Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Saliva merupakan salah satu komponen penting dalam rongga mulut. Saliva
berperan dalam melindungi jaringan di dalam rongga mulut dengan cara
pembersihan secara mekanis untuk mengurangi akumulasi plak, lubrikasi elemen
gigi-geligi, pengaruh buffer, agreasi bakteri yang dapat menghambat kolonisasi
mikroorganisme, aktivitas antibakterial, perncernaan, retensi kelembaban, dan
pembersihan makanan. Oleh karena itu, saliva sangat mempengaruhi kesehatan
rongga mulut seseorang.
1

Agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik, saliva perlu dihasilkan
dalam rongga mulut dalam jumlah yang cukup. Umumnya sekresi saliva yang
normal adalah 800-1500 ml/hari, Banyaknya saliva yang disekresikan di dalam mulut
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti rangsangan olfaktorius, melihat dan
memikirkan makanan, rangsangan mekanis, kimiawi, neuronal, rasa sakit, dan
konsumsi obat-obatan tertentu. Selain itu, keadaan stres, depresi, dan cemas juga
dapat mempengaruhi sekresi saliva.
1,2,3,4
Telah dilakukan beberapa penelitian sebelumnya yang mengkaji mengenai
saliva, stres, depresi, dan kecemasan. Seperti dalam penelitian Little Mahendra dkk,
2011, dilaporkan bahwa stres kerja dapat menjadi faktor yang memperburuk
2

penyakit periodontal. Dalam penelitian lain, Bezerra Junior dkk, 2010, menunjukkan
bahwa periodontitis kronis mempengaruhi komposisi dari saliva. Adapun penelitian
yang mengemukakan bahwa depresi dan kecemasan dapat meningkatkan angka
kematian (mortalitas) seperti penelitian yang telah dilakukan Mykletun dkk, 2007,
Schoevers, Beekman, Tilburg, 2000.
5,6,7,8
Sekolah kedokteran gigi diketahui sebagai lingkungan pembelajaran yang
meminta tuntutan yang tinggi dan penuh dengan tekanan jiwa (stresful). Kurikulum
saat ini menghendaki mahasiswa kedokteran gigi untuk mencapai bermacam-macam
kecakapan/keahlian, termasuk kemahiran dalam pengetahuan teori, kompetensi
klinik, dan keterampilan dalam berhubungan dengan orang-orang (interpersonal
skill). Telah banyak penelitian yang dilakukan di berbagai sekolah kedokteran gigi di
seluruh dunia dan kebanyakan dari penelitian ini menunjukkan peningkatan yang
signifikan dari stres di antara mahasiswa kedokteran gigi.
9,10
Dalam beberapa penelitian sebelumnya ditemukan bahwa tingkat stres pada
mahasiswa kedokteran gigi cukup tinggi. Ada pula penelitian yang menemukan
bahwa tingkat stres lebih tinggi pada mahasiswa klinik daripada mahasiswa
preklinik. Dalam penelitian Alzahem dkk, 2010, ditemukan bahwa sumber stres pada
mahasiswa kedokteran gigi berhubungan dengan ujian, kebutuhan dan syarat klinik,
dan dental supervisor. Pada penelitian Polychronopoulou dan Divaris, 2005,
mengemukakan bahwa sumber stres pada mahasiswa kedokteran gigi berasal dari
banyaknya kuliah, ujian dan peringkat, kurangnya kepercayaan diri akan menjadi
dokter gigi yang sukses, melengkapi syarat kelulusan, kurangnya waktu untuk
mengerjakan tugas sekolah, dan kurangnya waktu santai.
9,10
3

Setelah melihat fakta-fakta seperti yang telah tertulis di atas, timbul dalam
benak penulis pertanyaan-pertanyaan, antara lain benarkah stres, depresi, dan
kecemasan dapat mempengaruhi sekresi saliva dan apakah tingkat keparahan dari
ketiga hal tersebut berpengaruh terhadap volume saliva. Oleh karena itulah peneliti
kemudian tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai hal-hal tersebut. Secara
keseluruhan penelitian ini penting dan perlu dilakukan sebab dengan melakukan
penelitian ini, artinya dapat diketahui pengaruh stres, depresi, dan kecemasan dengan
volume saliva dan dengan mengetahui pengaruh stres, depresi, dan kecemasan
dengan volume saliva artinya dapat dilakukan pencegahan sebelum terjadi penyakit
yang lebih serius, baik dari segi pencegahan terhadap penyakit di dalam rongga
mulut, maupun pencegahan terhadap risiko dari faktor psikologis secara keseluruhan
seperti kesehatan fisik, mental, dsb. Berdasarkan alasan-alasan tersebut penulis
kemudian mengangkat sebuah penelitian dengan judul Pengaruh Stres, Depresi, Dan
Kecemasan Terhadap Volume Saliva Pada Mahasiswa Preklinik Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin.

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, diajukan permasalahan sebagai
berikut:
1. Apakah ada pengaruh stres terhadap volume saliva pada mahasiswa preklinik
fakultas kedokteran gigi Universitas Hasanuddin (tahun 2012)?
2. Apakah ada pengaruh depresi terhadap volume saliva pada mahasiswa
preklinik fakultas kedokteran gigi Universitas Hasanuddin (tahun 2012)?
4

3. Apakah ada pengaruh kecemasan terhadap volume saliva pada mahasiswa
preklinik fakultas kedokteran gigi Universitas Hasanuddin (tahun 2012)?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh stres, depresi, dan kecemasan terhadap
volume saliva pada mahasiswa preklinik fakultas kedokteran gigi
Universitas Hasanuddin.

1.1.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengaruh stres terhadap volume saliva pada
mahasiswa preklinik fakultas kedokteran gigi Universitas Hasanuddin.
2. Untuk mengetahui pengaruh depresi terhadap volume saliva pada
mahasiswa preklinik fakultas kedokteran gigi Universitas Hasanuddin.
3. Untuk mengetahui pengaruh kecemasan terhadap volume saliva pada
mahasiswa preklinik fakultas kedokteran gigi Universitas Hasanuddin.

1.4 MANFAAT PENELITIAN


1. Dapat menambah wawasan, pengetahuan, dan pengalaman peneliti saat
melakukan penelitian ini.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai stres,
depresi, dan kecemasan dan hubungannya dengan volume saliva pada
mahasiswa preklinik fakultas kedokteran gigi Universitas Hasanuddin.
5

3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah kepada
mahasiswa sehingga mahasiswa dapat melakukan upaya pencegahan terhadap
terjadinya penyakit yang lebih serius.
4. Penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi salah satu acuan untuk penelitian-
penelitian selanjutnya.

1.5 HIPOTESIS PENELITIAN

1. Ada pengaruh stres terhadap volume saliva pada mahasiswa preklinik fakultas
kedokteran gigi Universitas Hasanuddin.
2. Ada pengaruh depresi terhadap volume saliva pada mahasiswa preklinik
fakultas kedokteran gigi Universitas Hasanuddin.
3. Ada pengaruh kecemasan terhadap volume saliva pada mahasiswa preklinik
fakultas kedokteran gigi Universitas Hasanuddin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SALIVA

Saliva merupakan unsur pelindung di dalam rongga mulut yang bekerja dengan
cara membasahi dan melapisi permukaan gigi dan mukosa mulut, serta
mempertahankan kapasitas buffer di rongga mulut. Hal ini dipengaruhi oleh sekresi
saliva, volume saliva, dan pH saliva. Jika sekresi saliva meningkat, maka volume
saliva akan meningkat pula, disertai meningkatnya pH, sehingga fungsi perlindungan
di dalam rongga mulut pun akan meningkat.
11

Fungsi saliva di dalam rongga mulut adalah sebagai berikut:
1,2,3,12,13,14,15,16,17

1. Memberikan efek self cleansing dan sebagai lubrikasi pada permukaan
mukosa mulut.
2. Sebagai buffer yang dapat menahan turunnya pH atau meningkatnya
keasaman mulut.
3. Berfungsi dalam proses pengunyahan dan penelanan makanan.
4. Berfungsi dalam proses bicara.
5. Sebagai pelindung dalam melawan karies
6. Membantu menjaga integritas gigi (demineralisasi dan remineralisasi email)
dengan adanya kandungan kalsium dan fosfat.
7. Melakukan aktivitas anti-bakteri dan anti-virus karena mengandung
antibody spesifik (sIgA), lysozyme, lactoferrin, dan laktoperoksidase.
7

8. Membantu perbaikan jaringan.
9. Membantu proses pencernaan karbohidrat melalui aksi dari enzim amylase.
10. Melarutkan makanan untuk membantu fungsi dari taste bud (indera
pengecap).
11. Melindungi gigi dari erosi, abrasi, dan atrisi.
Saliva dihasilkan oleh kelenjar mayor dan kelenjar minor. Untuk mengetahui
lebih lanjut mengenainya dapat dilihat pada tabel II.1.
Tabel II.1 Karakteristik morfologi dan biomekanik dari kelenjar saliva

Sekresi saliva normal adalah 800-1500 ml/hari. Pada orang dewasa kecepatan
sekresi saliva normal saat stimulasi adalah 1-2 ml/menit, sedangkan pada saat tidak
terstimulasi sekitar 0,32 ml/menit. Volume saliva dipengaruhi oleh berbagai hal,
Kelenjar Saliva Acinelar cell type Karakteristik Cairan Inervasi*
Kelenjar saliva mayor
Kelenjar parotis Serous Encer, kaya amilase IX

Kelenjar submandibularis

Campur, sebagian besar
mucous
Kental, kaya mucin VII
Kelenjar sublingualis
Campur, sebagian besar
mucous
Kental, kaya mucin VII
Kelenjar saliva minor
Palatinal Mucous Kaya mucin VII
Bukal Seromucous Kaya mucin VII
Labial Seromucous Kaya mucin VII
Lingual (kelenjar von Ebner) Serous Encer, cairan kaya lipase IX
Retromolar Sebagian besar mucous Kaya mucin VII/IX
*Suplai nervus Parasympathetic. Suplai nervus sympathetic berasal dari superior cervical ganglion.
Sumber: Miles T. S, Nauntofte B, Svensson P. Clinical Oral Physiology.
Copenhagen: Quintecssence Publishing Co. Ltd; 2004. p 18.
8

salah satunya adalah umur. Perubahan umur dapat berpengaruh terhadap penurunan
produksi saliva karena terjadi penurunan fungsi glandula parenkim saliva. Beers dan
Berkow mengemukakan bahwa pada orang lanjut usia morfologi kelenjar saliva
mengalami perubahan, dengan akibat penurunan produksi saliva. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Hidayani dan Handajani, 2007, yang membandingkan efek
merokok terhadap status pH dan volume saliva pada laki-laki usia dewasa dan usia
lanjut ditemukan bahwa pada usia lanjut volume saliva yang dihasilkan lebih sedikit
dibandingkat pada usia dewasa. Hal ini diperkuat pula oleh penelitian yang dilakukan
Palomares dkk., yang menyatakan bahwa kecepatan sekresi saliva pada orang sehat
tergantung pada usia dan jenis kelamin.
2
Volume saliva dipengaruhi pula oleh hormon. Hal ini dibuktikan melalui
penelitian yang dilakukan Joenes, Fatma, Gulton, dan Djamal, 2007, yang mendapati
bahwa terjadi penurunan sekresi saliva pada wanita sesudah menopause. Dilaporkan
pula bahwa sebagian besar kelompok wanita menopause (20-90%) mengalami mulut
kering (xerostomia) yang disebabkan berkurangnya kualitas saliva akibat
menurunnya kadar estrogen dalam darah. Namun perbedaan pada kedua kelompok
pada penelitian tersebut tidak bermakna. Akan tetapi pada penelitian yang dilakukan
Streckfus dkk., ditemukan hasil yang sama dengan penelitian Joenes dkk, namun
perbedaannya bermakna.
18
Selain itu, volume saliva dipengaruhi pula oleh beberapa benda yang kita
konsumsi seperti rokok, minuman beralkohol, dan obat-obatan. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Hidayani dan Handajani, 2007, ditemukan bahwa
volume saliva pada kelompok perokok lebih rendah dibandingkan kelompok bukan
9

perokok, walau perbedaannya tidak bermakna. Berdasarkan penelitian oleh Rahayu
dan Handajani, dilaporkan bahwa konsumsi minuman beralkohol dapat menurunkan
derajat keasaman dan volume saliva. Tjay dan Rahardja juga berpendapat bahwa
alcohol diduga menyebabkan terjadinya penurunan sekresi kelenjar pencernaan
termasuk kelenjar saliva, karena efeknya menekan susunan saraf pusat baik saraf
simpatis maupun parasimpatis. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Sauer
dkk., bahwa zat yang mempunyai efek hipnotik sedative dapat mengganggu
neurotransmitter pada glandula saliva sehingga dapat memperlambat sekresi saliva
yang selanjutnya berdampak pada pH saliva. Berdasarkan penelitian oleh Handajani,
Puspita, dan Amelia, 2007, dilaporkan bahwa pemakaian kontrasepsi pil dan suntik
dapat menurunkan pH dan volume saliva. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Anggreani dkk., dikemukakan bahwa penggunaan baking soda dapat meningkatkan
volume saliva.
1,11,12
Selain semua hal yang telah disebutkan, volume saliva dipengaruhi pula oleh
stres dan kondisi psikis. Haskell dan Goyfard mengemukakan bahwa gangguan
emosional seperti stres, putus asa, dan rasa takut dapat menyebabkan mulut kering.
Rasa cemas dan depresi juga dapat menyebabkan penurunan aliran saliva dan
xerostomia. Kondisi stres akut juga menyebabkan perubahan signifikan pada saliva
seperti penurunan pada pengeluaran IgA dan peningkatan amylase pada saliva. Hal
ini disebabkan oleh keadaan emosional dari sistem saraf outonom dan menghalangi
sistem saraf simpatis dalam sekresi saliva. Yunus, 2008, juga mengemukakan bahwa
terapi radiasi penderita kanker kepala dan leher dapat menurunkan volume saliva.
10

Namun hal ini juga mungkin dapat dihubungkan dengan kondisi emosional pasien itu
sendiri.
12,15,19


2.2 STRES

Stres merupakan bagan kunci dalam suatu penelitian mengenai kesehatan. Stres
pada dasarnya dipusatkan pada dua komponen utama dari stres, yaitu stresor yang
diartikan sebagai kondisi lingkungan dan reaksi seseorang terhadap stres. Sebuah
penelitian empiris berdasarkan pada teknik model persamaan struktur menemukan
bahwa pengalaman stres paling diwakili dengan baik oleh dua faktor gagasan dari
stres. Faktor pertama adalah kondisi lingkungan dan faktor kedua adalah kombinasi
dari penaksiran stres dan respon emosional.
20

Terdapat banyak definisi mengenai stres. Stres dapat didefinisikan sebagai
suatu fenomena dari lingkungan luar rangsangan sakit, kebisingan, percekcokan
dengan orang lain dalam hal ini, stres dianggap sebagai variable independent. Stres
juga dapat dianggap sebagai respon seseorang menimbulkan perasaan simpatik,
pelepasan dari catecalamines atau cortisol, kecemasan (anxiety), amarah, terhadap
orang lain dalam hal ini stres bertindak sebagai variable dependent. Selain itu
Sandin, 1999, mengungkapkan stres juga dapat dilihat sebagai suatu interaksi
(transaksi) antara inidividu dan lingkungan sebuah proses.
21


2.2.1 Sumber Stres

Berdasarkan penelitian oleh Siegel dan Lane, 1982, mengungkapkan banyak
dari remaja bahkan tidak puas dengan penampilan fisik mereka. Wang dan Ko, 1999,
mengemukakan bahwa perempuan lebih mudah merasa kecewa daripada laki-laki,
11

sebagian besar karena mereka khawatir terhadap penampilan fisik mereka.
Berdasarkan penelitian Lan, 2003, mengungkapkan bahwa gejala fisiologis seperti
sakit kepala merupakan tanda dari mental overload (membebani mental sampai
melampaui batas). Tanda-tanda lain seperti keletihan, depresi, kecemasan (anxiety),
ketidakpuasan terhadap diri sendiri, perubahan dalam kebiasaan tidur, dan
penaikan/penurunan berat badan yang drastic. Feng, 1992, juga menjelaskan bahwa
penetapan cita-cita (hasil akhir) yang tinggi, menjadi perfeksionis, dan
membandingkan diri sendiri dengan orang lain, dan degradasi diri akan
menyebabkan terjadinya stres dan berakhirkan depresi.
22
Berdasarkan penelitian Liu dan Chen, 1997, keluarga dengan konflik yang terus
menerus dikarakteristikkan dengan komunikasi yang buruk antara orang tua dengan
anak dan kurangnya dalamnya perngertian terhadap harapan masing-masing. Orang
tua yang totaliter jarang menunjukkan perhatian mereka pada anak-anaknya. Liu dan
Chen, 1997, juga mengungkapkan bahwa kendali atau hukuman yang orang tua
bebankan hanya akan menambah stres psikologis pada anak mereka.
22
Chiang, 1995, mengemukakan bahwa sekolah adalah salah satu dari sumber
utama stres bagi remaja. Stres bisa berasal dari tugas yang terlalu banyak,
ketidakpuasan terhadap prestasi sekolah, persiapan sebelum ujian, kurangnya
ketertarikan terhadap suatu mata pelajaran tertentu, dan hukuman dari guru.
Biasanya, orang tua sangat khawatir dengan prestasi dan kelakuan moral dari anak
mereka. Liu dan Chen, 1997, mengungkapkan bahwa orang tua berharap anak
mereka tidak hanya hormat pada guru mereka dan mengikuti norma-norma moral,
tetapi juga menjadi orang-orang terkemuka di masa depan. Berdasarkan penelitian
12

Cheng, 1999, stres yang berasal dari harapan guru, orang tua, dan diri sendiri yang
tinggi biasanya menjadi penderitaan yang mendalam bagi siswa yang belajar di
sekolah.
22
Kebanyakan remaja terburu-buru dalam membangun hubungan dengan lawan
jenis. Berdasarkan penelitian Wang dan Ko, 1999, mengungkapkan bahwa
bagaimanapun juga, membangun hubungan heteroseksual merupakan tantangan dan
juga stresor bagi remaja. Selain itu faktor sosial juga berpengaruh. Berdasarkan
penelitian Feng, 1992, stres timbul bukan hanya pada lingkungan yang rumit dan
kompetitif, tetapi juga pada lingkungan yang monoton dan kurang stimuli.
22
2.2.2 Stres Pada Mahasiswa Kedokteran Gigi

Dalam beberapa penelitian sebelumnya ditemukan bahwa tingkat stres pada
mahasiswa kedokteran gigi cukup tinggi. Berdasarkan penelitian Khalid, 2000,
prevalensi stres pada dokter gigi di Malaysia sebesar 89,7%. Berdasarkan penelitian
Peker dkk, 2009, dan Polychronopoulou dan Divaris, 2010, tingkat stres yang tinggi
pada dokter gigi dimulai sejak sekolah di kedokteran gigi dan memiliki manifestasi
yang berbeda tergantung lama pembelajarannya. Berdasarkan penelitian Gotter dkk,
2008, Schmitter dkk, 2008, dan Murphy dkk, 2009, menunjukkan bahwa tingkat stres
pada mahasiswa kedokteran gigi lebih tinggi dibandingkan mahasiswa kedokteran.
Ada pula penelitian yang menemukan bahwa tingkat stres lebih tinggi pada
mahasiswa klinik daripada mahasiswa preklinik. Berdasarkan penelitian
Polychronopoulou dan Divaris, 2005, mengemukakan bahwa sumber stres pada
mahasiswa kedokteran gigi berasal dari banyaknya kuliah, ujian dan peringkat,
kurangnya kepercayaan diri akan menjadi dokter gigi yang sukses, melengkapi syarat
13

kelulusan, kurangnya waktu untuk mengerjakan tugas sekolah, dan kurangnya waktu
santai. Berdasarkan penelitian Alzahem dkk., 2010, mengungkapkan bahwa sumber
stres pada mahasisiwa kedokteran gigi berasal dari lima faktor, antara lain faktor
lingkungan hidup, faktor personal, faktor lingkungan pembelajaran, faktor akademik,
dan faktor klinik.
9,10,23


2.3 DEPRESI

Depresi merupakan masalah kesehatan jiwa yang utama dewasa ini. Depresi
adalah gangguan alam perasaan (mood) yang ditandai dengan kemurungan dan
kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga kehilangan gairah hidup; tidak
mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA, masih
baik); kepribadian tetap utuh (tidak mengalami keretakan kepribadian/splitting of
personality); perilaku dapat terganggu, tetapi dalam batas-batas normal. Depresi, jika
tidak terdiagnosis atau tidak diketahui, dapat minimbulkan kerusakan pada upaya
dalam mengontrol motor symptoms dandapat menciptakan ketegangan besar di
keluarga dan pasangan di mana ketika pasien paling membutuhkan dukungan. Selain
itu ditemukan pula bahwa depresi memiliki hubungan yang erat dengan
bertambahnya risiko kematian (mortalitas).
7,8,24,25
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Birmaher et al., 1996, prevalensi
seumur hidup dari Major Depressive Disorder (MDD) telah diestimasi antara 15-
22%, sementara angka batas prevalensi berkisar antara 0,4-8,3%. Berdasarkan data
statistik di Kanada, 2002., 6,3% dari sampel remaja dan dewasa muda (usia 14-24
tahun) memenuhi standar untuk dapat dikatakan menderita MDD (sampel berasal
14

dari Kanada). Penelitian lain yang dilakukan oleh Roberts, Andrews, Lewinsohn, dan
Hops, 1990, mengemukakan prevalensi depresi sekitari 22-33% pada remaja yang
diukur dengan menggunakan Beck Depression Inventory.
26

Cash, H., 1998, dalam penelitiannya mengemukakan bahwa 1 dari 5 orang
pernah mengalami depresi dalam kehidupannya. Selanjutnya ditemukan bahwa 5%-
15% dari pasien-pasien depresi melakukan bunuh diri setiap tahun. Katzenstein, L.,
1998, dalam survei yang dilakukan mendapatkan fakta bahwa lebih dari 70% pasien
depresi tidak terdiagnosa oleh dokter. Dimatteo, M.R., dkk, 2000, dalam
penelitiannya menemukan data bahwa depresi terjadi pada 25% pasien yang
menjalani pengobatan medis dan 50% pasien (di AS) tidak taat terhadap rekomendasi
pengobatan yang diberikan oleh dokter; hal ini membuktikan terdapatnya kumulatif
dari adanya hubungan antara ketaatan berobat dan depresi yang cukup bermakna
(signifikan).
24


2.4 KECEMASAN (ANXI ETY)


Gejala kecemasan, baik yang sifatnya akut maupun kronik (menahun)
merupakan komponen utama bagi hampir semua gangguan kejiwaan (psychiatric
disorder). Kecemasan (ansietas/anxiety) adalah gangguan alam perasaan (affective)
yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan
berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality Testing
Ability/RTA, masih baik); kepribadian masih tetap utuh (tidak mengalami keretakan
kepribadian/splitting of personality); perilaku dapat terganggu, tetapi masih dalam
batas-batas normal. tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality
15

Testing Ability/RTA, masih baik); kepribadian tetap utuh (tidak mengalami keretakan
kepribadian/splitting of personality); perilaku dapat terganggu, tetapi dalam batas-
batas normal. Menurut Spielberger, 1966, mengemukakan kecemasan (anxiety)
merupakan keadaan emosional yang terdiri atas kekhawatiran atau rasa takut,
sementara ciri dari kecemasan mengarah pada kecenderungan merasa situasi-situasi
yang ada sebagai hal yang dapat mengancam (ancaman). Secara klinis gejala
kecemasan dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu: gangguan cemas (anxiety
disorder), gangguan cemas menyeluruh (generalized anxiety disorder/GAD),
gangguan panic (panic disorder), gangguan fobia (phobic disorder), dan gangguan
obsesif-kompulsif (obsessive-compulsive disorder).
24,27
Berdasarkan penelitian Kashani dan Orvaschel, 1988, gangguan cemas (anxiety
disorder) merupakan penyakit yang paling umum ditemui di Amerika Serikat
(United States) dan merupakan tipe dari gangguan mental (mental disorder) yang
paling sering ditemukan pada remaja. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Costello, Mustillo, Erkanli, Keeler, dan Angold, 2003, gangguan kecemasan
merupakan gangguan psikologis yang paling umum dialami oleh anak-anak usia
sekolah dan remaja di seluruh dunia. Prevalensi dari anxiety disorder pada sampel
dari komunitas remaja sangat berbeda-berbeda. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Costello dan Angold, 1995; Essau, Conradt dan Petermann, 2000; Kashani
dan Orvascal, 1988; Lewinsohn et al., 1993; Verhulst, van der Ende, Ferninand dan
Kasius, 1997; Woodward dan Fergusson, 2001; anxiety disorder diperkirakan terjadi
sebesar 5,7% - 28,8% dari komunitas remaja, tergantung pada seluk beluk dari
metode, standar/kriteria diagnostik, dan detail-detail dari penelitian. Sedangkan
16

berdasarkan penelitian oleh Bernsrein dan Borchardt, 1991; Boyd, Konstanski,
Gullone, Ollendick, dan Shek, 2000, prevalensi dari gangguan kecemasan pada anak-
anak dan remaja berkisar anatara 4,0%-25,0%, dengan nilai rata-rata 8,0%. Namun
berdasarkan penelitian Tomb dan Hunter, 2004, penaksiran ini mungkin saja
mengalami kekeliruan (terlalu rendah) karena ada banyak kejadian gangguan
kecemasan pada anak-anak dan remaja yang tidak terdiagnosa karena gejalanya
tampak alami.
26,28

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Essau, Conradt, dan Petermann, 2000,
kecemasan (anxiety) berhubungan erat dengan efek-efek negatif yang ada pada
hubungan sosial, emosional, dan prestasi akademik anak-anak. Efek spesifik yang
ada, menurut Albano, Chorpita, dan Barlow, 2003; Weeks, Coplan, dan Kingsbury,
2009, termasuk hubungan sosial dan kemampuan menanggulangi yang buruk dan
berdasarkan Bokhorst, Goossens, dan De Ruyter, 2001; Weeks et al., 2009, berupa
rasa kesepian, rendahnya penghargaan diri, persepsi tentang penolakan sosial, dan
kesulitan dalam pergaulan. Yang tak kalah penting, beradasarkan penelitian oleh
Donovan dan Spence, 2000; McLoone, Hudson, dan Rapee, 2006; Rapee, Kennedy,
Ingram, Edwards, and Sweeney, 2005, terjadi pula penghindaran terhadap sekolah,
penurunan dalam kemampuan pemecahan masalah (problem-solving), dan penurunan
dalam prestasi akademik. Menurut Good dan Kleinman, 1985; Guamaccia, 1997,
kecemasan (anxiety) dipertimbangkan sebagai fenomena universal yang ada tanpa
melihat kultur (kebudayaan), walaupun konteks dan manifestasinya dipengaruhi oleh
kepercayaan kebudayaan dan penerapannya.
28
17

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ogliari, Citterio, Zanomi, Fagnani,
Patriarca, Cirrincione, Stazi, dan Battaglia, 2006, faktor genetik memberikan
kontribusi terhadap etiologi gangguan kecemasan (anxiety disorder). Diketahui pula
dalam penelitian yang dilakukan Feigon, Waldman, Levy, dan Hay, 2001, faktor
lingkungan seperti keluarga, kesehatan lingkungan, dan parental psikopatologi juga
berpengaruh terhadap timbulnya kecemasan (anxiety). Hampir sama, penelitian oleh
Chorpita dan Barlow, 1998, mengemukakan bahwa perkembangan daya dalam
pengurangan penguasaan lingkungan dapat memperbesar perkembangan gangguan
kecemasan pada anak-anak. Barlow, 2002, mengemukakan bahwa bentuk dari
kecemasan berhubungan dengan rendahnya kemampuan mengontrol kejadian-
kejadian atau situasi yang menyebabkan perasaan takut dan khawatir. Barlow
percaya bahwa kecemasan berhubungan dengan kejadian-kejadian dan perasaan yang
tidak apat dikontrol, menyebabkan kecemasan sebagai masalah individual yang
mengalami gangguan kecemasan (anxiety disorder).
29


BAB III
RERANGKA KONSEP













Keterangan:
: Variabel yang diteliti.
: Variabel yang tidak diteliti.
Aliran Saliva

Faktor-faktor risiko:
- Rangsangan mekanis
- Rangsangan kimiawi
- Rasa sakit
- Diet
- Obat-obatan
- Usia
- Konsentrasi ion Hidrogen
Stres

Depresi

Kecemasan

Xerostomia

Penurunan volume (jumlah)
saliva



BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 JENIS PENELITIAN


Jenis penelitian yang digunakan adalah Observasional Analitik.


4.2 DESAIN PENELITIAN


Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross-sectional study.


4.3 LOKASI PENELITIAN


Penelitian dilakukan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Hasanuddin, Makassar.


4.4 WAKTU PENELITIAN


Penelitian ini dilakukan pada tanggal 21 Mei 5 Juli 2012.


4.5 POPULASI PENELITIAN


Semua mahasiswa preklinik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin,

Makassar, pada tahun 2012 (berjumlah 327 orang).




20

4.6 KRITERIA SAMPEL


1. Kriteria Inklusi :
a) Mahasiswa preklinik FKG Unhas yang tidak merokok.
b) Mahasiswa preklinik FKG Unhas yang tidak mengkonsumsi alkohol
dan obat-obatan yang mempengaruhi volume saliva.
c) Mahasiswa preklinik FKG Unhas yang tidak menggunakan protesa dan
alat ortodontik.
2. Kriteria Eksklusi :
a) Mahasiswa preklinik FKG Unhas yang tidak bersedia berpartisipasi

dalam penelitian.



4.7 JUMLAH SAMPEL


Menurut pendapat Gay dan Diehl, jumlah sampel ideal untuk populasi yang
lebih besar dari 100 dan kurang dari 1000 adalah 30% dari jumlah populasi.
Pada penelitian ini, jumlah populasi adalah sebesar 327, sehingga jumlah
sampel ideal yang digunakan adalah 98 orang. Untuk mengantisipasi terjadinya
drop out, maka ditambah 10% dari jumlah sampel sehingga jumlah sampel
menjadi 107 orang.


4.8 METODE PENGAMBILAN SAMPEL

Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode proportional
random sampling. Pada penelitian ini, seluruh populasi sejumlah 327 orang
21

terdiri dari tiga tingkatan, yaitu angkatan 2009, 2010, dan 2011. Setelah itu dari
setiap tingkatan diambil sampel sebanyak 30% dari total jumlah populasi di
setiap angkatan dengan cara diacak dengan menggunakan cara pengundian
untuk mendapatkan 107 nama, yang selanjutnya ditetapkan sebagai sampel.
Jumlah sampel minimal dari tiap angkatan yaitu dari angkatan 2011 sebanyak
32 orang, angkatan 2010 sebanyak 36 orang, angkatan 2009 sebanyak 30
orang.

4.9 ALAT DAN BAHAN YANG DIGUNAKAN:

Kuesioner, alat tulis-menulis termasuk buku catatan dan pulpen, stopwatch,
dan gelas ukur.


4.10 PENENTUAN VARIABEL PENELITIAN

1. Variabel Bebas: Stres, depresi, dan kecemasan.
2. Variabel Tergantung: Volume saliva.

4.11 DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL


1. Stres adalah suatu fenomena dari lingkungan luar yang dapat berupa
rangsangan sakit, kebisingan, percekcokan terhadap orang lain, amarah, dsb
yang diukur melalui kuesioner.
22

2. Depresi adalah gangguan alam perasaan (mood) yang ditandai dengan
kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan yang diukur
dengan kuesioner.
3. Kecemasan adalah gangguan alam perasaan (affective) yang ditandai
dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan
berkelanjutan yang diukur lewat kuesioner.
4. Volume saliva adalah jumlah saliva yang diukur dalam satuan milliliter
(ml) dengan menggunakan gelas ukur.

4.12 PROSEDUR PENELITIAN


1. Sebelum penelitian dilaksanakan, survei awal dilakukan untuk mengetahui
dan mendata jumlah mahasiswa preklinik Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Hasanuddin.
2. Peneliti menghitung sampel menurut Gay dan Diehl, sehingga diperoleh
jumlah sampel sebesar 107 orang. Sampel kemudian dipilih dengan teknik
proportional random sampling.
3. Setelah sampel penelitian ditentukan dan didapatkan, penelitian dinyatakan
dimulai. Peneliti mengubungi setiap sampel, mendatanginya, kemudian
memberikan informed consent untuk ditandatangani oleh sampel sebagai
tanda persetujuannya mengikuti penelitian. Setelah itu, peneliti kemudian
membagikan kuesioner untuk diisi oleh sampel dan dilanjutkan dengan
pengukuran volume saliva pada sampel.
23

4. Apabila jumlah sampel minimal tereksklusi dan tidak mencukupi, maka
sampel dipilih kembali secara acak dari populasi dan dengan kriteria seleksi
sampel sesuai dengan jumlah sampel minimal yang terekslusi.
5. Penelitian dinyatakan berakhir bila seluruh sampel telah mengisi kuesioner
yang dibagikan dan diukur volume salivanya.
6. Kuesioner dan volume saliva kemudian akan dikumpulkan, dinilai, dan
dilakukan pengolahan data, sehingga diperoleh hasil penelitian.

4.13 ALUR PENELITIAN
















Penelitian
berakhir ketika
seluruh sampel
yang telah
ditentukan telah
menjawab
kuesioner yang
dibagikan dan
diukur volume
salivanya.
Seluruh sampel
yang telah
ditentukan akan
dihubungi
didatangi,
diberi informed
consent, dibagi
kuesioner, lalu
diukur volume
salivanya.
Survey awal
penelitian: sampel
ditentukan
berdasarkan
jumlah, teknik
sampling, dan
kriteria seleksi
sampel.
Analisis Data
24

4.14 KRITERIA PENILAIAN

1. Kuesioner pada penelitian ini menggunakan Depression Anxiety and Stres
Scale (DASS).
28

2. Kuesioner Depression Anxiety and Stres Scale (DASS) terdiri dari 42
pertanyaan yang terdiri dari tiga skala yang didesain untuk mengukur tiga
jenis keadaan emosional, yaitu depresi, kecemasan, dan stres pada
seseorang. Setiap skala terdiri dari 14 pertanyaan. Skala untuk depresi
dinilai dari nomor 3, 5, 10, 13, 16, 17, 21, 24, 26, 31, 34, 37, 38, 42. Skala
untuk kecemasan dinilai dari nomor 2, 4, 7, 9, 15, 19, 20, 23, 25, 28, 30, 36,
40, 41. Skala untuk stres dinilai dari nomor 1, 6, 8, 11, 12, 14, 18, 22, 27,
29, 32, 33, 35, 39. Subjek menjawab setiap pertanyaan yang ada. Setiap
pertanyaan dinilai dengan skor antara 0-3. Setelah menjawab seluruh
pertanyaan, skor dari setiap skala dipisahkan satu sama lain kemudian
diakumulasikan sehingga mendapat total skor untuk tiga skala, yaitu
depresi, kecemasan, dan stres.
29

3. Interpretasi skor DASS adalah sebagai berikut:
Depresi Kecemasan Stres
Normal 0-9 0-7 0-14
Ringan 10-13 8-9 15-18
Sedang 14-20 10-14 19-25
Parah 21-27 15-19 26-33
Sangat Parah 28+ 20+ 34+

25

4. Volume saliva diukur menggunakan stopwatch dan gelas ukur.
Pengambilan saliva (metode tanpa stimulasi) dilakukan antara jam 12.00-
15.00 WITA karena pada posisi dan waktu ini aliran saliva mencapai level
tertingginya. Sebelumnya subjek diminta untuk berpuasa minimal 60 menit
sebelum pengambilan sampel. Subjek berkumur sekitar 1 menit untuk
menghilangkan sisa-sisa makanan. Pengambilan saliva dilakukan pada
posisi berdiri. Awalnya subjek diminta untuk menelan saliva kemudian
diminta mengumpulkan saliva dalam mulut dengan cara menelan saliva
agar tidak tertelan. Setelah 5 menit saliva ditampung dalam gelas plastik,
lalu diukur volumenya. Saliva yang dikumpul diukur dalam satuan
milliliter.
2,11



4.15 DATA PENELITIAN


1. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer di mana
diperoleh langsung oleh peneliti melalui pengisian kuesioner.
2. Pengolahan data akan dilakukan dengan Program SPSS 16 untuk Windows.
3. Uji hipotesis yang digunakan untuk hasil akhir penarikan kesimpulan
adalah regresi linear untuk melihat pengaruh antara empat variabel.
Variabel-variabel yang akan diregresikan adalah stres, depresi, kecemasan,
dan volume saliva. Penyajian data disajikan lewat tabel.
BAB V
HASIL PENELITIAN
Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh depresi, kecemasan, dan stres
dengan volume saliva pada mahasiswa preklinik fakultas kedokteran gigi. Penelitian ini
mengambil tempat di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin (FKG-UH) dan
dilakukan pada tanggal 21 Mei-5 Juli 2012. Sampel mencangkup tiga angkatan pada
FKG-UH, yaitu angkatan 2009, 2010, dan 2011. Penelitian ini proportional random
sampling dengan mengambil sampel yang memenuhi kriteria seleksi sampel, baik
inklusi maupun eksklusi yang telah ditentukan sebelumnya. Adapun, jumlah sampel
menggunakan ketentuan Gay dan Diehl, yaitu 30% dari jumlah populasi dan
dijumlahkan 10% untuk estimasi drop-out, sehingga diperoleh jumlah sampel 107. Pada
penelitian ini, delapan sampel drop-out, sehingga jumlah sampel seluruhnya adalah 99
orang.
Depresi, kecemasan, dan stres diukur dengan menggunakan kuesioner DASS
(Depression Anxiety and Stres Scale). Adapun, volume saliva diukur langsung dengan
menggunakan gelas ukur. Melalui kuesioner DASS, nilai depresi, kecemasan, dan stres
yang menunjukkan tingkat keparahan masing-masing diperoleh. Kuesioner ini telah diuji
reabilitas dan validitasnya sebelumnya. Selanjutnya, depresi, kecemasan, dan stres akan
27

dihubungkan masing-masing dengan jumlah volume saliva. Hasil penelitian akan
diolah menggunakan program SPSS 16.0 dan ditampilkan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel V.1. Distribusi karakteristik sampel penelitian (N=99)
Karakteristik sampel penelitian Frekuensi (n) Persen (%) Mean SD
Jenis kelamin
Laki-laki 23 23.2
Perempuan 76 76.8
Usia (tahun) 19.80 1.00
Angkatan
2009 30 30.3
2010 32 32.3
2011 37 37.4
Depresi 6.16 4.10
Kecemasan 9.56 4.55
Stres 13.41 5.17
Volume saliva 2.34 1.14

Tabel V.1 menunjukkan distribusi karakteristik sampel penelitian yang
berjumlah 99 orang secara keseluruhan. Berdasarkan jenis kelamin, terlihat sebanyak 23
laki-laki (23.2%) dan 76 perempuan (76.8%), dengan rata-rata usia secara keseluruhan
adalah 19 tahun 8 bulan. Sampel penelitian terbagi atas tiga angkatan, yaitu 30 orang
mahasiswa dari angkatan 2009, 32 orang mahasiswa dari angkatan 2010, dan 37 orang
mahasiswa dari angkatan 2011. Pada tabel ini, juga diperlihatkan nilai depresi,
kecemasan, stres yang diperoleh melalui akumulasi dari jawaban kuesioner DASS.
Secara keseluruhan, nilai rata-rata depresi adalah 6.16, diikuti dengan rata-rata nilai
kecemasan adalah 9.56 dan nilai rata-rata stres adalah 13.41. Berdasarkan nilai rata-rata
tersebut dapat disimpulkan bahwa depresi, kecemasan, dan stres pada mahasiswa tidak
dialami sama sekali atau dialami, namun hanya pada kadar atau waktu tertentu. Tabel ini
28

juga memperlihatkan hasil pengukuran volume saliva melalui gelas ukur yang diukur
langsung pada masing-masing sampel. Hasilnya diperoleh rata-rata volume saliva
sampel penelitian adalah 2.34 ml.
Tabel V.2. Distribusi depresi, kecemasan, dan stres berdasarkan jenis kelamin
Derajat keparahan depresi,
kecemasan, dan stres
Jenis Kelamin
Total
Laki-laki Perempuan
Depresi
Normal 19 (82.6%) 62 (81.6%) 81 (100%)
Ringan 2 (8.7%) 11 (14.5%) 13 (100%)
Sedang 1 (4.3%) 3 (3.9%) 4 (100%)
Parah 1 (4.3%) 0 (0%) 1 (!))%)
Sangat parah 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%)
Kecemasan
Normal 6 (26.1%) 25 (32.9%) 31 (100%)
Ringan 9 (39.1%) 15 (19.7%) 24 (100%)
Sedang 6 (26.1%) 27 (35.5%) 33 (100%)
Parah 1 (4.3%) 6 (7.9%) 7 (100%)
Sangat parah 1 (4.3%) 3 (3.9%) 4 (100%)
Stres
Normal 14 (60.9%) 42 (55.3%) 56 (100%)
Ringan 2 (8.7%) 25 (32.9%) 27 (100%)
Sedang 7 (30.4%) 8 (10.5%) 15 (100%)
Parah 0 (0%) 1 (1.3%) 1 (100%)
Sangat parah 0 (0%) 0 (0%) 0 (100%)
Total 23 (100%) 76 (100%) 99 (100%)

Tabel V.2 memperlihatkan distribusi depresi, kecemasan, dan stres berdasarkan jenis
kelamin. Derajat keparahan depresi, kecemasan, dan stres ini merupakan konversi nilai
dari kuesioner DASS sesuai dengan referensi acuan. Pada tabel ini, terlihat bahwa tidak
ada seorang pun yang memiliki tingkat depresi dan stres yang sangat parah, akan tetapi
terdapat satu laki-laki (4.3%) dan tiga perempuan (3.9%) yang memiliki tingkat
kecemasan yang sangat parah. Adapun, sebanyak 62 perempuan (81.6%) dan 19 laki-
laki (82.6%) memiliki tingkat depresi yang normal dan pada tingkat inilah distribusi
29

sampel terbanyak. Pada derajat kecemasan, sampel terbanyak pada tingkat kecemasan
sedang dan ringan, yaitu sebanyak 27 perempuan (35.5%) memiliki tingkat kecemasan
sedang dan sebanyak 9 laki-laki (39.1%) memiliki tingkat kecemasan ringan. Adapun,
pada derajat keparahan stres, sampel paling banyak memiliki tingkat stres yang normal,
baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Tabel V.3. Distribusi depresi, kecemasan, dan stres berdasarkan angkatan
Derajat keparahan depresi,
kecemasan, dan stres
Angkatan
Total
2009 2010 2011
Depresi
Normal 24 (80.0%) 28 (87.5%) 29 (78.4%) 81 (100%)
Ringan 5 (16.7%) 3 (9.4%) 5 (13.5%) 13 (100%)
Sedang 1 (3.3%) 0 (0%) 3 (8.1%) 4 (100%)
Parah 0 (0%) 1 (3.1%) 0 (0%) 1 (100%)
Sangat parah 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%)
Kecemasan
Normal 11 (36.7%) 10 (31.2%) 10 (27.0%) 31 (100%)
Ringan 6 (20.0%) 9 (28.1%) 9 (24.3%) 24 (100%)
Sedang 13 (43.3%) 9 (28.1%) 11 (29.7%) 33 (100%)
Parah 0 (0%) 1 (3.1%) 6 (16.2%) 7 (100%)
Sangat parah 0 (0%) 3 (9.4%) 1 (2.7%) 4 (100%)
Stres
Normal 16 (53.3%) 16 (50.0%) 24 (64.9%) 56 (100%)
Ringan 8 (26.7%) 12 (37.5%) 7 (18.9%) 27 (100%)
Sedang 6 (20.0%) 4 (12.5%) 5 (13.5%) 15 (100%)
Parah 0 (0%) 0 (0%) 1 (2.7%) 1 (100%)
Sangat parah 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (100%)
Total 30 (100%) 32 (100%) 37 (100%) 99 (100%)

Tabel V.3 memperlihatkan distribusi depresi, kecemasan, dan stres berdasarkan
angkatan. Terlihat tidak ada angkatan yang memiliki derajat keparahan depresi dan stres
hingga sangat parah. Adapun, mahasiswa angkatan 2009 dan 2011 memiliki sampel
terbanyak dengan derajat keparahan depresi yang normal, kecemasan yang sedang, dan
stres yang normal. Sebanyak 24 orang mahasiswa angkatan 2009 memiliki derajat
30

depresi yang normal diikuti dengan 13 orang mahasiswa yang memiliki kecemasan
sedang, dan 16 orang mahasiswa yang memiliki stres normal. Pada mahasiswa angkatan
2011, sebanyak 29 orang mahasiswa memiliki derajat depresi normal, 11 orang
mahasiswa dengan kecemasan sedang dan 24 orang mahasiswa dengan stres normal.
Pada mahasiswa angkatan 2010, derajat keparahan depresi, kecemasan, dan stres
terbanyak adalah normal, yaitu 28 orang mahasiswa untuk depresi, 10 orang mahasiswa
untuk kecemasan, dan 16 orang mahasiswa untuk stres.
Tabel V.4. Distribusi rata-rata nilai depresi, kecemasan, stres, dan volume saliva
Jenis Kelamin
Depresi Kecemasan Stres Volume Saliva
Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD
Jenis Kelamin
Laki-laki 6.70 5.14 9.30 4.89 13.26 6.58 2.439 1.08
Perempuan 6.00 3.75 9.63 4.47 13.46 4.71 2.305 1.16
Angkatan
2009 5.93 3.80 8.30 3.28 13.83 5.09 2.167 0.98
2010 5.88 3.89 9.69 5.43 13.00 5.19 2.484 0.85
2011 6.59 4.56 10.46 4.47 13.43 5.31 2.346 1.44
Total 6.16 4.10 9.56 4.54 13.41 5.17 2.37 1.14

Tabel V.4 memperlihatkan distribusi rata-rata nilai depresi, kecemasan, stres dan
volume saliva. Nilai rata-rata depresi laki-laki (6.70) lebih tinggi dari perempuan (6.00),
namun, nilai rata-rata kecemasan dan stres pada perempuan (secara berturut-turut 9.63
dan 13.46) lebih tinggi daripada laki-laki (9.30 dan 13.26) dengan volume saliva paling
sedikit. Berdasarkan jenis kelamin juga dapat dilihat bahwa nilai rata-rata depresi untuk
laki-laki (6.70) tergolong normal, nilai rata-rata kecemasan (9.30) tergolong ringan, dan
nilai rata-rata stres (13.26) tergolong normal. Demikian pula untuk perempuan, nilai
rata-rata depresi (6.00) tergolong normal, nilai rata-rata kecemasan (9.63) tergolong
ringan, dan nilai rata-rata stres (13.46) tergolong normal. Berdasarkan angkatan,
31

mahasiswa angkatan 2009 memiliki nilai rata-rata untuk depresi, kecemasan, dan stres
secara berturut-turut adalah 5.93 (normal), 8.30 (ringan), dan 13.83 (normal). Untuk
mahasiswa angkatan 2010, nilai rata-rata untuk depresi, kecemasan, dan stres secara
berturut-turut adalah 5.88 (normal), 9.69 (normal), dan 13.00 (normal). Untuk
mahasiswa angkatan 2011, nilai rata-rata untuk depresi, kecemasan, dan stres secara
berturut-turut adalah 6.59 (normal), 10.46 (ringan) dan 13.43 (normal). Secara
keseluruhan, mahasiswa angkatan 2011 memiliki rata-rata nilai depresi dan kecemasan
yang paling tinggi, sedangkan mahasiswa angkatan 2009 yang memiliki rata-rata nilai
stres yang paling tinggi (13.83) dan memiliki volume saliva paling sedikit (2.167).
Tabel V.5. Hubungan depresi, kecemasan, dan stres dengan volume saliva
Variabel n Mean SD
Volume Saliva
Mean SD p-value Koefisien korelasi (r)
Depresi 6.16 4.10 2.37 1.14 0.001* -0.343
Normal 81 2.48 1.09
Ringan 13 1.71 1.27
Sedang 4 1.78 0.82
Parah 1 0.80
Sangat Parah 0 0
Kecemasan 9.56 4.54 2.37 1.14 0.000* -0.374
Normal 31 2.90 1.10
Ringan 24 2.38 1.07
Sedang 33 1.98 0.91
Parah 7 1.94 1.71
Sangat Parah 4 1.30 0.34
Stres 13.41 5.17 2.37 1.14 0.000* -0.403
Normal 56 2.68 1.07
Ringan 27 1.93 1.01
Sedang 15 1.58 0.69
Parah 1 5.50
Sangat Parah 0 0
*Pearsons Correlation test: p<0.05; significant
32

Tabel V.5 memperlihatkan hubungan antara depresi, kecemasan, dan stres
dengan volume saliva. Pada tabel ini, terlihat rata-rata volume saliva untuk masing-
masing derajat keparahan. Terlihat bahwa semakin tinggi tingkat keparahan depresi
kecemasan dan stres akan menyebabkan semakin menurunnya volume saliva. Hal ini
didukung dengan hasil uji statistik korelasi Pearson, yang mendapatkan nilai p-value
untuk depresi, kecemasan, stess, secara berturut-turut adalah 0.001, 0.000, dan 0.000.
Seluruh nilai p-value kurang dari 0.05 (p<0.05), artinya terdapat hubungan yang
signifikan antara depresi, kecemasan, dan stres dengan volume saliva. Tabel ini juga
menunjukkan nilai koefisien korelasi untuk depresi sebesar -0.343, artinya semakin
tinggi tingkat keparahan depresi akan diikuti dengan penurunan volume saliva sebesar
34.3%. Adapun, nilai koefisien korelasi kecemasan sebesar -0.374, artinya semakin
cemas seseorang, maka akan diikuti dengan penurunan volume saliva sebesar 37.4%,
sedangkan nilai koefisien korelasi untuk stres adalah -0.403 yang berarti semakin tinggi
tingkat stres seseorang akan diikuti dengan penurunan volume saliva sebesar 40.3%.

Tabel V.6 Pengaruh depresi, kecemasan, dan stres terhadap volume saliva
Variabel
Volume Saliva
Unstandarized
Coefficients
Standarized
Coefficients p-value
Std Error Beta
Depresi -0.020 0.036 -0.073 0.050*
Kecemasan -0.052 0.028 -0.210 0.012*
Stres -0.061 0.025 -0.279 0.006*
Constant 3.628 0.305 0.000
Adjusted R
2
: 0.168
*Regression linear test: p<0.05; significant

33

Pada tabel V.6 terlihat pengaruh depresi, kecemasan, dan stress terhadap volume
saliva. Tabel ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan variable depresi, kecemasan,
dan stress memiliki pengaruh yang signifikan terhadap volume saliva. Terlihat pula
bahwa nilai depresi -0.020 yang artinya setiap peningkatan nilai depresi akan
menurunkan 0.02 kali volume saliva. Pada kecemasan diperoleh nilai -0.052 yang berarti
setiap peningkatan nilai kecemasan akan menurunkan 0.052 kali volume saliva.
Sedangkan pada stres diperoleh nilai -0.061 yang artinya setiap peningkatan nilai stres
akan menurunkan 0.061 kali volume saliva.













34





35

Anda mungkin juga menyukai