Anda di halaman 1dari 1

Guru atau Murid

Menjadi produktif mrupakan sebuah kebutuhan dalam gerak substansial menuju penemuan
identitas diri. Setiap saat patutnya selalu melakukan hal-hal bermanfaat baik tuk pribadi maupun
sosial. Bermanfaat bagi sesama menjadi sebuah kebutuhan tindakan dalam diri setiap individu
sebaga perwujudan dari peran sebagai mahluk sosial. Perubahan sosial berawal dari perubahan
paradigma ini adalah kata yang selalu dijadikan sebagai landasan pokok dalam proses kaderisasi
dan penemuan identitas diri. Sederhana dan kaya akan makna, itulah perwakilan yang mungkin
sedikit bisa menggambarkan kata diatas. Dasar dari sebuah tindakan adalah ilmu-pengetahuan dari
setiap individu yang akan melakukan tindakan.
Sederhananya pengetahuan mengantar setiap diri untuk bertindak. Kedalaman ilmu setiap
individu dalam memehami diri dan sosial sangat dibutuhkan dalam menciptkan lingkungan produktif
dan terjaga dalam nilai-nilai kemanuisaan dan kehidupan. Kata seorang teman ketika seseorang
tidak lagi mencari tahu maka dia telah menempatkan dirinya sebagai diri lebih tahu, namun untuk
mencapai hal tersebut mungkin tak ada tolak ukur yang bisa digunakan sebagai indikator
pencapaiannya. Dalam beberapa tulisan, banyak penulis baik dari kalangan filsuf maupun sosialis
sepakat bahwa seseorang yang bisa dijadikan Guru adalah mereka yang telah mencapai makam
tertinggi dalam pengetahuan yaitu Cinta dan Kebijaksanaan. Bagi mereka, kesatuan diri atas
sesutu yang bersifat kontradiksi pikir dan tindakan bukan lagi menjadi sesuatu yang pro dan kontra.
Kemapanan pemikiran dan pengetahuan telah mengantar mereka kedalam Surga ilmu.
Murid merupakan perwujudan dari Gurunya. Olehnya, tidaklah menjadi soal mudah dalam
menentukan seorang guru. Dalam era globalisasi dan modern setiap diri dituntut untuk mampu
melihat sesuatu dibalik tembok besar dengan berdiri didepan tembok itu, artinya bahwa setiap
individu menjadi wajib memahami konsep dari komponen tembok dan diluar dari tembok itu untuk
memahami keberadaan dibalik tembok itu sendiri dalam istilah sederhananya adalah melihat tanpa
memandang. Kilauan dan kerlap-kerlip dunia menjadi tembok besar yang mebuat diri harus melihat
tanpa memandang dalam memahami kebenaran yang hakiki. Memilih guru sama halnya seperti
perumapamaan melihat tanpa memandang , melihat dibalik tembok besar dengan berdiri
didepannya. Hal ini menuntut kita untuk banyak mencari tahu sebelum akhirnya memahami hakikat
dari Guru melalui bukan dari targetnya sendri. Sumber pengetahuan indrawi tidaklah mampu untuk
menjadikan kita menentukan guru itu, hal ini disebabkan oleh karena keterbatasan indra dalam
mengenal dan deviasi indra yang terkadang ambigu.
Dalam era yang serba belum teratur seperti sekarang ini, setiap individu diruntut

Anda mungkin juga menyukai