Anda di halaman 1dari 6

SKIZOFRENIA

A. DEFINISI
Skizofrenia adalah gangguan yang umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan
persepsi yang mendasar dan khas, dan oleh afek yang tidak wajar atau tumpul.
Menurut Emi Kraeplin, skizofrenia terjadi karena kemunduran intelegensi sebelum
waktunya sehingga disebut dimensia prekoks/muda. Skizofrenia adalah suatu sindrom
klinis yang dinyatakan dengan kelainan dalam isi dan organisasai pikiran, persepsi
masukan sensori, ketegangan afek/emosional, identitas, kemauan, perilaku
psikomotor, dan kemampuan untuk menetapkan hubungan interpersonal yang
memuaskan.
B. ETIOLOGI
Karena belum ada definisi yang pasti tentang skizofrenia, maka sampai saat ini
etiologi skizofrenia masih belum jelas dan masih dan penelitian para sarjana.
Kemungkinan besar skizofrenia adalah suatu gangguan yang heterogen. Yang
menonjol pada gangguan skizofrenia adalah adanya stressor psikososial yang
mendahuluinya. Seseorang yang mempunyai kepekaan spesifik bila mendapat tekanan
tertentu dari lingkungan akan timbul gejala skizofrenia. Etiologi skizofrenia diuraikan
menjadi dua kelompok teori yaitu :
a. Teori Somatogenetik
Faktor Neurobiologi
Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien skizofrenia ditemukan adanya kerusakan
pada bagian otak tertentu. Namun sampai kini belum diketahui bagaimana hubungan
antara kerusakan pada bagian otak tertentu ddengan munculnya simptom skizofrenia.
Terdapat beberapa area tertentu dalam otak yang berperan dalam membuat seseorang
menjadi patologis, yaitu sitem limbik, korteks frontal, cerebellum dan ganglia basalis.
Keempat area tersebut saling berhubungan, sehingga disfungsi pada satu area
mungkin melibatkan proses patologis primer pada area yang lain. Dua hal yang
menjadi sasaran penelitian adalah waktu dimana kerusakan neuropatologis muncul
pada otak, dan interaksi antara kerusakan tersebut dengan stressor lingkungan dan
sosial.
Hipotesa Dopamin
Menurut hipotesa ini, skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan aktivitas
neurotransmitter dopaminergik. Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari
meningkatnya pelepasan dopamine, terlalu banyaknya reseptor dopamine, turunnya
nilai ambang, atau hipersentivitas reseptor dopamine, atau kombinasi dari faktor-
faktor tersebut. Munculnya hipotesa ini berdasarkan observasi bahwa : Ada korelasi
antara efektivitas dan potensi suatu obat antipsikotik dengan kemampuannya
bertindak sebagai antagonis reseptor dopamine D2.Obat yang meningkatkan aktivitas
dopaminergik- seperti amphetamine-dapat menimbulkan gejala psikotik pada
siapapun. Obat tersebut melepaskan dopamine dalam otak sehingga terjadi kelebihan
dopamine yang disekresi oleh sekelompok neuron penyekresi dopamine yang badan
selnya terletak di tegmentum ventral di mesenfalon, sebelah medial dan superior
substansia nigra. Neuron-neuron ini menghasilkan sitem dopaminergik mesolimbik
yang menjulurkan serabut-serabut saraf dan sekresi dopamine ke bagian medial dan
anterior dari sistem limbik, khususnya ke dalam hipokampus, amigdala, nukleus
kaudatus anterior, dan sebagian lobus prefrontalis. Semua ini merupakan pusat-pusat
pengatur tingkah laku yang sangat berpengaruh.
Faktor Genetika
Penelitian tentang genetik telah membuktikan faktor genetik/keturunan merupakan
salah satu penyumbang bagi jatuhnya seseorang menjadi skizofren. Resiko seseorang
menderita skizofren akan menjadi lebih tinggi jika terdapat anggota keluarga lainnya
yang juga menderita skizofren, apalagi jika hubungan keluarga dekat.
b. Teori Psikogenik
Teori yang menganggap skizofrenia disebabkan oleh suatu gangguan fungsional dan
penyebab utamanya adalah konflik, stres psikologik dan hubungan antar manusia
yang mengecewakan. Selain itu banyak teori yang diajukan sebagai teori etiologi
skizofrenia, antara lain: teori yang menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh
suatu interaksi beberapa gen penyebab skizofrenia. Terdapat pula teori yang
menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh metabolisme yang disebut dengan
inborn error of metabolism.
C. PATOGENESIS
Perjalanan penyakit Skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase prodromal,
fase aktif dan fase residual. Pada fase prodromal biasanya timbul gejala gejala non
spesifik yang lamanya bisa minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset
psikotik menjadi jelas. Gejala tersebut meliputi : hendaya fungsi pekerjaan, fungsi
sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri. Perubahan
perubahan ini akan mengganggu individu serta membuat resah keluarga dan teman,
mereka akan mengatakan orang ini tidak seperti yang dulu. Semakin lama fase
prodromal semakin buruk prognosisnya. Pada fase aktif gejala positif / psikotik
menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai
gangguan afek. Hampir semua individu datang berobat pada fase ini, bila tidak
mendapat pengobatan gejala gejala tersebut dapat hilang spontan suatu saat
mengalami eksaserbasi atau terus bertahan. Fase aktif akan diikuti oleh fase residual
dimana gejala gejalanya sama dengan fase prodromal tetapi gejala positif /
psikotiknya sudah berkurang. Disamping gejala gejala yang terjadi pada ketiga fase
diatas, pendenta skizofrenia juga mengalami gangguan kognitif berupa gangguan
berbicara spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif (atensi,
konsentrasi, hubungan sosial)
D. TERAPI DAN MEKANISME OBAT
Dalam terapi skizofernia dapat diberikan beberapa medikamentosa, antara lain;
a. Untuk mengatasi agresitivitas hiperaktivitas dan labilitas emosional pasien:
antipsikosis (Flufenazin dan Haloperidol)
b. Untuk mengatasi kecemasan: antiansietas (Diazepam)
Psikofarmaka
a. Pemilihan obat
Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang
sama pada dosis ekivalen, perbedaan utama pada efek sekunder ( efek samping:
sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). Pemilihan jenis antipsikosis mempertimbangkan
gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat. Pergantian disesuaikan
dengan dosis ekivalen. Apabila obat antipsikosis tertentu tidak memberikan respons
klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang tepat, dapat
diganti dengan obat antipsikosis lain (sebaiknya dan golongan yang tidak sama)
dengan dosis ekivalennya. Apabila dalam riwayat penggunaan obat antipsikosis
sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek sampingnya ditolerir baik, maka dapat
dipilih kembali untuk pemakaian sekarang. Bila gejala negatif lebih menonjol dari
gejala positif pilihannya adalah obat antipsikosis atipikal, Sebaliknya bila gejala
positif lebih menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal. Begitu
juga pasien-pasien dengan efek samping ekstrapiramidal pilihan kita adalah jenis
atipikal. Obat antipsikotik yang beredar dipasaran dapat dikelompokkan menjadi
dua bagian yaitu antipsikotik generasi pertama (APG I) dan antipsikotik generasi ke
dua (APG ll). APG I bekerja dengan memblok reseptor D2 di mesolimbik,
mesokortikal, nigostriatal dan tuberoinfundibular sehingga dengan cepat
menurunkan gejala positif tetapi pemakaian lama dapat memberikan efek samping
berupa: gangguan ekstrapiramidal, tardive dyskinesia, peningkatan kadar prolaktin
yang akan menyebabkan disfungsi seksual / peningkatan berat badan dan
memperberat gejala negatif maupun kognitif. Selain itu APG I menimbulkan efek
samping antikolinergik seperti mulut kering pandangan kabur gangguaniniksi,
defekasi dan hipotensi. APG I dapat dibagi lagi menjadi potensi tinggi bila dosis
yang digunakan kurang atau sama dengan 10 mg diantaranya adalah trifluoperazine,
fluphenazine, haloperidol dan pimozide. Obat-obat ini digunakan untuk mengatasi
sindrom psikosis dengan gejala dominan apatis, menarik diri, hipoaktif, waham dan
halusinasi. Potensi rendah bila dosisnya lebih dan 50 mg diantaranya adalah
Chlorpromazine dan thiondazine digunakan pada penderita dengan gejala dominan
gaduh gelisah, hiperaktif dan sulit tidur. APG II sering disebut sebagai serotonin
dopamin antagonis (SDA) atau antipsikotik atipikal. Bekerja melalui interaksi
serotonin dan dopamin pada ke empat jalur dopamin di otak yang menyebabkan
rendahnya efek samping extrapiramidal dan sangat efektif mengatasi gejala negatif.
Obat yang tersedia untuk golongan ini adalah clozapine, olanzapine, quetiapine dan
risperidon.
b. Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
Onset efek primer (efek klinis) : 2-4ininggu
Onset efek sekunder (efek samping) : 2-6 jam
Waktu paruh : 12-24 jam (pemberian 1-2 x/hr)
a) Dosis pagi dan malam dapat berbeda (pagi kecil, malam besar)
sehingga tidak mengganggu kualitas hidup penderita.
b) Obat antipsikosis long acting : fluphenazine decanoate 25 mg/cc atau
haloperidol decanoas 50 mg/cc, IM untuk 2-4ininggu. Berguna untuk
pasien yang tidak/sulitininum obat, dan untuk terapi pemeliharaan.
c. Cara / Lama pemberian
Mulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran dinaikkan setiap 2-3 hr
sampai mencapai dosis efektif (sindrom psikosis reda), dievaluasi setiap 2ininggu
bila pertu dinaikkan sampai dosis optimal kemudian dipertahankan 8-12ininggu.
(stabilisasi). Diturunkan setiap 2ininggu (dosis maintenance) lalu dipertahankan 6
bulan sampai 2 tahun ( diselingi drug holiday 1-2/hari/minggu) setelah itu tapering
off (dosis diturunkan 2-4ininggu) lalu stop. Untuk pasien dengan serangan sindrom
psikosis multiepisode, terapi pemeliharaan paling sedikit 5 tahun (ini dapat
menurunkan derajat kekambuhan 2,5 sampai 5 kali). Pada umumnya pemberian
obat antipsikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 1 tahun setelah
semua gejala psikosis reda sama sekali. Pada penghentian mendadak dapat timbul
gejala cholinergic rebound gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing dan
gemetar. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian anticholmnergic agent seperti
injeksi sulfas atropin 0,25 mg IM, tablet trhexyphenidyl 3x2 mg/hari.
Terapi Psikososial
Ada beberapa macam metode yang dapat dilakukan antara lain :
a. Psikoterapi individual
1) Terapi suportif
2) Sosial skill training
3) Terapi okupasi
4) Terapi kognitif dan perilaku (CBT)
b. Psikoterapi kelompok
c. Psikoterapi keluarga
d. Manajemen kasus
e. Assertive Community Treatment (ACT)

R/ inj. Chlorpromazin amp. 25 mg/ml
S i.m.m.
R/ Haloperidol tab 1,5 mg No. XV
S 3 dd tab I
Pro : tn. P (35 tahun)





ULKUS PEPTIKUM
A. Definisi
B. Etiologi
C. Patogenesis
D. Terapi dan Mekanisme Obat

Anda mungkin juga menyukai