Anda di halaman 1dari 6

Dasar Hukum Otonomi Daerah

Dasar Hukum Otonomi Daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang kuat,
yakni :
1. Undang-undang Dasar
Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat
untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD menyebutkan adanya pembagian
pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah.
2. Ketetapan MPR-RITap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah :
Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, erta
perimbangan kekuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Undang-Undang Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya
mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas
Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999 adalah mendorong untuk
pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran
masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD.
Dari ketiga dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan lagi bahwa
pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang kuat. Tinggal permasalahannya adalah
bagaimana dengan dasar hukum yang kuat tersebut pelaksanaan Otonomi Daerah bisa dijalankan
secara optimal.
Pokok-Pokok Pikiran Otonomi Daerah Isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18
UUD 1945 beserta penjelasannya menjadi pedoman dalam penyusunan UU No. 22/1999 dengan
pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
1. Sistim ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip-prinsip pembagian kewenangan
berdasarkan asas konsentrasi dan desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah propinsi,
sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah Kabupaten dan
daerah Kota. Daerah yang dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan
melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
3. Pembagian daerah diluar propinsi dibagi habis ke dalam daerah otonom. Dengan demikian,
wilayah administrasi yang berada dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota dapat dijadikan
Daerah Otonom atau dihapus.
4. Kecamatan yang menurut Undang-undang Nomor 5 th 1974 sebagai wilayah administrasi dalam
rangka dekonsentrasi, menurut UU No 22/99 kedudukanya diubah menjadi perangkat daerah
Kabupaten atau daerah Kota.
B. Prinsip-prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah
Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasar pada UU No.22/1999 prinsip-
prinsip pelaksanaan Otonomi Daerah adalah sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek demokrasi,
keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab
3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah
Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan Otonomi Terbatas.
4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi negara sehingga tetap terjamin
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan
karenanya dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
6. Kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti Badan Otorita,
Kawasan Pelabuan, Kawasan Pertambangan, Kawasan Kehutanan, Kawasan Perkotaan Baru,
Kawasan Wisata dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan Daerah Otonom.
7. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif
daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
8. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai
Wilayah Administrasi untuk memelaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang
dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah.
9. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah Daerah kepada
Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia
dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskan.
Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan
konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah,
tetapi dalam perkembangan sejarahnya ide otonomi daerah itu mengalami berbagai perubahan
bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada
masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak tahun 1945, akan terlihat
bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh para elit politik yang
berkuasa pada saat it. Hal itu terlihat jelas dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah
sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini:
1. UU No. 1 tahun 1945Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada
dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat.
2. UU No. 22 tahun 1948Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada
desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran
besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah pusat.
3. UU No. 1 tahun 1957Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana
kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat pemerintah pusat.
4. Penetapan Presiden No.6 tahun 1959Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan
dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari
kalangan pamong praja.
5. UU No. 8 tahun 1965Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada
desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan
dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja
6. UU No. 5 tahun 1974 Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman
dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya UU
NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sejalan dengan
kebijakan ekonomi pada awal Ode Baru, maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974
pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan politik. Pada penerapanya, terasa seolah-
olah telah terjadi proses depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya dengan
peran pembangunan yang menjadi isu nasional.
7. UU No. 22 tahun 1999 Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah
sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan
mengedapankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.

C. Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah
1. Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan
fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
2. Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan
pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem
administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber
daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis,
konservasi, dan standardisasi nasional.
3. Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka desentralisasi harus
disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.
4. Kewenangan Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka ekonsentrasi
harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut.
5. Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta kewenangan dalam bidang
pemerintahan tertentu lainnya.
6. Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau
belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
7. Kewenangan Propinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup kewenangan dalam
bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah.
8. Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan
bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Kewenangan Daerah di wilayah laut meliputi:
Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut;
Pengaturan kepentingan administratif;
Pengaturan tata ruang;
Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang
dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; dan
Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
9. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut adalah sejauh sepertiga dari
batas laut Daerah Propinsi. Pengaturan lebih lanjut mengenai batas laut diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
10. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan
selain kewenangan yang dikecualikan seperti kewenangan dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain yang
mencakup kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional
secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga
perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan
sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
11. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mencakup kewenangan pemerintahan
yang menjadi kewenangan Daerah Propinsi. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan
kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan
hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.
12. Pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka tugas
pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan
kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada Pemerintah.
Setiap penugasan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

Anda mungkin juga menyukai