Data Publikasi : Indonesia Corruption Watch. http://www.antikorupsi.org/id/content/12-poin-ruu-kuhap- %E2%80%9Camputasi%E2%80%9D-sejumlah-kewenangan-kpk diakses pada 20 April 2014, 6.32WIB Undang-undang Republik Indonesia Nomer 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. http://www.kpk.go.id/images/pdf/Undang- undang/uu302002.pdf diakses pada 20 April 2014, 6.33WIB http://www.antaranews.com/berita/421562/muladi-revisi-kuhp-justru-perluas- kewenangan-kpk diakses pada 20 April 2014, 6.33WIB http://nasional.kompas.com/read/2014/03/04/1546169/Mahfud.Jangan.Kurangi.Kewenan gan.KPK diakses pada 20 April 2014, 6.34WIB
Berdasarkan UURI No. 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau disingkat KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Dasar dari pembentukan KPK ini adalah maraknya kasus KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang ada di dalam masyarakat Indonesia terutama di kalangan aparat pemerintah. Sesuai dengan tujuannya, KPK memiliki tugas yaitu, koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Instansi yang berwenang di sini adalah kepolisian, kejaksaan, ataupun pengadilan tinggi. Adapun kewenangan KPK dalam melakukan tugasnya yaitu, mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi, menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi, meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait, melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. Sesuai dengan tugas KPK tentang supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK memiliki kewenangan yaitu dengan melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. Sedangkan pada tugas KPK tentang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, KPK memiliki kewenangan yaitu, melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan, memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri, meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa, memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait, memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya, meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait, menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa, meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri, meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan. Pertengahan Maret sampai awal April lalu, terjadi perumusan RUU KUHAP dan KUHP tentang tindak KPK. Biasanya, adanya RUU seperti ini akan menghasilkan suatu kemajuan dan dukungan penuh dari berbagai pihak, namun nyatanya, RUU ini mendapat banyak kecaman karena salah satu kewenangan KPK yaitu melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dihapuskan. Menurut Mahfud MD, mantan ketua Mahkamah Konstitusi, dengan dihapuskannya kewenangan tersebut, melemahkan KPK karena itu senjata terbaik mereka dan memang terbukti efektif untuk menjerat para koruptor. Indonesia Corruption Watch juga berpendapat demikian, bahkan institusi ini membuat beberapa poin yang berpotensi membunuh KPK di antaranya, penghentikan penuntutan suatu perkara. Dalam Pasal 44 RUU KUHAP mengatur tentang penuntut umum dapat mengajukan suatu perkara kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk diputus layak atau tidak layak untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan. Berdasarkan ketentuan ini, penuntutan kasus korupsi yang ditangani KPK dapat dihentikan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Ini bertentangan dengan semangat melakukan pemberantasan kejahatan tindakan luar biasa dalam UU KPK. Dalam UU KPK, KPK tidak dapat menghentikan penyidikan atau penuntutan. Lalu, poin selanjutnya yang tak kalah membuat para penciduk koruptor geram adalah putusan Mahkamah Agung tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi. Dalam Pasal 250 KUHAP mengatur tentang putusan Mahkamah Agung mengenai pemidanaan tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi. Dampaknya, jika kasus korupsi yang diajukan KPK divonis berat di tingkat pengadilan pertama atau banding, dapat dipastikan vonisnya lebih rendah jika diajukan di kasasi. Ini menjadi celah bagi koruptor untuk mendapatkan diskon masa hukuman jika prosesnya berlanjut hingga kasasi. Namun, di balik semua kecaman dan berbagai alasan itu, ketua Tim Perumus RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Muladi tetap bersikukuh ingin menetapkan RUU ini. Ia menyatakan bahwa revisi KUHP justru akan memperkuat atau memperluas kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas praktik korupsi di Indonesia. RUU KUHP telah mengadopsi Konvensi PBB untuk melawan Korupsi melalui UNCAC tahun 2003 yang telah diratifikasi Indonesia. Miladi menerangkan pasal 691 RUU KUHP yang mengatur tentang kriminalisasi penggunaan atau memperdagangkan pengaruh (trading in influence) yang belum diatur dalam UU Tipkior. Demikian juga pasal 693 terkait suap terhadap pejabat asing atau pejabat organisasi internasional. Selain itu, pasal 694 mengatur tentang korupsi di sektor swasta yang selama ini belum diatur. Kontroversipun masih terjadi hingga sekarang dan masih belum jelas bagaimana nasib RUU ini namun semua pihak pasti berharap hasil yang akan keluar semata-mata hanya ingin memberantas tikus-tikus masyarakat untuk menjadikan Indonesia yang lebih baik.