ABSTRACT Neurofibromatosis type 1 (NF1) is a multisystem genetic disorder that is characterized by cutaneous findings, most notably caf-au-lait spots and axillary freckling, by skeletal dysplasias, and by the growth of both benign and malignant nervous system tumors, most notably benign neurofibromas. NF1 is an autosomal dominant condition caused by decreased production of the protein neurofibromin, which has a putative tumor suppressor function. Only one NF1 gene need be deleted or mutated to produce the condition. No known medical therapies are beneficial to patients with NF1. Several drug trials have been initiated, looking for medications that slow or halt the growth of neurofibromas. Thus far, none of these medications have demonstrated significant benefit, although various research trials involving chemotherapeutic and other agents are underway in an attempt to slow the growth of plexiform neurofibromas.
PENDAHULUAN Neurofibromatosis adalah suat u kelainan genetik pada sistem saraf yang berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan jaringan saraf , dimana neurofibroma muncul pada kulit dan bagian tubuh lainnya. Penyakit ini diturunkan secara autosomal dominan. Gangguan ini dapat mempengaruhi semua ras, semua kelompok etnis dan jenis kelamin masing-masing dengan probabilitas yang sama. Neurofibromatosis telah, terlepas dari bentuk yang paling umum, jenis yang berbeda. NFM (Neurofibromatosis) tipe 1, juga dikenal sebagai penyakit Reclkingshausen Von, memiliki insiden 1:3000. NFM tipe II "Sindrom MISME" memiliki kejadian 1:40,000. Schwannomatosis, adalah bentuk paling unik. Ini memiliki jenis yang berbeda berbeda. Hal ini membuat sekitar 1 / 3 dari pasien hanya memiliki satu tumor, bukan banyak. Schwannomatosis memiliki terjadinya 1:40,000.. Penderita NF kebanyakan mendapatkan penyakit ini dari faktor keturunan (dari kedua orangtuanya), namun sekitar 30% kasus ternyata penderita NF tidak memiliki orang 2
tua atau riwayat keluarga yang memiliki penyakit NF pula. Artinya penyakit ini mereka dapatkan karena tubuh mereka mengalami mutasi gen secara individual dan tidak selalu bawaan lahir. Apabila salah satu orang tua menderita kelainan NF ini , maka 50 % kemungkinan anaknya menderita penyakit ini . Mereka dapat muncul di mana saja, dan biasanya meningkat dengan usia. Bintik- bintik muncul pada daerah pangkal paha dan ketiak. Gejala penyerta dapat bervariasi dari jenis ke jenis seperti dalam bentuk gangguan pendengaran, sakit kepala, vertigo, kelumpuhan wajah, tumor otak, atau tuli. Pertumbuhan ini biasanya mulai muncul setelah masa pubertas dan bisa dirasakan dibawah kulit sebagai benjolan kecil. Kriteria diagnosis untuk NF1 terpenuhi jika dijumpai dua atau lebih dari kondisi berikut: 1) dijumpai 6 makula cafe-au-lait diameter 0,5cm pada anak atau 1,5cm pada orang dewasa; 2) freckles pada area aksila atau inguinal; 3) neurofibroma fleksiformis atau neurofibroma dermal 2; 4) Lisch nodul 2 pada iris mata; 5) glioma nervus optikus; 6) displasia tulang; dan 7) anggota keluarga generasi pertama ada yang menderita NF1. Kebanyakan pada anak-anak hanya dijumpai makula cafe-au-lait sehingga diagnosis tidak dapat segera ditegakkan sampai muncul kriteria lainnya. 1,2,13 Anak-anak yang memiliki 3-5 cafe-au-lait harus dievaluasi berkala oleh dokter spesialis kulit, spesialis saraf anak, dan spesialis jiwa.
Gambaran klinis yang ditemukan pada kasus ini adalah cafe-au-lait 6 dengan diameter 0,5cm dan freckles pada aksila, sehingga diagnosis NF1 dapat ditegakkan. Cafe- au-lait merupakan tanda pertama yang sering muncul, terjadi pada 99% kasus NF1 dan muncul pada satu tahun pertama kehidupan. Freckles pada aksila, inguinal, atau bawah payudara merupakan tanda patognomonik NF1. Sebanyak 81% anak yang didiagnosis NF1 mempunyai freckles intertriginosa sejak umur 6 tahun. Nodul Lisch, neurofibroma kutan, dan neurofibroma fleksiformis pada kasus ini tidak ditemukan. Prevalensi nodul Lisch pada anak dengan NF1 sebesar 15-20%. Neurofibroma baru muncul setelah pubertas, sedangkan neurofibroma fleksiformis biasanya kongenital dan prevalensi pada NF1 sebesar 25%. Sekitar sepertiga penderita tidak mengeluhkan adanya gejala dan penyakit ini pertama kali terdiagnosis ketika pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya benjolan dibawah kulit, di dekat saraf. Pada sepertiga penderita lainnya penyakit ini terdiagnosis ketika penderitanya berobat untuk masalah kosmetik. Tampak bintik-bintik kulit yang berwarna coklat (bintik caf au lait) di dada, punggung, pinggul, sikut dan lutut. Bintik-bintik ini bisa ditemukan pada saat anak lahir atau baru timbul pada masa bayi. Pada usia 10-15 tahun mulai 3
muncul berbagai ukuran dan bentuk neurofibromatosis di kulit. Jumlahnya bisa kurang dari 10 atau bisa mencapai ribuan.Pada beberapa penderita, pertumbuhan ini menimbulkan masalah dalam kerangka tubuh, seperti kelainan lengkung tulang belakang (kifoskoliosis), kelainan bentuk tulang iga, pembesaran tulang panjang pada lengan dan tungkai serta kelainan tulang tengkorak dan di sekitar mata. Sepertiga sisanya memiliki kelainan neurologis. Neurofibromatosis bisa mengenai setiap saraf tubuh tetapi sering tumbuh di akar saraf spinalis. Neurofibroma menekan saraf tepi sehingga mengganggu fungsinya yang normal. Neurofibroma yang mengenai saraf-saraf di kepala bisa menyebabkan kebutaan, pusing, tuli dan gangguan koordinasi. Semakin banyak neurofibroma yang tumbuh, maka semakin kompleks kelainan saraf yang ditimbulkannya. Jenis neurofibromatosis yang lebih jarang adalah neurofibromatosis jenis 2, dimana terjadi pertumbuhan tumor di telingan bagian dalam (neuroma akustik). Tumor ini bisa menyebabkan tuli dan kadang pusing pada usia 20 tahun.
Individu yang mengalami delesi pada 3 pasang basa spesifik di ekson 17 dari gen NF1 dapat memiliki bercak cafe-au-lait, freckles intertriginosa, dan nodul Lisch, tetapi tidak berkembang menjadi neurofibroma baik kutan, subkutan, maupun fleksiformis. 2 Satu laporan kasus pasien NF1 usia 38 tahun, dengan mutasi pada gen NF1 memiliki gambaran klinis berupa 6 bercak cafe-au-lait berdiameter 10-20 mm (hanya 2 yang berdiameter > 15 mm) dan freckles, tanpa dijumpai adanya nodul Lisch dan neurofibroma kutan maupun fleksiformis. Hal ini menunjukkan bahwa NF1 dapat terjadi tanpa disertai adanya neurofibroma dan nodul Lisch, sehingga modifikasi kriteria diagnosis NF1 mungkin diperlukan terkait temuan tersebut. NF1 juga merupakan kelainan multisistem yang dapat mengenai mata, tulang, endokrin, dan pembuluh darah pada sistem saraf pusat dan perifer. Kelainan lain yang sering dijumpai adalah postur pendek (25-35%), neurofibroma flksiformis (25%), skoliosis (12- 20%), dan glioma optik (7%). Kelainan lain yang jarang dijumpai adalah epilepsi (3-5%), tumor intrakranial (1-2%), dan hidrosefalus (2%). Kelainan neurologi terbanyak pada anak dengan NF1 adalah gangguan kognisi (30-65%). 4 Pada kasus ini dari hasil CEEG terdapat gelombang epileptiform abnormal dan BM tidak menunjukkan fokus maupun asimetri. Gangguan kognisi pada kasus ini tidak ditemukan; pasien memiliki prestasi akademik yang baik.
Beberapa penelitian menunjukkan gangguan emosi (seperti kecemasan dan depresi) yang signifikan pada anak dengan NF1 bila dibandingkan dengan anak normal. Prevalensi 4
depresi 25% dan kecamasan 48% pada penderita NF1 dewasa, sedangkan pada anak belum diketahui secara pasti. PRESENTASI KASUS Ibu berumur 36 tahun berinisial A.P datang ke poli umum Puskesmas Alak tanggal 04 agusuts 2014 dengan keluhan terdapat benjolan di seluruh badan. Benjolan tersebut kadang gatal dan jika digaruk akan pecah sehingga mengeluarkan cairan berwarna jernih. Setelah pecah membentuk luka yang akan sembuh dengan sendirinya. Pasien mengeluhkan benjolan di seluruh badannya muncul sejak pasien berusia satu tahun. Benjolan awalnya tidak banyak dan hanya muncul beberapa di perut berdasarkan cerita kedua rang tuanya. Seiring pasien beranjak dewasa benjolan semakin banyak dan menyebar ke seluruh tubuh. Pasien kadang kala mengalami gangguan penglihatan berupa pandangan kabur. Tidak ada gangguan kesehatan yang berat pada pasien. Pasien hanya mengeluhkan merasa minder dan stres dengan keadaannya. Keluhan lain : demam (-) BAB BAK dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik ditemukan benjolan berwarna seperti kulit sekitarnya, permukaan licin dengan batas yang jelas berbentuk bundar seperti koin. Benjolan bersifat multiple dan bentuknya heterogen. Keadaan umum bai, kesadaran kompos mentis, kooperatif, TD 110/70 mmHg, N 76 x/menit, nafas 22 X/menit, dan suhu 36,5 o C. Pasien diterapi dengan prednison 10 mg 3 x 1 tablet dan antihistamin yakni CTM 3 x 1 tablet. Selain KIE minum obat teratur dan selalu datang kontrol di Puskesmas kepada pasien juga diedukasi untuk melakukan hal-hal yang bisa mengurangi tekanan mental dan emosi serta depresi yang dialami.
DISKUSI Neurofibromatosis adalah suatu kelainan genetik pada sistem saraf yang berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan jaringan saraf , dimana neurofibroma muncul pada kulit dan bagian tubuh lainnya. Neurofibroma adalah benjolan seperti daging yang lembut, yang berasal dari jaringan saraf. Neurofibroma merupakan pertumbuhan dari sel Schwann (penghasil selubung saraf atau mielin) dan sel lainnya yang mengelilingi dan menyokong saraf-saraf tepi (saraf perifer, saraf yang berada diluar otak dan medula spinalis). 5
Berdasarkan etiologinya neurofibromatosis dibedakan menjadi 2 tipe : 1. Neurofibromatosis tipe 1 (penyakit von Recklinghausen) NF tipe 1 disebabkan oleh mutasi kromosom 17q11.2. Jenis neurofibromatosis ini lebih sering ditemukan. 2. Neurofibromatosis tipe 2 ( Sindrom MISME ) NF 2 disebabkan oleh mutasi kromosom 22q12 . Jenis neurofibromatosis yang lebih jarang adalah neurofibromatosis jenis 2, dimana terjadi pertumbuhan tumor di telinga bagian dalam (neuroma akustik) yang dapat menyebabkan tuli dan vertigo pada penderita.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada Ibu A. P dapat dipastikan bahwa pasien tersebut menderita neurofibromatosis tipe 1. Ada pun perbedaan kedua jenis neurofibromatosis di atas dapat dibedakan berdasarkan tabel di bawah ini. NEUROFIBROMATOSIS TIPE 1 NEUROFIBROMATOSIS TIPE II Bercak kecoklatan di kulit (caf-au-lait spots )
Neurofibroma
Bintik bintik di ketiak dan selangkangan Hamatoma di iris (nodul Lisch) Tumor di nervus opticus yang dapat mempengaruhi penglihatan ( optic nerve gliomas) Skoliosis Deformitas tulang Gangguan fungsi intelektual ( ADHD ) Kejang Berupa neuroma akustik di nervus vestibulokoklearis yang menyebabkan hilangnya pendengaran biasanya pada usia 20 tahun. Pusing Gangguan keseimbangan Vertigo Paralysis nervus VII Tinnitus 6
Pada pasien ditemukan kelainan klinis pada kulit yang berupa ribuan neurofibroma yang berupa benjolan seperti daging yang lembut, yang berasal dari jaringan saraf. Lalu pada pemeriksaan fisik juga ditemukan kelainan bentuk tulang punggung berupa skoliosis dan tampak deformitas tulang pada pergelangan kaki dan tangan. Pasien juga mengeluhkan pandangannya kadang-kadang menjadi kabur. Jadi, tanpa pemeriksaan radiologi atau pemeriksaan histologi, berdasarkan manifestasi klinis yang ada, Ibu ini didiagnosis Neurofibromatosis tipe 1. Beberapa penelitian menunjukkan gangguan emosi (seperti kecemasan dan depresi) yang signifikan pada anak atau dewasa dengan NF1 bila dibandingkan dengan anak atau dewasa normal. Prevalensi depresi 25% dan kecamasan 48% pada penderita NF1 dewasa, sedangkan pada anak belum diketahui secara pasti. Berdasarkan riwayat penyakit yang digali pada pasien dapat diketahui bahwa Ibu berinisial A.P mengalami tekanan emosi yang berkepanjangan karena keadaannya. Si Ibu mengeluh dirinya terlihat buruk di mata orang lain dan menyesali diri karena tidak bisa berkeluarga layaknya orang normal. Jadi, dapat dikatakan bahwa gejala yang dialami pasien ini juga dialami oleh penderita NF1 pada umumnya. Sementara itu, riwayat kejang saat dewasa disangkal oleh pasien. Pasien tidak lagi mengingat perjalanan penyakitnya ketika masih kecil apakah dirinya memang pernah mengalami kejang atau tidak. Pasien juga tidak menunjukan gangguan fungsi intelektual yang signifikan. Memang Pasien mengaku tidak pernah mengenyam pendidikan tetapi bisa membaca dan menulis atas bantuan kedua orang tuanya di rumah. Penegakan diagnosis pasien dengan neurofibromatosis tipe 1 yang paling sering dilakukan adalah dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Manifestasi klinis dari neurofibromatosis tipe 1 menunjukan gejala yang khas. Walaupun demikian untuk menegakan diagnosis yang lebih akurat tetap dapat dilakukan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan urin untuk mendeteksi adanya katekolamin. Selain itu juga dapat dilakukan uji kromatografi untuk mengetahui kandungan katekolamin dalam plasma darah. Selain tes urin dan darah, dapat juga dilakukan pemeriksaan penunjang radiologi. Foto rontgen pada tulang dapat menunjukan adanya abnormalitas atau kelainan bentuk pada tulang penderita neurofibromatosis tipe 1. Selain foto rontgen, dapat juga dilakukan pemeriksaan MRI atau CT Scan untuk melihat gangguan atau lesi di sistem saraf pusat. Lalu, ada juga pemeriksaan Elektroensefalogram (EEG) berguna pada pasien NF1 dengan gangguan kejang berulang. Pada pasien dengan gangguan penglihatan dapat dilakukan pemeriksaan mengguanakan slit lamp untuk melihat adanya nodul Lisch berupa hematoma di iris. Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien ini, gambaran hematoma di iris tidak khas 7
tetapi pasien mengeluhkan mengalami gangguan penglihatan. Hal ini juga bisa mengarahkan dugaan adanya tumor di nervus opticus yang dapat mempengaruhi penglihatan ( optic nerve gliomas). Selain itu pada pemeriksaan histologi dapat ditemukan sel fibroblast pleomorfik yang menunjukan adanya neurofibroma. Pengobatan pada penderita Neurofibromatosis lebih mengarah kepada pencegahan komplikasi yang dapat timbul akibat penyakitnya. Maka, pada penderita ini dianjurkan untuk selalu kontrol setiap bulan di Puskesmas Alak untuk mengurangi potensi bahaya yang ditimbulkan akibat progresifitas neurofibroma. Pengecekan tekanan darah sangat dianjurkan setiap kali pasien datang kontrol untuk mengevaluasi kemingkinan adanya hipertensi. Pada beberapa kasus dilakukan prosedural operasi pengangkatan neurofibroma baik menggunakan laser maupun dengan keterampilan seorang dokter bedah plastik. Walaupun demikian prosedural operasi tidak menjamin pengangkatan keseluruhan neurofibroma. Pada pasien ini hanya dilakukan terapi medikamentosa berupa obat-obatan kortikosteroid, antihistamin, alpha-adrenergic blocking agents, dan antineoplastic agents. Antihistamin yang diberikan berupa CTM 3x1 tablet untuk mengurangi keluhan gatal pada benjolan. Kortikosteroid yang diberikan berupa Prednison 10 mg 3x1 tablet sebagai penghambat biosintesis prostaglandin yang turut berperan pada demam dan kejang. Di Puskesmas hanya diberikan kedua jenis obat di atas. Walaupun demikian pengobatan yang baik untuk pasien neurofibromatosis juga mencakup alpha-adrenergic blocking agents, dan antineoplastic agents. Antineoplastic agents yang bisa diberikan adalah carboplatin dan lomustine. Selain itu, alpha-adrenergic blocking agents yang bisa diberikan adalah prazosin dan doxazosin. Pasien telah beberapa kali memeriksakan diri di dokter spesialis saraf dan mendapatkan beberapa obat namun tidak menunjukan perubahan yang signifikan.
KESIMPULAN Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta diskusi di atas, dapat disimpulkan bahwa pasien berinisial A.P berumur 36 tahun menderita penyakit neurofibromatosis tipe 1. Pengoabatan pada pasien ini lebih diutamakan pencegahan terhadap komplikasi-komplikasi yang dapat timbul yang dapat menyebabkan cacat dan kematian. Selain itu, pasien juga diberikan terapi medikamentosa dan edukasi untuk mengurangi stres dan depresi yang dialaminya. 8
DAFTAR PUSTAKA 1. Hsieh. David T, 2014, Neurofibromatosis Type 1 http://emedicine.medscape.com/article/1177266-overview Diakses pada tanggal 18 Agustus 2014. 2. Paller AS, Mancini AJ. Neurofibromatosis. Dalam Disorders pigmentation. Hurwit Clinical ediatric Dermatologi 3 ed Elsevier Inc, hiladelphia 2006: 2- 292. 3. Listernick R, Charrow J. The neurofibromatoses. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, aller AS, Leffel DJ (ed) Fitpatricks Dermatology in general madicine ed cGraw Hill, ew ork 2012: 160-1690.
DOKUMENTASI
Pasien dengan diagnosis neurofibromatosis 9
LAPORAN KASUS POLI UMUM PUSKESMAS ALAK
PAROTITIS
Nama : Yoseph Elkridus Gonang NIM : 0908012873
ABSTRACT Parotitis is an inflammation of one or both parotid glands, the major salivary glands located on either side of the face, in humans. Parotitis causes swelling in one or both of the parotid glands. These are two large salivary glands that are inside each cheek over the jaw in front of each ear. A variety of factors can lead to an inflamed parotid gland. Causes will vary depending on whether the condition is chronic or acute. They include bacterial infection due to staphylococcus, streptococcus, or haemophilus, viral infection due to mumps or AIDS, and a blockage may block saliva flow and lead to a bacterial infection. Parotitis occurs in a variety of situations, and the drugs prescribed are those to treat the underlying disease.
PENDAHULUAN Parotitis epidemika ialah penyakit virus akut yang biasanya menyerang kelenjar ludah terutama kelenjar parotis. Gejala khasnya yaitu terjadi pembesaran kelenjar ludah terutama kelenjar parotis. Parotitis epidemika (gondongan) adalah suatu infeksi virus menular yang menyebabkan pembengkakan unilateral (satu sisi) atau bilateral (kedua sisi) pada kelenjar liur disertai nyeri. Pada saluran kelenjar ludah terjadi kelainan berupa pembengkakan sel epitel, pelebaran dan penyumbatan saluran. Sebelum ditemukan vaksin parotitis pada tahun 1967, parotitis epidemika merupakan penyakit yang sangat sering ditemukan pada anak. Insidens pada umur < 15 tahun adalah 85% dengan puncak insidens kelompok umur 5-9 tahun. Setelah ditemukan vaksin parotitis, kejadian parotitis epidemika menjadi sangat jarang. Di negara barat seperti Amerika dan Inggris, rata-rata didapat kurang dari 1.000 kasus per tahun. Demikian pula insidens parotitis bergeser pada anak besar dan dewasa muda serta menyebabkan kejadian luar biasa 10
ditempat kuliah atau tempat kerja. Di Indonesia, tidak didapatkan adanya data mengenai insidens terjadinya parotitis epidemika. Jika dibandingkan dengan campak atau cacar air, gondongan tidak terlalu menular. Penyakit gondongan tersebar di seluruh dunia dan dapat timbul secara endemik atau epidemik. Parotitis Epidemika merupakan penyakit infeksi pada anak yang mana pada kasusnya terjadi sekitar 30 40% yang kasusnya merupakan penyakit asimptomatik. Epidemi terjadi pada semua musim tetapi sedikit lebih sering pada musim dingin akhir dan musim semi. Sumber infeksi mungkin sukar dilacak karena 30-40% infeksi adalah subklinis. Kebanyakan penyakit ini menyerang anak-anak yang berumur 2-15 tahun, namun pada orang dewasa justru lebih berat. Jarang ditemukan pada anak yang berumur kurang dari 2 tahun. Jika seseorang pernah menderita gondongan, maka dia akan memiliki kekebalan seumur hidupnya. Yang terkena biasanya adalah kelenjar parotis, yaitu kelenjar ludah yang terletak diantara telinga dan rahang. Pada orang dewasa, infeksi ini bisa menyerang testis (buah zakar), sistem saraf pusat, pankreas, prostat, payudara dan organ lainnya. Adapun mereka yang beresiko besar untuk menderita atau tertular penyakit ini adalah mereka yang menggunakan atau mengkonsumsi obat-obatan tertentu untuk menekan hormon kelenjar tiroid dan mereka yang kekurangan zat Iodium dalam tubuh.
PRESENTASI KASUS Ibu berinisial R.D berumur 29 tahun berkunjung ke Poli Umum Puskesmas Alak tanggal 23 Juli 2014 dengan keluhan utama bengkak pada leher kanan sejak 2 hari sebelumnya. Pada mulanya bengkak sebesar biji jagung lalu membesar hingga menjalar ke leher dan pipi. Leher kanan sekarang terasa nyeri, terutama ketika mengunyah atau menelan. Keluhan lainnya yaitu sakit kepala, serta nafsu makan menurun yang timbul bersamaan dengan keluhan bengkak, serta demam. Keluhan sakit kepala dikatakan sakit pada kedua sisi kepala terutama pada bagian dahi, seperti terikat. Keluhan lain yaitu demam sejak tiga hari sebelum datang ke puskesmas, yang dirasakan pasien mendadak, semakin meninggi dan terus menerus, tidak disertai menggigil dan kejang. Keluhan batuk dan pilek sudah diderita dua minggu sebelumnya hingga sekarang. BAK (+) BAB (+) dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan tampak sakit ringan, kesadaran kompos mentis, kooperatif, nadi 80x/menit, nafas 22/menit dan suhu 38 o C. Pada pemeriksaan leher didapatkan udema berukuran 5 x 6 x 2 cm pada leher kanan pasien, permukaan licin, batas 11
tidak tegas, warna kulit sama dengan kulit sekitarnya, nyeri tekan (+) pada daerah udema dan konsistensi padat. Pasien mendapatkan pengobatan berupa Paracetamol 3x1 tablet, Dexamethasone 3x1 tablet, Ciprofloxacine 2x1 tablet, dan Gliceryl Guaikolat 3x1 tablet. Selain mendapatkan obat-obatan di atas pasien juga mendapat edukasi bahwa penyakitnya merupakan Self Limmiting Desease sehingga sembuh sendiri. Selain itu diharapakan ke pada pasien untuk menjaga kesehatan, makan makanan yang bergizi, dan tidur yang cukup.
DISKUSI
Telah dilporkan suatu kasus parotitis epidemika akut pada seorang ibu berusia 29 tahun. Parotitis epidemika (gondongan) adalah suatu infeksi virus menular yang menyebabkan pembengkakan unilateral (satu sisi) atau bilateral (kedua sisi) pada kelenjar liur disertai nyeri. Pada saluran kelenjar ludah terjadi kelainan berupa pembengkakan sel epitel, pelebaran dan penyumbatan saluran. Parotitis epidemika biasanya disebabkan oleh anggota dari grup paramyxovirus, yang juga termasuk di dalamnya virus parainfluenza, measles, dan virus Newcastle disease. Virus tersering yang menyebabkan parotitis epidemika adalah virus mumps. Virus mumps merupakan virus ribonucleic acid (RNA) rantai tunggal yang termasuk dalam genus paramyxovirus, dan merupakan salah satu virus parainfluenza dengan manusia sebagai satu- satunya inang (host). Ukuran dari partikel paramyxovirus sebesar 90 300 m. Virus mumps mudah menular melalui droplet, kontak langsung, air liur, dan urin. Infeksi parotitis epidemika ditandai dengan gejala prodromal berupa demam, nyeri kepala, nafsu makan menurun selama 3-4 hari, yang diikuti peradangan kelenjar parotis (parotitis) dalam waktu 48 jam dan dapat berlangsung selama 7-10 hari. Penularan terjadi 24 jam sebelum sampai 3 hari setelah terlihatnya pembengkakan kelenjar parotis. Satu minggu setelah terjadi pembengkakan kelenjar parotis pasien dianggap sudah tidak menular. Masa inkubasi berkisar dari 14-24 hari dengan puncak pada hari ke-17 dan 18. Pada anak, manifestasi prodormal jarang terjadi tetapi mungkin tampak bersama dengan demam, nyeri otot (terutama pada leher), nyeri kepala, dan malaise. Awalnya ditandai dengan nyeri dan pembengkakan parotis yang khas, mula-mula mengisi rongga antara tepi posterior mandibula dan mastoid kemudian meluas dalam deretan yang melengkung ke bawah dan ke depan, di atas dibatasi oleh zigoma. Edema kulit dan jaringan lunak biasanya meluas lebih 12
lanjut dan mengaburkan batas pembengkakan kelenjar, sehingga pembengkakan lebih mudah disadari dengan pandangan daripada dengan palpasi. Pembengkakan terjadi dengan cepat dalam waktu beberapa jam dengan puncak pada 1-3 hari. Pembengkakan jaringan mendorong lobus telinga ke atas dan ke luar, dan sudut mandibula tidak lagi dapat dilihat. Pembengkakan perlahan-lahan menghilang dalam 3-7 hari. Satu kelenjar parotis biasanya membengkak sehari atau dua hari sebelum yang lain, tetapi lazim pembengkakan terbatas pada satu kelenjar. Daerah pembengkakan terasa lunak dan nyeri. Edema faring dan palatum mole homolateral menyertai pembengkakan parotis dan memindahkan tonsil ke medial. Pembengkakan parotis biasanya disertai dengan demam sedang hingga 40C. Penegakkan diagnosis dari parotitis epidemika dapat berupa anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis gejala yang pertama terlihat adalah nyeri ketika mengunyah atau menelan, terutama jika menelan cairan asam misalnya jeruk. Lalu, pasien mengeluh demam, biasanya suhu mencapai 38,9-40 o C. Setelah itu, terjadi pembengkakan kelenjar setelah demam. Hal ini akan diikuti dengan nafsu makan yang berkurang, menggigil, dan sakit kepala. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu tubuh yang meningkat mencapai 38,9-40 o C, terdapat pembengkakan di daerah temporomandibuler (antara telinga dan rahang)dan nyeri tekan pada kelenjar yang membengkak. Sementara itu, dalam prakteknya pemeriksaan penunjang tidak banyak dilakukan, sebab dari anamnesis dan pemeriksaan fisik sudah terdiagnosis. Namun jika gejala tidak jelas diagnosis didasarkan pada pemeriksaan laboratorium menunjukan jumlah leukosit normal, virus Neutralization antibodies (NT), kenaikan titer yang bermakna dari Complement Fixing antibody (CF) dan uji serologi untuk membuktikan spesifik mumps antibodi. Parotitis merupakan penyakit yang bersifat self-limited (sembuh / hilang sendiri) yang berlangsung kurang lebih dalam satu minggu. Tidak ada terapi spesifik bagi infeksi virus mumps. Oleh karena itu pengobatan parotitis seluruhnya simptomatis dan suportif. Biasanya diberikan analgetik dan antipiretik. Kepada pasien ini diberikan analgetik dan antipiretik berupa Paracetamol 3x1 tablet untuk menunrunkan demam dan mengurangi nyeri, serta antibiotik berupa ciprofloxacin, dexamethasone, dan GG untuk pengobatan batuk pilek (suspek rinitis alergi dan faringitis akut). Selain itu kepada pasien juga diedukasi untuk istirahat yang cukup serta konsumsi makanan yang bergizi agar proses penyembuhannya sempurna dan tidak menimbulkan komplikasi. 13
KESIMPULAN Berdasarkan presentasi kasus dan diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa pasien ibu berusia 29 tahun tersebut diatas berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik menderita parotitis epidemika akut. Penanganan pada penyakit ini meliputi edukasi dan terapi suportif seperti analgetik dan antipiretik.
DAFTAR PUSTAKA 1. Depkes RI. Mumps (parotitis Epidemika). Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas; 2007. Jakarta: 2008. p.158 2. Vikas S. Kancherla, I. Celine Hanson. Mumps resurgence in the United States. The Journal of Allergy and Clinical Immunology Volume 118, Issue; 2006. p.938-941. Diakses dari http://www.jacionline.org /article/S0091-6749(06)01582-X/fulltext pada bulan Mei 2014 3. Pudjiadi, Marissa Tania S., Sri Rejeki S. Hadinegoro. 2009. Orkitis pada Infeksi Parotitis Epidemika : laporan kasus. Sari Pediatri. Vol. 11 (1) : 47-51. 4. Maharani, Laillyza A., Hadi Soenartyo. 2009. Mumps Unilateral Pada Pasien Remaja. Oral Medicine Dental Journal. Vol. 1 (2) : 1-5. 5. Germaine L Defendi. Mumps. In: Russell W Steele, Chieff Editor: Medscape Reference: 2012. Diakses dari http://emedicine.medscape.com pada bulan Mei 2014. 6. Staf pengajar ilmu kesehatan anak FK UI, parotitis epidemika, dalam ilmu kesehatan anak, edisi VI, Infomedika Jakarta 2000, hal. 629-632. 7. C. George Ray, Parotitis epidemika, dalam buku ajaran ilmu penyakit dalam Harrison, edisi X III, EGC, Jakarta, 1999, Hal: 935-938
14
DOKUMENTASI
Pasien dengan diagnosis Parotitis Epidemika Akut 15
LAPORAN KASUS POLI UMUM PUSKESMAS ALAK
GASTRITIS
Nama : Yoseph Elkridus Gonang NIM : 0908012873 ABSTRACT Chronic gastritis is a histopathologic entity characterized by chronic inflammation of the stomach mucosa. Chronic gastritis may be caused by either infectious or noninfectious conditions. The physical examination contributes relatively little to the assessment and management of chronic gastritis. In uncomplicated H pylori associated atrophic gastritis, clinical findings are few and nonspecific. Epigastric tenderness may exist. If gastric ulcers coexist, guaiac-positive stool may result from occult blood loss. Bad breath (halitosis) and abdominal pain or discomfort may occur, with bloating associated with bacterial overgrowth syndrome. The most widely used and most efficient regimens for eradicating Helicobacter pylori are triple therapies (recommended as first-line treatment) and quadruple therapies (recommended as second-line treatment). PENDAHULUAN Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung. Gastritis merupakan gangguan kesehatan yang paling sering dijumpai di klinik, karena diagnosisnya sering hanya berdasarkan gejala klinis bukan pemeriksaan histopatologi. Secara histopastologi dapat dibuktikan dengan adanya infiltarsi sel-sel radang pada daerah tersebut. Gastritis merupakan penyakit yang sering kita jumpai dalam masyarakat maupun dalam bangsa penyakit dalam. Kurang tahunya dan cara penanganan yang tepat merupakan salah satu penyebabnya. Gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan sub mukosa pada lambung. Pada orang awam sering menyebutnya dengan penyakit maag. Gastritis merupakan salah satu yang paling banyak dijumpai klinik penyakit dalam pada umumnya. Masyarakat sering menganggap remeh panyakit gastritis, padahal ini akan semakin besar dan parah maka inflamasi pada lapisan mukosa akan tampak sembab, merah, dan mudah berdarah. Penyakit gastritis sering terjadi pada remaja, orang-orang yang stres, karena stres dapat meningkatkan produksi asam lambung, pengkonsumsi alkohol dan obat-obatan anti 16
inflamasi non steroid. Gejala yang timbul pada penyakit gastritis adalah rasa tidak enak pada perut, perut kembung, sakit kepala, mual, lidah berlapis. Penyakit gastritis sangat menganggu aktifitas sehari -hari, karena penderita akan merasa nyeri dan rasa sakit tidak enak pada perut. Selain dapat menyebabkan rasa tidak enak, juga menyebabkan peredaran saluran cerna atas, ulkus, anemia kerena gangguan absorbsi vitamin B 12 .
PRESENTASI KASUS Seorang Ibu berinisial N.H dan berusia 38 tahun datang ke poli umum Puskesmas Alak dengan keluhan nyeri uluh hari sejak 4 hari sebelumnya. Nyeri di uluh hati terasa perih, tidak menjalar, dan tidak dipengaruhi aktivitas. Nyeri dirasa berkurang setelah makan. Pasien juga mengeluh mual dan sudah muntah 4 kali sejak 4 hari yang lalu. Kadang, pasien bersendawa. Menurut pasien, nyeri dialami sudah berulang kali sejak setahun yang lalu, hilang timbul saat mengalami stres. Pasien memiliki kebiasaan makan makanan yang pedas dan makan tidak teratur. Pasien juga mengeluhkan nyeri uluh hati sering dialami lebih berat jika pasien sedang merasa stres. Riwayat minum obat-obatan tanpa resep dokter (-), demam (- ), BAK (normal), BAB (warna dan konsistensi normal). Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan tampak sakit ringan, kesadaran kompos mentis, kooperatif, nadi 82x/menit, nafas 20/menit dan suhu 36,5 o C. Pada pemeriksaan perut ditemukan nyeri tekan daerah epigastrium (+). Pasien diberikan pengobatan berupa omeprazole tablet 20 mg 2 x1 dan Amoxicillin 500 mg 3 x 1 tablet. Selain mendapatkan terapi medikamentosa, pasien juga diedukasi untuk menjaga pola hidup dan pola makan teratur, hindari makanan yang merangsang / mudah mengiritasi lambung seperti makanan yang asam dan pedas, hindari obat-obatan penghilang nyeri dalam waktu dekat ini, hindari faktor pencetus terutama stress, hindari makan makanan yang mengandung gas seperti kol, lobak dan nangka, hindari minum minuman yang mengandung gas seperti minuman soda, jangan membeli obat-obatan tanpa resep dokter di apotik-apotik, dan makan secara teratur. Pasien juga mendapatkan penjelasan bahwa penyakit ini akan kambuh jika pasien stress, komplikasi terburuk dari penyakit ini agar pasien patuh untuk berobat, kepada pasien dianjurkan untuk makan 3-5 kali sehari dalam porsi kecil, tepat waktu, dengan menu 4 sehat 5 sempurna. 17
DISKUSI
Telah dilaporkan seorang Ibu berumur 38 tahun dengan diagnosis gastritis kronik. Gastritis kronis adalah suatu peradangan bagian permukaan mukosa lambung yang menahun yang berkepanjangan yang disebabkan baik oleh ulkus lambung jinak maupun ganas atau oleh bakteri Helicobacter pylori. Manifestasi klinis grastitis kronik pada umumnya bervariasi dan tidak jelas. Keluhan lain berupa perasaan penuh dan anoreksia. Lalu, terdapat distress epigastrik yang tidak nyata, cepat kenyang, mual dan muntah, nyeri epigastrium setelah makan, dan rasa pahit pada mulut. Dan pada umunya hal yang membedakan gastritis kronik dari gastritis akut adalah lama perjalanan penyakitnya. Gastritis kronik berlangsung lama bahkan bertahun-tahun dan sudah dialami berulang kali. Perjalanan penyakit pada pasien sudah sejak setahun yang lalu dan keluhan nyeri uluh hati sudah terjadi berulang kali. Kunjungan terakhir pasien ke Puskesmas Alak adalah nyeri uluh hati yang sudah terjadi sebelumnya disertai mual dan muntah. Pasien juga mengeluhkan nyeri yang bertambah jika terdapat pasien mengalami perasaan buruk atau stres. Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap pasien sebagai salah bentuk usaha menegakan diagnosis, dapat juga dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang, meliputi pemeriksaan darah, endoskopi, biopsi, dan pemeriksaan histologi. Pemeriksaan darah bertujuan untuk memeriksa adanya antibodi H. pylori dalam darah. Hasil tes yang positif menunjukkan bahwa pasien pernah kontak dengan bakteri pada suatu waktu dalam hidupnya, tapi itu tidak menunjukkan bahwa pasien tersebut terkena infeksi. Pemeriksaan darah dapat juga dilakukan untuk memeriksa anemia, yang terjadi akibat pendarahan lambung akibat gastritis. Selain itu, pemeriksaan endoskopi bertujuan untuk menemukan kelainan dalam saluran cerna bagian atas. Hal yang dapat diketahui dari pemeriksaan endoskopi adalah keadaan lapisan mukosa lambung maupun massa yang mengara kepada keganasan. Biopsi bisa dilakukan dengan bantuan endoskopi jika dicurigai adanya keganasan. Selain itu, infeksi H. Pylori yang kronik dapat diketahui dengan biopsi. Hal ini penting bagi penanganan yang tepat. Jaringan yang dibiopsi juga bisa dilakukan pemeriksaan histologi. Pasien selama ini belum melakukan pemeriksaan penunjang untuk menemukan penyebab penyakitnya. Walaupun demikian pasien mengaku sakitnya selalu sembuh setiap kali ia datang dan berobat di Puskesmas. Keluhan nyeri uluh hati biasanya muncul lagi 18
sebulan atau dua bulan setelah obat yang diberikan oleh dokter selesai dikonsumsi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa diagnosis yang ditegakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik telah sangat membantu dalam pengobatan terhadap pasien ini. Penatalaksanaan pasien dengan gastritis kronik dapat dilakukan dengan terapi medikamentosa maupun terapi non medikamentosa berupa edukasi yang tepat kepada pasien. Terapi medikasmentosa bertujuan untuk mengeradikasi Helicobacter pyroli. Biasanya digunakan Proton Pump Inhibitor dan antibiotik. Antibiotik dapat berupa tetrasiklin, metronidasol, klaritromisin, dan amoksisilin. Untuk hasil pengobatan yang lebih baik dapat digunakan lebih dari satu macam antibiotik. Selain itu juga digunakan Antagonis H 2 (seperti ranitidine) dikombinasikan dengan Proton Pump Inhibitor untuk menurunkan sekresi asam lambung. Selain itu juga dapat diberikan vitamin B12 untuk memperbaiki keadaan anemia jika ada tanda-tanda perdarahan lambung dan ditemukan konjungtiva anemis. Pasien ini diberikan terapi berupa Proton Pump Inhibitor (omeprazole) yang dikombinasikan dengan antibiotik (amoxicillin). Pasien ini tidak diberikan vitamin B12 karena tidak ada tanda-tanda anemia. Pada pemeriksaan mata konjungtiva anemis tidak ditemukan. Selain itu keadaan feses normal dan tidak ada tanda-tanda perdarahan dari lambung. Selain mendapatkan terapi medikamentosa, pasien juga diedukasi untuk menjaga pola hidup dan pola makan teratur, hindari makanan yang merangsang / mudah mengiritasi lambung seperti makanan yang asam dan pedas, hindari obat-obatan penghilang nyeri dalam waktu dekat ini, hindari faktor pencetus terutama stress, hindari makan makanan yang mengandung gas seperti kol, lobak dan nangka, hindari minum minuman yang mengandung gas seperti minuman soda, jangan membeli obat-obatan tanpa resep dokter di apotik-apotik, dan makan secara teratur. Pasien juga mendapatkan penjelasan bahwa penyakit ini akan kambuh jika pasien stress, komplikasi terburuk dari penyakit ini agar pasien patuh untuk berobat, kepada pasien dianjurkan untuk makan 3-5 kali sehari dalam porsi kecil, tepat waktu, dengan menu 4 sehat 5 sempurna. Pasien juga dianjurkan untuk meluangkan waktu agar dapat memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium yang lebih lengkap. Bila perlu dilakukan pemeriksaan endoskopi untuk mengetahui keadaan saluran pencernaan bagian atas secara lebih akurat.
19
KESIMPULAN Berdasarkan presentasi kasus dan diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa pasien ibu berusia 38 tahun di atas berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik didiagnosis gastritis kronik. Penanganan pada gastritis kronik meliputi terapi medikamentosa dan edukasi.
DAFTAR PUSTAKA 1. Gordon Y, Carl G. Postoperative Nausea and Vomiting (update in anesthesia ) world anesthesia issue 17, article 2;2003.pp 1-7. 2. Guyton dan Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC. 3. Guyton AC, Hall JE. Fisiologi Gastrointestinal. Dalam Buku Ajar FISIOLOGI KEDOKTERAN Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2007.hal 811-866. 4. Hirlan dan Tarigan P . 2006. Buku Aja Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FK UI.