Anda di halaman 1dari 3

Apoteker Belum Dilibatkan Optimal pada JKN

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG --
Penggunaan obat berkualitas pada sistem
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tidak
perlu diragukan. Namun, tetap harus ada
pengawasan agar tidak berpengaruh pada
kualitas pelayanan. Peran apoteker,
seharusnya menjadi ujung tombak dalam
menjaga layanan. Namun, hingga kini
tenaga apoteker belum dilibatkan secara
optimal pada program JKN.

"Hingga kini, tenaga apoteker belum dilibatkan secara optimal di fasilitas kesehatan
(faskes) tingkat pertama. Seperti Puskesmas, klinik, dan dokter praktek swasta," ujar
Dewan Penasihat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Mohamad Dani Pratomo, pada
Pers Rilis yang diterima Republika, Kamis (17/4).

Menurut Dani, secara normatif obat-obat yang beredar harus mengantongi Surat Izin
Edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pengawasan tersebut,
tentunya harus didukung oleh peran apoteker yang menjadi ujung tombak.

Dani menilai, adanya keluhan pasien yang menerima obat tak berkualitas, sebenarnya
tidak terlalu tepat. Keluhan itu muncul, hanya karena faktor kebiasaan saja. Karena,
dulu sebelum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS-K) beroperasi,
pasien bisa ditawari obat generik atau obat paten.

"Sekarang, di era JKN, obat yang diberikan obat generik. Tetapi, ini tak masalah
karena memiliki kualitas yang sama. Jadi, itu hanya faktor psikologis saja," katanya.

Memang, menurut Dani, tidak mungkin pasien akan diberikan obat yang tidak
berkualitas. BPJS-K juga, harus melakukan efisiensi. Salah satunya, dengan
memberikan obat berkualitas. Karena kalau pasien diberikan obat yang tidak
berkualitas jelas akan berefek pada lamanya masa penyembuhan. Artinya, pengobatan
tidak efisien dan ini akan berpengaruh pada pelayanan kepada pasien.

Dikatakan Dani, munculnya 'keluhan' itu sesuatu yang wajar mengingat BPJS-K baru
Seorang apoteker tengah menata obat
obatan yang tersedia di apotik dalam
Rumah Sehat Masjid Agung Sunda Kelapa,
jakarta, Senin (2/4). (Republika/Agung
Supriyanto)
beroperasi dalam hitungan bulan. Meski begitu, 'kewajaran' ini tetap terus dievaluasi.
Jika belum ada perubahan, berarti ada sistem yang tidak berjalan, yang akan
berpengaruh pada kualitas pelayanan.

"Salah satunya, mungkin karena peran apoteker yang belum dilibatkan dalam program
Jaminan Kesehatan Nasional," katanya.

Apoteker, kata dia, berfungsi untuk memastikan obat yang diresepkan dokter rasional
dan memastikan pasien memahami penggunaannya secara tepat.


Sementara JKN, lebih menekankan kepada layanan medis oleh dokter, yaitu
memeriksa, menegakkan diagnosa, menuliskan resep, lalu diserahkan ke apoteker.

Jadi apoteker tidak dihitung dalam sistem biaya JKN, lebih sebagai penjual obat,
karena kami diberi jasa berdasarkan harga obat, katanya.

Maka tak heran, kata dia, jika apoteker banyak yang tidak 'percaya diri'. Kepercayaan
dirinya tak terbentuk karena banyak yang tidak mempraktikkan dirinya sebagai
apoteker. Selain itu, banyak yang tidak pernah praktik dan belajar. Jadi, ketika ada
obat tidak bereaksi pada pasien, apoteker harusnya mencari penyebabnya. Lalu
mencoba membuat obat yang lebih baik dengan terus mencoba, katanya.

Apoteker juga, kata dia, nyaris tak pernah melaksanakan SOP sebagai pemberi
informasi. Misalnya, ada pasien yang menderita batuk, lalu membeli obat, apoteker
harus menanyakan keluhan sakitnya agar obat yang diberikan tepat. Jika ada pasien
minta obat lain, apoteker harus menjelaskan efek obat itu, khasiatnya bagaimana, dan
lain-lain.

"Misalnya, membeli vitamin C, harus diinformasikan, minum vitamin yang larut
dalam air, itu harus dalam keadaan perut kosong. Selama ini kan penyampaian
informasi tidak dilakukan, katanya.

Menurut Dani, hal tersebut jelas merugikan pasien. Kualitas hidup pasien jadi tidak
meningkat. Terlebih sebanyak 50 persen obat dikonsumsi secara irasional. Ini, sama
saja biaya pengobatan sebesar Rp25 miliar terbuang sia-sia. Ini sama saja apoteker
tidak bertanggung jawab. Tidak sejalan dengan Pasal 24 UU Kefarmasian (PP 51
tahun 2009), katanya.

Deni mengatakan, meski apoteker tidak punya kewenangan mendiagnosa penyakit,
pelayanan informasi penting dilakukan apoteker untuk memastikan obat tersebut
sesuai yang dibutuhkan.

Karenanya ke depan, Deni berharap, jika premi peserta sudah keekonomian, agar ada
kolaborasi praktek antara tenaga kesehatan, yaitu mulai dari dokter, perawat, apoteker,
hingga bidan. Kolaborasi ini, harus dihargai secara proporsional melalui penetapan
kapitasi parsial. Yaitu dokter menerima kapitasi untuk jasa medis, apoteker untuk obat
dan layanan kefarmasian, dan perawat serta bidan untuk asuhan keperawatan.

Sementara menurut Executive Director International Pharmaceutical Manufacturers
Association (IPMG), Parulian Simanjuntak, melalui sistim e-katalog, peran harga
sangat menentukan bahkan pemerintah mungkin menomorduakan kualitas. Namun,
dengan mengikutsertakan peran apoteker sesuai dengan PP 51, maka kualitas
obat-obatan yang diberikan melalui program JKN akan lebih terjamin.



Artikel dipublikasi pada 18 April 2014 04:21 WIB

Sumber: Republika Online. Apoteker Belum Dilibatkan Optimal pada JKN.
www.republika.co.id (diakses pada tanggal 16 September 2014, pukul
18:40 WIB)

Anda mungkin juga menyukai