Anda di halaman 1dari 11

88

PENYAKIT STRATEGIS RUMINANSIA BESAR DAN


PELAYANAN DIAGNOSISNYA DI BALAI BESAR
PENELITIAN VETERINER, BOGOR
TARMUDJ I
Balai Penelitian Veteriner Jl. R.E. Martadinata, No. 30, Bogor
ABSTRAK
Enamdari 11 penyakit hewan strategis di Indonesia, menyerang ternak ruminansia besar. Yaitu, antraks,
Brucellosis, Septicaemia Epizootica (SE), Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), Bovine Viral Diarrhea
(BVD) dan penyakit J embrana. (SK Dirjennak No.103/TN.510/KPTS/DJ P/0398). Penyakit ini masih menjadi
problempada industri peternakan di Indonesia dan berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap social-
ekonomi, menyebabkan kematian hewan yang tinggi dan menimbulkan keresahan masyarakat (pada kasus
zoonosis). Institusi-institusi (laboratorium) di bidang veteriner harus mampu menguasai berbagai metoda
diagnosis penyakit hewan yang telah ada maupun penyakit eksotik dengan mengacu standar Internasional dan
mempunyai buku pedoman prosedur kerja yang baku. Untuk memberikan pelayanan dalam diagnosis
penyakit hewan strategis pada ruminansia besar, Unit Pelayanan Diagnostik pada Balai Besar Penelitian
Veteriner menerima sampel (serum, organ,dan sebagainya) dari peternak/pelanggan. Kebanyakan sampel
berupa serum darah dari sapi perah yang dikirim dari J awa Barat dan DKI J akarta untuk pengujian
Brucellosis.
Kata Kunci: Penyakit strategis, ruminansia besar, diagnosis

PENDAHULUAN
Era perdagangan bebas telah mewarnai
kehidupan kita, di mana perdagangan berbagai
komoditas antarnegara semakin mudah. Di
subsektor peternakan, kebutuhan akan daging
sapi maupun produk lain asal hewan meningkat
pesat. Untuk mencukupi kebutuhan daging
tersebut, diperlukan impor ternak dan daging
dari luar negeri. Dengan semakin
meningkatnya impor ternak dan produknya,
maupun impor sarana kesehatan hewan (seperti
obat hewan), maka akan membawa
konsekuensi/dampak negatif antara lain:
membuka peluang masuknya penyakit eksotik
dan terbawanya mikroba patogen pada produk
ternak yang dapat mengganggu kesehatan
masyarakat. Sementara itu, di dalam negeri
sendiri, beberapa penyakit hewan menular
(PHM) strategis pada ternak ruminansia besar
masih sering muncul dan mewabah di berbagai
daerah di Indonesia.
Oleh karena itu, diperlukan laboratorium
kesehatan hewan (laboratorium keswan) yang
mampu melakukan berbagai macam pengujian
atau diagnosis penyakit hewan. Ini merupakan
tantangan bagi institusi-institusi (laboratorium)
di bidang kesehatan hewan untuk
mengantisipasi/mengatasi permasalahan-
permasalahan yang timbul pada saat ini dan di
masa mendatang. Pada dasarnya keberadaan
institusi/labkeswan adalah untuk menunjang
produktivitas ternak, memperlancar
perdagangan di subsektor peternakan dan
melindungi kesehatan masyarakat (BAHRI,
1998).
Balai Penelitian Veteriner (Balitvet)
merupakan Unit Pelaksana Tehnis (UPT) dari
Badan Litbang Pertanian, yang mempunyai
tugas pokok melakukan penelitian di bidang
veteriner dengan segala aspeknya, harus ikut
berperan dalam mengantisipasi/mengatasi
permasalahan-permasalahan tersebut di atas.
Maka dari itu, disamping melaksanakan
kegiatan pokoknya, Bbalitvet juga melakukan
fungsi pelayanan masyarakat dan
komersialisasi teknologi untuk bidang veteriner
dan kesehatan hewan. Salah satu fungsi
pelayanan diselenggarakan oleh Unit
Pelayanan Diagnostik (UPD). Dalam
pelaksanaan tugasnya, UPD berkoordinasi
langsung dengan unit-unit laboratorium
(Patologi, Virologi, Bakteriologi, Parasitologi,
Toksikologi dan Mikologi) yang ada di
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
89
Balitvet. Unit-unit yang dipimpin oleh ketua
kelompok peneliti (Kelti) itu, merupakan
laboratorium pelaksana pengujian spesimen
yang dikirim oleh para pelanggan. Setelah
pengujian, hasilnya (dari laboratorium terkait)
dilaporkan ke UPD, selanjutnya UPD membuat
rangkuman hasil pengujian dan
menyampaikannya kepada kepada pelanggan.
Berbagai jenis pelayanan jasa atau
diagnosis penyakit hewan yang ditawarkan
kepada pelanggannya, antara lain, Institusi
pemerintah/Dinas Peternakan, peternakan
swasta, labkeswan, Karantina hewan, Rumah
sakit, peternak atau individu di seluruh
Indonesia. Balitvet juga ditunjuk sebagai
laboratorium rujukan nasional bagi
laboratorium-laboratorium kesehatan hewan di
Indonesia (BALITVET, 2002).
Tulisan ini dimaksudkan untuk
memberikan informasi tentang penyakit
strategis pada ruminansia besar dan gambaran
tentang peranan Bbalitvet dalam memberikan
pelayanan jasa diagnostik, khususnya diagnosis
penyakit strategis ruminansia besar kepada
masyarakat yang memerlukannya.
PENYAKIT STRATEGIS RUMINANSIA
BESAR
Penyakit merupakan salah satu faktor
penghambat kinerja produksi dan reproduksi
ternak. Oleh karena itu, penyakit yang bersifat
menular sering mendapat perhatian serius yang
penanganannya harus dilakukan secara cepat
dan tepat (HARDJ OUTOMO et al, 1997). Untuk
mengantisipasi masalah tersebut, salah satu
kebijakan kesehatan hewan adalah melindungi
budidaya ternak dari ancaman wabah penyakit,
terutama terhadap penyakit strategis.
Penyakit strategis atau penyakit hewan
menular (PHM) strategis adalah penyakit yang
tergolong sangat patogen, secara ekonomis
sangat merugikan dan ekternalitasnya tinggi
(RIADY, 2005). Menurut PUTRA (2006)
penggolongan PHM srategis didasarkan pada
tiga kriteria. Pertama, secara ekonomis
penyakit tersebut dapat mengganggu produksi
dan reproduksi ternak (secara signifikan) dan
mengakibatkan gangguan perdagangan. Kedua,
secara politis penyakit itu dapat menimbulkan
keresahan pada masyarakat, umumnya dari
kelompok penyakit zoonosis. Dan ketiga,
secara strategis penyakit ini dapat
mengakibatkan mortalitas yang tinggi, dan
penularannya relatif cepat, sehingga perlu
pengaturan lalu lintas ternak atau produknya
secara ketat.
Berdasarkan SK.Dir J en Peternakan No:
103/TN.510/KPTS/DJ P/0398, di Indonesia
terdapat 11 PHM strategis, enam diantaranya
menyerang ruminansia besar. Keenam PHM
strategis tersebut adalah: Brucellosis, Antraks,
Septicaemia Epizootica (SE), Infectious Bovine
Rhinotracheitis (IBR), Bovine Viral Diarhea
(BVD) dan Penyakit J embrana (RIADY, 2005).
Daftar PHM strategis yang meliputi
penyakit pada ruminansia besar dan non
ruminansia ini, setiap saat dapat mengalami
perubahan (bertambah atau berkurang),
tergantung situasi dan kondisi serta dinamika
penyakit di Indonesia. Sementara saat ini, ada
pula yang menyebutkan bahwa penyakit
strategis ruminansia besar hanya lima yaitu,
seperti tersebut di atas minus penyakit SE.
Jenis-jenis PHM strategis
Brucellosis
Brucellosis atau penyakit keguguran
menular pada sapi adalah PHM yang
disebabkan oleh bakteri Brucella abortus. Di
Indonesia, penyakit ini sudah diketahui sejak
tahun 1925. Kemudian semakin meluas dan
banyak kasus brucellosis pada sapi dilaporkan
dan penyebarannya telah meliputi banyak
provinsi di tanah air, terlebih lagi setelah
banyak sapi diantarpulaukan dari daerah
sumber bibit ke daerah transmigrasi untuk
dikembangbiakkan. Sebagai contoh, dalam
kurun waktu lima tahun (1985 1990),
kejadian brucellosis di daerah sumber bibit sapi
bali yaitu Sulawesi Selatan dan NTT relatif
tinggi yakni 14,3 dan 6,6%. Kasus yang sama
juga dijumpai di daerah penyebaran sapi bali
(di Lampung, bengkulu, Sumatra Selatan, Riau
dan Sumatera Utara) (SUDIBYO et al., 1991).
Pada umumnya, serangan brucellosis
menimbulkan keguguran pada hewan bunting
muda dan terus terjadi pada setiap
kebuntingan. Hal ini disebabkan oleh
endotoksin yang dihasilkan oleh B. abortus
pada uterus yang dapat menimbulkan aborsi
90
akibat plasentitis dan endometritis. (SUDIBYO,
1996).
Predileksi B. abortus dalam tubuh hewan
penderita adalah di kelenjar pertahanan tubuh.
Pada saat sapi bunting bakteri ini akan
berkembangbiak di dalam uterus dan
menyebabkan peradangan. SUDARJ AT (2004)
menyebutkan bahwa, pada penyakit ini, kuman
akan tetap tinggal di jaringan induk semangnya
selama hidup dan tidak memperlihatkan tanda
sakit. Oleh karena kasus subklinis inilah yang
menyulitkan pemberantasan brucellosis.
Dalam studi patogenitas B. abortus telah
dapat dibuktikan bahwa, B. abortus biotipe 1
isolat lapang merupakan kuman patogenik
yang mampu menimbulkan keguguran pada
sapi. Isolat tersebut dapat menimbulkan infeksi
yang meluas di dalam tubuh sapi, sehingga
jaringan ambing, susu, kolustrum, cairan
uterus, jaringan abortus dan lgl supramamare
dapat isolasi kembali kumannya. (SUDIBYO,
1996).
Antraks
Antraks atau radang limpa adalah penyakit
menular yang disebabkan oleh Bacillus
anthracis, bersifat fatal, baik pada hewan
maupun pada manusia. Oleh karena itu,
penyakit ini termasuk penyakit zoonosis dan
penyakit strategis yang keberadaannya di tanah
air kita perlu diwaspadai. Keberadaan antraks
pada hewan di Indonesia, telah dibuktikan
secara laboratorik sejak tahun 1885. Sejak itu
sampai sekarang antraks dianggap penting,
karena banyak menyerang ternak rakyat.
Ternak ruminansia besar (sapi dan kerbau)
digolongkan hewan yang paling rentan
terhadap antraks.
Di J awa Tengah pernah terjadi kasus
kematian sapi perah akibat antraks pada tahun
1990. Dalam kurun waktu enam bulan
sebanyak 1296 ekor sapi mati terserang antraks
di lokasi breeding farm. Selain itu, dilaporkan
pula adanya 97 kasus antraks yang menyerang
manusia di Kabupaten Semarang dan Boyolali
(NURHADI et al., 1996). Sementara itu, di
beberapa provinsi lain di Indonesia juga
diketahui sebagai daerah antraks yaitu, NTB
dan NTT. Selama 11 tahun (1984-1994), kasus
antraks di Provinsi NTB terjadi hampir setiap
tahun, dan laporan kasus terbanyak di Pulau
Sumbawa (MARTINDAH dan WAHYUWARDANI,
1998). J enis ternak yang paling banyak
terserang adalah sapi dan kerbau. Pada akhir
tahun 1995, bertepatan permulaan musim
penghujan dilaporkan antraks menyerang
ternak kerbau dan manusia di kab Ngada, NTT
(HARDJ OUTOMO dan PURWADIKARTA, 1996).
Septicaemia Epizootica (SE)
SE atau penyakit Ngorok adalah penyakit
menular yang bersifat akut, disebabkan oleh
kuman Pasteurella multocida, terutama
menyerang kerbau dan sapi, yang ditandai
dengan suara ngorok dan bronchopneumonia
akut (DHARMA dan PUTRA, 1997).
Penyebaran SE sudah meluas, hampir ke
seluruh provinsi di Indonesia. Ledakan
penyakit SE biasanya diawali dengan kematian
hewan secara mendadak. Pada kerbau, sering
ditemukan kasus akut atau perakut dan
kematian terjadi dalam waktu 24 jam, tanpa
menunjukkan gejala awal, kecuali pada infeksi
buatan pada hewan percobaan (CHANCELLOR
et al., 1996).
Infeksi buatan dengan menyuntikkan
kuman P. multocida B:2 (1 ml kultur yang
mengandung 4 x 10
8
CFU) pada seekor kerbau
pernah dicoba oleh PRIADI dan NATALIA
(2000). Hasilnya menunjukkan bahwa, gejala
klinis mulai terlihat setelah 4 jam pascainfeksi
berupa: mata kemerahan, ekskresi cairan
hidung dan suhu tubuh meningkat hingga 43
o

C. Makin lama gejalanya makin parah dan
akhirnya hewan mati dalam waktu 24 jam
pasca infeksi. Dikatakannya pula bahwa,
kerbau lebih peka terhadap SE dibandingkan
sapi. Selain demam, juga terlihat gangguan
pernafasan dan kebengkakan daerah leher yang
meluas ke atas dan ke daerah dada. Sementara
itu, perubahan Patologi Anatomi (PA) berupa
edema, pneumonia dan ptechiae pada saluran
pernafasan bagian atas.
Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR)
IBR adalah penyakit menular pada sapi dan
kerbau yang disebabkan oleh Bovine
herpesvirus-1 (BHV-1), yang penularannya
dapat terjadi melalui perkawinan alam atau
inseminasi buatan (IB). Isolat lokal BHV-1
yang berasal dari semen sapi jantan, mukosa
vagina dan mokosa hidung sapi dapat
menularkan penyakit IBR. Hal ini telah
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
91
dibuktikan oleh DAMAYANTI dan SUDARISMAN
(2005) dengan menginfeksi isolat tersebut pada
sapi Bali. Hasilnya menunjukkan bahwa, isolat
BHV-1 dapat menimbulkan respon klinis IBR
berupa demam, gangguan respirasi dan
reproduksi. Secara PA mukosa nasal choncha
dan mukosa vagina mengalami hiperemis dan
pneumonia. Secara mikroskopis sapi menderita
rhinitis, tracheitis, pneumonia dan
vulvovaginitis yang bersifat non supurative.
Mukosa nasal concha dan trachea merupakan
target organ dari virus BHV-1. Hal ini dapat
dideteksi dengan pewarnaan imunohistokimia,
nampak adanya antigen pada sel epitel mukosa
dan epitel kelenjar pada nasal concha dan
trachea. Dan antigen ini tidak dapat terdeteksi
selain pada organ tersebut (DAMAYANTI dan
SUDARISMAN, 2005)
Bovine Viral Diarrhea
Bovine Viral Diarrhea (BVD) atau Diare
Ganas Sapi (DGS) adalah penyakit hewan
menular yang akut dan sering berakibat fatal,
disebabkan oleh virus dari genus Pestivirus
dari famili Togaviridae (DHARMA dan PUTRA,
1987).
Letupan wabah diare ganas pada sapi
dimulai pada pertengahan tahun 1988, di Bali
yang menyerang sapi segala umur, jantan dan
betina dengan gejala klinis lemah, kurang
nafsu makan, demam, diare profus, lesi dan
erosi pangkal lidah dan dehidrasi. Morbiditas
60% dan mortalitasnya 1 2%. Kemudian
wabah diare ganas pada sapi bali dilaporkan
setelah sapi bali yang baru didatangkan dari
Sulawesi Selatan ke Kalimantan Barat, pada
akhir Oktober 1989. Kematian yang terjadi
selam pengiriman dan setelah dibagikan ke
petani mencapai 19,4%. (WIYONO et al., 1989).
Penyakit Jembrana (PJ)
PJ adalah penyakit akut pada sapi Bali yang
ditandai dengan demam dan pembengkakan
kelenjar limfe di bawah kulit. Penyakit ini
muncul pertama kali di Kabupaten J embrana
pada tahun 1964 dan menimbulkan kematian
puluhan ribu ekor sapi Bali, disebabkan oleh
Lentivirus dari famili Retroviridae (DHARMA
et al., 2003). PJ termasuk penyakit strategis,
karena penyakit ini hanya menyerang sapi Bali,
yang selama ini diketahui bahwa sapi Bali
merupakan sapi primadona Indonesia yang
mempunyai kualitas daging yang cukup baik.
Maka dari itu, pelestarian sapi ini merupakan
upaya yang mutlak harus dilakukan oleh
pemerintah Indonesia (HARTANINGSIH et al.,
2001). Dalam Seminar Nasional Penyakit
J embrana (BPPV VI DENPASAR, 2001)
dirumuskan bahwa, a) PJ merupakan penyakit
menular yang unik dan khas pada sapi Bali, b)
terdapat hanya di Indonesia, c) disebabkan
oleh virus Retro yang bersifat akut dan sulit
ditumbuhkan di luar tubuh hewan serta d)
merupakan tantangan bagi dokter hewan di
Indonesia.
Saat ini, PJ sudah tersebar luas di beberapa
provinsi di Indonesia antara lain: Bali,
Lampung, J awa Timur, Sumatera Barat dan
Kalimantan Selatan. (DHARMA. 2000;
DHARMA et al., 2003). Kejadian di Kalimantan
Selatan, awalnya dijumpai penyakit pada sapi
Bali yang mirip dengan PJ . yang dilaporkan
oleh dokter hewan yang bertugas di Kabupaten
Tanah Laut. Menurut HARTANINGSIH et al.
(2003), PJ dapat didiagnosis oleh petugas
lapangan dengan melihat gambaran klinis
penyakit berupa demam tinggi, yang diikuti
dengan diare berdarah, keringat berdarah dan
pembesaran limfoglandula yang khas pada PJ .
Selanjutnya dikonfirmasi di laboratorium.
TENAYA dan HARTANINGSIH (2005)
menyebutkan bahwa, dalam rangka
menegakkan diagnosa PJ secara tepat dan
akurat dapat dilakukan dengan uji Polymerase
Chain Reaction (PCR) untuk konfirmasi
diagnosa lapangan atau uji laboratorium
lainnya.
Pada kasus di Kalimantan Selatan tersebut,
dijumpai tiga ekor sapi Bali yang mengalami
gejala keringat berdarah (Blood sweating) pada
kulit paha dan bagian dada, kongesti pada
konjunctiva mata, dasar lidah bagian ventral
mengalami erosi dan perdarahan ringan, juga
ada gejala diare. Secara Patologi Anatomi,
dijumpai splenomegali, berat limpa 1800 gram,
perdarahan, konsistensi empuk, bidang sayatan
menonjol dan parenkim sangat rapuh. Secara
mikroskopis terlihat atrofi folikel disertai
hiperplasia parafolikuler sel-sel limforetikuler
pada kelenjar limfe sapi Bali. Gejala klinis dan
gambaran patologi ini sangat konsisten akibat
PJ , seperti yang pernah dilaporkan oleh
peneliti-peneliti sebelumnya. PJ di Kabupaten
Tanah Laut mulai dilaporkan sejak tahun 1991.
92
Sejak itu, penyakit PJ bersifat endemik di
kabupaten ini dan letupan penyakit ini tercatat
pada tahun 1994, 1999 dan 2003. (DHARMA et
al., 2003). Sementara itu, letupan wabah
penyakit yang menyerang sapi bali yang mirip
PJ dilaporkan pertama kali di kecamatan Long
Ikis, kabupaten Pasir, Kalimantan Timur,
terjadi pada bulan Maret 2005 (HARTANINGSIH
et al., 2005).
LAB KESWAN UNTUK DIAGNOSIS
Dukungan Lab keswan
Di bidang veteriner, lab keswan merupakan
salah satu komponen penting dalam
mendukung pembangunan subsektor
peternakan, terutama untuk diagnosis penyakit
hewan dan pengujian kontaminan/cemaran
bahan-bahan toksik. Banyak permasalahan
yang harus diantisipasi, antara lain:
pengendalian dan pemberantasan penyakit
hewan strategis dan penyakit zoonosis,
permasalahan yang berhubungan dengan
keamanan pangan asal ternak (cemaran
mikroba patogen, residu pestisida), dan
sebagainya. Oleh karena itu, dukungan ilmu
pengetahuan dan teknologi veteriner
(IPTEKVET) sangat diperlukan, terutama
lab.keswan yang kompeten untuk melakukan
penyidikan dan pengujian veteriner sesuai
dengan tuntutan masyarakat.
Berdasarkan tingkat kemampuan teknis dan
kelengkapan sarana pendukungnya, termasuk
peralatan diagnosa, lab.keswan di Indonesia
diklasifikasi menjadi tiga tipe (A, B dan C).
Lab.keswan tipe A adalah Balai Penyidikan
dan Pengujian Veteriner (BPPV) atau Balai
Besar Veteriner (BB-VET) regional yang
merupakan UPT Dir J en Peternakan.
Sementara itu, lab keswan tipe B yang
berkedudukan di Propinsi dan Tipe C
berkedudukan di Kabupaten/Kota (SULAIMAN
dan POERMADJ AJ A, 2005). Untuk melayani
penyidikan penyakit hewan di Indonesia,
terdapat 7 BPPV/BB-VET, 27 lab. keswan tipe
B dan 88 lab keswan tipe C (DIRJ EN BINA
PRODUKSI PETERNAKAN, 2004). Pembagian
tipe lab. ini didasarkan pada perbedaan
kompetensi, tugas dari masing-masing lab
keswan, karena perbedaan peralatan /fasilitas
dan jumlah tenaga/personalia yang dimilikinya
(BPPV VI, DENPASAR, 2005).
Labkeswan inilah yang berperan untuk
menyidik kasus-kasus penyakit strategis di
lapangan. Menurut SUDARDJ AT (1996),
Lab.keswan tipe C diarahkan menjadi lab
klinik dan patologi klinik. Lab tipe B diarahkan
menjadi rujukan lab tipe C. Sementara itu, lab
tipe A diarahkan sebagai rujukan lab keswan di
wilayah kerjanya dan menjadi pusat informasi
kesehatan hewan dan produksi ternak. Lab
keswan tipe A secara berkala menyampaikan
hail penyidikannya ke Dir J en Peternakan.
Sementara itu, B.balitvet yang tugas
utamanya melakukan riset di bidang veteriner,
merupakan lab keswan yang tertua dan terbesar
di Indonesia yang menjadi rujukan nasional lab
keswan lainnya.
Dalam kaitannya dengan penyakit hewan,
beberapa pelaku IPTEKVET yang melakukan
aktivitas diagnosis atau penyidikan veteriner
tercantum pada Tabel 1.
Dalam hal monitoring penyakit hewan,
maka setiap Pos Kesehatan Hewan
(Poskeswan), Dinas Peternakan provinsi dan
BPPV/BB-Vet regional seharusnya bekerja
sama dan saling berkoordinasi untuk
menangani kasus-kasus penyakit hewan di
wilayahnya. Namun, sejak diberlakukannya
Otonomi Daerah, bila terjadi wabah penyakit
strategis di daerah, sering terjadi hambatan.
Karena banyak di antara dinas-dinas
peternakan yang tereduksi kewenangannya
dan bergabung dengan dinas-dinas yang lain,
sehingga tugas-tugas yang berkaitan dengan
keswan semakin berkurang atau tersisihkan.
Garis komando langsung dari Pusat ke daerah
seringkali terputus, sehingga untuk penanganan
berbagai macam penyakit strategis yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat sulit
dikoordinasikan, karena tidak ada petugas
keswan yang diberi kewenangan yang lebih
luas untuk menanganinya, atau kalau ada
kewenangan itu sangat terbatas.
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
93
Tabel 1. Institusi Pelaku IPTEKVET yang menyelenggarakan aktivitas Diagnosis/penyidikan penyakit
hewan dan monitoring penyakit
Aktvitas Institusi IPTEKVET
Diagnosis/ penyidikan Monitoring penyakit
Litbang DEPTAN (B.balitvet) +++ +
Litbang DEPKES (Bag Zoonosis) + -
Non Litbang DIT BINA KESWAN
Pusvetma - -
BPMSOH + +
BPPV/BB.Vet ++++ +++
Dinas Peternakan + +++
Poskeswan + +++
Karantina hewan + -
Perguruan Tinggi
FKH + -
Swasta + -
Keterangan : - : tidak diketahui da aktivitasnya atau tidak
+: ada aktivitas
++ : diduga aktivitasnya cukup menonjol
+++: aktivitas merupakan bagian dari tugas institusi
++++: aktivitas merupakan mandat utama
Diagnosis : Isolasi & identifikasi agen penyakit, patogenisitas
Deteksi antigen
Serologi
Sumber : BAHRI (1994)

Tehnologi Veteriner untuk Diagnosis
Untuk mengatasi permasalahan-
permasalahan veteriner, IPTEKVET sangat
diperlukan, termasuk dukungan penelitiannya.
Karena melalui penelitian dapat dihasilkan
paket-paket teknologi veteriner yang tepat
guna untuk mengatasi permasalahan veteriner
yang muncul dan menjadi tantangan di era
globalisasi ini (BAHRI, 2004). Masalah
penyakit hewan seringkali menjadi issue
negative yang ikut menghambat pembangunan
peternakan nasional (BAHRI et al., 2004), dan
dengan meningkatnya lalu lintas hewan dan
produknya akan membawa resiko masuknya
penyakit hewan ke wilayah Indonesia (PUTRI,
2004).
Diharapkan dari hasil-hasil riset veteriner
dapat dimanfaatkan oleh lab-lab keswan di
daerah. Keluaran-keluaran riset nasional antara
lain: produk-produk biologik berupa antigen,
serum kebal spesifik, serum normal standar,
antibodi monoclonal, konjugat, Primer, Klon
DNA, Plasmid, Kit Diagnostik dan vaksin
(BAHRI, 1994).
Beberapa paket teknologi yang telah
dihasilkan oleh institusi-institusi penelitian
veteriner yang hasilnya dapat dimanfaatkan
untuk peneguhan diagnosis terhadap berbagai
penyakit hewan. Suatu tinjauan tentang
ketersediaan tehnologi veteriner untuk
peneguhan diagnosis terhadap berbagai
penyakit pada sapi telah dilaporkan oleh
HARDJ OUTOMO et al. (1997) antara lain
sebagai berikut:
1. Brucellosis. Untuk peneguhan diagnosis
dapat dilakukan dengan: (a) Isolasi dan
identifikasi agen penyebab dari spesimen
hewan induk (uterus, plasenta, ambing,
darah, mukosa vagina), fetus abortusan
(isi lambung, paru-paru, limpa); (b) Uji
cincin susus (Milk Ring Test/MRT) dari
air susu; (c) Uji serologik dengan Rose
Bengal Plate Test (RBPT), uji fiksasi
komplemen (CFT) dan competitive
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (c-
ELISA).
2. Antraks. Peneguhan diagnosis dengan
berbagai jenis pemeriksaan laboratorik,
yaitu, (a) pemeriksaan mikroskopik atau
94
ulas darah dari hewan tersangka. (b)
pemeriksaan kultural (isolasi dan
identifikasi agen), (c) pemeriksaan
biologik, (d) Tehnik ELISA antibodi
untuk memantau titer serum
paskavaksinasi dan (e) Uji presipitasi
ASCOLI.
3. SE. Peneguhan diagnosis dilakukan
dengan (a) pemeriksan mikroskopik dari
ulas darah hewan tersangka dengan
pewarnaan Gram (b) Isolasi dan
identifikasi agen penyebab dari spesimen
(darah, cairan edema atau potongan
organ) dan (c) Tehnik ELISA untuk
deteksi antibodi SE.
4. IBR. Diagnosis IBR dilakukan melalui
pemeriksaan: (a) Uji serum netralisasi,
(b) isolasi virus penyebab IBR dan (c)
Tehnik ELISA untuk mendeteksi antibodi
terhadap BHV-1.
5. BVD. Diagnosis BVD dilakukan dengan
pemeriksaan: (a) Uji serum netralisasi
dari serum hewan tersangka, (b) uji
imunoperoksidase untuk mendeteksi
kontaminasi virus BVD pada biakan sel.
6. Jembrana. Diagnosis penyakit J embrana
ditegakkan atas dasar perubahan,
perubahan klinis, ditunjang dengan
temuan-temuan patologis dan
histopatologik yang patognomonis. Di
laboratorium, dilakukan teknik ELISA,
uji imunohistokimia dan imunoblotting
serta analisis sidik ragam genom
virusnya.
PELAYANAN DIAGNOSTIK DI
BALITVET
Untuk menelusuri suatu kasus penyakit di
lapangan, ada tiga dasar diagnosis yang harus
diperhatikan yaitu, data klinik, patologik dan
epidemiologik. Meskipun demikian untuk
pengukuhan diagnosis diperlukan pengujian
secara laboratorik. Pemeriksaan spesimen di
laboratorium ini, selain untuk mengetahui agen
penyebab penyakit, juga untuk menunjang
upaya pencegahan dan pengendalian penyakit
(SUDARDJ AT, 2004).
Oleh karena itu, bila ingin menegakkan
diagnosis, maka petugas lapangan harus
mengambil spesimen sesuai dengan tujuan
pemeriksaan yang diinginkan dan
mengirimkannya ke laboratorium.
Pengambilan spesimen harus sesuai dengan
prosedur standar dengan cara yang baik dan
benar, kemudian dikirim ke laboratorium
keswan, disertai data lengkap tentang riwayat
kejadian penyakit (DIRJ ENNAK dan J ICA,
1999).
Dalam pelayanan Diagnostik kepada para
pengguna jasa laboratorium, B.balitvet bersifat
pasif. Artinya, hanya menerima/melayani
permintaan pemeriksaan/pengujian spesimen
yang di kirim oleh pelanggan ke Unit
Pelayanan Diagnostik. Hal ini berbeda dengan
BPPV/BB-VET yang mandat utamanya adalah
penyidikan penyakit hewan, mereka
melakukan penyidikan kasus penyakit secara
actif (active service), tertuju pada sasaran yang
lebih khusus. Penyidikan merupakan suatu
kegiatan yang penting dalam usaha
pengendalian penyakit, sehingga setiap
kasus/kejadian penyakit dapat ditelusuri secara
detail (SUDARDJ AT, 2004).
Sementara itu, Balitvet yang tugas
pokoknya adalah penelitian, pada dasarnya
adalah mencari jawaban terhadap persoalan-
persoalan di lapangan. Namun demikian, untuk
memberikan pelayanan diagnostik, B.balitvet
selalu siap melakukan pengujian/diagnosis
penyakit hewan terhadap kiriman spesimen
dari pelanggan, permintaannya sesuai dengan
daftar pengujian spesimen yang tercantum di
UPD.
J enis-jenis spesimen yang dikirim ke
Balitvet umumnya berupa: serum, ulas darah,
darah dalam kertas saring, semen sapi pejantan,
potongan organ tubuh hewan tersangka dalam
keadaan segar atau dalam pengawet, tanah dari
lokasi kasus antraks, dan sebagainya.
Spesimen-spesimen tersebut dikirim lewat
kurir atau jasa pos/titipan kilat. Meskipun
Balitvet membuka pelayanan untuk nekropsi
kadaver hewan besar, namun sangat jarang
pelanggan yang mengirimkan kadaver tersebut.
Hal ini, karena kesulitan dalam
pengangkutannya.
Selama 5 tahun terakhir (2001-2005), telah
banyak spesimen yang dikirim ke Unit
Diagnostik untuk pengujian terhadap berbagai
macam penyakit di laboratorium Balitvet, baik
untuk isolasi dan identifikasi agen
penyebabnya, pengujian titer antibodi terhadap
penyakit tertentu maupun konfirmasi dari lab
keswan lainnya. Spesimen-spesimen tersebut
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
95
berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan
sebagian besar (>50%) berasal dari J abar dan
DKI J akarta (Tabel 1.). Meskipun untuk daerah
di P. J awa merupakan wilayah kerja BB-Vet
Wates, Yogyakarta, namun barangkali karena
pertimbangan kedekatan lokasi, mereka
mengirimkan spesimennya ke Balitvet Bogor.
Tercatat 14 propinsi yang telah
mengirimankan sampelnya untuk pengujian
terhadap penyakit strategis pada ternak
ruminansia besar ke Balitvet. Kebanyakan
sampel berupa serum darah, untuk pengujian
terhadap RBPT/CFT(Brucellosis) (Tabel 2).
RBPT sebagai screening test dan CFT
sebagai confirmatory test. CFT merupakan uji
yang menentukan hewan terinfeksi, namun uji
ini sering terjadi reaksi antikomplemen akibat
serum yang mengalami lisis (hemolisis) atau
terkontaminasi (SULAIMAN dan PATTEN,
2000). Meskipun uji RBPT/CFT dapat
dilakukan laboratorium kesehatan hewan
daerah (BPPV/BB-VET Regional), namun
karena harus melakukan pengujian lain dari
hewan yang sama, sedangkan uji tersebut
(misalnya, IBR, Leptospirosis dan Enzootic
Bovine Leukosis/EBL), tidak bisa dilakukan di
daerah, mereka harus melakukan uji
Brucellosis di laboratorium B-balitvet yang
secara khusus hanya melakukan uji
Brucellosis, biasanya dari peternak sapi perah
yang lokasinya dekat dengan Bogor, baik
secara sendiri-sendiri maupun kolektif melalui
Koperasi Unit Desa (KUD) atau melalui Dinas
Peternakan setempat.
Dari NTB (2001), pernah meminta uji EBL
pada kerbau di Bbalitvet, selain uji Brucellosis
dan Leptospirosis terhadap kerbau yang akan
dikirim ke luar negeri (Timor Leste). Sebagai
daerah endemik antraks, NTB/NTT hampir
setiap tahun mengirimkan spesimen berupa
potongan telinga atau tulang untuk isolasi dan
identifikasi kumannya. Mereka mengirim
spesimen tersebut ke BPPV VI Denpasar,
namun dari sana diteruskan ke Balitvet.
Karena P. Bali bebas dari antraks, maka
pengujian antraks dilakukan li lab tipe B di
mataram dan konfirmasinya ke Balitvet dalam
rangka uji banding PUTRA et al., (2005). Hal
Tabel 2. J umlah dan asal spesimen untuk pengujian di laboratorium(di Bbalitvet) terhadap penyakit strategis
pada ruminansia besar selama 5 tahun (2001-2005)
J umlah spesimen pada tahun Asal spesimen (Provinsi)
2001 2002 2003 2004 2005
Jabar 3225 1056 972 1231 683
DKI J akarta 49 412 241 30 108
Sub total 3274
(76,36%)
1468
(72,00%)
1213
(77,81%)
1261
(79,76%)
791
(39,51%)
Bali 10 10 13 6 14
Nusa Tenggara Barat 652 2 11 - 22
Nusa Tenggara Timur 2 3 - 2 -
Kalimantan Selatan - - - 3 389
Kalimantan Timur - - - - 9
J awa Timur 395 392 111 128 899
DI Yogyakarta 87 69 - - 148
J awa Tengah 130 30 208 174 81
Lampung 103 36 - - -
Sumatera Selatanl - - - 5 -
Jambi - - - 2 -
Sumatera Utara - 1 4 - -
Sub total 1379
(29,64%)
543
(27,00%)
346
(22,19%)
320
(22,24%)
1211
(60,49%)
Total 4563 2011 1559 1581 2002
Sumber: Data diolah dari UPD Balitvet tahun 2001 2005
96
Tabel 3. Banyaknya sampel untuk uji laboratorium(di Bbalitvet) terhadap penyaki strategis pada ruminansia
besar selama 5 tahun (2001 2005)
J umlah spesimen pada tahun
Jumlah spesimen
2001 2002 2003 2004 2005
Bakteriologi:
Brucella
Antraks
SE

3.493
26
128

1.553
52
165

1.290
51
0

890
253
128

913
289
128
Virologi
IBR
BVD
J embrana

1.006
0
0

241
0
0

218
0
0

310
0
0

289
0
0
Sumber: data diolah dari UPD Bbalitvet tahun 2001 2005

ini tidak dilakukan di BPPV VI Denpasar,
karena dikhawatirkan dapat mencemari
lingkungannya.
Permintaan uji serologis terhadap SE dari
daerah relatif sedikit atau sangat jarang dan
kalau ada hanya dari Dinas Peternakan
Provinsi J awa Timur. Spesimen (serum atau
darah dalam kertas saring) diambil dari sapi
sebelum dan sesudah vaksinasi SE, untuk uji
ELISA untuk mengetahui titer antibodinya.
Metode kertas saring ini lebih mudah, murah
dan praktis, dapat digunakan sebagai tabung
untuk pengambilan spesimen darah untuk uji
ELISA terhadap P. multocida (NATALIA dan
PRIADI, 1998).
Permintaan uji serologis IBR (screening
atau SNT) dan isolasi virus IBR dari semen
sapi, umumnya datang dari Unit pembibitan
ternak sapi (BIB Lembang, Ungaran, Singosari
atau Balai Embrio Transfer), BPTU Baturaden.
Karena selain uji IBR, juga uji Brucellosis,
Leptospirosis dan EBL. J uga dari pengusaha
importir ternak sapi yang mendatangkan
ternaknya dari luar negeri dan jarang/tidak
pernah dari individu/peternak rakyat.
Khusus pengujian untuk BVD dan
J embrana, Bbalitvet tidak melakukannya untuk
umum, kecuali bila ada penelitian tentang
penyakit tersebut. Hal ini karena keterbatasan
sarana, prasarana dan SDM pelaksananya.
Karena selama ini sudah cukup banyak jenis
pengujian (terutama untuk penyakit unggas)
yang ditawarkan kepada pelanggannya.
Sementara itu, fungsi utama Bbalitvet adalah
penelitian. Sementara ini, JD sudah banyak
ditangani secara khusus oleh BPPV VI
Denpasar, mulai dari isolasi agen penyebabnya
sampai pembuatan vaksin J embrana untuk
pencegahan penyakitnya.
KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas dapat
disimpulkan sbb:
1. Berdasarkan SK Dirjennak
No.103/TN.510/KPTS/DJ P/0398
ditetapkan enam dari 11 penyakit
strategis menyerang ternak ruminansia
besar yaitu, antraks, Brucellosis,
Septichaemia Epizootica (SE), Infectious
Bovine Rhinotracheitis (IBR), Bovine
Viral Diarrhea (BVD) dan penyakit
J embrana.
2. Laboratorium kesehatan hewan sangat
berperan dalam diagnosis penyakit hewan
strategis pada ternak ruminansia besar
dengan metode pengujian standar. Untuk
diagnosis tersebut dapat dilakukan di
Balitvet, BPPV/BB-VET Regional
(wilayah I sampai dengan VII).
3. Unit Pelayanan Diagnostik di Balitvet
memberikan pelayanan diagnostik
penyakit hewan dan pengujian veteriner
lainnya kepada para pelanggannya.
Empat dari enam jenis penyakit strategis
ruminansia besar yang ditawarkan
pengujiannya yaitu, antraks, brucellosis,
SE dan IBR.
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
97
DAFTAR PUSTAKA
BAHRI, S. 1994. Keterpaduan penelitian veteriner
dalam kegiatan IPTEK untuk menunjang
pembangunan subsektor peternakan pada
Pelita VI. Pros. Seminar Nasional Teknologi
Veteriner untuk meningkatkan kesehatan
hewan dan pengamanan bahan pangan asal
ternak. Cisarua, Bogor 22 24 Maret 1994.
Balitvet. Hlm. 29 39.
BAHRI, S. 1996. Arah penelitian veteriner pada era
globalisasi. Pros. Temu Ilmiah Nasional
Bidang Veteriner. Bogor, 12 13 Maret 1996.
Balitvet, hlm. :30 38.
BAHRI, S. 1998. Tantangan institusi (laboratorium)
Vetriner di Indonesia dalammenghadapi era
pasar bebas. Pros. Seminar hasil-hasil
penelitian veteriner, Bogor, 18 19 Pebruari
1998. Balitvet hlm.: 19 33.
BAHRI,S., B. SETIADI dan I. INOUNU, 2004. Arah
penelitian dan pengembangan peternakan
tahun 2005 2009. Pros. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 4
5 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan, hlm:
6 10.
BALAI PENELITIAN VETERINER, 2002. Laporan
Tahunan 2002.
CHANCELLOR, R.,A.PRIADI, L.NATALIA dan
A.SYAMSUDIN., 1996. Tinjauan penyakit
Ngorok atau Septichaemia Epizootica (SE).
Pros. Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner. Cisarua, Bogor, 7 8 Nopember
1995. Puslitbang Peternakan, Bogor, hlm.: 117
124.
DAMAYANTI, R dan SUDARISMAN., 2005.
Patogenitas isolat lokal virus BHV-1 sebagai
penyebab Infectious Bovine Rhinotracheitis
(IBR) pada sapi Bali. JITV 10(3): 227 235.
DHARMA,DMN dan AAG.PUTRA, 1997. Penyidikan
Penyakit Hewan. CV. Bali Medi Adhikarsa,
Denpasar.
DHARMA,DMN. 2000. J embrana Disease
pathogenesis. DILAVET 10 (1): 10 16.
DHARMA,DMN, J S.KALIANDA, H.AGUSTIA,
FAHRURRIYADI, SUDARMAN dan M.TAUFIK.
2003. Letupan penyakit Jembrana di
Kecamatan Takisung, Kabupaten Tanah Laut,
Kalimantan Selatan. DILAVET 13(2): 1 8.
DIREKTORAT J ENDRAL PETERNAKAN dan J APAN
INTERNATIONAL COOPERATION AGENCY (JICA).
1999. Manual standar diagnostik penyakit
hewan.
DIREKTUR JENDRAL BINA PRODUKSI PETERNAKAN,
2004. Statistik Peternakan Tahun 2004, hlm.
77.
HARDJ OUTOMO.S dan M. B. POERWADIKARTA, 1996.
Kajian retrospektif antraks di daerah endemic,
menggunakan uji ELISA. JITV 2(2): 127
131.
HARDJ OUTOMO.S, A.WIYONO dan A. HUSEIN, 1997.
Ketersediaan dan Kebutuhan Tehnologi
Veteriner sapi potong. Pros. Seminar Nasional
Peternakan dan Veteriner. Bogor, 7 8
J anuari 1997. Puslitbang Peternakan, hal: 64
86
HARTANINGSIH, N., DMN. DHARMA, BUDIANTONO,
IWM. TENAYA dan NPL.AGUSTINI, 2001.
Gambaran Umum Penyakit J embrana.
Tigapuluh tahun manaklukkan penyakit
J embrana. Pros. Seminar Nasional Penyakit
J embrana, Denpasar, Bali, 9 Oktober 2001.
BPPV Regional VI, Denpasar hlm. 17 22.
HARTANINGSIH. N., CK. ANANDA, E. HENDARTIE, J S.
KALIANDA, S. HADI dan H. NANCY. 2003.
Investigasi wabah penyakit pada sapi bali di
kec Long Ikis, Kab Pasir, Kalimantan Timur.
Buletin Veteriner BPPV Denpasar XVI (67):
128 137.
MARTINDAH, E dan S.WAHYUWARDANI. 1998. Pola
kasus antraks pada ternak di provinsi NTB.
JITV 3(1): 39 46.
NATALIA,L dan A.PRIADI, 1998. Penggunaan kertas
saring sebagai alat transpor sampel darah
untuk uji serologi Pasteurella multocida:
Analisis dan perbandingan komposisi protein
antara ekstrak kertas saring dan serum. JITV,
3(3): 182 187.
NURHADI, A., E. MARTINDAH dan S.
WAHYUWARDANI, 1996. Studi antraks pada
manusia dan ternak di J awa Tengah. Pros
Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner.
Bogor, 12 13 Maret 1996. Balitvet, hlm.
156 161.
PRIADI, A dan L. NATALIA., 2000. Patogenesis
Septichaemia Epizootica pada sapi/kerbau:
Gejala klinis, Perubahan patologis, Reisolasi,
Deteksi Pasteurella multocida dengan media
kultur dan PCR. JITV 5(1): 65 71.
PUTRI, NH,T.S., 2004. Langkah antisipatif penyakit
eksotik dan zoonosis dalam perdagangan
internasional. Wartazoa, 14(2): 61 64.
98
PUTRA.AAG., L.ZAHUDIN, N.L.DARTINI, AAS.DEWI,
N.M.ARSANI dan R.M.BUTARBUTAR, 2005.
Wabah antraks di Kabupaten Sumbawa,
Provinsi NTB pada tahun 2004. Buletin
Vetriner. Informasi Keswan dan Kesmavet,
BPPV Denpasar, XVII (66): 32 42.
PUTRA. AAG. 2006. Situasi penyakit hewan menular
(PHM) strategis pada ruminansia besar:
Surveilans dan monitoring. Workshop
Nasional Ketersediaan IPTEK dalam
pengendalian penyakit strategis pada ternak
ruminansia besar. J akarta, 12 J uli, 2006.
RIADY,M., 2005. Upaya pengembangan industri
peternakan Nasional bebas dari penyakit-
penyakit strategis. Pros. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor,
12 13 September 2005. Puslitbang
Peternakan, hlm.: 3-9
SUDARDJ AT, 2004. Epidemiologi & Ekonomi
Veteriner. Yayasan Agribisnis Indonesia
Mandiri. J akarta Selatan.
SUDIBYO, A., P.RONOHARDJ O, B. PATTEN dan Y.
MUKMIN., 1991. Status brucellosis pada sapi
potong di Indonesia. Penyakit Hewan, 23(41):
18 22.
SUDIBYO. 1996. Studi patogenitas Brucella abortus
isolat lapang pada sapi perah sedang bunting.
Pros. Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner. Cisarua, Bogor 7-8 Nopember
1995. Puslitbang Peternakan, hlm.: 903 908.
SULAIMAN. I dan B. PATTEN., 2000. Evaluasi
serodiagnostik sebagai saran diagnosa
Brucellosis di Sulawesi Selatan. Diagnosa
Veteriner. Informasi Kesehatan Hewan
No.XXV, Edisi September 2000, hlm.: 1 - 13.

Anda mungkin juga menyukai