Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA


2.1 ANEMIA PADA GAGAL GINJAL KRONIK
a. Definisi Anemia
World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan konsentrasi
hemoglobin <13,0 mg/dl pada laki-laki dan wanita postmenopause dan <12,0 gr/dl
pada wanita lainnya. The European Best Practice Guidelines untuk penatalaksanaan
anemia pada pasien-pasien penyakit ginjal kronik mengatakan bahwa batas bawah
hemoglobin normal adalah 11,5 gr/dl pada wanita, 13,5 gr/dl pada laki-laki dibawah
atau sama dengan 70 tahun dan 12,0 gr/dl pada laki-laki diatas 70 tahun.
15
The
National Kidney Foundations Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative
(K/DOQI) merekomendasikan anemia pada pasien penyakit ginjal kronik jika kadar
hemoglobin <11,0 gr/dl (hematokrit <33%) pada wanita premenopause dan pasien
prepubertas, dan <12,0 gr/dl (hematokrit <37%) pada laki-laki dewasa dan wanita
postmenopause.
15,16
Dan berdasarkan PERNEFRI 2011, dikatakan anemia pada
penyakit ginjal kronik jika Hb 10 gr/dl dan Ht 30%.
Anemia sering terjadi pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis. Klinisi
harus memikirkan keadaan anemia jika tingkat Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)
pasien menurun ke 60 ml/menit/1,73 m
4
2
atau lebih rendah.

1,2,15-17
Tabel 1. Stadium Penyakit Ginjal Kronik

2

Universitas Sumatera Utara
b. Etiologi Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik
Faktor-faktor yang berkaitan dengan anemia pada penyakit ginjal kronik
termasuk kehilangan darah, pemendekan masa hidup sel darah merah, defisiensi
vitamin, uremic milieu, defisiensi eritropoetin, defisiensi besi dan inflamasi.
Kehilangan Darah
1,2,15-17
Pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki risiko kehilangan darah
oleh karena terjadinya disfungsi platelet. Penyebab utama kehilangan darah pada
pasien-pasien ini adalah dari dialisis, terutama hemodialisis dan nantinya
menyebabkan defisiensi besi juga. Pasien-pasien hemodialisis dapat kehilangan 3 -5
gr besi per tahun. Normalnya, kita kehilangan besi 1-2 mg per hari (Gambar 1),
sehingga kehilangan besi pada pasien-pasien dialisis 10-20 kali lebih banyak.
Pemendekan masa hidup eritrosit
1,2
Masa hidup eritrosit berkurang sekitar sepertiga pasien-pasien hemodialisis
Defisiensi Eritropoetin
15-17
Defisiensi eritropoetin merupakan penyebab utama anemia pada pasien-pasien
penyakit ginjal kronik.
1,2,15-17
Para peneliti mengatakan bahwa sel-sel peritubular
yang menghasilkan eritropoetin rusak sebagian atau seluruhnya seiring dengan
progresivitas penyakit ginjalnya, sehingga produksi eritropoetin tidak serendah
sesuai dengan derajat anemianya.
2
Donelly mengatakan bahwa defisiensi eritropoetin
relatif pada penyakit ginjal kronik dapat berespon terhadap penurunan fungsi
glomerulus.
18
Satu studi mengatakan bahwa untuk mempertahankan kemampuan
untuk meningkatkan kadar eritropoetin dengan cara tinggal pada daerah yang
tinggi.

19
Universitas Sumatera Utara

Gambar 1. Homeostasis besi pada penyakit ginjal kronik

2
Defisiensi Besi
Homeostasis besi tampaknya terganggu pada penyakit ginjal kronik. Untuk
alasan yang masih belum diketahui (kemungkinan karena malnutrisi), kadar
transferin pada penyakit ginjal kronik setengah atau sepertiga dari kadar normal,
menghilangkan kapasitas sistem transport besi. Situasi ini yang kemudian
mengganggu kemampuan untuk mengeluarkan cadangan besi dari makrofag dan
hepatosit pada penyakit ginjal kronik.
Inflamasi
2, 15-18
Anemia pada inflamasi juga ditandai dengan kadar besi serum yang rendah,
saturasi transferin yang rendah dan gangguan pengeluaran cadangan besi yang
Universitas Sumatera Utara
bermanifestasi dengan tingginya serum feritin. Peningkatan jumlah sitokin-sitokin
inflamasi di sirkulasi seperti interleukin 6 berhubungan dengan respon yang buruk
terhadap pemberian eritropoetin pada pasien-pasien gagal ginjal terminal.

10,20,21
c. Diagnosis
Pada penyakit ginjal kronik, keadaan anemia yang terjadi tidak sepenuhnya
berkaitan dengan penyakit ginjalnya. Anemia pada penyakit ginjal kronik dapat
dijadikan diagnosis setelah mengeksklusikan adanya defisiensi besi dan kelainan
eritrosit lainnya.

15,16

Beberapa poin harus diperiksa dahulu sebelum dilakukan pemberian terapi
penambah eritrosit, yaitu :
- Darah lengkap
- Pemeriksaan darah tepi
- Hitung retikulosit
- Pemeriksaan besi (serum iron, total iron binding capacity, saturasi transferin,
serum feritin)
- Pemeriksaan darah tersamar pada tinja
- Kadar vitamin B12
- Hormon paratiroid

2.2 FERITIN PADA GAGAL GINJAL KRONIK
Struktur dan Fungsi Feritin
Feritin merupakan protein cadangan besi utama yang dijumpai pada jaringan
tubuh manusia. Feritin terdiri dari 24 subunit dengan 2 tipe yaitu di hati (L) dan
jantung (H), dengan berat molekul 19 dan 21 kDa. Subunit H memiliki peranan yang
penting dalam mendetoksifikasi besi secara cepat oleh karena aktivitas
feroksidasenya, dimana oksidasi besi menjadi bentuk Fe(III). Sedangkan subunit L
memfasilitasi nukleasi besi, mineralisasi dan cadangan besi jangka panjang.
5,6

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. Gambaran skematik feritin serum
Feritin merupakan tempat penyimpanan zat besi terbesar dalam tubuh. Fungsi
feritin adalah sebagai penyimpanan zat besi terutama di dalam hati, limpa dan
sumsum tulang. Zat besi yang berlebihan akan disimpan dan bila diperlukan dapat
dimobilisasi kembali. Hati merupakan tempat penyimpanan feritin terbesar di dalam
tubuh dan berperan dalam mobilisasi feritin serum. Pada penyakit hati akut maupun
kronik kadar feritin serum meningkat, hal ini disebabkan pengambilan feritin dalam
sel hati terganggu dan terdapat pelepasan feritin dari sel hati yang rusak. Pada
penyakit keganasan sel darah merah, kadar feritin serum meningkat disebabkan
meningkatnya sintesis feritin oleh sel leukemia. Pada keadaan infeksi dan inflamasi
terjadi gangguan pelepasan zat besi dari sel retikuloendotelial dan disekresikan ke
dalam plasma. Sintesis feritin dipengaruhi oleh konsentrasi cadangan besi intrasel
dan berkaitan pula dengan cadangan zat besi intrasel (hemosiderin).
6
Feritin pada Keadaan Inflamasi
5,6,7
Kadar C-Reactive Protein (CRP) akan meningkat cepat pada infeksi, disebut
respon fase akut. Peningkatan CRP berhubungan dengan peningkatan konsentrasi
interleukin-6 (IL-6) di dalam plasma yang sebagian besar diproduksi oleh makrofag.
Makrofag merupakan sel imun yang berperan langsung dengan kadar besi dalam
Universitas Sumatera Utara
tubuh manusia. Makrofag membutuhkan zat besi untuk memproduksi highly toxic
hydroxyl radical, juga merupakan tempat penyimpanan besi yang utama pada saat
terjadi proses inflamasi. Sitokin, radikal bebas, serta protein fase akut yang
dihasilkan oleh hati akan mempengaruhi homeostasis besi oleh makrofag dengan
cara mengatur ambilan dan keluaran besi sehingga akan memicu peningkatan retensi
besi dalam makrofag pada saat terjadi inflamasi. Besi juga mengatur aktivitas
sitokin, proliferasi, dan aktivitas limfosit sehingga diferensiasi dan aktivasi makrofag
akan terpengaruh.
Protein fase akut memegang peran dalam proses inflamasi yang kompleks.
Konsentrasi protein fase akut meningkat secara signifikan selama proses inflamasi
akut karena tindakan pembedahan, infark miokard, infeksi, dan tumor. Peningkatan
disebabkan oleh sintesis di hati, namun tidak dapat digunakan untuk menentukan
penyebab inflamasi. Pengukuran protein fase akut dapat digunakan untuk mengamati
progresivitas dari inflamasi serta melihat respon terapi dengan melihat nilai protein
fase akut saat mulai meningkat dan kadar yang tertinggi.
5,22,23

Kadar feritin serum tidak
dapat menggambarkan indeks cadangan besi dalam tubuh pada saat terjadi kerusakan
sel tubuh. Feritin diproduksi oleh sistem reticulo endotelial, yang berperan penting
dalam proses metabolisme zat besi saat pembentukan hemoglobin dari sel darah
merah senescent. Proses inflamasi dan infeksi akut akan memicu blokade pelepasan
zat besi sehingga akan menurunkan kadar zat besi serum.

5,6,7,22,23
Universitas Sumatera Utara

Gambar 3. Metabolisme besi pada keadaan inflamasi, defisiensi besi dan kombinasi inflamasi +
defisiensi besi

5
Hiperferitinemia Pada Penyakit Ginjal Kronik
Kadar feritin serum tinggi yang ekstrim, >2000 ng/ml, biasanya menandakan
adanya kelebihan besi yang juga dikenal dengan hemosiderosis.
5,6,7
Kebanyakan
laporan kasus mengenai kelebihan besi dijumpai pada masa belum digunakannya
ESA, ketika transfusi darah lebih sering digunakan dalam mengatasi anemia.
23
Peningkatan serum feritin selama inflamasi, infeksi, penyakit hati dan
kondisi-kondisi lain yang tidak berhubungan dengan besi dapat menghalangi
kemampuan dalam menilai status besi pada pasien GGK yang berada dalam kondisi-
kondisi tersebut. Feritin serum merupakan penanda adanya malignansi, seperti pada
neuroblastoma, renal cell carcinoma dan limfoma Hodgkin. Hiperferitinemia juga
berhubungan dengan disfungsi hati. Inflamasi kronik sering terjadi pada pasien-
pasien dengan PGK dan lebih dari 40-70% pasien dengan PGK dapat mengalami
peningkatan kadar CRP. Sehingga, inflamasi kemungkinan keadaan yang sering
terjadi pada hiperferitinemia pada PGK.

5-7, 22




Universitas Sumatera Utara
Tabel 2. Keadaan-keadaan yang dapat berhubungan dengan hiperferitinemia pada pasien-
pasien PGK
6


2.3 INFLAMASI DAN ANEMIA PADA GAGAL GINJAL KRONIK
Inflamasi dan respon fase akut berkaitan dengan sistem hematopoetik.
Selama periode awal respon fase akut, konsentrasi hemoglobin selalu menurun
secara drastis. Hal ini disebabkan oleh pengrusakan eritrosit yang meningkat oleh
makrofag retikuloendotelial inflamasi yang teraktivasi yang membersihkan sirkulasi
dari eritrosit yang dilapisi dengan imunoglobulin atau kompleks imun. Pada pasien-
pasien dengan fungsi ginjal yang normal, penurunan hemoglobin yang tiba-tiba
merangsang sekresi eritropoetin selama 4-10 hari. Ternyata, sekresi eritropoetin
yang meningkat ini dihambat oleh sitokin-sitokin proinflamasi pada pasien-pasien
yang mengalami respon fase akut.
Faktor pertumbuhan seperti eritropoetin dan beberapa sitokin penting untuk
pertumbuhan dan diferensiasi progenitor eritrosit pada sumsum tulang. Pada
konsentrasi rendah, sitokin-sitokin proinflamasi TNF- dan IL-1 menstimulasi
pertumbuhan awal progenitor. Efek inflamasi yang mensupresi eritropoesis terutama
disebabkan oleh peningkatan aktivitas sitokin-sitokin proinflamasi pada sel-sel
prekursor pada berbagai tingkatan eritropoesis. Dikatakan bahwa efek inhibisi pada
prekursor eritroid ini terutama disebabkan oleh perubahan sensitivitas terhadap
eritropoetin. Efek inhibisi TNF- dan IL-1 pada eritropoesis dapat diatasi dengan
pemberian dosis tinggi ESA. Pada pasien-pasien dengan gagal ginjal terminal,
resistensi ESA berhubungan dengan respon inflamasi seperti pada pasien dengan
peningkatan CRP atau fibrinogen kurang respon terhadap ESA.
24
20,24,25
Gunell dkk
melaporkan bahwa albumin serum yang rendah dan kadar CRP yang meningkat juga
Universitas Sumatera Utara
memprediksi resistensi terhadap ESA pada pasien-pasien hemodialisis dan peritoneal
dialisis, yang mendukung konsep bahwa respon inflamasi menyebabkan
hipoalbuminemia dan anemia pada pasien-pasien gagal ginjal terminal.

24
2.4 PENATALAKSANAAN ANEMIA PADA PASIEN-PASIEN GAGAL
GINJAL KRONIK DENGAN INFLAMASI
Sebelumnya telah diketahui bahwa dosis ESA yang digunakan untuk
mempertahankan target kadar hemoglobin dapat meningkat 30-70% pada pasien-
pasien dialisis yang inflamasi dibandingkan dengan mereka dengan kadar CRP yang
lebih rendah.
15
Tentu saja, pada inflamasi sistemik berat, respon terhadap epoetin
dapat terhambat dan transfusi darah mungkin dibutuhkan. Oleh karena inflamasi
mungkin merupakan peyebab utama resistensi ESA, ada benarnya eradikasi terhadap
stimulus inflamasi haruslah menjadi tujuan utama dalam penatalaksanaan pasien-
pasien anemia dengan inflamasi. Namun, walaupun terdapat angka prevalensi
inflamasi yang tinggi pada pasien-pasien gagal ginjal kronik, masih belum ada
rekomendasi yang valid bagaimana inflamasi kronik harus diterapi pada pasien-
pasien ini. Kondisi-kondisi komorbid yang yang dapat berpengaruh terhadap
inflamasi, seperti infeksi persisten, gagal jantung dan penyakit jantung koroner
haruslah diterapi secara adekuat.
20,24
Oleh karena stres oksidatif dapat berhubungan dengan inflamasi ataupun
anemia, begitu pula dengan resistensi ESA, sehingga dapat diambil hipotesa bahwa
berbagai strategi pengobatan antioksidan mungkin memiliki efek juga terhadap ESA.
Sebagai hasil contoh efek protektif melawan peroksidasi lipid, vitamin E tampaknya
dapat menjadi bahan yang ideal untuk menurunkan stres oksidatif pada pasien-pasien
dialisis.

Beberapa data terbaru menunjukkan bahwa obat-obat antioksidan juga dapat
memodulasi respon inflamasi. Pertama, suplemen vitamin E pada pasien-pasien non
renal berhubungan dengan penurunan kadar CRP dan monosit IL-6. Kedua, efek
tidak langsung vitamin E sebagai anti inflamasi ( dan antioksidan lainnya seperti
vitamin C, melatonin dan glutation) ditunjukkan bahwa mereka dapat memberikan
respon terapi ESA pada pasien-pasien dialisis. Ketiga, sebelumnya telah ada hipotesa
24
Universitas Sumatera Utara
yang mengatakan bahwa pemberian obat-obat antioksidan mencegah hemolisis
oksidatif dari membran eritrosit, sehingga dapat menunjukkan mekanisme lain
bahwa antioksidan dapat memperbaiki respon terhadap ESA.

20,24
2.5 PROTEIN ENERGY MALNUTRITION PADA PASIEN-PASIEN
DIALISIS
Malnutrisi merupakan masalah yang serius pada pasien-pasien gagal ginjal
kronik yang diterapi dengan dialisis. Hal ini berhubungan dengan malnutrisi yang
akan memberikan outcome yang buruk pada pasien.
26


a. Penyebab Malnutrisi pada pasien dialisis
Malnutrisi tidak jarang terjadi pada pasien-pasien dialisis dan penyebabnya
bermacam-macam. Prosedur dialisis sendiri menyebabkan hilangnya nutrisi-nutrisi
kedalam dialisat dan efek dari hilangnya nutrisi-nutrisi ini menyebabkan peningkatan
katabolisme selama hemodialisis. Timbulnya asidosis metabolik yang biasa terjadi
pada pasien-pasien dengan gagal ginjal mungkin berhubungan dengan peningkatan
katabolisme pada pasien-pasien ini.
27,28
Asam amino hilang melalui dialisat dan dengan aliran dialiser yang kuat,
hilangnya vitamin melalui dialisat juga terjadi. Gejala uremia seperti anoreksia,
nausea dan muntah dan gejala-gejala ini tidak selalu terkontrol pada pasien-pasien
dialisis reguler, menyebabkan terjadinya pengurangan ambilan protein dan energi.
Falken-hagen dkk meneliti bahwa pasien gagal ginjal yang diterapi dengan
hemodialisis ataupun peritoneal dialisis menunjukkan pola konsumsi makanan yang
berbeda-beda. Penyebab dari berkurangnya nafsu makanan tidak sepenuhnya
diketahui, namun peningkatan leptin serum atau faktor lainnya yang menekan nafsu
makan mungkin terlibat.

26-30






Universitas Sumatera Utara
Tabel 3. Penyebab anoreksia pada pasien-pasien hemodialisis regular

27


b. Diagnosis Malnutrisi pada Pasien Dialisis
Adanya malnutrisi tidaklah diketahui hanya dengan satu tes saja atau dievaluasi
hanya pada satu waktu saja, sehingga penting untuk menskrining pasien apakah
dijumpai adanya malnutrisi dengan beberapa pemeriksaan dan dilakukan secara
reguler. Penting juga untuk melakukan pemeriksaan status protein dan komposisi
tubuh sama seperti ambilan nutrisi, untuk mengidentifikasi adanya malnutrisi.

26, 29













Universitas Sumatera Utara
Tabel 4. Evaluasi nutrisi pada pasien dialysis
27


Albumin serum, sering digunakan untuk mengukur cadangan protein, dapat
terganggu dengan adanya proses akut, infeksi yang sering terjadi pada pasien-pasien
dialisis. Adanya infeksi akses yang kronis atau infeksi lainnya dapat mengurangi
konsentrasi serum albumin oleh karena berkurangnya sintesa albumin di hati sebagai
respon terhadap peningkatan produksi fase akut reaktan. Yeu dan Kaysen
menunjukkan bahwa konsentrasi serum albumin merupakan petunjuk hilangnya
albumin melalui dialisat, begitu juga produksi CRP yang berkitan dengan inflamasi.
Hal ini menunjukkan bahwa serum albumin tidak selalu dipercaya dalam menilai
status nutrisi.
29
Pada populasi pre gagal ginjal terminal, serum transferin tampaknya sangat
berguna dalam menilai status nutrisi, namun serum transferin terganggu pada
keadaan defisiensi besi, dan keadaan defisiensi besi yang sering terjadi ini

Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan penggunaan ESA dalam pengobatan anemia pada pasien-pasien
hemodialisis reguler menyebabkan pengukuran ini kurang diandalkan.
Pengukuran komposisi tubuh seperti antropometri, Bioelectrical Impedance
Analysis (BIA), dan Subjective Global Assessment (SGA), telah semua dilaporkan
berguna untuk menilai satus nutrisi pada pasien dengan gagal ginjal terminal yang
didialisis reguler. Antropometri telah digunakan bertahun-tahun pada subjek yang
sehat, sama seperti pada pasien gagal ginjal dengan dialisis reguler, dan antropometri
telah sering digunakan pada pasien-pasien tersebut.
29
Subjective Global Assessment awalnya dikembangkan untuk digunakan pada
keadaan akut di rumah sakit, namun juga berguna untuk mengukur status nutrisi pada
populasi CAPD.
30
Kesemua alat pengukuran komposisi tubuh ini memiliki keterbatasan.
Antropometri sangat dipengaruhi kesalahan operator dan juga dipengaruhi turgor
kulit. Untuk menghindarinya gunakalah kaliper kulit dengan kualitas yang baik. BIA
ternyata tidak terlalu berguna dikarenakan BIA lebih signifikan untuk pengukuran
komposisi tubuh dan komposisi air tubuh. Dual energy x ray absorptiometry dapat
membedakan lemak dengan massa non lemak namun ketersediaanya tidak sellau
dapat diharapkan. Karena antropometri cukup banyak tersedia dan cukup simpel, ia
bersifat aplikatif pada berbagai klinik dialisis dan merupakan alat yangpaling
berguna untuk mengukur komposisi tubuh.
12
Status nutrisi harus dianalisa secara teratur pada semua pasien-pasien dialisis,
sehingga jika terjadi sedikit penurunan pada status nutrisi dapat segera diketahui.
Protein serum harus dimonitor setiap 1-3 bulan, antropometri dimonitor setiap 6
bulan dan daftar makanan apa saja yang dikonsumsi juga harus selalu dicatat.
29,30

30
c. Penatalaksanaan Malnutrisi pada Pasien Dialisis
J ika malnutrisi terjadi, outcome pasien akan menurun. Sehingga, pencegahan
terhadap malnutrisi sangatlah penting. Pasien-pasien harus diberikan protein dan
energi yang adekuat untuk mencegah kejadian malnutrisi. Meskipun belum ada studi
yang menunjukkan pencegahan malnutrisi dapat mengubah outcome pasien,
Universitas Sumatera Utara
hubungan yang jelas antara status nutrisi yang buruk dan peningkatan risiko
kematian menunjukkan malnutrisi haruslah dihindari.

30
Diet Protein
Adanya diet protein sering diteliti, sebagai salah satu strategi utnuk
memperlambat progresivitas gagal ginjal terminal, mengurangi sindroma uremikum
dan unutk mengevaluasi kebutuhan protein yang tepat pada pasien-pasien gagal
ginjal dengan terapi dialisis reguler.
Pada pasien-pasien hemodialisis, belum ada penelitian prospektif non
randomized yang meneliti diet protein dan outcome yang terjadi. Namun, beberapa
studi menunujukkan bahwa kebutuhan protein 1,2 gr/kgBB/hari berhubungan dengan
keseimbangan nitrogen positif. Kebutuhan akan protein yang meningkat mungkin
berhubungan dengan hilangnya protein dan asam amino melalui dialisat atau efek
katabolik dari prosedur hemodialisis. Hilangnya protein melalui dialisat lebih tinggi
pada peritoneal dialisis dibandingkan dengan hemodialisis sekitar 5-15 gr/hari dan
hilangnya protein meningkat pada episode peritonitis.
26-30


Tabel 5. Rekomendasi pemberian protein dan kalori pada pasien hemodialisis dan CAPD
reguler
26





Universitas Sumatera Utara
Kebutuhan Energi
Kebutuhan energi juga merupakan hal yang penting pada pasien-pasien
dialisis. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa kebutuhan energi pada pasien-
pasien dialisis tidak berbeda dari orang yang sehat. Rekomendasi kebutuhan energi
pada pasien-pasien dialisis adalah 35 kkal/kgBB/hari.
J ika pasien tidak mampu mengkonsumsi protein dan energi yang dibutuhkan
dari diet, pengukuran yang lebih agresif haruslah dikerjakan untuk meyakinkan
kebutuhan energi yang adekuat.
26-30
30-32



2.6 RESISTENSI ESA
Resistensi terhadap ESA bisa disebabkan oleh terjadinya peningkatan aktivitas
sel T dan monisit, dan juga bersamaan dengan terjadinya produksi sitokin-sitokin
proinflamasi di sumsum tulang. Sitokin-sitokin ini dapat bereaksi secara lokal untuk
melawan kerja dari ESA pada tingkat seluler, sehingga menyebabkan terjadinya
resistensi terhadap terapi ESA.

20,25

Gambar 4. Bagaimana aktivitas imun pada uremia dan status inflamasi lainnya
menyebabkan resistensi terhadap ESA
25
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan produksi sitokin pro inflamasi oleh sel T yang teraktivasi dapat
menyebabkan respon yang rendah pada ESA. Probabilitas yang rendah terhadap
respon awal ini dapat menjadi peringatan terhadap klinisi untuk segera mengkoreksi
kegagalan terapi. Strategi yang potensial terhadap terapi masa depan adalah
penggunaan terapi anti sitokin adjuvan yang spesifik.

25





































Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai