Anda di halaman 1dari 10

EPILEPSI

Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang
(lebih dari satu episode). International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu
kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan
epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang
diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epilepstik
sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang
timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di
otak (1).
Etiologi Epilepsi
Kejang disebabkan oleh banyak faktor, faktor tersebut meliputi penyakit serebrovaskuler (stroke
iskemik atau stroke hemoragi), gangguan neurodegeneratif, tumor, trauma kepala, gangguan
metabolik, dan infeksi SSP (sistem saraf pusat) (2). Beberapa faktor lainnya adalah gangguan
tidur, stimulasi sensori atau emosi (stres) akan memicu terjadinya kejang. Perubahan hormon,
sepeti menstruasi, puberitas, atau kehamilan dapat meningkatkan frekuensi terjadinya kejang.
Penggunaan obat-obat yang menginduksi terjadinya kejang seperti teofilin, fenotiazin dosis
tinggi, antidepresan (terutama maprotilin atau bupropion), dan kebiasaan minum alkohol dapat
meningkatkan resiko kejang (3).
Klasifikasi Epilepsi
Klasifikasi internasional kejang epilepsi dapat dilihat pada tabel I. Kejang diklasifikasikan
menjadi dua kategori umum yaitu : (a) kejang parsial (kejang parsial dapat disebabkan oleh suatu
lesi pada beberapa bagian korteks, seperti tumor, malformasi perkembangan atau stroke) dan (b)
kejang umum (kejang umum sering disebabkan oleh genetik) (4).
Tabel I. Klasifikasi internasional kejang epilepsi (5-6) :
1. Kejang parsial (awal terjadi kejang secara lokal)
a. Sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
(1) Disertai gejala motor
(2) Disertai gejala sensori khusus atau somatosensori
(3) Disertai gejala kejiwaan
b. Kompleks (disertai gangguan kesadaran)
(1) Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan
kesadaran dengan atau tanpa gerakan otomatis.
(2) Diawali gangguan kesadaran, diikuti gangguan
kesadaran dengan atau tanpa gerakan otomatis.
c. Umum sekunder (pada awalnya kejang parsial dan
berubah menjadi kejang tonik-klonik)
2. Kejang umum
a. Absen
b. Myoklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Tonik-klonik
f. Atonik
g. Spasme infantil
3. Kejang yang tidak dapat diklasifikasikan
4. Status epileptikus
Patofisiologi
Mekanisme terjadinya epilepsi ditandai dengan gangguan paroksimal akibat penghambatan
neuron yang tidak normal atau ketidakseimbangan antara neurotransmiter eksitatori dan
inhibitori (7). Defisiensi neurotransmiter inhibitori seperti Gamma Amino Butyric Acid (GABA)
atau peningkatan neurotransmiter eksitatori seperti glutamat menyebabkan aktivitas neuron tidak
normal. Neurotransmiter eksitatori (aktivitas pemicu kejang) yaitu, glutamat, aspartat, asetil
kolin, norepinefrin, histamin, faktor pelepas kortikotripin, purin, peptida, sitokin dan hormon
steroid. Neurotransmiter inhibitori (aktivitas menghambat neuron) yaitu, dopamin dan Gamma
Amino Butyric Acid (GABA). Serangan kejang juga diakibatkan oleh abnormalitas konduksi
kalium, kerusakan kanal ion, dan defisiensi ATPase yang berkaitan dengan transport ion, dapat
menyebabkan ketidak stabilan membran neuron (8).
Aktivitas glutamat pada reseptornya (AMPA) dan (NMDA) dapat memicu pembukaan kanal
Na
+
. Pembukaan kanal Na ini diikuti oleh pembukaan kanal Ca
2+
, sehingga ion-ion Na
+
dan
Ca
2+
banyak masuk ke intrasel. Akibatnya, terjadi pengurangan perbedaan polaritas pada
membran sel atau yang disebut juga dengan depolarisasi. Depolarisasi ini penting dalam
penerusan potensial aksi sepanjang sel syaraf. Depolarisasi berkepanjangan akibat peningkatan
glutamat pada pasien epilepsi menyebabkan terjadinya potensial aksi yang terus menerus dan
memicu aktivitas sel-sel syaraf. Beberapa obat-obat antiepilepsi bekerja dengan cara
memblokade atau menghambat reseptor AMPA (alpha amino 3 Hidroksi 5 Methylosoxazole- 4-
propionic acid) dan menghambat reseptor NMDA (N-methil D-aspartat). Interaksi antara
glutamat dan reseptornya dapat memicu masuknya ion-ion Na
+
dan Ca
2+
yang pada akhirnya
dapat menyebabkan terjadinya potensial aksi. Namun felbamat (antagonis NMDA) dan
topiramat (antagonis AMPA) bekerja dengan berikatan dengan reseptor glutamat, sehingga
glutamat tidak bisa berikatan dengan reseptornya. Efek dari kerja kedua obat ini adalah
menghambat penerusan potensial aksi dan menghambat aktivitas sel-sel syaraf yang teraktivasi
(9). Patofisiologi epilepsi meliputi ketidakseimbangan kedua faktor ini yang menyebabkan
instabilitas pada sel-sel syaraf tersebut.
Gajala Klinis (10)
(1) Gajala kejang yang spesifik, tergantung pada jenis kejang. Jenis kejang pada setiap pasien
dapat bervariasi, namun cenderung sama.
(2) Somatosensori atau motor fokal terjadi pada kejang kompleks parsial.
(3) Kejang kompleks parsial terjadi gangguan kesadaran.
(4) Kejang absens mempunyai efek yang ringan dengan gangguan kesadaran yang singkat.
(5) Kejang tonik-klonik umum mempunyai episode kejang yang lama dan terjadi kehilangan
kesadaran.
Penegakan Diagnosis (10)
1. EEG (electroencephalogram) sangat berguna dalam diagnosis berbagai macam jenis
epilepsi.
2. EEG mungkin normal pada beberapa pasien yang secara klinis masih terdiagnosis
epilepsi.
3. MRI (magnetic resonance imaging) sangat bermanfaat (khususnya dalam
menggambarkan lobus temporal), tetapi CTscan tidak membantu, kecuali dalam evaluasi
awal untuk tumor otak atau perdarahan serebral.
Antiepilepsi
Penggolongan obat antiepilepsi
(1) Hidantoin
Fenitoin
Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonik-klonik, dan
pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf (11). Fenitoin memiliki range
terapetik sempit sehingga pada beberapa pasien dibutuhkan pengukuran kadar obat dalam darah
(12). Mekanisme aksi fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium (Na
+
) (13) yang
mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na
+
kedalam membran sel berkurang (11). dan
menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron (4). Dosis
awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari tiap 6 jam (10).
Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada SSP, sehingga
mengakibatkan lemah, kelelahan, gangguan penglihatan (penglihatan berganda), disfungsi
korteks dan mengantuk. Pemberian fenitoin dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan
keseimbangan tubuh dan nystagmus. Salah satu efek samping kronis yang mungkin terjadi
adalah gingival hyperplasia (pembesaran pada gusi). Menjaga kebersihan rongga mulut dapat
mengurangi resiko gingival hyperplasia (14).
(2) Barbiturat
Fenobarbital
Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang tonik-klonik (11).
Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan fenobarbital obat yang
penting utnuk tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya serta kecenderungannya
menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak telah mengurangi penggunaannya sebagai obat
utama (15). Aksi utama fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan
Na dan K. Fenobarbital menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langsung terhadap
reseptor GABA (16) (aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan durasi pembukaan reseptor
GABA
A
(7) dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida). Selain itu, fenobarbital juga
menekan glutamate excitability dan meningkatkan postsynaptic GABAergic inhibition (16).
Dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 10-20 mg/kg 1kali
sehari (14). Efek samping SSP merupakan hal yang umum terjadi pada penggunaan fenobarbital.
Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah kelelahan, mengantuk, sedasi, dan depresi.
Penggunaan fenobarbital pada anak-anak dapat menyebabkan hiperaktivitas. Fenobarbital juga
dapat menyebabkan kemerahan kulit, dan Stevens-Johnson syndrome (10).
(3) Deoksibarbiturat
Primidon
Primidon digunakan untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik-klonik (4). Primidon
mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori (11). Efek anti kejang primidon hampir sama
dengan fenobarbital, namun kurang poten. Didalam tubuh primidon dirubah menjadi metabolit
aktif yaitu fenobarbital dan feniletilmalonamid (PEMA) (4). PEMA dapat meningkatkan aktifitas
fenobarbotal (11). Dosis primidon 100-125 mg 3 kali sehari (7). Efek samping yang sering
terjadi antara lain adalah pusing, mengantuk, kehilangan keseimbangan, perubahan perilaku,
kemerahan dikulit, dan impotensi (11).
(4) Iminostilben
(a) Karbamazepin
Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik (4). Karbamazepin
digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan tonik-klonik (11).
Karbamazepin menghambat kanal Na
+
(7), yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na
+

kedalam membran sel berkurang (11) dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh
depolarisasi terus-menerus pada neuron (4). Dosis pada anak dengan usia kurang dari 6 tahun
10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 6-12 tahun dosis awal 200 mg 2 kali sehari dan dosis
pemeliharaan 400-800 mg. Sedangkan pada anak usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400 mg 2
kali sehari (8). Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah
gangguan penglihatan (penglihatan berganda), pusing, lemah, mengantuk, mual, goyah (tidak
dapat berdiri tegak) dan Hyponatremia. Resiko terjadinya efek samping tersebut akan meningkat
seiring dengan peningkatan usia (10).
(b) Okskarbazepin
Okskarbazepin merupakan analog keto karbamazepin. Okskarbazepin merupakan prodrug yang
didalam tubuh akan segera dirubah menjadi bentuk aktifnya, yaitu suatu turunan 10-
monohidroksi dan dieliminasi melalui ekskresi ginjal (4). Okskarbazepin digunakan untuk
pengobatan kejang parsial (10). Mekanisme aksi okskarbazepin mirip dengan mekanisme kerja
karbamazepin (4). Dosis penggunaan okskarbazepin pada anak usia 4-16 tahun 8-10mg/kg 2 kali
sehari sedangkan pada dewasa, 300 mg 2 kali sehari (11). Efek samping penggunaan
okskarbazepin adalah pusing, mual, muntah, sakit kepala, diare, konstipasi, dispepsia, ketidak
seimbangan tubuh, dan kecemasan. Okskarbazepin memiliki efek samping lebih ringan
dibanding dengan fenitoin, asam valproat, dan karbamazepin (10). Okskarbazepin dapat
menginduksi enzim CYP450 (4).
(5) Suksimid
Etosuksimid
Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absens (11). Kanal kalsium merupakan target dari
beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid menghambat pada kanal Ca
2+
tipe T. Talamus berperan
dalam pembentukan ritme sentakan yang diperantarai oleh ion Ca
2+
tipe T pada kejang absens,
sehingga penghambatan pada kanal tersebut akan mengurangi sentakan pada kejang absens (4).
Dosis etosuksimid pada anak usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal dan 20 mg/kg/hari
untuk dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan usia lebih dari 6 tahun dan dewasa
500 mg/hari (11). Efek samping penggunaan etosuksimid adalah mual dan muntah, efek samping
penggunaan etosuksimid yang lain adalah ketidakseimbangan tubuh, mengantuk, gangguan
pencernaan, goyah (tidak dapat berdiri tegak), pusing dan cegukan (10).
(6) Asam valproat
Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang absens, kejang
mioklonik, dan kejang tonik-klonik (11). Asam valproat dapat meningkatkan GABA dengan
menghambat degradasi nya atau mengaktivasi sintesis GABA. Asam valproat juga berpotensi
terhadap respon GABA post sinaptik yang langsung menstabilkan membran serta mempengaruhi
kanal kalium (10). Dosis penggunaan asam valproat 10-15 mg/kg/hari (11). Efek samping yang
sering terjadi adalah gangguan pencernaan (>20%), termasuk mual, muntah, anorexia, dan
peningkatan berat badan. Efek samping lain yang mungkin ditimbulkan adalah pusing, gangguan
keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam valproat mempunyai efek gangguan kognitif
yang ringan. Efek samping yang berat dari penggunaan asam valproat adalah hepatotoksik.
Hyperammonemia (gangguan metabolisme yang ditandai dengan peningkatan kadar amonia
dalam darah) umumnya terjadi 50%, tetapi tidak sampai menyebabkan kerusakan hati (10).
Interaksi valproat dengan obat antiepilepsi lain merupakan salah satu masalah terkait
penggunaannya pada pasien epilepsi. Penggunaan fenitoin dan valproat secara bersamaan dapat
meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat memperparah efek sedasi yang dihasilkan. Valproat
sendiri juga dapat menghambat metabolisme lamotrigin, fenitoin, dan karbamazepin. Obat yang
dapat menginduksi enzim dapat meningkatkan metabolisme valproat. Hampir 1/3 pasien
mengalami efek samping obat walaupun hanya kurang dari 5% saja yang menghentikan
penggunaan obat terkait efek samping tersebut (12).
(7) Benzodiazepin
Benzodiazepin digunakan dalam terapi kejang (11). Benzodiazepin merupakan agonis GABA
A
,
sehingga aktivasi reseptor benzodiazepin akan meningkatkan frekuensi pembukaan reseptor
GABA
A
(7). Dosis benzodiazepin untuk anak usia 2-5 tahun 0,5 mg/kg, anak usia 6-11 tahun 0,3
mg/kg, anak usia 12 tahun atau lebih 0,2 mg/kg (11), dan dewasa 4-40 mg/hari (7). Efek samping
yang mungkin terjadi pada penggunaan benzodiazepin adalah cemas, kehilangan kesadaran,
pusing, depresi, mengantuk, kemerahan dikulit, konstipasi, dan mual (11).
(8) Obat antiepilepsi lain
(a) Gabapentin
Gabapentin merupakan obat pilihan kedua untuk penanganan parsial epilepsi walaupun kegunaan
utamanya adalah untuk pengobatan nyeri neuropati (12). Uji double-blind dengan kontrol
plasebo pada penderita seizure parsial yang sulit diobati menunjukkan bahwa penambahan
gabapentin pada obat antiseizure lain leibh unggul dari pada plasebo. Penurunan nilai median
seizure yang diinduksi oleh gabapentin sekitar 27% dibandingkan dengan 12% pada plasebo.
Penelitian double-blind monoterapi gabapentin (900 atau 1800 mg/hari) mengungkapkan bahwa
efikasi gabapentin mirip dengan efikasi karbamazepin (600 mg/hari) (15). Gabapentin dapat
meningkatkan pelepasan GABA nonvesikel melalui mekanisme yang belum diketahui.
Gabapentin mengikat protein pada membran korteks saluran Ca
2+
tipe L. Namun gabapentin
tidak mempengaruhi arus Ca
2+
pada saluran Ca
2+
tipe T, N, atau L. Gabapentin tidak selalu
mengurangi perangsangan potensial aksi berulang terus-menerus (4). Dosis gabapentin untuk
anak usia 3-4 tahun 40 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 5-12 tahun 25-35 mg/kg 3 kali sehari, anak
usia 12 tahun atau lebih dan dewasa 300 mg 3 kali sehari (11). Efek samping yang sering
dilaporkan adalah pusing, kelelahan, mengantuk, dan ketidakseimbangan tubuh. Perilaku yang
agresif umumnya terjadi pada anak-anak. Beberapa pasien yang menggunakan gabapentin
mengalami peningkatan berat badan (10).
(b) Lamotrigin
Lamotrigin merupakan obat antiepilepsi generasi baru dengan spektrum luas yang memiliki
efikasi pada parsial dan epilepsi umum (10). Lamotrigin tidak menginduksi atau menghambat
metabolisme obat anti epilepsi lain. Mekanisme aksi utama lamotrigin adalah blokade kanal Na,
menghambat aktivasi arus Ca
2+
serta memblok pelepasan eksitasi neurotransmiter asam amino
seperti glutamat dan aspartat. Dosis lamotrigin 25-50 mg/hari (11). Penggunaan lamotrigin
umumnya dapat ditoleransi pada pasien anak, dewasa, maupun pada pasien geriatri. Efek
samping yang sering dilaporkan adalah gangguan penglihatan (penglihatan berganda), sakit
kepala, pusing, dan goyah (tidak dapat berdiri tegak). Lamotrigin dapat menyebabkan kemerahan
kulit terutama pada penggunaan awal terapi 3-4 minggu. Stevens-Johnson syndrome juga
dilaporkan setelah menggunakan lamotrigin (10).
(c) Levetirasetam
Levetiracetam mudah larut dalam air dan merupakan derifat pyrrolidone ((S)-ethyl-2-oxo-
pyrrolidine acetamide) (31). Levetirasetam digunakan dalam terapi kejang parsial, kejang
absens, kejang mioklonik, kejang tonik-klonik (10). Mekanisme levetirasetam dalam mengobati
epilepsi belum diketahui. Namun pada suatu studi penelitian disimpulkan levetirasetam dapat
menghambat kanal Ca
2+
tipe N (11) dan mengikat protein sinaptik yang menyebabkan penurunan
eksitatori (atau meningkatkan inhibitori). Proses pengikatan levetiracetam dengan protein
sinaptik belum diketahui. Dosis levetirasetam 500-1000 mg 2 kali sehari (7). Efek samping yang
umum terjadi adalah sedasi, gangguan perilaku, dan efek pada SSP. Gangguan perilaku seperti
agitasi, dan depresi juga dilaporkan akibat penggunaan levetirasetam (10).
(d) Topiramat
Topiramat digunakan tunggal atau tambahan pada terapi kejang parsial, kejang mioklonik, dan
kejang tonik-klonik. Topiramat mengobati kejang dengan menghambat kanal sodium (Na
+
),
meningkatkan aktivitas GABA
A
, antagonis reseptor glutamat AMPA/kainate, dan menghambat
karbonat anhidrase yang lemah (11). Dosis topiramat 25-50 mg 2 kali sehari (7). Efek samping
utama yang mungkin terjadi adalah gangguan keseimbangan tubuh, sulit berkonsentrasi, sulit
mengingat, pusing, kelelahan, paresthesias (rasa tidak enak atau abnormal). Topiramat dapat
menyebabkan asidosis metabolik sehingga terjadi anorexia dan penurunan berat badan (10).
(e) Tiagabin
Tiagabin digunakan untuk terapi kejang parsial pada dewasa dan anak 16 tahun. Tiagabin
meningkatkan aktivitas GABA (11), antagonis neuron atau menghambat reuptake GABA (7).
Dosis tiagabin 4 mg 1-2 kali sehari (11). Efek samping yang sering terjadi adalah pusing,
asthenia (kekurangan atau kehilangan energi), kecemasan, tremor, diare dan depresi (17).
Penggunaan tiagabin bersamaan dengan makanan dapat mengurangi efek samping SSP (10).
(f) Felbamat
Felbamat bukan merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang, felbamat hanya digunakan bila
terapi sebelumnya tidak efektif dan pasien epilepsi berat yang mempunyai resiko anemia aplastik
(11). Mekanisme aksi felbamat menghambat kerja NMDA dan meningkatkan respon GABA (4).
Dosis felbamat untuk anak usia lebih dari 14 tahun dan dewasa 1200 mg 3-4 kali sehari (11).
Efek samping yang sering dilaporkan terkait dengan penggunaan felbamat adalah anorexia,
mual, muntah, gangguan tidur, sakit kepala dan penurunan berat badan. Anorexia dan penurunan
berat badan umumnya terjadi pada anak-anak dan pasien dengan konsumsi kalori yang rendah.
Resiko terjadinya anemia aplastik akan meningkat pada wanita yang mempunyai riwayat
penyakit cytopenia (10).
(g) Zonisamid
Zonisamid merupakan suatu turunan sulfonamid (4) yang digunakan sebagai terapi tambahan
kejang parsial pada anak lebih dari 16 tahun dan dewasa (11). Mekanisme aksi zonisamid adalah
dengan menghambat kanal kalsium (Ca
2+
) tipe T. Dosis zonisamid 100 mg 2 kali sehari (7). Efek
samping yang umum terjadi adalah mengantuk, pusing, anorexia, sakit kepala, mual, dan agitasi.
Di United Stated 26% pasien mengalami gejala batu ginjal (10).
Tabel II. Pilihan obat untuk gangguan kejang spesifik (10)
Tipe seizure Terapi pilihan
pertama
Obat alternatif
Seizure parsial Karbamazepin
Fenitoin
Lamotrigin
Asam valproat
okskarbanzepin
Gabapentin
Topiramat
Levetiracetam
Zonisamid
Tiagabin
Primidon
Fenobarbital
Felbamat
kejang
umum
absens Asam valproat
Etosuksimid
Lamotrigin
Levetiracetam
Mioklonik Asam valproat
Klonazepam
Lamotrigin,
topiramat,
felbamat,
zonisamid,
levetiracetam
Tonik-klonik Fenitoin Lamotrigin,
Karbamazepin
Asam valproat
topiramat,
primidon,
fenobarbital,
okskarbanzepin,
Levetiracetam
Daftar pustaka
1. Browne TR., Holmes GL., 2000, Epilepsy: Definitions and Background. In: Handbook of
Epilepsy, 2nd edition, Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, P., 1-18.
2. Fisher RS., Boas WE., Blume W., Elger C., Genton P., Lee P., et al., 2005, Epileptic
seizures and epilepsy: definition proposed by the International League Against Epilepsy
(ILAE) and the International Bureau for Epilepsy (IBE), Epilepsia; 46 (4): 470-2.
3. Annegers JF., 2001, The Epidemiology of Epilepsy. In: Wylie E, ed. The Treatment of
Epilepsy, 3d ed, Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 131138.
4. Goodman and Gilman, 2007, Dasar Farmakologi Terapi, vol. 1, EGC, Jakarta, 506-531.
5. Commission on Classification and Terminology of the International League Against
Epilepsy, 1981, Proposal for Revised Clinical and Electroencephalographic Classification
of Epileptic Seizures, Epilepsia, 22: 489501.
6. Commission on Classification and Terminology of the International League Against
Epilepsy, 1982, Proposal for Revised Classification of Epilepsies and Epileptic
Syndromes, Epilepsia, 30: 389399.
7. Irani, Vidia, M., 2009, Gambaran Efektivitas Antiepilepsi Pada Pasien Epilepsi Yang
Menjalani Rawat Inap Di Rsup Dr. Sardjito Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, 41-70.
8. Nordli, D.R., Pedley, De Vivo, 2006, Buku Ajar Pediatri Rudolph volume 3, EGC,
Jakarta, 1023, 1034, 2135-2138.
9. Wibowo, S., dan Gofir, A., 2006, Obat Antiepilepsi, Pustaka Cendekia Press,
Yogyakarta, 85.
10. Gidal, B.E., and Garnett, W.R., 2005, Epilepsy, in Pharmacotherapy: A Phathophisiology
Approach, Dipiro, J.T., et al (eds) McGraw Hill, New York, 1023-1048.
11. Lacy, Charles F., 2009, Drug Information Handbook, American Pharmacists
Association.
12. Dillon and Sander, 2003, Clinical Pharmacy and Therapeutics, Third edition, Churchill
livingstone, New York, 465-468, 472-477.
13. Rainer Surges, Kirill E., Volynski and Matthew C., Walker, 2008, Is Levetiracetam
Different from Other Antiepileptic Drugs? Levetiracetam and its Cellular Mechanism of
Action in Epilepsy Revisited Rainer Surges, Therapeutic Advances in Neurological
Disorders, 1(1) 13-24.
14. Weiner WJ., 1999, The Intial Treatment of Parkinsons Disease Should Begin With
Levodopa, Mov Disord, 14: 716724.
15. McNemara, J.O., 2008, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, vol 1, diterjemahkan oleh
alih bahasa sekolah farmasi ITB, EGC, Jakarta, 1517, 522, 524.
16. Harsono, 2007, Epilepsi, edisi kedua, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 7-8,
65-66, 144.
17. Mijasaki JM., Martin W., Suchowersky O., et al., 2002, Practice parameter: Initiation of
treatment for Parkinsons disease: An evidence based review, Neurology, 58; 1117.

Anda mungkin juga menyukai