Anda di halaman 1dari 12

PENGERUKAN DAN REKLAMASI

CONTOH NYATA PENGERUKAN DAN REKLAMASI








OLEH

Rijal Mahdiy
D321 12 901


UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS TEKNIK / JURUSAN TEKNIK PERKAPALAN
PRODI TEKNIK KELAUTAN
TA 2014/2015

Pengerukan Sungai Ciliwung
Ci Liwung, atau biasa ditulis Ciliwung adalah salah satu sungai terpenting di Pulau Jawa;
terutama karena melalui wilayah ibukota, DKI Jakarta, dan kerap menimbulkan banjir tahunan di
wilayah hilirnya.
Panjang aliran utama sungai ini adalah hampir 120 km dengan daerah tangkapan airnya (daerah
aliran sungai) seluas 387 km persegi. Sungai ini relatif lebar dan di bagian hilirnya dulu dapat
dilayari oleh perahu kecil pengangkut barang dagangan. Wilayah yang dilintasi Ci Liwung
adalah Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, dan Jakarta.
Hulu sungai ini berada di dataran tinggi yang terletak di perbatasan Kabupaten Bogor dan
Kabupaten Cianjur, atau tepatnya di Gunung Gede, Gunung Pangrango dan daerah Puncak.
Setelah melewati bagian timur Kota Bogor, sungai ini mengalir ke utara, di sisi barat Jalan Raya
Jakarta-Bogor, sisi timur Depok, dan memasuki wilayah Jakarta sebagai batas alami wilayah
Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Ci Liwung bermuara di daerah Luar Batang, di dekat Pasar
Ikan sekarang. Di sebelah barat, DAS Ci Liwung berbatasan dengan DAS Ci Sadane, DAS Kali
Grogol dan DAS Kali Krukut. Sementara di sebelah timurnya, DAS ini berbatasan dengan DAS
Kali Sunter dan DAS (Kali) Cipinang (Wikipedia).
1.Ciliwung Tempoe Doeloe
Berikut ini adalah beberapa foto kondisi sungai Ciliwung jaman dulu sebagai dasar perbandingan
dengan kondisinya saat ini.

Gambar 1 : Ciliwung Masa Dulu 1


Gambar 2 : Ciliwung Masa Dulu 2


Gambar 3 : Ciliwung Masa Dulu 3
Terlihat kondisi kali ini begitu hijau dan bersih. Tidak terlihat sampah dan rumah liar di bantaran
kali.
2.Ciliwung Saat Ini
Berikut ini adalah kondisi kali Ciliwung saat ini yang ditampilkan untuk melihat tingkat
perubahan yang terjadi.

Gambar 1 : Ciliwung Masa Kini 1


Gambar 2 : Ciliwung Masa Kini 2


Gambar 3 : Ciliwung Masa Kini 3


Gambar 4 : Ciliwung Masa Kini 4
Terlihat bahwa kondisi sungai Ciliwung sudah parah. Sungai yang harusnya mengalirkan air
dengan lancar kini berubah drastis. Air tidak lagi mengalir dengan lancar akibat sungai dijadikan
tong sampah dan banyaknya hambatan air dari bangunan liar di bantaran kali.
Setelah yang terjadi disungai ciliwung maka Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak
mengatakan dengan membersihkan sungai dia berharap kapasitas sungai untuk menampung air
akan kembali sebagai fungsinya. Baik secara fisik maupun infrastruktur sungai tersebut.



Proses pengerukan dimulai dengan pengadaan barang yang telah dimulai tahun ini. Pengerukan
yang sedang berjalan antara lain Kali Pesanggrahan, Kali Angke dan Kali Sunter.Normalisasi
tersebut sedang berjalan baik dari hulu hingga hilir,
Setelah tiga kali tersebut selesai dikeruk nantinya akan dilanjutkan di 10 sungai. Hermanto
mengatakan setelah pengerukan selesai akan dikerjakan sodetan Ciliwung.Kalau airnya tinggi
untuk membuang banjir nanti menuju sungai Cipinang dan Banjir Kanal Timur
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai mengerjakan proyek Jakarta Emergency Dredging Initiative
(JEDI). Proyek yang digarap dengan dana pinjaman Bank Dunia ini bertujuan untuk membenahi
sistem drainase di Jakarta,misalnya melalui pengerukan sungai dan waduk.
Pengerjaan JEDI dibagi menjadi 7 paket, dan dikerjakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta
Kementerian Pekerjaan Umum. Pemprov DKI sendiri mendapat bagian mengerjakan 3 paket, yakni
paket I, IV,dan VII.
Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, optimistis pengerukan sungai yang masuk dalam program
JEDI bakal rampung pada tahun 2015 atau dua tahun dari sekarang
Menurut Jokowi, yang jadi persoalan saat ini adalah masih banyak warga yang tinggal di bantaran
sungai. Mereka seharusnya segera direlokasi. Namun hal ini terbentur pada permasalahan klasik lain,
yakni tidak adanya rumah susun.
Untuk saat ini, Pemprov DKI mulai mengeruk sejumlah sungai, kecuali untuk sungai yang di
bantarannya masih ada pemukiman warga. Di sisi lain, pembangunan rusun untuk merelokasi warga
yang tinggal di bantaran sungai itu juga mulai dikerjakan, dan ditargetkan rampung tahun 2014.
Setelah rusun selesai, warga baru dipindahkan ke rusun, dan kami langsung keruk di zona yang
semula ditinggali warga
Proyek pengerukan sungai ini sudah tertunda cukup lama, sehingga jika mundur lagi hanya karena
satu-dua masalah, kondisi sungai yang sekarang sudah mengalami pendangkalan akan semakin akut.
Makanya setelah pengerjaan selesai pun akan dikeruk setiap hari agar tak terjadi pendangkalan
lagi, kata mantan Wali Kota Solo itu.
a.Tujuh Paket
Proyek normalisasi Sungai Ciliwung menggunakan dana pinjaman Bank Dunia sebesar Rp1,2 triliun.
Berikut 7 paket pengerjaan JEDI :
Paket I dikerjakan Dinas PU DKI, meliputi pengerukan dan pemasangan sheet pile di Sungai
Ciliwung, Gunung Sahari Drain, Waduk Melati (Saluran Gresik dan Upper Cideng Drain).
Paket II dikerjakan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, meliputi pengerukan dan
pemasangan sheet pile Cengkareng Floodway dan Lower Sunter Floodway.
Paket III dikerjakan Cipta Karya, meliputi pengerukan dan pemasangan sheet pile Cideng Thamrin
Drain (sub marco drain on 5 roads).
Paket IV dikerjakan Dinas PU DKI, meliputi pengerukan dan pemasangan sheet pile Sentiong Sunter
Drain,Waduk Sunter Utara, Waduk Sunter Selatan, dan Waduk Sunter Timur III.
Paket V dikerjakan Cipta Karya, meliputi pengerukan dan pemasangan sheet pile Tanjungan Drain
dan Lower Angke Drain.
Paket VI dikerjakan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, meliputi pengerukan dan
pemasangan sheet pile Banjir Kanal Barat dan Upper Sunter Floodway.
Paket VII dikerjakan Dinas PU DKI, meliputi pengerukan dan pemasangan sheet pile Grogol
Sekretaris Drain, Jelakeng-Pakin-Kalibesar, dan Krukut Cideng Drain (Krukut Lama Drain).
Untuk pengerukan lumpur, lumpur nantinya akan ditiriskan, kemudian dibuang ke kawasan Ancol
menggunakan truk kedap air. Sementara sampahnya dibuang ke TPA Bantargebang.





















REKLAMASI PANTAI SINGAPURA RUSAK LINGKUNGAN
INDONESIA

Reklamasi pantai dan pulau-pulau kecil di wilayah Singapura telah menyebabkan perluasan
wilayah Singapura dalam tingkat yang signifikan, sehingga berpotensi bergesernya batas
teritorial negara tetangganya, termasuk Indonesia. Proyek perluasan wilayah darat yang
dilakukan negara kecil ini dalam kurun waktu panjang dapat diartikan sebagai upaya aneksasi
(penggabungan) terselubung terhadap wilayah teritorial dan kedaulatan Republik Indonesia.
Hal ini seharusnya ditanggapi oleh pemerintah secara serius dan harus segera diagendakan
dalam perbincangan antar negara di kawasan ASEAN, karena hal itu menyangkut prinsip-prinsip
hubungan bertetangga.
Dengan adanya proyek reklamasi kawasan pantainya, saat ini Singapura mengalami
penambahan seluas 100 kilometer persegi. Hingga tahun 2010 diperkirakan wilayah teritorial
Singapura akan bertambah 160 Km persegi. Akibat perluasan wilayah itu, wilayah perairan
internasional termasuk lebar jalur pelayaran antara Singapura dan Batam akan tergeser.
Perubahan itu otomatis juga akan menggeser masuk wilayah perairan Indonesia, karena lebar
jalur pelayaran akan dihitung dari titik terluar garis pantai. Hal itu sebagai upaya merugikan dan
aneksasi terselubung.
Pencurian Pasir
Reklamasi Singapura dengan mengimpor pasir dari Riau dalam kurun waktu 24 tahun (1978-
2002 telah menimbulkan banyak kerugian, bukan saja aspek teritorial tapi juga ekonomi,
perdagangan dan lingkungan hidup.
Dalam kurun waktu itu kerugian yang dialami Indonesia telah mencapai 42,38 milyar dollar
Singapura atau Rp. 237,328 trilyun. Kerugian ini akibat selisih antara yang tercatat di Singapura
dan tercatat di Indonesia. Selain itu ekspor pasir laut pada saat ini sudah memasuki kawasan
Malaysia dengan kerugian sebesar 3,09 milyar dollar Singapura. Para analis pecinta lingkungan
Batam mencatat pula paling tidak ada 29 kali kapal hilir mudik pembawa ribuan meter kubik
pasir laut dari Riau setiap harinya menuju Singapura, di mana kapasitas muat kapal berkisar
antara 1.000-4.000 meter kubik sekali angkut.
Sama Aset BUMN
Kebutuhan Singapura untuk pengadaan pasir laut dari Indonesia 1,8 milyar meter kubik,
masih akan berlangsung sampai tahun 2010. Apabila pengelolaan ekspor pasir laut masih seperti
pola lama, maka ekspor pasir laut pada masa 10 tahun yang akan datang dari Indonesia, dapat
diperkirakan sebesar 167 juta meter kubik, atau senilai 13,68 milyar dollar Singapura atau 76,608
trilyun. Jumlah ini kalau dibandingkan sama dengan penjualan aset aset seluruh BUMN selama
12 tahun.
Untuk mengatasi kenyataan tersebut, pemerintah telah berusaha menyusun suatu regulasi
dalam suatu Peraturan Pemerintah (PP). Namun PP tersebut masih membuka peluang terjadinya
penyimpangan-penyimpangan yang disebabkan oleh adanya rumusan yang masih memberikan
kelonggaran pada para kuasa penambangan, yang telah mempunyai izin untuk tetap melanjutkan
penambangan di daerah konservasi, sampai masa berlakunya izin penambangan berakhir.
Jadi saat ini perlu segera disusun Undang-undang Ekploitasi dan Ekspor Pasir yang secara
khusus mengatur masalah pengelolaan dan ekspor pasir laut dan di darat. Undang-undang ini
diharapkan bisa mempermudah pengawasan dalam tata niaga pasir dan memberikan
perlindungan lingkungan serta teritorial.
Hal ini jauh lebih efektif dan transparan dibandingkan eksploitasi dan ekspor pasir yang
hanya dilindungi oleh Peraturan Pemerintah, mengingat terjadinya banyak intervensi di dalam
penyusunan PP tersebut. Diduga hal itu pula sebabnya mengapa PP belum juga disahkan oleh
pemerintah.
Pemerintah Malaysia bahkan telah melarang pengusahanya untuk tidak mengekspor pasir laut
ke Singapura karena ia sadar dengan pengerukan pasir laut akan merusak lingkungan. Tapi tidak
demikian bagi Indonesia, diberhentikannya ekspor pasir oleh Malaysia membuat pengusaha
Indonesia senang karena tidak ada lagi pesaing di bisnis ekspor pasir laut. Padahal lingkungan
hidup untuk kepentingan anak cucu kita yang dipertaruhkan.

Beberapa hari terakhir, berkembang berita tentang reklamasi pantai Singapura dan
pengaruhnya terhadap batas maritim dengan Indonesia. Ada pemahaman bahwa perluasan
wilayah daratan Singapura melalui reklamasi mengakibatkan batas maritimnya bergeser ke
selatan sehingga mendesak wilayah laut Indonesia. Sebagian berpendapat bahwa reklamasi ini
tidak saja menambah luas daratan tetapi juga laut teritorial Singapura. Benarkah demikian?
Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), sebuah negara berhak
menguasai kawasan laut yang diukur dari garis pangkal. Garis pangkal ini bisa mengikuti garis
pantai saat air surut (normal), garis pangkal lurus, atau garis pangkal kepulauan yang
menghubungkan titik-titik paling tepi pulau terluar. Berdasarkan UNCLOS terkini (1982),
sebuah negara berhak atas laut teritorial sejauh 12 mil laut dari garis pangkal, 24 mil laut zona
tambahan, 200 mil laut zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan landas kontinan (dasar laut) hingga
350 mil laut atau bahkan lebih tergantung kondisi geologi dan geomorfologinya.
Jika ada satu negara di tengah laut dan tidak punya tetangga maka menurut UNCLOS negara
tersebut secara teoritis berhak atas kawasan laut yang sangat luas karena bisa menguasai laut
teritorial, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen yang lebar totalnya lebih dari 350 mil laut
dari garis pangkal/pantainya. Sayangnya, tidak ada negara yang sendirian seperti itu karena
semua negara pasti memiliki tetangga pada jarak tertentu. Artinya, pada kenyataannya, tidak
akan ada negara yang bisa mengklaim kawasan laut yang sangat luas seperti diatur oleh
UNCLOS tanpa bersinggungan dengan negara lain. Sebagai contoh, jika negara A dan B
berseberangan satu sama lain dan berjarak kurang dari 400 mil laut maka A maupun B tidak akan
bisa masing-masing menguasai ZEE selebar 200 mil laut dari garis pangkal/pantainya karena
pasti akan terjadi tumpang tindih klaim ZEE. Hal ini bisa dilihat di Selat Malaka, misalnya.
Indonesia tidak bisa menguasai ZEE hingga 200 mil laut dari garis pangkal di Selat Malaka
karena lebar Selat Malaka yang kurang dari 400 mil laut. Jika Indonesia memaksakan mengklaim
200 mil laut ZEE maka ruang laut akan habis dan Malaysia tidak mendapatkan haknya di Selat
Malaka. Karena Malaysia juga memiliki hak yang sama maka keduanya harus berbagi laut di
Selat Malaka yang disebut proses delimitasi. Proses bilateral inilah yang kemudian menghasilkan
perjanjian batas maritim tahun 1969.
Berbeda dengan di Selat Malaka, Indonesia dengan leluasa bisa mengklaim kawasan laut
seperti yang diperbolehkan oleh UNCLOS di Samudera Hindia (sebelah selatan Pulau Jawa)
karena tidak ada negara tetangga di sebelah selatan Jawa yang harus diajak berbagi laut. Di sana
Indonesia bisa menentukan batas laut teritorial, zona tambahan, maupun ZEE secara unilateral,
tanpa berurusan dengan negara lain. Jika Indonesia melakukan reklamasi di pantai selatan Jawa
maka batas terluar kawasan lautnyapun mungkin berubah. Syaratnya, reklamasi itu merupakan
bagian terintegrasi sebuah sistem pelabuhan seperti diatur UNCLOS pasal 11.
Di kawasan laut antara Singapura dan Indonesia (Selat Singpura), kedua negara tidak
mungkin mengklaim semua kawasan laut sesuai UNCLOS karena jarak keduanya sangat dekat.
Maka dari itulah Indonesia dan Singapura melakukan delimitasi tahun 1973 dan 2009. Artinya,
di Selat Singapura telah ada garis batas yang disepakati secara bilateral. Perjanjian itupun telah
diratifikasi sehingga bersifat final dan mengikat kedua negara.
Kembali kepada isu di awal tulisan ini, apa yang terjadi jika Singapura memperluas
daratannya dengan reklamasi? Akankah batas maritim terdesak ke selatan sehingga Indonesia
kemudian dirugikan? Jawabannya adalah tidak. Hal ini memang tidak diatur dalam UNCLOS
tetapi dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian yang menyatakan bahwa para pihak
tidak bisa menggunakan alasan tertentu untuk membatalkan perjanjian perbatasan (Pasal 62 (2)
(a)). Selain itu, Konvensi Wina tahun 1978 tentang Suksesi Negara dalam Hubungannya dengan
Perjanjian Internasional juga menegaskan bahwa perubahan suatu negara tidak mengubah batas
wilayah yang telah ditetapkan dengan perjanjian (Pasal 11 (a)). Singkatnya, begitu disepakati
secara bilateral, batas maritim tidak akan berubah.
Mengacu pada Konvensi Wina 1969 dan 1978, batas maritim antara Indonesia dan Singapura
tidak akan berubah. Yang dilakukan oleh Singapura terkait reklamasi adalah memperluas
wilayah daratnya tapi mempersempit laut teritorialnya karena sudah ada batas maritim yang
disepakati tahun 1973 dan 2009. Analoginya, Indonesia dan Singapura seperti dua rumah, A dan
B, berdekatan dan sudah menetapkan pagar permanen. Jika A memperbesar ukuran bangunannya
maka tidak akan menggeser pagar ke arah B. Sebaliknya, A akan mempersempit halaman
sampingnya.
Meski tidak terkait batas maritim, reklamasi Singapura menyangkut isu lingkungan. Isu
penambangan pasir di Indonesia yang dijual ke Singapura untuk reklamasi adalah salah satunya.
Jika demikian halnya, Indonesia berhak mengemukakan keberatan. Meski demikian, ini adalah
isu lain yang tidak terkait batas maritim. Mengaitkan reklamasi dengan perubahan batas maritim
yang sudah disepakati adalah sebuah salah kaprah. Perlu diingat bahwa batas maritim yang
ditentukan secara unilateral bisa saja berubah karena reklamasi tetapi batas yang disepakati
melalui proses bilateral tidak akan berubah.

Anda mungkin juga menyukai