Anda di halaman 1dari 3

Sekolah Jalan Kaki

Akhir-akhir ini Resa sering terlambat tiba di sekolah. Resa malu pada
teman-teman karena ia selalu di hukum Bu Guru. Apa sebabnya ia sering
terlambat?
Waaahhjadi kamu dari rumah ke sekolah jalan kaki? Tanya Rini
terheran-heran saat istirahat. Teman-temanya yang lain setengah
terbelalak memandangnya.
Mengapa kamu jalan kaki, Resa? Apa kamu tidak punya ongkos?
Tanya yang lain. Resa diam. Ah, mestikah kuceritakan masalahku?
katakan terus terang, Res. Kalau kamu mengalami kesulitan ongkos,
kami siap membantu! kata Yanti pula. Bukan. Bukan karena itu, Resa
menggeleng Lalu? hampir semua mata melihat ke arah Resa.
Resa kembali terdiam. Lalu, terbayanglah ia pada nasihat kakaknya
yang menyuruhnya berangkat sekolah jalan kaki. Padahal, sebelumnya ia
selalu naik bus. Itulah sebabnya ia sering terlambat.
Ya, seminggu yang lalu, kakak Resa yang bekerja sebagai pengarang,
berkata, Res, mulai besok kamu harus jalan kaki ke sekolah!
Resa heran mendengar perkataan kakaknya itu. Tapi belum sampai
Resa bertanya, kakaknya melanjutkan,Bukankah kamu ingin punya mesin
jahit sendiri? Nah, dari pada uang dua ratus rupiah kamu berikan pada pak
kondektur, lebih baik kamu tabung, coba hitung, kalau setahun sudah
berapa? Lagi pula, jalan kaki itu sehat
Resa protes. Tapi, kakaknya terus nyerocos, ingat, Res. Kita harus
belajar hidup prihatin sejak kecil, sebab kita bukan orang kaya. Dulu, waktu
kakak sekolah di desa, kakak juga jalan kaki. Pahadal, jarak rumah dengan
sekolah hampir lima kilometer. Sedangkan jarak sekolah kamu, mungkin
tidak ada satu kilometer. Kita jangan sampai terlalu dimanja oleh
teknologi.
Resa tidak bisa membantah. Setelah ia renungkan secara mendalam,
mungkin semua yang dikatakan kakaknya itu ada benarnya. Tapi, sejak
Resa mempraktikkan ajarannya tersebut, Resa sering terlambat tiba di
sekolah. Sebetulnya, ia ingin berangkat lebih awal, tapi tidak bisa. Sebab,
setelah bangun tidur ia mesti membantu ibu mencuci piring di dapur dan
mengepel lantai. Resa tidak tahan dimarahi terus-terusan oleh Bu Guru.
Ketika ia utarakan hal ini pada kakaknya, kakaknya itu malah berkata,
jam berapa kamu bangun setiap pagi?
Pukul enam.
Nah, supaya kamu bisa berangkat sekolah lebih awal dan tetap bisa
membantu ibu di dapur, mulai besok kamu harus bangun lebih pagi,
katanya dengan nada enteng, bangunnya, jangan sampai keduluan ayam,
Resa. Malu, kan. Lagi pula shalat Subuh terlalu sinag kurang bagus.
kakak sendiri bangunnya selalu kesiangan! tiba-tiba Resa protes.
Lho, kakakmu ini, kan, seniman, Resa. Pekerjaannya tidak bisa
diatur. Di saat orang lain tidur, dia bekerja. Dan di saat orang lain bekerja,
dia malah tidur. Tapi, kakak kan, tidak pernah telat melaksanakan shalat
Subuh. Selesai shalat Subuh, kakak biasanya memang tidur lagi sebentar,
tapi setelah itu langsung bekerja kembali! demikian jawab kakaknya.
Iya, deh, akhirnya Resa mengalah. Ia turuti perintahnya. Ia setel
dering jam beker pukul lima.
Ternyata, semua yang dikatakan kakaknya benar. Resa bangun lebih
pagi, dan tidak pernah lagi terlambat ke sekolah. Uang dua ratus rupiah
pemberian ibu sebagai ongkos bus, terus ia tabung. Resa sudah tidak sabar
lagi membeli mesin jahit. Ia ingin membantu ibu menjahit, sebab orang-
orang yang memesan jahitan kepada ibu dari hari ke hari jumlahnya
bertambah banyak.
Kini, setelah ia ceritakan masalahnya pada teman-temannya, mereka
semuanya memahami. Dan anehnya, beberapa temannya yang tadinya
sekolah naik bus dan diantar mobil pribadi oleh orangtuanya, ikut-ikutan
jalan kaki.
Jalan kaki itu ternyata sehat ya Resa? Kata Yanti suatu hari ketika
berangkat sekolah bersamanya.
Danngirit ongkos! tambah Rini pula.
Resa hanya tersenyum. Ah, kakaknya yang bekerja sebagai pengarang
itu memang pintar.

Anda mungkin juga menyukai