Anda di halaman 1dari 40

1

BAB I
PENDAHULUAN

Demam dengue/DF dan demam berdarah Dengue/DBD (Dengue
Haemoragic Fever) adalah penyakit infeksi yang disebebabkan oleh virus dengue
dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai
leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan demam hemoragic. Pada
DBD terjadi pembesaran plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan dirongga tubuh. Sindrom
renjatan dengue (dengan shock sindrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai dengan syok/renjatan. Demam dengue dan demam berdarah dengue
disebebkan virus dengue yang termasuk kelompok B anthropod Bome Virus
(Arboviroses) yang sekarang terkenal dengan genus Flavivirus. Terdapat tiga
faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu
manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia
melalui nyamuk aedes Aegypty.
Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu penyakit
menular yang berbahaya dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat
dansering menimbulkan wabah. Asia menempati urutan pertama dalam jumlah
penderita demam berdarah ditiap tahunnya. WHO mencatat negara indonesia
sebagai negara dengan kasus Demam Berdarah tertinggi di Asia Tenggara.











2

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Nn. H
Tanggal Lahir : 22 April 1992
Usia : 22 Tahun
No. Rekam Medik : 149787
Tanggal Masuk : 18 September 2014
Status : Belum Menikah
Alamat : Jalan Kuantan
Agama : Islam
Suku : Melayu - Jawa
Pekerjaan : Mahasiswa
Jenis Kelamin : Perempuan
Tinggi Badan : 160 cm
Berat Badan : 59 Kg

2.2. ANAMNESA
1. Keluhan Utama : Demam sejak 5 hari yang lalu
2. Keluhan Tambahan : sakit kepala, nyeri ulu hati, mual dan
muntah >10x
Autoanamnesis
Os datang ke UGD RSAL Tanjungpinang dengan keluhan demam sejak
5 hari yang lalu. Demam sering mendadak naik turun, keluhan disertai
dengan sakit kepala, nyeri ulu hati, mual, muntah >10 x berupa sisa
makanan, dan nyeri otot pada seluruh tubuh. Keluhan mimisan (-), gusi
berdarah (-), ma/mi <<, BAB/BAK tidak ada gangguan, Rumple leed test
(+).

Riwayat mengkonsumsi obat-obatan, obat penghilang rasa nyeri (NSAID)
tidak ada

Riwayat mengkonsumsi jamu atau alkohol disangkal

Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat Sakit Serupa (-)
Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat Asma (-)
3

Riwayat Alergi Makanan (-)
Riwayat Penyakit Paru (-)
Riwayat penyakit Liver (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Sakit Serupa (-)
Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat Asma (-)
Riwayat Alergi Makanan (-)
Riwayat Penyakit Paru (-)
Riwayat penyakit Liver (-)
Riwayat Kebiasaan
Merokok (-)
Minum Kopi (-)
Minum Alkohol (-)
Olahraga (+)
Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat selama sakit

2.3. PEMERIKSAAN FISIK

Tanda Vital :
Keadaan Umum : Tampak lemah
Kesadaran : Compos Mentis (GCS 15)
Tekanan darah : 90/70 mmHg
Nadi : 104 x/m
Respirasi : 20 x/m
Suhu : 39 C

Pemeriksaan Per Organ
1. Kulit
Warna : putih, ada bintik kemerahan, tidak ada
sianosis
Jaringan Parut : tidak ada
Pertumbuhan Rambut : normal
Suhu Raba : hangat
Turgor : baik
Ikterus : tidak ada
Edema : tidak ada
4

2. Kepala
Bentuk : normocephal
Posisi : simetris
Penonjolan : tidak ada
3. Mata
Exophtalmus : tidak ada
Enophtalmus : tidak ada
Edema Kelopak Mata : tidak ada
Conjungtiva Anemis : (-/-)
Sklera Ikterik : (-/-)
Refleks Cahaya : normal

4. Telinga
Daun Telinga : tidak ada kelainan
Peradangan : tidak ada
Pendengaran : baik
Sekret : tidak ada

5. Hidung
Tidak ada kelainan
Pernafasan cuping hidung tidak ada
Tidak terdapat sekret

6. Mulut
Bibir : tidak sianosis
Lidah : tidak kotor

7. Tenggorokan
Faring : tidak hiperemis
Tidak ada kelainan massa
Tonsil T1-T1
8. Leher
Trakea : tidak ada deviasi
Kelenjar tiroid : tidak ada pembesaran
Kelenjar Limfe : tidak ada pembesaran
JVP : tidak ada peningkatan

9. Dada
Simetris
Tidak ada benjolan
Nyeri Tekan tidak ada

5

10. Paru-paru
Inspeksi
Bentuk : normal
Tidak ada bagian yang tertinggal saat bernafas

Palpasi
Vokal fremitus ki=ka
Tidak ada kelainan
Nyeri tekan tidak ada

Perkusi
Sonor dilapangan paru ki=ka

Auskultasi
Suara Vesikuler (+/+)
Ronkhi tidak ada
Wheezing tidak ada

11. Jantung
Inspeksi
Iktus Cordis tidak tampak

Palpasi
Iktus Cordis tidak teraba

Perkusi
Batas kiri midclavicularis ICS VI
Batas kanan linea parasternal dextra ICS IV

Auskultasi
Bunyi jantung I dan II normal, tidak ada bising jantung gallop murmur
tidak ada
12. Abdomen
Inspeksi
Normal, tidak cembung, tidak ada kelainan kulit dan tidak ada jaringan
parut

Palpasi
Nyeri tekan pada ulu hati
Hepar dan lien tidak teraba
6

Perkusi
Timpani
Tidak ada asites dengan pemeriksaan pekak samping, pekak pindah, dan
shifting dullness tidak ada

Auskultasi
Bising usus normal

13. Ekstremitas
Lengan ka-ki : normal (tonus otot, massa otot, sendi,
gerakan dan
kekuatan normal)
Tungkai dan kaki : normal, edema (-), luka (-), varices (-)

14. Anus
Anus tidak diperiksa

Laboratorium ( tanggal 19 September 2014)
Hb : 14,8 gr%
Leukosit : 2100/L
Eritrosit : 5,5 juta/mm3
Trombosit : 24000/L
Hematokrit : 46 %
Malaria : (-)

2.4. DIAGNOSA BANDING
Dengue Haemoragic Fever Grade II
Gastritis

2.5. DIAGNOSA KERJA SEMENTARA
Dengue Haemoragic Fever Grade II
Demam
Peteki
Trombositopenia
Peningkatan Hematokrit

2.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah Rutin
2. Lain-lain
7

Konsul ke dokter spesialis penyakit dalam

2.7. TERAPI

1. Non Medika mentosa
Bedrest total
Minum air cukup
Monitoring tanda vital dan tanda perdarahan
Evaluasi Hb, Ht, dan Trombosit setiap hari

2. Medika mentosa
Infus RL 20 tts/mnt
Paracetamol 500mg 3x1
Psidii 3x1
Dexametason (inj) 3x1
Ciprofloxacin 2x1
Lansoprazole (inj) 3x1
Tranfusi Trombosit 10 kolf

2.8. FOLLOW UP
Nama : Nn. H
Diagnosis : Dengue Hemoragic Fever

No Tanggal S O A P
1. 18/09/2014 Demam (+),
mual (+),
muntah (+),
sakit kepala
(+), nyeri ulu
hati (+), ma/mi
KU lemah
TD : 90/70
N : 104x/menit
S : 39C

Epistaksis (-)
Hepatomegali (-)
Tourniquet Test (+)

LAB :
Hb : 13,8 gr%
Leukosit : 2700
Eritrosit : 5,0 juta
Trombosit : 42.000
Hematokrit : 43


DHF - IVFD RL 20 tpm
- Paracetamol drip
- Inj Ranitidine 1
amp
- Inj
Ondancentron
8mg
- Psidii 3x1
- Ciprofloxacin
2x1
8

No Tanggal S O A P
2. 19/09/2014 Demam (+),
muntah (-),
sakit kepala
(+), nyeri ulu
hati (+), ma/mi
(+)
KU lemah
TD : 110/70
N : 84x/menit
S : 37C

Epistaksis (-)
Hepatomegali (-)
Tourniquet Test (+)

LAB :
Hb : 14,8 gr%
Leukosit : 2100
Eritrosit : 5,5 juta
Trombosit : 24.000
Hematokrit : 46


DHF - Psidii 3xII

3. 20/09/2014 Demam naik
turun, muntah(-
), sakit kepala
(-), nyeri ulu
hati (+)
KU lemah
TD : 100/70
N : 88x/menit
S : 37C

Epistaksis (-)
Hepatomegali (-)
Tourniquet Test (+)

LAB :
Hb : 12,4 gr%
Leukosit : 6600
Eritrosit : 4,6 juta
Trombosit : 51.000
Hematokrit : 37
DHF
4. 21/09/2014 Demam (-),
muntah(-), sakit
kepala (-), nyeri
ulu hati (-)
KU lemah
TD : 90/60
N : 90x/menit
S : 37C

Epistaksis (-)
Hepatomegali (-)
Tourniquet Test (+)

LAB :
Hb : 13,3 gr%
Leukosit : 6500
DHF - Tranfusi
trombosit 5 kolf
- Diit bubur saring
- Inf RL 20 tpm
- Inj Dexametason
3x1
- Ciprofloxacin
stop
- Lansoprazole
2x1
9

No Tanggal S O A P
Eritrosit : 5,0 juta
Trombosit : 14.000
Hematokrit : 40
5. 22/09/2014 Demam (-),
muntah(-), sakit
kepala (-), nyeri
ulu hati (-)
KU lemah
TD : 120/80
N : 80x/menit
S : 36C

Epistaksis (-)
Hepatomegali (-)
Tourniquet Test (+)

LAB :
Hb : 12,2 gr%
Leukosit : 6700
Eritrosit : 5,0 juta
Trombosit : 140.000
Hematokrit : 38
DHF - Tranfusi
trombosit 5 kolf
- Lanjut RL 20
tpm


















10

BAB III
PEMBAHASAN

Dari anamnesis diperoleh data bahwa pasien mengeluh demam sejak 5 hari
sebelum masuk rumah sakit. Demam mendadak naik turun, keluhan juga disertai
dengan sakit kepala, nyeri ulu hati, mual, muntah >10 x berupa sisa makanan,
nyeri otot pada seluruh tubuh. Keluhan mimisan (-), gusi berdarah (-), ma/mi <<,
BAB/BAK tidak ada gangguan, Rumple leed test (+).
Pasien tidak memiliki riwayat gastritis sebelumnya dan pasien tidak
pernah mengkonsumsi obat-obatan atau jamu penghilang rasa nyeri.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan TD 90/70 mmHg, peteki, dan nyeri tekan
epigastrium.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan diagnosis
sementara Dengue Haemoragic Fever Grade II. Terdapat tanda-tanda fisik pasien
yang mengarahkan diagnosa pada Dengue Haemoragic Fever Grade II yaitu
demam sering mendadak naik turun sejak 5 hari yang lalu disertai dengan nyeri
pada otot, terdapat penurunan jumlah trombosit (trombositopenia), dan penurunan
jumlah sel darah putih (Leukopenia), grade II ditandai dengan munculnya gejala
perdarahan spontan dikulit dalam bentuk bintik-bintik merah atau disebut peteki
dan trombositopenia menandakan bukti ada kebocoran plasma.
Demam dapat disebabkan karena Virus dengue. Virus ini dibawa oleh
nyamuk Aedes Aegypti, nyamuk tersebut dapat mengandung virus dengue pada
saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus
berkembang biak dalam waktu 8-10 hari.
Berdasarkan anamnesis juga diperoleh bahwa pasien merasa sakit didaerah
epigastrium, sait dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan perih, pasien sering merasa
mual dan sudah muntah lebih dari 10x. Berdasarkan keterangan disimpulkan
bahwa pasien mungkin saja mengalami gastritis. Gastritis adalah inflamasi dari
mukosa lambung. Gambaran klinis yang ditemukan berupa dyspepsia yang
dikeluhkanpasien ini. Gastritis terjadi karena adanya gangguan keseimbangan
faktor agresif dan defensif.
Diagnosis banding pasien ini adalah Dengue Haemoragic Fever dan Gastritis.
Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan adalah darah rutin. Pemeriksaan
darah berguna untuk menilai keadaan sekaligus untuk panduan terapi.
11

Terapi kausal yang diberikan pada pasien ini adalah golongan obat
penghambat pompa proton seperti Lansoprazole. Selanjutnya diberikanobat-
obatan golongan antihistamin H2 seperti Ranitidine, obat ini bekerja dengan cara
memblokir efek histamin padasel parietal sehingga sel parietal tidak dapat
dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung. Efek ini bersifat reversible.
Selain itu diberikan juga obat-obat yang dapat menaikan jumlah trombosit
seperti Psidii PSIDII memiliki keunggulan dalam meningkatkan jumlah trombosit
dengan cepat pada DBD derajat I dan II dengan mekanisme mengahmbat replikasi
virus dengue dan meningkatkan jumlah GM-CSF yang menstimulir pembentukan
megakariosit sebagai bahan awal trombosit.
































12

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. DEFINISI
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam,
nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia, dan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan
plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hemokonsentrasi)
atau penumpukan cairan dirongga tubuh. Sindrom syok dengue (SSD) adalah
demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan atau syok (Sudoyo,
2006).

3.2. ETIOLOGI
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue. Virus ini termasuk dalam
grup B Antropod Borne Virus (Arboviroses) kelompok flavivirus dari family
flaviviridae, yang terdiri dari empat serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3,
DEN 4. Masingmasing saling berkaitan sifat antigennya dan dapat
menyebabkan sakit pada manusia. Keempat tipe virus ini telah ditemukan di
berbagai daerah di Indonesia. DEN 3 merupakan serotipe yang paling sering
ditemui selama terjadinya KLB di Indonesia diikuti DEN 2, DEN 1, dan
DEN 4. DEN 3 juga merupakan serotipe yang paling dominan yang
berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit yang menyebabkan gejala
klinis yang berat dan penderita banyak yang meninggal.

3.3. CARA PENULARAN
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi
virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue
ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk
Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat
juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan.
Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit
13

manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di
kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation
period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan
berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada
telurnya (transovanan transmission), namun perannya dalam penularan virus
tidak penting.

Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk,
nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di
tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 46 hari (intrinsic
incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia
kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang
sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah
demam timbul.

3.4. EPIDEMIOLOGI
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti
yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda.
Saat itu infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai
penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga
sebagai demam sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena demam
yang terjadi menghilang dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi,
nyeri otot, dan nyeri kepala. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia
Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan
kematian. Tetapi sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan
penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD yang ditemukan di
Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke negara lain seperti Thailand,
Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit DBD
dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat
tinggi.
14

Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD
sangat kompleks, yaitu :
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi;
2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali;
3. Tidak adanya control vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis; dan
4. Peningkatan sarana transportasi.

Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai factor
antara lain :
a. Status imunitas pejamu (terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga,
mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin);
b. Kepadatan vektor nyamuk (perkembangbiakan vector nyamuk, kebiasaan
menggigit, kepadatan vector dilingkungan, transmisi virus dengue,
keganasan (virulensi) virus dengue); dan
c. Kondisi geografis setempat (curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan
penduduk). Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di
Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah
penyebaran penyakit terjadi peningkatan yang pesat. Sampai saat ini DBD
telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah
melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate meningkat dari
0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27
per 100,000 penduduk. Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi
oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32C)
dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup
untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan
kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya
penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya
infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga
kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.


15

3.5. PATOGENESA
Pathogenesis terjadinya demam berdarah sampai saat ini masih
diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme imunologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue
dan sindrom renjatan dengue.

Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD adalah :
a. Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berperan dalam
proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan
sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue
berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag.
Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE).
b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam
respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu
TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan
TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10.
c. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi
antibody. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan
replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.
d. Selain itu aktofasi komplemen oleh komplek imun menyebabkan
terbentuknya C3a dan C5a.

Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary
heterologous infection dapat dilihat pada (Gambar 1) yang dirumuskan oleh
Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue
yang berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan
terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan
transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti
dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit
yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak.
Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi
16

(virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi
sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada
pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari
30% dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti
dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan
terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang
tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia,
yang dapat berakhir fatal, oleh karena itu pengobatan syok sangat penting
guna mencegah kematian.
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus
binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu
virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh
nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat
menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi
dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa
strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar.













17

Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.



Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-
antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi
trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel
pembuluh darah (gambar 2). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan
perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari
perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit
melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan
oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia.

Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor
III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (DIC = diseminata
18

intravaskular coagulasi), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen
degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.



Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi
baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi factor
Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu
peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok.
Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia,
penurunan faktor pembekuan (akibat DIC), kelainan fungsi trombosit, dan
kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat
syok yang terjadi.

19

3.6. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatis atau
dapat berupa demam yang tidak khas, pada umumnya pasien mengalami fase
demam selama 2-7 hari yang diikuti fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu
fase ini pasein sudah tidak demam tetapi memiliki resiko tinggi terjadinya
renjatan. Gambaran klinis nya terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase kritis
dan fase pemulihan.

Fase febris biasanya demam mendadak tinggi 2-7 hari, disertai muka
kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit
kepala. Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorokan, injeksi farings
dan konjungtiva. Anoreksia, mual dan muntah sering terjadi. Pada fase ini
dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti petekie, perdarahan mukosa,
walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan
gastrointestinal. Pembesaran dan nyeri tekan hepar sering tampak
setelah beberapa hari demam. Sedangkan pada pemeriksaan darah lengkap
tanda abnormal yang dapat di lihat secara dini adalah penurunan progresif
dari jumlah total leukosit. Setelah fase febris, akan terjadi fase kritis pada hari
3-7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh (37,5-38C atau kurang)
disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma
yang biasanya berlangsung selama 24- 48 jam. Kebocoran plasma dapat
terlihat dari adanya efusi pleura, asites, dan sering didahului oleh lekopeni
progresif disertai penurunan jumlah trombosit. Pada fase ini dapat terjadi
syok yang memiliki beberapa tanda peringatan seperti penurunan temperatur
suhu tubuh. Bila fase kritis terlewati maka terjadi Fase pemulihan yang
berupa pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara
perlahan pada 48-72 jam setelahnya. Keadaan umum penderita membaik,
nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis membaik.

Jika tidak segera ditangani atau ditangani secara tidak tepat, penyakit
ini dapat menjadi berat dan menyebabkan kematian. Dengue berat harus
20

dicurigai bila pada pasien berasal dari daerah resiko tinggi penyakit dengue
dengan demam yang berlangsung 2-7 hari disertai dengan ditemuan berikut :
Bukti kebocoran plasma seperti hematokrit yang tinggi atau meningkat
secara progresif, adanya efusi pleura atau asites, gangguan sirkulasi
atausyok (takikardi, ekstremitas yang dingin, waktu pengisian
kapiler (capillary refill time) > 3 detik, nadi lemah atau tidak terdeteksi,
tekanan nadi yang menyempit atau pada syok lanjut tidak terukurnya
tekanan darah)
Adanya perdarahan yang signifikan
Gangguan kesadaran
Gangguan gastrointestinal berat (muntah berkelanjutan, nyeri
abdomenyang hebat atau bertambah, ikterik)
Gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut,
ensefalopati/ensefalitis, kardiomiopati dan manifestasi lainnya yang
tak lazim.



Prediksi klinis infeksi virus dengue ditentukan oleh hubungan kompleks
antara faktor penjamu dan virus (WHO Scientific Working Group : Report on
21

Dengue, 2006). Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat
asimtomatik atau dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue,
demam berdarah dengue, atau sindrom syok dengue (Suhendro, 2006).

1. Demam Dengue
Periode inkubasi adalah 1-7 hari. Manifestasi klinis bervariasi dan
dipengaruhi usia pasien. Pada bayi dan anak-anak, penyakit ini dapat
tidak terbedakan atau dikarakteristikkan sebagai demam selama 1-5 hari,
peradangan faring, rinitis, dan batuk ringan. Kebanyakan remaja dan
orang dewasa yang terinfeksi mengalami demam secara mendadak,
dengan suhu meningkat cepat hingga 39,4-41,1C, biasanya disertai nyeri
frontal atau retro-orbital, khususnya ketika mata ditekan. Kadang-kadang
nyeri punggung hebat mendahului demam. Suatu ruam transien dapat
terlihat selama 24-48 jam pertama demam.

Denyut nadi dapat relatif melambat sesuai derajat demam. Mialgia
dan artalgia segera terjadi setelah demam. Dari hari kedua sampai hari
keenam demam, mual dan muntah terjadi, dan limfadenopati generalisata,
hiperestesia atau hiperalgesia kutan, gangguan pengecapan, dan anoreksia
dapat berkembang. Sekitar 1-2 hari kemudian, ruam makulopapular
terlihat, terutama di telapak kaki dan telapak tangan, kemudian
menghilang selama 1-5 hari. Kemudian ruam kedua terlihat, suhu tubuh,
yang sebelumnya sudah menurun ke normal, sedikit meningkat dan
mendemonstrasikan karakteristik pola suhu bifasik.

2. Demam Berdarah Dengue
Pembedaan antara demam dengue dan demam berdarah dengue
sulit pada awal perjalanan penyakit. Fase pertama yang relatif lebih
ringan berupa demam, malaise, mual-muntah, sakit kepala, anoreksia, dan
batuk berlanjut selama 2-5 hari diikuti oleh deteriorasi dan pemburukan
klinis. Pada fase kedua ini pasien umumnya pilek, ekstremitas basah oleh
22

berkeringat, badan hangat, wajah kemerah-merahan, diaforesis, kelelahan,
iritabilitas, dan nyeri epigastrik. Sering dijumpai petekie menyebar di
kening dan ekstremitas, ekimosis spontan, dan memar serta pendarahan
dapat dengan mudah terjadi di lokasi pungsi vena. Ruam makular atau
makulopapular dapat terlihat.

Respirasi cepat dan melelahkan. Denyut nadi lemah dan cepat,
suara jantung melemah. Hati dapat membesar 4-6 dan biasanya keras dan
sulit digerakkan. Sekitar 20-30% kasus demam berdarah dengue
berkomplikasi syok (sindromsyok dengue). Kurang dari 10% pasien
mengalami ekimosis hebat atau perdarahan gastrointestinal, biasanya
sesudah periode syok yang tidak diobati. Setelah krisis 24-36 jam,
pemulihan terjadi dengan cepat pada anak yang diobati. Temperatur dapat
kembali normal sebelum atau selama syok. Bradikardia dan ektrasistol
ventricular umumnya terjadi saat pemulihan (Halstead, 2007).

3. Sindrom Syok Dengue
Seluruh kriteria DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan
manifestasi nadiyang cepat dan lemah, tekanan darah turun (<20 mmHg),
hipotensi dibandingkan standard sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta
gelisah.










23

3.7. DIAGNOSA
Untuk menegakkan diagnosis DBD didasarkan pada kriteria menurutWHO
(1997), yaitu :
a. Kriteria Klinis.
Panas tinggi mendadak, terus menerus selama 2-7 hari tanpa sebabyang
jelas (tipe demam bifasik)
Manifestasi perdarahan
Uji tourniquet positif
Petekhie, echimosis, purpura
Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
Hematemesis dan atau melena
Hepatomegali.
Kegagalan sirkulasi (syok) yang ditandai dengan :
Nadi cepat dan lemah
Tekanan darah menurun ( 20 mmHg)
Hipotensi (tekanan sistolik 80 mmHg)
Akral dingin
Kulit lembab
Pasien tampak gelisah
b. Kriteria Laboratoris.
1. Trombositopenia (AT < 100.000/L)
2. Hemokonsentrasi ditandai dengan nilai hematokrit lebih dari atau sama
dengan 20% dibandingkan dengan masa kovalesen yang dibandingkan
dengan nilai Hct sesuai umur, jenis kelamin dari populasi. Dua kriteria
klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi (atau
peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan diagnosis
klinisDBD. Efusi pleura dan atau hipoalbuminemia dapat memperkuat
diagnosis terutama pada pasien anemia dan atau terjadi perdarahan.
Pada kasus syok, adanya peningkatan hematokrit dan adanya
trombositopenia mendukung diagnosis DBD.

24

3.8. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pasien DBD umumnya berorientasi kepada
pemberian cairan. Harris et al. (2003) mendemonstrasikan bahwa meminum
cairan seperti air atau jus buah dalam 24 jam sebelum pergi ke dokter
merupakan faktor protektif melawan kemungkinan dirawat inap di rumah
sakit. Setiap pasien tersangka demam dengue atau DBD sebaiknya dirawat di
tempat terpisah dengan pasien penyakit lain, sebaiknya pada kamar yang
bebas nyamuk (berkelambu). Penatalaksanaan pada demam dengue atau
DBD tanpa penyulit adalah :
Tirah baring.
Pemberian cairan. Bila belum ada nafsu makan dianjurkan untuk minum
banyak 1,5-2 liter dalam 24 jam (susu, air dengan gula/sirup, atau air
tawar ditambah dengan garam saja).
Medikamentosa yang bersifat simtomatis. Untuk hiperpireksia dapat
diberikan kompres kepala, ketiak atau inguinal. Antipiretik sebaiknya dari
golongan asetaminofen, eukinin atau dipiron. Hindari pemakaian asetosal
karena bahaya perdarahan.
Antibiotik diberikan bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.

Pasien DHF perlu diobservasi teliti terhadap penemuan dini tanda syok, yaitu
:
Keadaan umum memburuk.
Terjadi pembesaran hati.
Masa perdarahan memanjang karena trombositopenia.
Hematokrit meninggi pada pemeriksaan berkala.






25

Penanganan DHF berdasarkan 5 protokol yaitu :
1. Protokol 1: Penanganan tersangka DHF dewasa tanpa syok









Protokol 1 ini dapat digunakan sebagai petunjuk dalam
memberikan pertolongan pertama pada pasien DBD atau yang diduga
DBD di Puskesmas atau Istalasi Gawat Darurat Rumah Sakit dan tempat
perawatan lainnya untuk dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan
indikasi rujuk atau rawat.

Manifestasi perdarahan pada pasien DBD pada fase awal mungkin
masih belum tampak, demikian pula hasil pemeriksaan darah tepi (Hb, Ht,
lekosit dantrombosit) mungkin masih dalam batas-batas normal, sehingga
sulit membedakannya dengan gejala penyakit infeksi akut lainnya.
Perubahan ini mungkin terjadi dari saat ke saat berikutnya. Maka pada
kasus-kasus yang meragukan dalam menentukan indikasi rawat diperlukan
observasi/pemeriksaan lebih lanjut. Pada seleksi pertama diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis danpemeriksaan fisik serta hasil
pemeriksaan Hb, Ht, dan jumlah trombosit.

Indikasi rawat pasien DBD dewasa pada seleksi pertama adalah:
1. DBD dengan syok dengan atau tanpa perdarahan.
2. DBD dengan perdarahan masif dengan atau tanpa syok.
3. DBD tanpa perdarahan masif dengan
26

a. Hb, Ht, normal dengan trombosit < 100.000/pl.
b. Hb, HT yang meningkat dengan trombositpenia < 150.000/pl.

Pasien yang dicurigai menderita DBD dengan hasil Hb, Ht
dantrombosit dalam batas nomal dapat dipulangkan dengan anjuran
kembali kontrol ke poliklinik Rumah Sakit dalam waktu 24 jam berikutnya
atau bila keadaan pasien rnemburuk agar segera kembali ke Puskesmas
atau Fasilitas Kesehatan. Sedangkan pada kasus yang meragukan indikasi
rawatnya, maka untuk sementara pasien tetap diobservasi di Puskesmas
dengan aniuran minum yang banyak, serta diberikan infus ringer laktat
sebanyak 500cc dalam empat jam. Setelah itu dilakukan pemeriksaan
ulang Hb, Ht dan trombosit.
Pasien di rujuk apabila didapatkan hasil sebagai berikut :
1. Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit kurang dari
100.000/pl; atau
2. Hb, Ht yang meningkat dengan jumlah trombosit kurang dari
150.000/pl.

Pasien dipulangkan apabila didapatkan nilai Hb, Ht dalam batas
normal dengan jumlah trombosit lebih dari 100.000/pl dan dalam waktu 24
jam kemudian diminta kontrol ke Puskesmas/Poliklinik atau kembali ke
IGD apabila keadaan menjadi memburuk. Apabila masih meragukan,
pasien tetap diobservasi dantetap diberikan infus ringer laktat 500cc dalam
waktu empat jam berikutnya. Setelah itu dilakukan pemeriksaan ulang Hb,
Ht dan jumlah trombosit.

Pasien dirawat bila didapatkan hasil laboratorium sebagai berikut :
1. Nilai Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit kurang dari
100.000/ul.
2. Nilai Hb, Ht tetap/meningkat dibanding nilai sebelumnya dengan
jumlah trombosit normal atau menurun Selama diobservasi perlu
27

dimonitor tekanan darah, frekwensi nadi danpernafasan serta jumlah
urin minimal setiap 4 jam.

2. Protokol 2 Pemberian cairan pada tersangka DHF dewasa di ruang
rawat











Pada pasien DBD dewasa tanpa perdarahan masif (uji tourniquet
positif petekie, purpura, epistaksis ringan, perdarahan gusi ringan) dan
tanpa syok di ruang rawat; pemberian cairan Ringer laktat merupakan
pilihan pertama. Cairan lain yang dapat dipergunakan antara lain cairan
dekstrosa 5% dalam ringer laktat atau ringer asetat, dekstrosa 5% dalam
NaCl 0,45%, dekstrosa 5% dalam larutan garam atau NaCl 0,9%.
Jumlah cairan yang diberikan dengan perkiraan selama 24 jam,
pasien mengalami dehidrasi sedang, maka pada pasien dengan berat badan
sekitar 50-70 kg diberikan ringer laktat per infus sebanyak 3.000 cc dalam
waktu 24 jam. Pasien dengan berat badan kurang dari 50 kg pemberian
cairan infuse dapat dikurangi dan diberikan 2.000 cc/24 jam, sedangkan
pasien dengan berat badan lebih dari 79 kg dapat diberikan cairan infus
sampai dengan 4.000 cc/ 24 jam. Jumlah cairan infus yang diberikan harus
diperhitungkan kembali pada pasien DBD dewasa dengan kehamilan
28

terutama pada usia kehamilan 28-32 minggu atau pada pasien dengan
kelainan jantung/ginjal atau pada pasien lanjut usia lanjut serta pada pasien
dengan riwayat epilepsi. Pada pasien dengan usia 40 tahun atau lebih
pemeriksaan elektrokardiografi merupakan salah satu standar prosedur
operasional yang harus dilakukan.

Selama fase akut jumlah cairan infus diberikan pada hari
berikutnya setiap harinya tetap sama dan pada saat mulai didapatkan
tanda-tanda penyembuhan yaitu suhu tubuh mulai turun, pasien dapat
minum dalam jumlah cukup banyak (sekitar dua liter dalam 24 jam) dan
tidak didapatkannya tanda-tanda hemokonsentrasi serta jumlah trombosit
mulai meningkat lebih dari 50.000/pi, maka jumlah cairan infus
selanjutnya dapat mulai dikurangi.

Mengingat jumlah pemberian cairan infus pada pasien DBD
dewasa tanpa perdarahan masif dan tanda renjatan tersebut sudah
memadai, maka pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukannya setiap 12
jam untuk pasien dengan jumlah trombosit kurang dari 100.000/p 1,
sedangkan untuk pasien DBD dewasa dengan jumlah trombosit berkisar
100.000-150.000/pl, pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukan setiap
24 jam. Pemeriksaan tekanan darah, frekwensi nadi dan pernafasan, dan
jumlah urin dilakukan setiap 6 jam, kecuali bila keadaan pasien semakin
memburuk dengan didapatkannya tanda-tanda syok, maka pemeriksaan
tanda-tanda vital tersebut harus lebih diperketat.

Mengenai tanda-tanda syok sedini mungkin sangat diperlukan,
karena penanganan pasien DSS lebih sulit, dandisertai dengan risiko
kematian yang lebih tinggi. Tanda-tanda syok dini yang harus segera
dicurigai apabila pasien tampak gelisah, atau adanya penurunan kesadaran,
akral teraba lebih dingin dan tampak pucat, serta jumlah urin yang
menurun kurang dari 0,5ml/kgBB/jam. Gejala-gejala diatas merupakan
29

tanda-tanda berkurangnya aliran/perfusi darah ke organ vital tersebut.
Tanda-tanda lain syok dini adalah tekanan darah menurun dengan tekanan
sistolik kurang dari 100 mmHg, tekanan nadi kurang dari 20 mmHg, nadi
cepat dan kecil. Apabila didapatkan tanda-tanda tersebut pengobatan syok
harus segera diberikan.

Transfusi trombosit hanya diberikan pada DBD dengan
perdarahan massif (perdarahan dengan jumlah darah 4-5 ml/kgBB/jam)
dengan jumlah trombosit < 100.000/pl, dengan atau tanpa koagulasi
intravaskular disseminata (KID). Pasien DBD dengan trombositopenia
tanpa perdarahan masif tidak diberikan transfusi suspensi trombosit.

Pasien dapat dipulang apabila :
1. Keadaan umum /kesadaran danhemodinamik baik, serta tidak demam.
2. Pada umumnya Hb, Ht danjumlah trombosit dalam batas normal serta
stabil dalam 24 jam, tetapi dalam beberapa keadaan, walaupun jumlah
trombosit belum mencapai normal (diatas 50.000) pasien sudah dapat
dipulangkan.

Apabila pasien dipulangkan sebelum hari ketujuh sejak masa
sakitnya atau trombosit belum dalam batas normal, maka diminta kontrol
ke poiliklinik dalam waktu 1x24 jam atau bila kemudian keadaan umum
kembali memburuk agar segera dibawa ke UGD kembali.





30

3. Protokol 3 Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit
>20%











Perdarahan spontan dan masif pada pasien DBD dewasa
misalnya perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun
telah diberi tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan
melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria),
perdarahan otak dan perdarahan tersembunyi, dengan jumlah perdarahan
sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti inijumlah dan kecepatan
pemberian cairan ringer laktat tetap seperti keadaan DBD tanpa renjatan
lainnya 500 ml setiap 4 jam. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan
dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan
terhadap tanda-tanda syok sedini mungkin.
Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit serta hemostase harus
segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya
diulang setiap 4-6 jam. Heparin diberikan apabila secara klinis dan
laboratoris didapatkan tanda-tanda KID. Transfusi komponen darah
diberikan sesuai indikasi. Fresh Frozen Plasma (FFP) diberikan bila
didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan PTT yang
memanjang), Packed Red Cell (PRC) diberikan bila nilai Hb kurang
dari 10 g%. Transfusi trombosit hanya diberikan pada DBD dengan
31

perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit kurang dari
100.000 disertai atau tanpa KID.

Pada kasus dengan KID pemeriksaan hemostase diuiang 24
jam kemudian, sedangkan pada kasus tanpa KID pemeriksaan
hemostase dikerjakan bila masih ada perdarahan. Penderita DBD
dengan gejaia-gejala tersebut diatas, apabila dijumpai di Puskesmas
perlu dirujuk dengan infus. Idealnya menggunakan plasma expander
(dextran) 1-1,5 liter/24jam. Bila tidak tersedia, dapat digunakan cairan
kristaloid.

4. Protokol 4 Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DHF
Dewasa












Kewaspadaan terhadap tanda syok dini pada semua kasus
DBD sangat penting, karena angka kematian pada SSD sepuluh kali
lipat dibandingkan pasien DBD tanpa syok. SSD dapat terjadi karena
keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan/pengobatan,
32

penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan
terhadap tanda syok dini, dan pengobatan SSD yang tidak adekuat.

Pada kasus SSD, ringer laktat adalah cairan kristaloid pilihan
pertama yang sebaiknya diberikan karena mengandung Na laktat
sebagai korektor basa. Pilihan lainya adalah NaCl 0,9%. Selaian
resustasi cairan, pasien juga diberi oksigen 2-4 liter/menit, dan
pemeriksaan yang harus dilakukan adalah elektrolit natrium, kalium,
klorida serta ureum dan kreatinin.

Pada fase awal ringer laktat diberikan sebanyak 20
ml/kgBB/jam (infuse cepat/guyur) dapat dilakukan dengan memakai
jarum infus yang besar/nomor 12), dievaluasi selama 30-120 menit.
Syok sebaiknya dapat diatasi segera/secepat mungkin dalam waktu 30
menit pertama. Syok dinyatakan teratasi bila keadaan umum pasien
membaik, kesadaran/keadaan sistem saraf pusat baik, tekanan sistolik
100 mmHg atau lebih dengan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg,
frekwensi nadi kurang dari 100/menit dengan volume yang cukup, akral
teraba hangat dan kulit tidak pucat, serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam.

Apabila syok sudah dapat diatasi pemberian ringer laktat
selanjutnya dapat dikurangi menjadi 10 ml/kgBB/jam dan evaluasi
selama 60-120 menit berikutnya. Bila keadaan klinis stabil, maka
pemberian cairan ringer selanjutnya sebanyak 500 cc setiap 4 jam.
Pengawasan dini kemungkinan terjadi syok berulang harus dilakukan
terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadinya syok, oleh
karena selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, juga sifat
cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh
darah setelah 1 jam dari saat pemberiannya. Oleh karena itu apabila
hemodinamik masih belum stabil dengan nilai Ht lebih dari 30%
dianjurkan untuk memakai kombinasi kristaloid dan koloid dengan
33

perbandingan 4:1 atau 3:1, sedangkan bila nilai Ht kurang dari 30 vol %
hendaknya diberikan transfusi sel darah merah (packed red cells).
Apabila pasien SSD sejak awal pertolongan cairan diberikan kristaloid
dan ternyata syok masih tetap belum dapat diatasi, maka sebaiknya
segera diberikan cairan koloid. Bila hematokrit kurang dari 30 vol %
dianjurkan diberikan juga sel darah merah. Cairan koloid diberikan
dalam tetesan cepat 10-20 ml/kgBB/jam dan sebaiknya yang tidak
mempengaruhi/menggangu mekanisme pembekuan darah. Gangguan
mekanisme pembekuan darah ini dapat disebabkan terutama karena
pemberian dalam jumlah besar, selain itu karena jenis koloid itu sendiri.
Oleh sebab itu koloid dibatasi maksimal sebanyak 1000-1500 ml dalam
24 jam.
Saat ini ada 3 golongan cairan koloid yang masing-masing
mempunyai keunggulan dan kekurangannya, yaitu :

1. Dekstran
Larutan 10% dekstran 40 dan larutan 6% dekstran 70
mempunyai sifat isotonik dan hiperonkotik, maka pemberian dengan
larutan tersebut akan menambah volume intravaskular oleh karena
akan menarik cairan ekstravaskular. Efek volume 6% De kstran 70
dipertahankan selama 6-8 jam, sedangkan efek volume 10%
Dekstran 40 dipertahankan selama 3,5-4,5 jam. Kedua larutan
tersebut dapat menggangu mekanisme pembekuan darah dengan cara
menggangu fungsi trombosit dan menurunkan jumlah fibrinogen
serta faktor VIII, terutama bila diberikan lebih dari 1000 ml/24 jam.
Pemberian dekstran tidak baleh diberikan pada pasien dengan KID.

2. Gelatin
Haemasel dan gelafundin merupakan larutan gelatin yang
mempunyai sifat isotonik dan isoonkotik. Efek volume larutan
34

gelatin menetap sekitar 2-3 jam dan tidak mengganggu mekanism
pembekuan darah.

3. Hydroxy Ethyl Starch (HES)
6% HES 200/0,5; 6% HES 200/0,6; 6% HES 450/0,7
adalah larutan isotonic dan isonkotik, sedangkan 10% HES 200/0,5
adalah larutan isotonik dan hiponkotik. Efek volume 6%/10/o HES
200/0,5 menetap dalam 4-8 jam, sedangkan larutan 6% HES 200/0,6
dan 6% HES 450/0,7 menetap selama 8-12 jam. Gangguan
mekanisme pembekuan tidak akan terjadi bila diberikan kurang dari
1500cc/24 jam, dan efek ini terjadi karena pengenceran dengan
penurunan hitung trombosit sementara, perpanjangan waktu
protrombin dan waktu tromboplastin parsial, serta penurunan
kekuatan bekuan.

Pada kasus SSD apabila setelah pemberian cairan koloid syok
dapat diatasi, maka penatalaksanaan selanjutnya dapat diberikan ringer
laktat dengan kecepatan sekitar 4-6 jam setiap 500cc. Bila syok belum
dapat diatasi, selain ringer laktat juga dapat diberikan obat-obatan
vasopresor seperti dopamin, dobutamin, atau epinephrin. Bila dari
pemeriksaan hemostasis disimpulkan ada KID maka heparin. Bila dari
pemeriksaan hemostasis disimpulkan ada KID, maka heparin dan
transfusi kompunen darah diberikan sesuai dengan indikasi seperti
tersebut diatas.

Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukan setiap 4-6 jam.
Pemeriksaan hemostasis ulangan pada kasus dengan KID dilakukan 24
jam kemudian sejak dimulainya pemberian heparin, sedangkan pada
kasus tanpa KID; pemeriksaan hemostasis ulangan hanya dilakukan bila
masih terdapat perdarahan.

35

Pemberian antibiotik perlu dipertimbangkan pada SSD
mengingat kemungkinan infeksi sekunder dengan adanya translokasi
bakteri dari saluran cerna. Indikasi lain pemakaian antibiotik pada
DBD, bila didapatkannya infeksi sekunder di tempat/organ lainnya, dan
antibiotik yang digunakan hendaknya yang tidak mempunyai efek
terhadap sistem pembekuan.

5. Protokol 5 Penanganan tatalaksana sindroma syok dengue pada
dewasa.
Pada prinsipnya pelaksanaan protokol 5 ini sama dengan
protokol 4 hanya pemeriksaan secara klinis maupun laboratorium (Hb,
Ht, trombosit) perlu dilakukan secara teliti dan seksama untuk
menentukan kemungkinan adanya perdarahan yang tersembuyi disertai
dengan KID, maka pemberian heparin dapat diberikan seperti pada
protokol 4. Tetapi bila tidak didapatkan tanda-tanda perdarahan,
walaupun hasil pemeriksaan hemostasis menunjukkan adanya KID,
maka heparin tidak diberikan, kecuali bila ada perkembangan kearah
perdarahan.

Jika ditemukan tanda-tanda dini tersebut, infus harus segera
dipersiapkan dan terpasang pada pasien. Observasi meliput pemeriksaan
tiap jam terhadap keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu dan
pernafasan; serta Hb dan Ht setiap 4-6 jam pada hari-hari pertama
pengamatan, selanjutnya setiap 24 jam.

Terapi untuk sindrom syok dengue bertujuan utama untuk
mengembalikan volume cairan intravaskular ke tingkat yang normal,
dan hal ini dapat tercapai dengan pemberian segera cairan intravena.
Jenis cairan dapat berupa NaCl 0,9%, Ringers lactate (RL) atau bila
terdapat syok berat dapat dipakai plasma atau ekspander plasma.
Jumlah cairan disesuaikan dengan perkembangan klinis. Kecepatan
36

permulaan infus ialah 20 ml/kg berat badan/ jam, dan bila syok telah
diatasi, kecepatan infus dikurangi menjadi 10 ml/kg berat badan/jam.
Pada kasus syok berat, cairan diberikan dengan diguyur, dan bila tak
tampak perbaikan, diusahakan pemberian plasma atau ekspander
plasma atau dekstran atau preparat hemasel dengan jumlah 15-29 ml/kg
berat badan. Dalam hal ini perlu diperhatikan keadaan asidosis yang
harus dikoreksi dengan Na-bikarbonat. Pada umumnya untuk menjaga
keseimbangan volume intravaskular, pemberian cairan intravena baik
dalam bentuk elektrolit maupun plasma dipertahankan 12-48 jam
setelah syok selesai.













Pada tahun 1997, WHO merekomendasikan jenis larutan infus
yang dapat diberikan pada pasien demam dengue/DBD :

1. Kristaloid.
Larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer
laktat(D5/RL).
Larutan ringer asetat (RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan
ringerasetat (D5/RA).
37

Larutan NaCl 0,9% (garam faali/GF) atau dekstrosa 5% dalam
larutanfaali (D5/GF).

2. Koloid (plasma).
Transfusi darah dilakukan pada :
Pasien dengan perdarahan yang membahayakan (hematemesis dan
melena).
Pasien sindrom syok dengue yang pada pemeriksaan berkala,
menunjukkan penurunan kadar Hb dan Ht.
Pemberian transfusi profilaksis trombosit atau produk darah
masih banyak dipraktikkan. Padahal, penelitian Lum et al (2003)
menemukan bukti bahwa praktik ini tidak berguna dalam pencegahan
perdarahan yang signifikan. Pemberian kortikosteroid tidak
memberikan efek yang bermakna. Pada pasien dengan syok yang lama,
koagulopati intravaskular diseminata ( disseminated intravascular
coagulophaty (DIC) diperkirakan merupakan penyebab utama
perdarahan. Bila dengan pemeriksaan hemostasis terbukti adanya DIC,
heparin perlu diberikan. (Hendarwanto, 1996).

3.9. KOMPLIKASI
Perdarahan luas
Shock atau renjatan
Penurunan kesadaran
Effuse pleura
Ensefalopati dengue
Gagal ginjal akut

3.10. PROGNOSA
Prognosis DBD berdasarkan kesuksesan dalam tetapi dan
penetalaksanaan yang dilakukan. Terapi yang tepat dan cepat akan
38

memberikan hasil yang optimal. Penatalaksanaan yang terlambat akan
menyebabkan komplikasi dan penatalaksanaan yang tidak tapat dan adekuat
akan memperburuk keadaan.

Kematian karena demam dengue hampir tidak ada. Pada DBD/SSD
mortalitasnya cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya,
Semarang, dan Jakarta menunjukkan bahwa prognosis dan perjalanan
penyakit umumnya lebih ringan pada orang dewasa dibandingkan pada anak-
anak.

DBD Derajat I dan II akan memberikan prognosis yang baik,
penatalaksanaan yang cepat, tepat akan menentukan prognosis. Umumnya
DBD Derajat I dan II tidak menyebabkan komplikasi sehingga dapat sembuh
sempurna.

DBD derajat III dan IV merupakan derajat sindrom syok dengue
dimana pasien jatuh kedalam keadaan syok dengan atau tanpa penurunan
kesadaran. Prognosis sesuai penetalaksanaan yang diberikan Dubia at bonam.



















39

BAB IV
PENUTUP


Demam Dengue/DF dan Demam Berdarah Dengue/DBD (dengue
haemorrhagic fever /DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot, dan/atau nyeri sendi yang
disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan demam
hemoragik.

Diagnosa DHF ditegakkan bila memenuhi kriteria WHO berupa
adanya demam akut atau riwayat demam akut yang disertai dengan manifestasi
perdarahan, trombositopenia dan tanda kebocoran plasma. Kasus Nn. H ini
memenuhi seluruh kriteria tersebut sehingga diagnosa kasus ini adalah DHF.

Tidak ada terapi spesifik untuk DHF, prinsip utama adalah terapi
supportif. Dengan terapi supportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan
hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan voluma cairan sirkulasi merupakan tindakan
yang paling penting dalam penanganan kasus DHF. Asupan cairan pasien harus
tetap dijaga, terutama cairan oral. Pemberian cairan berperan untuk mencegah
dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.











40

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo,WA dkk., 2009 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima
jilid III, EGC : Jakarta
2. Sastroamoro, S dkk., 2007., Panduan Pelayanan Medis Departemen
Penyakit Dalam RSUP Nasional dr.Cipto Mangunkusumo., Jakarta
3. Mubin, AH., 2006., Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam Edisi 2 :
Diagnosis dan Terapi, EGC : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai