Anda di halaman 1dari 19

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sedimen dan Sedimentasi
Endapan sedimen (sedimentary deposit) adalah tubuh material padat yang
terakumulasi di permukaan bumi atau di dekat permukaan bumi, pada kondisi
tekanan dan temperatur yang rendah. Sedimen umumnya (namun tidak selalu)
diendapkan dari fluida dimana material penyusun sedimen itu sebelumnya berada,
baik sebagai larutan maupun sebagai suspensi (Pettijohn, 1975).
Lebih lanjut Pettijohn (1975) menyatakan endapan sedimen umumnya
merupakan produk erosi batuan tua yang kemudian diangkut dan didistribusikan
oleh arus air atau angin. Sebagian sedimen merupakan hasil presipitasi kimia atau
biokimia dari larutan. Ada beberapa jenis sedimen yang tidak berasal dari
hancuran batuan tua, misalnya batubara yang pada dasarnya merupakan residu
organik yang berasal dari tumbuhan serta sedimen vulkanogenik yang berasal dari
material hasil letusan gunungapi. Sedimen yang tidak berasal dari batuan tua
umumnya memiliki volume yang relatif kecil dan agak jarang ditemukan.
2.2 Proses-Proses yang dilakukan oleh Aliran Air di Sungai
Proses-proses yang dilakukan oleh sungai adalah proses pengikisan
(erosi), pengangkutan (transportasi) dan pengendapan (deposisi) material
hasil/proses erosi. Proses tersebut dapat berlangsung bersama-sama pada suatu
sungai dengan tingkat yang sangat bervariasi.
6

2.2.1. Proses Pengikisan (Erosi)
Batuan yang telah mengalami pelapukan akan mudah mengalami
perpindahan tempat baik oleh gaya beratnya sendiri maupun oleh media atau agen
proses-proses geologi. Air yang merupakan media proses geologi yang terpenting
akan melakukan proses pengikisan batuan atau tanah yang dilaluinya. Proses
pengikisan yang dilakukan oleh aliran air sungai dapat secara fisik maupun kimia.
(Rochmanto, 2008)
Proses pengikisan secara fisik dilakukan oleh air itu sendiri atau oleh
mineral yang diangkut oleh aliran air yang disebut proses abrasi atau korasi.
Sedangkan proses pengkisan secara kimia dilakukan dengan melarutkan batuan
atau tanah yang dilaluinya disebut proses korosi (pelarutan). Proses pengikisan
yang dilakukan oleh air sendiri biasanya terjadi pada batuan yang kurang kompak
atau lepas, sedang pada batuan yang kompak pengikisan sering dilakukan dengan
cara abrasi dan atau pelarutan. Material yang berukuran besar biasanya dilepas
dari batuan dasamya dengan menggunakan pengeboran pada dasar saluran oleh air
yang disebut potholes. (Rochmanto, 2008)
2.2.2. Proses Pengangkutan (Transportasi)
Sungai mengangkut material hasil erosinya dengan cara pelarutan (dissolved
load), suspensi (suspended load), dan sepanjang dasar saluran (bed load).
Material yang terlarutkan diangkut ke sungai oleh air tanah dan sebagian kecil
berasal dari hasil pelarutan batuan yang dilalui oleh sungai. Jumlah dan jenis
unsur yang terlarut sangat bervariasi dan sangat tergantung pada iklim dan kondisi
7

geologinya. Kebanyakan sungai mengangkut hasil erosinya dengan cara suspensi.
Material yang diangkut dengan cara ini berada di dalam air dan umumnya
berukuran pasir halus, lanau dan lempung. Apabila debit dan kecepatan aliran
meningkat (pada waktu banjir), material yang ukurannya besar dapat juga
diangkut dengan cara suspensi. Juga pada kondisi demikian jumlah material
tersuspensi meningkat jumlahnya. (Rochmanto, 2008)
Transportasi partikel di dalam air sejauh ini merupakan mekanisme
transportasi yang paling signifikan. Air mengalir di permukaan lahan di
dalam channel dan sebagai aliran permukaan (overland flow). Arus-arus di laut
digerakkan oleh angin, tidal dan sirkulasi samudra. Aliran-aliran ini mungkin
cukup kuat untuk membawa material kasar di sepanjang dasarnya dan material
yang lebih halus dalam suspensi. Material dapat terbawa di dalam air sejauh
ratusan atau ribuan kilometer sebelum terendapkan sebagai sedimen. (Nichols,
2009)
Banyak juga material yang ukurannya terlalu besar untuk diangkut dengan
cara suspensi. Material kasar ini akan bergerak pada dasar sungai sebagai bed load
dan perpindahannya disebut dengan cara traksi. Material ini selain mengalami
perpindahan tempat juga melakukan pengikisan pada dasar saluran, sehingga
sungai menjadi bertambah dalam. (Rochmanto, 2008)
Partikel dari semua ukuran digerakkan di dalam fluida oleh salah satu dari
tiga mekanisme (Gambar 3.1). Pertama, partikel dapat bergerak menggelinding
(rolling) di dasar aliran udara atau air tanpa kehilangan kontak dengan permukaan
dasar. Kedua, partikel dapat bergerak dalam serangkaian lompatan, secara periode
8

meninggalkan permukaan dasar dan terbawa dengan jarak yang pendek di dalam
tubuh fluida sebelum kembali ke dasar lagi; ini dikenal sebagai saltasi (saltation).
Terakhir, turbulensi di dalam aliran dapat menghasilkan gerakan yang cukup
untuk menjaga partikel bergerak terus di dalam fluida; dikenal sebagai suspensi
(suspension). (Nichols, 2009)







Material sedimen yang bergerak dengan cara saltasi akan meloncat-loncat
disepanjang dasar sungai. Hal ini terjadi karena material tersebut ditabrak oleh
sedimen lain yang diangkut sehingga akan terangkat, dan akan turun kembali kc
dasar sungai karena gaya beratnya. Sedimen yang terlalu besar untuk bergerak
dengan cara saltasi akan bergerak dengan menggelinding atau meluncur
disepanjang dasar sungai. Tidak seperti sedimen tersuspensi dan terlarut yang
bergerak tetap pada sungai, sedimen dasar (bed load) sungai hanya bergerak
apabila kekuatan air cukup besar untuk menggerakkannya. Sedimen dasar
Gambar 3.1 Mekanisme transportasi partikel di dalam aliran: rolling dan
saltasi (bedload); dan suspensi (suspended). (Nichols, 2009)

Ssssss
9

biasanya sangat sulit untuk diukur jumlahnya karena kebanyakan terjadi pada
waktu banjir. (Rochmanto, 2008)
Ada sejumlah faktor yang mengontrol gerakan partikel di dalam fluida
turbulen. Pertama, karena kecepatan aliran meningkat, energi kinetik di dalam
fluida menjadi lebih besar sehingga mengangkat partikel dari permukaan dasar
dan menggerakkan secara saltasi. Kedua, turbulensi yang meningkat juga
menyediakan gaya yang cukup kuat untuk menjaga partikel tetap tersuspensi.
Ketiga, partikel dengan massa yang lebih besar memerlukan energi lebih untuk
terangkat dan tersaltasi dan menjaga partikel agar tetap tersuspensi. Terakhir,
partikel dengan luas permukaan relatif lebih besar dari massanya (contoh, mineral
berbentuk lempengan / platy seperti mika) memiliki kecepatan pengendapan
yang lebih rendah (perlu waktu lebih lama untuk tenggelam) dan dapat tetap
(permanen atau sementara) tersuspensi dengan lebih mudah. (Nichols, 2009)
Kemampuan sungai untuk mengangkut material hasil erosinya diukur
dengan dua kriteria. Yang pertama kompetensi sungai, yaitu ukuran maksimum
dan sedimen yang dapat diangkut oleh aliran air. Kompetensi sungai sangat
tergantung pada kecepatan aliran sungai. Jika kecepatan aliran sungai meningkat
dua kali lipat, maka gaya impak yang dilakukan oleh air akan meningkat sampai
empat kali. Jika kecepatan meningkat sampai tiga kali lipat, maka gaya impak dari
air akan meningkat sampai sembilan kali. Jadi pada kecepatan yang rendah,
material sedimen yang berukuran boulder akan tetap diam, dan akan bergerak pada
waktu banjir ketika kecepatan aliran meningkat. Yang kedua, kapasitas sungai,
yaitu jumlah maksimum sedimen yang mampu diangkut oleh aliran sungai.
10

Kapasitas sungai sangat berhubungan dengan debit sungai. Semakin besar debit
sungai, semakin besar juga sedimen yang dapat diangkut oleh aliran sungai
tersebut. (Rochmanto, 2008)
Ukuran butir dari material sedimen sebagian besar merupakan fungsi dari
jarak partikel tersebut diangkut. Secara umum, semakin besar jarak tempuh,
partikel-partikel sedimen akan lebih kecil dan lebih bundar. Penghalusan fragment
batuan selama pengangkutan disebut pembulatan. Material sedimen dengan
pecahan besar, kasar dan bersudut akan diendapkan di dekat daerah sumber;
butiran pasir bulat halus akan diangkut dalam jarak yang cukup jauh sebelum
diendapkan; lanau dan lempung bahkan diangkut lebih jauh. Proses ini disebut
dengan pemilahan.
2.2.3. Proses Pengendapan
Ketika kecepatan aliran sungai menurun, maka kompetensi sungai juga
menurun. Akibatnya sedimen tersuspensi akan mulai mengendap. Endapan
sedimen yang dihasilkan oleh aliran sungai disebut aluvial. Meskipun sebagian
sedimen terendapkan sementara di sepanjang aliran sungai, sebagian lainnya akan
mencapai laut. Bila aliran sungai mencapai suatu tubuh air yang tetap seperti laut
atau danau, kecepatannya menurun dengan cepat, dan akan mengendapkan
material sedimen yang diangkutnya di mulut sungai. Endapan yang terbentuk di
muara sungai ini disebut delta. Sedimen halus yang berukuran lanau dan lempung
akan terendapkan agak jauh dari muara sungai dengan membentuk lapisan yang
hampir mendatar yang disebut lapisan bottom set. Selanjutnya diatas lapisan bottom
set ini mulai terendapkan lapisan foreset. Lapisan ini disusun oleh sedimen yang
11

berbutir kasar yang terendapkan begitu aliran mencapai laut atau danau dengan
membentuk lapisan yang miring. Lapisan foreset biasanya ditutupi oleh lapisan
mendatar yang tipis yang terbentuk pada waktu banjir yang disebut topset.
Pertumbuhan delta akan menyebabkan gradien sungai menurun, sehingga sungai
akan mencari jalan yang lebih pendek untuk mencapai base level (laut). Akibatnya
delta akan berkembang membentuk suatu bentuk segitiga seperti huruf Yunani
delta (). Itulah sebabnya endapan yang terbentuk di muara sungai disebut delta.
(Rochmanto, 2008)
Sungai-sungai yang lebar dengan lembah yang dalam kadang-kadang
membentuk tanggul alam (natural levee) yang merupakan endapan yang
memanjang sejajar dengan lembah sungai. Tanggul alam ini dibentuk oleh
endapan sungai pada waktu sungai banjir yang terjadi secara periodik selama
bertahun-tahun. Pada waktu banjir, air sungai akan melewati tebing sungai, dan
kecepatannya menurun drastis, sehingga akan meninggalkan endapan sedimen
kasar pada tepi sungai. Ketika air melimpah, sedimen halus terendapkan pada
dasar lembah atau pada datarar banjir. penyebaran sedimen yang tidak merata ini
akan membentuk kemiringan yang landai dari tanggul alam yang terbentuk.
Daerah di belalang tanggul alam dicirikan oleh drainase yang jelek dan air tidak
dapat mengalir kembali ke sungai, sehingga terbentuklah rawa-rawa ditempat
tersebut yang disebut back swamps. Cabang-cabang sungai yang terbentuk sejajar
dengan sungai utama dan memotong tanggul alam disebut yazzo tributaries.
(Rochmanto, 2008).
12

Kenampakan yang umum pada lembah yang sempit adalah adanya aliran
yang deras (rapid) dan air terjun (waterfall). Keduanya terjadi bila gradien
kemiringan sungai mengalami perubahan yang sangat drastis. Kejadian ini dapat
disebabkan oleh variasi resistensi batuan yang dilalui oleh lembah. Begitu erosi
dibatasi oleh batuan yang resisten, aliran sungai menjadi lemah kembali. Air
terjun terjadi pada kemiringan sungai yang vertikal. (Rochmanto, 2008)
Proses erosi vertikal menyebabkan sungai mendekati base level dan sungai
mulai mencapai kesetimbangannya (graded), dan proses erosi vertikal mulai
berkurang. Pada kondisi ini energi sungai mulai beralih ke arah samping. Alasan
utama dan perubahan ini tidak sepenuhnya dapat diketahui, tetapi penurunan
kemiringan sungai kemungkinan merupakan faktor yang utama. Apabila kondisi
ini terjadi, maka mulailah proses pelebaran sungai dari satu sisi dan dilanjutkan ke
sisi yang lain. Proses tersebut akan menghasilkan dasar lembah yang datar yang
disebut dataran dataran banjir (flood plain). (Rochmanto, 2008)
Sungai yang mengalir pada dataran banjir akan melakukan proses erosi dan
pengendapan dan bentuknya berkelok-kelok yang disebut meander. Meander
sungai terus menerus mengalami perubahan dari satu sisi ke sisi yang lain.
Perubahan tersebut disebabkan karena kecepatan maksimum aliran sungai
terdapat pada bagian luar kelokan, sehingga pada bagian ini terjadi proses erosi.
Pada saat yang bersamaan kecepatan aliran di bagian dalam kelokan terjadi proses
pengendapan sedimen kasar di bagian ini, terutama yang berukuran pasir. Jadi
dengan adanya erosi di bagian luar kelokan dan pengendapan sedimen di sisi yang
lainnya, sungai akan bergerak ke arah samping tanpa merubah ukuran salurannya.
13

Proses erosi di daerah hilir sungai sangat efektif terjadi pada kelokan sungai.
Perpindahan meander sungai di daerah ini dapat berlangsung sangat lambat
apabila mencapai dataran banjir yang lebih resisten. Secara bertahap dataran
diantara dua meander yang berdekatan akan semakin dekat, sehingga
memungkinkan terjadinya erosi ditempat tersebut. Lama kelamaan terjadilah
pemotong pada tempat tersebut sehingga aliran sungai menjadi semakin pendek.
Tcmpat terjadinya proses pemotongan aliran sungai tersebut disebut cutoff. Bekas
kelokan sungai yang tertinggal akan membentuk danau yang berbentuk tapal kuda
dan disebut axbow lake. (Rochmanto, 2008)
2.3 Geomorfologi
Pengenalan unsur-unsur geomorfologi sangat diperlukan dalam mempelajari
karakteristik lanskap, khususnya karakteristik yang mempengaruhi besarnya
potensi limpasan permukaan, erosi, banjir dan tanah longsor. Unsur geomorfologi
seperti kemiringan lereng, panjang lereng, dan arah lereng sangat penting untuk
diidentifikasi. (Rahayu, dkk, 2009)
Kemiringan lereng merupakan ukuran kemiringan lahan relatif terhadap
bidang datar yang secara umum dinyatakan dalam persen atau derajat.
Kemiringan lahan sangat erat hubungannya dengan besarnya erosi.
Semakin besar kemiringan lereng, peresapan air hujan ke dalam tanah
menjadi lebih kecil sehingga limpasan permukaan dan erosi menjadi lebih
besar.
Panjang lereng merupakan ukuran panjang suatu lahan mulai dari titik
awal kemiringan sampai suatu titik dimana air masuk ke dalam sungai
14

atau titik mulai berubahnya kemiringan. Semakin panjang suatu lereng
makin besar aliran permukaan yang mengalir menuju ke ujung lereng,
sehingga memperbesar peluang erosi. Besarnya erosi yang terjadi di ujung
lereng lebih besar daripada erosi yang terjadi di pangkal lereng. Hal ini
akibat adanya akumulasi aliran air yang semakin besar dan cepat di ujung
lereng.
Arah lereng adalah arah hadap lereng terhadap arah mata angin yang
ditunjukkan dengan utara (U), timur laut (TL), timur (T), tenggara (TG),
selatan (S), barat daya (BD), barat (B) dan barat laut (BL). Arah lereng
sangat menentukan tingkat penyinaran matahari dan curah hujan yang
turun. Pada lereng yang mendapatkan sinar matahari langsung dan lebih
intensif cenderung mengalami erosi lebih besar daripada lereng yang
tidak mendapatkan penyinaran matahari secara langsung. Pada umumnya
curah hujan terjadi di bagian lereng yang mendapatkan angin dan
sebagian kecil saja yang terjadi di bagian lereng belakang.
2.4 Karakteristik Sungai
Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam bahasa Inggris disebut Watershed atau
dalam skala luasan kecil disebut Catchment Area adalah suatu wilayah daratan
yang dibatasi oleh punggung bukit atau batas-batas pemisah topografi, yang
berfungsi menerima, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di
atasnya ke alur-alur sungai dan terus mengalir ke anak sungai dan ke sungai
utama, akhirnya bermuara ke danau/waduk atau ke laut. (BPDAS-Solo)
15

Persoalan-persoalan yang sering terjadi seperti erosi, sedimentasi, longsor
dan banjir pada DAS tersebut merupakan bentuk respon negatif dari komponen-
komponen DAS terhadap kondisi curah hujan. Kuat atau lemahnya respon sangat
dipengaruhi oleh karakteristik DAS itu sendiri. (Rahayu, dkk, 2009).
Sungai-sungai di dunia memiliki perbedaan bentuk, dimulai dari mata air
dan mengalir membentuk saluran sampai bermuara didanau atau laut. Demikian
pula perilaku (karakter) sungai juga berbeda- beda. Hal ini tergantung daripada
faktor geologi, morfologi, vegetasi, iklim, curah hujan dan sebagainya.
(Oehadijono, 1993).
Pengaliran air baik yang dipermukaan tanah maupun di dasar sungai akan
menggerus tanah dasarnya secara terus menerus sepanjang masa. Volume sedimen
yang terbawa oleh pengaliran sebagai hasil erosi maupun reruntuhan tebing-tebing
sungai dimulai dari sumber mata air di daerah pegunungan dan terangkut kehilir
kemudian terkumpul di sungai yang seterusnya diangkut ke laut. Oleh karena itu
di daerah pegunungan kemiringan sungai tajam, pengaliran menjadi deras
(kecepatan tinggi). Kecepatan pengaliran semakin ke hilir semakin lambat dan
akan mencapai nol (V = 0) apabila mencapai muara di danau atau di laut.
Endapan-endapan sedimen tersebut diangkut, endapan sedimen yang berat
jenisnya tinggi diendapkan terlebih dahulu berangsur-angsur yang berat jenisnya
lebih ringan di endapan kemudian. Dengan kata lain butiran sedimen yang
mengendap di hulu sungai lebih besar daripada di bagian hulu. Endapan tersebut
dibagian hilir di daratan rendah, apabila terjadi banjir-banjir akan tersebar dikanan
16

kiri sungai. Endapan sedimen akan semakin tebal dan lazim disebut alluvium.
(Oehadijono, 1993)
Daerah aliran sungai dapat dibagi atas 3 daerah aliran yaitu:
Daerah aliran hulu (upstream)
Daerah aliran tengah (middle stream) dan
Daerah aliran hilir (down stream).
2.5 Pola aliran Sungai
Pola aliran yang berkembang di suatu daerah dikontrol oleh beberapa faktor
antara lain kemiringan lereng, kedudukan dan jenis litologi, tipe dan kerapatan
vegetasi serta kondisi iklim suatu daerah (Van Zuidam, 1985).
Menurut Howard (1967) dalam Zakaria (2008) pola aliran dibagi menjadi
dua, yaitu pola dasar aliran dan pola ubahan dasar aliran
Pola dasar aliran
Dendritic : Cabang cabang sungai masuk ke induknya dari berbagai
jurusan, membuat sudut yang pada umumnya runcing dengan sungai
induknya. Syarat utama untuk perkembangan pola aliran ini adalah adanya
keseragaman kekerasan batuan.
Parallel : Pada umumnya menunjukkan daerah yang berlereng sedang
sampai agak curam dan dapat ditemukan pula pada daerah bentuklahan
perbukitan yang memanjang.
Trellis : Umumnya berkembang pada daerah dengan struktur geologi yang
mempengaruhi pertumbuhan sungai.
17

Rectangular : Pola aliran rectangular berkembang di sepanjang patahan an
kekar-kekar yang saling berpotongan. Bedanya dengan pola trelis, sudut
yang dibentuk oleh sungai jarang saling tegak,juga antara satu sungai
dengan sungai yang lain jarang dapat ditarik satu garis lurus.
Radial : Pola aliran yang terpancar dari satu titik, sangat umum terdapat di
daerah gunung berapi, daerah intrusi batuan beku atau daerah yang terlipat
membentuk kubah (dome).
Anular : Pola aliran anular pada umumnya berkembang pada daerah
berstruktur kubah yang tingkat erosinya lanjut.
2.6 Bendungan
Bendungan (dam) itu sendiri adalah sebuah ambang besar yang melintang di
palung sungai dan berfungsi untuk menyimpan air pada masa-masa surplus air,
kemudian tampungan air tersebut pengeluarannya diatur untuk berbagai macam
tujuan. Tujuan yang dimaksud dapat bersifat eka-guna (single purpose) dan dapat
bersifat serba guna (multipurpose). Eka guna berarti satu tujuan saja, misalnya
untuk keperluan irigasi saja, atau untuk keperluan tenaga air saja. Serba guna
berarti lebih dari satu tujuan yaitu untuk keperluan; Pengendalian banjir,
pengendalian sedimen, irigasi, tenaga air, air minum, air untuk industri,
menaikkan air tanah, penggelontoran air limbah, memperbaiki eko-sistem,
navigasi dan lain-lain. (Oehadijono, 1993)


18

2.7 Tenaga Air (Water Power).
Energi sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia. Energi listrik dapat
diperoleh dari potensi sumber-sumber yang ada di dunia, yaitu: air, angin,
batubara, gasbumi, matahari, panas bumi dan minyak bumi.
Aliran di sungai dengan adanya perbedaan tinggi atau terjunan, timbulah
tenaga. Apabila dipasang kincir air, dapat digunakan untuk menggiling padi.
Energi tersebut dinamakan Energi Primer. Apabila energi primer ini, dipasang
turbine air dan generator (prime mover), timbullah energi listrik. Energi tersebut
dinamakan Energi Sekunder. Dengan kata lain energi dibedakan :
Energi primer
Energi sekunder
Energi primer : adalah energi melalui proses pengolahan sebelum digunakan
(unsur bisa digunakan). Energi sekunder : adalah energi yang diolah, kemudian
menggunakan peralatan lain (Oehadijono, 1993)
2.8 Waduk Bakaru
Pengukuran pada waduk Bakaru telah dilakukan secara periodik, dimulai
pada saat awal waduk digenangi pada tahun 1990 dengan tujuan untuk
mengetahui daya tampung waduk. Adapun hasil pengukuran tersebut dapat dilihat
berikut ini:



19

Tabel 1 Hasil Pengukuran Waduk Bakaru
No. Waktu Pengukuran
Volume Waduk
(m
3
)
Volume Sedimen (m
3
)
1 Penggenangan 1990 6.919.900,00 -
2 Pengukuran Februari 1994 4.469.697,00 2.450.203,00
3 Pengukuran Sebtember 1996 2.310.497,92 4.609.402,07
4 Pengukuran Oktober 1997 2.165.506,41 4.754.393,59
5 Pengukuran April 1999 902.265,19 6.017.634,80
6 Pengukuran November 2000 1.245.210,00 5.674.690,00
7 Pengukuran April 2001 923.248,65 5.996.651,35
8 Pengukuran Desember 2001 846.908,00 6.072.992,00
9 Pengukuran Desember 2002 983.469,00 5.936.431,00
10 Pengukuran Mei 2004 564.579,00 6.355.321,00
11 Pengukuran Juni 2005 588.500,00 6.331.400,00
12 Pengukuran Juni 2010 1.355.604,00 5.564.296,00

Sumber: Pengukuran pendangkalan/sedimentasi dan kualitas air waduk PLTA Bakaru
2010




Gambar 2.3 Grafik Pertambahan volume sedimen di waduk PLTA Bakaru tahun 1994-
2010 (Pengukuran tahun 2010)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Volume Sedimen (m3) 2,4504,6094,7546,0175,6745,9966,0725,9366,3556,3315,564
Waktu Pengukuran 1994 1996 1997 1999 2000 2001 2001 2002 2004 2005 2010
0.00
1,000,000.00
2,000,000.00
3,000,000.00
4,000,000.00
5,000,000.00
6,000,000.00
7,000,000.00
V
o
l
u
m
e

S
e
d
i
m
e
n

(
m
3
)

20


Gambar 2.4 Perubahan dasar Waduk PLTA Bakaru (BAPEDALDA 2002)

Volume sedimen diperoleh dari hasil pengurangan Volume air pada saat
penggenangan awal tahun 1991 (m
3
) dengan Volume air pada saat pengukuran
terkini (m
3
). Sedangkan untuk mengetahui volume air pada waduk digunakan
perhitungan luas penampang air hingga elevasi 615,50 m dengan persamaan dari
metode Mid-section dalam Raghunath (2006) untuk setiap jalur pengukuran (GN-
00 samapi GN-12). Perhitungan volume air dihitung dengan persamaan berikut;

]


dimana: Va = Volume air pada penampang n-1 hingga n
f
n
= Luas Penampang air jalur pengukuran n
f
n-1
= Luas penampang air jalur pengukuran n-1
d
(n-1)n
= Jarak antara jalur pengukuran n-1 ke n
- 200 640 1.070 1.420 1.920 2.220 2.570 3.070 3.350 3.750 4.130 4.530
GN 0 GN 01 GN 02 GN 03 GN 04 GN 05 GN 06 GN 07 GN 08 GN 09 GN 10 GN 11 GN 12
SEDIMEN S/D TH 2000 (M) 1.00 2.79 9.00 7.85 7.20 7.23 7.38 5.35 4.33 4.95 5.33 2.00 2.10
KONDISI AWAL TH 1990 605.00 605.35 606.12 606.88 607.49 608.37 608.89 609.51 610.29 610.67 611.21 611.73 612.27
TAHUN 1994 606.00 608.80 609.25 609.50 610.70 611.40 612.70 612.30 613.30 613.80 614.30 613.60 613.60
TAHUN 1995 606.00 609.00 610.90 611.30 612.60 613.85 614.20 614.00 614.90 614.50 614.85 614.00 616.00
TAHUN 1996 606.00 609.40 611.78 612.24 614.10 613.87 614.39 614.12 615.85 615.67 615.50 614.80 616.29
TAHUN 1997 606.00 609.67 611.97 612.49 614.66 614.63 614.68 613.83 615.50 615.55 615.27 614.56 615.89
TAHUN 1999 606.00 614.33 615.17 615.42 613.03 615.62 616.25 613.46 615.06 616.01 615.73 614.10 616.26
EL. EFEKTIF MAX. 615.5 615.5 615.5 615.5 615.5 615.5 615.5 615.5 615.5 615.5 615.5 615.5 615.5
605.00
606.00
607.00
608.00
609.00
610.00
611.00
612.00
613.00
614.00
615.00
616.00
617.00
618.00
619.00
620.00
T
I
N
G
G
I

T
I
T
I
K

(
M
)

JARAK DATAR (M)
PROFIL MEMANJANG WADUK PLTA BAKARU
DAM
21

2.9 Geologi Regional
2.9.1 Geomorfologi Regional
Geomorfologi regional daerah penelitian didasarkan pada Peta Geologi
Lembar Majenne dan Bagian Barat Lembar Palopo, yang meliputi daerah
Pare Pare, Sidrap, Wajo, Pinrang, Enrekang, Luwu, Palopo dan Tana Toraja
yang termasuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. (Djuri dkk, 1998).
Satuan geomorfologi daerah penelitian terdiri dari pegunungan
(mountainuous), perbukitan bergelombang (rolling hills). Daerah pegunungan
menyusun bagian Barat hingga Utara daerah penelitian, daerah perbukitan
bergelombang umumnya menyusun bagian Utara hingga Tenggara (Sukido dkk,
1998). Ketinggian pegunungan ini melebihi 2000 m dengan puncak tertinggi
adalah Gunung Rantemario yang terletak pada rangkaian pegunungan
Latimojong, Sulawesi Selatan. Sebagian pegunungan dibagian utara terbentuk
oleh batuan gunung api dengan ketinggian rata-rata 1500 m dari permukaan laut
ke arah timur, rangkaian pegunungan ini relatif menyempit dan lebih rendah
dengan morfologi bergelombang lemah sampai kuat.
Pada peta sebelah selatan Pulau Sulawesi secara umum terdapat dua baris
pegunungan yang memanjang hampir sejajar pada arah utara-baratlaut dan
dipisahkan oleh Lembah Sungai Walanae (Djuri dkk, 1998). Lembah Walanae
yang memisahkan kedua pegunungan tersebut di bagian utara lebih lebar daripada
di bagian selatannya di mana bagian tengah lembah terdapat Sungai Walanae yang
mengalir ke utara dan bagian selatan berupa perbukitan rendah dan di bagian utara
berupa dataran alluvium yang luas.
22

2.9.2 Stratigrafi Regional
Stratigrafi regional daerah penelitian berdasarkan (Djuri dik, 1998) pada
Peta Geologi Lembar Majene dan Palopo Bagian Barat (Gambar 2.2) yang
memuat daerah penelitian, berdasarkan urutan stratigrafinya batuan tertua yang
dijumpai di daerah penelitian adalah:











Formasi Loka atau Tml (Tersier Miosen Loka) yang terdiri dari batuan
epiklastik gunungapi terdiri dari batupasir andesitan, batulanau, konglomerat, dan
breksi, berlapis hingga masif, terutama sebagai endapan darat hingga delta dan
Iaut dangkal. Fosil Foraminifera menujukkan umur Miosen Tengah-Miosen
Akhir.
Batuan Gunungapi Walimbong atau Tmpv (Tersier Miosen Pliosen
vulkanik), terdiri dari lava bersusunan basal hingga andesit, lava bantal, breksi
Gambar 2.1. Peta Geologi Lembar Majene dan Bagian Barat Palopo, Sulawesi
(Djuri, Sudjatmiko, S. Bachri dan Sukido, 1998)
23

andesit piroksin, breksi andesit trakit. Diendapkan dilingkungan Iaut, berumur
Miosen - Pliosen karena menjemari dengan Formasi Sekala yang berumur
Miosen-Pliosen.

Anda mungkin juga menyukai