Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I
PENDAHULUAN

Sinusitis adalah peradangan pada satu atau lebih mukosa sinus paranasal.
1

Penyakit sinusitis selalu dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks ostiomeatal
(KOM) oleh infeksi, obstruksi mekanis atau alergi, dan oleh karena penyebaran infeksi
gigi.
2

Secara anatomis apeks gigi-gigi rahang atas (kecuali insisivus) sangat dekat
dengan dasar sinus, terutama sinus maksilaris. Gigi yang berlubang (karies) atau adanya
abses/infeksi di sekitar gigi harus diobati, sebab masalah gigi di rahang atas itu dapat
menjalar sampai ke sinus.
3

Mukosa sinus terdiri atas epitel toraks berlapis semu bersilia dan diantaranya ada
sel-sel goblet serta kelenjar submukosa yang menghasilkan suatu selaput lendir yang
bersifat melindungi. selaput lendir mukosa ini akan menjerat bakteri dan bahan berbahaya
yang dibawa oleh silia, kemudian mengeluarkannya melalui ostium ke dalam hidung
untuk dibuang.
4

Sejak ditemukannya kompleks osteomeatal sebagai faktor yang sangat berperan
dalam patofisiologi sinusitis kronis, diperlukan tomografi komputer yang dapat
memberikan gambaran yang sangat baik dari sinus paranasal dan kompleks osteomeatal.
Pada tomografi komputer dapat dilihat lokasi sumbatan aliran sekret, perluasan penyakit,
berbagai kelainan anatomi, adanya massa dan cairan dalam sinus. Semuanya ini sangat
membantu operator dalam mengarahkan tindakan operasi sesuai dengan kelainan yang
ditemukan, sehingga tidak merusak jaringan yang sehat.
5

Pada potongan koronal sinus paranasal, gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu
rongga di antara konka media dan lamina papirasea. KOM dibatasi oleh bula etmoid,
prosesus unsinatus, dan konka media. Isi KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum,
sel ager nasi, resesus frontal, dan bula etmoid.
2,3

2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi
karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus
paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan
sinus sfenoid kanan dan kiri (Mehra dan Murad, 2004). Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua
sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung (Soetjipto dan
Mangunkusomo,2007). Semua sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan bersilia yang
mengalami modifikasi dan mampu menghasilkan mukus serta sekret yang disalurkan ke
dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus terutamanya berisi udara (Hilger,1997).
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada muara-muara
saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan
sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid
yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel
etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila (Drake,1997).
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus frontal dan
sinus sfenoid. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus
frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih
delapan tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari
bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar
maksimal pada usia antara 15-18 tahun (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007; Lee,2008).



3

2.1.1. Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila disebut
juga antrum Highmore (Tucker dan Schow, 2008). Saat lahir, sinus maksila bervolume 6-
8 ml. Sinus ini kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa (Mehra dan Murad, 2004). Sinus maksila berbentuk
piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa
canina, dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya
adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita, dan
dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada
di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui
infundibulum etmoid ( Tucker dan Schow, 2008)
Menurut Soetjipto dan Mangunkusomo (2007) dari segi klinik yang perlu
diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:
a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan kadang-kadang juga gigi taring
dan gigi M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus
sehingga infeksi gigi rahang atas mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase
hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior
dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi
drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.
4


Dikutip dari: Paranasal Sinuses: Atlas of Human Anatomy (Netter, F.H., 2006)
Gambar 1 : Anatomi Sinus Maksila


2.1.2. Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke-empat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah
lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran
maksimal sebelum usia 20 tahun (Ramalinggam,1990).
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada
lainya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang
dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih lima persen sinus
frontalnya tidak berkembang (Lee, 2008).
Ukuran sinus frontal adalah mempunyai tinggi 2.8 cm , lebarnya 2.4 cm dan
dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk
5

(Netter, 2006; Soetjipto dan Mangunkusomo,2007). Tidak adanya gambaran septum-
septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi
sinus (Rachman,2005).
Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri
anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar kedaerah ini (Lund, 1997;
Soetjipto dan Mangunkusomo,2007). Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang
terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid (Lee, 2008).

2.1.3. Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling penting karena dapat
merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus
etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke
posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cm dan lebarnya 0.5cm di bagian anterior dan 1.5 cm di
bagian posterior (Netter, 2006; Mangunkusomo, 2007).
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon,
yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka
media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya,
sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara ke meatus media dan
sinus etmoid posterior bermuara di meatus superior. Sel-sel etmoid anterior biasanya
kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian
posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus
etmoid posterior biasanya lebih besar dan sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari
lamina basalis (Hilger, 1997; Ballenger, 2009).
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus
frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula
etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum,
tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus
6

frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat
menyebabkan sinusitis maksila (Mehra dan Murad, 2004).
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi
sinus etmoid dari rongga orbita (Soetjipto dan Mangunkusomo,2007 ; Ballenger, 2009).
Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid
(Hilger,1997).

2.1.4. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus
sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septumintersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm
tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml.
Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan
menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus (Hilger, 1997; Netter, 2006).
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa superior serebri media dan
kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan
sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan disebelah posteriornya berbatasan dengan
fosa serebri posterior di daerah pons (Ramalinggam, 1990).

2.2. Fisiologi Sinus Paranasal
Menurut Drake (1997) dan Soetjipto dan Mangunkusomo (2007) sampai saat ini
belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang
berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena
terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.

7

Menurut Lund (1997) beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal
antara lain adalah:
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban
udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000
volume sinus pada tipa kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk
pertukaran udara total dalam sinus.
b. Sebagai penahan suhu (thermal insulator)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa
serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya sinus-
sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka, akan tetapi
bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat
sebesar satu persen dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.
d. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi
kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif. Lagi pula tidak ada
korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
e. Sebagai perendam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan besar dan mendadak, misalnya pada
waktu bersin atau membuang ingus.


8

f. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan
dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang
turut masuk dengan udara inspirasi kerana mukus ini keluar dari meatus media, tempat
yang paling strategis.
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan
palut lendir di atasnya (Hilger,1997). Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk
mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu
polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran transport mukosiliar dari sinus.
Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid
dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari
kelompok sinus posterior bergabung dengan resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke
nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret
pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung
(Ramalinggam, 1990; Adam, 1997).

2.3. Definisi Sinusitis
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau
dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis (Kumar dan Clark, 2005). Lapisan
mukosa dari sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Hidung dan sinus
paranasal merupakan bagian dari sistem pernapasan. Penyakit yang menyerang bronkus dan
paru-paru juga dapat menyerang hidung dan sinus paranasal. Oleh karena itu, dalam
kaitannya dengan proses infeksi, seluruh saluran nafas dengan perluasan-perluasan anatomik
harus dianggap sebagai satu kesatuan (Hueston,2002).
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua
sinus paranasal disebut pansinusitis.


9

2.4. Klasifikasi Sinusitis
Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut dengan batas
sampai delapan minggu dan kronik jika lebih dari delapan minggu (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007).
Konsensus tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan batas sampai empat
minggu, subakut antara empat minggu sampai tiga bulan dan kronik jika lebih dari tiga bulan
atau berdasarkan jenis atau tipe inflamasinya yaitu infectious atau non-infectious
(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007; Sobol, 2011).
Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut dan kronis
(Hilger, 1997). Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi kepada sinusitis tipe
rinogen dan sinusitis tipe dentogen. Sinusitis tipe rinogen terjadi disebabkan kelainan atau
masalah di hidung dimana segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat
menyebabkan sinusitis. Sinusitis tipe dentogen pula terjadi disebabkan kelainan gigi serta
yang sering menyebabkan sinusitis adalah infeksi pada gigi geraham atas yaitu gigi pre molar
dan molar (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

2.4.1. Definisi Sinusitis Tipe Dentogen
Sinusitis tipe dentogen didefinisikan sebagai peradangan mukosa hidung dan satu atau
lebih mukosa sinus paranasal yang disebabkan oleh penyebaran infeksi gigi. Sinus maksila
disebut juga antrum Highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi
mudah menyebar ke sinus, disebut sinusitis dentogen
Hubungan anatomi antara gigi dan antrum Highmore:
a. Sinus maksilaris dewasa merupakan suatu rongga berisi udara yang dibatasi oleh bagian
alveolar sinus maksilaris, lantai orbital, dinding lateral hidung dan dinding lateral os
maksila.
b. Pada sesetengah individu, pneumatisasi dan perluasan dapat terjadi sedemikian rupa
sehingga hanya sinus mukoperiosteum (membran Schneidarian) yang tersisa.
10

c. Bisa juga terjadi ekspansi terus sehingga hanya meninggalkan tulang alveolar antara
sinus dan rongga mulut.
d. Otot levator labial dan orbicularis oculi di dinding lateral dari maksila dapat langsung
menyebabkan penyebaran infeksi. Dinding lateral ini lemah dan mudah ditembus dari
lantai sinus. Akibatnya, infeksi odontogenik umumnya terjadi bersamaan dengan infeksi
jaringan lunak vestibular/fasia.


2.4.2. Insidens dan Epidemiologi
Menurut Wald (1990) di Amerika menjumpai insiden pada orang dewasa antara 10-15%
dari seluruh kasus sinusitis yang berasal dari infeksi gigi. Ramalinggam (1990) di Madras,
India mendapatkan bahwa rinosinusitis maksila tipe dentogen sebanyak sepuluh persen kasus
yang disebabkan oleh abses gigi dan abses apikal.
Menurut Becker et al. (1994) dari Bonn, Jerman menyatakan sepuluh persen infeksi pada
sinus paranasal disebabkan oleh penyakit pada akar gigi. Granuloma dental, khususnya pada
premolar kedua dan molar pertama sebagai penyebab rinosinusitis maksila dentogen. Hilger
(1994) dari Minnesota, Amerika Serikat menyatakan terdapat sepuluh persen kasus
rinosinusitis maksila yang terjadi setelah gangguan pada gigi.
Menurut Farhat (2004) di Medan mendapatkan insiden rinosinusitis dentogen di
Departemen THT-KL/RSUP Haji Adam Malik sebesar 13.67% dan yang terbanyak
disebabkan oleh abses apikal (71.43%).

2.4.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi
Etiologi sinusitis tipe dentogen ini adalah :
a. Penjalanan infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses apikal gigi dari gigi kaninus
sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering terjadi pada kasus-kasus akar
11

gigi yang hanya terpisah dari sinus oleh tulang yang tipis, walaupun kadang-kadang ada
juga infeksi mengenai sinus yang dipisahkan oleh tulang yang tebal (Ross, 1999).
b. Prosedur ekstraksi gigi. Pencabutan gigi ini dapat menyebabkan terbukanya dasar sinus
sehingga lebih mudah bagi penjalanan infeksi (Saragih, 2007).
c. Penjalaran penyakit periodontal yaitu dijumpai adanya penjalaran infeksi dari membran
periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar,
2009).
d. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan sinus maksila
(Ross, 1999).
e. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan tambahan akibat
pengisian saluran akar yang berlebihan (Saragih, 2007).
f. Osteomielitis pada maksila yang akut dan kronis (Mangunkusomo; Rifki, 2001).
g. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista radikuler dan
folikuler (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).
h. Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat menyebabkan
obstruksi ostium yang memicu sinusitis (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

2.4.4. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteo-meatal. Sinus dilapisi oleh sel
epitel respiratorius. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh bakteri maka
bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zat- zat yang berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Cairan mukus
secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan (Ramalinggam,
1990; Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu
apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan
terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel
mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik (Kieff dan Busaba, 2004).
12

Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus
(Hilger,1997).
Terjadinya sinusitis dentogen dapat terjadi melalui dua cara, yaitu infeksi gigi yang
kronis dapat menimbulkan jaringan granulasi di salam mukosa sinus maksila, penyebaran
secara langsung, hematogen atau limfogen dari granuloma apikal atau kantong periodontal
gigi ke sinus maksila.
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi bakteri
(anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan lunak gigi dan
sekitarnya rusak (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009). Pulpa terbuka maka kuman akan
masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa.
Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi
akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas
dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk
dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi
ostium sinus serta abnormalitas sekresimukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus
sehingga terjadinya sinusitis maksila (Drake, 1997).
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga
faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu
dari faktor ini akan merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis

2.4.5. Gejala Klinis
Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise, dan nyeri kepala yang tidak
jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasanya seperti aspirin. Wajah terasa
bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik
dan turun tangga (Tucker dan Schow, 2008). Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul
dan menusuk, serta nyeri di tempat lain karena nyeri alih (referred pain). Sekret mukopurulen
dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non-produktif juga
seringkali ada (Sobol,2011).
13

Sinusitis maksilaris dari tipe odontogen harus dapat dibedakan dengan rinogen karena
terapi dan prognosa keduanya sangat berlainan. Pada sinusitis maksilaris tipe odontogenik ini
hanya terjadi pada satu sisi serta pengeluaran pus yang berbau busuk. Di samping itu, adanya
kelainan apikal atau periodontal mempredisposisi kepada sinusitis tipe dentogen. Gejala
sinusitis dentogen menjadi lebih lambat dari sinusitis tipe rinogen (Mansjoer,2001).

2.4.6. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan dengan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada
daerah sinus yang terkena (Saragih, 2007). Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan
posterior, nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini
(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Rinoskopi anterior memberi gambaran anatomi dan
mukosa yang edema, eritema, dan sekret yang mukopurulen. Lokasi sekret dapat menentukan
sinus mana yang terkena. Rinoskopi posterior dapat melihat koana dengan baik, mukosa
hipertrofi atau hiperplasia (Mansjoer, 2001).
Pemeriksaan penunjang lain adalah transiluminasi. Hanya sinus frontal dan maksila yang
dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap (Ross,
1999). Dengan nasal endoskopi dapat diketahui sinus mana yang terkena dan dapat melihat
adanya faktor etiologi lokal. Tanda khas ialah adanya pus di meatus media pada sinusitis
maksila, etmoidalis anterior dan frontal atau pus di meatus superior pada sinusitis etmoidalis
posterior dan sfenoidalis (Mehra dan Murad, 2004; Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Selain itu, nasal endoskopi dilakukan untuk menegakkan diagnosis sinusitis akut dimana pus
mengalir ke bawah konka media dan akan jatuh ke posterior membentuk post nasal drip
(Ross, 1999).
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau CT-scan. Foto polos
posisi Waters, posteroanterior, dan lateral umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-
sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan yang akan terlihat adalah
perselubungan, batas udara-cairan (air-fluid level) pada sinusitis maksila atau penebalan
mukosa (Mehra dan Murad, 2004). CT-scan sinus merupakan gold standard karena mampu
14

menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara
keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagaipenunjang
diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai
panduan operator saat melakukan operasi sinus (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari
meatus media atau superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila
diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Kebanyakan sinusitis disebabkan infeksi oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae, Moraxella catarrhalis. Gambaran bakteriologik dari sinusitis yang berasal dari
gigi geligi didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga menyebabkan pus berbau busuk
dan akibatnya timbul bau busuk dari hidung (Ross, 1999).
Di samping itu, sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus
maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskopi dapat dilihat kondisi sinus maksila
yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007).

2.4.7. Diagnosis Banding
Kelainan pada sinus maksilaris lainnya yang berkaitan dengan penyakit odontogenik:
a. Kista yang terbentuk dari mukosa sinus termasuk pseudokista, mukokel, dan yang paling
sering yaitu kista retensi.
b. Hanya pseudokista yang berhubungan dengan penyakit periapikal/periodontal yang
disebabkan pengobatan gigi yang bisa mencapai resolusi pseudokista.
c. Tumor-tumor jinak atau lesi seperti tumor dapat menyebabkan penyimpangan, ekspansi,
atau erosi dinding sinus. Ini termasuk ameloblastoma, odontoma, cementoma, fibromas
ossifying, tumor epitelial odontogenik, tumor skuamosa odontogenik, dan tumor
adenomatoid.
d. Tumor ganas termasuk keganasan gingiva, kistik adenoid dan sarkoma.

15

2.4.8. Terapi
Prinsip terapi :
a. Atasi masalah gigi
b. Konservatif dilakukan dengan memberikan obat-obatan atau irigasi
c. Operatif
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk
menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus
(Tucker dan Schow, 2008). Antibiotik pilihan berupa golongan penisilin seperti Amoksisilin.
Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat
diberikan Amoksisilin-Klavulanat atau jenis Cephalosporin generasi ketiga (Chambers dan
Deck, 2009).
Terapi lain dapat diberikan jika diperlukan seperti mukolitik, analgetik, steroid oral dan
topikal, pencucian rongga hidung dengan natrium klorida atau pemanasan. Selain itu, dapat
dilakukan irigasi sinus maksilaris atau koreksi gangguan gigi (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007). Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) adalah operasi npada hidung dan
sinus yang menggunakan endoskopi dengan tujuan menormalkan kembali ventilasi sinus dan
klirens mukosiliar (Longhini; Bransletter; Ferguson, 2010). Prinsip BSEF ialah membuka
dan membersihkan kompleks osteomeatal sehingga drainase dan ventilasi sinus lancar secara
alami.
Selain itu, operasi Caldwell Luc dapat juga dilakukan untuk memulihkan sumbatan sinus
atau infeksi sinus maksila. Tindakan ini dilakukan dengan mengadakan suatu rute untuk
mengkoneksi sinus maksila dengan hidung sehingga memulihkan drainase (Cho dan Hwang,
2008).



16

2.4.9. Komplikasi
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat infeksi
di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan
pada sinusitis rekuren, kronis atau berkomplikasi.
Komplikasi Orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering.
Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi dari ethmoidalis akut, namun sinus
frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi
orbita.
Terdapat lima tahapan :
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus
ethmoidalis di dekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina
papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis seringkali merekah pada
kelompok umur ini.
b. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita
namun pus belum terbentuk.
c. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita
menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap ini
disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius.
Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva
merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
e. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena
ke dalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.

Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus, kista ini
paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan
biasanya tidak berbahaya.
17

Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel meskipun
lebih akut dan lebih berat.
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa
yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.

Komplikasi Intra Kranial
a. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat yang mana infeksi dari
sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang
berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina
kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
b. Abses dural, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, seringkali
mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya mengeluh
nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intrakranial.
c. Abses subdural, adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau permukaan
otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
d. Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat
terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.
Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara
bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi

2.4.10. Prognosis
Prognosis sinusitis tipe dentogen sangat tergantung kepada tindakan pengobatan yang
dilakukan dan komplikasi penyakitnya. Jika, drainase sinus membaik dengan terapi antibiotik
atau terapi operatif maka pasien mempunyai prognosis yang baik (Mehra dan Murad, 2004).



18

BAB III
PENUTUP


3.1. KESIMPULAN
Sinusitis dentogen adalah peradangan mukosa hidung dan satu atau lebih mukosa sinus
paranasal yang disebabkan oleh penyebaran infeksi gigi. 10% kasus sinusitis dengan sumber
odontogenik adalah disebabkan oleh rahang atas.
1,2
Meskipun sinusitis dentogen adalah kondisi
yang relatif umum, patogenesisnya masih belum jelas serta masih kurangnya konsensus
mengenai gejala klinis, pengobatan, dan pencegahan. Terjadinya sinusitis dentogen dapat terjadi
melalui dua cara, yaitu infeksi gigi yang kronis dapat menimbulkan jaringan granulasi di salam
mukosa sinus maksila, penyebaran secara langsung, hematogen atau limfogen dari granuloma
apikal atau kantong periodontal gigi ke sinus maksila.
Diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan rinoskopi anterior dan
rinoskopi posterior, nasoendoskopi, disertai pemeriksaan penunjang berupa transluminasi, foto
rontgen, CT-Scan dan MRI.
Bila sinusitis disebabkan faktor gigi biasanya pasien mengeluhkan hidung berbau.
Penatalaksanaannya adalah mengatasi masalah gigi, konservatif, diberikan obat-obatan;
antibiotika, dekongestan, antihistamin, kortikosteroid dan irigasi sinus serta operatif. Beberapa
macam tindakan bedah sinus yaitu antrostomi meatus inferior, Caldwell-Luc, etmoidektomi intra
dan ekstra nasal, trepanasi sinus frontal dan bedah sinus endoskopik fungsional.





19


DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjipto Damayanti, Endang Mangunkusumo. Sinus Paranasal. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok, Kepala Leher. Edisi VI. Jakarta, Balai Penerbit
FKUI, 2008; 145-53.
2. Mulyarjo, Soejak S. Sinusitis. Naskah Lengkap Perkembangan Terkini Diagnosis dan
Penatalaksanaan S. Sinusitis. Surabaya, 2006; 1-63
3. Bashiruddin J, Soetjipto D, Rifki N. Abses orbita sebagai komplikasi sinusitis maksila
dan etmoid akibat infeksi gigi. Kumpulan Naskah Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhati.
4. Mangunkusumo E. Sinusitis. Kumpulan Naskah Simposium Sinusitis. Jakarta, 2009; 1-6
5. Kennnedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ. Diseases Of The Sinuses Diagnosis And
Management. Decker ; 2001.
6. Jhosephsori G, Roy S. Review Article: Pediatric Sinusitis diagnosis and management.
Pediatrics 2009; 15-21
7. Wald ER, Rhinitis and acute and chronic sinusitis. Pediatric Otolaryngology 2nd edition.
Philadelphia, WB Saunders; 729-44
8. Refni M. Peran tomografi komputer dalam deteksi kelainan dan sebagai persiapan pra-
operasi BSEF pada penderita sinusitis kronis. Kursus dan Pelatihan BSEF, Malang.
9. Ramalinggam KK. Anatomy and physiology of nose and paranasal sinuses. A Short
Practice of Otolaryngology. All India Publishers; 214-31
10. Netters Atlas of Human Anatomy
11. Handoko, S. Iwan. 2003, Sinusitis, http://www.klinikku.com/pustaka/medis/tht/
sinusitis.html
12. Supartono, Gilbert, 2006, Sinusitis, http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/14
TrappedGaspadaPenerbangan024.pdf/14TrappedGaspadaPenerbangan024.html

Anda mungkin juga menyukai