Anda di halaman 1dari 11

1

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Isbal

Isbal secara bahasa adalah masdar dari asbala, yusbilu-isbaalan, yang
bermakna irkhaa-an, yang artinya; menurunkan, melabuhkan atau
memanjangkan. Isbal menurut syari adalah melabuhkan (menjulurkan) pakaian
serta membiarkannya terurai ke bawah sehingga melampaui batasan yang telah
ditetapkan di dalam syariat (melebihi mata kaki), dan perkara tersebut tidak
terhad kepada isbal dengan niat sombong.
B. Hadits-hadits tentang Isbal
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda: Apa saja yang
melebihi dua mata kaki dari kain sarung, maka tempatnya di neraka. (HR.
Bukhari No. 5787, An Nasai dalam As Sunan Al Kubra No. 9705,
Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul Umal No. 41158)
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Allah tidak melihat
pada hari kiamat nanti kepada orang yang menjulurkan kainnya (hingga
melewati mata kaki) dengan sombong. (HR. Bukhari No. 5788. Muslim
No. 2087)
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Sesungguhnya orang
yang menjulurkan pakaiannya dengan sombong, maka Allah tidak akan
melihatnya pada hari kiamat nanti. (HR. Muslim No. 2085. Ibnu Majah
No.3569, 3570, An Nasai No. 5327, Ahmad No. 4489)
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Ketika seorang laki-laki
memanjangkan kainnya dengan sombong, dia akan ditenggelamkan
dengannya dibumi dan menjerit-jerit sampai hari kiamat. (HR. Bukhari
No. 3485. Muslim No. 2088, Ahmad No. 5340)
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Barangsiapa yang
menjulurkan pakaiannya dengan sombong maka Allah tidak akan
melihatnya pada hari kiamat nanti. Abu Bakar berkata: Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku salah seorang yang celaka, kainku turun,
sehingga aku selalu memeganginya. Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda: Sesungguhnya kamu bukan termasuk orang yang
melakukannya karena kesombongan. (HR. Bukhari No. 3665, An Nasai
No. 5335, Ahmad No. 5351)
Dari Ibnu Umar, dia berkata: Aku melewati Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam, dan kain sarungku menjulur ke bawah. Beiau bersabda:
Wahai Abdullah, naikan kain sarungmu. Maka aku pun menaikannya.
Lalu Beliau bersabda lagi: Tambahkan. Maka aku naikkan lagi, dan aku
senantiasa menjaganya setelah itu. Ada sebagian orang yang bertanya:
Sampai mana batasan? Beliau bersabda: Setengah betis. (HR. Muslim
No. 2086, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3134)

2
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Tempatnya izar
1

adalah sampai setengah betis, jika kamu tidak mau maka dibawahnya, jika
kamu tidak mau maka di bawah betis dan tidak ada hak bagi kain itu atas
kedua mata kaki. (HR. At Tirmidzi No. 1783. Katanya: hasan shahih, An
Nasai No. 5329, Ibnu Majah No. 3572)
Dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu alihi wa sallam, beliau bersabda,
Barang siapa yang menyeret pakaiannya (di tanah) karena sombong, Allah
tidak akan melihatnya pada hari Kiamat., Abu Bakar mengeluh Wahai
Rasulullah, sesungguhnya salah satu sisi sarung (pakaian bawah)ku
(melorot) turun (melebihi batas mata kaki) kecuali kalau aku (senantiasa)
menjaga sarungku dari isbal. Nabi shallallahu alihi wa sallam
mengatakan :Engkau bukan termasuk yang melakukannya karena
sombong. (HR Al-Bukhari no 5784)
Dari Abu Wail, dari Ibnu Masud bahwasanya ia menjulurkan sarungnya.
Lalu ditanyakan kepadanya perihal Isbalnya, ia pun menjawab, Aku
adalah seorang yang kecil kedua betisnya. (HR Ibnu Abi Syaibah)
Dari Abu Ishaq, ia berkata, Aku melihat Ibnu Abbas pada hari Mina
beliau berambut panjang, mengenakan sarung yang mencapai sebagian
isbal, dan mengenakan mantel berwarna kuning. (HR Ath Thabrani)
Dari budak ibnu Abbas, bahwasanya ibnu Abbas jika mengenakan sarung
beliau menjulurkan bagian depan sarungnya hingga ujung sarungnya
menyentuh punggung kakinya. (HR An Nasai)
Dari Amr bin Muhajir, ia berkata, Jubah-jubah Umar bin Abdul Aziz,
serta pakaian-pakaiannya menjulur hingga antara mata kaki dan tali
sandalnya. (HR Ibnu Abi Syaibah)
C. Perbedaan Pendapat dalam Mengambil Hukum
Para ulama berbeda pendapat dalam mengambil hukum atas hadits-hadits
tersebut. Adapun sebab perbedaan ulama dalam teks yang bersifat dhanni atau
yang lafadhnya mengandung kemungkinan makna lebih dari satu adalah sebagai
berikut:
1. Perbedaan makna lafadh teks Arab.
Perbedaan makna ini bisa disebabkan oleh lafadh tersebut umum atau lafadh yang
memiliki arti lebih dari satu makna, atau makna lafadh memiliki arti umum dan
khusus, atau lafadh yang memiliki makna hakiki atau makna menurut adat
kebiasaan, dan lain-lain.
Contohnya, lafadh al quru memiliki dua arti; haid dan suci (Al Baqarah:228).
Atau lafadh perintah (amr) bisa bermakna wajib atau anjuran. Lafadh nahy;
memiliki makna larangan yang haram atau makruh.

1
Sejenis kain sarung

3
Contoh lainnya adalah lafaz yang memiliki kemungkinan dua makna antara umum
atau khusus adalah Al Baqarah: 206 Tidak ada paksaan dalam agama apakah ini
informasi memiliki arti larangan atau informasi tentang hal sebenarnya?
2. Perbedaan riwayat.
Maksudnya adalah perbedaan riwayat hadits. Faktor perbedaan riwayat ada
beberapa, diantaranya:
hadits itu diterima (sampai) kepada seorang perawi namun tidak sampai
kepada perawi lainya
atau sampai kepadanya namun jalan perawinya lemah dan sampai kepada
lainnya dengan jalan perawi yang kuat
atau sampai kepada seorang perawi dengan satu jalan; atau salah seorang
ahli hadits melihat satu jalan perawi lemah namun yang lain menilai jalan
itu kuat
atau dia menilai tak ada penghalang untuk menerima suatu riwayat hadits.
Perbedaan ini berdasarkan cara menilai layak tidaknya seorang perawi
2

sebagai pembawa hadits.
atau sebuah hadits sampai kepada seseorang dengan jalan yang sudah
disepakati, namun kedua perawi berbeda tentang syarat-syarat dalam
beramal dengan hadits itu.
3. Perbedaan sumber-sumber pengambilan hukum.
Ada sebagian berlandasan sumber istihsan, masalih mursalah, perkataan sahabat,
istishab, saddu dzarai dan sebagian ulama tidak mengambil sumber-sumber
tersebut.
4. Perbedaan kaidah ushul fiqh.
Seperti kaidah usul fiqh yang berbunyi Nash umum yang dikhususkan tidak
menjadi hujjah (pegangan), mafhum (pemahaman eksplisit) nash tidak
dijadikan dasar, tambahan terhadap nash Quran dalam hukum adalah nasakh
(penghapusan). Kaidah- kaidah ini menjadi perbedaan ulama.
5. Ijtihad dengan qiyas.
Dari sinilah perbedaan ulama sangat banyak dan luas. Sebab Qiyas memiliki asal
(masalah inti sebagai patokan), syarat dan illat. Dan illat memiliki sejumlah syarat
dan langkah-langkah yang harus terpenuhi sehingga sebuah prosedur qiyas bisa
diterima. Di sinilah muncul banyak perbedaan hasil qiyas disamping juga ada
kesepakatan antara ulama.

2
Orang yg meriwayatkan hadis

4
6. Pertentangan (kontradiksi) dan tarjih antar dalil-dalil.
Ini merupakan bab luas dalam perbedaan ulama dan diskusi mereka. Dalam bab
ini ada yang berpegang dengan takwil, talil, kompromi antara dalil yang
bertentangan, penyesuaian antara dalil, penghapusan (naskh) salah satu dalil yang
bertentangan. Pertentangan terjadi biasanya antara nash-nash atau antara qiyas,
atau antar sunnah baik dalam perkataan Nabi dengan perbuatannya, atau dalam
penetapan-penetapannya. Perbedaan sunnah juga bisa disebabkan oleh penyifatan
tindakan Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam dalam berpolitik atau memberi
fatwa.
Dari sini bisa diketahui bahwa ijtihad ulama semoga Allah membalas mereka
dengan balasan kebaikan tidak mungkin semuanya merepresentasikan sebagai
syariat Allah yang turun kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam. Meski
demikian kita memiliki kewajiban untuk beramal dengan salah satu dari
perbedaan ulama. Yang benar, kebanyakan masalah ijtihadiah dan pendapat yang
bersifat zhanniyah dihormati dan disikapi sama.
D. Disepakati Isbal dengan Kesombongan adalah Terlarang
Para ulama di sepanjang masa telah menyepakati bahwa isbal dengan
tujuan riya dan sombong adalah hal yang diharamkan berdasarkan hadits-hadits
tersebut.
Selain itu dalam Al Quran disebutkan:

Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya
dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya kepada manusia serta menghalangi
(orang) dari jalan Allah. (QS Al Anfal 47)


5
Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena
sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu
tidak akan sampai setinggi gunung. (QS. Al Israa 37)

Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan
hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka
(orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan
berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman. (QS. Al Hijr 88)

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. Luqman
18)
E. Pendapat yang Melarang Isbal Meski Tanpa Kesombongan
Kelompok ini berpendapat bahwa isbal adalah haram baik dengan sombong atau
tidak, dan dengan sombong keharamannya lebih kuat dengan ancaman neraka,
jika tidak sombong maka tetap haram dan Allah Taala tidak mau melihat di
akhirat nanti kepada pelakunya (musbil). Kelompok ini memahaminya sesuai
zahirnya hadits. Demikian penjelasan Ustadz Farid Numan Hasan.
Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan, Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa
menjulurkan kain sarung dengan sombong adalah dosa besar, sedangkan jika tidak
dengan sombong menurut zhahir hadits adalah haram juga. Tetapi hadits-hadits
yang ada menunjukkan harus dibatasi dengan khuyala lantaran hadits-hadits yang
menyebutkan ancaman dan celaan isbal masih bersifat mutlak (umum), maka dari
itu yang umum harus dibatasi di sini. Maka, tidak haram menjulurkan pakaian jika
selamat dari rasa sombong.
Kemudian beliau berkata, Kesimpulannya, isbal itu melazimkan terjadinya
menjulurnya pakaian, dan menjulurkan pakaian melazimkan terjadinya
kesombongan, walau pun pemakainya tidak bermaksud sombong.

6
Ibnul Arabi dari kalangan madzhab Malikiyah berkata: Tidak boleh bagi
seorang laki-laki membiarkan pakaiannya hingga mata kakinya lalu berkata:
Saya menjulurkannya dengan tidak sombong. Karena secara lafaz,
sesungguhnya larangan tersebut telah mencukupi, dan tidak boleh juga lafaz yang
telah memadai itu ada yang menyelisihinya secara hukum, lalu berkata: Tidak
ada perintahnya, karena alasannya itu tidak ada. Sesungguhnya itu adalah klaim
yang tidak benar, bahkan memanjangkan ujung pakaian justru itu menunjukkan
kesombongan sendiri.
Dalam Adab Asy Syariah, disebutkan dalam riwayat lain bahwa Imam Ahmad
juga mengharamkan isbal. Dan dalam riwayat lain membolehkannya.
Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz berkata, Banyak hadits-hadits yang
semakna dengan ini, yang menunjukkan haramnya isbal secara mutlak, walaupun
pemakainya mengira bahwa dia tidak bermaksud untuk sombong, karena hal itu
menjadi sarana menuju kepada kesombongan, selain memang hal itu merupakan
berlebihan, dapat mengantarkan pakaian kepada najis dan kotoran. Ada pun jika
memakainya dengan maksud sombong perkaranya lebih berat lagi dan dosanya
lebih besar.
F. Pendapat yang Membolehkan Isbal Tanpa Kesombongan
Ustadz Farid Numan Hasan mengatakan, Kelompok ini mengatakan bahwa
dalil-dalil larangan isbal adalah global, sedangkan dalil global harus dibatasi oleh
dalil yang spesifik. Jadi, secara global isbal memang dilarang yaitu haram, tetapi
ada sebab yang men-taqyid-nya yaitu karena sombong. Kaidahnya adalah Hamlul
muthlaq ilal muqayyad (dalil yang global mesti dibawa/dipahami kepada dalil
yang mengikatnya/mengkhususkannya).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid berkata, Dan mayoritas Ulama dari
kalangan empat madzhab tidak mengharamkannya.
Dalam Al Adab Asy Syariah disebutkan pengarang Al Muhith dari kalangan
Hanafiyah, dan diriwayatkan bahwa Abu Hanifah Rahimahullah memakai mantel
mahal seharga empat ratus dinar, yang menjulur hingga sampai tanah. Maka ada
yang berkata kepadanya: Bukankah kita dilarang melakukan itu?
Abu Hanifah menjawab: Sesungguhnya larangan itu hanyalah untuk yang
berlaku sombong, sedangkan kita bukan golongan mereka.
Masih dari Al Adab Asy Syariah disebutkan kalangan madzhab Hanabilah
mengatakan, Menjulurnya kain sarung, jika tidak dimaksudkan untuk sombong,
maka tidak mengapa. Demikian ini merupakan zhahir perkataan lebih dari satu
sahabat-sahabatnya (Imam Ahmad) rahimahumullah.

7
Dalam Kasyful Qina, Imam Ahmad dalam riwayat Hambali mengatakan,
Menjulurkan kain sarung, dan memanjangkan selendang (sorban) di dalam
shalat, jika tidak ada maksud sombong, maka tidak mengapa (selama tidak
menyerupai wanita), jika demikian maka itu berbuatan keji.
Masih dalam Al Adab Asy Syariyah disebutkan, Syaikh Taqiyyuddin
Rahimahullah (maksudnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) memilih untuk tidak
mengharamkannya, dan tidak melihatnya sebagai perbuatan makruh, dan tidak
pula mengingkarinya.
Dalam Syarhu Umdah, Ibnu Taimiyah berkata, Ada pun jika memakainya tidak
dengan cara sombong, tetapi karena ada sebab atau hajat/kebutuhan, atau tidak
bermaksud sombong dan menghias dengan cara memanjangkan pakaian, dan tidak
pula selain itu, maka itu tidak apa-apa. Ini juga pendapat yang dipilih oleh Al
Qadhi dan selainnya.
Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar berkata, Pembatasan yang jelas dengan
perkataan kesombongan menunjukkan bahwa pemahamannya adalah menyeret
pakaian tanpa disertai kesombongan tidak termasuk dalam ancaman ini.
Beliau juga berkata, Dan dengan inilah telah terjadi pengkompromian antara
hadits-hadits tanpa perlu menyia-nyiakan Qaid sombong yang dinyatakan dengan
jelas dalam Shahih Bukhari dan Muslim.
Abu Hatim berkata, Perintah untuk meninggalkan menganggap remeh hal yang
maruf adalah perintah yang bermaksud untuk mendidik. Dan larangan untuk
tidak mengIsbalkan sarung adalah larangan yang pasti karena sebab yang telah
diketahui, yakni kesombongan. Oleh karena itu, jika kesombongan itu tidak ada,
maka tidaklah mengapa Isbal sarung. (Shahih Ibnu Hibban)
Imam As Suyuthi berkata, Orang yang isbal sarung adalah yang menjulurkannya
dan menyeret kedua ujungnya dalam rangka kesombongan. Dan ini dikhususkan
oleh hadits yang lain Allah tidak akan melihat kepada orang yang menyeret
pakaiannya karena sombong dan Rasulullah memberikan keringanan dalam hal
itu untuk Abu Bakr karena ia menyeretnya bukan karena kesombongan.
Syaikh Abdurrahman bin Abdillah Al Bassam berkata, Sesungguhnya kaidah
ushul hamlul Muthlaq alal muqayyad adalah kaidah umum yang terdapat pada
nash-nash syara. Asy Syari (Allah) yang Maha Bijak tidak membatasi
pengharaman isbal dengan kesombongan kecuali karena hikmah yang
dikehendaki. Andaikan tidak ada hikmah yang dikehendaki, tentu Dia tidak akan
membatasinya. Hukum asal pakaian adalah mubah. Tidak ada yang haram darinya
kecuali bila Allah dan RasulNya mengharamkannya. Asy Syari memaksudkan
pengharaman cara berpakaian khusus ini adalah pada kesombongan pada isbal.
Jika tidak, maka cara berpakaian yang disebutkan seharusnya tetap dalam
kemubahannya. Dan jika kita melihat pada umumnya pakaian serta model dan

8
bentuknya, kita tidak menemukan adanya sesuatu yang diharamkan kecuali
pengharamannya karena sebab tertentu. Jika tidak, maka apalah artinya
pengharamannya dan apa tujuan pengharamannya. Oleh sebab itu, maka
pemahaman terhadap hadits ini adalah barangsiapa yang Isbal dan tidak dalam
rangka sombong dan angkuh, maka ia tidak masuk dalam ancaman. (Taudhih Al
Ahkam min Bulugh Al Maram)
G. Kelompok yang Memakruhkan Isbal Tanpa Kesombongan
Ustadz Farid Numan Hasan mengatakan, Kelompok ini adalah kelompok
mayoritas, mereka menggunakan kaidah yang sama dengan kelompok yang
membolehkan, yakni larangan isbal mesti dibatasi oleh khuyala (sombong).
Hanya saja kelompok ini tidak mengatakan boleh jika tanpa sombong, mereka
menilainya sebagai makruh tanzih, tapi tidak pula sampai haram.
Imam An Nawawi mengatakan, Tidak boleh isbal di bawah mata kaki jika
sombong, jika tidak sombong maka makruh. Secara zhahir hadits-hadits yang ada
memiliki pembatasan jika menjulurkan dengan sombong, itu menunjukkan bahwa
pengharaman hanya khusus bagi yang sombong.
Ibu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari mengutip Imam An Nawawi yang
berkata, Isbal dibawah mata kaki dengan sombong, jika tidak sombong maka
makruh. Demikian itu merupakan pendapat Asy Syafii tentang perbedaan antara
menjulurkan pakaian dengan sombong dan tidak dengan sombong.
Dia berkata: Disukai memakai kain sarung sampai setengah betis, dan boleh saja
tanpa dimakruhkan jika dibawah betis sampai mata kaki, sedangkan di bawah
mata kaki adalah dilarang dengan pelarangan haram jika karena sombong, jika
tidak sombong maka itu tanzih. Karena hadits-hadits yang ada yang menyebutkan
dosa besar bagi pelaku isbal adalah hadits mutlak, maka wajib mentaqyidkan
mengkhususkan/membatasinya hadits itu adalah karena isbal yang dimaksud jika
disertai sombong.
Ibnu Abdil Barr berkata: Bisa difahami bahwa menjulurkan pakaian bukan
karena sombong tidaklah termasuk dalam ancaman hadits tersebut, hanya saja
memang menjulurkan gamis dan pakaian lainnya, adalah tercela di segala
keadaan.
Al Qadhi Iyadh berkata, Berkata para ulama: Secara global dimakruhkan setiap
hal yang melebihi dari kebutuhan dan berlebihan dalam pakaian, baik berupa
panjangnya dan lebarnya.
Jadi, kata Ustadz Farid Numan Hasan, makruhnya itu adalah jika lebih dan
tambahan itu diluar kebiasaan yang terjadi lazimnya di masyarakat. Nah, zaman
ini dan dibanyak negeri muslim, umat Islam terbiasa dengan isbal sebatas mata
kaki lebih sedikit. Bisa jadi ini juga telah menjadi bagian dari kebiasan yang
dimaksud, dan makruh jika melewati kebiasaan itu. Namun ada pula yang

9
mengatakan bahwa standar kebiasaan tersebut hanyalah kebiasaan yang terjadi
masa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, bukan selainnya.
Sementara itu, Ibnu Qudamah Al Maqdisyi berkata, Dimakruhkan isbal gamis,
kain sarung, dan celana panjang, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
memerintahkan menaikannya. Tetapi jika isbal dengan sombong maka haram.
Untuk zaman ini, para ulama pun berbeda pendapat. Syaikh Yusuf Al Qaradhawi
tidak mengharamkan isbal kecuali dengan sombong, begitu pula umumnya para
ulama Mesir, Pakistan, India, dan lain-lain. Sementara yang mengharamkan
seperti Syaikh Ibnu Al Utsaimin, para ulama Lajnah Daimah, sebagian ulama
Pakistan, Saudi Arabia, Yaman, dan lain-lain.
H. Isbal Bagi Wanita
Dari Ibnu Umar, beliau berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersada: Barang siapa menjulurkan pakaiannya (di tanah) Allah tidak akan
melihatnya pada hari kiamat. Ummu Salamah bertanya, Apa yang harus
dilakukan para wanita dengan ujung-ujung baju mereka? Rasulullah menjawab,
Mereka menurunkannya (di bawah mata kaki) hingga sejengkal. Kalau begitu
akan tersingkap kaki-kaki mereka, jelas Ummu Slamah. Rasulullah shallallahu
alihi wa sallam berkata (lagi):, Mereka turunkan hingga sehasta dan jangan
melebihi kadar tersebut. (HR At Tirmidzi IV/223 no 1731 dan berkata, Ini
adalah hadits hasan shahih.)
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengkhususkan para wanita dengan
hukum yang berbeda dari hukum isbal bagi para lelaki serta mengkhususkan
mereka dari keumuman nash. Ibnu Hajar Al Asqalani berkata: Hal itu karena
para wanita membutuhkan untuk memanjangkan pakaian guna menutupi aurat
mereka karena seluruh bagian telapak kaki termasuk aurat.
Hal ini berdasarkan ayat tentang jilbab,

Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri
orang mukmin:Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh
mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu
mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. Al-Ahzab: 59)

10
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Isbal merupakan suatu perkara yang sangat sering kita lihat, dimana isbal itu
sendiri adalah memanjangkan atau menjulurkan, baik celana maupun sarung di
bawah mata kaki, dimana hal ini dimasukkan dalam hal yang dilarang di Islam.

Perihal perkara ini, kita sebagaimana muslim hendaknya lebih memikirkan, dan
lebih mengkaji tentang perkara ini, walaupun banyak terjadi perbedaan pendapat
dan perbedaan pemikiran, menurut penulis dan rekan penulis, alangkah lebih
baiknya kita menghindari pertentangan tersebut, dengan cara kita mengikuti apa
yang telah dikatakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Dimana dengan mengikuti perintah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
berupa meninggalkan isbal memiliki hikmah tersendiri.
1. Mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berdasarkan
ayat Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. (Al Hasyr :7) Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan Dia banyak menyebut Allah. (Al Ahzab : 21 )
2. Lebih terhindar dari najis dan kotoran. Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, Naikkan sarungmu karena hal itu lebih menunjukkan
ketakwaan. Dalam lafazh yang lain Lebih suci dan bersih. (HR At
Tirmidzi dalam Syamail 97, Ahmad 5/364)
3. Bersikap wara. Wara adalah meninggalkan setiap perkara syubhat (yang
masih samar), termasuk pula meninggalkan hal yang tidak bermanfaat
untukmu, yang dimaksud adalah meninggalkan perkara mubah yang
berlebihan. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
Keutamaan menuntut ilmu itu lebih dari keutamaan banyak ibadah. Dan
sebaik-baik agama kalian adalah sifat wara. (HR. Ath Thabrani dalam
Al Awsath, Al Bazzar dengan sanad yang hasan).
4. Keluar dari perselisihan hukum fiqih. Ulama fiqih menyebutkan suatu
kaidah yang penting yang seyogyanya dijadikan pegangan yaitu,
Yustahabbul khuruj minal khilaf, dianjurkan untuk keluar dari
perselisihan.



11
Daftar Pustaka

1. Shalih bin Abdul Azis (2009). Ensiklopedi Kesalahan Dalam Ibadah. Solo:
Media Zikir.
2. Mahmud bin Rasyid (2009). Ensiklopedia Fatwa Syaikh Albani. Jakarta:
Pustaka As-Sunnah.
3. Ibnu Hajar Al-Asqalani (2011). Ensiklopedi Anjuran dan Larangan.
Jakarta: Pustaka As-Sunnah
4. Fimadani,Hukum Memanjangkan Pakaian Melebihi Mata Kaki atau
Isbal, http://www.fimadani.com/hukum-memanjangkan-pakaian-
melebihi-mata-kaki-atau-isbal/ (diakses 1 Mei 2014).
5. Asysyariah, Hadist Hukum Isbal, http://asysyariah.com/hadits-hukum-
isbal/ (diakses 1 Mei 2014).
6. Muslim.or.id, Syubhat Seputar Larangan Isbal, http://muslim.or.id/fiqh-
dan-muamalah/syubhat-seputar-larangan-isbal.html (diakses 1 Mei 2014).
7. Pustaka Imam Syafii, Larangan Keras Terhadap Isbal,
http://pustakaimamsyafii.com/larangan-keras-terhadap-isbal-menjulurkan-
kain-hingga-di-bawah-mata-kaki.html (diakses 1 Mei 2014).
8. Oh Islam, Fenomena Isbal Dalam Kalangan Lelaki,
http://ohislam.com/fenomena-isbal-dalam-kalangan-lelaki/ (diakses 1 Mei
2014).
9. Almanhaj, Larangan Isbal Melabuhkan Pakaian Hingga Menutup Mata
Kaki, http://almanhaj.or.id/content/2115/slash/0/larangan-isbal-
melabuhkan-pakaian-hingga-menutup-mata-kaki/ (diakses 1 Mei 2014).
10. Ibnu Ismail bin Ibrahim, Hukum Isbal Bagi Wanita,
http://ibnuismailbinibrahim.blogspot.com/2009/02/hukum-isbal-bagi-
wanita.html (diakses 4 Mei 2014).

Anda mungkin juga menyukai