imunisasi nasional merupakan parameter kesehatan nasional. Besar cakupan imunisasi harus mencapai lebih dari 80%, artinya di setiap desa, anak-anak berusia di bawah 12 bulan, 80% harus sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Tetapi saat ini, cakupan imunisasi belum memuaskan. Salah satu dampak cakupan imunisasi yang tidak sesuai target adalah terjadinya kejadian luar biasa (KLB). Penyakit dapat dicegah bila cakupan imunisasi sebesar 80% dari target. Penularan berbanding searah dengan cakupan imunisasi. Apbila anak yang tidak diimunisasi semakin banyak maka penularan akan semakin meningkat. Sedangkan cakupan imunisasi yang tinggi akan mengurangi penularan (majalah farmacia, 2012). Rendahnya cakupan imunisasi dapat diakibatkan oleh beberapa faktor. Faktor tersebut adalah aspek geografis dimana di daerah pelosok akses pelayanan kesehatan masih minim termasuk imunisasi. Selain itu, masyarakat sering menganggap bahwa anak yang menderita batuk pilek tidak boleh diimunisasi. Faktor lain adalah kurangnya kesadaran masyarakat atas imunisasi akibat minimnya pendidikan. Sehingga tenaga kesehata seperti dokter, bidan atau perawat memiliki kewajiban mengingatkan pasien tentang jadwal imunisasi. Faktor lain adalah munculnya kelompok anti vaksin. Selain itu, kesalahan pemahaman masyarakat mengenai ASI juga turut mempengaruhi kesediaan untuk melakukan imunisasi. ASI memang meningkatkan daya tahan, namun perlindungan ASI juga akan berkurang seiring munculnya paparan pada anak (majalah farmacia, 2012). Dalam program Intensifikasi Imunisasi Rutin, upaya pemberian imunisasi harus lebih intensif dibandingkan tahun lalu. Imunisasi dasar diketahui sangat efektif dalam memberikan perlindungan terhadap suatu penyakit pada masa depan kehidupan. Imunisasi dasar berfungsi membentuk sel memori yang akan dibawa seumur hidup. Jika imunisasi dasar diberikan lengkap dan sel memori terbentuk semakin dini, maka semakin bagus perlindungan yang diberikan (Hadinegoro, 2012). Namun pada vaksin tertentu (vaksin mati atau vaksin komponen, misalnya hepatitis B atau DTP), imunisasi dasar saja tidak cukup memberikan perlindungan dalam jangka panjang sehingga harus dilakukan booster atau penguat. Kekebalan yang diberikan imunisasi dasar tidak berlangsung seumur hidup dan ditandai dengan titer antibodi yang semakin lama semakin menurun. Pemberian booster
dimaksudkan membangkitkan kembali sel memori untuk membentuk antibodi agar titer antibodi selalu di atas ambang pencegahan (protective level) (Hadinegoro, 2012). Vaksin DTP misalnya yang diberikan usia 2, 4, 6 bulan perlu diberikan booster pada usia 18-24 bulan dan 5 tahun. Di usia lima tahun kekebalan kembali turun sehingga perlu booster kedua bahkan ketiga dalam jangka waktu setiap 5-10 tahun. Komponen T (tetanus) pada vaksin DTP juga harus bisa memberikan perlindungan seumur hidup terhadap tetanus neonatorum (penting untuk melindungi bayi yang dilahirkan dari infeksi tetanus apabila pemotongan tali pusat tidak steril). Vaksin TT diberikan pada anak usia sekolah dan ibu hamil (Hadinegoro, 2012). Sampai kapan booster diberikan, tergantung data epidemiologi dan pola penyakit dari kelompok usia yang rentan terkena penyakit. Misalnya penyakit difteri, pertusis, dan tetanus yang bisa dicegah dengan vaksin DTP bisa mengancam anak-anak maupun dewasa sehingga semua usia rentan terhadap penularan penyakit-penyakit ini (Hadinegoro, 2012).
4. Memahami dan menjelaskan aspek sosial budaya dalam mengakses pelayanan kesehatan Menurut Levey dan Loombo yang dijabarkan oleh Azrul Azwar (1996), menyatakan bahwa pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau secara bersama- sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat.Dalam mencapai kesejahteraan dan pemeliharaan penyembuhan penyakit sangat diperlukan pelayanan kesehatan yang bermutu dimana tanpa adanya pelayanan kesehatan yang
bermutu dan menyeluruh di wilayah Indonesia ini tidak akan tercapai derajat kesehatan yang optimal (Azwar, 1996). Dari beberapa hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan polapola penggunaan pelayanan kesehatan pada beberapa daerah. Hal ini tidak dapat dijelaskan hanya karena adanya perbedaan morbidity rate atau karakteristik demografi penduduk, tetapi faktor-faktor sosial budaya atau faktor-faktor penting yang menyebabkan tidak digunakannya fasilitas kesehatan. Penggunaan pelayanan kesehatan tidak perlu diukur hanya dalam hubungannya dengan individu tetapi dapat diukur berdasarkan unit keluarga (Sarwono, 1997). Banyak teori yang berkaitan dengan alasan seseorang ketika memilih dan menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan, diantaranya : - Teori Andersen/ Health System Model Menurut teori Anderson dalam Muzaham (1995), ada tiga faktor yang mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan yaitu : 1. Mudahnya menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan (karakteristik predisposisi) 2. Adanya faktor-faktor yang menjamin terhadap pelayanan kesehatan yang ada (karakteristik pendukung) 3. Adanya kebutuhan pelayanan kesehatan (karakteristik kebutuhan)Ilustrasi Model Anderson - Model Kepercayaan Kesehatan / Health Belief Model HBM telah berkembang di tahun 1950 oleh para ahli psikologi sosial. Berkembangnya pelayanan kesehatan masyarakat akibat kegagalan dari orang atau masyarakat untuk menerima usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan penyakit yang diselenggarakan oleh provider (Glanz, 2002). Ada 5 variabel yang menyebabkan seseorang mengobati penyakitnya : 1. Kerentanan yang dirasakan (perceived susceptibility) Persepsi seseorang terhadap resiko dari suatu penyakit. Agar seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia harus merasakan bahwa ia rentan terhadap penyakit tersebut. 2. Keparahan yang dirasakan (perceived seriousness) Tindakan seseorang dalam pencarian pengobatan dan pencegahan penyakit dapat disebabkan karena keseriusan dari suatu penyakit yang dirasakan misalnya dapat menimbulkan kecacatan, kematian, atau kelumpuhan, dan juga dampak sosial seperti dampak terhadap pekerjaan, kehidupan keluarga, dan hubungan sosial. 3. Keuntungan yang dirasakan (perceived benefits)
Penerimaan seseorang terhadap pengobatan penyakit dapat disebabkan karena keefektifan dari tindakan yang dilakukan untuk mengurangi penyakit. Faktorlainnya termasuk yang tidak berhubungan dengan perawatan seperti, berhenti merokok dapat menghemat uang. 4. Hambatan yang dirasakan (perceived barriers) Dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindakan pencegahan penyakit akan mempengaruhi seseorang untuk bertindak. Pada umumnya manfaat tindakan lebih menentukan daripada rintangan atau hambatan yang mungkin ditemukan dalam melakukan tindakan tersebut. 5. Isyarat atau tanda-tanda untuk bertindak (cues to action) Kesiapan seseorang akibat kerentanan dan manfaat yang dirasakan dapat menjadi faktor yang potensial untuk melakukan tindakan pengobatan. Selain faktor lainnya seperti faktor lingkungan, media massa, atau anjuran dari keluarga, teman-teman dan sebagainya. 6. Keyakinan akan diri sendiri (self efficacy) Kepercayaan seseorang terhadap kemampuannya dalam pengambilan tindakan (Glanz, 2002). Theory of Reasoned Action TRA pertama kali diperkenalkan pada tahun 1967 untuk melihat hubungan keyakinan, sikap, niat dan perilaku. Fishbein, 1967 mengembangkan TRA ini dengan sebuah usaha untuk melihat hubungan sikap dan perilaku (Glanz, 2002). Faktor yang paling penting dalam seseorang berperilaku adalah adanya niat. Niat akan ditentukan oleh sikap seseorang. Dan sikap ditentukan oleh keyakinan seseorang akibat dari tindakan yang akan dilakukan. Diukur dengan evaluasi terhadap masing-masing akibat. Jadi, seseorang yang memiliki keyakinan yang kuat akan akibat dari tindakan yang dilakukan secara positif akan menghasilkan sikap yang positif pula. Sebaliknya jika seseorang tidak yakin akan akibat dari perilaku yang dilakukan dengan positif akan menghasilkan sikap yang negatif (Glanz, 2002). Niat seseorang untuk berperilaku juga dapat dipengaruhi oleh norma individu dan motivasi untuk mengikuti. Norma individu dapat dipengaruhi oleh norma-norma atau kepercayaan di masyarakat. Aspek Sosial Budaya dalam Pencarian Pelayanan Kesehatan Walaupun jaminan kesehatan dapat membantu banyak orang yang berpenghasilan rendah dalam memperoleh perawatan yang mereka butuhkan, tetapi ada alasan lain disamping biaya perawatan kesehatan, yaitu adanya celah diantara kelas sosial dan budaya dalam penggunaan pelayanan kesehatan (Sarafino, 2002).Seseorang yang berasal dari kelas sosial menengah ke bawah
merasa diri mereka lebih rentan untuk terkena penyakit dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kelas atas. Sebagai hasilnya mereka yang berpenghasilan rendah lebih tidak mungkin untuk mencari pencegahan penyakit (Sarafino, 2002). - Faktor Sosial dalam Penggunaan Pelayanan Kesehatan a. Cenderung lebih tinggi pada kelompok orang muda dan orang tua b. Cenderung lebih tinggi pada orang yang berpenghasilan tinggi dan berpendidikan tinggi c. Cenderung lebih tinggi pada kelompok Yahudi dibandingkan dengan penganut agama lain. d. Persepsi sangat erat hubungannya dengan penggunaan pelayanan kesehatan. - Faktor Budaya dalam Penggunaan Pelayanan Kesehatan Faktor kebudayaan yang mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan diantaranya adalah: a. Rendah penggunaan pelayanan kesehatan pada suku bangsa terpencil. b. Ikatan keluarga yang kuat lebih banyak menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan. c. Meminta nasehat dari keluarga dan teman-teman. d. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit. Dengan asumsi jika pengetahuan tentang sakit meningkat maka penggunaan pelayanan kesehatan juga meningkat. e. Sikap dan kepercayaan masyarakat terhadap provider sebagai pemberi pelayanan kesehatan. - Reaksi dalam Proses Mencari Pengobatan Masyarakat atau anggota masyarakat yang mendapat penyakit, dan tidak merasakan sakit (disease but no illness) sudah barang tentu tidak akan bertindak apaapa terhadap penyakitnya tersebut. Tetapi bila mereka diserang penyakit dan juga merasakan sakit, maka baru timbul berbagai macam perilaku dan usaha. Penyelidikan E.A. Suchman (1965) tentang perilaku kesehatan dalam konteks sosial budaya cukup memberi harapan, dan menyangkut hubungan yang bersifat hipotesis antara orientasi kesehatan atau perilaku dengan hubungan sosial atau struktur kelompok. Model Suchman yang terpenting adalah menyangkut pola sosial dan perilaku sakit yang tampak pada cara orang mencari, menemukan, dan melakukan perawatan. Pendekatan yang digunakan berkisar pada adanya 4 unsur yang merupakan faktor utama dalam perilaku sakit, yaitu: 1. Perilaku itu sendiri; 2. Sekuensinya; 3. Tempat atau ruang lingkup dan 4. Variasi perilaku selama tahap-tahap perwatan.
Suchman sangat memperhatikan perilaku sakit. Ia mendefenisikan sebagai cara bilamana gejala dirasakan, dinilai dan kemudian bertindak untuk mengenalinya sebagai rasa sakit, disconfort atau mengatasi rasa sakit tersebut. Analisis ini untuk mengidentifikasikan pola pencarian, penemuan dan penyelenggaraan perawatan. Oleh karena itu pengembangan teori yang mengikuti individu mulai dari cara pandang dan mengenal penyakit sehingga kembali sehat di tangan petugas kesehatan. Unsur pertama, perilaku sakit menyangkut serangkaian konsep-konsep yang menggambarkan alternatif perilaku, berikut akibatnya yaitu: 1. Shopping, adalah proses mencari alternatif sumber pengobatan guna menemukan seseorang yang dapat memberikan diagnosa dan pengobatan sesuai dengan harapan si sakit. 2. Fragmentation adalah proses pengobatan oleh beberapa fasilitas kesehatan pada lokasi yang sama. Contoh : berobat ke dokter sekaligus ke sinse dan dukun. 3. Procastination ialah proses penundaan, menangguhkan atau mengundurkan upaya pencarian pengobatan meskipun gejala penyakitnya sudah dirasakan 4. Self medication adalah proses pengobatan sendiri dengan menggunakan berbagai ramuan atau obat- obatan yang dinilainya tepat baginya. 5. Discontinuity adalah melakukan proses membatalkan atau penghentian pengobatan (Muzaham, 1995). Menurut paradigma Suchman, urutan peristiwa medis dibagi atas 5 tingkat, yaitu: pengalaman dengan gejala penyakit, penilaian terhadap peran sakit, kontak dengan perawatan medis, jadi pasien, sembuh atau masa rehabilitasi. Pada setiap tingkat setiap orang harus mengambil keputusan-keputusan dan melakukan perilakuperilaku tertentu yang berkaitan dengan kesehatan. Pada tingkat permulaan terdapat tiga dimensi gejala yang menjadi pertanda adanya ketidakberesan dalam diri seseorang, yaitu: 1. Adanya rasa sakit, kurang enak badan atau sesuatu yang tidak biasa dialami. 2. Pengetahuan seseorang tentang gejala tersebut mendorongnya membuat penafsiran-penafsiran yang berkaitan dengan akibat penyakit serta gangguan terhadap fungsi sosialnya. 3. Perasaan terhadap gejala penyakit tersebut berupa rasa takut atau cemas. Perlu diketahui bahwa kesimpulan yang diperoleh seseorang pada tahap pengenalan gejala penyakit (seperti juga pada tahap-tahap lainnya), berbeda satu sama lain. Secara teoritis, setelah tahap pengalaman gejala hingga tahap mengira bahwa dirinya sakit, terbuka beberapa alternatif yang dapat dipilih seseorang, misalnya menolak anggapan bahwa dirinya sakit atau mengulur waktu mencari pertolongan medis
Pada saat orang mengira bahwa dirinya sakit, maka orang akan mencoba mengurangi atau mengontrol atau mengurangi gejala tersebut melalui pengobatan sendiri. Sementara itu pihak keluarga dan teman-teman dimintai nasehat, sistem rujukan awam (lay-referral system) dapat mempengaruhi seseorang untuk berperan untuk berperan sakit, sedangkan upaya mendiskusikan gejala itu dengan orang-orang terdekat atau orang penting lainnya betujuan untuk memperoleh pengakuan yang diperlukan agar ia mendapat kebebasan dari tuntutan dan tanggung jawab sosial tertentu. Selanjutnya, pada saat berhubungan dengan pihak pelayanan kesehatan, pelaksana tenaga kesehatan dapat membantu kebutuhan fisik dan psikologis pasien, dengan jalan memberikan diagnosis dan pengobatan terhadap gejala, atau memberikan pengesahan (legitimacy) agar pasien dibebaskan dari tuntutan-tuntutan, tanggung jawab dan kegiatan tertentu. Seperti juga pada tahap-tahap sebelumnya, seseorang bisa dipercaya dan menerima tindakan atau saran untuk pengobatan, dan bisa juga menolaknya. Boleh jadi juga ia akan mencari informasi serta pendapatpendapat dari sumber pelayanan kesehatan lainnya. Suchman (1965) memformulasikan suatu pernyataan teoritis mengenai hubungan antara struktur sosial dan orientasi kesehatan dengan variasi respon individu terhadap penyakit dan perawatan kesehatan. Dalam pengembangan model ini, Suchman membahas fungsi dari berbagai faktor lain (faktor tempat, variasi respon terhadap penyakit, perawatan kesehatan) sesuai dengan kelima tahap penyakit dan proses perawatan kesehatan tersebut. Struktur sosial kelompok ditentukan oleh keadaan sosial dari tiga tingkat kelompok, yaitu tingkat komunitas, persahabatan, dan keluarga. Pada tingkat komunitas, derajat hubungan sosial diukur dengan kuat tidaknya rasa kesukuan, pada tingkat sosial diukur dengan solidaritas persahabatan, dan pada tingkat keluarga ditandai dengan kuat tidaknya orientasi terhadap tradisi dan otoritas. Ketiga dimensi hubungan sosial tersebut dikombinasikan kedalam suatu indeks kosmopolitan parokial struktur sosial. Parokialisme diartikan sebagai suatu keadaan sosial dimana terdapat rasa kesukuan yang kuat, solidaritas persahatan tinggi, dan sangat berorientasi pada tradisi dan otoritas dalam keluarga. Orientasi kesehatan seseorang dilihat sebagai suatu kontinum yang dibedakan atas orientasi ilmiah ( bersifat objektif, profesional, dan impersonal ) dan orientasi populer ( bersifat subjektif, awam dan personal ), yang disesuaikan menurut tingkat pengetahuan pasien mengenai penyakit, skeptisisme terhadap perawatan kesehatan, dan ketergantungan seseorang akibat penyakit. Orientasi pada kesehatan populer ditandai oleh rendahnya tingkat pengetahuan tentang penyakit (dimensi kognitif), tingginya tingkat skeptisisme terhadap perawatan medis ( dimensi afektif ), dan tingginya tingkat ketergantungan seseorang akibat penyakit ( dimensi perilaku ).
Suchman mengemukakan hipotesis bahwa, perilaku kesehatan yang terjadi pada setiap tahap penyakit seperti dikemukakan di atas mencerminkan orientasi kesehatan serta afiliasi masing-masing kelompok sosial. Variasi perilaku ini mempengaruhi kemajuan setiap tahap penyakit tersebut. Misalnya, seseorang yang berorientasi kepada kesehatan polpuler dan cenderung pada afiliasi kelompok parokial akan berperilaku : kurang cepat tanggap dan kurang serius terhadap bahaya yang mungkin terjadi selama masa permulaan gejala yang dirasakan; meminta persetujuan orang lain secara berulang-ulang untuk menyakinkan bahwa ia boleh meninggalkan tanggung jawab tertentu ; berusaha melakukan pengobatan sendiri dengan obat paten atau ramuan-ramuan dan ragu bertindak pada saat ia mengetahaui dirinya sakit; lalai dalam mencari pertolongan medis, bertukar-tukar dokter serta sanksi terhadap diagnosis pelayanan kesehatan, selama masa kontak dengan pelayanan medis; sulit mengatasi berbagai masalah yang timbul pada saat sakit dan tidak sanggup menjalankan aturan perawatan medis; dan cepat meninggalkan uperan sakit ( atau, bila ia menderita penyakit kronis ia menolak sakit berkepanjangan atau mengabaikan rehabilitasi kesehatannya ).
5. Memahami dan menjelaskan rujukan kesehatan Sistem Pelayanan Kesehatan Indonesia Sistem pelayanan kesehatan di indonesia meliputi pelayanan rujukan yang berupa: 1. Pelayanan kesehatan dasar Pada umumnya pelayanan dasar dilaksanakan di puskesmas, Puskesmas pembantu, Puskesmas keliling, dan Pelayanan lainnya di wilayah kerja puskesmas selain rumah sakit. 2. Pelayanan kesehatan rujukan Pada umumnya dilaksanakan di rumah sakit. Pelayanan keperawatan diperlukan, baik dalam pelayanan kesehatan dasar maupun pelayanan kesehatan rujukan.
Sistem Rujukan (Referal System) Di negara Indonesia sistem rujukan telah dirumuskan dalam SK. Menteri Kesehatan RI No.32 tahun 1972, yaitu suatu sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelimpahan tanggung jawab timbal balik terhadap satu kasus penyakit atau masalah kesehatan secara vertikal dalam arti dari unit yang berkemampuan kurang kepada unit yang lebih mampu atau secara horizontal dalam arti antara unit-unit yang setingkat kemampuannya. Macam rujukan yang berlaku di negara Indonesia telah ditentukan atas dua macam dalam Sistem Kesehatan Nasional, yaitu: 1. Rujukan kesehatan
Rujukan kesehatan pada dasarnya berlaku untuk pelayanan kesehatan masyarakat (public health services). Rujukan ini dikaitkan dengan upaya pencegahan penyakit dan peningkatan derajat kesehatan. Macamnya ada tiga, yaitu: rujukan teknologi, rujukan sarana, dan rujukan operasional. 2. Rujukan medis Pada dasarnya berlaku untuk pelayanan kedokteran (medical services). Rujukan ini terutama dikaitkan dengan upaya penyembuhan penyakit. Macamnya ada tiga, yaitu: rujukan penderita, rujukan pengetahuan, rujukan bahan-bahan pemeriksaan. Manfaat sistem rujukan, ditinjau dari unsur pembentuk pelayanan kesehatan: 1. Dari sudut pemerintah sebagai penentu kebijakan (policy maker) a. Membantu penghematan dana, karena tidak perlu menyediakan berbagai macam peralatan kedokteran pada setiap sarana kesehatan. b. Memperjelas sistem pelayanan kesehatan, karena terdapat hubungan kerja antara berbagai sarana kesehatan yang tersedia. c. Memudahkan pekerjaan administrasi, terutama pada aspek perencanaan. 2. Dari sudut masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan (health consumer) a. Meringankan biaya pengobatan, karena dapat dihindari pemeriksaan yang sama secara berulang- ulang. b. Mempermudah masyarakat dalam mendapatkan pelayanan, karena telah diketahui dengan jelas fungsi dan wewenang setiap sarana pelayanan kesehatan. 3. Dari sudut kalangan kesehatan sebagai penyelenggara pelayanan keseahatan (health provider) a. Memperjelas jenjang karier tenaga kesehatan dengan berbagai akibat positif lainnya seperti semangat kerja, ketekunan, dan dedikasi. b. Membantu peningkatan pengetahuan dan ketrampilan, yaitu: kerja sama yang terjalin. c. Memudahkan atau meringankan beban tugas, karena setiap sarana kesehatan mempunyai tugas dan kewajiban tertentu.
6. Memahami dan menjelaskan syariat islam dalam KLB Konsep KLB Thaun disadari sebagai wabah yang menggelisahkan masyarakat Rasulullah saw ketika itu. Jika suatu wabah berjangkit dalam suatu wilayah, maka kebijakan Nabi adalah melakukan isolasi, yaitu orang luar tidak boleh masuk ke wilayah epidemi dan sebaliknya orang yang berada di wilayah itu tidak boleh keluar ke daerah lain. Demikian sabda Nabi Muhammad saw.: ( ) Artinya; Jika kamu mendengar tentang thaun di suatu tempat, maka janganlah kamu memasukinya (tempat itu). Apa bila kamu (terlanjur) berada di tempat yang terkena wabah itu, maka janganlah kamu keluar darinya (tempat itu) (H.R. at-Turmuzi dari Said). Pernah di suatu saat daerah luar Madinah terjangkit wabah thaun (pes, sampar, atau penyakit sejenisnya) dan al-masih (sejenis kuman yang mengelupaskan kulit mungkin seperti wabah gudik, bengkoyok, atau secara umum penyakit kulit). Rasulullah melarang siapa pun yang terkena kedua jenis penyakit itu (thaun dan al-masih) masuk ke kota Madinah. Demikian sabda Nabi: . . . la yadkhulu al- Madinata al-masihu wala ath-thaun ( . . . Tidak boleh masuk ke Madinah bagi yang terjangkit oleh al- masih dan thaun H.R.al-Bukhari dari Abu Hurairah) Thaun Sebagai Kotoran (ar-Rijsu) Sekaligus Rahmat Dalam hadis yang panjang, Rasulullah mengatakan: . ath-thaun rijsun .. (. . .thaun itu adalah kotoran . . . H.R. al-Bukhari dari Usamah bin Zaid) dan berfungsi sebagai siksa atau penyakit (azab). Beliau bersabda: - - ( ) Artinya: . . . Bahwa ada suatu azab yang Allah mengutusnya (untuk) menimpa kepada seseorang yang Ia kehendakinya. Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang mukmin. Tidaklah bagi seseorang yang tertimpa thaun kemudian ia berdiam diri di wilayahnya itu dengan sabar dan ia menyadari bahwa thaun itu tidak akan menimpa kecuali telah ditetapkan Allah, kecuali ia memperoleh pahala bagaikan orang mati syahid (H.R. al-Bukhari dari Aisyah). Dalam hadis tersebut dijelaskan bahawa (l) penduduk yang wilayahnya terkena wabah dan tidak boleh keluar dari wilayah itu supaya mereka bersabar. Penyakit itu tidak akan menular kepada orang kecuali atas kehendak Allah. Pahala orang yang sabar (tidak keluar dari wilayahnya) memperoleh pahala
sepadan orang mati syahid, (2) Perwujudan rahmat dalam kasus ini adalah bersabar. Orang sabar berada dalam lindungan Allah (inna-llaha maa ash-shabirin) Pemerintahan Umar dan Wabah Thaun Pada waktu pemerintahan Umar bin Khatab terjadi wabah di Syam (sekarang Suriah). Pada saat itu sedang terjadi peperangan antara pasukan Islam melawan pasukan Byzantium di Suriah. Kasus ini (wabah) didiskusikan berulang-ulang dengan para pemimpin negara maupun para ulama. Kesimpulan akhir dari diskusi itu adalah: (1) Para prajurit yang belum berangkat ke Syam supaya diurungkan tidak jadi berangkat ke medan perang, (2) Bagi yang sudah berada di medang perang (di Syam) tidak boleh mundur atau kembali ke Madinah, (3) Dasar kesimpulan ini adalah menghindari takdir (tertular wabah) dan mencari takldir (keselamatan dengan menjauh dari wabah H.R. al-Bukhari,VII [t.th.]:20- 21). Kesimpulan Dari berbagai kasus wabah yang menimpa pada zaman Islam generasi pertama ini dapat disimpulkan bahwa: (l) thaun cukup menggelisahkan masyarakat generasi pertama Islam, (2) mereka berusaha supaya wabah tidak menjalar ke daerah lain secara luas. Kata kunci untuk usaha ini adalah lari dari takdir lama kemudian mencari takdir baru. 7. Memahami dan menjelaskan hukum jaga kesehatan dan berobat dalam islam Anjuran Menjaga Kesehatan Sudah menjadi semacam kesepakatan, bahwa menjaga agar tetap sehat dan tidak terkena penyakit adalah lebih baik daripada mengobati, untuk itu sejak dini diupayakan agar orang tetap sehat. Menjaga kesehatan sewaktu sehat adalah lebih baik daripada meminum obat saat sakit. Dalam kaidah ushuliyyat dinyatakan: Dari Ibn Abbas, ia berkata, aku pernah datang menghadap Rasulullah SAW, saya bertanya: Ya Rasulullah ajarkan kepadaku sesuatu doa yang akan akan baca dalam doaku, Nabi menjawab: Mintalah kepada Allah ampunan dan kesehatan, kemudian aku menghadap lagipada kesempatan yang lain saya bertanya: Ya Rasulullah ajarkan kepadaku sesuatu doa yang akan akan baca dalam doaku. Nabi menjawab: Wahai Abbas, wahai paman Rasulullah saw mintalah kesehatan kepada Allah, di dunia dan akhirat. (HR Ahmad, al-Tumudzi, dan al-Bazzar) Berbagai upaya yang mesti dilakukan agar orang tetap sehat menurut para pakar kesehatan, antara lain, dengan mengonsumsi gizi yang yang cukup, olahraga cukup, jiwa tenang, serta menjauhkan diri dari
berbagai pengaruh yang dapat menjadikannya terjangkit penyakit. Hal-hal tersebut semuanya ada dalam ajaran Islam, bersumber dari hadits-hadits shahih maupun ayat al-Quran. Nilai Sehat dalam Ajaran Islam Dengan merujuk konsep sehat yang dewasa ini dipaharm. berdasarkan rumusan WHO yaitu: Health is a state of complete physical, mental and social-being, not merely the absence q; disease on infirmity (Sehat adalah suatu keadaan j^sm rohaniah, dan sosia+ yang baik, tidak hanyatidak bt.*)-esiyal cacat). Dadang Ha\v?ri melaporkan, bahwa s^aK ^hunsehingga rnonjadi -eliat Menurut penelitian Ali Munis, dokter spesialis internal Fakultas Kedokteran Universitas Ain Syams Cairo, menunjukan bahwa ilmu kedokteran modern menemukan kecocokan terhadap yang disyariatkan Nabi dalam praktek pcngobatan yang berhubungan dengan spesialisasinya. Sebagaiman disepakati oleh para ulama bahwa di balik pengsyariatan segala sesuatu termasuk ibadah dalam Islam terdapat hikrnah dan manfaat phisik (badaniah) dan psikis (kejiwaan). Pada saat orang- orang Islam menunaikan kewajiban-kewajiban keagamannya, berbagai penyakit lahir dan batin terjaga. Kesehatan Jasmani Ajaran Islam sangat menekankan kesehatan jasmani. Agar tetap sehat, hal yang perlu diperhatikan dan dijaga, menurut sementara ulama, disebutkan, ada sepuluh hal, yaitu: dalam hal makan, minum, gerak, diam, tidur, terjaga, hubungan seksual, keinginan-keinginan nafsu, keadaan kejiwaan, dan mengatur anggota badan. Pertama; Mengatur Pola Makan dan Minum Dalam ilmu kesehatan atau gizi disebutkan, makanan adalah unsur terpenting untuk menjaga kesehatan. Kalangan ahli kedokteran Islam menyebutkan, makan yang halalan dan thayyiban. Al-Quran berpesan agar manusia memperhatikan yang dimakannya, seperti ditegaskan dalam ayat: maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.(QS. Abasa 80 : 24 ) Dalam 27 kali pembicaraan tentang perintah makan, al-Quran selalu menekankan dua sifat, yang halal dan thayyib, di antaranya dalam (Q., s. al-Baqarat (2)1168; al-Maidat (s):88; al-Anfal (8):&9; al-Nahl (16) : 1 14), Kedua; Keseimbangan Beraktivitas dan Istirahat
Perhatian Islam terhadap masalah kesehatan dimulai sejak bayi, di mana Islam menekankan bagi ibu agar menyusui anaknya, di samping merupakan fitrah juga mengandung nilai kesehatan. Banyak ayat dalam al-Quran menganjurkan hal tersebut. Al-Quran melarang melakukan sesuatu yang dapat merusak badan. Para pakar di bidang medis memberikan contoh seperti merokok. Alasannya, termasuk dalam larangan membinasakan diri dan mubadzir dan akibatyang ditimbulkan, bau, mengganggu orang lain dan lingkungan. Islam juga memberikan hak badan, sesuai dengan fungsi dan daya tahannya, sesuai anjuran Nabi: Bahwa badanmu mempunyai hak Islam menekankan keteraturan mengatur ritme hidup dengan cara tidur cukup, istirahat cukup, di samping hak-haknya kepada Tuhan melalui ibadah. Islam memberi tuntunan agar mengatur waktu untuk istirahat bagi jasmani. Keteraturan tidur dan berjaga diatur secara proporsional, masing-masing anggota tubuh memiliki hak yang mesti dipenuhi. Di sisi lain, Islam melarang membebani badan melebihi batas kemampuannya, seperti melakukan begadang sepanjang malam, melaparkan perut berkepanjangan sekalipun maksudnya untuk beribadah, seperti tampak pada tekad sekelompok Sahabat Nabi yang ingin terus menerus shalat malam dengan tidak tidur, sebagian hendak berpuasa terus menerus sepanjang tahun, dan yang lain tidak mau menggauli istrinya, sebagaimana disebutkan dalam hadits: Nabi pernah berkata kepadaku: Hai hamba Allah, bukankah aku memberitakan bahwa kamu puasa di szam? hari dan qiyamul laildimalam hari, maka aku katakan, benarya Rasulullah, Nabi menjawab: Jangan lalukan itu, berpuasa dan berbukalah, bangun malam dan tidurlah, sebab, pada badanmu ada hak dan pada lambungmujuga ada hak (HR Bukhari dan Muslim). Ketiga; Olahraga sebagai Upaya Menjaga Kesehatan Aktivitas terpenting untuk menjaga kesehatan dalam ilmu kesehatan adalah melalui kegiatan berolahraga. Kata olahraga atau sport (bahasa Inggris) berasal dari bahasa Latin Disportorea atau deportore, dalam bahasa Itali disebut deporte yang berarti penyenangan, pemeliharaan atau menghibur untuk bergembira. Olahraga atau sport dirumuskan sebagai kesibukan manusia untuk menggembirakan diri sambil memelihara jasmaniah. Tujuan utama olahraga adalah untuk mempertinggi kesehatan yang positif, daya tahan, tenaga otot, keseimbangan emosional, efisiensi dari fungsi-rungsi alat tubuh, dan daya ekspresif serta daya kreatif. Dengan melakukan olahraga secara bertahap, teratur, dan cukup akan meningkatkan dan memperbaiki kesegaran jasmani, menguatkan dan menyehatkan tubuh. Dengan kesegaran jasmani seseorang akan mampu beraktivitas dengan baik.
Dalam pandangan ulama fikih, olahraga (Bahasa Arab: al-Riyadhat) termasuk bidang ijtihadiyat. Secara umum hokum melakukannya adalah mubah, bahkan bisa bernilai ibadah, jika diniati ibadah atau agar mampu melakukannya melakukan ibadah dengan sempurna dan pelaksanaannyatidakbertentangan dengan norma Islami. Sumber ajaran Islam tidak mengatur secara rinci masalah yang berhubungan dengan berolahraga, karena termasuk masalah duniawi atau ijtihadiyat, maka bentuk, teknik, dan peraturannya diserahkan sepenuhnya kepada manusia atau ahlinya. Islam hanya memberikan prinsip dan landasan umum yang harus dipatuhi dalam kegiatan berolahraga. Nash al-Quran yang dijadikan sebagai pedoman perlunya berolahraga, dalam konteks perintah jihad agar mempersiapkan kekuatan untuk menghadapi kemungkinan serangan musuh, yaitu ayat: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu najkahkanpadajalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (QS.Al-Anfal :6o): Nabi menafsirkan kata kekuatan (al-Quwwah) yang dimaksud dalam ayat ini adalah memanah. Nabi pernah menyampaikannya dari atas mimbar disebutkan 3 kali, sebagaimana dinyatakan dalam satu hadits: Nabi berkata: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sang gupi Ingatlah kekuatan itu adalah memanah, Ingatlah kekuatan itu adalah memanah, Ingatlah kekuatan itu adalah memanah, (HR Muslim, al-Turmudzi, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad, dan al-Darimi) Keempat; Anjuran Menjaga Kebersihan Ajaran Islam sangat memperhatikan masalah kebersihan yang merupakan salah satu aspek penting dalam ilmu kedokteran. Dalam terminologi Islam, masalah yang berhubungan dengan kebersihan disebut dengan al-Thaharat. Dari sisi pandang kebersihan dan kesehatan, al-thaharat merupakan salah satu bentuk upaya preventif, berguna untuk menghindari penyebaran berbagai jenis kuman dan bakteri. Imam al-Suyuthi, Abd al-Hamid al-Qudhat, dan ulama yang lain menyatakan, dalam Islam menjaga kesucian dan kebersihan termasuk bagian ibadah sebagai bentuk qurbat, bagian dari taabbudi, merupakan kewajiban, sebagai kunci ibadah, Nabi bersabda: Dari Ali ra., dari Nabi saw, beliau berkata: Kunci shalat adalah bersuci (HR Ibnu Majah, al-Turmudzi, Ahmad, dan al-Darimi)
Berbagai ritual Islam mengharuskan seseorang melakukan thaharat dari najis, mutanajjis, dan hadats. Demikian pentingnya kedudukan menjaga kesucian dalam Islam, sehingga dalam buku-buku fikih dan sebagian besar buku hadits selalu dimulai dengan mengupas masalah thaharat, dan dapat dinyatakan bahwa fikih pertama yang dipelajari umat Islam adalah masalah kesucian. Abd al-Munim Qandil dalam bukunya al-Tadaivi bi al-Quran seperti halnya kebanyakan ulama membagi thaharat menjadi dua, yaitu lahiriah dan rohani. Kesucian lahiriah meliputi kebersihan badan, pakaian, tempat tinggal, jalan dan segala sesuatu yang dipergunakan manusia dalam urusan kehidupan. Sedangkan kesucian rohani meliputi kebersihan hati, jiwa, akidah, akhlak, dan pikiran. Hukum berobat Para fuqoha (ahli fiqih) bersepakat bahwa berobat hukum asalnya dibolehkan*2+, kemudian mereka berbeda pendapat (mengenai hukum berobat, -ed) menjadi beberapa pendapat yang masyhur 1. Pendapat pertama mengatakan bahwa berobat hukumnya wajib, dengan alasan adanya perintah Rosululloh shallallahu alaihi wa sallam untuk berobat dan asal hukum perintah adalah wajib[4], ini adalah salah satu pendapat madzhab Malikiyah, Madzhab Syafiiyah, dan madzhab Hanabilah. 2. Pendapat kedua mengatakan sunnah/ mustahab, sebab perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk berobat dan dibawa kepada hukum sunnah karena ada hadits yang lain Rosululloh shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan bersabar*6+, dan ini adalah madzhab Syafiiyah. 3. Pendapat ketiga mengatakan mubah/ boleh secara mutlak , karena terdapat keterangan dalil- dalil yang sebagiannya menunjukkan perintah dan sebagian lagi boleh memilih, (ini adalah madzhab Hanafiyah dan salah satu pendapat madzhab Malikiyah)[8]. 4. Pendapat kelima mengatakan makruh, alasannya para sahabat bersabar dengan sakitnya[9], Imam Qurtubi rahimahullah mengatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu Masud, Abu Darda radhiyallahu anhum, dan sebagian para Tabiin. 5. Pendapat ke enam mengatakan lebih baik ditinggalkan bagi yang kuat tawakkalnya dan lebih baik berobat bagi yang lemah tawakkalnya, perincian ini dari kalangan madzhab Syafiiyah. Kesimpulan dari berbagai macam pendapat Sesungguhnya terdapat berbagai macam dalil dan keterangan yang berbeda- beda tentang berobat, oleh karena itu sebenarnya pendapat- pendapat di atas tidaklah bertentangan. Akan tetapi berobat hukumnya berbeda- berbeda menurut perbedaan kondis. Ada yang haram, makruh, mubah, sunnah, bahkan ada yang wajib.