Anda di halaman 1dari 8

Pengembangan Bioetanol-Kurniawan,Susmiadi, Toharisman (2005)

1
POTENSI PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA SEBAGAI
PENGHASIL ENERGI DI INDONESIA

Yahya Kurniawan, Ali Susmiadi dan Aris Toharisman

Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI)
Jalan Pahlawan 25 Pasuruan


PENDAHULUAN

Krisis energi dunia pada paruh kedua tahun ini yang tergolong parah dan
melanda seluruh negara di dunia telah membangkitkan keyakinan bahwa bioenergi
merupakan alternatif pemecahan hal tersebut. Sementara harga minyak bumi yang
melambung belakangan ini dengan sendirinya membangkitkan insentif ekonomi bagi
pengembangan bionergi sebagai alternatif lain dari fosil energi yang kian mahal dan
langka. Insentif itu juga timbul karena semakin besarnya perhatian negara-negara
dunia pada persoalan lingkungan hidup akibat pencemaran yang kian parah, yang
timbul dari emisi gas buang penggunaan fosil energi. Keunggulan bionergi yang
utama adalah renewable dan dampak penggunaannnya terhadap lingkungan hidup
jauh lebih ramah dari penggunaan fosil energi selama ini.
Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang menghadapi persoalan
energi yang serius akibat ketergantungan yang sangat besar terhadap energi fosil,
sementara pengembangan bioenergi sebagai alternatif masih kurang mendapat
perhatian. Sesungguhnya potensi Indonesia untuk mengembangkan bioenergi relatif
besar, baik bioetanol maupun biodisel.
Salah satu potensi yang relatif besar adalah pengembangan bioetanol
berbahan baku tebu. Dengan asumsi 80 liter bioetanol dapat dihasilkan dari 1 ton tebu
(data teknis di Brazil) dan produktivitas tebu rata-rata 80 ton per ha, maka dari setiap
ha lahan tebu dapat dihasilkan 6.400 liter etanol. Apabila etanol dari tebu dapat
mensubstitusi 10% dari kebutuhan gasoline pada tahun 2010 (33,4 milyar liter), maka
target tersebut bisa dicapai dengan pengembangan areal tebu seluas 522 ribu ha.
Dengan target subsitusi tersebut, jumlah gasoline yang dapat disubstitusi sebesar 3.34
milyar liter atau lebih dari Rp 15 triliun. Data survey menunjukkan ketersediaan
lahan di luar Jawa yang sesuai untuk tebu terdapat sekitar 750 ribu ha, disamping
potensi arael existing industry seluas 420 ribu ha (areal tebu Indonesia tahun
1993/1994).
Pengembangan Bioetanol-Kurniawan,Susmiadi, Toharisman (2005)
2
TEHNOLOGI PENGEMBANGAN PRODUKSI ETHANOL DAN TENAGA
LISTRIK BERBAHAN BAKU TEBU

PRODUKSI ETANOL
Pada dasarnya unit prosesing pembuatan etanol dari tebu terdiri dari 4
bagian, yaitu:
1. unit gilingan
2. unit preparasi bahan baku
3. unit fermentasi
4. unit destilasi.
Unit gilingan berfungsi untuk menghasilkan nira mentah dari tebu. Komponen unit
gilingan terdiri dari pisau pencacah dan tandem gilingan. Sebelum masuk gilingan,
tebu dipotong-potong terlebih dulu dengan pisau pencacah. Cacahan tebu selanjutnya
masuk kedalam tandem gilingan 3 rol yang biasanya terdiri atas 4 atau 5 unit gilingan
yang disusun secara seri. Pada unit gilingan pertama, tebu diperah menghasilkan
nira perahan pertama (npp). Ampas tebu yang dihasilkan diberi imbibisi, kemudian
digiling oleh unit gilingan kedua. Nira yang terperah ditampung, ampasnya kembali
ditambah air imbibisi dan digiling lebih lanjut oleh unit gilingan ketiga, dan demikian
seterusnya. Semua nira yang keluar dari setiap unit gilingan dijadikan satu dan disebut
nira mentah.
Unit preparasi berfungsi untuk menjernihkan dan memekatkan nira mentah
yang dihasilkan unit gilingan. Klarifikasi bisa dilakukan secara fisik dengan
penyaringan atau secara kimiawi. Klarifikasi terutama bertujuan untuk
menghilangkan beberapa impurities yang bisa mengganggu proses fermentasi. Nira
yang dihasilkan dari proses ini disebut nira jernih.
Unit fermentasi berfungsi untuk mengubah nira jernih menjadi etanol, melalui
aktivitas fermentasi ragi. Jumlah unit fermentasi biasanya terdiri dari beberapa unit
(batch) atau system kontinyu tergantung kepada kondisi dan kapasitas pabrik.
Beberapa nutrisi ditambahkan untuk optimalisasi proses. Etanol yang terbentuk
dibawa ke dalam unit destilasi.
Unit destilasi berfungsi untuk memisahkan etanol dari cairan lain khususnya
air. Unit ini juga terdiri dari beberapa kolom destilasi. Etanol yang dihasilkan
biasanya memiliki kemurnian sekitar 95-96%. Proses pemurnian lebih lanjut akan
menghasilkan etanol dengan tingkat kemurnian lebih tinggi (99%/ethanol
Pengembangan Bioetanol-Kurniawan,Susmiadi, Toharisman (2005)
3
anhydrous), yang biasanya digunakan sebagai campuran unleaded gasoline menjadi
gasohol.
Selain dari nira, ampas yang dihasilkan sebagai hasil ikutan dari unit gilingan
bisa diproses lebih lanjut menjadi etanol, dengan menambah unit pretreatment dan
sakarifikasi. Unit pretreatment berfungsi untuk mendegradasi ampas menjadi
komponen selulosa, lignin, dan hemiselulosa. Dalam unit sakarifikasi, selulosa
dihidrolisa menjadi gula (glukosa) yang akan menjadi bahan baku fermentasi,
selanjutnya didestilasi menghasilkan etanol.

























Gambar 1. Skema sederhana proses pembuatan etanol dari tebu
AMPAS
TEBU GILINGAN
NIRA
MENTAH
PREPARASI
NIRA
FERMENTASI
DESTILASI
ETANOL
PRETREATMENT
SAKARIFIKASI
BOILER ENERGI
Pengembangan Bioetanol-Kurniawan,Susmiadi, Toharisman (2005)
4
Namun demikian, proses pembuatan etanol dari ampas hingga saat ini belum
bisa diterapkan secara komersial. Kendala utamanya adalah proses delignifikasi
ampas relatif sulit dan mahal serta mengeluarkan limbah yang cukup banyak. Selain
itu, penggunaan ampas untuk etanol berkompetisi dengan pemanfaatan ampas untuk
penggunaan lain khususnya sebagai sumber energi, baik energi untuk proses di pabrik
maupun sebagai tenaga listrik.
Pada dasarnya proses pembuatan etanol dari tebu bisa dilakukan melalui 2
cara. Pertama, pabrik etanol berdiri sendiri sebagaimana Gambar 1. Kedua, dengan
memodifikasi pabrik gula yang ada sehingga menghasilkan etanol dan gula sekaligus.
Modifikasi dilakukan dengan memisahkan aliran nira mentah yang ditampung dari
unit gilingan kedalam 2 jalur, yaitu: ke unit preparasi nira dan selanjutnya dibawa ke
unit fermentasi untuk menghasilkan etanol atau dibawa ke statsiun pengolahan untuk
menghasilkan gula. Dalam bentuk diagram sederhana proses tersebut disajikan pada
Gambar 2. Produksi etanol secara terpadu dengan pabrik gula leih disukai karena ada
fleksibilitas produksi, efisiensi energi, dan biaya produksi menjadi lebih rendah.
Selain dari nira, dua sumber lain sebagai hasil ikutan PG yaitu ampas dan
molasses juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku etanol. Proses pembuatan
etanol dari ampas dilakukan sebagaimana dijelaskan di atas, sementara pembuatan
etanol dari molasses dilakukan dengan proses yang hampir sama dengan dari nira
hanya berbeda pada proses pretreatment. Sebelum masuk ke unit fermentasi,
molases diberi perlakuan pendahuluan untuk menghilangkan berbagai unsur abu dan
bahan-bahan lainnya yang bisa mengganggu proses fermentasi dan destilasi.

PRODUKSI TENAGA LISTRIK
Disamping menghasilkan etanol, pabrik-pabrik gula di beberapa negara
(Australia, Brazil, Thailand) juga mulai mengembangkan produksi tenaga listrik
(co-gen) sebagai ko-produk dari tebu. Dengan peningkatan pemakaian energi dalam
proses di pabrik terjadi kelebihan uap (steam) dari pembakaran ampas. Kelebihan
tenaga uap ini kemudian dipakai sebagai pembangkit generator untuk menghasilkan
listrik. Upaya menghasilkan etanol dan listrik ini merupakan bagian dari upaya
mempertahankan eksistensi industri gula yang selalu terancam jika hanya bertumpu
pada industri produk tunggal (gula). Secara sederhana skema pengolahan tebu
menjadi gula, etanol dan tenaga listrik pabrik gula disajikan pada Gambar 3.

Pengembangan Bioetanol-Kurniawan,Susmiadi, Toharisman (2005)
5





























Gambar 2. Skema modifikasi PG untuk menghasilkan gula dan etanol




AMPAS
TEBU GILINGAN
NIRA
MENTAH
PREPARASI
NIRA
FERMENTASI
DESTILASI
ETANOL
TANGKI
KLARIFIKASI
EVAPORATOR
KRISTALISASI
SENTRIFUGASI
GULA PASIR
MOLASES
PREPARASI
PRETREATMENT
SAKARIFIKASI
BOILER ENERGI
Pengembangan Bioetanol-Kurniawan,Susmiadi, Toharisman (2005)
6





























Gambar 3. Skema modifikasi PG untuk menghasilkan gula dan etanol




AMPAS
TEBU GILINGAN
NIRA
MENTAH
PREPARASI
NIRA
FERMENTASI
DESTILASI
ETANOL
TANGKI
KLARIFIKASI
EVAPORATOR
KRISTALISASI
SENTRIFUGASI
GULA PASIR
MOLASES
PREPARASI
PRETREATMENT
SAKARIFIKASI
PENGERINGAN BOILER
UAP
GENERATOR
LISTRIK
PROSES
Pengembangan Bioetanol-Kurniawan,Susmiadi, Toharisman (2005)
7

Bila PG-PG di Jawa ingin dikembangkan untuk menghasilkan tenaga listrik,
masalah yang harus diatasi terlebih dahulu adalah mengatasi persoalan inefisiensi
energi. Berdasarkan data yang ada, rata-rata konsumsi energi PG-PG di Indonesia
sekitar 20-25% lebih tinggi dari standar internasional.

BIAYA INVESTASI DAN PRODUKSI
Biaya investasi untuk pabrik etanol yang berdiri sendiri lebih tinggi
dibandingkan dengan pabrik etanol yang dibangun dengan memodifikasi pabrik gula.
Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, biaya investasi untuk pabrik etanol
yang berdiri sendiri berkisar antara USD 0,72 hingga USD 1,03 per liter kapasitas.
Jadi untuk membangun pabrik etanol yang berdiri sendiri dengan kapasitas giling
tebu 3000 TCD (kapasitas 48,6 juta liter) dengan asumsi beroperasi 6 bulan dan
produksi etanol 80 liter per ton tebu, maka dana investasi yang dibutuhkan berkisar
antara USD 35 juta hingga USD 50 juta. Sementara itu jika pabrik etanol yang
dibangun dengan memodifikasi pabrik gula yang berkapasitas 3000 TCD, hanya
dibutuhkan biaya investasi sekitar USD 15,1 juta hingga USD 28,7 juta. Sebagai
perbandingan, pada tahun ini sedang dibangun pabrik gula dan etanol di Sao Paulo
Brazil dengan kapasitas sekitar 8000 TCD dan memerlukan biaya USD 78 juta.
Pada tingkat teknologi yang digunakan di Brazil saat ini, dari setiap ton tebu
dapat dihasilkan sekitar 85-90 liter etanol dengan biaya produksi sekitar 17.5 US$ per
barrel atau sekitar Rp 1.100 per liter. Sedangkan produsen di Amerika Utara
menghasilkan ethanol dari jagung dengan biaya sekitar 44.1US$ per barrel atau
sekitar Rp 2.770 per liter.

TAHAP-TAHAP PENGEMBANGAN PRODUKSI DAN PENGGUNAAN
BIOETANOL

Dalam rangka pengembangan produksi etanol dari tebu, pada tahap pertama
perlu diawali dengan pembuatan pilot project dengan memodifikasi salah satu pabrik
gula di Jawa sehingga dapat menghasilkan gula dan etanol. Pabrik gula yang
dimodifikasi dipilih PG yang tergolong relatif efisien di Jawa dengan bahan baku
yang cukup dan memiliki potensi areal pengembangan. Dengan melalui pilot project
ini diharapkan dapat diperoleh informasi empiris tentang aspek teknis dan ekonomis,
Pengembangan Bioetanol-Kurniawan,Susmiadi, Toharisman (2005)
8
yang dapat dipakai sebagai pijakan pengembangan program produksi etanol
selanjutnya.
Berdasarkan hasil pilot project di atas, selanjutnya produksi etanol
dikembangkan secara bertahap dengan memodifikasi PG-PG lain yang memiliki
potensi. Bersamaan dengan itu, dilakukan ekspansi industri gula ke luar Jawa dengan
membangun PG baru yang sekaligus dapat menghasilkan etanol.
Pengembangan produksi etanol harus seiring dengan pengembangan produksi
dan penggunaan gasohol, yang merupakan campuran unleaded gasoline dengan
etanol. Dengan mengadopsi pengalaman Brazil, tahap-tahap pengembangan
penggunaan gasohol di Indonesia dalam 10 tahun ke depan dapat direncanakan
sebagai berikut:
Tahap pertama ( 2 tahun): Uji coba penggunaan 10% campuran gasohol di
beberapa kota besar di Jawa.
Tahap kedua (6 tahun) : Pengembangan penggunaan campuran 20% gasohol di
seluruh Jawa
Tahap ketiga (2 tahun): Pengembangan secara nasional.

POTENSI MASALAH
Pengembangan produksi dan penggunaan bioetanol berpotensi mengurangi
produksi gula, karena sebagian tebu digunakan untuk bahan baku etanol, kecuali jika
etanol hanya diproduksi dari molases. Agar tidak mengganggu upaya peningkatan
produksi gula nasional maka pengembangan produksi etanol harus disertai dengan
perluasan areal tebu. Karena itu, hanya PG-PG yang memiliki potensi
pengembangan areal yang dimodifikasi untuk dapat menghasilkan etanol.
Pengembangan produksi etanol dari tebu dengan memodifikasi PG-PG di Jawa
menuntut perubahan sistem transaksi tebu antara petani dan PG yang selama ini
menggunakan sistim bagi hasil. Salah satu alternatif pemecahan masalah ini adalah
melalui sistem jual beli tebu, dimana harga didiskriminasi berdasarkan kualitas.
Berdasarkan pengalaman di negara-negara lain, produksi bioetanol sulit
berkembang tanpa disertai kebijakan yang memberikan insentif ekonomi, baik untuk
kegiatan produksinya maupun penggunaannya. Ini memerlukan kebijakan pemerintah
yang komprehensif.

Anda mungkin juga menyukai