Anda di halaman 1dari 15

Samara

27 J Kedokter Trisakti, Januari-April 2001-Vol.20, No.1


Penatalaksanaan hipertensi sekunder akibat
perbedaan kelainan anatomi renovaskuler pada usia
muda dan tua
Diana Samara
*)
*)
Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
ABSTRACT
Essential hypertension is high blood pressure which etiology is unknown. Whereas renal hypertension is
caused by disease of kidney and comprises 5-10% of all hypertension cases. Several studies indicate that in
elderly, the cause of renovascular hypertension is atherosclerosis, and in children and woman, fibromuscular
dysplasia. Renal hypertension can be caused by disorder of renovascular (for example, disease of renal caused
by renal artery oclusion), disease of renal parenchym, or it can be caused by both of them. This paper is focused
only on renovascular hypertension.Clinical manifestation of renovascular hypertension is not clear and it is
difficult to be treated with common drugs. Abdominal bruit at epigastrium or upper abdominal quadrant, is
important sign. Renal arteriografy is an accurate method to diagnose renovascular hypertension. Medical
therapy with antihypertension drugs can control hypertension, but not effective for the progression of lesion.
General conservative medical management is not the first choice, for better results angioplasty or operation
should be considered. (J Kedokter Trisakti 2001;20(1):27-41)
Key words: Essential hypertension, renovascular, elderly, children
ABSTRAK
Hipertensi pada kebanyakan penderita, tidak diketahui penyebabnya; keadaan ini disebut hipertensi
esensial. J enis lain adalah hipertensi karena penyakit ginjal, yaitu sebesar 5-10% dan disebut hipertensi
renalis.Hipertensi renalis dapat disebabkan oleh gangguan vaskular (misal penyakit arteri renalis oleh karena
oklusi arteri renalis), penyakit parenkim ginjal, atau merupakan kombinasi dari keduanya. Terdapat berbagai
penyebab hipertensi renovaskular, tetapi 9095% oleh dua lesi utama : aterosklerosis dan displasia
fibromuskular. Aterosklerosis sering ditemukan sebagai penyebab hipertensi renovaskular pada usia tua,
sedangkan displasia fibromuskular sering ditemukan pada anak-anak dan wanita usia subur. Manisfestasi klinis
hipertensi renovaskular adalah terjadinya peningkatan tekanan darah diastolik yang sulit dikoreksi dengan terapi
antihipertensi umumnya. Bruit abdominal yang terdapat pada epigastrium atau kuadran atas merupakan
gambaran diagnostik yang penting. Untuk menegakkan diagnosis perlu dilakukan renal arteriografi yang sampai
saat ini masih merupakan metode diagnostik yang paling akurat. Terapi medis dengan obat-obat antihipertensi
dapat mengontrol hipertensi tetapi tidak berefek terhadap progresifitas kelainan tersebut. Oleh karena itu
pendekatan konservatif dengan terapi medis bukan merupakan pilihan utama; setiap kasus harus dicari
penyebabnya untuk dilakukan tindakan angioplasti atau operasi.
Kata kunci : Hipertensi esensial, renovaskuler, usia muda dan tua
PENDAHULUAN
Tekanan darah yang meningkat terutama
tekanan diastolik, sering menyebabkan ke-
lainan yang serius dan kematian. Institut
J antung, Paru dan Darah Amerika pada tahun
1981 melaporkan bahwa satu dari enam orang
Amerika, atau 35.000.000 orang menderita
tekanan darah tinggi. Dari mereka yang
menderita ini, 18.000.000 sadar akan
penyakitnya; 12.000.000 mendapat peng-
obatan, tetapi hanya 5.000.000 yang mendapat
terapi secara adekuat. Kematian akibat infark
myocard dan stroke akan berkurang 20% jika
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
Samara
28 J Kedokter Trisakti, Januari-April 2001-Vol.20, No.1
hipertensi dapat dikenal sejak awal dan
mendapat pengobatan yang tepat.
(1)
Hipertensi yang tidak tertangani dengan
baik, secara bermakna akan mengurangi
harapan hidup karena terjadi kerusakan pada
jantung, otak, dan ginjal. Pria dengan tekanan
darah 150/100 mmHg memiliki resiko
kematian dua sampai tiga kali lebih besar
daripada mereka dengan tekanan darah 110/70
mmHg. Bahkan peningkatan tekanan darah di
atas 82 mmHg mempunyai korelasi dengan
peningkatan mortalitas, terutama wanita
kelompok umur 1540 tahun. Kontrol optimal
tekanan darah sering sulit. Bermacam-macam
pengobatan mungkin diperlukan, dan masalah
efek samping obat serta kesadaran pasien
membuat sulitnya pemberian terapi yang baik.
Prinsip terapi adalah mengurangi penderitaan
pasien, probabilitas untuk sembuh pada pasien
yang dikoreksi dengan operasi besarnya
sekitar 5 15% dari populasi penderita
hipertensi.
(1)
Pada kebanyakan pasien yang tidak di-
ketahui penyebabnya, keadaan ini disebut
hipertensi esensial. Penyakit ginjal ditemukan
sebagai penyebab hipertensi sebanyak 5-15%,
yang disebut hipertensi renalis. Hipertensi
renalis dapat terjadi karena gangguan pada
vaskular (misal oleh karena oklusi arteri
renalis); dapat berkaitan dengan penyakit
parenkim ginjal; atau dapat juga merupakan
kombinasi dari keduanya
(5)
. Hipertensi
renovaskular merupakan 1-4 % dari seluruh
penderita hipertensi.
(7)
Pada banyak kasus
hipertensi bersifat reversibel jika dapat
ditegakkan diagnosis penyakitnya dan terapi
yang tepat.
(14)
Lebih dari itu, pembedahan revas-
kularisasi dari iskemi ginjal sekarang sudah
dapat dilakukan. Dengan tindakan pembedahan
ini banyak pasien yang dapat dikurangi
hipertensinya.
(5)
DEFINISI HIPERTENSI RENO-
VASKULER
Hipertensi renovaskular dapat dide-
finisikan sebagai peningkatan tekanan diastolik
dan sistolik disertai dengan oklusi arteri
renalis. Keadaan ini pasti mengakibatkan
pengurangan aliran darah total renalis, yang
menyebabkan aparatus jukstaglomerularis
mensekresikan renin.
(4)
Dari sekitar 1 4% hipertensi disebabkan
oleh hipertensi renovaskular, maka sebanyak
5% merupakan hipertensi yang terjadi pada
anak-anak. Perkembangan lambat stenosis
arteri renalis menimbulkan kolateral dan dapat
menyebabkan peningkatan berlebihan renin
yang semakin menyokong timbulnya
hipertensi renovaskular. Obstruksi arteri
renalis yang akut biasanya menyebabkan
infark sebagian atau penuh dan atrofi, tanpa
adanya hipersekresi renin. Yang termasuk
faktor resiko hipertensi renovaskular adalah
(i) tekanan darah diastolik yang lebih dari 95
mm Hg pada pasien yang sudah tidak dapat
diatasi lagi dengan tiga jenis obat hipertensi;
(ii) hipertensi akselerasi; (iii) kehilangan tiba-
tiba dari kontrol hipertensi sebelumnya; (iv)
fungsi renal yang rusak akibat terapi dengan
kaptopril; (v) atau bruit abdominal.
(7)
ANATOMI PEMBULUH DARAH GINJAL
Kejadian yang paling serius pada operasi
ginjal adalah hemoragi, terutama hemoragi
yang berasal vena cava inferior, arteri renalis
aberans, aorta abdominalis, atau akibat dari
pengkleman arteri renalis utama. Memahami
hubungan pembuluh darah ginjal merupakan
faktor yang penting pada tindakan operasi.
(7)
1. Pasokan arteri
Arteri renalis merupakan cabang langsung
dari permukaan lateral aorta untuk masing-
masing ginjal. Arteri renalis dipercabangkan
sedikit di bawah arteri mesenterika superior,
setinggi bagian atas vertebra lumbal kedua.
(10)
Arteri renalis kanan sedikit lebih lebar dari
kiri, berjalan posterior dari vena cava
inferior.
(13)
Arteri renalis kanan terletak di
belakang vena renalis kanan dan sedikit lebih
atas. Anterior arteri dan vena renalis kanan
berlekatan dengan duodenum dan kaput
pankreas. Arteri renalis kiri biasanya terletak
di belakang dan sedikit atas dari vena renalis
kiri dan berada di belakang tepat di bawah dari
korpus pankreas dan vena lienalis yang
berjalan sepanjang permukaan posterior
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
Samara
29 J Kedokter Trisakti, Januari-April 2001-Vol.20, No.1
pankreas. Sedangkan vena mesenterika inferior
berjalan naik melintasi anterior dari vena dan
arteri renalis.
(10)
Secara normal arteri renalis
memberikan cabang arteri suprarenalis inferior
dan cabang-cabang kecil ke kapsul ginjal dan
jaringan di sekitarnya.
(13)
Arteri renalis
mempunyai cabang anterior dan posterior.
Cabang posterior mensuplai segmen media
dari permukaan posterior. Cabang anterior
mensuplai baik bagian atas maupun bagian
bawah permukaan anterior. Arteri renalis
seluruhnya merupakan end arteri.
(15)
Di hilus renis masing-masing arteri
renalis bercabang menjadi arteri segmentalis
35 cabang, yang kemudian di dalam sinus
bercabang menjadi 610 cabang arteri lobaris,
masing-masing untuk pyramid dan korteks.
Arteri lobaris kemudian bercabang menjadi
arteri interlobaris yang masuk ke dalam ginjal
di sekitar papila, dan berada pada bagian
bawah dari calix minor. Arteri interlobaris ini
saling beranastomosis satu dengan yang
lainnya
(10,13)
Arteri interlobaris kemudian
bercabang menjadi arteri arkuata yang berjalan
pararel pada permukaan ginjal di antara
piramid dan puncak kortex. Arteri ini tidak
saling beranastomis, namun memberikan
cabang arteri interlobularis ke arah permukaan
ginjal. Korteks mendapat darah dari arteri
interlobularis yang merupakan cabang dari
arteri arkuata.
(12,13)
Arteriol afferent berasal
dari arteri interlobularis menuju glomerulus.
Dari glomerulus arteriol efferent berjalan
mengitari tubulus, atau membentuk arteriol
lurus yang berjalan ke medulla.
(12)
Di ginjal terdapat daerah avaskular yang
disebut avascular line, yaitu daerah perbatasan
yang terletak sedikit dorsal dari pinggir atas
lateral ginjal.
(10)
2. Aliran vena
Drainase vena mengikuti jalannya arteri.
Kapiler kortikal mendrainase ke vena
interlobularis, yang juga menerima darah vena
dari medulla. Vena interlobularis mendrainase
ke vena arkuata, yang kemudian me-
ngosongkan diri ke vena interlobaris. Di dalam
sinus ginjal, vena interlobaris bersatu ke dalam
vena lobaris, kemudian ke dalam vena
segmentalis atau vena stelata pada permukaan
dalam dari kapsula renalis dan berjalan melalui
jaringan ginjal ke hilus, yang akhirnya ke
dalam vena renalis yang terdapat di hilus.
(12,13)
Masing-masing vena renalis biasanya
mengalirkan darah langsung ke vena cava
inferior. Oleh karena ginjal kiri letaknya lebih
ke garis medial kanan, maka vena renalis kiri
lebih panjang dari kanan. Vena renalis kiri
berjalan di sebelah anterior dari aorta, tepat
kaudal dari tepi arteri mesenterika superior.
(13)
3. Sirkulasi ginjal
Seperlima darah dari ventrikel kiri
menuju ke ginjal pada saat tubuh sedang
istirahat. Suplai darah ini tidak hanya
dibutuhkan untuk memproduksi urin; tetapi
juga diperlukan untuk kehidupan sel-sel
nefron. Tekanan darah sistemik yang
mendadak turun seperti hemoragi masif dapat
menyebabkan kematian sel nefron yang luas
sehingga mengakibatkan gangguan fungsi
ginjal, bila pasien tidak segera ditangani.
(13)
ETIOLOGI
Terdapat berbagai penyebab hipertensi
renovaskular, tetapi 90 95% akibat dua
kelainan utama: aterosklerosis dan displasia
fibromuskular.
(3)
(lihat tabel 1) Sebanyak 80%
penyebab kelainan di arteri renalis disebabkan
oleh aterosklerosis, yang disertai dengan
hipertensi. Ini merupakan penyakit utama yang
terjadi pada pria berumur antara 55 75
tahun.
(1)
Kelainannya terutama terdapat pada
ostium dan sepertiga proksimal dari arteri
renalis utama. Sisi sebelah kiri lebih sering
terjadi daripada sebelah kanan dan kurang
lebih sepertiga pasien memiliki kelainan
bilateral dengan satu sisi umumnya memiliki
stenosis lebih berat daripada sisi lainnya.
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
Samara
30 J Kedokter Trisakti, Januari-April 2001-Vol.20, No.1
Tabel 1 Klasifikasi etiologi hipertensi renovaskular
(3)
Tipe kelainan yang mendasari Etiologi
Umum (90-95%) Aterosklerosis
Penyakit fibromuskular
Displasia fibromuskular pada tunika
media, fibroplasia subadventitialis,
fibroplasia intima
Tidak umum (5-10%)
Kelainan intrinsik Aneurisma, fistula arteriovena,
arteritis, embolus, hipoplasia arteriol,
neurofibromatosis
Kelainanan ekstrinsik Neoplasma, trauma kongenital, inflamasi
retroperitoneal, koarktasio thorasika dan
abdominal
Perinefropati Hemoragi subkapsular atau retro-
peritoneal, kista perirenal, abses,
neoplasia, dan fibrosis
Penyakit parenkim ginjal unilateral
Kelainan massa Tumor sel jukstaglomerularis, tumor
Wilms, karsinoma sel ginjal, kista
jinak
Inflamasi Pielonefritis, nefritis radiasi,
tuberkulosis
Anomali kongenital Hipoplasia, displasia, hipoplasia
segmental (lesi Ask-Upmark),
hidronefrosis
Trauma Infark
Sedangkan 18% penyebab kelainan di
arteri renalis disebabkan oleh fibrodisplasia;
sedangkan menurut Franklin
(1)
terdapat
sebanyak 35%. Ini merupakan penyakit utama
pada orang muda, yang kebanyakan etiologi-
nya terdapat pada anak-anak dan wanita muda
masa subur. Displasia fibromuskular
mempunyai berbagai bentuk, yang paling
umum adalah displasia fibromuskular tunika
medialis. Arteri renalis kanan paling sering
terjadi yaitu sebanyak 85%. Ginjal kanan
merupakan ginjal yang paling mobile dan
terjadi ketegangan selama masa kehamilan.
Aneurisma sering disertai dengan fibro-
displasia medialis, yang merupakan akibat
sekunder dari proses ini. Faktor predisposisi
pada wanita kemungkinan disebabkan oleh
ketegangan yang berkelanjutan dari arteri
renalis akibat kehamilan, dan atau mungkin
juga disertai dengan estrogen yang diketahui
menyebabkan degenerasi tunika medialis dari
dinding pembuluh darah. Kondisi ini disertai
juga dengan trombosis, yang disebabkan oleh
oklusi vasa vasorum.
(1)
Etiologi displasia fibromuskular pada
anak-anak masih belum jelas. Kelainan umum-
nya berupa hiperplasia tunika intima dan
displasia tunika media. Kelainan displasia
fibromuskular tunika media dapat menye-
babkan dilatasi, secara langsung. Kerusakan
tunika intima dan tunika media arteri renalis
tidak dapat berdilatasi.
(1)
Selain kedua penyebab utama tersebut di
atas, terdapat juga beberapa penyebab lain dari
stenosis arteri renalis unilateral atau bilateral
pada arteri utama ataupun pada cabang arteri
renalis
(7)
: (i) arteritis; (ii) poliarteritis nodusa;
(iii) diseksi aorta; (iv) neurofibromatosis; (v)
akibat trauma; (vi) katerisasi arteri umbilikalis;
(vii) kompresi ekstrinsik arteri renalis atau
cabangnya; (viii) infark renalis baik secara
total maupun parsial (ix) aneurisma arteri
renalis; (x) tumor pada aparatus
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
Samara
31 J Kedokter Trisakti, Januari-April 2001-Vol.20, No.1
jukstaglomerularis; (xi) hidronefrosis; (xii) kelainan abnormal ginjal lainnya.
PATOFISIOLOGI
Hipertensi renovaskular dibagi menjadi
dua model utama berdasarkan Goldblatt
hypertension
(3)
: 1). model two-kidney, one-
clip (2K-1C) dimana satu arteri renalis
konstriksi dan ginjal kontralateralnya utuh, dan
2). model one-kidney, one clip (1K-1C)
dimana satu arteri renalis konstriksi dan ginjal
kontralateral diangkat.
Kedua model Goldblatt hypertension
berkembang melalui fase akut, fase transisi,
dan fase kronik. Pada fase akut, induksi iskemi
pada kedua model baik pada 2K-1C maupun
1K-1C mengakibatkan peningkatan tekanan
darah yang cepat, disertai aktivitas sistem
renin-angiotensin. Hal ini dapat ditunjukkan
dengan adanya ketergantungan renin sehingga
pemberian segera antagonis angiotensin II atau
penghambat enzim angiotensin-konverting
akan menormalkan tekanan darah. Lebih dari
itu, pengangkatan klip arteri renalis atau
nefrektomi unilateral dari stenosis ginjal
mengakibatkan pemulihan cepat tekanan darah
menjadi normal.
Fase transisi berakhir selama dua hari atau
beberapa minggu, ini bergantung pada model
eksperimen dan spesies. Pada model 2K-1C,
ginjal iskemi meretensi natrium dan air, yang
akan meningkatkan volume dan menekan
natriuresis pada ginjal kontralateral. Ginjal
kontralateral ini memperlihatkan buntunya
natriuresis, kerusakan autoregulasi aliran darah
ginjal dan kecepatan filtrasi glomerulus.
Fungsi-fungsi abnormal ini untuk
merefleksikan perfusi ginjal kontralateral
dengan peningkatan angiotensin II yang
dilepaskan dari ginjal iskemi ipsilatera.
(3)
Fase kronik hipertensi renovaskular
ditandai dengan retensi garam dan air dan
peningkatan volume yang menekan sekresi
renin. Pada model 1K-1C, fase menahun
sangat cepat terjadi, biasanya dalam jangka
waktu 3-5 hari pada anjing dan beberapa
minggu pada tikus. Namun bila model 1K-1C
ini diterapi dengan preparat diuretik untuk
mengkoreksi keseimbangan positif sodium,
akan terlihat peningkatan nilai renin;
peningkatan tekanan darah yang menetap,
tetapi sekarang menjadi sensitif terhadap
penghambat sistem renin-angiotensin.
Sebaliknya, model 2K-1C menekan natriuresis
dari ginjal kontralateral sebagai kompensasi
terhadap penurunan ekskresi sodium pada
ginjal iskemi ipsilateral. Lebih dari satu
periode, ginjal kontralateral mengakibatkan
kerusakan pembuluh darah yang meng-
akibatkan tekanan darah meningkat, yang
kemudian menyebabkan penurunan fungsi
ekskretoris dan peningkatan volume.
Meskipun derajat sirkulasi renin-angiotensin II
umumnya normal pada fase menahun, namun
studi menunjukkan adanya peningkatan sistem
renin-angiotensin jaringan vaskular yang ikut
memberi perubahan vaskular pada model 2K-
1C tikus; namun demikian, penurunan secara
bermakna tekanan darah dapat dicapai dengan
pemberian inhibitor enzim konverting atau
antagonis angiotensin II. Perlu juga
dipertimbangkan bahwa peningkatan sistem
saraf simpatis baik sentral maupun perifer
dapat menyebabkan hipertensi renovaskular
yang menetap selama fase kronik baik pada
model 2K-1C maupun 1K-1C.
(3)
Pada stenosis arteri renalis, tekanan
transkapiler yang memacu filtrasi glomerulus
dipertahankan oleh peningkatan tahanan
arteriol efferen di belakang glomerulus.
Peningkatan tahanan arteriole efferen ini
dipertahankan oleh angiotensin II (yang
diproduksi sebagai respons terhadap
peningkatan sekresi renin dari ginjal yang
terkena). Angiotensin II juga merangsang
sekresi aldosteron dari korteks adrenal yang
berperan terhadap retensi cairan dan natrium.
Bila tingkatan kritis stenosis arteri renalis
tercapai (sekitar 60-70% lumen), maka
baroreseptor ginjal akan menyebabkan
penurunan tekanan darah pada arteriol efferen,
yang mengakibatkan peningkatan pelepasan
renin dari aparatus juxtaglomerularis. Keadaan
ini meningkatkan produksi angiotensin I.
Angiotensin I dibuat di perifer ginjal oleh kerja
enzim konverting angiotensin menjadi
angiotensin II.
(7)
Renin dihasilkan bila terdapat
penurunan aliran darah dan peningkatan
tekanan pada parenkim ginjal. Ini memacu sel-
sel jukstaglomerularis untuk menghasilkan
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
Samara
32 J Kedokter Trisakti, Januari-April 2001-Vol.20, No.1
renin yang banyak yang kemudian mem-
pengaruhi produksi angiotensin. Penggunaan
antagonis angiotensin II (seperti kaptopril)
telah diketahui efektif untuk diagnosis dan
terapi hipertensi renovaskular. Kaptopril
memiliki toksisitas renal dan dapat menye-
babkan trombosis arteri renalis. Oleh
karenanya, kaptopril sebaiknya tidak
digunakan sebagai terapi definitif untuk
hipertensi renovaskular.
(1)
Pada pasien dengan
stenosis arteri renalis atau renovaskular
hipertensi pada satu atau dua ginjal, kaptopril
dapat memicu terjadinya kegagalan ginjal akut,
tetapi efek ini biasanya hanya sementara.
(7)
Tabel 2 The Renin angiotensin system
(7)
Activators
Alfa - Globulin Renin - Inhibitors
Substrate -------------------- Angiotensin I
(decapeptide)
Converting Enzyme
Angiotensin I ------------------- Angiotensin II
(octapeptide)
Angiotensin II ---------------------- Inactive Peptides
Tissue peptides
Hipertensi renovaskular pada manusia
sesungguhnya lebih kompleks dari pada
binatang. Sebagai contoh, hipertensi berat,
yang merupakan bagian dari gejala stenosis
arteri renalis yang berkembang cepat.
Trombosis atau emboli akut bahkan
menyebabkan plasma renin yang tinggi disertai
dengan hipertensi akselerasi yang berat.
Sebaliknya perkembangan stenosis arteri
renalis yang lambat sebagai akibat
aterosklerosis atau lesi displasia fibromuskular
hanya mengakibatkan hipertensi ringan atau
sedang, yang meningkat secara bertahap
selama periode tertentu dan kemudian hanya
akan menjadi berat atau mengalami pe-
ningkatan bila kelainan stenosis menjadi lebih
berat. Dengan cara yang sama, kelainan
segmental dari berbagai penyebab dapat
meningkat menjadi lebih berat atau oklusi
total. Hal ini disebabkan karena ukuran yang
kecil dari cabang-cabang arteri. Karena alasan
inilah, stenosis segmental berkecenderungan
meningkatkan derajat plasma renin disertai
dengan hipertensi yang meningkat dan berat.
(3)
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis hipertensi renovaskular
tidak jelas. Hipertensi renovaskular merupakan
salah satu penyebab hipertensi yang sering
dijumpai pada anak-anak dan biasanya tidak
mudah dikontrol dengan obat. Onset hipertensi
yang tiba-tiba pada orang dewasa perlu
dipikirkan kemungkinan adanya penyakit
oklusi arteri renalis. Tanda dari hipertensi
renovaskular adalah terjadinya peningkatan
tekanan darah diastolik yang tidak dapat
dikontrol dengan terapi hipertensi umumnya.
Perlu dipikirkan pada anak-anak, remaja,
wanita muda, dan pria yang menderita
aterosklerosis kemungkinan adanya penyakit
oklusi arteri renalis bila mereka menderita
hipertensi.
(1)
Etiologi hipertensi renovaskular dibagi
menjadi dua kategori : (a) aterosklerotik pada
penderita rata-rata berumur 50 tahun, memiliki
tekanan sistolik yang lebih tinggi, lebih sering
terdapat penyakit vaskular ekstrarenalis dan
lebih mudah terjadi kerusakan organ
dibandingkandengan hipertensi esensial, (b)
hiperplasia fibromuskular rata-rata terdapat
pada penderita umur 35 tahun, kebanyakan
perempuan dan sedikit terkena kerusakan
organ. Selain itu pasien yang menderita
aterosklerotik rata-rata memiliki kenaikan
berat badan 15% dari berat badan ideal
dibandingkan dengan pasien yang menderita
hipertensi esensial.
(3)
Berdasarkan pengalaman tampak bahwa
terdapat beberapa gambaran diagnostik yang
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
Samara
33 J Kedokter Trisakti, Januari-April 2001-Vol.20, No.1
penting dari hipertensi renovaskular. Ini
termasuk kejadian hipertensi yang tiba-tiba,
sering pada umur 35 tahun atau setelah 55
tahun, dengan tidak terdapatnya riwayat
keluarga dan keadaan hipertensi yang lebih
buruk diikuti dengan rasa sakit pada bahu, dan
adanya peningkatan atau hipertensi maligna
pada umur berapa saja.
(5)
(Lihat tabel 3)
Pemeriksaan fisik mungkin dapat
menolong untuk menegakkan diagnosis pe-
nyakit oklusi arteri renalis. Gambaran fisik
bisa terdapat pada pasien koartasio aorta yang
ditunjukkan dengan adanya pengurangan
pulsasi arteri femoralis dan mungkin terdapat
bruit pada aorta torakalis atau aorta
abdominalis.
(1)
Koartasio aorta adalah
penyempitan aorta kongenital yang terjadi di
proximal atau distal dari duktus arteriosus.
Keadaan ini merupakan penyebab tersering
hipertensi bayi atau anak.
(1)
Bruit pada ginjal
sering terdapat pada pasien dengan penyakit
oklusi renovaskular, tetapi karena obesitas
agak sukar didengar. Harus diingat bahwa
bruit juga dapat berasal dari arteri yang lain
dan dapat membingungkan, terutama pada
pasien aterosklerotik. Auskultasi pada
punggung di sudut kostovertebralis kadang-
kadang dapat menolong menemukan bruit.
(1)
Menurut Sabiston
(5)
, bruit abdominal yang
terdapat pada epigastrium atau kuadran atas
merupakan gambaran diagnostik yang penting.
Keadaan ini dapat ditemukan sekitar 50 80 %
dengan hipertensi renovaskular, dimana pada
pasien dengan hipertensi esensial hanya
terdapat 5%. Sedangkan menurut Franklin
(3)
bruit pada panggul atau abdomen atas
ditemukan hampir 49% pada pasien yang
menderita hipertensi renovaskular dan hanya
10% ditemukan pada pasien dengan hipertensi
esensial. Namun meskipun bruit tersebut
ditemukan hampir lima kali lebih sering pada
hipertensi renovaskular, diagnosisnya sangat
terbatas untuk membedakannya dengan
hipertensi esensial. Perlu dicatat bahwa bruit
pada stenosis arteri renalis sering berupa nada
tinggi dengan durasi yang panjang (biasanya
memanjang sampai diastolik), dan terdengar
sampai pada lateral garis tengah; keadaan ini
tidak ditemukan pada bruit plak aorta.
Perlu dicatat bahwa pasien yang berada
dalam kelompok aterosklerotik bisa juga
terdapat penyakit lain, terutama pembuluh
darah subklavia, sehingga sebaiknya jangan
menegakkan diagnosis hipertensi hanya
dengan pengukuran satu tekanan darah.
Mengukur tekanan darah pada kedua sisi
lengan sangat dianjurkan bila diduga ada
kenaikan tekanan darah.
(1)
Pemeriksaan
laboratorium rutin terutama ditujukan untuk
gangguan elektrolit, khususnya adenoma
glandula suprarenalis yang memproduksi
aldosteron. Penderita hipertensi yang sering
diobati dengan diuretik sering mengalami
gangguan ketidakseimbangan elektrolit.
(1)
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
Samara
34 J Kedokter Trisakti, Januari-April 2001-Vol.20, No.1
Tabel 3. Ciri-ciri klinis hipertensi renovaskular
(3)
Hipertensi berat
Hipertensi diastolik >115 mmHg
Adanya organ rusak sebagai target hipertensi
Hipertensi akselerasi atau maligna
Hipertensi tidak umum (inappropriate)
Onset hipertensi muncul sebelum pubertas atau setelah umur 50 tahun
Onset hipertensi yang jelas terdapat pada pasien yang sebelumnya normotensi
Durasi pendek dengan progresifitas cepat dari hipertensi ringan ke berat
Penyakit kardiovaskular
Penyakit arteri koronaria
Stroke
Penyakit vaskular perifer
Hipertensi resisten
Hipertensi yang tidak responsif terhadap terapi obat standard
Tidak terjadi perbaikan meskipun dikontrol secara baik dengan terapi obat
Bruit pada abdomen atas atau panggul
Bernada tinggi
Durasi lama pada sistolik, kadang-kadang memanjang sampai sistolik
Mencapai lateral garis tengah
Fungsi atau anatomi ginjal yang abnormal
Ginjal mengecil unilateral
Hipertensi dan kerusakan fungsi ginjal yang tidak dapat dijelaskan
Penghambat enzim konverting menginduksi kerusakan fungsi ginjal
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan yang diperlukan adalah
urinalisis dengan kultur, serum kreatinin,
serum potasium, aktivitas plasma renin,
rontgen thorax, elektrokardiografi.
(5)
Stenosis
arteri renalis merupakan penyebab penting
pada hipertensi sekunder, tetapi skrining
terhadap stenosis arteri renalis mengalami
berbagai problematik. Test noninvasif seperti
urografi intravena dan skan ginjal, belum
secara adequat dapat membedakan hipertensi
renovaskular dari hipertensi esensial.
(15)
Test dasar
Pemeriksaan laboratorium dengan dugaan
adanya hipertensi renovaskular harus dimulai
dengan test dasar yang berhubungan dengan
kesehatan umum, yaitu : hitung darah yang
lengkap, serum elektrolit dan gula darah puasa,
nitrogen urea dan serum kreatinin, urinalisa
dan kultur urin, serta EKG.
(14)
(Lihat tabel 4)
Pielografi intravena
Pielogram intravena bukan merupakan uji
tapisan yang baik untuk pasien dengan dugaan
hipertensi renovaskular. Akurasinya kurang
untuk pasien anak-anak dan orang dewasa
dengan aterosklerotik. Terdapat 75% negatif
palsu pada anak-anak dan 20 28 % negatif
palsu pada orang dewasa dengan atero-
sklerotik.
(14)
Aktivitas renin plasma
Pada pasien yang telah diketahui
menderita hipertensi, sebaiknya dimulai
dengan memeriksa aktivitas renin plasma.
Aktivitas renin plasma akan meningkat pada
80% pasien yang menderita hipertensi
renovaskular. Namun, 15% pasien dengan
hipertensi esensial juga memiliki renin yang
meningkat, namun lebih rendah dari hipertensi
renovaskular.
(14)
Dengan mengukur aktivitas renin plasma
membantu untuk pemisahan pasien-pasien
yang mekanisma humoralnya terlibat dengan
sistem renin-angiotensin-aldosteron yang
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
Samara
35 J Kedokter Trisakti, Januari-April 2001-Vol.20, No.1
sering berkaitan dengan hipertensi reno-
vaskular. Nilai aktivitas renin plasma
membantu untuk menentukan pasien mana
yang perlu dioperasi.
(5)
Adanya peningkatan aktivitas renin plasma
pada vena perifer dengan diet sodium normal
dan tanpa pemberian obat diuretik dan adanya
hipertensi maligna sangat menunjukkan
adanya stenosis arteri renalis.
(5)
Tes kemampuan kaptopril
Tes kemampuan captopril didasarkan atas
respon berlebihan renin pada penderita stenosis
arteri renalis.
(15)
Aktivitas renin plasma diukur
sebelum dan 60 menit setelah pemberian
kaptopril (penghambat enzim konverting)
dosis 25 mg secara oral. Pada hipertensi
dengan kebergantungan terhadap renin, akan
terdapat penghambatan terhadap enzim
konverting.
(14)
Tonus arteriola afferen terutama di atur oleh
pemasukan kalsium yang terdapat dalam sel
otot polos dan dihambat oleh penghambat
terowongan kasium (nifedipin dan
verapamil).
(7)
Urografi intravena
Kriteria positif bila terdapat keadaan di
bawah ini pada ginjal:
(5)
(1). Kontras mediumnya muncul terlambat,
diikuti oleh gambaran paradoks dari sistem
pielokalikses.
Urografi intravena sederhana, mempunyai
gambaran anatomi yang baik untuk tes
skrining terhadap hipertensi renovaskular. Test
ini dapat juga digunakan untuk menentukan
ada tidaknya penyakit ginjal parenkim primer.
(2). Ginjal mengecil lebih dari 1,5 cm.
Urogram mempunyai batasan diagnostik yang
penting dalam mendeteksi lesi segmental atau
cabang arteri, penyakit arteri renalis bilateral,
dan penyakit parenkim ginjal bilateral yang
tidak sama beratnya, serta pada anomali
tertentu dari ginjal kongenital .
Radioisotop renografi
Bila dengan urografi intravena tidak dapat
dihasilkan gambaran yang baik, maka dapat
dilakukan dengan pemeriksaan radioisotop
renografi dan skan ginjal. Namun prosedur ini
tidak dapat dilakukan pada pasien yang alergi
terhadap media kontras iodium.
Adanya teknik baru noninvasif yaitu dengan
menggunakan kamera Anger dan rapid-
sequence scintillation studies dapat
memberikan harapan lebih besar untuk
menegakkan diagnosis dimasa mendatang.
(5)
Scan ginjal radioisotop membantu ahli bedah
untuk mengevaluasi aliran darah ginjal.
Kebanyakan skan ginjal bergantung kepada
fungsi ginjal. Kemampuan untuk membedakan
penyakit oklusi arteri renalis primer dan
penyakit intraparenkim difus pada skan ginjal
sulit. Oleh karena alasan ini skan ginjal tidak
sering digunakan sebagai pemeriksaan rutin
pada pasien dengan penyakit oklusi arteri
renalis.
(1)
Pemeriksaan skintigrafi penghambat ACE
positif menunjukkan adanya hipertensi
renovaskular dan tampak perubahan
hemodinamika menunjukkan adanya stenosis
arteri renalis (lebih besar 60-75% lumen).
Pemeriksaan kaptopril positif sebagai petunjuk
kuat perbaikan operasi pada hipertensi
renovaskular.
(7)
Arteriografi ginjal
Untuk mengetahui lokasi anatomi dari lesi
arteri renalis digunakan arteriografi ginjal.
Pemeriksaan ini terutama ditujukan bagi pasien
hipertensi renovaskular yang akan dilakukan
tindakan operasi.
(5)
Arteriografi masih
merupakan metoda diagnostik yang paling
akurat terhadap penyakit pembuluh darah
oklusi yang melibatkan ginjal.
(1)
Tehnik
transfemoral retrograd per kutaneus cukup
baik, dan tampak flush arteriografi yang
berhubungan dengan injeksi kontras arteri
renalis spesifik menambah jelasnya gambaran
arteri secara rinci.
(5)
Pemeriksaan fungsi ginjal
Sebagai tambahan untuk mengetahui
kelainan anatomi, maka pemeriksaan fungsi
ginjal juga diperlukan. Sayangnya, evaluasi
fungsi total ginjal sering gagal untuk
menunjukkan lesi anatomik yang meng-
akibatkan hipertensi.
(5)
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
Samara
36 J Kedokter Trisakti, Januari-April 2001-Vol.20, No.1
Biopsi ginjal
Biopsi ginjal perkutaneus kadang-kadang
dapat menolong pada evaluasi preoperatif
pasien dengan penyakit oklusi arteri renalis.
(1)
Ultrasound duplex
Arteriografi merupakan standart utama
untuk mendiagnosis stenosis arteri renalis.
Namun ada penelitian yang meneliti tentang
kegunaan duplex ultrasound scanning, yaitu
pemeriksaan noninvasif yang meng-
kombinasikan visualisasi langsung arteri (B-
mode imaging) dengan pengukuran faktor-
faktor hemodinamik pada arteri utama dan
ginjal (Doppler imaging).
(2)
Dari penelitian terhadap 102 penderita yang
berhubungan dengan hipertensi yang sulit
dikontrol, penyakit vaskular perifer, atau
azotemia yang tidak jelas dengan melalui
pemeriksaan arteriografi dan ultrasound
duplex, maka didapat hasil yang menunjukkan
bahwa sensitifitas dan spesifitas dari scanning
ultrasound duplex adalah 98 % dibandingkan
dengan arteriografi. Namun walaupun
pemeriksaan dengan ultrasound duplex
akurasinya cukup tinggi, pemeriksaan non-
invasif ini memiliki teknik yang sulit dan
membutuhkan pemeriksa yang sudah ber-
pengalaman.
(2
Tabel 4. Petunjuk klinis kemungkinan menderita hipertensi renovaskular
(14)
Tanggapan
Petunjuk dari riwayat
Hipertensi, tetapi tidak adanya riwayat
keluarga yang menderita hipertensi
Curiga hipertensi renovaskular bila riwayat keluarga
tidak ada, namun sekitar 1/3 pasien dengan hipertensi
renovaskular memiliki riwayat keluarga.
Hipertensi terjadi pada umur di bawah 25 tahun atau
setelah 45 tahun
Rata-rata umur terjadinya hipertensi esensial adalah 31
tahun. Anak-anak dan dewasa biasanya menderita
penyakit displasia fibormuskular, sedangkan dewasa
dengan umur lebih lebih dari 45 tahun kebanyakan
menderita aterosklerosis yang menyempitkan arteri.
Onset terjadinya hipertensi sedang atau berat Hipertensisi esensial biasanya mulai dengan fase labil
sebelum hipertensi ringan menjadi menetap, dimana
perjalanan hipertensi renovaskular biasanya lebih
singkat, dengan penyakit lebih sering muncul awal
seperti onset hipertensi sedang yang baru saja terjadi.
Perkembangan hipertensi berat atau maligna Hipertensi renovaskuler sering menjadi sedang atau
berat dan mungkin menyebabkan hipertensi akselerasi
atau maligna; yang kedua-duanya dapat meningkatkan
sekresi renin.
Sakit kepala Hipertensi sesensial biasanya asimtomatik; sakit kepala
lebih sering pada penderita hipertensi renovaskular dan
berkaitan dengan derajat tingginya angiotensin II
(potensi untuk terjadinya vasokonstruktor
cerebrovaskular.
Merokok sigaret Survei menunjukkan bahwa 74% pasien dengan stenosis
arteri renalis fibormuskular adalah perokok; 88% nya
dengan penyakit aterosklerotik.
Kulit putih Hipertensi renovaskular jarang terjadi pada kulit hitam.
Resisten terhadap obat-obat standar diuretik atau
antiadrenergik
Hipertensi renovaskular secara tipikal memiliki sedikit
respon terhadap diuretik dan sering berespon sementara
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
Samara
37 J Kedokter Trisakti, Januari-April 2001-Vol.20, No.1
hanya pada obat antiadrenergik
Respon yang baik terhadap inhibitor enzim
konverting, misal: kaptopril
Inhibitor enzim konverting memblok sistem renin-
angiotensiadosteron paling efektif dan agen spesifik
yang tinggi
Petunjuk dari pemeriksaan fisik dan
laboratorium rutin
Retinopati Hemoragi, eksudat atau papiledema menunjukkan
hipertensi akselerasi atau malignan
Bruit abdomimal atau panggul Bruit tidak patognomik pada hipertensi
renovaskular, karena umum terdapat pada orang tua dan
kadang-kadang muncul pada pasien muda yang tidak
menderita stenosis vaskuler
Bruit karotid atau adanya penyakit pembuluh darah
besar
Proses patologik vaskuler tidak terbatas pada penderita
ginjal.
Hipokalemia terdapat pada pasien yang tidak diobati
atau menetap setelah pemberian diuretik thiazid
Peningkatan sekresi aldosteron oleh sistem renin-
angiotensin-aldosteron mengurangi jumlah kalium
plasma. Ini tidak muncul pada hipertensi esensial.
Duiretik thiazid tidak menonjolkan fenomena ini pada
hipertensi renovaskular
PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi utama manajemen
hipertensi renovaskular ditujukan untuk:
(3)
(i)
mencegah komplikasi hipertensi dengan
mengontrol tekanan darah, (ii) mencegah
progresifitas stenosis arteri renalis yang dapat
menyebabkan kehilangan fungsi ginjal dan (iii)
memulihkan fungsi ginjal dengan mengkoreksi
stenosis arteri renalis yang berat. Terapi medis
dengan obat-obat anti-hipertensi dapat
mengontrol hipertensi tetapi tidak berefek pada
progresifitas lesi tersebut. Oleh karena itu,
pendekatan konservatif umum dari manajemen
medis bukan merupakan pilihan utama; setiap
kasus harus dicari penyebabnya untuk
menentukan tindakan angioplasti atau operasi.
(3)
Terapi medis
Terapi medis untuk hipertensi
renovaskular pada tahun 1960-an dengan
menggunakan obat-obat seperti diuretik,
hidralasin, guanetidin, dan metildopa. Kontrol
tekanan darah yang baik dilaporkan sebanyak
35-45% pasien. Dengan munculnya obat beta
blocker pada tahun 1970-an, digunakan
bersama dengan diuretik dan vasodilator
sebagai triple terapi, frekuensi kesuksesan
mencapai 50-80%. Kemudian ACE inhibitor
diperkenalkan tahun 1980-an, kaptopril (dosis
inisial 25 mg dua kali sehari, dapat
ditingkatkan 50 mg dua kali sehari) dan
enalapril (dosis inisial 5 mg/hari, dapat
ditingkatkan 40 mg/hari), digunakan bersama
dengan diuretik, kontrol yang sukses terhadap
hipertensi dilaporkan sebanyak 85-95% dari
pasien hipertensi renovaskular.
(3)
Efek
terbesar dari ACE inhibitor adalah
hubungannya dengan patofisiologi hipertensi
renovaskular. Respon penekanan cepat dari
obat ini adalah berhubungan langsung dengan
penanganan aktivitas plasma renin. Pada
pasien dengan stenosis arteri renalis bilateral
yang berat, kontrol yang efektif terhadap
tekanan darah menyebabkan pro-gresifitas
yang lamban pada fungsi ginjal dengan
menurunkan tekanan perfusi. Kegagalan ginjal
akut reversibel telah dila-porkan setelah
penanganan dengan inhibitor enzim konverting
pada pasien dengan stenosis arteri renalis
bilateral, stenosis unilateral dengan disfungsi
ginjal kontralateral, atau ginjal tunggal dengan
stenosis arteri renalis. Kegagalan ginjal dapat
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
Samara
38 J Kedokter Trisakti, Januari-April 2001-Vol.20, No.1
terjadi terutama bila tidak ada penurunan
tekanan darah yang bermakna dengan ACE
inhibitor. ACE inhibitor menyebabkan dilatasi
arteriola efferen melalui bloking angiotensin II
dengan menyebabkan penurunan tekanan
perfusi glomerulus dan filtrasi glomerulus.
Penggunaan bersama dengan antidiuretik, me-
ningkatkan ketergantungan peningkatan
angiotensin II dan mungkin mempengaruhi
aliran plasma ginjal, yang memainkan peran
utama terhadap kerusakan fungsi ginjal.
(3)
Disfungsi renal yang diinduksi oleh ACE
inhibitor merupakan dasar terjadinya stenosis
arteri renalis bilateral, tetapi hubungan ini
belum diteliti lebih lanjut. Dari penelitian
terhadap 108 penderita hipertensi dengan
resiko tinggi terhadap stenosis arteri renalis
(misal: penyakit vaskular, peningkatan
creatinin, penderita hipertensi yang kurang
respon memberi terhadap terapi bermacam-
macam obat), menunjukkan bahwa kreatinin
yang stabil selama terapi denganACE inhibitor
biasanya mengakibatkan terjadinya resiko
stenosis arteri renalis bilateral yang berat.
Namun, peningkatan kreatinin bukan meru-
pakan faktor yang spesifik untuk stenosis arteri
renalis bilateral. Penelitian ini juga me-
nunjukkan bahwa perlu dilakukan monitor
secara cermat terhadap fungsi ginjal setelah
memulai terapi dengan penghambat enzim
konverting pada pasien yang beresiko tinggi
terkena penyakit renovaskular.
(4)
ACE
inhibitor mungkin dapat memperbaiki pasien
dengan nefropati iskemi yang berkaitan dengan
penyakit renovaskular bilateral, tetapi
penelitian lebih lanjut akan validitas diagnostik
ini belum ada. Dari penelitian pada 108
penderita dengan resiko aterosklerosis pada
penderita penyakit renovaskular yang berat dan
dibandingkan dengan pemeriksaan angiografi,
maka ditemukan bahwa tidak terjadi kegagalan
ginjal akut pada penelitian ini dan kreatinin
plasma selalu ditemukan kembali setelah
pemakaian penghambat enzim konverting
diberhentikan. Oleh karena itu peningkatan
kreatinin plasma yang diinduksi oleh
penghambat enzim konverting merupakan alat
yang sangat sensitif terhadap penyakit
renovaskular bilateral pada kelompok yang
beresiko tinggi.
(2)
Sebagai kesimpulannya, terapi dengan
obat tidak dapat memperbaiki stenosis arteri
renalis yang sudah ada, meskipun kontrol
tekanan darah baik. Sebanyak 40-45 % kasus,
stenosis arteri renalis yang progresif dapat
merusak fungsi ginjal pada ginjal yang
bersangkutan. Sesungguhnya, ginjal dengan
stenosis derajat tinggi, efektif kontrol tekanan
darah dengan obat dapat menurunkan tekanan
perfusi, ikut menyebabkan iskemi lebih lanjut
dan menyebabkan kehilangan fungsi ginjal
yang progresif. Dengan menggunakan obat
antihipertensi secara teratur, kontrol tekanan
darah menjadi baik berkisar 85 95 % pada
pasien dengan hipertensi renovaskular.
Kegagalan pengobatan dimungkinkan karena
adanya stenosis derajat tinggi dengan produksi
renin yang meningkat atau stenosis arteri
renalis bilateral yang berat dengan terdapatnya
retensi garam dan air. Oleh karena bisa terjadi
progresifitas stenosis arteri renalis, maka perlu
dilakukan monitor fungsi ginjal pada pasien
yang mendapat terapi dengan obat. Ini vital
karena tekanan darah dapat terus terkontrol
dengan baik dengan obat dan menyingkirkan
kehilangan fungsi ginjal secara progresif.
Lebih dari itu, serum kreatinin atau kreatinin
kliren tidak berubah pada stenosis arteri renalis
unilateral oleh karena adanya efek sebaliknya
dari fungsi ginjal kontralateral yang tanpa
stenosis arteri renalis. Oleh karena itu, baik
klirens kreatinin (beberapa kali per tahun)
maupun ukuran ginjal (sekali setahun)
merupakan tanda yang penting untuk diamati.
Ukuran ginjal dapat diperiksa dengan
tomografi, sonografi, atau skanning.
(3)
Sebagai pembanding kita dapat melihat
bahwa amlodipine dapat mengurangi resistensi
vaskular pada penderita hipertensi esensial,
dan menaikkan aliran darah ginjal. Amlodipine
juga meningkatkan laju filtrasi glomerulus
dengan mengurangi jumlah kreatinin serum
sedangkan ekskresi mikroalbumin pada urine
tidak berkurang atau tidak berubah.
Kemampuan amlodipine untuk memper-
tahankan aliran darah ginjal pada saat tekanan
diastolik dan sistolik turun, kemungkinan
disebabkan oleh 2 faktor: yaitu efek dilatasi
pada arteri renalis, disertai dengan adanya efek
vasokonstriksi, termasuk angiotensin II dan
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
Samara
39 J Kedokter Trisakti, Januari-April 2001-Vol.20, No.1
juga endothelin-1.
(9)
Penderita yang
mengalami ateroskleoris pada arteri renalis
juga dapat diterapi dengan amlodipine, karena
amlodipine mempengaruhi ratio HDL/LDL
dan menstabilkan membran plasma.
(9)
Tindakan operatif
Pemilihan pasien untuk tindakan
pembedahan bergantung dari penentuan bahwa
hipertensi yang terjadi oleh karena sebab
langsung dari lesi arteri renalis. Di samping itu
juga perlu dipertimbangkan umur dan keadaan
umum pasien, riwayat penyakit, kemungkinan
perbaikan pembuluh darahnya dibandingkan
nefrektomi, perbandingan kontrol hipertensi
dengan obat-obat antihipertensi, dan mortalitas
pembedahan. Sebagai contoh, pasien yang
telah tua dengan lesi atherosklerotik memiliki
mortalitas pembedahan lebih tinggi.
Sebaliknya, pasien muda dengan lesi
fibromaskular sangat ideal untuk dilakukan
pembedahan.
(5)
J enis-jenis pembedahan:
(5)
1. Reseksi segmental arteri renalis dengan
reanastomosis.
2. Anastomosis arteri splanika ke arteri
renalis (meninggalkan lien in situ dengan
mendapatkan suplai darah dari cbang-
cabang arteri gastroepiploika dan gastrika
brevis).
3. Yang jarang dilakukan adalah reimplantasi
arteri renalis ke dalam aorta diikuti dengan
eksisi stenosis
4. Autograf
5. Enarterektomi
6. Prostetik arterial graft
7. Ex vivo rekonstruksi arteri renalis
dilakukan untuk kasus-kasus yang rumit.
8. Renal autotransplatasi dilakukan pada
pasien anak-anak karena pembuluh
darahnya terlalu kecil untuk dilakukan
anastomosis (bisa menimbulkan
restenosis).
9. Angioplasti renal transiluminasi per
kutaneus
Angioplasti lebih berhasil dilakukan pada
pasien:
(3)
(1). Displasia fibrosa dibandingkan dengan
penyakit atherosklerosis.(2). Pembuluh-
pembuluh darah yang hanya dengan satu atau
dua stenosis pendek
(3). Pada stenosis komplit di dalam arteri
renalis daripada lesi yang melibatkan dinding
aorta atau orifisium arteri renalis.
Meskipun angioplasti transluminal per
kutaneus sudah banyak digunakan untuk
penanganan terhadap hipertensi renovaskular,
namun belum pernah dievaluasi secara
random. Dari penelitian terhadap 464 pasien
dengan atherosklerosis penyebab hipertensi
renovaskular dan 193 dengan hiperplasia
fibromuskular, ditemukan bahwa angioplasti
efektif untuk hiperplasia fibromuskular, tetapi
masih merupakan tanda tanya terhadap
aterosklerosis.
(6)
Parsial nefrektomi atau total nefrektomi
merupakan pilihan utama pada pasien:
(3)
(1). Atropi renalis dengan panjang lebih
kurang 9 cm
(2). Oklusi arteri renalis utama dengan infark.
(3). Nefrosklerosis arteriola yang berat.
(4). Penyakit parenkim unilateral
(5). Infark renalis unilateral
(6). Hipoplasia renalis segmental (Ask-Up-
mark kidney).
(7). Penyakit renovaskular yang tidak dapat
diperbaiki seperti aneurisma intrarenalis
atau malformasi arteriovena.
Dari J anuari 1993 sampai Mei 1996
Rodriguez-Lopez dan kawan-kawan
melakukan penelitian terhadap 108 pasien (64
pria, 44 wanita, rata-rata berumur 72 tahun,
rentang umur 37-87 tahun) dilakukan tindakan
angioplasti transluminal per kutaneus dan
implantasi stent pada arteri renalis dengan
aterosklerosis. Dari tindakan tersebut
ditemukan bahwa sebanyak 73 pasien (68%)
mengalami perbaikan. Analisa retrospektif ini
menunjukkan bahwa kombinasi angioplasti
transluminal per kutaneus dengan implantasi
stent terhadap pasien hipertensi renovaskular
karena stenosis arteri renalis cukup efekif.
(11)
Terapi operasi efektif untuk penyakit
oklusi arteri renalis dimaksudkan untuk
mengurangi tekanan darah dalam jangka
panjang.
(1)
Hampir 4550% pasien dengan
hipertensi renovaskular aterosklerosis dapat
disembuhkan dengan tindakan pembedahan
revaskularisasi, 2535% dapat diperbaiki,
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
Samara
40 J Kedokter Trisakti, Januari-April 2001-Vol.20, No.1
sedangkan 2535% pasien tersebut sebenarnya
tidak terjadi perubahan pada hipertensinya.
Pada pasien dengan displasia fibro-
muskular, tindakan pembedahan umumnya
berhasil lebih baik dengan tingkat kesembuhan
5070% dan kegagalan 510%. Mortalitas
untuk penyakit aterosklerotik berkisar 25%
sedangkan displasia fibromuskular 13 %.
Mortalitas untuk keseluruhan berkisar 510
%.
(5)
PEMILIHAN TERAPI
Tidak mudah untuk menentukan terapi
yang cocok untuk hipertensi renovaskular.
Keputusan terapi pertama bergantung pada
keberadaan stenosis arteri renalis dan
anatominya serta variabel patalogi yang me-
nyertainya Demikian juga keadaan umum
pasien dan keinginan untuk menjalani prosedur
invasif. Bila perlu, pasien perlu diberi untuk
pilihan terapi yang mungkin dan sebaiknya
mengambil keputusan bersama dengan dokter
yang menanganinya.
(3)
Kontroversi antara terapi medis dengan
terapi operasi terus berlanjut. Obat baru untuk
terapi hipertensi renovaskular bukan tanpa ada
kekurangan. ACE inhibitor seperti kaptopril
telah memberikan harapan bagi pasien
hipertensi renovaskular. Ini mungkin untuk
beberapa pasien, namun ada masalah dengan
pasien yang disertai dengan membrana
glomerulopati yang mendapat pengobatan
jangka lama. Protein uria dan kerusakan ginjal
irreversibel dapat saja muncul oleh karena
menggunakan obat ini.
(1)
Pada umumnya angioplasti perlu
dilakukan sebagai prosedur inisial pada seluruh
pasien hipertensi renovaskular bila stenosis
mencapai 70% atau lebih. Pendekatan ini
berguna untuk menjaga fungsi ginjal. Tindakan
operasi merupakan pilihan utama bila terdapat
lesi ostium predominan, lesi oklusif total, dan
penyakit aorta iliaka yang berat. Oleh karena
tindakan operasi beresiko besar, pengamatan
rasio renin vena ginjal perlu dilakukan. Bila
terdapat stenosis arteri renalis bilateral derajat
tinggi, atau ginjal tunggal, angioplasti
merupakan pilihan pertama, kemudian baru
diikuti operasi jika angioplasti gagal.
Akhirnya, terapi medikal merupakan pilihan
bagi pasien dengan lesi ekstensif segmental
dan atau bilateral yang tidak dapat dilakukan
tindakan operasi dan dilatasi, pada pasien yang
menolak prosedur invasif dan pada pasien
yang tidak terlalu beresiko untuk operasi
namun memiliki lesi arteri yang tidak dapat
dilakukan dilatasi.
(3)
KESIMPULAN
Terdapat dua prototipe pasien dengan
hipertensi renovaskular. Pertama, terdapat
hipertensi renovaskular karena hiperplasia
fibromuskular pada wanita berumur sekitar 25
tahun dengan lama hipertensi enam bulan,
terdapat keluhan sakit kepala, tekanan darah
180/110 mmHg, funduskopi grade I Keith-
Wagner, dan bruit epigastrium. Sebaliknya,
prototipe yang lain adalah terdapat pada pria
berusia sekitar 65 tahun dengan penyakit
aterosklerotik renovaskular yang memiliki
tensi normal atau hipertensi ringan selama
beberapa bulan yang kemudian meningkat
sampai 240/130 mmHg, funduskopi grade II
atau kadang-kadang grade III atau IV Keith-
Wagner, kardiomegali, dan azotemia. Bruit
abdominal bisa ada, bisa tidak. Umumnya
gambaran klinis hipertensi renovaskular tidak
jelas dipisahkan dari hipertensi esensial.
(3)
Pemilihan terapi yang cocok untuk pasien
hipertensi renalis bergantung dari derajat berat
ringannya gangguan anatomis arteri renalis
yang terkena. Pada umumnya ada tiga pilihan
terapi: (i) Terapi medis dengan pemberian obat
anti hipertensi khususnya golongan ACE
inhibitor; (ii) angioplasti renalis transluminal
per kutaneus; dan (iii) tindakan pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fry WJ, Fry RE. Surgically correctable
hypertension. In : Schwartz, Shires, Spencer.
editors. Principle of surgery. 5
th
ed. New York:
McGraw-Hill Information Services Company;
1989. p. 1041 59.
2. Van de Ven PJG, Beutler JJ, Kaatee R, Beek
FJ, Mah WP, Koomans HA. Angiotensin
converting enzyme inhibitor-induced renal
dysfunction in atherosclerotic renovacsular
disease. Kidney Int 1998;53 : 986-93.
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
Samara
41 J Kedokter Trisakti, Januari-April 2001-Vol.20, No.1
3. Brett AS. The Captopril test for diagnosis
renovascular hypertension, J ournal Watch, 27
March 1990. Available from URL:
http://www.jwatch.org/gm/current.shtml.
4. Franklin SS. Renovascular. In: Shaul GM,
Richard J G. Textbook of nephrology Vol.2, 2
nd
ed. Baltimore: Williams & Wilkins; 1988.
p.1081 9.
5. Gunnels J C,Sabiston DC. The surgical
management of renovascular hypertension. In:
Davis- Christopher. Textbook of surgery. 11
th
ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company;
1981. p. 2001 8.
6. Ramsey LE, Waller PC. Blood pressure
response to percutaneous transluminal
angioplasty for renovascular hypertension: an
overview of published series. Br Med J
1990;300: 569-72.
7. Mc Biles, Williams SC. Renovascular
hypertension. J Nucl Med 1995: 6.
8. Olin JW, Piedmonte MR, Young JR, De Anna
S, Grubb M, Childs MB. The utility of duplex
ultrasound scanning of the renal arteries for
diagnosing significant renal artery stenosis.
Ann Intern Med 1995;122 : 833-8.
9. Nayler WG. Amlodipine: an overview. Clinical
drug investigation;1997:l3 ( Suppl.1) :1-9.
10. Piestley JT. The kidneys, ureters, and
suprarenal glands. In: Hollinshead WH.
Editor. Anatomy for surgeon.Vol.2.A Tokyo:
J ohn Weatherhill Inc.; 1966. p. 533-81.
11. Rodriguez-Lopez JA, Werner A, Renal artery
stenosis treated with stent deployment. J Vasc
Surg 1999; 29: 617 24..
12. Romanes GJ. The Kidneys. In Cunninghams
Manual of Practical Anatomy. Vol. 2. 14
th
ed.
Oxford: University Press; 1977.p. 143 7.
13. Rogers AW. The kidneys and ureters. In :
Textbook of anatomy. 1
st
ed. New York:
Churchill Livingstone; 1992.p. 632 3.
14. Sosa RE, Vaughan, ED. Renovascular
hypertension. In : Smiths general urology, 14
th
ed. Lange medical Book, Prenctice-Hall
International Inc.; 1995.p.728 36.
15. Tanagho EA. Anatomy in the genitourinary
tract. In : Smiths general urology. 14
th
ed.
Lange Medical Book, Prentice-Hall
International Inc.; 1995.p. 1- 3.
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m
C
lic
k
t
o
b
u
y
N
O
W
!
P
D
F-XChan
g
e
w
w
w
.d
o
c u-t r ac
k
.c
o
m

Anda mungkin juga menyukai