Anda di halaman 1dari 38

Skenario

Seorang ibu berusia 65 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan merasa lemas sejak 1
bulan yang lalu. Riwayat minum obat piroxicam untuk mengurangi nyeri lutut yang diderita
sejak 1 tahun yang lalu. Tidak ada demam.

Pada pemeriksaan: tampak sakit ringan, konjungtiva anemis, tidak terdapat
hepatosplenomegali. Setelah dilakukan pemeriksaan darah, hasilnya sebagai berikut: Hb 8
g/dL, Ht 25%, Leu 11rb/mm
3
, Trom 210rb/mm
3
, MCV 60fL, MCH 30 fL, MCHC 34fL.

Pendahuluan

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi
untuk eritropoietik, karena cadangan besi kosong, sehingga pembentukan hemoglobin
berkurang. Berbeda dengan anemia akibat penyakit kronik, berkurangnya penyediaan besi
untuk eritropoietik terjadi akibat pelepasan besi dari sistem retikuloendotelial yang
berkurang, sementara cadangan besi normal. Pada anemia sideroblastik penyediaan besi
untuk eritropoesis berkurang karena gangguan mitokondria yang menyebabkan inkorporasi
besi ke dalam heme terganggu.Oleh karena itu ketiga jenis anemia ini digolongkan sebagai
anemia dengan gangguan metabolisme besi.
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai, terutama di
negara-negara tropik atau negara dunia ketiga, oleh karena sangat berkaitan erat dengan taraf
sosial ekonomi. Anemia ini mengenai lebih dari sepertiga penduduk dunia yang memberikan
dampak kesehatan yang sangat merugikan serta dampak sosial yang cukup serius.
1



Pembahasan
Anamnesis
Ada beberapa pertanyaan yang sebaiknya diajukan pada penderita untuk mengetahui pasien
menderita anemia atau tidak, antara lain:

1. Gejala apa yang sering dirasakan oleh pasien = lelah, malaise, sesak nafas, nyeri dada,
atau tanpa gejala.
2. Apakah gejala tersebut muncul mendadak atau bertahap?
3. Adakah petunjuk mengenai penyebab anemia.
a) Tanyakan kecukupan makanan dan kandungan Fe. Adakah gejala yang
konsitensi dengan malabsopsi? Adakah tanda tanda kehilangan darah dari
saluran cerna (tinja gelap, darah per rektal, muntahbutiran kopi).
b) Jika pasien seorang wanita, adakah kehilangan darah menstruasi berlebihan?
Tanyakan frekuensi dan durasi menstruasi, dan penggunaan tampon serta
pembalut.
c) Adakah sumber kehilangan darah yang lain?
4. Riwayat penyakit dahulu dan penyelidikan fungsional
a) Adakah dugaan penyakit ginjal kronis sebelumnya?
b) Adakah riwayat penyakit kronis (misalnya arthritis reumatoid atau gejala yang
menunjukkan keganasan)?
c) Adakah tanda tanda kegagalan sumsum tulang (memar, perdarahan, dan
infeksi yang tidak lazim atau rekuren).
d) Adakah tanda tanda defisiensi vitamin seperti neuropati perifer (pada
defisiensi B12 subacute combined degeneration of thecord [SACDOC]).


e) Adakah alasan untuk mencurigai adanya hemolisis misalnya ikterus, katup
buatan yang diketahui bocor?
f) Adakah riwayat anemia sebelumnya?
g) Adakah disfagia (akibat lesi esofagus yang menyebabkan anemia atau selaput
pada esofagus akibat anemia defisiensi besi)?
5. Riwayat keluarga
a) Adakah riwayat anemia dalam keluarga. Khususnya pertimbangkan penyakit
sel sabit, talasemia, dan anemia hemolitik yang diturunkan.
6. Berpergian
a) Tanyakan riwayat berpergian dan pertimbangakan kemungkinan infeksi
parasit (misalnya cacing tambang dan malaria)?
7. Obat obatan
a) Obat obatan tertentu berhubungan dengan kehilangan darah (misalnya
OAINS menyebabkan erosi lambung atau supresi sumsum tulang akibat obat
sitotoksik).
Pasien yang menderita anemia biasanya akan bergejala nafas pendek, khususnya pada
saat berolah raga, kelemahan, letargi, palpitasi dan sakit kepala. Pada pasien berusia tua,
mungkin ditemukan gejala gagal jantung, angina pectoris, klaudikasio intermiten, atau
kebingungan (konfusi). Gangguan penglihatan akibat pendarahan retina dapat mempersulit
anemia yang sangat berat, khususnya yang awitannya cepat.
2,3
Tanda tanda dapat dibedakan menjadi tanda umum dan tanda khusus. Tanda umum
meliputi kepucatan membran mukosa yang timbul bila kadar hemoglobin kurang dari 9 10
g/dl. Sebaliknya, warna kulit bukan tanda yang dapat diandalkan. Sirkulasi yang
hiperdinamik dapat menunjukkan takikardia, nadi kuat, kardiomegali, dan bising jantung


aliran sistolik khususnya pada apeks. Tanda yang spesifik dikaitkan dengan jenis anemia
tertentu, misalnya koilonikia dengan defisiensi besi, ikterus dengan anemia hemolitik atau
megaloblastik, ulkus tungkai dengan anemia sel sabit dan anemia hemolitik lain, deformitas
tulang dengan talasemia mayor dan anemia hemolitik kongenital lain yang berat. Gejala
gejala anemia yang disertai infeksi berlebihan atau memar spontan menunjukkan adanya
kemungkin annetropenia atau trombositopenia akibat kegagalan sumsum tulang.
1
Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Dalam anamnesis dilihat beberapa ciri khas anemia. Pada pasien anemia diperhatikan
hal-hal berikut:
3
1. Keadaan umum dan kesadaran : lihat apakah pasien sakit ringan atau berat ?
Apakah pasien sering merasa sesak napas atau syok akibat kehilangan darah akut
?
2. Dilihat apakah pasien pucat terutama pada konjungtiva dan kuku.
3. Adakah tanda-tanda ikterus yang ditandai dengan mata berwarna kuning, atau
kulit yg berubah warna menjadi kuning ? (Pada anemia hemolitik dapat dijumpai
keadaan ini)
4. Adakah gejala khas seperti :
Koilonychia : kuku sendok, kuku menjadi rapuh, bergaris vertikal,
dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok
Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin, dan mengkilap karena
papil hilang


Stomatitis angularis : adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak
sebagai bercak berwarna pucat keputihan
Adakah tanda kerusakan trombosit ( memar dan petechiae ) ? bila ada itu
menandakan kadar trombosit yang menurun misal pada anemia aplastik.
Palpasi
Palpasi hati , limpa, abdomen
Lakukan palpasi hati dan limpa untuk menilai apakah ada hepatomegali atau
splenomegali yang biasanya terdapat pada anemia hemolitik dan kadang pada anemia
defisiensi besi juga dapat ditemukan bila anemia tersebut tidak diterapi. Palpasi juga
abdomen untuk melihat apakah ada massa di abdomen.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
A. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan Kadar Hemoglobin
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan ukuran kuantitatif tentang
beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. Pada pemeriksaan dan
pengawasan dapat dilakukan menggunakan alat sederhana seperti Hb sachli, yang
dilakukan minimal 2 kali selama kehamilan, yaitu trimester I dan III.




2. Penentuan Indeks Eritrosit
Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau menggunakan
rumus:
a. Mean Corpusculer Volume (MCV)
MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi
semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang. MCV merupakan indikator
kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis
disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai
normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.

b. Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah. Dihitung dengan
membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik
hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg.

c. Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan membagi
hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan hipokrom < 30%.

3. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer
Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual. Pemeriksaan menggunakan
pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah merah.
Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah dapat dilihat pada kolom morfology flag.


4. Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW)
Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang masih relatif baru,
dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW
merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak
kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi hematologi paling awal dari
kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin.
MCV rendah bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan
zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi diagnostik.
Nilai normal 15 %.

5. Eritrosit Protoporfirin (EP)
EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya membutuhkan beberapa tetes
darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut
kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi terjadi.
Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh
transferin rentan terhadap variasi individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei
populasi walaupun dalam praktik klinis masih jarang.

6. Besi Serum (Serum I ron = SI)
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah cadangan besi
habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang
luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan setelah kehilangan
darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan
malignansi. Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak
status besi yang spesifik.


7. Serum Transferin (Tf)
Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama dengan besi serum. Serum
transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru pada
peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan.

8. Transferrin Saturation (Jenuh Transferin)
Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi, merupakan
indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang.
Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi yang
meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun pada penyakit
peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai dengan
indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun dan serum feritin sering
dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi.
Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan kemampuan
mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara khusus oleh plasma.

9. Serum Feritin
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk menentukan
cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek klinik dan
pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi, yang
berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk
kekurangan zat besi.
Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi, tetapi tidak
menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya sangat tinggi.



B. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi, walaupun mempunyai
beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum tulang dilakukan untuk menilai
jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Tanda karakteristik dari kekurangan zat besi
adalah tidak ada besi retikuler.
Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga tergantung keahlian pemeriksa,
jumlah struma sumsum yang memadai dan teknik yang dipergunakan. Pengujian sumsum
tulang adalah suatu teknik invasif, sehingga sedikit dipakai untuk mengevaluasi cadangan
besi dalam populasi umum.
1,2,5,6

A. Diagnosis
- Working diagnosis
Pada kasus ini, diagnosis yang diambil adalah anemia defisiensi besi, diagnosis
anemia defisiensi besi diperoleh terutama dari pemeriksaan laboratorium, dan
tidak terdapat kriteria diagnosis khusus. Diagnosis ini didasarkan atas gejala yang
dialami pasien berupa lemas (salah satu gejala anemia, disebabkan adanya
hipoksia akibat penghantaran oksigen yang inadekuat), dan pemeriksaan fisik
yang berupa tampak sakit sedang, konjungtiva anemis, tidak terdapat
hepatosplenomegali, serta pemeriksaan laboratorium berupa : Hb 8 g/dL (anemia
berat), Ht 25% (menurun), MCV 60fL (menurun). Kesemua temuan tsb
sebenarnya belum dapat dipergunakan untuk membuat diagnosis anemia defisiensi
besi, mengingat pada scenario tidak disertakan hasil pemeriksaan besi lainnya
(misalnya besi serum, DIBT).



Terdapat tiga tahap diagnosis anemia defisiensi besi: tahap pertama adalah
menentukan anemia dengan mengukur kadar hemoglobin (tabel 1) atau
hematokrit, tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi, tahap ketiga
adalah menentukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi. Secara laboratoris,
tahap 1 dan 2 dapat ditentukan dengan criteria diagnosis sbb:


Anemia mikrositik hipokrom pada hapusan darah tepi, atau MCV kurang dari
80fL dan MCHC kurang dari 31% dengan salah satu dari keempat poin:
Dua dari tiga parameter di bawah ini
o Besi serum kurang dari 50 mg/dL
o DIBT lebih dari 350 mg/dL
o Saturasi transferrin kurang dari 15%, atau
Ferritin serum kurang dari 20 mg/l, atau
Pengecatan sumsum tulang dengan biru Prussia menunjukkan cadangan besi
(hemosiderin) negative, atau
Dengan pemberian ferrous sulfat 3x200 mg/hari (atau preparat besi yang
setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2
g/dL.
1,2

Tabel 1. Kriteria anemia menurut WHO & CDC
Sumber: Killip S, Bennett JM, Chambers MD. Iron deficiency anemia. Am Fam Physician 2007;75(5)



- Differential diagnosis (tabel 2)



Talasemia
Termasuk dalam kelainan hemoglobinopati, di mana didapatkan kelainan pada
struktur maupun sintesis molekul Hb. Pada keadaan ini yang abnormal hanya
globinnya saja sedangkan hem nya normal.
4
Talasemia merupakan gangguan
genetic (autosomal resesif) yang disebabkan oleh berkurangnya kecepatan
sintesis rantai dan dari globin.
4,6
Talasemia dapat juga dikelompokkan ke
dalam kelompok anemia hemolitik herediter yang paling banyak dijumpai,
terutama di daerah Laut Tengah (Mediteranea).
4


Pada orang dewasa normal, susunan Hb adalah sebagai berikut:
o Hb A 97% (
2

2
)
o Hb A
2
2-3% (
2

2
)
Tabel 2. Pemeriksaan laboratorium differential diagnosis anemia defisiensi Fe
Sumber: Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. Anemia defisiensi besi. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiadi S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009, dengan
perubahan



o Hb F 1% (
2

2
)

Defek genetic mengakibatkan pengurangan atau peniadaan sintesis satu atau
lebih rantai globin HbA, di mana keadaan ini dapat menyebabkan:
o Pembentukan tetramer Hb berkurang sehingga terjadi anemia
mikrositik hipokrom
o Sebagian rantai globin tidak mendapat pasangan, bebas, tak larut
(insoluble) dan tidak mampu mengikat oksigen. Akumulasi rantai
globin yang bebas ini mengakibatkan lisis eritrosit intramedular
(eritropoiesis inefektif)

Pada talasemia , terjadi kelebihan rantai globin dan sebaliknya. Rantai
bebas tsb tidak stabil dan akan mengalami presipitasi dalam eritrosit dan
membentuk badan inklusi sejak eritrosit masih muda, sehingga eritrosit ini
harus dihancurkan. Eritrosit yang lolos ke sirkulasi darah akan dihancurkan di
limpa, dengan akibat terjadi splenomegali sampai hipersplenisme.
Ketidakseimbangan rantai dan ini berkurang bila talasemia dan terjadi
bersamaan dan dengan demikian gambaran klinisnya lebih ringan.
4


o Talasemia
Pada keadaan normal, ada 4 gen globin, di mana masing-masing
terdapat 2 pada kromosom 16. Derajat keparahan talasemia
tergantung dari gen yang tidak ada, atau disfungsional.
Hidrops fetalis


Pada hidrops fetalis, keempat gen inaktif. Fetus tidak dapat
membuat Hb A fetal (
2

2
) maupun dewasa (
2

2
). Terjadi
kematian in utero (stillbirth) atau neonatal death.
6
Secara klinis
bayi dengan kelainan ini tampak pucat (anemia berat), bengkak,
kalaupun mampu lahir hidup hanya untuk beberapa saat saja.
Abdomen membesar, hepatosplenomegali, hemopoiesis
ekstramedular, sumsum tulang hiperplastik, hemolisis berat,
dan terdapat endapan hemosiderin dalam RES. Sering disertai
kelainan congenital lainnya.

Hasil pemerisaan laboratoriumnya adalah Hb rendah (3-10
g/dL), anemia mikrositik hipokrom, hitung retikulosit
meningkat, aniso-poikilositosis berat, banyak eritrosit berinti.
Pada elektroforesis Hb dengan buffer alkalis ditemukan Hb
Barts 80-90% sedangkan Hb F nihil.
1


Hb H disease
Disebabkan delesi atau gangguan dari 3 dari 4 gen .
Didapatkan anemia mikrositik hipokrom yang menonjol (Hb 6-
11.0 g/dL), dan splenomegali. Tidak terjadi deformitas tulang
dan gejala kelebihan zat besi. Elektroforesis hemoglobin
menunjukkan 4-10% hemoglobin H (
4
) dan pewarnaan
supravital menunjukkan sel golf ball.
6


Trait talasemia


Didapatkan delesi dari 1 atau 2 gen dengan eritrosit
mikroskopik hipokrom dengan peningkatan hitung eritrosit
(lebih dari 5.5x10
9
/L). Terjadi anemia ringan pada beberapa
kasus dengan delesi dari 2 gen .
6
Delesi dari 1 gen akan
menunjukkan hasil Hb A dan Hb F yang normal, tidak terjadi
anemia, namun nilai-nilai MEV menurun.
4


o Talasemia
Talasemia mayor/Cooleys anemia/Mediterranean anaemia
Adanya kegagalan sintesis rantai baik subtotal (+) maupun
total (
0
) akibat 200 mutasi titik berbeda atau delesi dari gen
globin pada sekuens pengontrolnya pada kromosom 11.
6

Didapatkan ketidakseimbangan berat dari rantai :+ dengan
deposisi dari rantai pada eritroblas. Kelainan ini didapat dari
perkawinan sepasang suami-istri dengan trait talasemia .
4


Gejala klinis yang dapat ditemukan adalah eritropoiesis
inefektif, anemia berat, hepatosplenomegali, timbunan besi, dan
hemopoiesis ekstramedular.
4,6
Sumsum tulang akan mengalami
hyperplasia dan sumsumnya berekspansi ke tulang, di mana
pada wajah akan tampak sebagai thalassaemic facies. Terjadi
penipisan korteks tulang, kecenderungan terjadi fraktur
patologik. Pada foto cranium terdapat ekspansi dari tulang
dengan gambaran hair-on-end appearance.
4




Dari sediaan darah tepi ditemukan gambaran anemia mikrositik
hipokrom berat (Hb 2-6 g/dL), eritrosit berinti, retikulositosis,
sel sasaran, basophilic stippling, eritroblas, dan sering mielosit.
Dalam elektroforesis ditemukan Hb A sangat kurang atau nihil,
Hb F meningkat dan Hb A
2
normal atau agak meningkat. Rasio
rantai / meningkat. Analisis DNA memperlihatkan mutasi
atau delesi spesifik.
6


Penatalaksanaannya adalah dengan transfusi packed red cell
secara teratur untuk mempertahankan hemoglobin di atas 9-10
g/dL (leukodeplesi untuk mengurangi risiko sensitisasi HLA
dan transmisi penyakit, misalnya CMV), terapi chelating agent
dengan deferoxamine subkutan selama 8-12 jam (5-7 malam
setiap minggu) dibantu vitamin C dan diganti dengan
deferipron bila respon tidak adekuat, splenektomi guna
mengurangi kebutuhan akan transfusi darah (sebaiknya ditunda
sampai usia 5 tahun), transplantasi sumsum tulang yang HLA
nya cocok, serta pengobatan komplikasi overload besi.
4,6


Transfusi darah berulang-ulang akan menyebabkan terjadinya
timbunan besi di jaringan, dengan akibat kerusakan hepar,
organ-organ endokrin sehingga terjadi DM, gangguan
pertumbuhan, dll. Timbunan besi pada jaringan otot jantung
mengakibatkan gangguan irama dan gagal jantung.
6




Talasemia intermedia
Lebih ringan dari talasemia mayor dengan onset lebih lama dan
ditandai dengan anemia mikrositik hipokrom yang memerlukan
sedikit transfuse atau tidak sama sekali. Terjadi defek rantai
yang lebih ringan daripada talasemia mayor, dengan
peningkatan rantai atau penurunan sintesis rantai . Dapat
terjadi hepatosplenomegali, hemopoiesis ekstramedular,
anemia, dan deformitas tulang, juga overload besi akibat
transfusi berulang.

Trait talasemia
Anemia mikrositik hipokrom dengan peningkatan jumlah
eritrosit (lebih dari 5.5x10
12
/dL) dan peningkatan kadar Hb A
2

(lebih dari 3.5%). Simpanan besi normal. Diagnosis yang
akurat memungkinkan dilakukannya konsultasi genetic dan
terapi besi yang tidak sesuai.
6


Anemia akibat penyakit kronis
Merupakan salah satu penyakit yang paling banyak diderita pada pasien
dengan penyakit inflamasi kronis dan malignansi.
1
Inflamasi kronis dapat
disebabkan oleh infeksi (misalnya abses paru, pneumonia, TB paru) dan
penyakit bukan infeksi (misalnya rheumatoid arthritis, SLE, sarkoidosis,
penyakit Crohn). Penyakit keganasan yang dapat menyebabkan anemia
diantaranya adalah limfoma, karsinoma, dan sarcoma.
4
Dapat ditemukan:


o Morfologi eritrosit normokromik, normositik, atau hipokromik ringan
(MCV jarang kurang dari 75 fL)
o Anemia ringan dan non-progresif (hemoglobin jarang kurang dari 9.0
g/dL) di mana beratnya anemia tergantung dari penyakit dasarnya.
o Besi serum dan daya ikat besi total berkurang, reseptor transferrin
serum normal
o Ferritin serum normal atau meningkat
1

o Elektroforesis Hb normal
4

o Simpanan zat besi retikuloendotelial sumsum tulang normal namun zat
besi eritroblas berkurang.
1


Patogenesisnya meliputi berkurangnya pelepasan zat besi dari makrofag,
berkurangnya masa hidup eritrosit, dan respon eritropoietin yang inadekuat
terhadap anemia akibat defek sitokin (misalnya IL-1 dan TNF) pada
eritropoiesis.

Anemia ini tidak berespon terhadap terapi zat besi dan harus diterapi
penyakit dasarnya, di mana eritropoietin rekombinan dapat memperbaiki
anemianya dalam beberapa kasus. Pada beberapa kasus, anemia ini dapat
diperberat dengan adanya anemia akibat etiologi lain (misalnya defisiensi
besi, vitamin B12 dan folat, gagal ginjal, kegagalan sumsum tulang,
hipersplenisme, gangguan endokrin, anemia leukoeritroblastik).
1


Anemia sideroblastik


Merupakan anemia yang refrakter di mana pada pemeriksaan sumsum tulang
ditemukan peningkatan zat besi yang terlihat sebagai granul yang tersusun
membentuk cincin sekitar nukleus dari eritrosit yang sedang berkembang
(ringed sideroblast), setidaknya pada 15% sel.
6
Normalnya, granula zat besi
tersebar secara acak pada eritroblas.
1


Anemia sideroblastik terbagi menjadi beberapa tipe, dan yang paling sering
adalah defek pada sintesis hem. Pada bentuk yang herediter, anemianya
biasanya ditandai dengan gambaran mikrositik hipokrom yang sangat jelas, di
mana mutasi yang paling sering adalah pada gen ALA-S yang terkait
kromosom X. Subtipe yang paling sering dari tipe primer yang didapat adalah
jenis myelodisplasia. Pada beberapa pasien dengan tipe herediter berespon
terhadap terapi piridoksin. Dapat juga dicoba terapi folat pada defisiensi
folat. Terapi lain yang telah dicoba pada myelodisplasia (misalnya
eritropoietin) juga dapat dicoba pada tipe acquired primer. Pada kasus yang
berat, transfusi darah berulang dapat merupakan satu-satunya metode yang
mempertahankan kadar hemoglobin yang memuaskan namun hati-hati pada
terjadinya kelebihan zat besi akibat transfusi.

Keracunan timbal dapat menghambat sintesis hem dan globin serta
menghambat pemecahan RNA dan menyebabkan akumulasi RNA
terdenaturasi dalam eritrosit (gambaran basophilic stippling pada pewarnaan
Romanowsky). Anemianya dapat berupa hipokromik dengan predominan
hemolitik, dan dapat ditemukan ringed sideroblast pada sumsum tulang.
1




Prevalensi anemia defisiensi besi tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada anak
usia sekolah dan anak praremaja.Prevalensi Anemia defisiensi besi lebih tinggi pada anak
kulit hitam dibanding kulit putih. Keadaan ini mungkin berhubungan dengan status sosial
ekonomi anak kulit hitam lebih rendah.
2

Anemia Defisiensi besi merupakan anemia paling sering dijumpai, terutama di negara-
negara tropik, oleh karena sangat berkaitan dengan taraf sosial ekonomi . Anemia ini
mengenai lebih dari sepertiga penduduk dunia dan memberikan dampak kesehatan yang
sangat merugikan serta dampak sosial yang cukup serius.
6

Tabel 4. Prevalensi Anemia Defisiensi Besi di Dunia
Afrika Amerika Latin Indonesia
Laki dewasa 6% 3% 16-50%
Wanita 20% 17-21% 25-48%
Wanita Hammil 60% 39-46% 46-92%

Patofisiologi

Zat besi dalam tubuh tidak pernah terdapat dalam bentuk ion bebas, tetapi selalu berikatan
dengan protein tertentu. Besi bebas akan merusak jaringan dengan sifat seperti radikal bebas.
Dalam keadaan normal, seorang pria dewasa mempunyai kandungan besi 50 mg/kgBB
sedangkan wanita 35 mg/kgBB.
7


Tubuh memiliki kemampuan yang terbatas dalam menyerap zat besi dan kehilangan zat
besi akibat pendarahan adalah hal yang sangat umum. Pemindahan dan penyimpanan zat besi


dalam tubuh banyak dimediasi oleh 3 protein: transferrin, reseptor transferrin 1 (TfR1)
dan ferritin. Transferrin mengantarkan zat besi ke jaringan yang memiliki reseptor
transferrin, terutama eritroblas pada sumsum tulang yang memasukkan zat besi ke dalam
hemoglobin. Transferrin kemudian akan digunakan kembali. Ketika eritrosit memasuki RES
untuk dihancurkan,, zat besi akan terlepas dari hemoglobin dan memasuki plasma untuk
berikatan kembali dengan transferrin. Hanya sebagian kecil zat besi plasma yang diperoleh
dari diet zat besi dan hasil penyerapan duodenum dan jejunum. Sejumlah zat besi disimpan
dalam makrofag dalam bentuk ferritin dan hemosiderin, di mana kadarnya tergantung kadar
zat besi dalam tubuh. Ferritin adalah kompleks protein-zat besi yang larut air, dimana 20%
dari beratnya mengandung zat besi, serta tidak dapat dilihat dengan mikroskop cahaya.
Sedangkan hemosiderin adalah kompleks protein-zat besi yang tak larut air dengan komposisi
bervariasi dan 37% dari beratnya mengandung zat besi, di mana hemosiderin dapat dilihat
berada dalam makrofag dengan menggunakan mikroskop cahaya setelah pewarnaan dengan
Prussian blue. Zat besi dalam ferritin dan hemosiderin berada dalam bentuk ferri, dan akan
didistribusikan setelah direduksi menjadi bentuk ferro, dibantu oleh vitamin C. Sedangkan
seruloplasmin mengkatalisa oksidasi zat besi menjadi bentuk ferri guna berikatan dengan
transferrin plasma.
8

Kadar ferritin dan TfR1 tergantung dari kadar zat besi tubuh, dimana kelebihan zat besi
akan menyebabkan peningkatan ferritin jaringan dan penurunan jumlah TfR1, sedangkan
kekurangan zat besi akan menyebabkan penurunan ferritin jaringan dan peningkatan jumlah
TfR1. Ketika kadar zat besi plasma meningkat dan transferrin tersaturasi, akan terjadi
peningkatan distribusi zat besi ke dalam sel-sel parenkim (misalnya hati, organ endokrin,
pancreas, dan jantung) sehingga merupakan dasar dari perubahan patologis yang
berhubungan dengan kelebihan zat besi.



Zat besi juga terdapat dalam otot sebagai mioglobin dan pada kebanyakan sel-sel tubuh
dalam enzim yang mengandung zat besi (misalnya sitokrom, succinic dehydrogenase,
katalase), di mana zat besi dalam jaringan ini lebih sulit berkurang dibandingkan dengan
hemosiderin, ferritin, dan transferrin dalam keadaan defisiensi besi.

Hepsidin, merupakan polipeptida yang diproduksi oleh sel hati, yang merupakan protein
fase akut dan regulator hormonal yang dominan dalam homeostasis zat besi. Hepsidin
menghambat pelepasan zat besi dari makrofag, sel-sel epitel usus, dan dari sinsitiotrofoblas
plasenta. Produksi hepsidin akan meningkat akibat inflamasi, dan akan menurun bila terdapat
anemia defisiensi besi (diperantarai oleh reseptor transferin 2), hipoksia, dan eritropoiesis
inefektif.

Zat besi berada dalam makanan dalam bentuk ferri hidroksida, kompleks ferri-protein, dan
kompleks hem-protein, di mana secara umum dapat dikatakan bahwa daging terutama hati
merupakan sumber zat besi yang lebih baik daripada sayur-sayuran, telur, maupun produk
susu. Zat besi organic yang terdapat dalam diet sebagian akan diserap sebagai hem dan
sebagian akan dipecahkan menjadi besi inorganic di usus, di mana hem kemudian akan
dicerna untuk melepaskan zat besi.
1
Sedangkan absorbsi besi inorganic dipengaruhi oleh
factor seperti asam (HCl dan vitamin C) dan agen-agen pereduksi (asam amino; glutation)
yang menyebabkan zat besi dalam lumen usus tetap berada dalam bentuk ferro daripada
ferri.
1,4
Yang tergolong sebagai zat penghambat adalah tanat, fitat, dan serat (fibre).
7
Ferri
reduktase berada pada permukaan apikal villi usus dan berguna untuk mengubah zat besi
dari ferri menjadi ferro, dan enzim lain yaitu hephaestin (yang mengandung tembaga)
mengubah ferro menjadi ferri pada permukaan basal sebelum berikatan dengan transferrin.
1




Jumlah kebutuhan zat besi yang diperlukan setiap hari guna mengkompensasi kehilangan
zat besi dari tubuh dan untuk pertumbuhan bervariasi tergantung usia dan jenis kelamin, di
mana tertinggi pada saat kehamilan, remaja, dan menstruasi, sehingga lebih rawan terkena
defisiensi besi jika ada kehilangan maupun kekurangan asupan zat besi dalam jangka
panjang.
1

Perdarahan kronis menyebabkan kehilangan zat besi sehingga cadangan zat besi makin
menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut iron depleted stateatau negative
iron balance, ditandai oleh kadar ferritin serum menurun dan peningkatan absorbsi zat besi
dalam usus, serta pewarnaan besi dalam sumsum tulang negative. Apabila kekurangan zat
besi berlanjut terus, cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk
eritropoiesis berkurang tetapi anemia secara klinis belum terjadi, disebut sebagai iron
deficient erythropoiesis. Pada fase ini, kelainan yang pertama ditemukan adalah adanya
peningkatan protoporfirin bebas atau zinc protoporphirin dalam eritrosit. Saturasi transferrin
menurun dan DIBT meningkat, juga peningkatan reseptor transferrin dalam serum. Apabila
jumlah besi menurun terus maka eritropoiesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin
menurun, timbul anemia mikrositik hipokrom (iron deficiency anemia). Pada saat ini juga
terjadi kekurangan besi epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala
pada kuku, epitel mulut, dan faring serta berbagai gejala lainnya.
Selain pada hemoglobin, zat besi juga menjadi komponen penting dari mioglobin dan
berbagai enzim yang diperlukan dalam penyediaan energy dan transport electron. Karena itu,
defisiensi besi juga menimbulkan berbagai dampak negative selain anemia, misalnya pada
sistem neuromuscular yang menyebabkan gangguan kapasitas kerja, gangguan terhadap
proses mental dan kecerdasan, gangguan terhadap ibu hamil dan janin, gangguan imunitas


dan ketahanan terhadap infeksi. Gangguan ini dapat timbul pada anemia ringan bahkan
sebelum anemia manifest.
1,2
Defisiensi besi menyebabkan penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom dan
gliserofosfat oksidase, menyebabkan gangguan glikolisis sehingga terjadi penimbunan asam
laktat sehingga mempercepat kelelahan otot. Gangguan perkembangan kognitif dan non-
kognitif pada anak dan bayi diperkirakan disebabkan oleh penumpukan serotonin serta enzim
monoaminoksidase yang menyebabkan penimbunan katekolamin dalam otak. Defisiensi besi
juga dihubungkan dengan resiko prematuritas serat morbiditas dan mortalitas fetomaternal, di
mana ibu hamil yang menderita anemia disertai peningkatan kematian maternal, lebih mudah
terkena infeksi dan sering mengalami gangguan partus. Pengaruh defisiensi besi terhadap
infeksi masih controversial, mengingat defisiensi besi dapat menyebabkan berkurangnya
penyediaan besi pada bakteri sehingga menghambat pertumbuhan bakteri, namun juga
menurunkan enzim untuk sintesis DNA dan enzim mieloperoksidase netrofil sehingga
menurunkan imunitas selular.
7


MANIFESTASI KLINIS
Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu : gejala
umum anemia, gejala khas akibat defisiensi, dan gejala penyakit dasar.

Gejala Umum Anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome) dijumpai
pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl. Gejala ini berupa
badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada
anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-
lahan sering kali sindroma anemia tidak terlalu menyolok dibandingkan dengan anemia lain


yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat, oleh karena mekanisme
kompensasi tubuh dapat berjalan dengan baik. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang
pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku. Anemia bersifat simptomatik
bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl.

Gejala Khas Defisiensi Besi
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia jenis
lain adalah :
a. Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis
vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip sendok.
b. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil
lidah menghilang.





Gbr 1. Atrofi papil lidah
c. Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya keradangan pada sudut mulut sehingga
tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
gbr 2. Stomatitis


d. Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
e. atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhlorhidria
f. pica : keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti ; tanah liat, es, lem dan
lain-lain.
Sinrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Patterson Kelly adalah kumpulan
gejala yang terdiri dari anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia.

Gejala Penyakit Dasar
Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi penyebab
anemia defisiensi besi. Misalnya paad anemia akibat penyakit cacing tambang disebut
dispepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami.
Pada anemia karena perdarahan kronik akibat kanker kolondijumpai gejala gangguan
kebiasaan buang air besar atau gejala lain tergantung dari lokasi kanker tersebut.
1
B. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan anemia defisiensi besi tergantung dari derajat
anemianya, penyebab defisiensi besi, dan kemampuan pasien untuk mentolerir
preparat zat besi.
- Non medica mentosa
Penatalaksanaan non-medikamentosa meliputi penanganan perdarahan, diet,
pembatasan aktivitas, dan transfusi darah.
Penanganan perdarahan
Penangananan perdarahan dapat berupa pembedahan untuk memperbaiki
defek dasarnya, meliputi penyakit dasar baik neoplastik maupun non-
neoplastik seperti traktus gastointestinal, uterus, dan paru.



Reserve transfusion packed red blood cells untuk pasien yang menderita
perdarahan akut atau dalam bahaya hipoksia dan/atau insufisiensi koronaria.

Diet
Diet merupakan predisposisi mayor dari defisiensi besi. Pasien dengan diet
randah zat besi harus diidentifikasi dan dikonseling untuk meninggalkan
kebiasaan diet rendah zat besi, serta mengumpulkan orang-orang tsb bersama
komunitas yang dapat menyediakan setidaknya 1 menu bernutrisi setiap
harinya. Pasien dengan pica harus diidentifikasi dan dikonseling untuk
menghentikan konsumsi tanah liat dan zat-zat lainnya.
2
Sebaiknya diberikan
makanan bergizi tinggi protein terutama yang berasal dari protein hewani.
7


Pembatasan aktivitas
Pembatasan aktivitas biasanya tidak diperlukan, di mana pembatasan aktivitas
harus didasari dari beratnya anemia dan keadaan komorbid yang dimiliki
pasien. Pasien dengan anemia defisiensi besi berat dan gangguan
kardiopulmonar signifikan perlu dibatasi aktivitasnya hingga anemianya
tertangani dengan terapi zat besi. Jika pasien menjadi hipoksia dan terlihat
kemungkinan insufisiensi koronaria, pasien harus dirawat di rumah sakit dan
istirahat penuh hingga terdapat perbaikan dari anemianya sehingga bisa
ditransfusi dengan packed red blood cells.
2


Transfusi darah
Jarang diperlukan pada anemia defisiensi besi. Jenis darah yang diberikan
adalah packed red cell untuk mengurangi bahaya overload, di mana sebagai


premedikasi dapat diberikan furosemide IV. Tatacara transfusinya tidak
berbeda dengan yang untuk anemia tipe lain. Indikasinya adalah:
o Adanya penyakit jantung anemic dengan ancaman payah jantung
o Anemia yang sangat simtomatik, misalnya anemia dengan gejala
pusing yang sangat menyolok
o Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti
pada kehamilan trimester akhir atau preoperasi.
7


- Medica mentosa
Selain mengobati penyakit dasarnya, dapat juga diberikan zat besi guna
memperbaiki anemia dan mengembalikan simpanan zat besi dalam tubuh.
1

Preparat zat besi oral
Preparat zat besi oral tersedia dalam bentuk tablet, kapsul, dan eliksir (tabel 4),
di mana yang paling murah dan banyak dipakai adalah ferrous sulfat.
Carbonyl iron memiliki efikasi sebesar 70% dari ferrous sulfat namun karena
pelepasannya di usus lambat sehingga dapat ditoleransi lebih baik pada pasien
dengan efek samping gastrointestinal. Pada umumnya, jika sediaan tsb
diberikan 3 hingga 4 kali sehari sebelum makan, sekitar 40 hingga 60 mg zat
besi akan diabsorbsi dan didistribusikan ke dalam sumsum eritroid, sehingga
membantu produksi di sumsum hingga 3 kali lipat normal pada orang dengan
anemia sedang hingga berat.


Preparat oral
Tablet (kadar zat besi)
(mg)
Eliksir (kadar zat besi)
(mg)
Tabel 4. Sediaan zat besi oral
Sumber: Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in clinical practice. 4
th
ed. United States: The McGraw-Hill
Companies; 2005










Beberapa sediaan juga mengandung substansi yang mempermudah
penyerapan zat besi, misalnya vitamin, asam amino, dan bahan-bahan lainnya,
di mana yang banyak dipakai adalah asam askorbat dalam kadar 200 mg atau
lebih. Pada saat yang bersamaan, peningkatan asupan juga menyebabkan
peningkatan efek samping, sehingga kurang berguna bagi pasien.

Anemia defisiensi besi sedang dan berat harus diterapi dengan besi elemental
sebanyak 150-200 mg per hari (2-3 mg/kg). Untuk anak-anak dengan berat
badan 15-30 kg, dosisnya dikurangi setengah. Anak-anak yang lebih kecil dan
bayi biasanya dapat mentolerir dosis hingga 5 mg/kg. Kepatuhan pasien
merupakan kunci dari respon sumsum yang efektif terhadap terapi zat besi.
Preparat oral yang terbaik adalah bila diberikan beberapa kali sehari,
mengingat absorbsi dari setiap dosisnya terbatas hanya untuk beberapa jam
saja. Untuk memperoleh hasil yang maksimum, zat besi perlu dikonsumsi
sebelum makan, namun hal ini dapat menyebabkan meningkatnya resiko
intoleransi gastrointestinal. Regimen zat besi oral yang tipikal adalah 1 tablet
zat besi 3 sampai 4 kali sehari sebelum makan dan sebelum tidur, di mana
Ferrous sulfate 325 (65) 300/5 mL (60)
Ferrous
gluconate
325 (38) 300/5 mL (35)
Ferrous fumarate 300 (99) 100/5 mL (33)
Carbonyl iron 50 (50)
Polysaccharide-
iron
150(150) 100/5 mL (100)


dosis terakhir sangat penting untuk mempertahankan kadar besi serum saat
malam hari hingga tidak berada di bawah kadar 50 g/dL.

Kecepatan pertambahan kadar hemoglobin sebagai respon terhadap terapi zat
besi akan berjalan lambat, menggambarkan berkurangnya stimulasi
eritropoietin seiring dengan hilangnya anemia. Ketika kadar hemoglobin darah
sudah mencapai 10-12 g/dL, kecepatan penyembuhan akan berlangsung lebih
lambat lagi dan tidak tergantung dari dosis zat besi oral yang diberikan,
sehingga pengurangan dosis dapat membantu mempertahankan compliance
pasien dalam minum obat. Setidaknya diperlukan terapi zat besi selama 6
bulan guna mengembalikan cadangan zat besi dalam sistem retikuloendotelial.

Pada pasien dengan anemia defisiensi sedang hingga berat, target peningkatan
hemoglobin yang diharapkan adalah 2-3 g/dL dalam 3-4 minggu. Jika anemia
tidak terlalu berat dan hemoglobin di atas 10 g/dL, respon peningkatan
hemoglobin akan lebih rendah karena stimulasi eritropoietin yang berkurang.
3

Respon retikulosit dapat terlihat setelah 7 hari.
6


Pada semua situasi, dosis zat besi yang diberikan harus disesuaikan
berdasarkan toleransi pasien. Dosis 150-200 mg per hari dapat menyebabkan
keluhan nausea dan nyeri abdomen atas, sehingga dosis perlu dikurangi. Pada
umumnya, toleransi terhadap zat besi oral akan meningkat seiring dengan
berjalannya terapi. Gejala konstipasi dan diare juga merupakan keluhan yang
umum saat terapi zat besi, namun tidak berhubungan dengan dosis dan harus
diterapi simtomatik. Dosis zat besi yang besar tidak diperlukan pada pasien


dengan anemia ringan atau bila ingin mengembalikan simpanan zat besi. Hal
ini disebabkan karena terbatasnya absobsi zat besi.

Absorbsi zat besi yang diberikan dalam bentuk tablet memerlukan lingkungan
intra-gaster yang asam guna melepaskan salut tablet. Pada pasien yang sudah
mengalami pembedahan gaster, sebaiknya diberikan preparat zat besi eliksir.
Pada keadaan tertentu, zat besi mungkin perlu diberikan bersamaan dengan
makanan untuk mencegah intoleransi gaster.

Ketika respon terhadap terapi zat besi oral inadekuat, harus dicari seberapa
besar compliance pasien terhadap terapi yang diberikan, mengingat untuk
memperoleh hasil yang maksimum diperlukan asupan zat besi oral yang
konstan. Jika compliance pasien bagus, harus dicari kemungkinan adanya
sumber perdarahan berkelanjutan dan adanya penyakit inflamasi
(menyebabkan hambatan absorbsi dan pelepesan zat besi dari simpanan
retikuloendotelial). Terapi zat besi oral tidak boleh dilanjutkan lebih dari 3-4
minggu bila tidak terdapat respon yang adekuat. Selain itu, suplementasi zat
besi sebaiknya tidak diresepkan secara rutin selama lebih dari 6 bulan tanpa
ada alasan yang jelas guna menghindari kemungkinan adanya kelebihan zat
besi jika pasien memiliki trait hemokromatosis.
3


Preparat zat besi parenteral
Diberikan pada pasien dengan intoleransi gastrointestinal berat akibat preparat
zat besi oral, ada malabsorbsi gastrointestinal, compliance rendah, kehilangan
darah banyak yang tidak cukup diterapi dengan preparat oral, kebutuhan besi


yang besar dalam waktu pendek, dan defisiensi besi fungsional relative akibat
pemberian eritropoietin pada anemia gagal ginjal kronik atau anemia akibat
penyakit kronik.
7

o Iron dextran
Cara pemberian yang dianjurkan adalah dengan bolus injeksi IV
sebanyak 500-2000 mg (dengan kemasan 50 mg/mL). Total kebutuhan
zat besi yang diperlukan oleh pasien dapat dihitung dengan rumus sbb:


Namun penggunaannya harus hati-hati guna mengantisipasi reaksi
anafilaktik pada pasien yang alergi dekstran. Teknik pemberiannya
yaitu injeksi inisial sebanyak kurang dari 0.5 mL selama 5-10 menit
sambil mengobservasi pasien. Pemberian harus segera dihentikan bila
terdapat keluhan gatal, sesak, nyeri dada, atau nyeri punggung.
Tekanan darah juga harus dimonitor pada jam pertama guna melihat
adanya hipotensi mendadak. Jika dosis awal dapat ditoleransi, dosis
sisanya dapat diberikan perlahan. Bila diberikan 500-1000 mg dalam
sekali pemakaian, sebaiknya diencerkan dalam 250 mL solusio natrium
klorida 0.9% dan diberikan dalam 30-60 menit.

Iron dextran juga dapat diberikan secara IM di kedua pantat dengan
masing-masing disuntikkan sebesar 2.5 mL. Dapat terjadi pewarnaan
kulit yang signifikan, abses steril di tempat injeksi, resiko anafilaksis
akut. Reaksi lambat terhadap iron dextran IM atau IV adalah reaksi
Kebutuhan besi (mg) =BB (kg) x 2.3 x (15-Hb pasien dalam g/dL) + 500 mg
(untuk simpanan)


serum sickness-like dengan malaise, febris, atralgia, skin rash, dan
limfadenopati.

o Iron sucrose
Tersedia dalam kemasan vial 5 mL berisi 100 mg besi elemental.
Dapat diinfuskan langsung atau setelah dilusi dalam 100 mL saline
selama 15 menit untuk mencegah hipotensi. Resiko terjadinya
anafilaktik berat jauh lebih ringan dibandingkan dengan iron dextran,
namun kelemahannya adalah, dosis maksimum yang bisa diberikan
hanya terbatas 100 mg.

o Sodium ferric gluconate
Tersedia dalam kemasan vial 5 mL mengandung 62.5 mg besi
elemental. Dosis yang direkomendasikan adalah 5-10 mL secara IV
selama 10 menit. Seperti iron sucrose, resiko terjadinya reaksi
anafilaktik dan respon imun lambat dapat diacuhkan. Namun, dosis
maksimum yang dapat diberikan hanya 125 mg setiap kali. Karena
itulah sodium ferric gluconate dan iron sucrose ideal untuk suplai zat
besi rumatan pada pasien hemodialisis, namun kurang berguna bila
dibutuhkan infusi zat besi dosis besar dalam sekali jalan.
4








C. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah:
- Gangguan jantung
Kardiomegali hingga gagal jantung akibat jantung harus bekerja lebih keras dalam
memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik .

- Masalah kehamilan
Berhubungan dengan kelahiran premature dan berat badan lahir rendah.

- Masalah pertumbuhan
Pada bayi dan anak-anak, defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan, disertai dengan resiko lebih rawan terkena infeksi.
8


Pencegahan
Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat maka diperlukan
suatu tindakan pencegahan yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut dapat berupa:
a.Pendidikan kesehatan:
- Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, perbaikan lingkungan kerja,
misalnya pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah penyakit cacing tambang.
-Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorpsi besi.
b. Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik yang paling
sering dijumpai di daerah tropik. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat dilakukan
dengan pengobatan masal dengan antihelmentik dan perbaikan sanitasi.
2


c. Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen penduduk yang rentan,
seperti ibu hamil dan anak balita. Di Indonesia diberikan pada perempuan hamil dan anak
balita memakai pil besi dan folat.
d. Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada bahan makanan. Di
negara Barat dilakukan dengan mencampur tepung untuk roti atau bubuk susu dengan besi.
2
Prognosis
Anemia defisiensi besi adalah suatu gangguan yang mudah diterapi dengan prognosis yang
sangat baik. Namun, prognosis yang buruk mungkin dapat ditemukan pada pasien dengan
kondisi penyerta maupun komorbiditas yang berat, seperti neoplasia dan penyakit arteri
koronaria. Anemia defisiensi besi kronik yang sedang maupun berat dapat menyebabkan
hipoksia yang menyebabkan kambuhnya gangguan pulmonar maupun kardiovaskular yang
dimiliki pasien. Kematian akibat hipoksia dapat terjadi pada pasien yang menolak diberi
transfusi darah karena alasan religious, atau pada pasien dengan perdarahan akut yang berat.

Pada anak yang lebih muda, anemia defisiensi besi berhubungan dengan IQ yang lebih
rendah, kurangnya kemampuan belajar, dan kecepatan pertumbuhan yang suboptimal.
2


Pembahasan Kasus
Pada kasus ini, hal yang pertama harus dilakukan adalah melengkapi hasil pemeriksaan
laboratorium, yaitu dengan menentukan nilai besi serum, DIBT, saturasi transferrin, ferritin
serum, dan reseptor transferring (bila perlu). Dan bila dengan pemeriksaan-pemeriksaan tsb
masih belum terlalu meyakinkan diagnosis, dapat dicoba untuk melihat cadangan besi
sumsum tulang dengan pewarnaan biru Prussia.



Setelah ditemukan adanya hasil yang menunjang diagnosis pasti anemia defisiensi besi,
perlu dicari etiologi pasti penyebab anemia yang diderita pasien. Pada kasus ini,
kemungkinan yang menjadi etiologinya adalah adanya perdarahan gastrointestinal akibat
pemakaian piroxicam. Untuk itu, dapat dilakukan pemeriksaan saluran cerna misalnya
endoskopi saluran cerna bagian atas (paling baik dengan esofagogastroduodenoskopi) atau
saluran cerna bagian bawah (misalnya dengan kolonoskopi), pemeriksaan darah samar, colok
dubur, USG (untuk mengeliminasi kemungkinan sirosis hepatis). Selain itu perlu dilihat juga
uji fungsi ginjal dan hepar.

Untuk penggunaan piroxicam, pasien dapat dikonsultasikan ke dokter yang menangani
penyakitnya untuk pertimbangan mengganti obat dengan obat analgesic lain yang tidak
menimbulkan gangguan saluran cerna, misalnya obat golongan NSAID yang selektif
menghambat COX-2 seperti celecoxib dan valdecoxib, atau dengan menambahkan
antasida/H2RA/PPI. Dan jangan lupa untuk menangani defisiensi besinya dengan pemberian
preparat besi, yang dapat dicoba mulai dari preparat besi oral seperti yang telah disebutkan
pada makalah ini.

Penutup
Anemia defisiensi besi merupakan kasus yang biasanya tidak berdiri sendiri, karena itu
harus dicari adanya kemungkinan etiologi lain selain kurangnya asupan zat besi yang dapat
menyebabkan anemia defisiensi ini. Penanganannya pun meliputi penatalaksanaan penyakit
yang mendasarinya dan defisiensi besi yang terjadi, di mana pada kelompok orang tertentu
(misalnya wanita hamil, orang yang hendak operasi) sebaiknya diberikan zat besi dalam dosis
besar (biasanya dalam sediaan parenteral). Penanganan anemia defisiensi besi ini juga harus
diperhatikan pada anak-anak, guna mencegah keterlambatan perkembangan kognitif dan


fisiknya. Selain daripada itu, pasien juga wajib diedukasi untuk mengkonsumsi makanan
yang mengandung zat besi namun tidak secara berlebihan (karena dapat menyebabkan
overload besi) serta menjaga kebersihan lingkungan (guna mencegah infeksi cacing
tambang).




















Daftar Pustaka
1. Sudoyo W., Setyohadi B., Alwi I., Simadibrata M.,Setiadi S.,Editor. Anemia
defisiensi besi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2 Edisi 3. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2006; hal 644-50.
2. Hoffbrand AV, Moss PAH, Pettit JE, editor. Essential haematology. 5
th
ed.
Massachusets: Blackwell Publishing; 2006.p.21-2, 28-37,40-1
3. Jonathan Gleadle. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Edisi ke-1. Erlangga
Medical Series:2007.hal. 84-5.
4. Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. Anemia defisiensi besi. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi
ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. H. 1130-3, 1135-6
5. Kosasih EN,Kosasih AS. Tafsiran hasil pemeriksaan laboratorium klinik. Edisi 2.
Tangerang: Karisma Publishing Group; 2008; hal 10-14.
6. Sudiono H, Iskandar I, Edward H. Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik
hematologi. Jakarta :Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran UKRIDA;2009. hal.
210-11.
7. Hoffbrand AV, Pettit JE,Mos PAH, Kapita selekta hematologi. Edisi ke 4.
Jakarta:EGC;2005. hal. 303-6.
8. Permono B, Sutaryo, Ugrasena, Anemia defisiensi besi, dalam buku ajar hematologi
onkologi, Badan penerbit IDAI: Jakarta, 2005; hal 30-42.





Anemia Defisiensi Besi


KELOMPOK D6
Robinder Dhillon 10.2007.112
Ritan Yapnita 10.2008.163
Jessica Priscilla 10.2009.042
Goei Deo Putra Lukmana 10.2009 .073
Yuniasih 10.2009.102
Yosephina Mastiur 10.2009.130
Stefanus Widy 10.2009.155
Malvin Jonathan 10.2009.228
Winda Anastesya 10.2009.246
Nurul Aisyah Binti Ismail 10.2009.297

Anda mungkin juga menyukai