(Dimuat di Kolom Opini MAJALAH RIAU Edisi 025 tanggal 04-10 Juli 2013)
Jusuf Kalla (JK) dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sama-sama sigap merespon setiap protes negeri jiran atas kabut asap dampak kebakaran di Sumatera. Jusuf Kalla saat menjabat Wakil Presiden RI dengan kepala tegak menolak mentah minta maaf. Kebalikannya, Presiden SBY sekarang dengan kepala menunduk meminta seribu maaf. Efeknya berbeda, JK dahulu panen pujian sedangkan SBY kini hujan kecaman.
Permintaan maaf tidak bisa dipandang sekadar dari perspektif etika. Lebih dari itu melekat harga diri dan posisi geopolitik bangsa. Sepintas meminta maaf adalah terpuji, tetapi sejatinya menunjukkan kerapuhan geopolitik Indonesia dalam diplomasi hubungan internasional.
Indonesia seharusnya mampu tampil terdepan dalam geopolitik regional. Sebagaimana logika JK, sebelas bulan Indonesia memberi udara segar gratis kepada Singapura, Malaysia, bahkan dunia. Mereka tutup mata dan membisu untuk sekadar berterima kasih apalagi memberikan imbal jasa lingkungan. Kabut asap akibat pembakaran hutan hanya berlangsung sebulan, negeri jiran sudah kalang kabut dan protes keras. Klaim kerugian ekonomi dan kesehatan dilayangkan. Anehnya keuntungan ekonomi dan kesehatan selama sebelas bulan ditutup rapat-rapat. Negeri jiran nampak lihai memanfaatkan momentum untuk unjuk kekuatan geopolitik. Siapa kuat akan leluasa berkuasa dan siapa lemah akan mudah dijajah.
Efek Geopolitik
Geopolitik berkembang dari waktu ke waktu. Bernard Cohen (2003) membagi dinamika geopolitik modern ke dalam 5 fase, yaitu the race for imperial hegemony, Geopolitik Jerman, Geopolitik USA, dan saat ini adalah era post cold war. Transformasi bentuk perang saat ini lebih pada penyebaran pengaruh dan paham-paham. Penguasaan suatu bangsa lain cukup dengan pemikiran terbuka dan terus menekan negara tersebut.
Manifestasi Geopolitik Indonesia adalah wawasan nusantara. Wawasan Nusantara dimaknai sebagai cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sesuai dengan geografi wilayah Nusantara yang menjiwai kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan dan cita-cita nasionalnya (Kaelan, 2003). Pemimpin bertanggung jawab penuh atas terealisasikannya wawasan nusantara yang mengarah kepada kuatnya eksistensi bangsa dan kesejahteraan rakyat.
Eksistensi bangsa akan terwujud dengan perpaduan kemampuan survive dan power. Survive dan Power terwujud dengan pemahaman utuh dan integral tentang Geopolitik, baik positioning maupun ruang. Positioning merupakan kesadaran tentang lokasi indonesia yang berada pada posisi sangat strategis, berada di antara dua benua dan dua samudra. Geopolitik sebagai ruang adalah kesadaran bahwa unsur ruang hidup berupa bumi Indonesia ditakdirkan kaya akan SDA. Indonesia harus memaknai positioning maupun ruang dengan memandang dunia internasional dan mengkondisikan relasi-relasinya dalam dunia internasional itu. Pemimpin wajib menampilkan diplomasi internasional yang memiliki posisi tawar kuat dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu penentu kebijakan internasional. Pemimpin juga wajib melindungi rakyatnya dari efek ekspansi ekonomi negara asing.
Frederich Ratzel (1844 1904) sebagai salah satu tokoh pencetus teori geopolitik memaparkan bahwa negara harus mengambil dan menguasai satuan-satuan politik yang berkaitan terutama yang bernilai strategis dan ekonomis demi membuktikan keunggulannya. Hanya negara unggul yang bisa bertahan hidup dan menjamin kelangsungan hidupnya. Geostrategi diawali dengan menguasai heartland lalu menguasai world island , maka dunia akan dikuasai.
Salah satu kriteria heartland adalah kekayaan sumberdaya alam (SDA), karena SDA adalah modal kehidupan negara. Atas dasar ini maka dapat dipahami bahwa Indonesia telah diincar oleh berbagai bangsa sebagai heartland. Hal ini adalah kekuatan sekaligus ancaman. Fakta ekspansi ekonomi melalui penguasaan asing atas perusahaan-perusahaan pertambangan dan perkebunan telah membuktikan. Dalam hal ini negeri jiran selangkah lebih depan dengan ambil bagian dalam proses ekspansi itu.
Adagium politik menyebutkan bahwa bertahan yang paling efektif adalah menyerang. Protes keras negeri jiran sangat mungkin hanya strategi menutupi kedoknya. Sudah rahasia umum pengusaha mereka tidak sedikit yang menjadi investor berbagai perusahaan kelapa sawit di Sumatera. Aparat Indonesia pun mulai mengendus kemungkinan keterlibatan mereka atas pembakaran lahan sekarang. Dalam hal ini posisi tawar Indonesia sangat kuat dan selayaknya justru negeri jiran itu yang datang meminta maaf.
Sayang sekali pemimpin bangsa ini hanya bisa bertahan tanpa selangkah pun menyerang. Meminta maaf yang salah alamat justru dikedepankan. Jelas ini mencederai hati para TKW yang masih banyak mendapatkan perlakuan tidak manusiawi di Malaysia. Langkah permintaan maaf juga melukai nurani rakyat miskin yang uangnya di rampok koruptor dan dibawa lari ke Singapura. Protes keras yang dibalas permintaan maaf adalah kemenangan geopolitik negeri jiran.
Pemulihan
Presiden minimal melalui Menteri Luar Negeri, duta besar, atau diplomatnya wajib segera memulihkan kekuatan geopolitik Indonesia. Bencana kabut asap harusnya dijadikan momentum sebagai bahan pemberian pelajaran bagi negeri jiran. Jika kabut asap saja melumpuhkan kehidupan, maka mereka dapat ditarik tanggung jawabnya ikut menciptakan kualitas lingkungan hidup yang baik di Indonesia. Denda besar harusnya dipungut bagi perusahaan mereka yang turut andil menciptakan kebakaran. Malaysia bisa ditekan agar memperhatikan TKW. Singapura juga bisa diancam untuk tidak membuka diri sebagai surga pelarian koruptor.
Jika terbukti investor asing dari negeri jiran terlibat dalam pembakaran lahan, maka posisi diplomasi akan semakin menguat. Kepala UKP4, Kuntoro Mangkusubroto (21/6) menyatakan bahwa 190 tiitk api di Riau berada pada lahan 2 perusahaan yang berkantor pusat di Singapura. Protes keras dan ancaman serius sebagai bukti kewibawaan geopolitik Indonesia harus dilayangkan. Sanksi beratdan denda besar harus dijatuhkan, apabila perlu dapat diancam dengan penutupan izin investasi dan usaha.
Di sisi lain belum ada kajian seberapa besar sumbangan ekspor asap dari Indonesia yang sampai ke negeri jiran tersebut. BNPB (21/6) melansir data bahwa jumlah titik api mulai awal Tahun 2013 hingga kini justru Indonesia lebih sedikit. Jumlah hotspot di Indonesia adalah 3.862, sementara Thailand 20.208 hotspot, Kamboja 17.757 hotspot, Laos 15.107 hotspot, Myanmar 41.458 hotspot, dan Vietnam 9.769 hotspot. Patut pula diketahui bahwa titik api di Malaysia juga tidak kalah sedikit. Lalu mengapa hanya Indonesia yang harus minta maaf? Mengapa pula Presiden SBY melakukannya? Tidaklah aneh hal itu dilakukan jika kita bijak membaca rekam jejak kepemimpinanya. Semua sudah terlanjur, apa pun alasannya rakyat menunggu langkah taktis SBY menguatkan kembali geopolitik Indonesia sekaligus menunggu langkah sigapnya segera mengatasi kebakaran yang ada.