Anda di halaman 1dari 2

Hubungan Internasional Dekade 1990-an: Hegemoni, Dekonstruksi, dan Agenda

Review Essay

Claudia Rahmania Yusron
135120407121023
HI-ING-3
Disiplin SHI memiliki tiga paradigma dominan yang menjadi titik tolak untuk penelitian
dalam bidang studi ini, yakni: Realisme, Strukturalisme dan Pluralisme. Konsensus ini
merupakan landasan suatu bidang studi dalam berteori yang nantinya berdampak pada asumsi
para penstudi HI untuk mengharuskan dirinya meng-approach suatu studi kasus dengan salah
satu paradigma ini sebagai landasan analisa. Konsep pengkatagorian ketiga paradigma itulah
yang merupakan suatu cerminan hegemonik yang dibangun diatas fondasi epistemologi
positivistic seperti observasi, verifikasi dan correspondence theory of truth.
Namun, Gaddis melalui fenomena perang dingin melontarkan kritikan terhadap teori SHI
dengan menyatakan teori-teori itu mempunyai kelemahan metodologis dan teoritis seperti terlalu
fokus terhadap pengumpulan data atau pemetaan realitas yang tidak menghasilkan teori prediktif
sehingga gagal dalam mengantisipasi berakhirnya perang dingin, padahal memprediksi suatu
fenomena merupakan fungsi utama dari teori HI. Sehingga terciptalah image bahwa kapasitas
SHI masih hanya pada tahapan menjelaskan sesuatu yang telah terjadi instead of memprediksi
sesuatu yang akan terjadi.
Terlepas dari kritikan pedas Gaddis, empat kritikan pasca positivism juga berkontribusi
dalam membuat status identitas bidang SHI ini semakin krisis, yang pertama kritik
epistemology yang menolak asumsi realitas external, konsep ini menurut kaum epistemology
membuat studi ini terjebak dalam ilusi bahwa konsep yang dibangun merupakan representasi dari
realitas, dengan kata lain teori dimitoskan sebagai realita sedangkan pasca positivism percaya
bahwa teori adalah praktek, dan yang harus menjadi concern kita adalah apa yang sebenarnya
terjadi pada realita bukannya apa yang seharusnya terjadi. Kedua, kritik ontology yang
menitikberatkan pada dominasi epistemology atas ontology yang dianggap sebagai kesia-siaan
(detour) akademisi HI yang lebih cenderung memfokuskan pada metodologi sebagai inti
akademik dan menyampingkan ontology sehingga hal itu mengakibatkan analisa yang dibuat
oleh para penstudi HI tidak berkorespondensi dengan realitas yang ada. Ketiga, kritik politik
keilmuan yang fokus pada konsep batasan akademik yang ada pada SHI konvensional yang
dimana hal ini merupakan sebuah proses marginalisasi paradigma dalam SHI yang berimplikasi
terhadap adanya underestimate diantara masing-masing paradigma. Keempat, kritik kultural
Hubungan Internasional Dekade 1990-an: Hegemoni, Dekonstruksi, dan Agenda
Review Essay

memusatkan pada asumsi seluruh entrepise HI bahwa SHI merupakan bidang studi yang
universal, namun pada kenyataannya SHI lebih cenderng menjadi alat untuk merasionalisasikan
hegemoni AS dalam panggung hubungan internasional. Keempat kritikan diatas telah
menunjukkan bawasannya SHI sedang mengalami apa itu yang disebut dengan krisis identitas
dengan terkikisnya konsensus tentang pengertian, bidang kajian, dan hakikat bidang SHI
sehingga mewajibkan para akademisi HI untuk memikirkan agenda-agenda baru sebagai
pertahanan substansi bidang SHI.
Agenda baru pasca positivisme itu tercakup dalam empat perspektif, yang pertama
adalah critical theory yang focus pada bagaimana tata dunia itu terbentuk dan tidak menganggap
hal itu sebagai sesuatu hal yang given. Yang kedua adalah post modernisme, yang bertujuan
untuk menginterograsi HI yang sekarang melalui sejarah, menemukan margin politik serta
mendengarkan suara minoritas yang ditenggelamkan oleh diskursus dominan, menginvestigasi
interplay dibalik kekuasaan politik dan menelaah bagaimana bagaimana pemikiran pinggiran
mendapatkan tempat di panggung internasional sedangkan pemikiran yang lain pupus. Ketiga,
perspective feminisme yang menitikberatkan terhadap konstelasi ilmu pengetahuan dilihat dari
segi gender. Kritiknya mencakup cara pandang terhadap dunia selama ini yang dilihat secara
maskulin dan cara pandang wanita yang kerapkali diabaikan. Perspektif ini menganggap SHI
mengambil konsep yang sempit mengenai apa yang relevan sebagai bagian dari subject matter
yang menyebabkan aspek wanita terabaikan dalam konsepsi seperti itu. Feminisme menolak
pengkategorian antara the personal dan the political, dalam konsep mereka berlaku the personal
adalah the political. Yang keempat adalah perspektik normative yang cenderung untuk
mengambil hikmah dari sebuah kejadian di masa lampau untuk menjadi yang lebih baik dengan
tujuan merujukkan kembali filsafat dengan HI yang masing-masing cenderung berjalan terpisah
selama beberapa dekade ini.
Dari wacana diatas, hikmah yang dapat diambil adalah para entrepise SHI sejagad raya
Indonesia harus melangkah lebih jauh dengan menciptakan agenda kita sendiri untuk di
pamerkan pada panggung internasional, dengan mengambil langkah seperti merevisi
kurikulum SHI pada PT di Indonesia agar lebih peka terhadap isu-isu kontemporer serta
meningkatkan capability para pengajar untuk meningkatkan produktivitas menulis, kecepatan
persediaan informasi dan keberanian dalam ikut serta dalam dialog internasional.

Anda mungkin juga menyukai