Anda di halaman 1dari 7

Tenno Tanaka Sutyandi (1206215301)

Tugas Mata Kuliah Bisnis dan Ekonomi Indonesia


Penjelasan BI Rate sebagai Suku Bunga Acuan
Definisi
BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan
moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. Secara sederhana,
BI Rate merupakan indikasi level suku bunga jangka pendek yang diinginkan Bank Indonesia
dalam upaya mencapai target inflasi.

Jadwal Penetapan dan Penentuan BI Rate
Penetapan respons (stance) kebijakan moneter dilakukan setiap bulan melalui mekanisme RDG
Bulanan dengan cakupan materi bulanan.

Respon kebijakan moneter (BI Rate) ditetapkan berlaku sampai dengan RDG berikutnya

Penetapan respon kebijakan moneter (BI Rate) dilakukan dengan memperhatikan efek tunda
kebijakan moneter (lag of monetary policy) dalam memengaruhi inflasi.

Dalam hal terjadi perkembangan di luar prakiraan semula, penetapan stance Kebijakan
Moneter dapat dilakukan sebelum RDG Bulanan melalui RDG Mingguan.

BI rate diumumkan ke publik segera setelah ditetapkan dalam RDG. Langkah-langkah
dimaksud ditujukan untuk meningkatkan efektivitas tata kelola (governance) kebijakan
moneter dalam mencapai kestabilan harga sebagai elemen sasaran akhir kebijakan ekonomi
makro yang menyeluruh (social welfare).

Dalam pasal 43 UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 3 Tahun 2004 dinyatakan bahwa sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam
sebulan dilaksanakan Rapat Dewan Gubernur (RDG) untuk menetapkan kebijakan umum di
bidang moneter. RDG Bulanan merupakan RDG untuk melakukan evaluasi atas kebijakan
moneter yang ditempuh serta untuk menetapkan arah kebijakan moneter ke depan.
Besar Perubahan BI Rate
Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam perubahan BI Rate (secara konsisten dan
bertahap dalam kelipatan 25 basis poin (bps). Dalam kondisi untuk menunjukkan intensi Bank
Indonesia yang lebih besar terhadap pencapaian sasaran inflasi, maka perubahan BI Rate dapat
dilakukan lebih dari 25 bps dalam kelipatan 25 bps.

Ketika pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sampai dengan 126%
pada bulan Oktober 2005 Bank Indonesia merespon kondisi tersebut dengan menaikkan BI Rate
sebesar 100 basis points (bps) 10% menjadi 11%. Ketika indikator makroekonomi menunjukkan
kinerja yang positif seperti pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi cukup
terkendali, dan stabilitas nilai rupiah tetap terjaga, pada tanggal 6 Desember 2007, Bank
Indonesia menurunkan BI Rate sebesar 25 bps dari 8,25% menjadi 8%. Sebenarnya apa
hubungan antara BI Rate dengan kenaikan harga BBM, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi
dan dengan stabilitas nilai tukar.
Fungsi BI Rate
BI Rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap Rapat Dewan
Gubernur bulanan dan diimplementasikan pada operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia
melalui pengelolaan likuiditas (liquidity management) di pasar uang untuk mencapai sasaran
operasional kebijakan moneter. Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada
perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar BankOvernight (PUAB O/N). Pergerakan di suku
bunga PUAB ini diharapkan akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga deposito, dan pada
gilirannya suku bunga kredit perbankan.
Dengan mempertimbangkan pula faktor-faktor lain dalam perekonomian, Bank Indonesia
pada umumnya akan menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui
sasaran yang telah ditetapkan, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate apabila
inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan.
Sasaran akhir suatu kebijakan moneter dalam arti luas mencakup stabilitasi harga;
pertumbuhan ekonomi; perluasan kesempatan kerja; keseimbangan neraca pembayaran; stabilitas
pasar keuangan; dan stabilitas pasar valuta asing. Secara ideal, semua sasaran tersebut dapat
dicapai secara bersamaan. Namun dalam prakteknya di Indonesia seringkali mengandung unsur-
unsur yang kontradiktif. Misalnya: usaha untuk mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan
memperluas kesempatan kerja pada umumnya dapat berdampak negatif terhadap kestabilan
harga dan keseimbangan neraca pembayaran.
Menyadari hal ini, Bank Indonesia memfokuskan sasaran kebijakan moneternya pada
stabilitas nilai Rupiah, yang dicapai melalui stabilitas harga (inflasi) dan stabilitas nilai tukar.
Untuk mencapai sasaran akhir tersebut maka diperlukan suatu respon kebijakan untuk
mengendalikan situasi moneter dan pasar keuangan agar tetap berada di koridor yang diinginkan.
Respon kebijakan yang dimaksud dinyatakan dalam kenaikan, penurunan, atau tidak berubahnya
BI rate, sebagai sinyal kebijakan moneter untuk mengarahkan dan mempengaruhi suku bunga
yang berlaku di pasar keuangan. Arah (respon) kebijakan moneter secara konsisten ditujukan
untuk mencapai sasaran inflasi jangka menengah yang rendah dan stabil (inflation targeting),
yang ditetapkan oleh pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
BI Rate ditetapkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan mempertimbangkan
rekomendasi BI Rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi kebijakan dalam model ekonomi untuk
pencapaian sasaran inflasi. Selain itu BI Rate yang ditetapkan juga mempertimbangkan berbagai
informasi lainnya seperti leading indicators, survei, informasi anekdotal, variable informasi,
expert opinion, asesmen faktor risiko dan ketidakpastian serta hasil-hasil riset ekonomi dan
kebijakan moneter.

Pergerakan BI Rate (suku bunga acuan) dari tahun 2005 - 2014

Berikut merupakan siaran pers yang menjadi landasan dalam penetapan BI Rate
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 11 September 2014 memutuskan
untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga Lending Facility dan
suku bunga Deposit Facility masing-masing tetap pada level 7,50% dan 5,75%. Kebijakan
tersebut konsisten dengan upaya untuk mengarahkan inflasi menuju ke sasaran 4,51% pada
2014 dan 41% pada 2015, serta menurunkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih
sehat. Bank Indonesia menilai proses penyesuaian struktur perekonomian ke arah yang lebih
seimbang masih terus berlangsung dengan ditopang stabilitas makro ekonomi yang tetap terjaga.
Ke depan, masih terdapat sejumlah risiko dari eksternal dan domestik yang perlu diwaspadai
yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi makro dan stabilitas sistem keuangan. Untuk itu,
Bank Indonesia akan terus memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial serta
kebijakan untuk memperkuat struktur perekonomian domestik. Bank Indonesia juga akan
meningkatkan koordinasi kebijakan dengan Pemerintah dalam pengendalian inflasi dan defisit
14-Aug-14, 7.50%
0.00%
2.00%
4.00%
6.00%
8.00%
10.00%
12.00%
14.00%
5-Jul-05 5-Jul-06 5-Jul-07 5-Jul-08 5-Jul-09 5-Jul-10 5-Jul-11 5-Jul-12 5-Jul-13 5-Jul-14
B
I

R
a
t
e

Tanggal
BI Rate (2005-2014)
transaksi berjalan agar proses penyesuaian ekonomi dapat berjalan baik dengan tetap menjaga
pertumbuhan ekonomi yang sustainable ke depan.
Di sisi global, asesmen Bank Indonesia menunjukkan bahwa perekonomian dunia terus
mengalami pemulihan. Perekonomian AS terus tumbuh didukung oleh kegiatan produksi
manufaktur dan konsumsi yang dalam tren meningkat, walaupun secara struktural masih lemah
termasuk tingkat partisipasi tenaga kerja dan produktivitas yang masih menurun. Sehubungan
dengan itu, normalisasi kebijakan moneter the Fed diperkirakan akan berlangsung secara
gradual, meskipun terdapat kemungkinan kenaikan Fed Fund Rate dapat terjadi pada triwulan II
atau III tahun 2015. Di sisi lain, perekonomian Eropa menunjukkan perlambatan, tercermin dari
permintaan domestik yang masih relatif lemah dan menurunnya ekspor akibat ketegangan
geopolitik Ukraina-Rusia. Penurunan suku bunga dan stimulus kebijakan moneter oleh ECB
diperkirakan akan membantu perbaikan ekonomi di Uni Eropa dan menambah ekses likuiditas di
pasar keuangan global. Di negara berkembang, pertumbuhan ekonomi diprakirakan masih relatif
terbatas sehingga mendorong berlanjutnya penurunan harga komoditas. Di tengah pertumbuhan
ekonomi Tiongkok yang relatif stabil, perekonomian India menunjukkan perbaikan sementara
sejumlah bank sentral di Asia Tenggara menaikkan suku bunga kebijakan untuk pengendalian
inflasi di negaranya. Ke depan, Bank Indonesia terus mewaspadai sejumlah risiko global dan
regional ini agar tidak mengganggu stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Di sisi domestik, pertumbuhan ekonomi masih mengalami moderasi. Meskipun masih
tumbuh cukup tinggi, konsumsi rumah tangga berada dalam tren melambat. Pelemahan ini
terindikasi, antara lain, dari penurunan indeks penjualan eceran dan penjualan kendaraan
bermotor. Di sisi lain, konsumsi pemerintah diperkirakan membaik pada triwulan III dan IV ini
sejalan dengan pola serapan anggaran, meskipun dengan tingkat yang cenderung lebih rendah
terkait penghematan anggaran. Kinerja investasi juga diperkirakan mulai membaik, meskipun
masih terbatas. Kondisi tersebut, antara lain dipengaruhi oleh masih terbatasnya perbaikan
ekspor seiring dengan masih lemahnya pertumbuhan negara-negara emerging markets. Sejalan
dengan moderasi permintaan domestik, impor juga masih menurun. Secara keseluruhan tahun
2014, pertumbuhan diperkirakan masih sesuai dengan prakiraan sebelumnya dalam kisaran
5,1%-5,5% dengan kecenderungan menuju batas bawah.
Neraca perdagangan mencatat surplus terutama berasal dari besarnya surplus neraca
nonmigas. Neraca perdagangan Indonesia pada Juli 2014 tercatat surplus 0,13 miliar dolar AS
setelah pada bulan sebelumnya mengalami defisit sebesar 0,29 miliar dolar AS. Kinerja neraca
perdagangan tersebut didorong oleh membaiknya surplus neraca perdagangan nonmigas yang
meningkat menjadi 1,73 miliar dolar AS dan melampaui defisit neraca perdagangan migas
sebesar 1,60 miliar dolar AS. Ke depan, kinerja neraca perdagangan non-migas diperkirakan
akan didukung oleh peningkatan aktivitas ekspor seiring dengan perbaikan ekonomi global dan
mulai kembalinya ekspor mineral, meskipun defisit neraca migas diperkirakan masih berlanjut.
Sementara itu, dari neraca finansial, aliran masuk modal asing tetap besar didorong oleh persepsi
positif terhadap prospek ekonomi domestik yang semakin sehat. Hingga Agustus 2014, aliran
masuk portofolio asing ke pasar keuangan Indonesia telah mencapai 14,4 miliar dolar AS.
Dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa Indonesia pada akhir Agustus 2014 meningkat
menjadi 111,2 miliar dolar AS, setara 6,5 bulan impor atau 6,3 bulan impor dan pembayaran
utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan
impor.
Rupiah melemah terbatas dengan volatilitas yang terjaga. Rupiah secara rata-rata melemah
0,24% (mtm) dari bulan sebelumnya menjadi Rp11.710 per dolar AS. Secara point to point (ptp),
rupiah terdepresiasi sebesar 1,03% dan ditutup pada level Rp11.698 per dolar AS. Pelemahan
rupiah tersebut dipengaruhi oleh faktor sentimen, baik yang bersumber dari eksternal maupun
domestik. Faktor eskternal terkait dengan dinamika geopolitik, perkembangan ekonomi
Tiongkok serta terkait dengan kemungkinan normalisasi kebijakan The Fed yang lebih cepat dari
perkiraan semula. Sementara itu, faktor sentimen domestik terkait dengan perilaku investor yang
menunggu rencana kebijakan pemerintah ke depan, termasuk kebijakan terkait dengan subsidi
energi. Ke depan, Bank Indonesia akan terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan
nilai fundamentalnya.
Inflasi pada Agustus 2014 menurun seiring dengan meredanya tekanan harga pasca Idul
fitri. Indeks Harga Konsumen (IHK) pada bulan Agustus mencatat inflasi sebesar 0,47% (mtm)
atau 3,99% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan inflasi pada bulan sebelumnya sebesar
0,93% (mtm) atau 4,53% (yoy). Penurunan inflasi tersebut ditopang oleh menurunnya inflasi
volatile food dan adminsitered prices, serta terkendalinya inflasi inti. Inflasi inti masih terkendali
dan sedikit menurun mencapai 4,47% (yoy), sejalan dengan terjaganya ekspektasi inflasi. Bank
Indonesia menilai inflasi sampai dengan Agustus 2014 masih sejalan dengan pencapaian sasaran
inflasi 4,51% pada 2014 dan 4,01% pada 2015. Ke depan, Bank Indonesia tetap mewaspadai
berbagai risiko yang dapat mengganggu pencapaian sasaran inflasi, khususnya yang bersumber
dari kemungkinan kenaikan administered prices, dan akan memperkuat langkah-langkah
koordinasi pengendalian inflasi.
Stabilitas sistem keuangan masih solid ditopang oleh ketahanan sistem perbankan dan
relatif terjaganya kinerja pasar keuangan. Ketahanan industri perbankan tetap kuat dengan
risiko kredit, likuiditas dan pasar yang cukup terjaga, serta dukungan modal yang kuat. Pada Juli
2014, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) masih tinggi sebesar 19,18%, jauh
di atas ketentuan minimum 8%, sedangkan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL)
tetap rendah dan stabil di kisaran 2,00%. Sementara itu, pertumbuhan kredit kepada sektor
swasta melambat menjadi 15,0% (yoy) dari bulan sebelumnya sebesar 16,6% (yoy), sejalan
dengan proses penyesuaian dalam perekonomian. Kondisi likuiditas baik dalam perekonomian
maupun perbankan relatif terjaga. Hal itu tercermin pada pertumbuhan M2 dan Dana Pihak
Ketiga (DPK), yang masing-masing mencapai 11,0 % (yoy) dan 10,4% (yoy) pada Juli 2014,
serta menurunnya suku bunga pasar uang akibat masuknya uang kartal ke sistem perbankan. Ke
depan, kondisi likuiditas perbankan diprakirakan akan tetap memadai seiring dengan mulai
ekspansinya keuangan pemerintah dalam paruh kedua tahun 2014. Sementara itu, perbaikan
kinerja pasar modal pada Agustus 2014 juga membaik, tercermin pada IHSG yang berada dalam
tren meningkat. Bank Indonesia terus mencermati risiko yang bersumber dari peningkatan utang
luar negeri korporasi.
Sumber:
www.bi.go.id (http://www.bi.go.id/id/moneter/bi-rate/penjelasan/Contents/Default.aspx)

Anda mungkin juga menyukai