Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Maksud
Memahami tekstur dan struktur batuan sedimen klastik.
Memahami bagaimana proses pembentukkan batuan sedimen klastik.
Menganalisa berbagai komposisi dalam batuan sedimen klastik.
Memahami cara penamaan batuan dengan klasifikasi yang telah
ditentukan.

1.2 Tujuan
Dapat memahami tekstur dan struktur batuan sedimen klastik.
Dapat memahani bagaimana proses pembentukkan batuan sedimen
klastik.
Dapat menganalisa berbagai komposisi dalam batuan sedimen klastik.
Dapat memahami cara penamaan batuan dengan klasifikasi yang telah
ditentukan.

1.3 Waktu pelaksanaan praktikum
Hari / tanggal : 17 April dan 22 April 2014
Waktu : 16.00 WIB
Tempat : Ruang Seminar, Gedung Sukowati Teknik Geologi
UNDIP, Semarang.





2

BAB II
HASIL DESKRIPSI
2.1 Batu Peraga No. BSK 10
Deskripsi Megaskopis
Warna : Coklat Muda
Struktur : Laminasi & Ripple mark
Tekstur
Ukuran Butir : 1/4 1/2 mm (pasir sedang)
Bentuk Butir : Well Rounded
Kemas : Tertutup
Sortasi : Well Sorted
Derajat Kematangan : -

Komposisi
Fragmen : Pasir Sedang (1/4-1/2mm)
Matriks : Pasir Halus Lempung
Semen : Karbonatan

Petrogenesa :
Batu dengan nomor peraga BSK 10 ini mimiliki struktur laminasi, ukuran
butir -1/2 mm, bentuk butir well rounded, kemas tertutup dan sortasi well
sorted. Fragmen dari batu ini adalah pasir sedang, matriksnya pasir halus
sampai lempung dan semennya bersifat karbonatan. Berdasarkan diagram
Hjulstrom, batu ini tererosi dengan kecepatan aliran sekitar 20-30 cm/s,
dilihat dari ukuran butirnya, butiran-butiran material pembentuk batu ini
tertransportasi secara bedload dengan kecepatan aliran (flow velocity) sekitar
1,8 cm/s hingga 30 cm/s. Dan dapat terdeposisi dengan kecepatan aliran
sekitar 1,8 cm/s hingga 3 cm/s.
3


Gambar 2.1 Batu Peraga No. BSK 10

Nama Batuan : Batupasir (Wentworth, 1922)


















4

2.2 Batu Peraga No. 116
Deskripsi Megaskopis
Warna : Hitam
Struktur : Masif
Tekstur
Ukuran Butir : 4-64 mm
Bentuk Butir : Subounded
Kemas : Terbuka
Sortasi : Poor Sorted
Derajat Kematangan : -

Komposisi
Fragmen : Berangkal
Matriks : Pasir halus
Semen : Karbonatan
Komponen Penyusun : Basalt, Kuarsit, dan Rijang.

Petrogenesa :
Berdasarkan dari diagram Hjlustrom, kecepatan aliran air untuk mampu
melakukan erosi dan transportasi dari pada batuan dengan ukuran butir
tersebut adalah 80 cm/s-180 cm/s, tertransportasi pada kecepatan aliran 18
cm/s-180 cm/s terdeposisi ketika kecepatan arus 40cm/s - 18 cm/s.

Gambar 2.1 Batu Peraga No.116
5

2.3 Batu Peraga No. 176
Deskripsi Megaskopis
Warna : Coklat
Struktur : Masif
Tekstur
Ukuran Butir : <1/256 mm (lempung)
Bentuk Butir : -
Kemas : -
Sortasi : -
Derajat Kematangan : -

Komposisi
Fragmen : Lempung
Matriks : -
Semen : Non Karbonatan

Petrogenesa :
Batu dengan nomor peraga No. 176 memiliki kenampakan berwarna
coklat, struktur masif, ukuran butir <1/256 mm dan komposisi fragmennya
adalah lempung. Berdasarkan diagram Hjulstrom, dilihat dari ukuran
butirnya, material penyusun batu ini mengalami proses transportasi secara
suspensi dalam kecepatan aliran sekitar 0,1 cm/s 300 cm/s. Sedangkan
material tersebut dapat terdeposisi dalam kecepatan aliran <0,1 cm/s. Dan
material penyusun batu ini dapat tererosi dengan kecepatan aliran ( flow
velocity) sekitar 110 cm/s hingga 300 cm/s.


6


Gambar 2.3 Batu Peraga No. 176

Nama Batuan : Batulempung (Wentworth, 1922)


















7

2.4 Batu Peraga No. 153
Deskripsi Megaskopis
Warna : Abu-abu
Struktur : Masif
Tekstur
Ukuran Butir : 1/161/256 mm
Bentuk Butir : Very Well rounded
Kemas : Tertutup
Sortasi : well sorted
Derajat Kematangan : -

Komposisi
Fragmen : lanau
Matriks : -
Semen : Non Karbonatan

Petrogenesa :
Batu dengan nomor peraga 153 memiliki kenampakan berwarna abu-abu
dengan struktur masif. Ukuran butirnya 1/16-1/256 mm, bentuk butir very
well rounded, kemas tertutup, dan sortasi well sorted. Fragmen dari batu ini
merupakan lanau dan semen yang bersifat non karbonatan. Berdasarkan
diagram Hjulstrom, dilihat dari ukuran butirnya, material penyusun batu ini
dapat tertransportasi secara ssuspensi dengan kecepatan aliran sekitar 0,1
cm/s 120 cm/s. Sedangkan proses deposisinya dapat terjadi ketika
kecepatan aliran sebesar 0,1 cm/s hingga sekitar 0,4 cm/s. Dan dapat tererosi
ketika kecepatan aliran sekitar 11 cm/s hingga 130 cm/s.

8


Gambar 2.4 Batu Peraga No.153

Nama Batuan : Batulanau (Wentworth, 1922)


















9

2.5 Batu Peraga No. 189
Deskripsi Megaskopis
Warna : Coklat
Struktur : Massif
Tekstur
Ukuran Butir : 64-256 mm (Berangkal)
Bentuk Butir : Angular
Kemas : Tertutup
Sortasi : Poor Sorted
Derajat Kematangan : -

Komposisi
Fragmen : Berangkal - Kerakal
Matriks : -
Semen : Karbonatan
Komposisi Fragmen : Diorit.

Petrogenesa :
Batu dengan nomor peraga 189 memiliki kenampakan berwarna coklat
dengan struktur masif. Memiliki ukuran butir 64-256 mm, bentuk butir
angular, kemas tertutup, dan ssortasi poor sorted. Fragmennya merupakan
berangkal hingga kerakal. Semennya bersifat karbonatan dan komposisi
fragmennya adalah diorite. Berdasarkan diagram Hjulstrom, material
penyusun batu ini dapat tertransportasi secara bedload ketika keceppatan
aliran (flow velocity) sekitar 30 cm/s hingga 180 cm/s. Material ini terdeposisi
pada saat kecepatan aliran sekitar 30 cm/s hingga 150 cm/s dan dapat tererosi
pada saat kecepatan aliran sebesar 180 cm/s hingga 500 cm/s.

10


Gambar 2.5 Batu Peraga No. 189

Nama Batuan : Breksi Monomik (Wentworth, 1922)
















11

2.6 Batu Peraga No. 106
Deskripsi Megaskopis
Warna : Coklat
Struktur : Laminasi
Tekstur
Ukuran Butir : -1/2 mm (pasir sedang)
Bentuk Butir : Well Rounded
Kemas : tertutup
Sortasi : Well Sorted
Derajat Kematangan : -

Komposisi
Fragmen : Pasir Sedang
Matriks : Pasir Halus - Lempung
Semen : Karbonatan

Petrogenesa :
Batu dengan nomor peraga 106 ini mimiliki struktur laminasi, ukuran butir -
1/2 mm, bentuk butir well rounded, kemas tertutup dan sortasi well sorted.
Fragmen dari batu ini adalah pasir sedang, matriksnya pasir halus sampai
lempung dan semennya bersifat karbonatan. Berdasarkan diagram Hjulstrom,
batu ini tererosi dengan kecepatan aliran sekitar 20-30 cm/s, dilihat dari
ukuran butirnya, butiran-butiran material pembentuk batu ini tertransportasi
secara bedload dengan kecepatan aliran (flow velocity) sekitar 1,8 cm/s
hingga 30 cm/s. Dan dapat terdeposisi dengan kecepatan aliran sekitar 1,8
cm/s hingga 3 cm/s.

12


Gambar 2.6 Batu Peraga No. 106

Nama Batuan : Batupasir (Wentworth, 1922)



















13

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Batu Peraga No. BSK 10
Batu dengan nomor peraga BSK 10 dilakukan pengamatan secara
megaskopis. Batu BSK 10 ini memiliki kenampakan bewarna coklat muda
dan menunjukkan struktur laminasi dan ripple mark. Struktur laminasi ini
merupakan struktur yang menunjukkan adanya lapisan-lapisan pada batuan
yang tebalnya kurang dari 1 cm. Sedangkan ripple merupakan struktur batuan
sedimen yang memiliki kenampakan bergelombang. Pada batu ini dilakukan
pengamatan terhadap teksturnya yaitu ukuran butir, bentuk butir, sortasi, dan
kemas. Ukuran butir dari batu ini -1/2 mm (pasir sedang). Bentuk butirnyaa
tergolong well rounded, kemas tertutup, dan sortasinya well sorted. Kemas
merupakan hubungan antar butir sedimen. Pada batu ini kemasnya tergolong
tertutup karena butiran-butiran sedimennya saling bersentuhan. Sedangkan
sortasi merupakan keseragaman dari ukuran butir penyusun batuan sedimen.
Berdasarkan deskripsi terhadap komposisi penyusunnya, fragmen dari
batu ini merupakan pasir sedang (1/4-1/2 mm). Fragmen merupakan butiran
yang memiliki ukuran paling besar dalam suatu batuan. Selain fragmen, batu
ini tersusun dari matrik juga. Matriks merupakan butiran-butiran yang
mengelilingi yang memiliki ukuran lebih kecil dari fragmen. Matriks yang
menyusun batu ini adalah pasir halus-lempung. Pada batu ini dilakukan
pengujian semennya dengan cara meneteskan HCL, setelah diteteskan HCL,
cairan HCL pada batu tersebut menunjukkan adanya buih-buih yang
menandakan semen dari batu ini bersifat karbonatan.
Batuan ini merupakan batuan yang terbentuk dari pengendapan
kembali dendritus atau pecahan batuan asal. Proses terbentuknya batu ini
terjadi karena adanya proses pelapukan batuan asalnya, baik pelapukan secara
kimiawi, fisik, maupun biologi. Kemudian setelah terjadi proses pelapukan,
batuan asal tersebut mengalami proses erosi dimana proses erosi merupkan
14

proses penggikisan yang disebabkan oleh air, angin, atau gletser. Berdasarkan
diagram Hjulstrom, erosi dapat terjadi ketika kecepatan aliran sekitar 20-30
cm/s. Setelah tererosi, material-material hasil pelapukan dan erosi tersebut
akan tertransportasi oleh air, maupun angin. Meterial-material yang di
transportasi memilki ukuran yang beragam dari ukuran bongkah-lempung.
Transportasi ini juga dipengaruhi oleh kekuatan energi media transportasi.
Semakin besar energi transportasi, semakin besar ukuran butir yang dapat
ditransportasi. Berdasarkan diagram Hjulstrom, dilihat dari ukuran butirnya,
butiran-butiran material pembentuk batu ini tertransportasi secara bedload
dengan kecepatan aliran (flow velocity) sekitar 1,8 cm/s hingga 30 cm/s.
Setelah material penyusun batu ini mengalami proses transportasi, material
tersebut akan mengalami proses deposisi / pengendapan. Hal ini terjadi akibat
kekuatan energi media pengangkut / transpotasinya tidak mampu lagi untuk
mengangkut material ini. Meterial-material penyusun batu ini akan
terdeposisi pada saat kecepatan arus kecil dimana arus tersebut tidak mampu
mengangkut material ukuran pasir ini. Berdasarkan diagram Hjulstrom,
sedimen tersebut dapat terdeposisi pada saat kecepatan aliran sekitar 1,8 cm/s
hingga 3 cm/s Kemudian material-material deposisi tersebut akan mengalami
proses litifhikasi dimana material sedimen tadi akan mengalami pembatuan.
Setelah proses pengendapan berlangsung, material penyusun batu ini
mengalami proses diagenesa dimana proses diagenesa tersebut merupakan
proses yang berlangsung pada temperature rendah di dalam suatu sedimen,
selamadan atau sesudah litifikasi. Proses diagenesa tersebut mencakup
kompaksi, sementasi, rekristalisasi, autigenesis, dan metasomatisme. Arus
yang terdapat di daerah batuan asal merupakan arus yang besar dan deras,
sedangkan material ini terdeposisi pada arus yang tenang. Hal ini
menandakan bahwa batu ini terbentuk di daerah yang jauh dari batuan
asalnya.
Dilihat dari strukturnya yang laminasi dan ripple, dapat
diinterpretasikan bahwa terdapat jeda waktu pengendapan yang konstan dan
cepat sehingga pada saat suatu lapisan batuan sedimen telah terbentuk,
15

terdapat lagi lapisan sedimen lain diatasnya, dan seterusnya sehingga
terbentuk struktur laminasi. Struktur laminasi ini terbentuk pada arus yang
tenang, dan terebentuk dari arus yang bertipe upper flow. Sedangkan struktur
ripple yang terbentuk ini pada batu ini disebabkan adanya arus air yang lebih
lambat daripada arus yang membentuk laminasi sehingga terbentuk struktur
yang bergelombang. Arus yang membeentuk struktur ripple tersebut bertipe
lower flow dan tergolong lagi dalam arus traksi. Setelah struktur ripple mark
terbentuk, terdapat lagi lapisan sedimen diatasnya yang membentuk struktur
laminasi lagi. Sedangkan dilihat dari teksturnya, dimana bentuk butir dan
sortasinya yang tergolong baik, dapat diinterpretasikan bahwa material
sedimen penyusun batu ini mengalami proses transportasi yang jauh dari
batuan asalnya dan bentuk butir yang dihasilkan cenderung seragam. Dilihat
dari komposisi semennya yang bersifat karbonatan, dapat diinterpretasikan
bahwa batu ini terbentuk di daerah laut dangkal.
.
Berdasarkan deskripsi struktur dan teksturnya secara megaskopis, batu
ini diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi Wentworth, 1922 yaitu Batupasir
(Wentworth, 1922).

16


3.2 Batu Peraga No. 116
Batu peraga No. 166 diamati secara megaskopis menunjukkan
kenampakan yang cenderung berwarna hitam dan berstruktur masif. Struktur
masif ini merupakan struktur kompak. Tekstur batuan ini dari segi ukuran
butirnya berukuran Kerakal (4 mm-64 mm). Sortasi pada batuan ini tergolong
poor sorted yang menandakan pemilahan butirnyang tidak seragam atau
buruk. Kemas batuan ini terbuka. Hal ini dapat kita lihat dari kontak antar
butir yang terbuka. Bentuk butir batuan ini adalah subrounded, yang artinya
butiran pada batuan ini secara umum berbentuk agak membundar.
Komposisi material penyusun batuan ini adalah fargmen yang
berukuran Berangkal (256 mm 64 mm). Matriks berupa material berukuran
lebih kecil dari fragmen yaitu pasir halus (1/8 mm mm ). Dari fragmen
dan matriksnya ini dapat kita identifikasi bahwa material penyusun batuan ini
telah mengalami proses transportasi dengan jarak yang tidak jauh dari daerah
asal. Pada batu ini dilakukan pengujian semennya dengan cara meneteskan
HCL, setelah diteteskan HCL, cairan HCL pada batu tersebut menunjukkan
adanya buih-buih yang menandakan semen dari batu ini bersifat karbonatan.
Semen ini merupakan perekat antara fragmen dengan matriks.

17


Proses pembentukan batuan ini terbentuk dari hasil transportasi dan
dekomposisi material sedimen. Prosesnya berupa proses rombakan /
penghancuran dari batuan yang telah ada sebelumnya dan mengalami
litifikasi membentuk batuan yang baru. Awalnya batu-batu ini terlapukkan
hingga membentuk fragmen-fragmen batuan. Lalu batuan ini tererosi dan
mengalami proses transportasi dan dekomposisi namun dengan jarak yang
tidak jauh. Berdasarkan dari diagram Hjlustrom, Kecepatan aliran air untuk
mampu melakukan erosi dan transportasi dari pada batuan dengan fragmen
berukuran berangkal adalah 80 cm/s-180 cm/s. Ukuran butir dari batu ini
dapat tertransportasi ketika kecepatan aliran 18 cm/s-180 cm/s,
Transportasinya mulai melambat dan akan berlangsung jenis transportasi
sedimen dengan tipe Bed load. Pada akhirnya, ketika mencapai kecepatan
40cm/s - 18 cm/s, maka akan mulai mengalami pengendapan menjadi batu
dengan fragmen kerakal. Akibat proses transportasi yang berlangsung cukup
dekat, menjadikan pemilahan butirnya menjadi tidak seragam. Transportasi
pada material kerakal ini masuk dalam jenis transportasi Bed Load dimana
dilihat dari bentuk butirannya yang besar dan cukup rounded, diindikasikan
18

terbentuk secara menggelinding pada dasar sungai yang pada akhirnya akan
terendapkan. Butiran dalam batuan ini berkontak secara tidak langsung
sehingga batas antar material dan semen terlihat, sehingga batu ini berkemas
terbuka dengan sortasi yang tergolong poor sorted.
Berdasarkan petrogenesanya,batuan ini terbentuk akibat jenis arus
yang berupa traksi. Jenis ini umumnya terjadi pada dasar sungai. Material
yang telah terbawa oleh arus sungai, jika termasuk dalam material yang
cukup besar dan berat, akan turun ke dasar sungai. Lalu material ini akan
menggelinding sehingga membentuk fragmen-fragmen yang berukuran bulat.
Diperkirakan tingkat intensitas arusnya tergolong pada tipe Upper Rezim
dimana membutuhkan energy arus yang tinggi untuk mentransportnya. Lokasi
pengendapannya diperkirakan terdapat pada zona Marine di bagian dasar
laut/sungai. Hal ini juga didukung dengan adanya material-material lain yang
terendapkan dalam batuan ini yaitu berupa rijang, basalt, dan kuarsit. Rijang
sendiri pembentukannya berada pada laut dalam sehingga diperkirakan
tererosi dan terendapkan dalam batuan ini ketika transportasi.
Berdasarkan dari data yang ada yaitu struktur masif, ukuran butir
berupa kerakal (4 mm-64 mm), Bentuk butir Subrounded, Fragmen berupa
kerakal dan matriksnya yang berupa pasir halus, dan setelah dimasukkan ke
dalam klasifikasi Wenworth (1922) batu peraga No. 116 merupakan
Konglomerat Polimik (Wenworth, 1922).

3.3 Batu Peraga No. 176
Batu dengan nomor peraga 176 dilakukan pengamatan secara
megaskopis menunjukkan kenampakan berwarna coklat dengan struktur yang
tergolong masif. Berdasarkan pengamatan terhadap teksturnya, ukuran butir
pada batu ini adalah <1/256 mm (lempung). Karena bentuk butir dari batu ini
tidak dapat diamati dengan mata telanjang, bentuk butir, kemas, dan
sortasinya dianggap invisible.
19

Berdasarkan pengamatan terhadap komposisi material penyusun
batuan ini, fragmen dari batu ini berukuran lempung (<1/256 mm).
Sedangkan matriks berupa material yang tidak terlihat atau Invinsible. Pada
batu ini dilakukan pengujian semennya dengan cara meneteskan HCL,
setelah diteteskan HCL, cairan HCL pada batu tersebut tidak menunjukkan
adanya buih-buih yang menandakan semen dari batu ini bersifat non
karbonatan.
Batuan ini merupakan batuan yang terbentuk dari pengendapan
kembali dendritus atau pecahan batuan asal. Proses terbentuknya batu ini
terjadi karena adanya proses pelapukan batuan asalnya, baik pelapukan secara
kimiawi, fisik, maupun biologi. Kemudian setelah terjadi proses pelapukan,
batuan asal tersebut mengalami proses erosi dimana proses erosi merupakan
proses penggikisan yang disebabkan oleh air, angin, atau gletser. Berdasarkan
diagram Hjulstrom, erosi dapat terjadi ketika kecepatan aliran sekitar 20-30
cm/s. Setelah tererosi, material-material hasil pelapukan dan erosi tersebut
akan tertransportasi oleh air, maupun angin. Meterial-material yang di
transportasi memilki ukuran yang beragam dari ukuran bongkah-lempung.
Transportasi ini juga dipengaruhi oleh kekuatan energi media transportasi.
Semakin besar energi transportasi, semakin besar ukuran butir yang dapat
ditransportasi. Berdasarkan diagram Hjulstrom, dilihat dari ukuran butirnya,
butiran-butiran material pembentuk batu ini tertransportasi secara suspension
dengan kecepatan aliran (flow velocity) sekitar <0,1 cm/s hingga 300 cm/s.
Setelah material penyusun batu ini mengalami proses transportasi, material
tersebut akan mengalami proses deposisi / pengendapan. Hal ini terjadi akibat
kekuatan energi media pengangkut / transpotasinya tidak mampu lagi untuk
mengangkut material ini. Meterial-material penyusun batu ini akan
terdeposisi pada saat kecepatan arus kecil dimana arus tersebut tidak mampu
mengangkut material ukuran lempung ini. Berdasarkan diagram Hjulstrom,
sedimen tersebut dapat terdeposisi pada saat kecepatan aliran <0,1 cm/s.
Kemudian material-material deposisi tersebut akan mengalami proses
litifhikasi dimana material sedimen tadi akan mengalami pembatuan. Setelah
20

proses pengendapan berlangsung, material penyusun batu ini mengalami
proses diagenesa dimana proses diagenesa tersebut merupakan proses yang
berlangsung pada temperature rendah di dalam suatu sedimen, selama dan
atau sesudah litifikasi. Proses diagenesa tersebut mencakup kompaksi,
sementasi, rekristalisasi, autigenesis, dan metasomatisme. Arus yang terdapat
di daerah batuan asal merupakan arus yang besar dan deras, sedangkan
material ini terdeposisi pada arus yang tenang. Hal ini menandakan bahwa
batu ini terbentuk di daerah yang jauh dari batuan asalnya. Pada batu ini
terdapat bagian yang memiliki warna kemerahan. Warna tersebut merupakan
warna dari zat pengotor.

Berdasarkan petrogenesanya, jenis arus pada yang terjadi pada proses
pembentukan batuan ini adalah Gravity Flow. Arus ini terjadi jika adanya
suatu perbedaan kelerengan yang menyebabkan materialnya dapat terbentuk
secara melayang-layang di permukaan air. Energi transport yang dibutuhkan
umumnya rendah karena materialnya yang masih berukuran halus. Lokasi
pembentukannya dapat berada pada daerah daratan. Berdasarkan deskripsi
terhdap struktur dan teksturnya, batu dengan nomor peraga 176 ini
merupakan batuan sedimen klstik dan di klasifikasikan berdasarkan
klasifikasi Wentworth (1922) yaitu Batulempung (Wentworth, 1922).
21


3.4 Batu Peraga No. 153
Batu dengan nomor peraga 153 dilakukan pengamatan secara
megaskopis. Batu ini memiliki kenampakan berwarna abu-abu dengan
struktur masif. Pengamatan dilakukan terhadap teksturnya, ukuran butirnya
memiliki ukuran <1/256 mm sedangkan bentuk butirnya tidak dapat diamati
secara megaskopis sehingga bentuk butir tergolong invisible.
Berdasarkan pengamatan terhadap komposisi material penyusun
batuan ini, fragmen dari batu ini berukuran lanau (<1/256-1/64 mm).
Sedangkan matriks berupa material yang tidak terlihat atau Invinsible. Pada
batu ini dilakukan pengujian semennya dengan cara meneteskan HCL,
setelah diteteskan HCL, cairan HCL pada batu tersebut tidak menunjukkan
adanya buih-buih yang menandakan semen dari batu ini bersifat non
karbonatan.
Batuan ini merupakan batuan yang terbentuk dari pengendapan
kembali dendritus atau pecahan batuan asal. Proses terbentuknya batu ini
terjadi karena adanya proses pelapukan batuan asalnya, baik pelapukan secara
kimiawi, fisik, maupun biologi. Kemudian setelah terjadi proses pelapukan,
batuan asal tersebut mengalami proses erosi dimana proses erosi merupakan
proses penggikisan yang disebabkan oleh air, angin, atau gletser. Berdasarkan
diagram Hjulstrom, erosi dapat terjadi ketika kecepatan aliran sekitar 11 cm/s
- 130 cm/s. Setelah tererosi, material-material hasil pelapukan dan erosi
tersebut akan tertransportasi oleh air, maupun angin. Transportasi ini juga
dipengaruhi oleh kekuatan energi media transportasi. Berdasarkan diagram
Hjulstrom, dilihat dari ukuran butirnya, butiran-butiran material pembentuk
batu ini tertransportasi secara suspension dengan kecepatan aliran (flow
velocity) sekitar <0,1 cm/s hingga 120 cm/s. Setelah material penyusun batu
ini mengalami proses transportasi, material tersebut akan mengalami proses
deposisi / pengendapan. Hal ini terjadi akibat kekuatan energi media
pengangkut / transpotasinya tidak mampu lagi untuk mengangkut material ini.
Meterial-material penyusun batu ini akan terdeposisi pada saat kecepatan arus
22

kecil dimana arus tersebut tidak mampu mengangkut material yang berukuran
lanau ini. Berdasarkan diagram Hjulstrom, sedimen tersebut dapat terdeposisi
pada saat kecepatan aliran 0,1 cm/s 0,4 cm/s. Kemudian material-material
deposisi tersebut akan mengalami proses litifhikasi dimana material sedimen
tadi akan mengalami pembatuan. Setelah proses pengendapan berlangsung,
material penyusun batu ini mengalami proses diagenesa dimana proses
diagenesa tersebut merupakan proses yang berlangsung pada temperature
rendah di dalam suatu sedimen, selama dan atau sesudah litifikasi. Proses
diagenesa tersebut mencakup kompaksi, sementasi, rekristalisasi, autigenesis,
dan metasomatisme. Arus yang terdapat di daerah batuan asal merupakan
arus yang besar dan deras, sedangkan material ini terdeposisi pada arus yang
tenang. Hal ini menandakan bahwa batu ini terbentuk di daerah yang jauh dari
batuan asalnya.
Berdasarkan petrogenesanya, jenis arus pada yang terjadi pada proses
pembentukan batuan ini adalah Gravity Flow. Arus ini terjadi jika adanya
suatu perbedaan kelerengan yang menyebabkan materialnya dapat terbentuk
secara melayang-layang di permukaan air. Energi transport yang dibutuhkan
umumnya rendah karena materialnya yang masih berukuran halus. Lokasi
pembentukannya dapat berada pada daerah terrestrial dimana dekat dengan
permukaan air/daratan.
23


Berdasarkan deskripsi struktur dan teksturnya, batu dengan nomor
peraga 153 ini diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi Wentworth (1922)
merupakan Batulanau (Wentworth, 1922)

3.5 Batu Peraga No. 189
Batu dengan nomor peraga 189 dilakukan pengamatan secara secara
megaskopis. Batu ini memiliki kenampakan berwarna coklat dan berstruktur
masif. Berdasarkan pengamatan terhadap teksturnya, ukuran butir dari
sedimen batu ini berukuran 64-256mm (berangkal). Bentuk butirnya
tergolong angular sortasinya tergolong poor sorted dan kemasnya tergolong
tertutup karena dapat dilihat pada batu tersebut, hubungan antar fragmennya
saling bersentuhan.
Komposisi yang menyusun batu ini antara lain fragmen dan semen.
Fragmen dari batu ini berukuran Berangkal Kerakal dimana fragmen ini
merupakan batuan beku yang tersingkap dalam sedimen. Berdasarkan
pengamatan, fragmen dari batu tersebut merupakan Andesit. Dalam batu ini
tidak terdapat matriks yang mengelilingi fragmen. Hanya terdapat semen
yang merekatkan antar fragmen. Pada semen tersebut dilakukan pengujian
24

dengan meneteskan HCL, ketika diteteskan semen dari batu tersebut
mengeluarkan buih yang menunjukkan bahwa semen dari batu tersebut
tergolong karbonatan.
Batu ini merupakan batuan yang terbentuk dari pengendapan kembali
dendritus atau pecahan batuan asal. Proses terbentuknya batu ini terjadi
karena adanya proses pelapukan batuan asalnya, baik pelapukan secara
kimiawi, fisik, maupun biologi. Kemudian setelah terjadi proses pelapukan,
batuan asal tersebut mengalami proses erosi dimana proses erosi merupakan
proses pengikisan yang disebabkan oleh air, angin, atau gletser. Berdasarkan
diagram Hjulstrom, erosi dapat terjadi ketika kecepatan aliran sekitar 180
cm/s - 500 cm/s. Hal tersebut menunjukkan untuk mengerosi batuan ini
dibutuhkan energi arus yang besar. Setelah tererosi, material-material hasil
pelapukan dan erosi tersebut akan tertransportasi oleh air, maupun angin.
Meterial-material yang di transportasi memilki ukuran yang beragam dari
ukuran bongkah-lempung. Transportasi ini juga dipengaruhi oleh kekuatan
energi media transportasi. Semakin besar energi transportasi, semakin besar
ukuran butir yang dapat ditransportasi. Berdasarkan diagram Hjulstrom,
dilihat dari ukuran butirnya, butiran-butiran material pembentuk batu ini
tertransportasi secara Bedload dengan kecepatan aliran (flow velocity) sekitar
30 cm/s hingga 180 cm/s. Hal tersebut menandakan bahwa batu ini dapat
terbentuk pada arus yang relative deras. Setelah material penyusun batu ini
mengalami proses transportasi, material tersebut akan mengalami proses
deposisi / pengendapan. Hal ini terjadi akibat kekuatan energi media
pengangkut / transpotasinya tidak mampu lagi untuk mengangkut material ini.
Meterial-material penyusun batu ini akan terdeposisi pada saat kecepatan arus
tidak mampu untuk melanjutkan proses transportasi. Berdasarkan diagram
Hjulstrom, sedimen tersebut dapat terdeposisi pada saat kecepatan aliran 30
cm/s 150 cm/s. Kemudian material-material deposisi tersebut akan
mengalami proses litifhikasi dimana material sedimen tadi akan mengalami
pembatuan. Setelah proses pengendapan berlangsung, material penyusun batu
ini mengalami proses diagenesa dimana proses diagenesa tersebut merupakan
25

proses yang berlangsung pada temperature rendah di dalam suatu sedimen,
selama dan atau sesudah litifikasi. Proses diagenesa tersebut mencakup
kompaksi, sementasi, rekristalisasi, autigenesis, dan metasomatisme.

Berdasarkan petrogenesanya,batuan ini terbentuk akibat jenis arus
yang berupa traksi. Jenis ini umumnya terjadi pada dasar sungai. Material
yang telah terbawa oleh arus sungai, jika termasuk dalam material yang
cukup besar dan berat, akan turun ke dasar sungai. Lalu material ini akan
tertransport secara sliding sehingga membentuk fragmen-fragmen yang
berukuran meruncing. Diperkirakan tingkat intensitas arusnya tergolong pada
tipe Upper Rezim dimana membutuhkan energy arus yang tinggi untuk
mentransportnya. Lokasi pengendapannya diperkirakan terdapat pada zona
Marine di bagian dasar laut/sungai.
Berdasarkan deskripsi diatas, batu dengan nomor peraga 189 ini
diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi Wentworth, 1922 yaitu Breksi
Monomik (Wentworth, 1922).

3.6 Batu Peraga No. 106
26

Batu dengan nomor peraga 106 dilakukan pengamatan secara
megaskopis. Batu ini menunjukkan kenampakan berwarna coklat dan strukur
laminasi. Struktur laminasi merupakan struktur berlapis yang lapisannya
kurang dari 1 cm. DIlihat dari teksturnya, ukuran butir dari batu ini yaitu
1/4mm-1/2mm (pasir sedang). Bentuk butir dari batu ini tergolong well
rounded, sortasi well sorted, dan kemasnya tertutup.
Komposisi penyusun batu ini antara lain fragmen, matrks, dan semen.
Fragmen dari batu ini adalah pasir sedang (1/4mm-1/2mm) dan matriksnya
merupakan ukuran butir yang lebih kecil dari pasir sedang yaitu pasir halus
hingga lempung. Pada semen dilakukan pengujian dengan meneteskan HCL,
ketika ditetesi oleh HCL, semen tersebut mengeluarkan buih yang
menandakan bahwa semennya bersifat karbonatan.
Batuan ini merupakan batuan yang terbentuk dari pengendapan
kembali dendritus atau pecahan batuan asal. Proses terbentuknya batu ini
terjadi karena adanya proses pelapukan batuan asalnya, baik pelapukan secara
kimiawi, fisik, maupun biologi. Kemudian setelah terjadi proses pelapukan,
batuan asal tersebut mengalami proses erosi dimana proses erosi merupkan
proses penggikisan yang disebabkan oleh air, angin, atau gletser. Berdasarkan
diagram Hjulstrom, erosi dapat terjadi ketika kecepatan aliran sekitar 20 cm/s
-30 cm/s. Setelah tererosi, material-material hasil pelapukan dan erosi
tersebut akan tertransportasi oleh air, maupun angin. Meterial-material yang
di transportasi memilki ukuran yang beragam dari ukuran bongkah-lempung.
Transportasi ini juga dipengaruhi oleh kekuatan energi media transportasi.
Semakin besar energi transportasi, semakin besar ukuran butir yang dapat
ditransportasi. Berdasarkan diagram Hjulstrom, dilihat dari ukuran butirnya,
butiran-butiran material pembentuk batu ini tertransportasi secara bedload
dengan kecepatan aliran (flow velocity) sekitar 1,8 cm/s hingga 30 cm/s.
Setelah material penyusun batu ini mengalami proses transportasi, material
tersebut akan mengalami proses deposisi / pengendapan. Hal ini terjadi akibat
kekuatan energi media pengangkut / transpotasinya tidak mampu lagi untuk
mengangkut material ini. Meterial-material penyusun batu ini akan
27

terdeposisi pada saat kecepatan arus kecil dimana arus tersebut tidak mampu
mengangkut material ukuran pasir ini. Berdasarkan diagram Hjulstrom,
sedimen tersebut dapat terdeposisi pada saat kecepatan aliran sekitar 1,8 cm/s
hingga 3 cm/s Kemudian material-material deposisi tersebut akan mengalami
proses litifhikasi dimana material sedimen tadi akan mengalami pembatuan.
Setelah proses pengendapan berlangsung, material penyusun batu ini
mengalami proses diagenesa dimana proses diagenesa tersebut merupakan
proses yang berlangsung pada temperature rendah di dalam suatu sedimen,
selamadan atau sesudah litifikasi. Proses diagenesa tersebut mencakup
kompaksi, sementasi, rekristalisasi, autigenesis, dan metasomatisme. Arus
yang terdapat di daerah batuan asal merupakan arus yang besar dan deras,
sedangkan material ini terdeposisi pada arus yang tenang. Hal ini
menandakan bahwa batu ini terbentuk di daerah yang jauh dari batuan
asalnya.
Dilihat dari strukturnya yang laminasi, dapat diinterpretasikan bahwa
terdapat jeda waktu pengendapan yang konstan dan cepat sehingga pada saat
suatu lapisan batuan sedimen telah terbentuk, terdapat lagi lapisan sedimen
lain diatasnya, dan seterusnya sehingga terbentuk struktur laminasi. Struktur
laminasi ini terbentuk pada arus yang tenang, dan terbentuk dari arus yang
bertipe upper flow. Sedangkan dilihat dari teksturnya, dimana bentuk butir
dan sortasinya yang tergolong baik, dapat diinterpretasikan bahwa material
sedimen penyusun batu ini mengalami proses transportasi yang jauh dari
batuan asalnya dan bentuk butir yang dihasilkan cenderung seragam. Dilihat
dari komposisi semennya yang bersifat karbonatan, dapat diinterpretasikan
bahwa batu ini terbentuk di daerah laut dangkal
28

.
Berdasarkan deskripsi struktur dan teksturnya secara megaskopis, batu
ini diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi Wentworth, 1922 yaitu Batupasir
(Wentworth, 1922).














29

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Batuan dengan nomor peraga BSK 10 merupakan batuan sedimen klastik
dengan ciri-ciri berwarna coklat, strukturnya laminasi & ripple.
Komposisinya berupa fragmen pasir halus, matriks pasir halus-lempung,
dan semennya karbonatan. Nama batuan ini menurut klasifikasi
Wentworth,1922 adalah Batupasir.
Batuan dengan nomor peraga 116 merupakan batuan sedimen klastik
dengan ciri-ciri berwarna hitam, berstruktur masif. Komposisinya berupa
fragmen kerakal, matriks pasir halus, dan semennya karbonatan. Nama
batuan ini menurut klasifikasi Wentworth,1922 adalah Konglomerat
Polimik..
Batuan dengan nomor peraga 176 merupakan batuan sedimen klastik
dengan ciri-ciri berwarna coklat, strukturnya masif. Komposisinya berupa
fragmen lempung, matriks invinsible, dan semennya non karbonatan.
Nama batuan ini menurut klasifikasi Wentworth,1922 adalah
Batulempung.
Batuan dengan nomor peraga 153 merupakan batuan sedimen klastik
dengan ciri-ciri berwarna abu-abu dan strukturnya masif. Komposisinya
berupa fragmen lanau, matriks invinsible, dan semennya non karbonatan.
Nama batuan ini menurut klasifikasi Wenworth,1922 adalah batulanau.
Batuan dengan nomor peraga 189 merupakan batuan sedimen klastik
dengan ciri-ciri berwarna coklat dan strukturnya masif. Komposisinya
berupa fragmen berangkal-kerakal, matriks non visible, dan semennya
bersifat karbonatan. Nama batuan ini menurut klasifikasi Wentworth,1922
adalah Breksi Monomik.
Batuan dengan nomor peraga 106 merupakan batuan sedimen klastik
dengan ciri-ciri berwarna coklat dengan struktur masif. Komposisinya
30

berupa fragmen pasir sedang, matriks pasir halus-lempung, dan semennya
karbonatan. Nama batuan ini menurut klasifikasi Wentworth,1922 adalah
Batupasir.

4.2 Saran
Dalam pendeskripsian batuan sebaiknya dilakukan dengan hati hati dan
teliti.
Dalam penggunaan bahan bahan berbahaya sebaiknya dilakukan secara
hati hati dan seperlunya saja.

Anda mungkin juga menyukai