Anda di halaman 1dari 2

Tradisi Syiah hampir sama dengan NU

Di dalam tradisi Syiah, ulama-ulama yang betul-betul ahli dalam ilmu syariah, sekitar
sepuluh sampai dengan lima orang, mereka dipilih dan dibentuk semacam dewan. Mereka
inilah yang membentuk sebuah lembaga yang disebut, dalam tradisi Syiah, wilayatul faqih.
Dalam tradisi Sunni sejenis wilayatul faqih ini sebetulnya juga ada, disebut ahlul halli wal
aqdhi. Yaitu kelompok ulama yang berwenang, memiliki otoritas dan mengikat. Atau lebih
dikenal dalam istilah lain, majelis syura. Di NU (Nahdhatul Ulama) ada Majelis Syura, yang
fungsinya sama dengan wilayatul faqih dalam Syiah.
Meski pun dalam prakteknya, berbeda dengan di Iran. Fungsi majelis syura dikalangan
Muslim Sunni sangat lemah bahkan dalam bidang politik tidak banyak berperan. Jadi hanya
memberikan pandangan-pandangan keagamaan, tidak mempunyai kekuatan nyata. Tetapi
dalam tradisi Syiah, yang namanya wilayatul faqih, sangat dominan, baik secara agama
maupun politik.Itulah yang kita saksikan di Iran, setelah Revolusi Islam Iran (RII), 1979, dan
sekarang fungsi dan kedudukan wilayatul faqih sangat dominan.
Sejauh yang dijelaskan dalam naskah ini, kemunculan Syiah berkaitan dengan pertikaian
politik. Karena itu kemudian salah satu konsep sentral bagi Syiah adalah soal politik, yaitu
tentang kedudukan imam, kedudukan wakil imam, yang mutlak tidak hanya dalam bidang
keagamaan, tetapi juga dalam bidang politik. Dan karena itulah, kedudukan imam sangat
sentral. Setiap orang Syiah harus mengikuti imam.
Makanya, orang ahlu sunnah wal jamaah setelah RII 1979 merasa frustrasi karena umat Islam
tidak mau bersatu. Kemudian dikalangan umat Islam Indonesia muncul gagasan, tirulah
konsep imamah dari Syiah. Pada tahun 80-an muncul konsep atau gerakan Islam di Indonesia
yang mengadopsi kepemimpinan imamah yang sentralistik. Atau kemudian kalangan ahlu
sunnah wal jamaah mengambil konsep tentang amirul mukminin, pemimpin orang-orang
beriman.
Tapi harus segera dikatakan, kalau ada gerakan Indonesia yang memakai konsep
kepemimpinan imamah, jangan dianggap Syiah. Tidak. Yang mereka ambil dengan imamah
adalah konsep kepemimpinan yang sentralistik. Yang satu. Tidak terpecah-belah. Bisa
dipahami, gerakan Islam di Indonesia, khususnya anak muda, frustrasi dengan realitas
kepemimpinan umat Islam Indonesia.
Maka perlu mengadopsi kepemimpinan imamah seperti di Iran, kepemimpinan yang
sentralistik, tunggal.Dalam Syiah, menyangkut kepemimpinan politik, sering dibandingkan
orang dengan tradisi di dalam gereja. Di Katolik, kepemimpinan berada di Vatikan, pada
paus, uskup, pastor dan struktur kebawahnya. Di dalam Sunni tidak ada imamah tunggal
karena tradisi imamah dalam Sunni adalah imam masjid, tidak berfungsi sebagai social and
political leadership.
Imam, menurut Sunni tidak memainkan peran kepemimpinan sosial dan politik tapi hanya
kepemimpinan dalam shalat saja. Inilah yang membuat frustrasi, banyak kalangan ahlu
sunnah wal jamaah melihat kepemimpinan yang terpecah-belah, akhirnya mengadopsi model
kepemimpinan Syiah.
Ulama yang terpilih untuk menjadi anggota wilayatul faqih bukan ulama sembarangan.
Sangat dipercayai integritas dan keilmuannya. Mungkin berbeda dengan dalam tradisi Sunni;
keulamaan longgar, siapa pun boleh menjadi ulama. Tapi dalam tradisi Syiah tidak begitu.
Ada proses, bahkan ada pelatihan tertentu, pusatnya di Qum. Ada madrasah yang khusus
mencetak calon ulama Syiah yang disiapkan menjadi mujtahid. Dalam bidang kalam, Syiah
umumnya menganut kalam yang dikembangkan Mutazilah.
Suatu aliran tradisi kalam dalam Sunni yang menekankan akal, disebut kaum rasional.
Bahkan Muhammad Abduh, pembaharu Islam di abad ke-20 dari Mesir, dipandang sebagai
orang yang paling berperan dalam menghidupkan kembali paham bahwa Islam adalah agama
rasional. Agama yang mendorong bahwa orang Islam harus proaktif, harus punya prakarsa,
tidak menyerah kepada takdir, seolah takdir sudah ditentukan begitu saja, sehingga kita tidak
perlu berupaya.
Inilah sikap yang ditolak oleh orang Mutazilah.Jadi, Mutazilah menekankan pada semangat
rasional, semangat prakarsa. Orang Syiah mengikuti pandangan itu. Tentu saja ada perbedaan
seperti itu dikalangan orang Syiah dengan Sunni. Yaitu ketika berbicara mengenai siapa saja
yang dipandang mashum. Menurut tradisi Sunni, yang mashum hanya Rasulullah
Muhammad s.a.w. setelah itu tidak ada lagi yang bebas dari dosa. Tapi orang Syiah
menganggap para imamnya yang duabelas mashum.
Dalam pandangan orang Syiah, sama dengan orang Sunni, Allah Maha Adil, tidak mungkin
menghukum orang yang tidak bersalah. Allah memberikan kebebasan pada manusia untuk
memilih, karena melalui kebebasan itulah maka bisa dituntut pertanggungjawabann ya.
Seseorang tidak bisa dituntut pertanggungjawabann ya jika terpaksa (mujbir). Inilah argumen
kaum rasionalis dalam Islam yang diikuti juga oleh Syiah.
http://syiahali.wordpress.com/2012/05/13/pandangan-prof-dr-azyumardi-azra-mengenai-syiah-
antara-syiah-dengan-ahlu-sunnah-lebih-banyak-persamaannya-ketimbang-perbedaannya-sedikit-
perbedaan-hanya-menyangkut-hal-yang-tidak-prinsipil-mi/

Anda mungkin juga menyukai