Anda di halaman 1dari 206

KAJIANPERUMUSANRANCANGAN

ARAHKEBIJAKANJANGKA
MENENGAHBIDANGREVITALISASI
PROSESDESENTRALISASIDAN
OTONOMIDAERAH
TAHUN20102014
KAJIANPERUMUSANRANCANGAN
ARAHKEBIJAKANJANGKA
MENENGAHBIDANGREVITALISASI
PROSESDESENTRALISASIDAN
OTONOMIDAERAH
TAHUN20102014
DirektoratOtonomiDaerah
Bappenas
2009
KAJIANPERUMUSANRANCANGAN
ARAHKEBIJAKANJANGKA
MENENGAHBIDANGREVITALISASI
PROSESDESENTRALISASIDAN
OTONOMIDAERAH
TAHUN20102014
KAJIANPERUMUSANRANCANGAN
ARAHKEBIJAKANJANGKA
MENENGAHBIDANGREVITALISASI
PROSESDESENTRALISASIDAN
OTONOMIDAERAH
TAHUN20102014
DirektoratOtonomiDaerah
Bappenas
2009
Laporan Studi Lapangan
KAJIANPERUMUSANRANCANGAN
ARAHKEBIJAKANJANGKA
MENENGAHBIDANGREVITALISASI
PROSESDESENTRALISASIDAN
OTONOMIDAERAH
TAHUN20102014
KAJIANPERUMUSANRANCANGAN
ARAHKEBIJAKANJANGKA
MENENGAHBIDANGREVITALISASI
PROSESDESENTRALISASIDAN
OTONOMIDAERAH
TAHUN20102014
DirektoratOtonomiDaerah
Bappenas
2009
Ringkasan Eksekutif





LAPORAN
KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN
JANGKA MENENGAH BIDANG REVITALISASI PROSES
DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH
TAHUN 2010 - 2014








DIREKTORAT OTONOMI DAERAH
DEPUTI BIDANG PENGEMBANGAN REGIONAL DAN OTONOMI DAERAH
2009
BAPPENAS
i


TIM PENGARAH
Himawan Hariyoga



TIM PENYUSUN
Antonius Tarigan
Wariki Sutikno
Daryll Ichwan Akmal
Agus Manshur
Asep Saepudin
Taufiq Hidayat Putra
Sudira
Jayadi
Ervan Arumansyah
Arum Rusmartini
Ni Luh Nyoman Dewi Triandayani
Muhamad Sowwam




Diterbitkan Oleh :
Direktorat Otonomi Daerah,
Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
Jl. Taman Suropati No. 2 Jakarta 10310
Telp/Fax : 021 31935289





ii

KATA PENGANTAR

Buku Laporan kegiatan Kajian Perumusan Rancangan Arah Kebijakan
Jangka Menengah Bidang Revitalisasi Proses Desentralisasi Dan Otonomi
Daerah 2010-2014 ini disusun dalam rangka untuk memberikan masukan bagi
perumusan RPJMN 2010-2014 pada bidang desentralisasi dan otonomi daerah.
Masukan yang dimaksud adalah berupa satu perangkat arahan kebijakan dan
gambaran program maupun kegiatan yang dipandang strategis untuk
dicantumkan dalam RPJMN 2010-2014, berdasarkan hasil analisis terhadap isu-
isu, permasalahan, dan tantangan yang sedang dan akan dihadapi.
Buku Laporan Akhir kegiatan Kajian Perumusan Rancangan Arah
Kebijakan Jangka Menengah Bidang Revitalisasi Proses Desentralisasi Dan
Otonomi Daerah 2010-2014 ini terdiri dari 5 (lima) bab yang meliputi
Pendahuluan, Metodologi Pelaksanaan, Kerangka Konseptual, Pelaksanaan
Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Serta Permasalahannya Dalam Kurun
Waktu 2004-2009, serta Kesimpulan dan Rekomendasi. Kami berharap studi ini
dapat menjadi bahan masukan bagi perumusan kebijakan strategis di bidang
desentralisasi dan otonomi daerah.
Kami mengucapkan terima kasih atas masukan berbagai pihak yang telah
memungkinkan terlaksananya kajian ini, baik di lingkungan Bappenas sendiri,
Departemen Dalam Negeri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara,
Badan Pusat Statistik, Departemen Keuangan, dan Pemerintah Daerah yang
menjadi sampel studi, maupun pihak-pihak lain yang turut membantu
terselesaikannya kajian ini. Kami juga mengharapkan masukan, saran serta
kritik demi kesempurnaan laporan ini dan perbaikan kebijakan di masa yang
akan datang.
Jakarta, November 2009
Direktur Otonomi Daerah, Bappenas




Himawan Hariyoga
iii


DAFTAR ISI

Tim Penyusun
Kata Pengantar
Daftar Isi
i
ii
iii
I
1.1.
1.2.
1.3.
1.4.
1.5.
Pendahuluan
Latar Belakang
Tujuan
Keluaran
Ruang Lingkup
Sistimatika Penulisan


I-1
I-2
I-3
I-3
I-4
II
2.1.
2.2.
2.3.
2.4.
METODOLOGI
Metodologi Pelaksanaan
Alur Penyusunan Rancangan Kebijakan dan Indikatornya
Substansi RPJM Nasional 2010-2014
Penetapan Indikator Kinerja


2-1
2-1
2-5
2-7
III
3.1.
3.2.
3.3.

KERANGKA KONSEPTUAL
Pelayanan Publik
Desentralisasi
Otonomi Daerah

3-1
3-6
3-13
IV

4.1.

4.2.

4.3.
PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH
SERTA PERMASALAHANNYA DALAM KURUN WAKTU 2004-2009
Arah Kebijakan dalam Rangka Revitalisasi Proses Desentralisasi dan
Otonomi Daerah
Capaian Pelaksanaan Program Desentralisasi dan Otonomi Daerah
2005-2009
Permasalahan dan Tantangan Ke Depan



4-1

4-6

4-17
V
5.1.
5.2.

PENUTUP: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Rekomendasi

5-1
5-14
Daftar Pustaka
Lampiran


LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas I1

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Pesatnya perkembangan proses desentralisasi dan otonomi daerah di
Indonesia saat ini terjadi tidak hanya karena perkembangan atau perubahan-
perubahan kebijakan yang terkait dengannya. Perkembangan itu ternyata juga
dipengaruhi oleh inovasi, strategi, maupun kebijakan-kebijakan yang diambil
oleh daerah dalam mempergunakan otonomi yang dimilikinya. Kesemuanya
menjadikan dinamika proses desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia
begitu tinggi dan selalu membutuhkan penyikapan yang efektif, efisien, dan
strategis.
Disahkannya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU
No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah telah mengubah pola pelaksanaan desentralisasi dan otonomi
daerah di Indonesia. Selama kurun waktu antara tahun 2004-2008, semua level
pemerintahan seolah disibukkan dengan perumusan kebijakan-kebijakan
implementatif turunan dari dua Undang-undang tersebut. Selain itu, isu-isu lain
kemudian muncul terkait perkembangan inovasi Pemerintah Daerah untuk
mengakselerasi pembangunan daerahnya, meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Program-program dan kegiatan pokok yang tercakup dalam Bab 13
(Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah) RPJMN 2004-2009 lebih
kurang telah berusaha mewadahi semua hal yang terkait dalam dinamika
tersebut. Akan tetapi, tentu diperlukan penyesuaian-penyesuaian dan
perumusan ulang perencanaan jangka menengah untuk menjamin
keberlangsungan proses desentralisasi dan otonomi daerah pada periode 2010-
2014, berdasarkan isu-isu, permasalahan dan tantangan yang diproyeksikan akan
terjadi pada periode tersebut.
Selain itu, salah satu hambatan yang ditemui dalam usaha mengevaluasi
pencapaian RPJMN 2004-2009 dalam proses desentralisasi dan otonomi daerah

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas I2

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
ini adalah tidak adanya satu perangkat indikator untuk mengukur pencapaian
tersebut. Kalaupun ada, ternyata indikator tersebut tidak seluruhnya dapat
ditakar pencapaiannya. Padahal, perangkat indikator yang baik adalah satu hal
vital yang diperlukan untuk menentukan telah sejauh mana proses desentralisasi
dan otonomi daerah itu berjalan.
Kajian ini dilakukan dengan mengelaborasi isu dan permasalahan di
tingkat pusat, kajian ini juga perlu memperhatikan perkembangan dan aspirasi di
daerah. Hal ini karena stakeholders proses desentralisasi dan otonomi daerah
tidak hanya pemerintah pusat. Stakeholders terbesar justru adalah daerah, dan
penerima benefit akhirnya adalah seluruh masyarakat Indonesia.
Kajian ini bertujuan untuk memberikan masukan bagi perumusan RPJMN
2010-2014 pada bidang Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah.
Masukan yang dimaksud adalah berupa satu perangkat arahan kebijakan dan
gambaran program maupun kegiatan yang dipandang strategis untuk
dicantumkan dalam RPJMN 2010-2014, berdasarkan isu-isu, permasalahan dan
tantangan yang sedang dan akan dihadapi.
Selain itu, kajian ini diharapkan juga dapat memberikan gambaran
indikator atau tolok ukur pencapaian untuk proses revitalisasi desentralisasi dan
otonomi daerah, sehingga pada akhir periode RPJMN 2010-2014 seluruh
stakeholders yang terkait dapat melihat sejauh mana pencapaian
pelaksanaannya. Selain itu, pencapaian indikator tersebut juga akan menjadi
dasar untuk perumusan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan desentralisasi
dan otonomi daerah ke depannya.

1.2. Tujuan
Tujuan dari kajian ini adalah:
1) Untuk merumuskan arah kebijakan pembangunan pada bidang revitalisasi
proses desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas I3

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
2) Untuk merumuskan rancangan awal program dan pokok-pokok kegiatan
yang dipandang strategis untuk RPJMN 2010-2014 Bidang Revitalisasi
Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah
3) Untuk merumuskan perangkat indikator pencapaian atau keberhasilan
pelaksanaan program/kegiatan RPJMN 2010-2014 Bidang Revitalisasi
Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah


1.3. Keluaran
Keluaran yang diharapkan dari kajian ini adalah masukan untuk
penyusunan RPJMN 2010-2014 Bidang Revitalisasi Proses Desentralisasi dan
Otonomi Daerah yang terdiri dari:
1) Arah kebijakan dan sasaran pembangunan
2) Rancangan program strategis
3) Rancangan pokok kegiatan per program
4) Rancangan perangkat indikator per pokok kegiatan dan per program

1.4. Ruang Lingkup
Lingkup kegiatan kajian meliputi:
1) Melakukan tinjauan pencapaian RPJMN 2004-2009 bidang revitalisasi
proses desentralisasi dan otonomi daerah yang meliputi pula evaluasi
pelaksanaan program. Sehingga dapat dihasilkan sintesa awal mengenai
kebijakan bidang revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah
selama ini
2) Melakukan kajian literatur terhadap isu-isu bidang revitalisasi proses
desentralisasi dan otonomi daerah. Kajian literatur ini meliputi rekapitulasi
hasil-hasil studi evaluasi dan monitoring, maupun studi-studi lain yang
telah dilakukan oleh Direktorat Otonomi Daerah Bappenas. Kajian literatur
ini juga dilakukan dengan mengelaborasi hasil background study
penyusunan RPJMN 2010-2014 bidang revitalisasi proses desentralisasi dan
otonomi daerah yang dilakukan pada tahun anggaran 2008

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas I4

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
3) Melakukan diseminasi kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
untuk menangkap persoalan di lapangan dan menghimpun isu-isu dan
aspirasi dari stakeholders, baik di kalangan Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah di bidang revitalisasi desentralisasi dan otonomi
daerah.
4) Melakukan analisis untuk mengkompilasi dan mengolah data-data yang
diperoleh untuk merumuskan arahan kebijakan strategis untuk
desentralisasi dan otonomi daerah ke depan
5) Menyusun policy paper di bidang revitalisasi proses desentralisasi dan
otonomi daerah yang berisi arahan kebijakan, sasaran, program, pokok-
pokok kegiatan dan perangkat indikator sebagai input dalam penyusunan
RPJMN 2010-2014
6) Lokakarya mengenai policy paper yang telah dihasilkan kepada
stakeholder di bidang revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi
daerah guna menghasilkan draft final dan masukan untuk penyusunan
RPJMN 2010-2014
7) Seminar akhir penyampaian hasil kajian, yang melibatkan instansi-instansi
di tingkat pusat dan Pemerintah Daerah,

1.5. Sistematika Penulisan
Sistematika Penulisan Buku Laporan Akhir kegiatan Kajian Perumusan Rancangan
Arah Kebijakan Jangka Menengah Bidang Revitalisasi Proses Desentralisasi Dan
Otonomi Daerah Tahun 2010-2014 ini meliputi 5 Bab sebagai berikut :
a. BAB 1 PENDAHULUAN
Bab berikut ini menguraikan mengenai latar belakang, maksud dan tujuan,
ruang lingkup kegiatan, keluaran, serta sistematika pembahasan.
b. BAB 2 METODOLOGI
Bab berikut ini menguraikan tentang konsep dan kerangka pemikiran, serta
metode analisa dalam penyusunan rancangan arah kebijakan jangka
menengah bidang revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah
2010-2014

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas I5

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
c. BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL
Pada bab ini diuraikan landasan teoritis dan hukum yang menjadi acuan
dalam penyusunan rancangan arah kebijakan jangka menengah bidang
revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah 2010-2014
d. BAB 4 PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH
SERTA PERMASALAHANNYA DALAM KURUN WAKTU 2004-2009
Pada bab ini diuraikan gambaran umum kondisi pelaksanaan pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah serta permasalahannya dalam kurun
waktu 2004-2009, berdasar hasil evaluasi yang telah dilakukan oleh
Direktorat Otonomi Bappenas maupun hasil kajian evaluasi lainnya
e. BAB USULAN PRIORITAS BIDANG REVITALISASI PROSES
DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH 2010-2014
Pada bab ini diuraikan tantangan ke depan dalam pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah sehingga dalam pelaksanaan ke depan
diusulkan beberapa prioritas bidang yang menjadi fokus pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah 2010-2014.
f. BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Pada bab ini diuraikan perumusan kesimpulan hasil kajian dan rekomendasi
dalam bentuk rancangan arah kebijakan jangka menengah bidang
revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah 2010-2014

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas II1

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
BAB II
METODOLOGI


2.1. METODOLOGI PELAKSANAAN
Perumusan rancangan arah kebijakan jangka menengah bidang
revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah 2010-2014
dilaksanakan dengan metode kualitatif. Pelaksanaan kajian dilaksanakan
dengan mengkaji dokumen referensi-referensi yang telah ada dan
diperkaya dengan wawancara dan FGD dengan pelaksana kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah baik di tingkat Pusat maupun Daerah.
Metode pengumpulan data primer yang digunakan adalah:
wawancara dan FGD di instansi pusat dan daerah-daerah sampel,
lokakarya, dan seminar akhir. Daerah sampel untuk studi meliputi Provinsi
Jawa Timur, Riau, Kalimantan Tengah.
Sedangkan data sekunder diperoleh melalui metode studi dokumen.
Dokumen-dokumen yang akan dikaji antara lain: berbagai literatur terkait
dengan konsep desentralisasi dan otonomi daerah, laporan-laporan
monitoring, berbagai dokumen kebijakan yang terkait dengan
desentralisasi dan otonomi daerah.
Data sekunder yang diperoleh melalui kegiatan desk study
selanjutnya diuji kembali melalui FGD, wawancara, lokakarya, dan seminar.
2.2. ALUR PENYUSUNAN RANCANGAN KEBIJAKAN DAN INDIKATORNYA
2.2.1. KERANGKA PERMASALAHAN DAN ARAH KEBIJAKAN
Perumusan arah kebijakan pembangunan nasional dimulai dengan
identifikasi prakiraan permasalahan utama, serta penyebabnya untuk
diselesaikan dalam periode 5 (lima) tahun ke depan. Permasalahan utama
merupakan perkiraan permasalahan yang akan dihadapi lima tahun ke
depan berdasarkan perkembangan sampai saat ini. Permasalahan utama

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas II2

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
termasuk tantangan, yang merupakan permasalahan yang menonjol dalam
lima tahun ke depan. Selanjutnya, ditetapkan sasaran pembangunan
nasional jangka menengah 2010-2014, yang akan menjadi dasar Penetapan
Prioritas Pembangunan Nasional. Untuk setiap Prioritas Pembangunan,
dibangun skenario isu strategis bersifat lintas Bidang/K-L dan kegiatan
pembangunan yang akan mendukung pada pencapaian prioritas
pembangunan tersebut. Yaitu melalui Fokus Prioritas Nasional (program-
program pembangunan Prioritas yang bersifat lintas Bidang/K-L atau lintas
wilayah), dan kegiatan-kegiatan prioritas nasional pendukungnya.
Berbagai acuan yang dapat digunakan dalam identifikasi prakiraan
permasalahan utama bangsa dalam periode lima tahun ke depan adalah :
(1) hasil evaluasi RPJMN periode sebelumnya, (2) misi pembangunan yang
belum terselesaikan dalam 5 tahun sebelumnya, dan (3) masukan aspirasi
dari masyarakat/stakeholder luas lainnya. Selanjutnya, permasalahan dan
sasaran akan mengarahkan pada perumusan arah kebijakan
pembangunan nasional yang perlu ditetapkan untuk periode 2010-2014,
dengan mempertimbangkan dan mensinergikan hal-hal sebagai berikut:
1. Skala Prioritas dalam RPJPN 2025
2. Visi, misi dan Program Prioritas Presiden Terpilih
3. Komitmen internasional/global terkini
Logika alur berpikir dalam merumuskan permasalahan pokok dan agenda
pembangunan RPJMN 2010-2014 dapat dilihat dalam Gambar 2.1 Diagram
Alir Perumusan Masalah dan Arah Kebijakan RPJMN 2010-2014.

2.2.2. PENYUSUNAN STRUKTUR KEBIJAKAN (POLICY STRUCTURE)
Di dalam perumusan kebijakan pembangunan (policy planning),
perlu dijaga logika berpikir yang konsisten antara identifikasi
permasalahan dan tantangan, sasaran, dan arah kebijakan untuk
menyelesaikannya. Untuk itu, arah kebijakan dan strategi pembangunan
yang memuat Prioritas, Fokus Prioritas, dan Kegiatan Prioritas (policy
structure) dituliskan secara sistematis dan terstruktur, yaitu mengalir dalam

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas II3

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
keterkaitan yang logis sehingga memudahkan untuk dipahami dan dapat
dievaluasi kinerja capaiannya. Hal ini juga akan memudahkan dalam
monitoring dan evaluasi pencapaian kinerjanya.
Penyusunan Policy Structure dilakukan menggunakan model logika
program (program logic model) atau dapat juga disebut model logika
kinerja (perfomance logic model). Yaitu kerangka logika yang
mengkaitkan berbagai tahapan/kegiatan dan memberikan cetak-
biru/pemetaan untuk pencapaian misi suatu program. Aplikasi
penyusunan kerangka logis struktur kebijakan di dalam RPJMN dapat
dilihat pada Gambar 2.2 Struktur Kebijakan (Policy Structure) dan Kinerja
RPJMN 2010-2014. Model logika membantu untuk menjelaskan
objektif/tujuan dari kebijakan/program, dan aliran kontribusinya dalam
rantai pencapaian hasil kinerja berdasarkan setiap tahap kebijakan.
Tahap perumusan rancangan struktur kebijakan (policy structure)
dimulai dengan identifikasi kondisi saat ini, yaitu permasalahan yang harus
ditangani untuk menuju pada perubahan (sosial/ekonomi/politik/fisik)
yang diinginkan dalam periode 5 (lima) tahun ke depan. Selanjutnya
ditetapkan sasarn pokok dari peubahan yang ingin dicapai. Berdasarkan
pada sasaran pokok yang ingin dicapai, ditentukan arah kebijakan
pembangunan yang diambil. Arah kebijakan pembangunan yang memuat
strategi yang merupakan kerangka pikir/kerangka kerja terdiri dari
Prioritas, Fokus Prioritas/Program, dan Kegiatan untuk memecahkan
permasalahan pokok dan mewujudkan sasaran prioritas.
Pencapaian Prioritas Nasional didukung oleh Fokus Prioritas yang
sejauh mungkin bersifat lintas Bidang/K-L beserta kegiatan-kegiatan
prioritasnya. Untuk setiap rantai hasil/pencapaian digunakan berbagai
indikator untuk mengukurnya. Untuk keberhasilan pencapaian Prioritas
Pembangunan diukur dengan indikator impact/dampak, keberhasilan
pencapaian Fokus Prioritas atau Program dikukur dengan indikator
outcomes/hasil, keberhasilan pencapaian Kegiatan diukur dengan

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas II4

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
indikator Output/keluaran, sedangkan untuk penggunaan sumberdaya
digunakan indikator input.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas II5

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas II6

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009




















Gambar2.1
DIAGRAMALIRPERUMUSANMASALAH&ARAHKEBIJAKAN
PEMBANGUNANNASIONAL20102014
Masukandari
Pemangku
Kepentingan
KONDISISAATINI
BANGSAINDONESIA:
Identifikasi
Permasalahandan
Penyebabnya
Masukandari
Pemangku
Kepentingan
SkalaPrioritas
RPJPN2025
Visi,Misi,
Program
Prioritas
Presiden
Terpilih
Komitmen
Internasional/
Global
PERKIRAANPERMASALAHAN
UTAMADANTANTANGAN
20102014
PENETAPANSASARANPOKOK
PEMBANGUNANNASIONAL
20102014
BASELINEDATA:
Kondisisaatini
Misi
Pembangunan
YangBelum
Selesai
20042009
ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI
PEMBANGUNANNASIONAL2010
2014

PRIORITASNASIONAL
(INDIKATORDAMPAK)
FOKUS
PRIORITAS
(IsuStrategis
Lintas
Bidang/KL)

PROGRAM
(INDIKATOR
OUTCOMES)
KEGIATANPRIORITAS
(INDIKATOROUTPUT)
SUMBERDAYA
(INDIKATORINPUTS)

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas II7

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009


















Gambar 2.2
Struktur Kebijakan (Policy Structure) dan
Kinerja Pembangunan RPJMN 2010-2014


Pengertian dari masing-masing rantai pencapaian kinerja/indikator kinerja
kebijakan pembangunan adalah sebagai berikut :
1. Dampak/Impact : Pernyataan perubahan pada masyarakat seperti apa yang
ingin dituju sebagai akibat dari hasil pembangunan yang tercapai. Biasanya
bersifat Jangka Menengah/Jangka Panjang.
2. Hasil/Outcome : Pernyataan manfaat yang ingin dicapai, atau hasil tangible
bagi masyarakat/target group. Merupakan cara untuk menentukan dan
mengendalikan tercapainya suskes/tidaknya suatu Fokus
Prioritas/Program. Outcomes dapat juga merupakan perubahan yang
IMPACT/DAMPAK
OUTCOMES/HASIL
KELUARAN/PRODUK
MASUKAN/INPUT
PERMASALAHAN
UTAMA
(PermasalahanPokok
Nasionalyangakan
diselesaiakndalam
20102014)
PRIORITAS
NASIONAL
FOKUS
PRIORITAS
(isustrategis)
PROGRAM
KEGIATAN
SUMBERDAYA
INDIKATOR
IMPACTS
INDIKATOR
OUTCOMES
INDIKATOR
OUTPUTS/
KELUARAN
INDIKATOR
INPUTS/
MASUKAN
BASELINEDATA
TENTANG
KONDISIKINI
PERMASLAHAN
YANGAKAN
DITANGANI
S
U
M
B
E
R

D
A
T
A
INDIKATOR

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas II8

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
terjasi pada target group-yang merupakan bagian dari masyarakat yang
lebih luas (sebagai dampaknya).
3. Keluaran/Output: Apa saja yang harus dihasilkan/dilakukan untuk
mencapai Outcome Antara/Outcome Akhir.
4. Masukan/Input : Sumber daya yang diperlukan sehingga kegiatan yang
perlu dilakukan untuk menghasilkan Output bisa berjalan.

2.3. SUBSTANSI RPJM NASIONAL 2010-2014
2.3.1. ARAHAN RPJPN 2005-2025
Tujuan (visi) dari Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 adalah
untuk mewujudkan masyarakat yang maju, mandiri, dan adil sebagai
landasan bagi tahap pembangunan berikutnya menuju masyarakat yang
adil dan makmur. Visi pembangunan RPJPN 2005-2025 tersebut
memberikan arah pencapaiannya melalui delapan (8) misi
pembangunannya yaitu : (1) Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia,
bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab, (2) Mewujudkan bangsa
yang berdaya saing, (3) Mewujudkan masyarakat demokratis
berlandaskan hukum, (4) Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan
bersatu, (5) Mewujudkan pemerataan pembangunan dan keadilan, (6)
Mewujudkan Indonesia asri dan lestari, (7) Mewujudkan Indonesia menjadi
Negara Kepulauan yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan
nasional, dan (8) Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam
pergaulan dunia internasional.
Pencapaian sasaran pokok RPJPN 2005-2025 pada masing-masing misi
pembangunan tersebut dilakukan melalui tahapan dan skala prioritas
pembangunan yang akan menjadi agenda dalam rencana pembangunan
jangka menengah. Untuk setiap misi pembangunan tersebut, di dalam
setiap tahap rencana pembangunan jangka menengah dijabarkan arah
pembangunan dan sasaran pokok 5 tahunannya. Tahapan pembangunan
dalam RPJP Nasional adalah sebagai berikut:

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas II9

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009

RPJM 1
(2005-2009)
Menata kembali NKRI, membangun Indonesia yang aman
dan damai, adil dan demokratis, dengan tingkat
kesejahteraan yang lebih baik.

RPJM 2
(2010-2014)

Memantapkan penataan kembali NKRI, meningkatkan
kualitas SDM, membangun kemampuan Iptek,
memperkuat daya saing perekonomian.

RPJM 3
(2015-2019)
Memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan
menekankan pembangunan keunggulan kompetitif
perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM
yang berkualitas, serta kemampuan Iptek.

RPJM 4
(2020-2025)
Mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju,
adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di
berbagai bidang dengan struktur perekonomian yang
kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif.

RPJMN 2010-2014 merupakan tahap ke-2 pencapaian visi dan misi
RPJPN 2025 dengan prioritas agenda pembangunan difokuskan pada
pemantapan penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan
penekanan pada upaya:
1. Peningkatan kualitas sumber daya manusia;
2. Perkembangan kemampuan ilmu dan teknologi; dan
3. Penguatan daya saing perekonomian.
Pencapaian tahapan RPJP dilaksanakan melalui strategi pembangunan
yang dipilih dalam sembilan (9) Bidang Pembangunan dalam RPJPN 2005-
2025, yaitu : (1) sosial budaya dan kehidupan beragama; (2) Ekonomi, (3)
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (4) Politik, (5) Pertahanan dan Keamanan,
(6) Hukum dan Aparatur , (7) Pembangunan Wilayah dan Tata Ruang, (8)

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas II10

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Penyedia Sarana dan Prasarana, dan (9) Pengelolaan Sumber Daya Alam
dan Lingkungan Hidup. Untuk penulisan RPJMN 2010-2014 pembagian
Bidang mengikuti pembagian 9 bidang pembangunan dalam RPJMN 2005-
2025 ditambah satu bidang yaitu Bidang Penanggulangan Kemiskinan dan
Pemerataan Pembangunan. Bidang ini nantinya dapat berdiri sendiri atau
merupakan bagian dari bidang Ekonomi.
Adapun tahapan dan skala prioritas pembangunan bidang desentralisasi dan
otonomi daerah 2005-2025 adalah sebagai berikut :

TABEL 2.1. Tahapan Dan Skala Prioritas Pembangunan Bidang Desentralisasi
Dan Otonomi Daerah 2005-2025
RPJM-1
(2005-2009)
RPJM-2
(2010-2014)
RPJM-3
(2015-2019)
RPJM-4
(2020-2024)
Pelayanan kepada
masyarakat makin
membaik dengan
meningkatnya
penyelenggaraan
desentralisasi dan
otonomi daerah yang
tercermin dengan
terjaminnya
konsistensi seluruh
peraturan pusat dan
daerah dan tidak
bertentangan dengan
peraturan dan
perundang-undangan
yang lebih tinggi;
serta tertatanya
kelembagaan
birokrasi dalam
mendukung
percepatan
terwujudnya tata
kepemerintahan yang
baik
Kehidupan bangsa
yang lebih
demokratis semakin
terwujud ditandai
dengan membaiknya
pelaksanaan
desentralisasi &
otonomi daerah serta
kuatnya peran
masyarakat sipil dan
partai politik dalam
kehidupan bangsa.
Kualitas pelayanan
publik yang lebih
murah, cepat,
transparan, &
akuntabel makin
meningkat yang
ditandai dengan
terpenuhinya standar
pelayanan minimum
di semua tingkatan
pemerintah.
Semakin mantapnya
pelaksanaan
desentralisasi dan
otonomi daerah.
Kesadaran dan
penegakan hukum
dalam berbagai aspek
kehidupan
berkembang makin
mantap serta
profesionalisme
aparatur negara di
pusat dan daerah
makin mampu
mendukung
pembangunan
nasional
Terwujudnya tata
kepemerintahan
yang baik, bersih dan
berwibawa yang
berdasarkan hukum,
serta birokrasi yang
profesional dan
netral.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas II11

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
2.3.2. ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN
Arah kebijakan pembangunan memuat strategi yang merupakan
kerangka pikir atau kerangka kerja untuk menyelesaikan masalah dalam
rangka mencapai sasaran, yaitu perubahan kondisi sosial masyarakat yang
ingin dicapai dalam 5 tahun kedepan. Indikator pengukuran keberhasilan
pencapaian Prioritas Nasional adalah indikator Dampak/Impact. Untuk
setiap Prioritas Nasional dijabarkan ke dalam Fokus Prioritas yang bersifat
isu strategis Lintas Bidang/K-L. Indikator pengukuran keberhasilan Fokus
Prioritas adlah indikator outcomes.
Prioritas Nasional adalah penjabaran dari visi, misi dan prioritas
Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk periode 2010-2014 yang telah
dicanangkan sejak masa kampanyenya. Pencapaian prioritas nasional
bersifat lintas pelaku pembangunan yaitu: pemerintah, swasta, dan
masyarakat. Pertama, melalui kebijakanatau regulasi, dan kedua, melalui
kebijakan anggaran. Arahan prioritas RPJP-tahap 2 tersebut merupakan
salah satu rujukan dalam penentuan agenda Prioritas baik di lingkup
nasional maupun dalam lingkup Bidang/K-L. pada tahap penyiapan
Rancangan Awal RPJMN (teknokratis) Prioritas Nasional disusun
berdasarkan :
1. Prioritas dalam konteks sasaran RPJP 2005-2025 tahap ke-2 yaitu
RPJMN periode 2010-2014 dan Prioritas terkait dengan kondisi saat ini.
2. Visi, misi, dan Program Prioritas Presiden Terpilih, yang merupakan
agenda nasional utama yang perlu mendapat dukungan dan menjadi
prioritas keberhasilan pemerintahan dalam 5 tahun ke depan;
3. Komitmen internasional/global yang terkini;
4. Kebijakan pembangunan prioritas pada tahap RPJMN 2004-2009 yang
belum tuntas penyelesaiannya serta perlu untuk diteruskan dalam
periode selanjutnya.

Prioritas Nasional kemudian dijabarkan menjadi isu strategis lintas
Bidang/K-L atau disebut Fokus Prioritas Nasional. Fokus Prioritas Nasional

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas II12

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
adalah kebijakan lintas Bidang/K-L yang dirancang untuk mendukung
pencapaian sasaran Prioritas Nasional. Sasaran atau tujuan dari Fokus
Prioritas Nasional dicapai melelui koordinasi pelaksanaan kegiatan
Prioritas lintas bidang/K-L.
Mengacu pada sasaran Prioritas Nasional, pada setiap Bidang
dirumuskan Prioritas Bidang dan Fokus Prioritas Bidang yang didukung oleh
masing-masing Kegiatan Prioritas Bidang. Prioritas Bidang merupakan
kebijakan yang diambil untuk mencapai Sasaran Pokok Pembangunan.
Bidang yang dicanangkan dalam periode 5 tahun kedepan. Fokus Prioritas
Bidang bersifat lintas sektor/K-L sehingga membutuhkan koordinasi lintas
sektor/K-L.
2.3.3. PENGARUSUTAMAAN PEMBANGUNAN (MAINSTREAMING)
Pengarusutamaan pembangunan (Mainstreaming) adalah
isu/permasalahan yang melibatkan kegiatan lintas Bidang dan atau lintas
K-L. Pangarusutamaan pembangunan dimaksudkan untuk
mengintegrasikan suatu isu ke dalam proses pembangunan di setiap
Bidang atau Kegiatan. Pangarusutamaan terintegrasi ke dalam Kegiatan-
Kegiatan lintas Bidang dalam bentuk indikator output untuk isu
pangarusutamaan tertentu. Pangarusutamaan menjadi landasan
operasional pembangunan tingkat pusat dan daerah. Penerapan
pangarusutamaan akan menghasilkan kebijkan publik yang lebih efektif
untuk mewujudkan pembangunan yang lebih adil dan merata.
Untuk memastikan pelaksanaan pangarusutamaan di Bidang dan atau
Kegiatan pembangunan, perlu ditunjuk Koordinator untuk masing-masing
isu pangarusutamaan. Koordinator bersama dengan unit pelaksana terkait
menyepakati rencana tindak dan indikator capaian output yang aka
dimasukkan ke dalam masing-masing Kegiatan di dalam Bidang yang
terkait. Masing-masing unit pelaksana berkewajiban untuk melaporkan
capaian pangarusutamaannya yang telah dilaksanakan secara berkala
kepada Koordinator Pangarusutamaan.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas II13

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
2.3.4. KERANGKA EKONOMI MAKRO
Rumusan strategi pembangunan nasional yang mencakup kerangka
ekonomi makro dan pembiayaan menjadi bahan dalam perumusan arah
kebiajakan pembangunan nasional jangka menengah. Kerangka ekonomi
makro dan pembiayaan memuat gambaran umum perekonomian secara
menyeluruh, termasuk arah kebijakan fiskal untuk periode jangka
menengah 2010-2014.
2.4. PENETAPAN INDIKATOR KINERJA
2.4.1. KRITERIA INDIKATOR KINERJA
a. Indikator Kinerja Yang Smart
Indikator adalah variabel kuantitatif atau kualitatif yang memudahkan
dalam pengukuran pencapaian kemajuan atau perubahan yang terjadi
akibat dari suatu intervensi yang dilakukan. Selanjutnya, indikator
digunakan untuk mengukur kinerja (kualitas kerja) suatu organisasi
terhadap pencapaian hasil-hasil yang direncanakan. Indikator yang baik
haruslah bersifat : (1) realistis, data mudah didapatkan dalam arti tidak
mahal dan tidak sukar mendapatkannya; dan (2) relevan, mempunyai
keterkaitan yang jelas dengan subjek yang diukur dan bersifat ojektif
dalam mengukur pencapaian. Secara lengkapnya, indikator yang baik
harus memiliki unsur SMART dibawah ini:

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas II14

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009



TABEL 2.1
Merumuskan Indikator Yang Memenuhi Kriteria Smart

Specific
(spesifik/khusus)
Menyebutkan dengan jelas data dan
kemudahan akses untuk
mendapatkannya.
Measurable
(Terukur)
Indikator yang dapat terukur baik secara
kuantitatif atau kualitatif.
Atributeable (or
Accountable)
Dapat
Dipertanggungjawabkan
Memperhitungkan kemampuan unit
pelaksana dalam mencapai target kinerja
yang ditetapkan.
Berada dalam rentang
kendali/pertanggungjawaban
akuntabilitas unit kerja yang
bersangkutan.
Result-Oriented
(Relevan)
Relevan/terkait langsung dengan
Program/Kegiatan yang diukur.
Uji dengan Jika-Maka : Jika digunakan
Indikator Kinerja tertentu, maka informasi
mengenai tercapai atau tidaknya sasaran
strategis dari suatu Program/Kegiatan
akan dapat diketahui.
Time-bound
(Periode Waktu
Tertentu)
Memeperhitungkan rentang atau periode
waktu pencapaian, untuk analisa
perbandingan kinerja dengan masa-masa
sebelumnya.
(Sumber : Dikutip dari Pedoman Manajemen Kinerja, Inspektorat Utama,
Bappenas, 2006)

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas II15

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009


b. Indikator Kuantitatif Dan Kualitatif
Indikator kinerja dapat berupa indikator yang bersifat kuantitatif
maupun kualitatif. Masing-masing indikator mempunyai maksud
penggunaan yang berbeda, tergantung dari tujuan pengukuran yang
dilakukan. Manajemen sektor publik mempunyai kepentingan tidak hanya
berkaitan dengan dokumentasi suatu progress/kemajuan secara kuantitatif,
tetapi juga secara kualitatif. Indikator kualitatif membantu memberi
informasi telah apa yang telah dicapai dengan baik dan apa yang perlu
diperbaiki. Hal ini akan memberikan informasi yang lebih baik bagi
keputusan strategis dalam perencanaan dan penganggaran sumber-daya
input.
Indikator yang bersifat kuantitaif lazimnya berupa angka. Indikator
yang bersifat kualitatif menyatakan penilaian yang bersifat kualitatif,
misalnya pernyataan perubahan yang terjadi pada proses kelembagaan,
sikap, kepercayaan, motivasi, maupun tingkah laku dari individu. Indikator
kualitatif mengukur persepsi (misalnya tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap pelayanan masyarakat tertentu), atau dapat juga pernyataan
gambaran tingkah laku (misalnya tingkat penguasaan dari suatu kegiatan
pelatihan).
Sebagai contoh, pada pengukuran kinerja pelaksanaan
pangarusutamaan Gender di masyarakat, indikator kuantitaif yang
sensitif gender digunakan untuk mengukur jumlah atau persentase laki-
laki dan perempuan yang berpartisipasi dalam suatu kegiatan indikator
kuantitatif ditabulasi menurut laki-laki/perempuan). Namun demikian,
indikator kualitatif juga dibutuhkan, karena kita ingin mengetahui tidak
saja jumlah perempuan yang berpartisipasi dalam suatu kegiatan (misal
jumlah perempuan di legislatif), tetapi juga kualitas partisipasi dan peran
mereka di dalam kegiatan tersebut.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas II16

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Data kualitatif biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
mengumpulkan, mengukur dan menyaringnya terutama pada tahap awal
pengukuran dilakukan. Selain itu, indikator kualitaif relatif lebih sulit untuk
diverifikasi karena indikator tersebut mengandung unsur pertimbangan
subyektif. Perubahan secara kualitatif, misalnya persepsi peran aktif
wanita dapat terukur apabila tersedia baseline data. Sebagai contoh: 30%
perempuan yang berpartisipasi di lembaga legislative pada akhir periode
pengamatan, merupakan keberhasilan dalam peningkatan persepsi
peran aktif wanita dibandingkan dengan hanya 10% pada awal periode
(baseline).
c. Indikator Proksi
Dalam mengukur pencapaian outcome, seringkali tidak dapat
diperoleh data yang tepat untuk digunakan dalam mengukur suatu
outcome. Hal ini terjadi apabila data dari indikator yang dicari, tidak
tersedia atau membutuhkan biaya yang tinggi apabila data dari indikator
yang dicari, tidak tersedia atau membutuhkan biaya yang tinggi untuk
mendapatkannya. Dalam hal ini, dapat dilakukan pendekatan dengan
menggunakan Indikator Proksi (Proxy). Contoh : (1) karena sulitnya
melakukan survey kemiskinan untuk seluruh rumah tangga untuk seluruh
keluarga miskin, maka dilakukan pendekatan dengan mengamati kualitas
rumah tinggal mereka, (2) penggunaan tingkat pendidikan sebagai
prediksi kualitas pekerja.
2.4.2. PENDEKATAN PENENTUAN INDIKATOR KINERJA
Perumusan pernyataan keluaran dari Kegiatan-Kegiatan pokok yang
mendukung suatu Fokus Prioritas atau Program dapat dilakukan dengan
pendekatan logika berpikir deduktif. Alur berpikir dimulai dari penetapan
hasil/outcomes dari Fokus Prioritas atau Program (apa manfaat/perubahan
yang ingin dicapai, disertai dengan penentuan sasaran (pengukuran) dan
indikator outcomes yang direncanakan. Kemudian, jabarkan langkah-
langkah yang harus dilakukan untuk menghasilkan perubahan dalam

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas II17

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
pencapqaian hasil/oucomes yang diinginkan. Langkah-langkah tersebut
merupakan kondisi logis yang spesifik saat ini dihadapi, identifikasi
strateginya dapat dilakukan dengan menggunakan analisa SWOT
(Kekuatan, Kelemahan, Tantangan, dan Ancaman).
Selanjutnya, jabarkan hasil/outcome dari masing-masing tahap
perubahan tersebut beserta indikatornya. Tentukan output (apa yang harus
diproduksi/dikeluarkan) untuk menghasilkan perubahan dari masing-
masing tahap tersebut, dan tetapkan indikator outputnya. Berdasarkan hal
tersebut, tentukan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan untuk
memproduksi outputs tersebut.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas III1

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL
Pemerintahan pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ini
berarti bahwa pemerintahan diadakan untuk melayani masyarakat serta
menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat
mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan
bersama.
Terjadi pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan, dari
paradigma rule government menjadi good governance. Dalam paradigma
good governance, dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan
pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah atau negara
saja, tetapi harus melibatkan seluruh elemen. Kondisi ini dapat terwujud apabila
pemerintah didekatkan dengan yang dilayani. Pemerintah yang didekatkan
dengan yang dilayani ini berarti desentralisasi dan otonomi daerah.
3.1. Pelayanan Publik
Mengacu pada tujuan UU No 32/2004, Bagian Menimbang huruf a, UU No.
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, tujuan desentralisasi adalah untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat dengan memperhatikan
prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan.
Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani)
keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi
itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin dinamis,
masyarakat menjadi semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan
kewajibannya sebagai warga negara. Mereka menjadi lebih kritis dalam
mengajukan tuntutan dan aspirasinya kepada pemerintah. Oleh karena itum

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas III2

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
birokrasi publik dituntut untuk dapat memberikan layanan publik yang lebih
profesional, efektif, efisien, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu,
responsif dan adapatif.
Pelayanan publik yang profesional adalah pelayanan publik yang dicirikan
oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur
pemerintah). (joko widodo hal 270).
Pelayanan publik yang efektif adalah pelayanan publik yang lebih
mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran.
Sederhana, mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan
diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah
dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan.
Kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung arti adanya kejelasan
dan kepastian mengenai: (a) prosedur/tata cara pelayanan; (b) persyaratan
pelayanan, baik persyaratan teknis maupun persyaratan administratif; (c) unit
kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam
memberikan pelayanan; (d) rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara
pembayarannya, dan (e) jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
Keterbukan, mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan, satuan
kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian,
rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan
wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh
masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.
Efisiensi, mengandung arti : (a) persyaratan pelayanan hanya dibatasi
pada hal-hal berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan
tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan
yang berkaitan; (b) dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan,
dalam hal proses pelayanan masyarakat yang bersangkutan mempersyaratkan

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas III3

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
adanya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang
terkait.
Ketepatan waktu, kriteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan
masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
Responsif, lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa
yang menjadi masalah, kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayani.
Adaptif, adalah cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan,
keinginan, dan aspirasi masyarakat yang dilayani, yang senantiasa mengalami
tumbuh kembang.
Thoha (1998) seperti dikutip oleh Joko Widodo, berpendapat bahwa untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik, organisasi publik (birokrasi publik)
harus mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan layanan
publik.
Pelayanan publik dapat dikataka baik manakala masyarakat dapat dengan
mudah mendapatkan pelayanan dengan prosedur yang tidak panjang, biaya
murah, waktu cepat, dan masyarakat sedikit atau hampir tidak ada keluhan yang
diberikan kepadanya.
3.1.1. Kriteria Pelayanan Publik yang Baik
Untuk dapat menilai sejauh mana mutu layanan publik yang diberikan oleh
aparatur pemerintah, perlu ada kriteria yang menunjukkan apakah suatu
pelayanan publik yang diberikan dapat dikatakan baik atau buruk.
Zethaml (1990) seperti yang dikutip oleh Joko Widodo, mengemukakan
tolok ukur kualitas pelayanan publik dari sepuluh dimensi, yakni:
Tangible, terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan
pelayanan yang dijanjikan dengan tepat

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas III4

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Reliable, terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan
pelayanan yang dijanjikan dengan tepat
Responsiveness, kemauan untuk membantu konsumen bertanggung jawab
terhadap mutu pelayanan yang diberikan
Competence, tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan, dan ketrampilan
yang baik oleh aparatur dalam memberikan layanan
Courtessy, sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap
keinginan konsumen serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi
Credibility, sikap jujur dalam setiap usaha untuk menarik kepercayaan
masyarakat
Security, jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas, dari
berbagai bahaya dan resiko
Access, terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan
Communication, kemauan pemberi layanan untuk mendengarkan suara,
keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu
menyampaikan informasi baru kepada masyarakat
Understanding the customer, melakukan segala usaha untuk mengetahui
kebutuhan pelanggan
LAN (Lembaga Administrasi Negara) membuat beberapa kriteria
pelayanan publik yang baik, yang meliputi:
Kesederhanaan: prosedur /tatacara pelayanan diselenggarakan secara
mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah
dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan
Kejelasan dan kepastian: adanya kejelasan mengenai: (a) prosedur/tata
cara pelayanan; (b) persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis
maupun persyaratan administratif; (c) unit kerja dan atau pejabat yang
berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan; (d)
rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya; dan (e)
jadwal waktu penyelesaian pelayanan
Keamanan: prosedur/tatacara persyaratan, satuan kerja/pejabat
penanggung jawab pemberi layanan, waktu penyelesaian, rincian

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas III5

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
waktu/tarif serta hal-hal yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib
diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami
oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta
Efisiensi mengandung arti: (a) persyaratan pelayanan hanya dibatasi
pada hal-hal berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan
dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan
produk pelayanan yang berkaitan; (b) dicegah adanya pengulangan
pemenuhan persyaratan, dalam hal proses pelayanan masyarakat yang
bersangkutan mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari
satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
Ekonomis : pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar
dengan memperhatikan: (a) nilai barang dan jasa pelayanan
masyarakat dan tidak menuntut biaya yang terlalu tinggi di luar
kewajaran; (b) kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar;
(c) ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Keadilan yang merata: cakupan/jangkauan pelayanan harus diusahakan
seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diberlakukan
secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat
Ketepatan waktu: pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat
diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan
Kriteria kuantitatif yang meliputi: (a) jumlah warga/masyarakat yang
meminta pelayanan, untuk mengetahui apakah ada peningkatan atau
tidak; (b) lamanya waktu pemberian pelayanan masyarakat sesuai
dengan permintaan (dihitung secara rata-rata); (c) penggunaan
perangkat-perangkat modern untuk mempercepat dan mempermudah
pelayanan kepada masyarakat; (d) frekuensi keluhan dan atau pujian
dari masyarakat penerima pelayanan terhadap pelayanan yang
diberikan oleh unit kerja/kantor pelayanan yang bersangkutan.
Hatry dalam Robert (1994:170) seperti yang dikutip oleh Joko Widodo,
menjelaskan setidaknya terdapat tiga macam sumber data utama untuk
mengukur kualitas pelayanan publik, yaitu:

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas III6

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
(1) use of government records. Tersedianya data tentang kualitas
pelayanan oleh birokrasi publik, merupakan suatu opsi penting,
mulai dari prosedur biaya rendah, kerugian, program-program
publik. Paling tidak, beberapa informasi tentang kualitas
pelayanan harus diberikan oleh pemerintah, yakni: service
response time (waktu penyelesaian pelayanan) dan complaint
counts, yakni mentabulasikan keluhan berdasarkan jenisnya,
sehingga diketahui karakteristik dari pelayanan tertentu.
(2) Trained observer rating merupakan sukarelawan yang dilatih oleh
pemerintah untuk menjadi peneliti atau pengawas yang secara
periodik menilai kondisi fisik tertentu dengang menggunakan
rata-rata tertentu.
(3) Survey of customers. Hasil survey pelanggan berupa informasi
tentang rata-rata pelayanan dapat digunakan oleh pemerinrah
sebagai indikator pelayanan publik.

3.2. Desentralisasi
3.2.1. Beberapa Konsep Desentralisasi
Desentralisasi berasal dari Bahasa Latin, yaitu de yang berarti lepas dan
centrum yang artinya pusat. Decentrum berarti melepas dari pusat, dengan
demikian maka desentralisasi tidak putus sama sekali dengan pusat tapi hanya
menjauh dari pusat. Penyerahan sebagian kewenangan politik dan administrasi
pada jenjang organisasi yang lebih rendah disebut desentralisasi. Jadi
desentralisasi adalah penyerahan wewenang politik dan administrasi dari puncak
hirarki organisasi (pemerintah pusat) kepada jenjang di bawahnya (baca :
pemerintah daerah) (Nurcholis, 2005 :7).
Menurut Smith (1985) desentralisasi memiliki ciri-ciri berikut:
1) penyerahan wewenang untuk melaksanakan fungsi pemerintah tertentu dari
pemerintah pusat kepada daerah otonom.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas III7

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
2) fungsi yang diserahkan dapat dirinci, atau merupakan fungsi yang tersisa
(residual function).
3) penerima wewenang adalah daerah otonom.
4) penyerahan wewenang berarti wewenang untuk menetapkan dan
melaksanakan kebijakan; wewenang mengatur dan mengurus(regelling en
bestur) kepentingan yang bersifat lokal.
5) wewenang mengatur adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum
yang berlaku umum dan bersifat abstrak.
6) wewenang mengurus adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum
yang bersifat individual dan konkrit (beschikking, acte administratif,
verwaltungsakt).
Secara umum desentralisasi terbagi menjadi dua : desentralisasi territorial
atau kewilayahan dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial berarti
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada wilayah di dalam negara.
Desentralisasi fungsional berarti pelimpahan wewenang kepada organisasi
fungsional (atau teknis) yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat.
Desentralisasi dengan demikian adalah prinsip pendelegasian wewenang dari
pusat ke bagian-bagiannya, baik bersifat kewilayahan maupun kefungsian.
Prinsip ini mengacu kepada fakta adanya span of control dari setiap organisasi
sehingga organisasi perlu diselenggarakan secara bersama-sama (Nugroho,
2000: 42-44).
Dalam konsep yang lebih luas, desentralisasi dibagi atas desentralisasi
administratif, desentralisasi fiskal dan desentralisasi politik. Rondinelli dan Nellis
dalam Sait Abdullah (2005:64) desentralisasi administratif sebagai transfer
tanggungjawab untuk merencanakan, memanajemen, menaikan dan
mengalokasikan sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agennya, kepada
subordinat atau pemerintah daerah, badan semi otonom, persuhaan, otoritas
regional atau fungstional, NGO atau organisasi-organisasi volunter.
Desentralisasi Fiskal adalah adalah transfer kewenangan di area tanggug jawab
finansial dan pembuatan keputusan termasuk memenuhi keuangan sendiri,
expansi pendapatan lokal, transfer pendapatan pajak dan otorisasi untuk

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas III8

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
meminjam dan memobilisasi sumber-sumber pemerintah daerah melalui jaminan
peminjaman (Litvac dan Seddon, 1998: 3 dalam Sait Abdullah(ibid)).
Sedangkan yang dimaksud dengan desentralisasi politik termasuk transfer
kekuasaan administratif, keuangan dan politik dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah yang mana termasuk penciptaan kekuasaan masyarakat untuk
menentukan bentuk pemerintahan mereka, perwakilan, kebijakan dan pelayanan
((UNDP, 1999: 10) dalam Sait Abdullah (ibid.)). Hal ini dapat mendorong proses
demokrasi melalui pemberian pengaruh kpada rakyat atau perwakilannya dalam
formulasi dan implementasi kebijakan. ((Litvack dan Seddon, 1998: 2) dalam Sait
Abdullah (ibid.)). Sehingga desentralisasi yang banyak dijalankan di negara
kesatuan lebih terbatas pada desentralisasi administratif.
Desentralisasi diartikan pula sebagai suatu sistem dimana bagian-bagian
tugas negara diserahkan penyelenggaraannya kepada organ yang sedikit
banyak mandiri. Organ yang mandiri itu wajib dan berwenang melakukan
tugasnya atas inisiatif dan kebijaksanaannya sendiri. Ciri yang peting bagi organ
yang didesentralisasikan adalah mempunyai sumber-sumber keuangan sendiri
untuk membiayai pelaksanaan tugasnya. (hal.39)
Menurut Undang-undang No 5 Tahun 1974, desentralisasi merupakan salah
satu dari 3 azas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Undang-undang No
5Tahun 1974 pasal 1 (b) menyatakan: desentralisasi adalah penyerahan urusan
pemerintahan dari Pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah
menjadi urusan rumah tangganya.
Menurut Undang-undang No 22 Tahun 1999, desentralisasi diartikan
dengan penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah
Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi menurut Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah
penyerahan wewenang pemerintahan kepada daerah otonomi untuk mengatur
dan mengurus pemerintahan dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas III9

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
3.2.2. Tipe-tipe Desentralisasi
Paling tidak terdapat tiga tipe desentralisasi administratif, yaitu :
dekonsentrasi, devolusi dan delegasi. Dekonsentrasi adalah pelimpahan
kewenangan secara spesifik melalui pembuatan keputusan, keuangan, dan fungsi
manajemen secara administratif kepada tingkatan yang berbeda dibawah
kewenangan yurisdiksi pemerintah pusat (Cohen dan Peterson (1999:24).
Hanif Nurcholis (2005:9) mengutarakan bahwa yang dimaksud dengan
dekonsentrasi adalah penyerahan beban kerja dari kementerian pusat kepada
pejabat-pejabatnya yang berada di wilayah. Penyerahan ini tidak diikuti oleh
kewenangan membuat keputusan dan diskresi untuk melaksanakannya.
Sementara menurut Undang Undang No. 32 Tahun 2004, dekonsentrasi adalah
pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai
wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Sedangkan yang dimaksud tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah
kepada daerah dan/atau desa dari Pemerintah Provinsi kepada kabupaten/kota
dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu.
Devolusi adalah pelepasan fungsi-fungsi tertentu dari pemerintah pusat
untuk membuat satuan pemerintah baru yang tidak dikontrol secara langsung.
Tujuan devolusi adalah untuk memperkuat sarana pemerintahan di bawah
pemerintah pusat dengan cara mendelegasikan fungsi dan kewenangannya. Lima
ciri devolusi:
1) Unit pemerintahan setempat bersifat otonom, mandiri, dan seara tegas
terpisah dari tingkat-tingkat pemerintahan
2) Unit pemerintahan tersebut diakui memiliki batas geografi yang jelas dan
legal , yang mempunyai wewenang untuk melakukan tugas-tugas umum
pemerintahan

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas III10

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
3) Pemerintahan daerah berstatus badan hukum dan memiliki kekuasaan untuk
mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki untuk mendukung
pelaksanaan tugasnya
4) Pemerintahan daerah diakui warganya sebagai suatu lembaga yang akan
memberkan pelayanan kepada masyarakat dan memenuhi kebutuhan mereka
5) Terdapat hubungan saling menguntungkan melalui koordinasi antar
pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta unit-unit organisasi lainnya
dalam suatu sistem pemerintahan.
Devolusi menurut Cohen dan Peterson (1999:25) adalah devolusi timbul
ketika pemerintah pusat memindahkan kewenangan kepada daerah otonom yang
dibentuk berdasarkan legislasi negara. Devolusi juga menunjukkan pemerintah
daerah (otonom).
Selain dalam bentuk dekonsentrasi dan devolusi, desentralisasi juga bisa
dilakukan dengan cara pendelegasian pembuatan keputusan dan kewenangan
administratif kepada organisasi-organisasi yang melakukan fungsi-fungsi
tertentu, yang tidak di bawah pengawasan kementerian pusat. Sebagaimana
diketahui dalam suatu pemerintahan terdapat organisasi-organisasi yang
melakukan fungsi-fungsi tertentu dengan kewenangan yang agak independen.
Organisasi ini adakalanya tidak ditempatkan dalam struktur reguler pemerintah.
Misalnya Badan Usaha Milik Negara seperti Telkom, Bank, jalan tol, dan lain-lain,
Badan Perencana Pembangunan Daerah, badan-badan otoritas dan lain-lain.
Terhadap organisasi semacam ini pada dasarnya diberikan kewenangan semi
independen untuk melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya. Bahkan
kadang-kadang berada di luar ketentuan yang diatur oleh pemerintah, karena
bersifat komersial dan mengutamakan efisiensi daripada prosedur birokratif dan
politis.
Pendelegasian tersebut menyebabkan pemindahan atau penciptaan
kewenangan yang luas pada suatu organisasi yang secara teknis dan administratif
mampu menanganinya. Semua kegiatan tersebut tidak mendapat supervisi
langsung dari pemerintah pusat.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas III11

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Tjokroamidjojo (1987:82 dalam Joko Widodo 2001:40) membedakan
bentuk-bentuk desentralisasi atas empat, yakni: dekonsentrasi, devolusi,
sertatantra, dan bentuk-bentuk kegiatan yang merupakan pembinaan pemerintah
tetapi dilakukan berdasarkan inisiatif dan partisipasi masyarakat setempat.
Dekonsentrasi adalah pelaksanaan kegiatan daerah dilakukan oleh cabang-
cabang unit-unit kegiatan-kegiatan pemerintah pusat. Delegasi kewenangan
tidak diberikan sepenuhnya, dan dalam banyak hal hanya merupakan alat
pelaksanaan tugas-tugas pemerintah pusat yang perlu dilakukan di daerah
tersebut. (hal.40) Devolusi atau desentralisasi dalam arti sebenarnya, seringkali
disebut sebagai pemebrian otonomi. Dalam hal ini terdapat suatu delegasi
kewenangan serta hukum yang berarti penyerahan tugas-tugas pemerintahan
kepada tingkat daerah. Pelimpahan kewenangan ini tidak saja bersifat
administratif, tetapi juga politik. Pengambilan keputusan terakhir di bidang-
bidang tertentu, dalam hal pemberian otonomi atau desentralisasi ini diserahkan
kepada pemerintah daerah. Pengertian pemerintah daerah juga berarti peranan
perwakilan rakyat daerah. (hal-40-41) Sertatantra, adalah tugas-tugas pekerjaan
dalam kewenangan pemerintah pusat yang diserahkan penyelenggaraannya
kepada pemerintah daerah. (hal.41)
3.2.3. Keunggulan-keunggulan Desentralisasi
Rondinelli (1983) sebagaimana dikutip oleh Joko Widodo (2001:43-44)
mengemukakan keunggulan desentralisasi, yakni:
1) Desentralisasi merupakan alat untuk mengurangi kelemahan perencanaan
terpusat. Dengan delegasi kepada aparat di tingkat lokal, problema
sentralisasi dapat lebih mudah dipecahkan
2) Desentralisasi merupakan alat yang bisa mengurangi gejala red tape
3) Dengan desentralisasi, maka kepekaan pengetahuan tentang kebutuhan
masyarakat lokal dapat ditingkatkan
4) Dengan desentralisasi lebih memungkinkan berbagai kelompok kepentingan
dan kelompok politik terwakili dalam proses pengambilan keputusan,

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas III12

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
sehingga mereka mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh
pelayanan pemerintah
5) Desentralisasi memungkinkan pejabat lokal dapat lebih meningkatkan
kapasitas manajerial dan teknisnya
6) Efisiensi pemerintah pusat dapat lebih ditingkatkan, karena pimpinan
organisasi tidak lagi disibukkan dengan urusan rutin yang dapat dikerjakan
oleh pekerja lapangan tingkat lokal
7) Dengan desentralisasi akan tercipta struktur yang memungkinkan koordinasi
dilakukan dengan baik
8) Struktur pemerintahan yang desentralistis sangat diperlukan untuk
melembagakan partisipasi warga negara dalam perencanaan dan
pengelolaan pembangunan
9) Dengan desentralisasi dapat melibatkan elit lokal, sehingga kebijaksanaan
pemerintah yang biasanya tak akrab dan tak menyentuh kepentingan mereka,
menjadi lebih dapat diterima
10) Desentralisasi memungkinkan lahirnya administrasi yang lebih fleksibel,
inovatif, dan kreatif
11) Dengan desentralisasi, pelayanan kepada masyarakat lebih cepat dan lebih
baik
12) Desentralisasi dapat meningkatkan stabilitass politik dan kesatuan nasional,
karena berbagai kelompok diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan
13) Dengan lebih kompleksnya masyarakat dan pemerintahan, pengambilan
keputusan yang sentralistis menjadi tidak efisien, mahal, dan sulit
dilaksanakan
The Liang Gie (1968 ) seperti dikutip oleh Dadang Solihin dalam makalahnya
yang bertajuk Otonomi Daerah dalam Perspektif Teori, Kebijakan, dan Praktek
(2007) menyatakan alasan dianutnya desentralisasi adalah:
1. Dari sudut politik:

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas III13

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
1) Untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang
akhirnya dapat menimbulkan tirani;
2) Untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri
dalam mempergunakan hak-hak demokrasi;
2. Dari sudut teknis organisatoris pemerintahan: Efisiensi
1) Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah
setempat, pengurusannya diserahkan kepada daerah.
2) Hal-hal yang lebih tepat di tangan pusat tetap diurus oleh pemerintah
pusat.
3. Dari sudut kultural:
Supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkan kepada kekhususan
suatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi,
watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya;
4. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi:
Pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu
pembangunan tersebut.
3.2.4. Tujuan Desentralisasi
Sady dalam Tjokroamidjojo, yang dikutip lagi oleh Joko Widodo (199: 45),
mengemukakan tujuan desentralisasi adalah untuk:
1) Mengurangi beban pemerintahan pusat dan campur tangan tentang masalah-
masalah kecil pada tingkat lokal. Demikian pula memberikan peluang untuk
koordinasi pelaksanaan pada tingkat lokal
2) Meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan
usaha pembangunan sosial ekonomi. Demikian pula pada tingkat lokal, dapat
merasakan keuntungan dari kontribusi kegiatan mereka itu

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas III14

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
3) Penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat
lokal sehingga dapat lebih realistis
4) Melatih rakyat untuk bisa mengatur urusannya sendiri (self government)
5) Pembinaan kesatuan nasional
Sumarjan (dalam Joko Widodo 1999: 45-46) mengemukakan bahwa
penggunaan sistem desentralisasi dimaksudkan untuk:
1) Untuk mengurangi beban dan tugas pemerintah pusat. Tugas Pemerintah dari
suatu negara yang sedang dalam taraf pertama mengadakan pembangunan di
segala bidang kegiatan, memerlukan kecapakan dan pengalaman yang
melampaui batas kemampuan Pemerintah Pusat, apabila tidak dibantu oleh
Pemerintah Daerah untuk menanggapi kepentingan dan aspirasi masyarakat
di daerah. Keadaan ini memerlukan desentralisasi yang bersifat teritorial
2) Untuk meratakan tanggung jawab. Sesuai dengan sistem demokrasi, maka
tanggung jawab pemerintahan dapat dipukul rata oleh seluruh masyarakat
yang diikutsertakan melalui desentralisasi fungsional dan teritorial, hal mana
dapat memperbesar stabilitas pemerintahan pada umumnya
3) Untuk memobilisasi potensi masyarakat banyak untuk kepentingan umum.
Melalui desentralisasi diberikan kesempatan kekuatan-kekuatan di dalam
masyarakat untuk ikut serta mengembangkan diri buat kepentingan umum di
dalam daerah mereka masing-masing dan juga buat kepentingan nasional.
Dengan demikian dapat pula ditimbulkan persaingan yang sehat untuk
membangun tiap-tiap daerah dengan kekuatan masyarakat di daerah-daerah
itu sendiri.
4) Untuk mempertinggi efektivitas dan efisiensi dalam pengurusan kepentingan
daerah. Sudah barang tentu masyarakat daerahlah yang lebih mengetahui
kepentingan dan aspirasi mereka, dan mengurusi kepentingannya secara
efektif dan efisien. Di dalam hal ini pemerintah pusat cukup memberi
dorongan, bimbingan dan bantuan dimana diperlukan.


LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas III15

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
3.3. Otonomi Daerah
Dalam wacana masyarakat awam, penggunaan istilah desentralisasi
dengan otonomi daerah sering dipertukarkan. Sesungguhnya kedua konsep
tersebut tidak persis sama. Kebijakan otonomi hadir karena adanya kebijakan
desentralisasi. Otonomi merupakan konsekuensi logis dari dari kebijakan
desentralisasi. Dengan kata lain, konsekuensi logis dari kebijakan desentralisasi
adalah dibentuknya daerah otonom.
Otonomi diartikan kebebasan masyarakat yang tinggal di daerah yang
bersangkutan untuk mengatur dan mengurus kepentingannya yang bersifat lokal,
bukan yang bersifat nasional. Perbedaan daerah otonom dengan otonomi daerah
adalah daerah menunjuk pada daerah/tempat (geografi) sedangkan otonomi
daerah menunjuk pada isi otonomi/kebebasan masyarakat. Charles Einsenmann
menjelaskan bahwa otonomi adalah kebebasan untuk membuat keputusan
sendiri dengan tetap menghormati perundang-undangan (Hoessein, 1993:75
dalam Hanif Nurcholis (2005:23).
Jadi otonomi adalah hak yang diberikan kepada penduduk yang tinggal
dalam suatu wilayah tertentu untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan
mengembangkan urusannya sendiri dengan tetap menghormati perundangan
yang berlaku. dengan demikian, otonomi daerah adalah hak penduduk yang
tinggal dalam suatu daerah untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan
mengembangkan urusannya sendiri dengan tetap menghormati peraturan
perundangan yang berlaku. Otonomi dilaksanakan dalam sebuah negara dengan
menghormati peraturan yang berlaku yang menjamin hak-hak dasar dan
kebebasan nasional. Dan hal ini sebaiknya dilihat sebagai bagian dari tatanan
negara (sub-state arrangement) yang membiarkan kelompok minoritas untuk
melakukan hak mereka dan menunjukkan identitas kultural dengan menjamin
kesatuan, menjunjung kewibawaan dan integritas wilayah.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas III16

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Indonesia menganut otonomi daerah dikarenakan konstitusi negara kita
mengamanatkan hal tersebut. Amanat tersebut dapat dilihat dari pasal-pasal
dalam UUD 1945 berikut:
Pasal 18 UUD 1945
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang
tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah, yang diatur dengan undang-undang.
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan.
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum.
Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala
Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara
demokratis
Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah Pusat.
Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.
Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur
dalam undang-undang.
Pasal 18A UUD 1945
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas III17

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
kota, diatur dengan Undang-undang dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah.
Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras
berdasarkan undang-undang.
Pasal 18B UUD 1945
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
Undang-undang.
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
3.3.1. Manfaat Otonomi Daerah
Menurut Shabbir Cheema dan Rondinelli (1983) dan kemudian dikutip oleh
Dadang Solihin (www.dadangsolihin.com), otonomi daerah memiliki beberapa
manfaat, yakni:
1) Perencanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat
di daerah yang bersifat heterogen.
2) Memotong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang sangat
terstruktur dari pemerintah pusat.
3) Perumusan kebijaksanaan dari pemerintah akan lebih realistik.
4) Desentralisasi akan mengakibatkan terjadinya "penetrasi"
yang lebih baik dari Pemerintah Pusat bagi Daerah-Daerah yang
terpencil atau sangat jauh dari pusat, di mana seringkali rencana
pemerintah tidak dipahami oleh masyarakat setempat atau dihambat
oleh elite lokal, dan di mana dukungan terhadap program pemerintah
sangat terbatas.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas III18

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
5) Representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik, etnis,
keagamaan di dalam perencanaan pembangunan yang kemudian dapat
memperluas kesamaan dalam mengalokasikan sumber daya dan
investasi pemerintah.
6) Peluang bagi pemerintahan serta lembaga privat dan masyarakat di
Daerah untuk meningkatkan kapasitas teknis dan managerial.
7) Dapat meningkatkan efisiensi pemerintahan di Pusat dengan tidak lagi
pejabat puncak di Pusat menjalankan tugas rutin karena hal itu dapat
diserahkan kepada pejabat Daerah.
8) Dapat menyediakan struktur di mana berbagai departemen di pusat
dapat dikoordinasi secara efektif bersama dengan pejabat Daerah dan
sejumlah NGOs di berbagai Daerah. Propinsi, Kabupaten, dan Kota
dapat menyediakan basis wilayah koordinasi bagi program
pemerintah.
9) Struktur pemerintahan yang didesentralisasikan diperlukan guna
melembagakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan
implementasi program.
10) Dapat meningkatkan pengawasan atas berbagai aktivitas yang
dilakukan oleh elite lokal, yang seringkali tidak simpatik dengan
program pembangunan nasional dan tidak sensitif terhadap kebutuhan
kalangan miskin di pedesaan.
11) Administrasi pemerintahan menjadi mudah disesuaikan, inovatif, dan
kreatif. Kalau mereka berhasil maka dapat dicontoh oleh Daerah yang
lainnya.
12) Memungkinkan pemimpin di Daerah menetapkan pelayanan dan
fasilitas secara efektif, mengintegrasikan daerah-daerah yang
terisolasi, memonitor dan melakukan evaluasi implementasi proyek
pembangunan dengan lebih baik dari pada yang dilakukan oleh
pejabat di Pusat.
13) Memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional dengan
memberikan peluang kepada berbagai kelompok masyarakat di
Daerah untuk berpartisipasi secara langsung dalam pembuatan

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas III19

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
kebijaksanaan, sehingga dengan demikian akan meningkatkan
kepentingan mereka di dalam memelihara sistem politik.
14) Meningkatkan penyediaan barang dan jasa di tingkat lokal dengan
biaya yang lebih rendah, karena hal itu tidak lagi menjadi beban
pemerintah Pusat karena sudah diserahkan kepada Daerah.
3.3.2. Tujuan Otonomi Daerah
Menurut UU 32/2004 bagian Penjelasan Umum, tujuan otonomi daerah
adalah:
1) M empercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui: (i)
peningkatan pelayanan; (ii) pemberdayaan dan peran serta
masyarakat.
2) Meningkatkan daya saing daerah dengan memperhatikan: (i)
prinsip demokrasi; (ii) pemerataan; (iii) keadilan; (iv) keistimewaan
dan kekhususan serta; (v) potensi dan keanekaragaman daerah
dalam sistem NKRI .
3.3.3. Sasaran Otonomi Daerah
RPJMN 2004-2009 menetapkan sasaran otonomi daerah adalah:
1) Tercapainya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-
undangan pusat dan daerah, termasuk yang mengatur tentang
otonomi khusus Provinsi Papua dan Provinsi NAD.
2) Meningkatnya kerjasama antar pemerintah daerah;
3) Terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif,
efisien, dan akuntabel;
4) Meningkatnya kapasitas pengelolaan sumberdaya aparatur
pemerintah daerah yang profesional dan kompeten;
5) Terkelolanya sumber dana dan pembiayaan pembangunan secara
transparan, akuntabel, dan profesional; dan
6) Tertatanya daerah otonom baru.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas III20

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
3.3.4. Pemberdayaan Penyelenggaraan Otonom Daerah
Untuk mewujudkan desentralisasi dan otonomi daerah yang ideal, Joko
Widodo memberikan gagasan tentang pemberdayaan penyelenggaran otonomi
daerah.
Gagasan tentang pemberdayaan penyelenggaraan otonomi berangkat
dari pemikiran ide bahwa makna mendasar otonomi daerah bukannya pada
auto money, melainkan lebih menitikberatkan pada delegation of authority
and reponsibility pada unit-unit organisasi yang lebih rendah tingkatannya
dalam pembuatan dan pengambilan keputusan. Pemberdayaan daerah dalam
melaksanakan otonomi hanya bisa diwujudkan jika faktor-faktor seperti personil,
peralatan, dan pembiayaan tersedia cukup memadai. Karenanya penyerahan
urusan yang diikuti dengan personil, peralatan, dan sumber pembiayaan akan
berimplikasi terhadap pemberdayaan otonomi dan akibat lebih lanjut akan
dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik. (hal. 69)
Dengan bertumpu pada makna otonomi luas, nyata, dan
bertanggungjawab, dapat ditemukan beberapa faktor yang sangat signifikan
dapat mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah, yakni kemampuan
melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab yang telah diberikan dalam
rangka melaksanakan otonomi daerah. Menurut Rudini (1997) yang dikutip oleh
Joko Widodo (hal 69-70), kemampuan tersebut mensyaratkan adanya
peningkatan kualitas sumber daya manusia, kemampuan manajemen
kelembagaan yang makin tinggi, dan ketersediaan dana untuk membiayai
manajemen tersebut. Jika lebih dioperasionalkan, persyaratan tersebut menjadi:
Kemampuan SDM yang antara lain meliputi tidak saja kemampuan dalam
merencanakan, melaksanakan, memonitor, tapi juga kemampuan untuk
mengevaluasi kegiatan pemerintahan dan pembangunan termasuk
pemberian layanan publik yang profesional di daerahnya sendiri.
Kemampuan kelembagaan pemerintah daerah yang dimaksud adalah
kemampuan untuk mengelola lembaga yang ada.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas III21

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Kemampuan keuangan daerah yang dimaksud disini adalah kemampuan
untuk menggali potensi sumber pendapatan asli daerah sendiri sesuai dengan
kewenangan yang diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku.
Untuk itu, pemberdayaan penyelenggaraan otonomi daerah mencakup
ketiga hal tersebut, yakni:
Pemberdayaan personil pemerintah daerah
Perangkat pemerintah daerah dapat dikatakan berkualitas manakala mereka
mempunyai kemampuan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung
jawab yang diberikan kepadanya. Kemampuan pada dasarnya merupakan
ilmu pengetahuan, pengalaman, dan ketrampilan. Namun demikian, bekal
kemampuan saja tidak cukup untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab
secara efektif, akan tetapi perlu ada kemauan. Kemauan berkaitan dengan
motivasi, komitmen, dan keyakinan diri.
Untuk dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia pemerintah daerah,
yang perlu mendapatkan perhatian adalah memberikan kemampuan dan
kemauan.
Pemberian kemampuan dapat dilakukan melalui beberapa cara:
i) Melalui pendidikan
ii) Melalui pelatihan
iii) Melalui pengalaman
Penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan
lembaga legislatif daerah (DPRD). Karenanya, untuk dapat mewujudkan clean
and good local governance bukan hanya pemerintah daerah (kepala daerah
beserta perangkatnya) saja yang perlu diberdayakan, akan tetapi lembaga
legislatif (DPRD) juga perlu diberdayakan. Pemberdayaan anggota DPRD
dapat dilakukan selain melalui peningkatan kualitas (melaui pendidikan,
pelatihan, dan pengalaman), dapat dilakukan dengan cara : mengubah pola
rekrutmen anggota DPRD, dan revitalisasi anggota DPRD.
Mengubah pola rekrutmen

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas III22

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Rekrutmen anggota DPRD selama ini dilakukan menggunakan spoil system
(Joko Widodo: 307), yakni pola rekrutmen yang lebih didasarkan pada
pertimbangan populis, hubungan kekerabatan, nepotisme, dan kolusi. Agar
anggota DPRD dapat menjalankan tugas, fungsi, dan tanggung jawab
(akuntabel, bertanggung jawab, dan responsif), pola rekrutmen tersebut
perlu diganti dengan pola merit system.
Revitalisasi anggota DPRD
Seiring dengan perkembangan masyarakat yang sangat dinamis, anggota
DPRD harus mengubah posisi dan peran (revitalisasi) mereka dalam
memberikan layanan publik (Joko Widodo: 310). Anggota DPRD yang tadinya
suka mengatur dan memerintah, harus berubah menjadi suka melayani. Dari
yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka
menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis dan dialogis. Dan dari
cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis.
Pemberdayaan sumber daya keuangan dan peralatan
Hakekat dari pemberdayaan ini adalah bagaimana daerah tidak saja mampu
menggali potensi keuangan di daerahnya, tetapi juga mampu menggunakan
uang secara tepat guna efisien, dan tidak boros, serta tidak diselewengkan
untuk tujuan diri sendiri atau tujuan yang menyimpang dari yang seharusnya,
dan dapat mempertanggungjawabkan pengunaannya akuntabel (dengan
perhitungan yang cermat dan tepat), dan responsible, artinya pengunaan
keuangan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan norma-norma
akuntansi.
Hal yang sama perlu dilakukan terhadap peralatan. Pemerintah daerah harus
mumpuni dalam manajemen perlengkapan, mulai dari perencanaan hingga
pengendalian.
Pemberdayaan kelembagaan (organisasi) pemerintah daerah
Upaya pengembangan organisasi yang diarahkan pada organisasi yang
efektif, efisien, dan sehat. Organisasi yang efektif dapat dilihat dari tingkat
dicapainya tujuan organisasi. Efisiensi menunjukkan sumber yang

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas III23

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
dibutuhkan organisasi untuk mencapai hasilnya. Organisasi yang sehat
adalah suatu organisasi yang mengendalikan pekerjaannya ke arah tujuan
tertentu

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV1

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
BAB IV
PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH
SERTA PERMASALAHANNYA DALAM KURUN WAKTU 2004-2009

Melihat perkembangan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di
Indonesia, tidak dapat terlepas dari apa yang telah digariskan dalam rencana
pembangunan jangka menengah tahap pertama (2004-2009) yang di dalamnya
digariskan tentang sasaran desentralisasi dan otonomi daerah dalam kurun waktu
5 tahun dan upaya-upaya pencapaiannya yang diwujudkan dalam bentuk
strategi, program, dan kegiatan jangka menengah.

4.1. Arah Kebijakan Dalam Rangka Revitalisasi Proses Desentralisasi Dan
Otonomi Daerah dalam RPJMN 2004-2009 dan RKP 2004-2009
Sasaran yang hendak dicapai dalam revitalisasi proses desentralisasi dan
otonomi daerah dalam lima tahun pada 2004-2009 adalah:
1) Tercapainya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan
pusat dan daerah, termasuk yang mengatur tentang otonomi khusus Provinsi
Papua dan Provinsi NAD.
2) Meningkatnya kerjasama antar pemerintah daerah;
3) Terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif, efisien, dan
akuntabel;
4) Meningkatnya kapasitas pengelolaan sumberdaya aparatur pemerintah
daerah yang profesional dan kompeten;
5) Terkelolanya sumber dana dan pembiayaan pembangunan secara transparan,
akuntabel, dan profesional; dan
6) Tertatanya daerah otonom baru.
Untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut, maka arah kebijakan dalam
rangka revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah ditetapkan :
1) Memperjelas pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan baik
kewenangan mengenai tugas dan tanggung jawab maupun mengenai
penggalian sumber dana dan pembiayaan pembangunan yang didukung oleh

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV2

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
semangat desentralisasi dan otonomi daerah dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
2) Mendorong kerjasama antar pemerintah daerah termasuk peran pemerintah
provinsi dalam rangka peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan
masyarakat;
3) Menata kelembagaan pemerintah daerah agar lebih proporsional
berdasarkan kebutuhan nyata daerah, ramping, hierarki yang pendek,
bersifat jejaring, bersifat fleksibel dan adaptif, diisi banyak jabatan
fungsional, dan terdesentralisasi kewenangannya, sehingga mampu
memberikan pelayanan masyarakat dengan lebih baik dan efisien, serta
berhubungan kerja antar tingkat pemerintah, dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, masyarakat, dan lembaga non pemerintah secara optimal
sesuai dengan peran dan fungsinya;
4) Menyiapkan ketersediaan aparatur pemerintah daerah yang berkualitas
secara proporsional di seluruh daerah dan wilayah, menata keseimbangan
antara jumlah aparatur pemerintah daerah dengan beban kerja di setiap
lembaga/satuan kerja perangkat daerah, serta meningkatkan kualitas
aparatur pemerintah daerah melalui pengelolaan sumberdaya manusia
pemerintah daerah berdasarkan standar kompetensi;
5) Meningkatkan kapasitas keuangan pemerintah daerah, termasuk pengelolaan
keuangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas,
dan profesionalisme, sehingga tersedia sumber dana dan pembiayaan yang
memadai bagi kegiatan pelayanan masyarakat dan pelaksanaan
pembangunan di daerah; serta
6) Menata daerah otonom baru, termasuk mengkaji pelaksanaan kebijakan
pembentukan daerah otonom baru di waktu mendatang, sehingga tercapai
upaya peningkatan pelayanan publik dan percepatan pembangunan daerah.
Arah kebijakan pemerintah tersebut dioperasionalkan dalam bentuk
program-program:
1) Program Penataan Peraturan Perundang-undangan
Program ini ditujukan untuk Program ini ditujukan untuk: (1) meningkatkan
sinkronisasi dan harmonisasi berbagai peraturan perundangan-undangan

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV3

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
yang menyangkut hubungan pusat dan daerah, serta pelaksanaan otonomi
daerah termasuk peraturan perundang-undangan daerah; (2) menyusun
berbagai peraturan pelaksana dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah; (3) memperkuat visi
desentralisasi dan otonomi daerah para pelaku pembangunan agar tercapai
persepsi yang sama terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan,
pelayananan publik, dan pembangunan di daerah; dan (4) mendorong
pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilaksanakan adalah :
a) Sosialisasi dan implementasi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Undang-undang Nomor
25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-
undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 18 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi DI Aceh sebagai Provinsi NAD,
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Papua, termasuk penyusunan, sosialisasi, dan implementasi
peraturan pelaksananya, khususnya terkait dengan penyelenggaraan
pemerintahan dan sistem perencanaan pembangunan di daerah.
b) Penyesuaian berbagai peraturan perundangan-undangan yang
menyangkut hubungan pusat dan daerah termasuk peraturan perundang-
undangan sektoral dan yang terkait dengan otonomi khusus NAD dan
Papua, sehingga menjadi harmonis.
c) Penyesuaian peraturan perundang-undangan daerah sehingga menjadi
sinkron dengan peraturan perundang-undangan yang diatasnya; serta
d) Peningkatan supervisi beserta evaluasi pelaksanaan kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV4

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
2) Program Peningkatan Kerjasama Antar Pemerintah Daerah
Program ini ditujukan untuk meningkatkan pelaksanaan kerjasama antar
pemerintah daerah termasuk peningkatan peran pemerintah provinsi.
Kegiatan pokok yang dilakukan dalam rangka meningkatkan kerjasama antar
daerah meliputi:
a) Penyusunan dan penetapan peraturan perundang-undangan tentang
kerjasama antar daerah termasuk peran pemerintah provinsi;
b) Identifikasi, perencanaan, fasilitasi, dan pelaksanaan kegiatan fungsi
strategis yang perlu dikerjasamakan;
c) Peningkatan peran Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk
memfasilitasi dan menyelesaikan perselisihan antar daerah di wilayahnya;
serta
d) Pengoptimalan dan peningkatan efektivitas sistem informasi pemerintahan
daerah untuk memperkuat kerjasama antar pemerintah daerah dan
dengan Pemerintah Pusat.

3) Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah
Program ini ditujukan untuk menyusun kelembagaan pemerintah daerah yang
disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan potensi daerah yang perlu
dikelola.
Kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam rangka peningkatan kapasitas
kelembagaan pemerintah daerah meliputi:
a) Penataan kelembagaan pemerintahan daerah agar sesuai dengan beban
pelayanan kepada masyarakat;
b) Peningkatan kinerja kelembagaan daerah berdasarkan prinsip-prinsip
organisasi moderen dan berorientasi pelayanan masyarakat;
c) Penyusunan pedoman hubungan pemerintah daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah agar tercipta kontrol dan keseimbangan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah;
d) Penguatan pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
sesuai Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas
dalam rangka Mendukung Desentralisasi;

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV5

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
e) Pengkajian dan fasilitasi pelaksanaan standar pelayanan minimum,
pengelolaan kewenangan daerah, dan sistem informasi pelayanan
masyarakat; serta
f) Peningkatan peran lembaga non-pemerintah dan masyarakat dalam setiap
pengambilan keputusan pada tingkat provinsi, dan kabupaten/kota
melalui penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik (good
governance).

4) Program Peningkatan Profesionalisme Aparat Pemerintah Daerah
Program ini ditujukan untuk memfasilitasi penyediaan aparat pemerintah
daerah, menyusun rencana pengelolaan serta meningkatkan kapasitas aparat
pemerintah daerah dalam rangka peningkatan pelayanan masyarakat,
penyelenggaraan pemerintahan, serta penciptaan aparatur pemerintah
daerah yang kompeten dan profesional.
Kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam rangka peningkatan
profesionalisme aparat pemerintah daerah meliputi:
a) Penyusunan peraturan perundang-undangan daerah, pedoman dan
standar kompetensi aparatur pemerintah daerah;
b) Penyusunan rencana pengelolaan aparatur pemerintah daerah termasuk
sistem rekruitmen yang terbuka, mutasi dan pengembangan pola karir;
c) Fasilitasi penyediaan aparat pemerintah daerah, mutasi dan kerjasama
aparatur pemerintah daerah;
d) Peningkatan etika kepemimpinan daerah; serta
e) Fasilitasi pengembangan kapasitas aparatur pemerintah daerah dengan
prioritas peningkatan kemampuan dalam pelayanan publik seperti
kebutuhan dasar masyarakat, keamanan dan kemampuan di dalam
menghadapi bencana, kemampuan penyiapan rencana strategis
pengembangan ekonomi (lokal), kemampuan pengelolaan keuangan
daerah, dan penyiapan strategi investasi.

5) Program Peningkatan Kapasitas Keuangan Daerah
Program ini ditujukan untuk meningkatkan dan mengembangkan kapasitas
keuangan pemerintah daerah dalam rangka peningkatan pelayanan

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV6

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
masyarakat, penyelenggaraan otonomi daerah, dan penciptaan pemerintahan
daerah yang baik.
Kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam rangka peningkatan kapasitas
keuangan pemerintah daerah meliputi:
a) Peningkatan efektivitas dan optimalisasi sumber-sumber penerimaan
daerah yang berkeadilan termasuk menciptakan kondisi yang kondusif
bagi kegiatan dunia usaha dan investasi;
b) Peningkatan efisiensi, efektivitas dan prioritas alokasi belanja daerah
secara proporsional; serta
c) Pengembangan transparansi dan akuntabilitas, serta profesionalisme
pengelolaan keuangan daerah.

6) Program Penataan Daerah Otonom Baru
Program ini ditujukan untuk menata dan melaksanakan kebijakan
pembentukan daerah otonom baru sehingga pembentukan daerah otonom
baru tidak memberikan beban bagi keuangan negara dalam kerangka upaya
meningkatkan pelayanan masyarakat dan percepatan pembangunan wilayah.
Kegiatan pokok yang dilakukan antara lain adalah:
a) Pelaksanaan evaluasi perkembangan daerah-daerah otonom baru dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat;
b) Pelaksanaan kebijakan pembentukan daerah otonom baru dan atau
penggabungan daerah otonom, termasuk perumusan kebijakan dan
pelaksanaan upaya alternatif bagi peningkatan pelayanan masyarakat dan
percepatan pembangunan wilayah selain melalui pembentukan daerah
otonom baru;
c) Penyelesaian status kepemilikan dan pemanfaatan aset daerah secara
optimal; serta
d) Penataan penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom baru.
Sejak tahun 2004 hingga tahun 2009, program-program dalam rangka
perwujudan desentralisasi dan otonomi daerah antara lain:

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV7

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Program dan Kegiatan Tahun 2005 (RKP 2005)
Program Pengembangan Otonomi Daerah
bertujuan meningkatkan kapasitas pemerintah daerah, memantapkan
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, serta pemantapan
penyelenggaraan pemerintahan dalam negeri
Sasaran dari program pengembangan otonomi daerah adalah:
1. meningkatnya kapasitas kelembagaan pemerintah daerah;
2. meningkatnya kinerja aparat pemda dan etika kepemimpinan daerah;
3. meningkatnya kemampuan pengelolaan keuangan daerah;
4. meningkatnya peran serta masyarakat dan lembaga-lembaga non pemerintah
dalam proses pembangunan; serta
5. terwujudnya keserasian pelaksanaan otonomi daerah.
Sedangkan Pokok-Pokok Kegiatan yang diamanatkan dalam Rencana Kerja
Pemerintah Tahun 2005 yakni :
1. Fasilitasi pemantapan struktur kelembagaan, fungsi, dan manajemen
pemerintah daerah untuk mendukung pelaksanaan SPM serta menata
hubungan kerja lembaga di lingkungan pemerintah daerah secara
horizontal, dan vertikal, serta antara pemerintah dan masyarakat, dan
memfasilitasi peningkatan kapasitas lembaga non pemerintah, dengan
menerapkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik dalam rangka
mendukung kepentingan kebijakan nasional dalam kerangka NKRI;
2. Penyusunan rencana pengelolaan dan memfasilitasi peningkatan kapasitas
SDM daerah berbasis kompetensi untuk melaksanakan dan mendukung
pelayanan prima serta memfasilitasi pengembangan etika kepemimpinan
daerah;
3. Fasilitasi pengoptimalan pendapatan daerah melalui ekstensifikasi pajak
dan retribusi daerah serta peningkatan upaya penggalian alternatif
sumber-sumber pembiayaan serta mendorong pengembangan kemitraan
antar pemerintah, dengan dunia usaha, dan masyarakat bagi upaya
penguatan keuangan daerah;

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV8

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
4. Perkuatan institusi daerah dalam mengelola dana perimbangan,
dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, dan menata sistem dan akuntansi
keuangan daerah, serta mendorong dilaksanakannya koordinasi
perumusan prioritas anggaran bagi pemenuhan kebutuhan dan pelayanan
dasar terutama bagi masyarakat miskin;
5. Pemantapan proses pelimpahan kewenangan pemerintah pusat ke
daerah.
6. Penanganan pelaksanaan otonomi khusus di Papua dan Nanggroe Aceh
Darussalam;
7. Penataan pembentukan daerah otonom baru;
8. Pelaksanaan kajian kebijakan dan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi
daerah bagi bahan penyusunan kebijakan.
Program dan Kegiatan Tahun 2006 (RKP 2006)
1) Program Penataan Peraturan Perundang-undangan mengenai
Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Sasaran yang ingin dicapai dari
program ini adalah tercapainya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan
perundang-undangan pusat dan daerah. Kegiatan-kegiatan pokok dalam
program ini adalah :
a. Penyusunan peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah;
b. Sosialisasi peraturan perundangan-undangan yang terkait dengan
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah termasuk sistem
perencanaan pembangunan;
c. Penyesuaian berbagai peraturan perundangan-undangan yang
menyangkut hubungan pusat dan daerah termasuk peraturan perundang-
undangan sektoral sehingga menjadi harmonis dan sinkron;
d. Penyesuaian peraturan perundang-undangan daerah sehingga menjadi
sinkron dengan peraturan perundang-undangan yang diatasnya;

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV9

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
e. Peningkatan pengawasan peraturan daerah, melalui pembatalan dan revisi
peraturan perundang-undangan daerah, yang bertentangan atau
menghambat bagi kegiatan investasi;
f. Pelaksanaan monitoring, pengawasan, dan evaluasi pelaksanaan kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah termasuk pelaksanaan otonomi khusus
di Provinsi Papua dan NAD; dan
g. Penguatan visi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
2) Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah.
Sasaran yang ingin dicapai dalam program ini adalah terbentuknya
kelembagaan pemerintah daerah yang efektif, efisien, dan akuntabel.
Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah :
a. Penataan kelembagaan pemerintahan daerah agar sesuai dengan beban
pelayanan kepada masyarakat
b. Peningkatan kinerja perangkat organisasi daerah agar dapat melayani
masyarakat dengan tepat, mudah, cepat, dan murah terutama pelayanan
bagi masyarakat miskin;
c. Fasilitasi peningkatan kapasitas kelembagaan dalam pengurusan perijinan
investasi;
d. Fasilitasi peningkatan koordinasi antar lembaga daerah untuk kemudahan
investasi;
e. Penyusunan kinerja kelembagaan daerah berdasarkan prinsip-prinsip
organisasi modern dan berorientasi pelayanan masyarakat;
f. Pengkajian dan fasilitasi pelaksanaan standar pelayanan minimum;
g. Fasilitasi pengelolaan kewenangan daerah
h. Peningkatan peran lembaga non-pemerintah dan masyarakat dalam setiap
pengambilan keputusan pada tingkat provinsi, dan kabupaten/kota
melalui penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik (good
governance);
i. Fasilitasi perencanaan partisipatif yang melibatkan masyarakat dan
organisasi nonpemerintah;
j. Fasilitasi penyusunan perda transparansi, partisipatif, dan akuntabilitas;

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV10

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
k. Kegiatan antisipatif untuk kelancaran, ketertiban, dan untuk menghindari
konflik komunal sebelum dan sesudah pemilihan kepala daerah secara
langsung (pilkada langsung) berupa:
i. Analisa situasi politik lokal menjelang proses pilkada langsung;
ii. Sosialisasi kepada tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh daerah
tentang proses pilkada langsung;
iii. Sosialisasi kepada para aparat pemerintah daerah tentang proses
pilkada langsung; dan
iv. Kegiatan untuk memfasilitasi dan memediasi persoalan yang muncul
sebelum dan sesudah pilkada langsung untuk menghindari persoalan
meluas dan memicu konflik komunal
l. Fasilitasi dukungan penguatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah
3) Program Peningkatan Profesionalisme Aparatur Pemerintah Daerah.
Sasaran yang ingin dicapai dalam program ini adalah meningkatnya kapasitas
pengelolaan sumber daya aparatur pemerintah daerah yang profesional dan
kompeten. Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah :
a. Penyusunan peraturan perundang-undangan daerah, pedoman dan
standar kompetensi aparatur pemerintah daerah;
b. Penyusunan rencana pengelolaan aparatur pemerintah daerah termasuk
sistem rekruitmen yang terbuka, mutasi dan pengembangan pola karir;
c. Fasilitasi penyediaan aparat pemerintah daerah, mutasi dan kerjasama
aparatur pemerintah daerah;
d. Pemulihan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah pasca
bencana gempa dan tsunami;
e. Fasilitasi penyusunan model dan pedoman bagi peningkatan etika
kepemimpinan daerah;
f. Fasilitasi pengembangan kapasitas aparatur pemerintah daerah dengan
prioritas peningkatan kemampuan dalam pelayanan publik seperti
kebutuhan dasar masyarakat, keamanan dan kemampuan penyiapan
rencana strategis pengembangan ekonomi (lokal), kemampuan
pengelolaan keuangan daerah, dan penyiapan strategi investasi, serta
kemampuan dalam menghadapi bencana.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV11

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
4) Program Kerjasama Antar Pemerintah Daerah. Sasaran yang ingin dicapai
dalam program ini adalah meningkatnya kerjasama antar pemerintah daerah.
Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah :
a. Penyusunan dan penetapan peraturan perundang-undangan tentang
kerjasama antar daerah termasuk peran pemerintah provinsi;
b. Identifikasi, perencanaan, fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan untuk
meningkatkan kerjasama antar pemerintah daerah dalam penciptaan
lapangan kerja, investasi, dan peningkatan ekspor;
c. Pengoptimalan dan peningkatan efektivitas sistem informasi pemerintahan
daerah untuk memperkuat kerjasama antar pemerintah daerah dan
dengan Pemerintah Pusat.
5) Program Penataan Daerah Otonom Baru. Sasaran yang ingin dicapai dalam
program ini adalah tertatanya daerah otonom baru. Kegiatan-kegiatan pokok
dalam program ini adalah :
a. Perumusan kebijakan dan pelaksanaan upaya alternatif bagi peningkatan
pelayanan masyarakat dan percepatan pembangunan wilayah selain
melalui pembentukan daerah otonom baru;
b. Pelaksanaan evaluasi perkembangan daerah-daerah otonom baru dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat;
c. Dukungan penyelesaian status kepemilikan aset daerah;
d. Fasilitasi pemanfaatan aset daerah secara optimal; dan
e. Kajian dan penataan serta pemantapan penyelenggaraan pemerintahan
daerah otonom baru.
Program dan Kegiatan Tahun 2007 (RKP 2007)
1. Program Penataan Peraturan Perundang-undangan mengenai
Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Kegiatan-kegiatan pokok dalam
program ini adalah : (1) Penyusunan kebijakan dalam rangka implementasi
grand strategy penataan otonomi daerah; (2) Fasilitasi pemantapan
pelaksanaan urusan sesuai PP Pembagian Urusan; (3) Fasilitasi pemantapan
pelaksanaan kebijakan otonomi daerah yang berkarakter khusus; (4) Fasilitasi
penyesuaian peraturan perundangan sektor dengan PP Pembagian Urusan

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV12

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Pemerintahan; (5) Supervisi dan evaluasi perda yang bermasalah; (6)
Sosialisasi Peraturan Perundangan Bidang Otonomi daerah; (7) Pengawasan
dan Pembatalan Perda yang bermasalah.
2. Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah.
Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah : (1) Fasilitasi penyusunan
kelembagaan pemerintahan daerah; (2) Penataan kelembagaan di daerah
otsus dan istimewa (MRP, hubungan antara lembaga daerah); (3) Evaluasi
kebijakan Pilkada; (4) Fasilitasi penerapan SPM; (5) Fasilitasi penyusunan
rekomendasi DPOD; (6) Peningkatan kinerja perangkat organisasi daerah; (7)
Penyusunan kinerja kelembagaan daerah berdasarkan prinsip-prinsip
organisasi modern dan berorientasi pelayanan masyarakat; (8) Penyusunan
rencana perbaikan sistem dan prosedur kerja lembaga pemerintah; (9)
Peningkatan peran lembaga non-pemerintah dan masyarakat melalui
penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance); (10)
Pemantapan kelembagaan pemerintah daerah sesuai dengan perubahan
jumlah penduduk dan pembangunan daerah; (11) Penataan kelembagaan
pemerintahan daerah agar sesuai dengan beban pelayanan kepada
masyarakat; (12) Fasilitasi pemantapan aparatur pejabat negara dan DPRD;
(13) Fasilitasi Penataan kelembagaan dan tatalaksana pemerintah daerah.
3. Program Peningkatan Profesionalisme Aparatur Pemerintah Daerah.
Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah : (1) Fasilitasi pengkajian
kompetensi jabatan di daerah; (2) Peningkatan kapasitas dan pelatihan
aparatur pemda dalam penyusunan rencana strategis investasi,
pengembangan ekonomi, dan penyediaan kesempatan kerja; (3) Peningkatan
kapasitas dan pelatihan bagi aparatur pemda dalam komputerisasi pelayanan
bagi kegiatan investasi; (4) Peningkatan kapasitas dan pelatihan Camat,
Lurah/Kepala Desa dan Sekdes bagi penciptaan iklim berusaha yang
kondusif; (5) Peningkatan kapasitas pemda dalam penguatan regulasi
pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah; (6) Fasilitasi
pengembangan kapasitas dan pelatihan aparatur pemerintah daerah dalam
memantapkan penyelenggaraan pemerintah, termasuk di wilayah pasca
bencana (Aceh, Nias, Alor dan Nabire); (7) Peningkatan kapasitas dan

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV13

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
pelatihan aparatur pemerintah daerah dalam usaha mitigasi bencana; (8)
Penyusunan rencana pengelolaan aparatur pemerintah daerah termasuk
sistem rekruitmen yang terbuka, mutasi, dan pengembangan pola karir; (9)
Optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (e-services)
dalam pelayanan publik dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan
publik.
4. Program Kerjasama Antar Pemerintah Daerah. Kegiatan-kegiatan pokok
dalam program ini adalah : (1) Fasilitasi Penyelesaian RPP Kerjasama Daerah;
(2) Penyelenggaraan sosialisasi regulasi dan kebijakan kerjasama
pemerintahan daerah; (3) Fasilitasi Pelaksanaan Kerjasama Daerah di wilayah
JABODETABEKJUR; (4) Fasilitasi perkuatan kerjasama antar daerah pada
bidang ekonomi dan hukum di wilayah perbatasan antar negara; (5) Fasilitasi
perkuatan kerjasama antardaerah dalam hal penyediaan sarana dan
prasarana publik di wilayah perbatasan antar negara; (6) Fasilitasi
Peningkatan Peran Gubernur Selaku Wakil Pemerintah dalam rangka kerja
sama Pembinaan Wilayah; (7) Fasilitasi kerjasama antar pemerintahan daerah;
(8) Fasilitasi penyempurnaan model kerjasama daerah; (9) Optimalisasi
jaringan kerjasama antar pemerintah daerah dan kemitraan dengan pihak
ketiga.
5. Program Penataan Daerah Otonom Baru. Kegiatan-kegiatan pokok dalam
program ini adalah : (1) Pelaksanaan evaluasi daerah otonom baru; (2)
Fasilitasi percepatan penyelesaian status aset antara daerah baru dan daerah
induk; (3) Fasilitasi pemantapan SOTK pemerintah daerah otonom baru; (4)
Fasilitasi percepatan penyelesaian batas wilayah administrasi antar daerah;
(5) Fasilitasi penataan batas wilayah administrasi pemerintahan pada daerah
otonom baru.
6. Program Peningkatan Kapasitas Keuangan Daerah. Kegiatan-kegiatan
pokok dalam program ini adalah : (1) Pengembangan sistem informasi
pengelolaan keuangan daerah; (2) Fasilitasi pengelolaan keuangan daerah
(perencanaan anggaran daerah, perimbangan keuangan, pengelolaan
pendapatan dan invetasi kekayaan daerah, dan fasilitasi penatausahaan,

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV14

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
akuntansi dan penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD);
(3) Fasilitasi penataan regulasi keuangan daerah.
Program dan Kegiatan Tahun 2008 (RKP 2008)
1. Program Penataan Peraturan Perundang-undangan mengenai
Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Kegiatan-kegiatan pokok dalam
program ini adalah :
a. Fasilitasi implementasi Peraturan perundang-undangan daerah khusus dan
istimewa
b. Harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan sektor dengan
peraturan perundang-undangan mengenai desentralisasi
c. Finalisasi dan sosialisasi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah hasil penyempurnaan.
d. Supervisi dan evaluasi Perda bermasalah.
e. Fasilitasi implementasi Grand Strategy Otonomi Daerah.
f. Fasilitasi Pelaksanaan PP tentang tahapan, tatacara penyusunan dan
evaluasi rencana pembangunan daerah.
2. Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah.
Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah :
a. Fasilitasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam Memantapkan
Penyelenggaraan Pemerintahan di Lokasi Pasca Bencana.
b. Fasilitasi Penerapan dan Pengendalian Pelaksanaan Standar Pelayanan
Minimal (SPM) di 33 Provinsi Fasilitasi Penataan Kelembagaan di Daerah
Otonomi Khusus dan Istimewa.
c. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan desentralisasi dan penyelenggaraan
Otonomi Daerah.
d. Fasilitasi pelaksanaan tugas dan fungsi DPOD.
e. Monitoring dan evaluasi Pelaksanaan Pilkada.
f. Fasilitasi pelaksanaan pilkada langsung 95 Bupati dan 31 Walikota.
g. Pembinaan/fasilitasi perencanaan pembangunan daerah.
h. Pengembangan Kapasitas Berkelanjutan untuk Desentralisasi (Sustainable
Capacity Building for Decentralization/SCB-DP).

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV15

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
i. Pengembangan Manajemen Bidang Pertanahan (Land Management Policy
Development Project).
j. Prakarsa Pembaharuan Tata Pemerintahan Daerah (Initiative Local
Government Reform Project).
k. Local Government Performance Measurement System Project/ LGPMS (ADB
Grant:JFICT 9082 INO).
l. Fasilitasi Sinkronisasi dan Sinergitas Program Perencanaan Pembangunan
Daerah.
m. Dukungan pelaksanaan Program Good Local Governance Dalam
Pembangunan Daerah
3. Program Peningkatan Profesionalisme Aparatur Pemerintah Daerah.
Kegiatan-kegiatan pokok dalam program ini adalah :
a. Peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah di dalam penerapan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang pendidikan dan kesehatan.
b. Peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah dalam usaha mitigasi
bencana dan bahaya kebakaran
c. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan pedoman sistem karir, sistem
cuti, sistem asuransi, sistem penghargaan, serta pengelolaan aparatur
pemda.
d. Pembinaan dan pengembangan manajemen aparatur pemerintah daerah
daerah khususnya penataan jabatan negeri dan negara.
e. Pendataan dan evaluasi formasi jabatan aparatur pemerintah daerah
secara nasional.
f. Pelatihan Penyelenggaraan Pemda bagi KDH dan DPRD pasca
PilkadaPelatihan penyelenggaraan pemerintahan daerah bagi KDH dan
DPRD pasca Pilkada.
g. Pelatihan bagi aparat pemerintah daerah, khususnya pada tingkat
kecamatan dan kelurahan/desa dalam bidang kependudukan, kesempatan
kerja, dan strategi investasi.
h. Pengembangan kapasitas aparatur pemerintah daerah untuk mendukung
kinerja penyelenggaraan pemerintahan

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV16

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
4. Program Kerjasama Antar Pemerintah Daerah. Kegiatan-kegiatan pokok
dalam program ini adalah :
a. Fasilitasi Penyusunan Kebijakan, Model-model Kerjasama antar Daerah,
dan Peningkatan Peran Gubernur Dalam Kerjasama antar Daerah
b. Fasilitasi Kerjasama Pembangunan Regional.
c. Fasilitasi Kerjasama Pembangunan antar Daerah.
d. Fasilitasi Pemantapan Hubungan Pemerintah Daerah dengan DPRD.
5. Program Penataan Daerah Otonom Baru. Kegiatan-kegiatan pokok dalam
program ini adalah :
a. Evaluasi Penataan Daerah Otonom Baru.
b. Evaluasi Penyelenggaraan Pembangunan di Daerah Otonom Baru.
c. Dukungan Pembangunan Sarana dan Prasarana Pemerintahan Kecamatan
di Daerah Otonom Baru.
d. Fasilitasi Penataan Batas Wilayah Administrasi Pemerintahan pada Daerah
Otonom Baru.
6. Program Peningkatan Kapasitas Keuangan Daerah. Kegiatan-kegiatan
pokok dalam program ini adalah :
a. Pengembangan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah .
b. Fasilitasi Pengelolaan Keuangan Daerah.
c. Fasilitasi Penataan Regulasi Keuangan Daerah.
d. Pelakanaan Rencana Aksi Nasional Desentralisasi Fiskal (RAN-DF).
Program dan Kegiatan Tahun 2009 (RKP 2009)
1) Program Penataan Peraturan Perundang-undangan Mengenai Desentralisasi
dan Otonomi Daerah
Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan berdasarkan RKP 2009:
a. Fasilitasi Penyusunan Peraturan Perundang-undangan tentang Provinsi
DKI Jakarta, DI Yogyakarta, NAD, Papua dan Irian Jaya Barat
b. Finalisasi dan sosialisasi UU sebagai revisi dan penyempurnaan UU No
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV17

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
c. Harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan sektor dengan
peraturan perundang-undangan mengenai desentralisasi
d. Supervisi dan evaluasi peraturan daerah
e. Fasilitasi pelaksanaan PP tentang tahapan, tatacara penyusunan dan
evaluasi rencana pembangunan daerah
2) Program Peningkatan Kerjasama Antar Pemerintah Daerah
Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan berdasarkan RKP 2009:
a. Fasilitasi Pengembangan Ekonomi Daerah
b. Peningkatan Peran Gubernur dalam Kerjasama Antar Pemerintah
Daerah
c. Fasilitasi Pemantapan Hubungan DPRD dan Pemerintah Daerah
d. Revitalisasi Kerjasama Pembangunan Regional
3) Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah
a. Fasilitasi Penataan Kelembagaan di Daerah Otonomi Khusus dan
Istimewa
b. Fasilitasi penataan organisasi perangkat daerah
c. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan desentralisasi dan
penyelenggaraan otonomi daerah
d. Sosialisasi dan implementasi kerangka nasional pengembangan
kapasitas dalam rangka mendukung desentralisasi dan pemerintahan
daerah
e. Fasilitasi penyusunan, penerapan dan pencapaian Standar Pelayanan
Minimal (SPM)
f. Pembinaan/fasilitasi penyusunan rencana pembangunan daerah
g. Evaluasi pelaksanaan pilkada
h. Fasilitasi pelaksanaan tugas dan fungsi DPOD
i. Peningkatan sarana /prasarana pelayanan pemerintahan di daerah
pasca bencana
j. Pengembangan Kapasitas Berkelanjutan untuk Desentralisasi
(Sustainable Capacity Building for Decentralization/SCB-DP)
k. Pengembangan Manajemen Bidang Pertanahan
l. Prakarsa Pembaharuan Tata Pemerintahan Daerah

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV18

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
m. Pengembangan perangkat untuk menginkoperasikan Pertimbangan
Lingkungan dalam Proses Perencanaan Pembangunan Daerah
n. Penguatan fungsi perencanaan daerah dalam penyusunan Perencanaan
Pembangunan
4) Program Peningkatan Profesionalisme Aparatur Pemerintah Daerah
a. Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintah Daerah dalam usaha
mitigasi bencana dan bahaya kebakaran
b. Peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah dalam penerapan
SPM di daerah
c. Penyusunan Rencana Aksi Nasional Penguatan Kapasitas Aparatur
Pemerintah Daerah
d. Penyusunan pedoman mengenai jabatan perangkat daerah, termasuk
penataan jabatan struktural dan fungsional di daerah
e. Penyelenggaraan Diklat Aparatur Pemda berdasarkan rumpun Diklat
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
f. Fasilitasi pemantapan Aparatur Pejabat Negara dan DPRD
5) Program Penataan Daerah Otonom Baru
a. Evaluasi Penataan Daerah Otonom Baru
b. Fasilitasi Penataan Batas Wilayah Administrasi Pemerintahan pada
Daerah Otonom Baru
6) Program Peningkatan Kapasitas Keuangan Pemerintah Daerah
a. Pengembangan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan daerah
b. Fasilitasi Pengelolaan Keuangan Daerah
c. Fasilitasi Penataan Regulasi Keuangan Daerah
Dari paparan di muka, tampak bahwa terjadi perubahan program-program
dalam rangka perwujudan desentralisasi dan otonomi daerah dari tahun 2004
hingga 2006 sehingga program-program tersebut tidak berkesinambungan.
Sejak tahun 2006 barulah tampak konsistensi program-program desentralisasi
dan otonomi daerah.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV19

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
4.2. Capaian Pelaksanaan Program Desentralisasi dan Otonomi Daerah
2005-2009
Capaian masing-masing program dapat dilihat dari pemenuhan indikator
masing-masing kegiatan. Selain itu, capaian juga dapat dilihat dari capaian
sasaran program dan kegiatan.
Berdasarkan laporan database Desentralisasi dan Otonomi Daerah yang
dirilis oleh Direktorat Otonomi Daerah-Bappenas Tahun 2009, perkembangan
desentralisasi dan otonomi daerah dan program-program yang dilaksanakan
dalam rangka perwujudannya, dapat dilihat berikut ini :
4.2.1. Program Penataan Peraturan Perundang-undangan mengenai
Desentralisasi dan Otonomi Daerah
UU 32 tahun 2004 mengamanatkan 27 Peraturan Pemerintah, 2 Peraturan Presiden
dan 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri, sedangkan UU 33 tahun 2004
mengamanatkan 7 Peraturan Pemerintah dan 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Hingga pertengahan tahun 2009 atau setelah 5 tahun pelaksanaan kedua
peraturan perundangan tersebut, saat ini Pemerintah telah menyelesaikan 89%
amanat UU 32 tahun 2004, serta 100% amanat UU 33 tahun 2004, dengan rincian
sebagaimana tabel berikut:
Tabel 4.1.
Amanat dan Capaian Peraturan Turunan UU 32/2004 dan 33/2005
UU 32/3004 UU 33.2004
No. Jenis Peraturan
Amanat Capaian Amanat Capaian
1 Peraturan Pemerintah (PP) 27 21*) 7 7
2 Peraturan Presiden
(Perpres)
3 1 - -
3 Peraturan Menteri Dalam
Negeri
3 2 1 1

Keterangan :
*) 2 RPP tidak dilanjutkan dan 4 RPP dijadikan 2 RPP (Lihat Tabel)

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV20

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Berdasarkan tabel 2.1. di atas, maka pada tahun 2009, pencapaian
pelaksanaan amanat UU 32 tahun 2004 hanya ada 1 (satu) capaian, yaitu
Peraturan Pemerintah, yaitu (1) PP no. 34 Tahun 2009 tentang Pedoman
Pengelolaan Kawasan Perkotaan. Hal ini berbeda dengan tahun 2008 sebanyak 6
(enam) capaian Peraturan Pemerintah. Selain itu sebanyak 4 PP masih dalam
bentuk rancangan yang masih dalam proses penyelesaian di instansi terkait,
yaitu:
1. Amanat dari pasal 168 ayat (1), untuk membentuk PP tentang Belanja Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Hingga saat ini, draft PP tersebut telah
terbentuk dan sedang dibahas dengan instansi terkait dan Daerah.
2. Amanat dari pasal 9 ayat (3) dan ayat (6)
1
, untuk membentuk PP tentang
Fungsi Pemerintahan Tertentu dan Tatacara Penetapan Kawasan Khusus.
Proses penyusunan PP tersebut telah sampai pada pengajuan RPP kepada
Sekretariat Negara dan Departemen Hukum dan HAM.
3. Amanat dari pasal 38 ayat (3) dan ayat (4)
2
, untuk membentuk PP tentang
Tatacara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan
Gubernur Selaku Wakil Pemerintah. Sama seperti amanat sebelumnya, RPP ini
telah disampaikan kepada Sekretariat Negara dan Departemen Hukum dan
HAM.
4. Amanat dari Pasal 135 ayat (2), untuk membentuk PP tentang Pedoman
Standar, Norma dan Prosedur Pembinaan dan Pengawasan Manajemen PNS
Daerah. Draft PP tersebut saat ini masih dalam proses pembahasan dengan
instansi terkait dan Daerah
Ada pun rincian pelaksanaan amanat kedua Undang-undang tersebut
disajikan secara lengkap dalam 2 tabel di bawah ini.


1
Awalnya direncanakan membentuk 2 PP, PP tentang Fungsi Pemerintahan Tertentu dan PP tentang Tatacara
Penetapan Kawasan Khusus.
2
Awalnya direncanakan membentuk 2 PP, PP tentang Kedudukan Keuangan Gubernur Selaku Wakil Pemerintah
dan PP tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur selaku Wakil Pemerintah.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV21

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009

Tabel 4.2
Pelaksanaan Amanat UU 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
No Peraturan Pelaksana
Dasar
Pengaturan
UU No.
32/2004
Penanggung
Jawab
Status Penyusunan
PERATURAN PEMERINTAH
1. PP tentang pemilihan,
pengesahan
pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala
Daerah dan Wakil Kepala
Daerah
Pasal 33 ayat
(3)
Dit. Pejabat
Negara Ditjen
Otda
Depdagri
Selesai dengan
diterbitkannya PP No.
6 Tahun 2005,
kemudian diubah
dengan PP No. 25
Tahun 2007, kemudian
diubah lagi dengan PP
No. 49 Tahun 2008
2. PP tentang Pedoman
Satuan Polisi Pamong
Praja
Pasal 148
ayat (2)
Dit. Tramtib
dan Linmas,
Ditjen PUM
Depdagri
Selesai dengan
diterbitkannya PP No
32 Tahun 2004
3. PP tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan
Pasal 184 Dit. Fas.
Pertanggungja
waban dan
Pengawasan
Keuangan
Daerah, Ditjen
BAKD
Selesai dengan
diterbitkannya PP No
24 Tahun 2005
4. PP tentang Pedoman
Penyusunan Peraturan
Tatatertib DPRD
Pasal 43 ayat
(8), Pasal 46
ayat (2),
Pasal 54 ayat
(6), dan Pasal
55 ayat (5)
Dit. Pejabat
Negara, Ditjen
OTDA
Depdagri
Selesai dengan
diterbitkannya PP No.
25 tahun 2004,
kemudian diubah
dengan PP no.53 tahun
2005
5. PP tentang Kedudukan
Protokoler dan Keuangan
Pimpinan dan Anggota
DPRD
Pasal 44 ayat
(2), Pasal 168
ayat (2)
Dit. Pejabat
Negara, Ditjen
OTDA
Depdagri
Selesai dengan
diterbitkannya PP
No.24 tahun 2004,
diubah dengan PP no.
37 tahun 2005, diubah
lagi dengan PP no.37
tahun 2006, kemudian
diubah lagi dengan PP
No.21 Tahun 2007
6. PP tentang Pedoman
Pengelolaan Kawasan
Perkotaan
Pasal 199 Dit. Perkotaan,
Ditjen Bina
Bangda
Depdagri
Selesai dengan
diterbitkannya PP No.
34Tahun 2009 tentang
Pengelolaan Kawasan
Perkotaan

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV22

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
No Peraturan Pelaksana
Dasar
Pengaturan
UU No.
32/2004
Penanggung
Jawab
Status Penyusunan
7. PP tentang Desa Pasal 203,
Pasal 208,
Pasal 210,
Pasal 211,
Pasal 213,
Pasal 214,
dan Pasal 216
Dit
Pemerintahan
Desa dan
Kelurahan,
Ditjen PMD
Depdagri
Selesai dengan
diterbitkannya PP No.
72 tahun 2005
8. PP tentang Kelurahan Pasal 127 Dit
Pemerintahan
Desa dan
Kelurahan,
Ditjen PMD
Depdagri
Selesai dengan
diterbitkannya PP no.
73 tahun 2005
9. PP tentang Persyaratan
dan Tata Cara
Pengangkatan Sekretaris
Desa menjadi PNS
Pasal 202 Dit.
Pemerintahan
Desa dan
Kelurahan,
Ditjen PMD
Depdagri
Selesai dengan
diterbitkannya PP no.
45 tahun 2007
10. PP tentang Pengelolaan
Barang Milik
Negara/Daerah
Pasal 178 Dit. Adm.
Pendapatan
dan Investasi
Daerah, Ditjen
BAKD
Depdagri
Selesai dengan
diterbitkannya PP No.6
Tahun 2006 , yang
diubah dengan PP 38
Tahun 2008

11. PP tentang Pedoman
Pembinaan dan
Pengawasan
Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah
Pasal 223 Inspektorat
Jenderal
Depdagri
Selesai dengan
diterbitkannya PP No.
79 Tahun 2005
12. PP tentang Pedoman
Evaluasi
Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah
Pasal 6 ayat
(3); Pasal 27
ayat (4) dan
ayat (5)

Dit.
Peningkatan
Kapasitas dan
Evaluasi Kinerja
Daerah, Ditjen
OTDA
Depdagri
Selesai dengan
diterbitkannya PP No.
6 tahun 2008
13. PP tentang Tatacara
Pembentukan,
Penghapusan, dan
Penggabungan Daerah
Pasal 4, Pasal
5 dan Pasal 6
Dit. Penataan
Daerah dan
Otonomi
Khusus, Ditjen
OTDA
Depdagri
Selesai dengan
diterbitkannya PP No.
78 Tahun 2007
14. PP tentang Pedoman
Penyusunan Standar dan
Penerapan Standar
Pelayanan Minimal
Pasal 11 ayat
(4)
Dit.
Peningkatan
Kapasitas dan
Evaluasi Kinerja
Daerah, Ditjen
Selesai dengan
diterbitkannya PP No.
65 Tahun 2005

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV23

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
No Peraturan Pelaksana
Dasar
Pengaturan
UU No.
32/2004
Penanggung
Jawab
Status Penyusunan
OTDA
Depdagri
15. PP tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah
Provinsi dan
Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota
Pasal 10,
Pasal 11,
Pasal 12,
Pasal 13 dan
Pasal 14 ayat
(1) dan ayat
(2)
Dit Urusan
Pemerintahan
Daerah, Ditjen
OTDA
Depdagri
Selesai dengan
diterbitkannya PP
No.38 tahun 2007
16. PP tentang Belanja Kepala
Daerah dan Wakil Kepala
Daerah
Pasal 168
ayat (1)
Dit. Pejabat
Negara, Ditjen
OTDA
Depdagri
Sudah dalam bentuk
draft dan sedang
dibahas dengan
instansi terkait dan
Daerah.
17. PP tentang Laporan
Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah
Kepada Pemerintah,
Laporan Keterangan
Pertanggungjawaban
Kepala Daerah Kepada
DPRD, dan Informasi
LaporanPenyelenggaraan
Pemerintahan Daerah
Kepada Masyarakat
Pasal 27 ayat
(2) dan ayat
(3), Pasal 42
ayat (1) huruf
h
Dit. Urusan
Pemerintahan
Daerah, Ditjen
OTDA
Depdagri

Dit UPD dan
PN-Ditjen Otda
Selesai dengan
diterbitkannya PP No.
3 tahun 2007
PP tentang Hubungan
Pelayanan Umum Antara
Pemerintah dengan
Pemerintahan Daerah dan
antar Pemerntah Daerah

TIDAK DILANJUTKAN
Pasal 15 dan
Pasal 16
Dit. Fas. DPOD
& Hubungan
Antar Lembaga,
Ditjen OTDA
Depdagri
Sesuai pembahasan
Depdagri bersama
Dep/LPND terkait,
substansi RPP ini telah
dimuat dalam RPP
yang mengatur
pembagian urusan,
dan RPP yang
mengatur Pelayanan
Umum
PP tentang Tatacara
Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban
Penggunaan Dana
Darurat

TIDAK DILANJUTKAN
Pasal 165
ayat (3)
Ditjen BAKD Diinformasikan oleh
Kasubag Per--an Ditjen
BAKD, penyusunan
RPP ini tidak
dilanjutkan, karena
substansi RPP ini sudah
tertampung dalam PP
No. 58 tahun 2005
tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan
Daerah.
18. PP tentang Fungsi Pasal 9 ayat Dit. Kawasan
Sudah disampaikan ke

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV24

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
No Peraturan Pelaksana
Dasar
Pengaturan
UU No.
32/2004
Penanggung
Jawab
Status Penyusunan
Pemerintahan Tertentu (3)

dan Otorita,
Ditjen PUM
Depdagri
19. PP tentang Tatacara
Penetapan Kawasan
Khusus
Pasal 9 ayat
(6)
Dit. Kawasan
dan Otorita,
Ditjen PUM
Depdagri
Setneg/Setkab/
Dephuk dan HAM yang
kemudian dijadikan
satu PP tentang Fungsi
Pemerintahan Tertentu
dan Tatacara
Penetapan Kawasan
Khusus
20. PP tentang Tata Cara
Pelaksanaan Kerjasama
Antar Daerah
Pasal 197 Dit.
Ketentraman
dan Ketertiban
Umum, Ditjen
PUM
Depdagri
Selesai dengan
diterbitkannya PP no.
50 tahun 2007
21.
PP tentang Organisasi
Perangkat Daerah
Pasal 128
ayat (1), ayat
(2), dan ayat
(3)
Biro Organisasi,
Sekretariat
Jenderal
Depdagri
Selesai dengan
diterbitkannya PP no.
41 tahun 2007
22. PP tentang Tahapan, Tata
Cara Penyusunan,
Pengendalian dan
Evaluasi Pelaksanaan
Rencana Pembangunan
Daerah
Pasal 154 Ditjen Bangda
Depdagri
Selesai dengan
diterbitkannya PP no. 8
tahun 2008
23. PP tentang Kedudukan
Keuangan Gubernur
Selaku Wakil Pemerintah
Pasal 38 ayat
(3)
24. PP tentang Tata Cara
Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang Gubernur
selaku Wakil Pemerintah
Pasal 38 ayat
(4)
Dit. Pejabat
Negara, Ditjen
Otda
Depdagri

Sudah menjadi satu
draft RPP tentang
Tatacara Pelaksanaan
Tugas dan Wewenang
serta Kedudukan
Keuangan Gubernur
Selaku Wakil
Pemerintah sudah
disampaikan ke
Dephukham.
25. PP tentang Insentif dan/
atau Kemudahan Kepada
Masyarakat/Investor
Pasal 176 Ditjen Bangda
Depdagri
Selesai dengan
diterbitkannya PP no.
45 tahun 2008
26. PP tentang Pedoman,
Norma, Standar dan
Prosedur Pembinaan dan
Pengawasan Manajemen
PNS Daerah
Pasal 135
ayat (2)
Biro
Kepegawaian,
Sekretariat
Jenderal
Depdagri
Sudah dalam bentuk
draft dan sedang
dibahas dengan
instansi terkait dan
Daerah.
27.
PP tentang Pembentukan
Kecamatan
Pasal 126 Ditjen PUM Selesai dengan
diterbitkannya PP no.
19 tahun 2008
I. PERATURAN PRESIDEN

1. Peraturan Presiden
tentang Dewan
Pasal 224 Dit. Fas. DPOD
& Hubungan
Selesai dengan
diterbitkannya Perpres

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV25

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
No Peraturan Pelaksana
Dasar
Pengaturan
UU No.
32/2004
Penanggung
Jawab
Status Penyusunan
Pertimbangan Otonomi
Daerah
antar Lembaga,
Ditjen OTDA
Depdagri
No. 28 Tahun 2005
tentang DPOD
2. Peraturan Presiden
tentang Tata Cara
Mempersiapkan
Rancangan Peraturan
Daerah
Pasal 140
ayat (3)
Dit. Fas. DPOD
& Hubungan
antar Lembaga,
Ditjen OTDA
Depdagri
Sudah disampaikan ke
Dephuk HAM.

3





Peraturan Presiden
tentang Pedoman
Pengembangan Kapasitas
dalam Mendukung
Desentralisasi dan
Pemerintahan Daerah

Tidak
diamanatkan,
tetapi
berkaitan.
Dit.
Pengembangan
Kapasitas dan
Evaluasi Kinerja
Daerah
Depdagri

Dalam proses
penyelesaian
II. PERATURAN MENDAGRI

1. Peraturan Mendagri
tentang Perpindahan
Menjadi Pegawai Negeri
Sipil Pusat dan Pegawai
Negeri Sipil Daerah
Pasal 131
ayat (2)
Biro
kepegawaian,
Sekretariat
Jenderal
Selesai dengan
diterbitkannya
Permendagri No 10
Tahun 2006 tentang
Perpindahan Menjadi
Pegawai Negeri Sipil
Pusat dan Pegawai
Negeri Sipil Daerah
2. Peraturan Menteri Dalam
Negeri tentang Pedoman
Penegasan Batas Daerah
Pasal 229 Dit. Perbatasan,
Ditjen PUM
Selesai dengan
diterbitkannya
Permendagri No.1
tahun 2006 tentang
Pedoman Penegasan
Batas Daerah
3. Peraturan Menteri Dalam
Negeri tentang Tata Cara
Perubahan Batas,
Perubahan Nama dan
Pemindahan Ibukota
Pasal 7 ayat
(2)
Dit. Perbatasan,
Ditjen PUM
Dalam proses
penyelesaian
Sumber : OTDA-Depdagri, 2008-2009, dalam Laporan Penyusunan Database Bidang
Desentralisasi dan Otonomi Daerah Tahun 2009 yang dirilis oleh Direktorat
Otonomi Daerah-Bappenas
Pencapaian pelaksanaan amanat UU 33 tahun 2004 telah jauh lebih baik
dibandingkan UU 32 tahun 2004, karena dengan ditetapkannya PP no.7
tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, maka semua
peraturan turunan yang diamanatkan oleh UU ini telah selesai
dilaksanakan. Untuk selanjutnya, fokus Pemerintah terkait dengan

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV26

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
desentralisasi fiskal lebih kepada pelaksanaan peraturan perundangan
yang telah ditetapkan, termasuk penyusunan petunjuk teknis, jika
diperlukan.
Tabel 4.3
Pelaksanaan Amanat UU 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah
No.
Peraturan
Pelaksana
Dasar
Pengaturan
No. 33/2004
Penanggung
Jawab
Status Penyusunan
I. PERATURAN PEMERINTAH
1. PP tentang Dana
Perimbangan
Pasal 26, 37,
dan 42
Ditjen APK
Depkeu
Telah selesai dengan
keluarnya PP No 55
Tahun 2005
2. PP tentang Pinjaman
Daerah
Pasal 65 (Juga
diamanat kan
oleh No
32/2004 Pasal
171 ayat 1)
Ditjen APK-
Depkeu, Dit
Admn
Pendapatan
dan Investasi
Daerah- Ditjen
BAKD
Telah selesai dengan
keluarnya PP No 54
Tahun 2005
3. PP tentang Sistem
Informasi Keuangan
Daerah
Pasal 104 Ditjen APK
Depkeu
Telah selesai dengan
keluarnya PP No 56
Tahun 2005
4. PP tentang
Pengelolaan
Keuangan Daerah
Pasal 86 (Juga
diamanatkan
oleh No
32/2004 Pasal
23 ayat 2, Pasal
194 dan Pasal
182)
Ditjen APK-
Depkeu, Dit
Adm
Anggaran
Daerah-Ditjen
BAKD
Telah selesai dengan
keluarnya PP No 58
Tahun 2005
5. PP tentang Hibah ke
daerah
Pasal 45 Ditjen APK
Depkeu
Telah selesai dengan
keluarnya PP No 57
Tahun 2005
6. PP tentang
Pengelolaan Dana
Darurat
Pasal 48 Ditjen APK
Depkeu
TIDAK DILANJUTKAN
karena substansinya
telah diatur dalam PP
No. 58 Tahun 2005
7. PP tentang
Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan
Pasal 92 dan 99 Ditjen APK
Depkeu, dan
Depdagri
Telah selesai dengan
keluarnya PP No 7
Tahun 2008
II. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI
8. Permendagri tentang
Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah
Pasal 155 PP
Nomor 58
Tahun 2005
tentang
Pengelolaan
Keuangan
Depkeu Permendagri No.13
tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah, yang
kemudian direvisi
menjadi Permendagri

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV27

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
No.
Peraturan
Pelaksana
Dasar
Pengaturan
No. 33/2004
Penanggung
Jawab
Status Penyusunan
Daerah No. 59 tahun 2007
tentang Perubahan
Permendagri No.13
tahun 2006.
Sumber : Ditjen Otda-Depdagri, 2008-2009
Selain amanat UU 32 dan 33 tahun 2004, terdapat beberapa peraturan
terkait bidang desentralisasi dan otonomi daerah yang telah ditetapkan pada
tahun 2009. Peraturan tersebut antara lain diuraikan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 4.4
Peraturan Perundangan terkait Desentralisasi & Otonomi Daerah
Tahun 2009
No. Nomor Judul

1. UU Nomor 43 Wilayah Negara
2. UU Nomor 10 Kepariwisataan
3. UU Nomor 11 Kesejahteraan Sosial
4. UU Nomor 22 Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
5. UU Nomor 25 Pelayanan Publik
6. UU Nomor 28 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
7. UU Nomor 32 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
8 UU Nomor 36 Kesehatan
9 UU Nomor 39 Kawasan Ekonomi Khusus

8. PP Nomor 79 Pemindahan Ibu Kota Kabupaten Padang Pariaman Dari Wilayah
Kota Pariaman Ke Nagari Parit Malintang Kecamatan Enam
Lingkung Kabupaten Padang Pariaman
Provinsi Sumatera Barat
9. PP Nomor 8 Perubahan Kesebelas Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun
1977 Tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil
10. PP Nomor 34 Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan
11. PP Nomor 41 Tunjangan Profesi Guru Dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru Dan
Dosen, Serta Tunjangan Kehormatan Profesor

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV28

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
No. Nomor Judul
12. PP Nomor 42 Pemberian Gaji/Pensiun/Tunjangan Bulan Ketiga Belas Dalam
Tahun Anggaran 2009 Kepada Pegawai Negeri, Pejabat Negara,
Dan Penerima Pensiun/Tunjangan
13. PP Nomor 63 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003
Tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, Dan
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil
Sumber : Hasil Pengolahan, Dit Otda Bappenas, 2009

4.2.2. Program Peningkatan Kerjasama antar Pemerintah Daerah
Dalam mengembangkan potensi daerahnya, masing-masing daerah dapat
melakukan kerjasama dengan berpedoman pada PP 50 Tahun 2007 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan Kerjasama Daerah adalah kesepakatan antara gubernur
dengan gubernur; atau gubernur dengan bupati/wali kota; atau antara
bupati/wali kota dengan bupati/wali kota yang lain, dan atau gubernur,
bupati/wali kota dengan pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis serta
menimbulkan hak dan kewajiban. Terkait dengan tujuan desentralisasi dan
otonomi daerah dalam rangka peningkatan pelayanan publik, maka saat ini
kerjasama daerah juga didorong untuk mencakup sektor pelayanan publik, yang
selama ini masih cenderung dipisahkan berdasarkan batas administrasi wilayah.
Dalam PP 50 Tahun 2007 disebutkan bahwa prinsip-prinsip kerjasama
daerah adalah:
a. Efesinsi
b. Efektivitas
c. Sinergi
d. Saling menguntungkan
e. Kesepakatan bersama
f. Itikad baik
g. Mengutamakan kepentingan nasional keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia
h. Persamaan kedudukan

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV29

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
i. Transparansi
j. Keadilan
k. Kepastian hukum
PP 50 Tahun 2007 juga mengatur poin-poin yang harus tercantum dalam
kerjasama daerah dan perlu disepakati antar subyek kerjasama (kepala daerah
dan/atau pihak ketiga), meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Subjek kerja sama;
2. Objek kerja sama;
3. Ruang lingkup kerja sama;
4. Hak dan kewajiban para pihak;
5. Jangka waktu kerja sama;
6. Pengakhiran kerja sama;
7. Keadaan memaksa; dan
8. Penyelesaian perselisihan.
Selain mengacu PP 50 Tahun 2007, kerjasama daerah diatur dalam
kerangka kebijakan berikut ini:
1. Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN)
2. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
3. Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Daerah
4. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009
5. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
6. Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Kerjasama Daerah
7. Permendagri 19/2009 tentang Peningkatan Kapasitas Pelaksana Kerjasama
Daerah
8. Permendagri 22/2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerjasama Daerah
9. Permendagri 23/2009 tentang Tata Cara Bimbingan dan Pengawasan
Pelaksanaan Kerjasama Daerah

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV30

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Data kerjasama yang terdapat di Direktorat Otonomi Daerah
dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kerjasama Dalam Negeri Pemerintah Daerah, meliputi:
a. Kerjasama antar Pemerintah Daerah dalam Lingkup Regional (Pulau atau
Bagian Pulau)
b. Kerjasama Pemerintah Daerah Lintas Provinsi. Pada tahun 2009 telah
terbentuk kerjasama antar provinsi kepulauan (Prov. Kepri, Babel) NTB,
NTT, Sulut, Maluku, dan Maluku Utara)
c. Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak ketiga
i. Provinsi Sumatera Utara
ii. Provinsi Jambi
iii. Provinsi Sumatera Selatan
iv. Provinsi Jawa Barat
v. Provinsi Jawa Tengah
vi. Provinsi Jawa Timur
vii. Provinsi Bali
viii. Provinsi Nusa Tenggara Barat
ix. Provinsi Kalimantan Barat
x. Provinsi Kalimantan Tengah
xi. Provinsi Kalimantan Timur
xii. Provinsi Kalimantan Selatan
d. Kerjasama Pemerintah Daerah dalam Lingkup Provinsi, terdiri dari:
i. Provinsi Sumatera Utara
ii. Provinsi Riau
iii. Provinsi Jambi
iv. Provinsi Sumatera Selatan
v. Provinsi Jawa Barat
vi. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
vii. Provinsi Jawa Tengah
viii. Provinsi Jawa Timur
ix. Provinsi Bali
x. Provinsi Nusa Tenggara Barat
xi. Provinsi Kalimantan Barat

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV31

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
xii. Provinsi Kalimantan Tengah
xiii. Provinsi Kalimantan Timur
xiv. Provinsi Kalimantan Selatan

4.2.3. Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah
Perangkat daerah atau Kelembagaan Pemerintah Daerah merupakan elemen
dasar pemerintahan kedua, setelah urusan pemerintahan dan sebelum aparatur
pemerintah daerah. Pengaturan terhadap kelembagaan atau sering disebut
dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), diatur dan ditetapkan berdasarkan
PP 84 tahun 2000, yang diubah dengan PP 8 tahun 2003, dan kemudian diubah
lagi menjadi PP 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dalam
PP 41 tahun 2007 disebutkan bahwa pelaksanaan peraturan perundangan ini
diharapkan dapat selesai dalam waktu 1 tahun sejak ditetapkan, dan pada saat
akhir tahun 2009 ini PP 41 tahun 2007 sudah berjalan selama 2 tahun.
Bahwa dalam rangka standarisasi dan tertib penataan kelembagaan perangkat
daerah sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun
2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, maka Pemerintah memandang perlu
untuk menetapkan Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah, yang
selanjutnya dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri) No. 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi
Perangkat Daerah. Dalam Permendagri ini, Pemerintah lebih mengatur secara
rinci penataan kelembagaan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), baik di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota, khususnya dalam aspek pembentukan,
tugas dan fungsi, besaran organisasi, perumpunan bidang pemerintahan, dan
susunan organisasi.
a. Perkembangan Pelaksanaan PP 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah
Berdasarkan data Biro Organisasi, Departemen Dalam Negeri, yang berasal dari
laporan pemerintah daerah, pelaksanaan restrukturisasi kelembagaan
pemerintahan daerah telah mengalami perkembangan meskipun belum sesuai
dengan seperti apa yang diharapkan. Hingga bulan Mei 2009 sudah 30 provinsi,

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV32

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
223 kabupaten dan 43 kota yang telah melaporkan Perda Organisasi
Perangkat Daerahnya kepada Depdagri, atau sebesar 91% provinsi, 56%
kabupaten, dan 46% kota, atau total 296 daerah (provinsi, kabupaten, kota).
Sisanya, sebanyak 3 provinsi, 175 kabupaten dan 50 kota belum terdata atau
belum melaporkan Perda tersebut. Berikut disajikan informasi lengkap daerah-
daerah yang telah melaporkan pelaksanaan PP 41 tahun 2007 di daerahnya
masing-masing. Data-data tersebut juga mencakup daerah-daerah hasil
pemekaran wilayah (daerah otonom baru) hingga bulan Mei 2009, yang terdiri
dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota.
Tabel 4.5
Pelaksanaan PP 41 tahun 2007 oleh Pemerintah Daerah
Lingkup
Provinsi
2007 2008 2009 Keterangan
NAD - Provinsi
- Kab. Simeuleu
- Kota
Lhoksumawe


- Kab. Aceh Barat Daya
- Kab. Aceh Timur
- Kab. Aceh Barat
- Kab. Bener Meriah
- Kab. Nagan Raya
- Kab. Pidie
- Kab. Aceh Jaya
- Kab. Aceh Selatan
- Kab. Aceh Tengah
- Kab. Aceh Besar
- Kab. Aceh Singkil
- Kab. Aceh Utara
- Kab. Pidie Jaya
- Kota Banda Aceh
- Kota Langsa




75%
Dari 24
wilayah
Sumatera
Utara
- - Kab. Deli Sedang
- Kab. Karo
- Kab. Toba Samosir
- Kota Padang Sidempuan
- Kab. Dairi
- Kab. Humbang
Hasundutan
- Kab. Labuan Batu
- Provinsi

24%
Dari 34
wilayah

Sumatera
Barat
- - Provinsi
Kab. Pasaman Barat
- Kab. Sawahlunto
- Kab. Solok
- Kota Payakumbuh
- Kab. Padang Pariaman
- Kab. Pesisir Selatan

- 35%
Dari 20
wilayah

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV33

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Lingkup
Provinsi
2007 2008 2009 Keterangan
Riau - Kab. Rokan Hulu

- Provinsi
- Kab. Kampar
- Kota Dumai
- Kota Pekanbaru

- 38%
Dari 13
wilayah
Jambi - - Provinsi
- Kab. Batanghari
- Kab. Bungo
- Kab. Kerinci
- Kab. Merangin
- Kab. Muarojambi
- Kab. Sarulangun
- Kab. Tanjung Jabung
Barat
- Kab. Tanjung Jabung
Timur
- Kab. Tebo

- 83%
Dari 12
wilayah
Sumatera
Selatan
- - Provinsi
- Kab. Musi Rawas
- Kab. Banyuasin
- Kab. Lahat
- Kota Pagaralam
- Kota Palembang
- Kota Prabumulih
- Kab. Empat Lawang
- Kab. Muara Enim
- Kab. Ogan Ilir
- Kab. Ogan Komering Ilir
- Kab. Ogan Kering Ulu
- Kab. OKU Selatan
- Kab. OKU Timur
- Kota Pagar Alam

- 94%
Dari 16
wilayah

Bengkulu - Kab. Kaur - Provinsi
- Kab. Rejang Lebong
- Kab. Seluma
- Kab. Kepahiang
- Kota Bengkulu

55%
Dari 11
wilayah

Lampung - Provinsi
- Kab. Lampung
Tengah
- Kab. Lampung
Timur

- Kab. Way Kanan
- Kab. Tanggamus
- Kota Bandar Lampung
- Kab. Lampung Selatan
- Kab. Lampung Utara
- Kab. Lampung Barat
- Kota Metro
73%
Dari 15
wilayah

Bangka - - Provinsi 38%

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV34

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Lingkup
Provinsi
2007 2008 2009 Keterangan
Belitung - Kab. Bangka
- Kota Pangkalpinang
Dari 8 wilayah
Kepulauan
Riau
- Kab. Lingga

- Kab. Bintan

- Kota Tanjung
Pinang

38%
Dari 8 wilayah
DKI Jakarta - - Provinsi 14%
Dari 7 wilayah
Jawa Barat - Kab. Bandung
- Kota Bandung
- Provinsi
- Kab. Cirebon
- Kab. Majalengka
- Kab. Subang
- Kab. Sukabumi
- Kab. Ciamis
- Kab. Cianjur
- Kab. Kerawang
- Kab. Purwakarta
- Kab. Sumedang
- Kota Cirebon
- Kota Depok
- Kota Sukabumi
- Kota Tasikmalaya
- Kota Bekasi
- Kota Bogor

- 67%
Dari 27
wilayah

Jawa Tengah - Kab. Kendal - Provinsi
- Kab. Boyolali
- Kab. Batang
- Kab. Grobogan
- Kab. Kebumen
- Kab. Pekalongan
- Kab. Sukoharjo
- Kab. Brebes
- Kab. Cilacap
- Kab. Magelang
- Kab. Purworejo
- Kab. Rembang
- Kab. Semarang
- Kab. Tegal
- Kab. Wonosobo
- Kab. Sragen
- Kota Magelang
- Kota Pekalongan
- Kota Semarang
- Kota Surakarta
-


58%
Dari 36
wilayah

DIY - - Provinsi
- Kab. Gunung Kidul
- Kab. Kulon Progo
Kab. Bantul

67%
Dari 6 wilayah

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV35

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Lingkup
Provinsi
2007 2008 2009 Keterangan
Jawa Timur - - Provinsi
- Kab. Banyuwangi
- Kab. Gresik
- Kab. Situbondo
- Kab. Tulungagung
- Kab. Bangkalan
- Kab. Bojonegoro
- Kab. Bondowoso
- Kab. Lamongan
- Kab. Madiun
- Kab. Magetan
- Kab. Ngawi
- Kab. Pacitan
- Kab. Pamekasan
- Kab. Ponorogo
- Kab. Sidoarjo
- Kab. Trenggalek
- Kab. Tuban
- Kota Probolinggo
- Kota Malang
Kota Probolinggo
- Kota Surabaya

56%
Dari 39
wilayah

Banten - - Provinsi
- Kota Tangerang
-
22%
Dari 9 wilayah
Bali - - Provinsi
- Kab. Tabanan
- Kab. Bangli
- Kab. Buleleng
- Kab. Jembrana
- Kab. Karangasem
- Kota Denpasar
70%
Dari 10
wilayah

NTB - - Provinsi
- Kab. Bima
- Kab. Sumbawa Barat
- Kab. Sumbawa
- Kab. Lombok Timur
- Kota Mataram
64%
Dari 11
wilayah

NTT - - Provinsi
Kab. Manggarai Timur
- Kab. Timor Tengah
Selatan
- Kab. Nagekeo
- Kab. Belu
- Kab. Manggarai Barat
- Kab. Sikka
- Kab. Ngada
- Kab. Rotte
Ndao

68%
Dari 22
wilayah

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV36

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Lingkup
Provinsi
2007 2008 2009 Keterangan
- Kab. Ende
- Kab. Lembata
- Kab. Manggarai
- Kab. Sumba Timur
- Kab. Timor Tengah
Utara
- Kota Kupang
Kalimantan
Barat
- Kab.
Bengkayang
- Kab. Melawi
- Kab. Sanggau
- Provinsi
- Kab. Pontianak
- Kab. Sekadau
- Kab. Kapuas
- Kab. Kapuas Hulu
- Kab. Ketapang
- Kab. Landak
- Kab. Sambas
- Kota Pontianak
- Kota Singkawang
-
- 87%
Dari 15
wilayah

Kalimantan
Tengah
- - Kab. Barito Utara
- Kab. Kapuas
- Kab. Sukamara
- Kab. Barito Timur
- Kab. Gunung Mas
- Kab. Kotawaringin Barat
- Kab. Seruyan
- Kota Palangkaraya
-
53%
Dari 15
wilayah

Kalimantan
Selatan
- Kab. Hulu Sungai
Selatan
- Kab. Hulu Sungai
Tengah
- Kab. Tabalong
- Kab. Tanah
Bumbu

- Provinsi
- Kab. Balangan
- Kab. Barito Kuala
- Kab. Kotabaru
- Kab. Tapin
- Kab. Banjar
- Kab. Tanah Laut
- Kota Banjarmasin
- Kota Banjarbaru
-
- 93%
Dari 14
wilayah

Kalimantan
Timur
- Provinsi
Kab. Berau
- Kab. Bulungan
- Kab. Malinau
- Kab. Tana Tidung
- Kab. Kutai Barat
- Kab. Nunukan

-
-
47%
Dari 15
wilayah

Sulawesi
Utara
- Kab. Minahasa
Tenggara
- Kota
- Kab. Minahasa Selatan
- Kab. Minahasa
- Kab. Minahasa Utara
- Provinsi
-
63%
Dari 16
wilayah

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV37

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Lingkup
Provinsi
2007 2008 2009 Keterangan
Kotamobagu - Kab. Kepulauan Talaud
- Kab. Bolaang
Mongondow Utara
- Kota Manado
- Kota Tomohon

Sulawesi
Tengah
- Kab. Banggai - Provinsi
- Kab. Toli-toli
- Kab. Buol
- Kab. Poso
- Kota Palu
- 50%
Dari 12
wilayah

Sulawesi
Selatan
- Kab. Pangkajene
Kep.

- Provinsi
- Kab. Luwu
- Kab. Barru
- Kab. Bulukumba
- Kab. Gowa
- Kab. Luwu Timur
- Kab. Luwu Utara
- Kab. Pinrang
- Kab. Soppeng
- Kab. Wajo
- Kab. Enrekang
- Kab. Jeneponto
- Kab. Maros
- Kab. Takalar
- Kota Pare-pare
- 64%
Dari 25
wilayah


Sulawesi
Tenggara
- Kab. Konawe
- Kab. Buton
- Kab. Konawe
Selatan
- Kab. Muna
- Provinsi
- Kab. Kolaka Utara
- Kab. Wakatobi
- Kab. Konawe Utara
- Kab. Buton Utara
- Kab. Kendari
- Kota Kendari
85%
Dari 13
wilayah

Gorontalo - Provinsi
- Kab. Bone
Bolango

- -

28%
Dari 7 wilayah
Sulawesi
Barat
- Kab. Mamuju - Provinsi
- Majene
- Mamasa
-
- 67%
Dari 6 wilayah
Maluku - Provinsi - Kab. Tual
- Kab. Maluku Tenggara
Barat
- Kab. Pulau Buru
- Kab. Seram Bagian
Timur
- Kab. Maluku Tenggara
- Kab. Seram Bag Barat
- 67%
Dari 12
wilayah

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV38

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Lingkup
Provinsi
2007 2008 2009 Keterangan
- Kota Ambon
Maluku
Utara
- - Provinsi
- Kab. Halmahera Tengah
- Kab. Halmahera Barat

- 30%
Dari 10
wilayah
Papua Barat - - Kab. Raja Ampat 9%
Dari 11
wilayah
Papua - - Kab. Keroom
- Kab. Asmat
- Kab. Jayapura
- Kab. Merauke
- Kab. Nabire
- Kab. Sarmi
- Kab. Yapen Waropen
- Kota Jayapura
-
- 27%
Dari 30
wilayah
Total
56%
Dari total
wilayah
Indonesia
Sumber : Biro Organisasi-Depdagri, 2009

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa pencapaian pelaksanaan PP 41
tahun 2007 oleh Pemerintah Daerah telah mencapai 56% dari seluruh wilayah di
Indonesia (provinsi, kabupaten, dan kota), atau mencapai 296 daerah dari 524
daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) di Indonesia. Dari 296 daerah tersebut,
sebanyak 36 daerah (12%) melaksanakannya tahun 2007, 257 daerah (87%) tahun
2008, dan sisanya sebanyak 3 daerah (1%) tahun 2009.
Wilayah-wilayah yang telah melaksanakan PP 41 tahun 2007 di tahun yang
sama dengan ditetapkannya PP tersebut (2007) terletak di provinsi NAD, Riau,
Bengkulu, Lampung, Kepulauan Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat dan Maluku. Kemudian, pada tahun 2008,
sebagian besar wilayah melaksanakan implementasi PP 41/2007 tersebut dengan
penetapan masing-masing Peraturan-Daerahnya.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV39

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
b. Keterkaitan PP 41 tahun 2007 dengan Peraturan Sektoral
Keterlambatan pelaksanaan restrukturisasi kelembagaan pemerintah
daerah tidak hanya terkait dengan sosialisasi dan diseminasi peraturan oleh
Pemerintah, melainkan pula karena kurang jelas/detailnya ketentuan yang diatur
dalam PP tersebut, atau bahkan dalam petunjuk teknis pelaksanaannya. Dan
ketika semua peraturan dan petunjuk teknis telah disosialisasikan kepada
daerah, muncul permasalahan baru yang terkait dengan tidak sikronnya
pengaturan dalam PP 41 tahun 2007 dengan peraturan perundangan sektoral,
yang mengamanatkan tiap daerah untuk membentuk suatu instansi daerah
dengan nomenklatur tertentu untuk menjalankan urusan pemerintahan yang
didelegasikan oleh kementerian lembaga terkait. Beberapa peraturan yang juga
mengatur mengenai kelembagaan pemerintah daerah (baik struktural maupun
non struktural), telah dijelaskan dalam Laporan Database tahun 2008.
Sehubungan dengan hal tersebut berikut ini akan dijelaskan beberapa
peraturan-perundangan terbaru (tahun 2008 2009) yang belum dijelaskan pada
laporan sebelumnya tersebut.
1. UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, terkait dengan
pembentukan Badan Promosi Pariwisata Indonesia (Bab X). Menurut UU 10
Tahun 2009, lembaga ini dibentuk di tingkat nasional dan daerah (provinsi
dan kabupaten/kota). Meskipun badan ini merupakan lembaga swasta yang
bersifat mandiri (Pasal 36), namun UU ini mengamanatkan
Pemerintah/Pemerintah Daerah untuk memfasilitasi pembentuan Badan
Promosi Pariwisata Indonesia yang berkedudukan di ibukota negara/ibukota
provinsi, kabupaten/kota. Selain itu, sumber pembiayaan lembaga ini antara
lain dapat bersumber dari APBN/APBD yang bersifat hibah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 42).
2. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, terkait dengan pembentukan
Badan Pertimbangan Kesehatan (Bab XVII), yang merupakan lembaga
independen, dengan ketentuan (Pasal 175 - 177) sebagai berikut :
a. Badan pertimbangan kesehatan berkedudukan di pusat dan daerah;

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV40

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
b. Badan pertimbangan kesehatan pusat yang kemudian dinamakan Badan
Pertimbangan Kesehatan Nasional berkedudukan di pusat
c. Badan pertimbangan kesehatan daerah (BPKD) berkedudukan di provinsi
dan kabupaten/kota.
d. Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, susunan organisasi dan
pembiayaan BPKN dan BPKD diatur dengan Peraturan Presiden.
3. UU No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga, terkait dengan pembentukan Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) (Bab IX:
Kelembagaan, Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 57) sebagai berikut:
a. Dalam rangka pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga
berencana di daerah, pemerintah daerah membentuk Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah yang selanjutnya
disingkat BKKBD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. (Pasal 54 (1))
b. BKKBD berkedudukan di ibu kota Provinsi dan Kabupaten/Kota. (Pasal 55
(2))
c. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi
BKKBD diatur dengan Peraturan Daerah. (Pasal 57 (3))
Pengaturan mengenai pembentukan kelembagaan di daerah terkait
dengan pelaksanaan urusan Pemerintah, tidak sepenuhnya diatur secara jelas
dan sinkron dengan PP 41 tahun 2007, mengingat beberapa peraturan
perundangan telah ditetapkan sebelum ditetapkannya PP Organisasi tersebut.
Meski demikian, beberapa peraturan perundangan seperti tersebut di atas,
menjelaskan mengenai posisi kelembagaan yang diminta, yaitu kelembagaan
non-struktural (Badan Pertimbangan Kesehatan dan Badan Promosi Pariwisata
Indonesia yang bersifat lembaga swasta/independen), yang berarti tidak
termasuk dalam kuota besaran organisasi seperti yang diatur dalam PP 41 tahun
2007, namun untuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah
(BKKBD) tidak ada pengaturan yang jelas terkait dengan struktur lembaga
tersebut meskipun pembentukannya melalui Peraturan Daerah (Perda).

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV41

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Selama perjalanan pelaksanaan PP tersebut, Pemerintah Pusat dan Daerah
telah banyak melaksanakan diskusi, sosialisasi dan diseminasi, sehingga saat ini
pelaksanaan PP 41 tahun 2007 tersebut dapat dilaksanakan dengan penyesuaian-
penyesuaian yang diperlukan. Meskipun menurut catatan Biro Organisasi
Depdagri, terdapat 296 daerah provinsi dan kabupaten/kota yang telah
melaporkan organisasi dan tata kerjanya sesuai dengan PP 41 tahun 2007, namun
berdasarkan informasi-informasi dari sumber situs web masing pemerintah
daerah dan keterangan lisan dari aparat pemerintah daerah terkait, dapat
dikatakan hampir seluruh daerah (provinsi, kabupaten/kota) telah menyesuaikan
organisasi dan tata kerjanya sesuai dengan PP 41 tahun 2007. Meskipun demikian
belum seluruh daerah tersebut melaporkan Perda-nya kepada Departemen
Dalam Negeri. Selain itu pihak Biro Organisasi Depdagri juga tidak lagi
memperbarui data-datanya sejak per-Mei 2009.
c. Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Dalam rangka menyediakan pelayanan kepada masyarakat, Pemerintah
harus mampu menjamin terpenuhinya hak dasar masyarkat di seluruh daerah
atas layanan dasar publik yang bersifat wajib. Untuk itu, dibutuhkan sebuah
standar minimal yang berlaku sama untuk seluruh daerah di Indonesia. Standar
ini memberikan petunjuk kepada seluruh daerah tentang jenis dan mutu
pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh
setiap warga secara minimal, serta digunakan sebagai salah satu indikator
kinerja penyelenggaraan pelayanan publik oleh daerah.
Sejak direvisinya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
menjadi UU No. 32 Tahun 2004, berbagai SPM yang telah terbit berdasarkan UU
No. 22 Tahun 1999 harus disesuaikan dengan UU No. 32 Tahun 2004. Sehubungan
dengan itu, telah diterbitkan :
1. PP No. 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar
Pelayanan Minimal pada tanggal 28 Desember 2005.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV42

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis
Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal sebagai peraturan
pelaksanaan dari PP 65/2005 pada tanggal 7 Februari 2007.
3. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 100.05 76 Tahun 2007 Tentang
Pembentukan Tim Konsultasi Penyusunan Standar Pelayanan Minimal pada
tanggal 7 Februari 2007. Tim Konsultasi SPM terdiri dari Departemen Dalam
Negeri, Departemen Keuangan, Kementrian PAN dan Bappenas yang
mempunyai tugas menyerasikan usulan-usulan SPM dari
Kementerian/Lembaga.
Dengan telah diterbitkannnya Pedoman dan Petunjuk Teknis (Juknis)
tentang SPM tersebut dan difasilitasinya penyusunan SPM di berbagai sektor
oleh Tim Konsultasi, maka, sampai saat ini (2009) telah diterbitkan SPM di bidang
kesehatan, lingkungan hidup, sosial, pemerintahan dalam negeri di
Kabupaten/Kota, dan perumahan rakyat. Adapun SPM untuk bidang
ketenagakerjaan, keluarga berencana, dan pemberdayaan perempuan telah
memasuki tahap akhir pembahasan di sidang DPOD.
Saat ini sedang disusun Peraturan Menteri Dalam Negeri Tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) berdasarkan
Analisis Kemampuan dan Potensi Daerah.
4.2.4. Program Peningkatan Profesionalisme Aparat Pemerintah Daerah
Berdasarkan hasil Evaluasi Pertengahan (Mid-Term) Pelaksanaan RPJMN 2004-
2009 Bidang Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah serta
Database Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah yang dilakukan oleh Ditjen
Otda Bappenas pada Tahun 2008, maupun sejumlah dokumen lainnya, diperoleh
gambaran mengenai pelaksanaan dari program peningkatan profesionalisme
aparat pemerintah daerah dalam Bab 13 RPJMN 2005-2009 sebagaimana
diuraikan berikut.
Hasil dari sejumlah kajian yang tersedia, memberikan informasi bahwa dalam
program peningkatan profesionalisme aparat pemerintah daerah, program-
program yang belum begitu mendapat perhatian adalah program penyusunan

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV43

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
peraturan perundang-undangan daerah, pedoman dan standar kompetensi
aparatur pemerintah daerah; program penyusunan rencana pengelolaan aparatur
pemerintah daerah termasuk sistem rekruitmen yang terbuka, mutasi dan
pengembangan pola karir; serta program peningkatan etika kepemimpinan
daerah. Adapun program-program yang sudah relatif terlaksana adalah program
fasilitasi penyediaan aparat pemerintah daerah, mutasi dan kerjasama aparatur
pemerintah daerah; serta program fasilitasi pengembangan kapasitas aparatur
pemerintah daerah dengan prioritas peningkatan kemampuan dalam pelayanan
publik seperti kebutuhan dasar masyarakat, keamanan dan kemampuan di dalam
menghadapi bencana, kemampuan penyiapan rencana strategis pengembangan
ekonomi (lokal), kemampuan pengelolaan keuangan daerah, dan penyiapan
strategi investasi.
Sedangkan dalam laporan database Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas, 2009 diperoleh gambaran profi aparatur
Pemerintah Daerah sebagai berikut:
Berdasarkan data dari BKN tahun 2009, bahwa jumlah keseluruhan aparatur
pemerintah daerah di Indonesia (tidak termasuk pegawai negeri sipil pusat)
mencapai 3,5 juta personel. Nilai tersebut hanya sebanyak 1,51% dari
jumlah penduduk Indonesia. Distribusi aparatur pemerintah daerah
berdasarkan tingkatan pemerintahan ditunjukkan pada gambar di bawah ini,
beserta perkembangannya sejak tahun 2002 sampai tahun 2009.
Tahun 2008 dan 2009 terjadi peningkatan jumlah aparatur yg lebih tinggi
daripada tahun-tahun sebelumnya, terutama untuk aparatur/kepegawaian di
tingkat kabupatan dan kota. Peningkatan jumlah aparatur/kepegawaian,
khususnya pada pemerintah kabupaten dan kota nampaknya dipengaruhi oleh
peningkatan jumlah pemekaran wilayah (daerah otonom baru/DOB) pada tahun
2007-2008, sedangkan pada periode tahun 2004-2006 tidak terdapat
pembentukan daerah otonom baru (DOB).

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV44

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009

Gambar 4.1
Perkembangan Jumlah Aparatur Pemda
0
500,000
1,000,000
1,500,000
2,000,000
2,500,000
3,000,000
3,500,000
4,000,000
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Total
Provinsi
Kabupaten
Kota

Sumber : BKN, 2002-2009
Persebaran aparatur pemerintah daerah di Indonesia berdasarkan Pulau-
pulau besar dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Empat Puluh Dua Persen
(42%) aparatur pemda di Indonesia berada di Pulau Jawa, sedangkan sisanya
berturut-turut 26% di wilayah Sumatera, 12% di wilayah Sulawesi, 8% di wilayah
Kalimantan, serta 7% di Bali-Nusa Tenggara dan 5% di Maluku-Papua. Mengingat
konsentrasi penduduk di Pulau Jawa, maka pola persebaran ini dapat
diasumsikan mengikuti beban pelayanan umum kepada masyarakat, tetapi tidak
mengikuti rentang kendali atau jangkauan pelayanannya (luas wilayah).
Seperti halnya Grand Design Penataan Daerah yang belum dirumuskan
untuk menentukan jumlah wilayah administrasi pemerintahan ideal/optimal di
Indonesia, pedoman manajemen kepegawaian di daerah juga belum menentukan
standar ideal/optimal jumlah aparatur pemerintah. Walaupun telah terdapat
beberapa kajian mengenai komposisi aparatur pemda ideal berdasarkan beban
kerja atau variabel lainnya, namun Pemerintah belum menentukan acuan yang
seharusnya dipakai oleh Pemerintah Daerah.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV45

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Kecenderungan pola ketersediaan aparatur pemerintah daerah
(provinsi dan kabupaten/kota) hingga pertengahan tahun 2009 sebagaimana
gambar di bawah ini adalah antara rata-rata 91.296 personel di wilayah
Sumatera, 276.284 personel di wilayah Jawa (tanpa DKI), 73.761 personel di
wilayah Kalimantan, 68.972 personel di wilayah Sulawesi, 86.567 personel
di wilayah Bali-Nusa Tenggara, serta 40.283 personel di wilayah Maluku-
Papua. Daerah Otonom Baru di Maluku dan Papua yang pada umumnya
mempengaruhi rata-rata jumlah aparaturnya ternyata lebih sedikit dibandingkan
di Nusa Tenggara, mengingat DOB yang dibentuk hingga tahun 2009 belum
memiliki aparatur sesuai dengan yang dibutuhkan.
Gambar 4.2
Persebaran Aparatur Pemerintah Daerah (Prov & Kab/Kota) di Indonesia












.
Perbedaan karakteristik ketersediaan aparatur pemerintah daerah di tiap
tingkatan pemerintahan di Indonesia (Provinsi, Kabupaten dan Kota), ditunjukkan
pada tabel di bawah ini. Sebagai pelayan publik, aparatur pemerintah daerah
selama ini dinilai terkait erat dengan penduduk yang dilayani, sehingga rasio
jumlah aparatur pemerintah daerah terhadap jumlah penduduk sering digunakan
sebagai indikator tingkat pelayanan publik di daerah. Jika dilihat secara agregat
Sumber:BKN,2009

10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
Maluku Malut Pabar Papua

50,000
100,000
150,000
200,000
S
u
lu
t
S
u
lt
e
n
g
S
u
l
s
e
l
S
u
l
t
r
a
G
o
r
o
n
t
a
l
o
S
u
lb
a
r

10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
70,000
80,000
Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim

20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
Bali NTB NTT

50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
N
A
D
S
u
m
u
t
S
u
m
b
a
r
R
i
a
u
J
a
m
b
i
S
u
m
s
e
l
B
e
n
g
k
u
l
u
L
a
m
p
u
n
g
B
a
b
e
l
K
e
p
r
i

50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
300,000
350,000
400,000
450,000
D
K
I
J
a
k
a
r
t
a
J
a
b
a
r
J
a
t
e
n
g
D
I
Y
J
a
t
im
B
a
n
t
e
n

10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
Maluku Malut Pabar Papua

50,000
100,000
150,000
200,000
S
u
lu
t
S
u
lt
e
n
g
S
u
l
s
e
l
S
u
l
t
r
a
G
o
r
o
n
t
a
l
o
S
u
lb
a
r

10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
70,000
80,000
Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim

20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
Bali NTB NTT

50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
N
A
D
S
u
m
u
t
S
u
m
b
a
r
R
i
a
u
J
a
m
b
i
S
u
m
s
e
l
B
e
n
g
k
u
l
u
L
a
m
p
u
n
g
B
a
b
e
l
K
e
p
r
i

50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
300,000
350,000
400,000
450,000
D
K
I
J
a
k
a
r
t
a
J
a
b
a
r
J
a
t
e
n
g
D
I
Y
J
a
t
im
B
a
n
t
e
n

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV46

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
se-Indonesia tahun 2009, jumlah aparatur pemerintah kabupaten mencapai
1,13% dari jumlah penduduk kabupaten, sedangkan aparatur pemerintah
kota hanya 0,25% dari jumlah penduduknya. Dan rasio aparatur pemerintah
provinsi adalah yang paling kecil, yaitu 0,14% dari jumlah penduduknya.
Jumlah agregat aparatur pemerintah Indonesia tersebut meningkat
dibandingkan jumlah aparatur tahun sebelumnya.
Pola ini secara kasar tidak mencerminkan hubungan positif antara rasio
jumlah aparatur pemerintah daerah terhadap jumlah penduduk dengan tingkat
pelayanan publik daerah. Pada kenyataannya, wilayah kota cenderung memiliki
kualitas pelayanan publik yang lebih baik dibandingkan dengan tingkat
pelayanan publik di kabupaten, mengingat rentang kendali yang lebih pendek
dan fasilitas/infrastruktur dasar yang lebih maju. Oleh karena itu, penilaian
terhadap kualitas pelayanan publik tidak dapat dilihat hanya berdasarkan
rasio jumlah aparatur dengan jumlah penduduk yang dilayani. Mengingat
fungsi manajemen serta sistem birokrasi di tiap daerah akan lebih
mempengaruhi kualitas pelayanan publik, dibandingkan sekedar kuantitas
perangkat daerah yang diasumsikan melayani satu persatu masyarakat
memenuhi kebutuhannya. Selanjutnya dibutuhkan kajian yang lebih mendalam
untuk dapat melihat keterkaitan ini dan merumuskan indikator yang paling sesuai
dan representatif terhadap tingkat/kualitas pelayanan publik daerah.
Tabel 4.6
Statistik Aparatur Pemerintah Daerah Berdasarkan Tingkat Pemerintahan
Variabel Provinsi Kabupaten Kota
Jumlah aparat Pemda 316.224 2.611.963 575.658
% dari penduduk Ind. 0,14 % 1,13 % 0,25 %
Rata-rata 7.390* 6.984 6.396
Sebaran data 910 24.013 15 31.380 556 24.704
Terendah Papua Barat Kab. Yalimo, Papua Kota Kotamobagu, Sulawesi
Utara
Tertinggi Jatim Kab. Bandung, Jabar Kota Bandung, Jabar
Tertinggi kedua Jateng
(18.639)
Kab. Garut, Jabar
(121.146)
Kota Surabaya, Jatim (20.533)
Total se-Indonesia 3.503.845
% dari penduduk Ind.
1,51 %

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV47

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Variabel Provinsi Kabupaten Kota
Rasio thd Jumlah
Penduduk
1 : 66
*Tanpa DKI Jakarta, karena jumlah aparat pemda DKI:79.760 (pencilan)


Tabel 4.7
Statistik Aparatur Pemerintah Daerah Berdasarkan Klasifikasi Wilayah

Variabel Sumatera-Jawa-Bali Kalimantan-Sulawesi NT-Maluku-Papua
Jumlah aparat Pemda
2.371.422 708.877 343.786
% dari penduduknya 1,31% 2,38 % 2,42%
Rata-rata Prov. 9.194* 5.901 5.059
Rata-rata Kab. 9.089 5.117 3.817
Rata-rata Kota 6.813 5.884 4.711
Sebaran data Prov. 1.399 24.013 1.495 10.273
910 - 7100
Sebaran data Kab. 1.086 31.380 331 14.850
15 12.944
Sebaran data Kota 1.316 24.704 556 14.605
1.246 8.455
Terendah
Provinsi Kepri
Kab. Bandung Barat,
Jabar
Kota Subussalam, NAD
Provinsi Sulawesi Barat
Kab. Tanah Tidung,
Kaltim
Kota Kotamobagu, Sulut
Provinsi Papua Barat
Kab. Yalimo, Papua
Kota Tual, Maluku
Tertinggi
Provinsi Jawa Timur
Kab. Bandung, Jabar
Kota Bandung
Provinsi Sulsel
Kab. Kutai Kartanegara
Kota Makassar
Provinsi NTB
Kab. Lombok Timur, NTB
Kota Ambon
*Tanpa DKI Jakarta, karena jumlah aparat pemda DKI: 79.760

Berdasarkan nilai sebaran data jumlah aparatur pemerintah daerah pada
tabel di atas, terlihat bahwa nilai rentang terkecil dan terbesar berada pada
wilayah kabupaten. Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, maka pada tahun
2008-2009 masih terjadi ketimpangan dimana ketimpangan yang terjadi bukan
sekedar antar wilayah kota dengan kabupaten, melainkan antar wilayah
kabupaten sendiri terjadi ketimpangan yang cukup besar (terutama
berdasarkan ketersediaan pelayan publik dan infrastruktur). Karakteristik
wilayah yang berpengaruh terhadap kondisi ini antara lain jenis bentangan
alam yang dominan di tiap kabupaten (dataran rendah, kepulauan, dataran
tinggi, hutan, dsb), yang lebih variatif dibandingkan dengan wilayah kota yang
cenderung seragam. Perbedaan bentang alam tersebut berpengaruh terhadap
jangkauan dan rentang kendali pelayanan publik, terutama menyangkut jarak
terhadap pusat kota, jenis transportasi, biaya perjalanan, serta jenis pelayanan
yang difokuskan, yang belum sepenuhnya menjadi pertimbangan penentuan

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV48

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
kebijakan (selama ini cenderung berdasarkan pemisahan Jawa-Madura dengan
luar Jawa).
Peningkatan profesionalisme aparat pemerintah daerah, yang merupakan
salah satu program dalam Bab 13 RPJMN 2004-2009 mengenai Revitalisasi Proses
Desentralisasi dan Otonomi Daerah, sangat terkait dengan kinerja dan
kemampuan aparat pemerintah daerah dalam menjalankan urusan pemerintahan.
Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menilai kemampuan aparat
pemerintah daerah tersebut adalah berdasarkan tingkat pendidikan tiap
pegawai, walaupun jenjang pendidikan yang tinggi tidak selalu sepenuhnya
mengindikasikan kinerja yang baik.

Gambar 4.3
Proporsi dan Persebaran Aparatur Pemda Berdasarkan Tingkat Pendidikan















Sumber : BKN, 2009



Berdasarkan proporsinya, komposisi aparat pemerintah daerah adalah 6%
berpendidikan maksimal SLTP, 37% berpendidikan SLTA, 29%
berpendidikan Diploma, 28% berpendidikan S1 dan 1% berpendidikan
Pascasarjana (S2 dan S3). Berdasarkan kondisi tersebut, dapat disimpulkan
bahwa kegiatan pemerintahan daerah mayoritas bersifat administratif, karena

50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
300,000
350,000
400,000
450,000
500,000

N
.

A
c
e
h

D
a
r
u
s
s
a
l
a
m

S
u
m
a
t
e
r
a

U
t
a
r
a

S
u
m
a
t
e
r
a

B
a
r
a
t

R
i
a
u

J
a
m
b
i

S
u
m
a
t
e
r
a

S
e
l
a
t
a
n

B
e
n
g
k
u
l
u

L
a
m
p
u
n
g

K
e
p
.

B
a
n
g
k
a

B
e
l
i
t
u
n
g

K
e
p
u
l
a
u
a
n

R
i
a
u

D
K
I

J
a
k
a
r
t
a

J
a
w
a

B
a
r
a
t

J
a
w
a

T
e
n
g
a
h

D
I

Y
o
g
y
a
k
a
r
t
a

J
a
w
a

T
i
m
u
r

B
a
n
t
e
n

B
a
l
i
N
u
s
a

T
e
n
g
g
a
r
a

B
a
r
a
t
N
u
s
a

T
e
n
g
g
a
r
a

T
i
m
u
r

K
a
l
i
m
a
n
t
a
n

B
a
r
a
t

K
a
l
i
m
a
n
t
a
n

T
e
n
g
a
h

K
a
l
i
m
a
n
t
a
n

S
e
l
a
t
a
n

K
a
l
i
m
a
n
t
a
n

T
i
m
u
r

S
u
l
a
w
e
s
i

U
t
a
r
a

S
u
l
a
w
e
s
i

T
e
n
g
a
h

S
u
l
a
w
e
s
i

S
e
l
a
t
a
n

S
u
l
a
w
e
s
i

T
e
n
g
g
a
r
a

G
o
r
o
n
t
a
l
o

S
u
l
a
w
e
s
i

B
a
r
a
t

M
a
l
u
k
u

M
a
l
u
k
u

U
t
a
r
a

P
a
p
u
a

B
a
r
a
t

P
a
p
u
a
S2&S3
S1
Diploma
SLTA
<SLTA
0.87%
28.22%
28.81%
36.53%
5.57%
<SLTA
SLTA
Diploma
S1
S2&S3
Total Indonesia
Persebaran Tiap Provinsi

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV49

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
kompetensi lulusan SLTA dan Diploma lebih kepada hal tersebut. Jika dikaitkan
dengan kebijakan untuk memangkas birokrasi pemerintahan di Indonesia, maka
dapat disimpulkan bahwa kondisi aparatur pemerintah daerah belum
menggambarkan dukungan terhadap kebijakan tersebut. Hal ini juga terkait
dengan terus meningkatnya jumlah aparatur pemerintah daerah dari tahun ke
tahun melalui rekruitmen calon pegawai negeri sipil (CPNS) baru, baik dari
personal baru maupun pengangkatan tenaga honorer.
Proporsi jumlah aparatur pemerintah daerah yang berpendidikan S1 dan
Diploma, berdasarkan data di atas, cenderung berimbang, yaitu sekitar 28%. Jika
jumlah kedua kategori ini digabungkan, maka proporsinya akan lebih besar
dibandingkan dengan aparatur dengan latar belakang pendidikan maksimal
SLTA (SD, SMP, SLTA). Dengan asumsi bahwa terdapat kemiripan antara
kompetensi lulusan S1 dengan Diploma, maka secara keseluruhan dominasi
kualitas personel tidak lagi pada tingkatan SLTA, melainkan pada kelompok
pendidikan ini. Sedangkan jumlah aparatur pemerintah daerah yang
berbendidikan pasca sarjana (S2-S3) seperti halnya tahun-tahun sebelumnya
merupakan golongan yang paling sedikit, bahkan kurang dari 1 (satu) persen.
Namun seiring dengan tuntutan peningkatan kinerja, kemampuan, dan
kompetensi aparat pemerintah daerah dalam menjalankan urusan pemerintahan,
maka di masa mendatang jumlah aparatur pemerintah yang berlatar pendidikan
pasca sarjana tersebut diharapkan akan terus meningkat sesuai dengan
kebutuhan yang ada.
Gambar 4.4
Perkembangan Jumlah Aparatur Pemerintah Daerah 2002-2009
Berdasarkan Tingkat Pendidikan

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV50

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009

Terkait dengan program peningkatan kapasitas aparatur pemerintah
daerah, berdasarkan gambar di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat
peningkatan jumlah yang cukup signifikan, untuk semua jenjang, kecuali
pasca sarjana dari tahun 2007 hingga 2009. Hal ini berarti bahwa fokus
pemerintah daerah belum sampai pada peningkatan kualitas pegawai hingga
jenjang ini, mengingat jenjang pendidikan ini bukan jaminan atas meningkatnya
kinerja pegawai, melainkan lebih dibutuhkan untuk tingkatan manajemen
pemerintahan. Selain itu kemungkinan aparatur berpendidikan S3 di daerah yang
pensiun ternyata tidak tergantikan oleh personel lain yang berpendidikan sama.
Masih terlihat adanya ketimpangan antar pulau di Indonesia. Pulau Jawa
masih menjadi peringkat tertinggi atas kualitas aparatur pemerintah daerah,
dilihat dari jenjang pendidikannya. Sedangkan Kawasan Timur Indonesia,
terutama Maluku dan Papua menjadi peringkat terakhir berdasarkan kategori
tersebut. Namun di sisi lain, kebutuhan pemerintahan daerah terhadap aparat
dengan jenjang pendidikan S2 dan S3 sangat bergantung pada karakteristik
wilayah dan struktur kelembagaan, yang sangat memungkinkan untuk berbeda
antar wilayah yang satu dengan yang lain. Sampai saat ini pula, belum ada suatu
formula komposisi yang tepat untuk penyusunan formasi pegawai berdasarkan
tingkat pendidikan, kecuali berdasarkan kompetensi jabatan (jabatan struktural).
Selain itu, yang juga seharusnya menjadi perhatian adalah aparatur pemerintah

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV51

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
daerah yang berlatar pascasarjana (S2 dan S3) yang memasuki masa pensiun
ternyata kurang dapat diimbangi dengan aparatur baru pengganti yang berlatar
belakang sama tersebut sehingga pada tahun 2009 jumlah aparatur pemerintah
daerah berpendidikan S2 dan S3 justru menurun dibandingkan tahun 2007
4.2.5. Program Pengembangan Kapasitas Keuangan Daerah
Pengelolan keuangan daerah, juga tidak terlepas dari beberapa peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya. Terkait dengan hal tersebut, dalam
pengelolaan keuangan Pemda, terdapat hasil-hasil yang telah dicapai selama 5
(lima) tahun terakhir ini atau atas pelaksanaan RPJMN 2004 - 2009, diantaranya
adalah telah disusun dan diterbitkan beberapa peraturan-perundangan terbaru
terkait dengan pelaksanaan dan pengelolaan keuangan daerah, sekaligus
menampung implikasi lahirnya peraturan perundang-undangan sebelumnya.
Peraturan perundangan yang telah disusun dan diterbitkan hingga tahun 2009 ini
terdiri dari 1 (satu) UU, 11 (sebelas) PP, 26 (dua puluh enam) Permendagri, 1
(satu) Peraturan Bersama Menteri, dan 1 (satu) Draft RUU, diantaranya adalah:
i. Undang-Undang:
(1) UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
ii. Peraturan Pemerintah (PP)
(1) PP. No. 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan
Pimpinan dan Anggota DPRD;
(2) PP. No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah;
(3) PP. No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah;
(4) PP. No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan
(5) PP. No. 57 Tahun 2005 Tentang Hibah Kepada Daerah;
(6) PP. No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;
(7) PP. No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
sebagaimana telah diubah menjadi PP No. 38 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah;
(8) PP. No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi
Pemerintah;

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV52

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
(9) PP. No. 21 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas PP. No. 24 Tahun
2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan
Anggota DPRD;
(10) PP. No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan;
(11) PP No. 45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan
Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah;
(12) PP No. 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah;
iii. PeraturanMenteri (Permen)
(1) Permendagri No. 2 Tahun 2005 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan
Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Tahun 2006;
(2) Permendagri No. 3 Tahun 2005 tentang Pedoman Penetapan Nomor Kode
Kendaraan Bermotor;
(3) Permendagri No. 7 Tahun 2006 tentang Standarisasi Sarana dan Prasarana
Kerja Pemerintahan Daerah;
(4) Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah;
(5) Permendagri No. 22 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengolaan Bank
Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah;
(6) Permendagri No. 23 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara'"
Pengaturan Tarif Air Minum pada Perusahaan Daerah Air Minum;
(7) Permendagri No. 2 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Kepegawaian
Perusahaan Daerah Air Minum;
(8) Permendagri No. 9 tahun 2007 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan
Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Tahun 2007;
(9) Permendagri No. 10 tahun 2007 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan
Pajak Kendaraan di atas Air Tahun 2007;
(10) Permendagri No. 16 Tahun 2007 tentang Tatacara Evaluasi Rancangan
Perda tentang APBD dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang
Penjabaran APBD;
(11) Permendagri No. 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Barang Milik Daerah;

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV53

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
(12) Permendagri No. 21 Tahun 2007 tentang Pengelompokan Kemampuan
Keuangan Daerah, Penganggaran dan Pertanggungjawaban Penggunaan
Belanja Penunjang Operasional Pimpinan DPRD serta Tatacara
Pengembalian Tunjangan Komunikasi Intensif dan Dana Operasional;
(13) Permendagri No. 30 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah tahun anggaran 2008;
(14) Permendagri No. 44 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Belanja
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
(15) Permendagri No. 59 Tahun2007 tentang Perubahan atas Permendagri No.
13 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
(16) Permendagri No. 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK BLUD);
(17) Permendagri No. 65 Tahun 2007 tentang Pedoman Evaluasi Rancangan
Peraturan Daerah tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD dan
Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD;
(18) Permendagri No. 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Reviu Atas
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah;
(19) Permendagri No. 22 Tahun 2008 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan
Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Tahun 2008;
(20) Permendagri No. 23 Tahun 2008 tentang Perhitungan Dasar Pengenaan
Pajak Kendaraan Di Atas Air dan Bea Balik Nama Kendaraan Di Atas Air
Tahun 2008;
(21) Permendagri No. 26 Tahun 2008 Tentang Penghitungan Dasar Pengenaan
Pajak, Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Yang Belum Tercantum dalam Permendagri No. 22 Tahun 2008 tentang
Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor Tahun 2008;
(22) Permendagri No. 32 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2009;
(23) Permendagri No. 40 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas
Permendagri No. 26 Tahun 2008 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV54

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Pajak, Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Yang Belum Tercantum dalam Permendagri No. 22 Tahun 2008 tentang
Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor Tahun 2008;
(24) Permendagri No. 55 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Penatausahaan Dan
Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Serta
Penyampaiannya;
(25) Permendagri No. 20 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan DAK di daerah;
(26) Permendagri No. 25 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2010.
(27) Peraturan Bersama Kapolri, Menteri Keuangan dan. Menteri Dalam Negeri
tentang Kerjasama Pelayanan Pendaftaran Kendaraan Bermotor dalam
Pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan Pemberian Surat
Tanda Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor,
Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor dan Sumbangan Wajib Dana
Kecelakaan Lalu Lintas Jalan melalul SAMSAT;
iv. Draft UU
(1) Draft RUU tentang Badan Usaha Milik Daerah, telah disampaikan ke
Departemen Hukum dan HAM;
Instrumen utama yang digunakan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal
adalah pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut
pajak (taxing ower) dan Transfer ke Daerah. Mengingat bahwa kewenangan
pemerintah daerah untuk memungut pajak daerah masih sangat terbatas, maka
diperlukan penguatan taxing power daerah. Upaya tersebut saat ini mulai dapat
direalisasikan setelah disusun dan disahkannya UU No. 28 Tahun 2009 Tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Transfer ke Daerah direalisasikan dalam
bentuk transfer Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian.
Dana Perimbangan terdiri dari DBH, DAU, dan DAK, yang merupakan komponen
terbesar dari Transfer ke Daerah. Alokasi Transfer ke Daerah terus meningkat
dan disertai diskresi yang luas bagi daerah untuk menggunakan dana tersebut.
a. Pengelolaan Dana Perimbangan

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV55

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Pemerintah telah mengalokasikan total dana sebagaimana dalam APBN-P 2009
sebesar 1.006,7 triliun rupiah. Dari angka sebesar itu 40,8% atau Rp. 400,2 triliun
merupakan belanja Pemerintah di tingkat Pusat; 12% atau Rp. 120,6 triliun
merupakan belanja Pemerintah di daerah; kemudian 30,8% atau Rp. 309,6 triliun
merupakan dana transfer ke daerah; 14% atau Rp. 140,3 triliun merupakan
subsidi; dan Rp. 35 triliun merupakan dana bantuan ke masyarakat.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV56

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009

Gambar 4.5.
Alokasi Belanja pada RAPBN-P 2009 (Triliun Rupiah)












Sumber: Departemen Keuangan, 2009

Berdasarkan gambar di atas, untuk dana Transfer ke Daerah, direalisasikan
dalam bentuk transfer Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan
Penyesuaian. Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH),Dana Alokasi
Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Alokasi Transfer ke Daerahterus
meningkat seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
yang dimulai sejak tahun 2001. Misalnya, pada tahun 2005 alokasi Transfer ke
Daerah sebesar Rp150,5 triliun dan terus meningkat hingga menjadi Rp309,6
triliun pada RAPBN-P tahun 2009 tersebut. Selain dana Transfer ke Daerah,
belanja di daerah bisa lebih besar lagi bila memperhitungkan belanja
Pemerintah di daerah melalui mekanisme Dana Dekonsentrasi, Tugas
Pembantuan, dan dana vertikal. Kemudian juga dengan memperhitungkan
alokasi subsidi pemerintah dan bantuan ke masyarakat yang juga akan
dibelanjakan di daerah. Dengan demikian, dana yang akan dibelanjakan di
daerah dapat mencapai kurang lebih 60,2 persen dari total belanja RAPBN-P
Tahun 2009.
400,2; 39,79%
120,6; 11,99%
309,6; 30,78%
140,3; 13,95%
35; 3,48%
Alokasi Belanja pada RAPBN-P 2009
(Trilun Rupiah)
Belanja Pusat di Pusat
Belanja Pusat di Daerah
Transfer ke Daerah
Subsidi
Bantuan ke Masyarakat
TotalBelanja:1.006,7Triliun

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV57

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Sejak tahun 2008, pemberian DAU memang telah berhasil menghilangkan
prinsip hold harmless. Tetapi formula yang dipakai dalam penentuan DAU saat ini
masih mengikutsertakan belanja pegawai dalam penghitungan. Kemudian
penghitungan kebutuhan fiskal saat ini masih belum menggunakan pendekatan
kebutuhan yang sebenarnya. Kemudian, seiring dengan menguatnya kebutuhan
untuk pemenuhan berbagai program prioritas nasional besarnya alokasi DAK
meningkat menjadi 21.202 miliar pada tahun 2008. Namun, besarnya alokasi DAK
tersebut hanya sebesar 8.05% dari total dana perimbangan. Jumlah bidang DAK
terus diperluas, pada tahun 2008 telah menjadi 11 sektor dan akan terus
bertambah memfasilitasi pemindahan dana yang selama ini menjadi Dana
Dekonsentrasi sehingga ada kecenderungan terjadinya fragmentasi. Proporsi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap anggaran daerah sekarang ini masih
tetap rendah dengan rata-rata di tingkat kabupaten/kota tidak lebih dari 18%.
Kecilnya proporsi PAD tersebut membuat banyak daerah mengeluarkan
peraturan pajak dan retibusi yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Gambar 4.6.
Perkembangan Total Anggaran Pemerintah Daerah dan Pendapatan Asli
Daerah (PAD_ Tahun 2005 - 2009











Sumber: Departemen Keuangan, 2009
Angka 2009 merupakan angka sementara

0
50.000
100.000
150.000
200.000
250.000
300.000
350.000
400.000
Realisasi
2005
Realisasi
2006
Anggaran
2007
Anggaran
2008
Anggaran
2009
2
3
2
.
1
6
8
,
4
8
2
8
4
.
4
8
7
,
3
4
3
0
6
.
0
3
9
,
3
3
3
4
6
.
3
6
9
,
3
1
3
6
4
.
4
2
9
,
7
1
40.312,03 44.755,78 47.339,41 53.915,57 61.961,25
J
u
m
l
a
h
(
R
p
.
m
i
l
i
a
r
)
Anggaran PAD

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV58

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Dari gambar di atas menjelaskan bahwa total APBD daerah (provinsi,
kabupaten, kota) dari tahun ke tahun memperlihatkan trend yang terus
meningkat. Misalnya pada tahun 2005 sebesar 232,17 triliun meningkat menjadi
364,43 triliun pada tahun 2009. Demikian pula dari besaran anggaran tersebut
diantaranya adalah berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang juga meningkat
dari Rp. 40, 31 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp. 61,96 triliun pada tahun 2009.
Meskipun demikian, angka PAD tersebut dibandingkan total anggaran yang
diterima daerah tidak beranjak hanya sebesar 15% - 18% dari total APBD dalam
rentang waktu tahun 2005 -2009. Dengan demikian sebagian besar komponen
anggaran daerah masih mengandalkan Transfer ke Daerah dari pemerintah
pusat. Sedangkan PAD memang masih memiliki kontribusi kecil terhadap
keseluruhan anggaran pemerintah daerah.
Tabel 4.8.
Rincian Alokasi Dana Perimbangan dan Dana Otsus & Penyesuaian
Sumber: Departemen Keuangan, 2009, diolah

Peningkatan Dana Perimbangan dari tahun 2005 - 2010 rata-rata sebesar 2,69% hingga
55,1%. Peningkatan tertinggi sebesar 55,1% terjadi pada tahun 2006 sebagai akibat dari
peningkatan secara signifikan dari Dana Alokasi Khusus (DAK) yang mencapai hampir
200% dari sebesar Rp. 3,977 triliun tahun 2005 menjadi Rp. 11,566 triliun pada tahun 2006.
Sedangkan Dana Alokasi Umum (DAU) pada tahun 2006 juga meningkat cukup signifikan
sebesar 64,1% atau dari Rp. 88,765 triliun tahun 2005 menjadi Rp. 145,664 triliun tahun
2006. Setelah tahun 2006 peningkatan DAU berkisar 3 s.d. 13% dan DAK berkisar -17% s.d.
40%. Pada tahun 2010 alokasi anggaran untuk DAK justru menurun sekitar 17% atau hanya
sekitar Rp. 20,588 triliun dibandingkan tahun 2009 sebesar Rp. 24,255 triliun. Selanjutnya
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Dana
Perimbangan: 143.221 222.131 243.967 278.715 285.317 292.980
Dana Bagi Hasil
(DBH) 50.479 64.900 62.942 78.420 74.083 76.586
Dana Alokasi
Umum (DAU) 88.765 145.664 164.787 179.507 186.414 195.806
Dana Alokasi
Khusus (DAK) 3.977 11.566 16.238 20.787 24.820 20.588
Dana Otsus &
Penyesuaian 7.243 4.049 9.296 13.719 24.255 16.818

Jumlah 150.464 226.180 253.263 292.433 309.572 309.798

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV59

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
akan dijelaskan alokasi Dana Perimbangan tahun 2009 untuk masing-masing daerah
provinsi.
Gambar 4.7.
Perkembangan Dana Perimbangan dan Dana Otsus & Penyesuaian
Tahun 2005 - 2009










Sumber: Departemen Keuangan, 2009, diolah
Angka 2009 dan 2010 merupakan angka sementara

Gambar 4.8.
Perkembangan Dana Perimbangan, Tahun 2005 2010













0
50.000
100.000
150.000
200.000
250.000
300.000
350.000
2005 2006 2007 2008 2009 2010
143.221
222.131
243.967
278.715
285.317
292.980
7.243 4.049
9.296
13.719
24.255
16.818
Dana Perimbangan: Dana Otsus & Penyesuaian

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV60

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Gambar 4.9.
Anggaran Dana Perimbangan Provinsi Tahun 2009
(Juta Rupiah)













Sumber: Departemen Keuangan, 2009, diolah
Berdasarkan gambar di atas, mengambarkan bahwa Dana Perimbangan
tahun 2009 bagi 33 pemerintah provinsi, sebagian besar dialokasikan bagi
provinsi-provinsi di Jawa serta provinsi-provinsi yang memiliki kekayaan alam
terbesar di Indonesia.
b. Implementasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Sejalan dengan pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat,
kepada provinsi dan kabupaten/kota juga diberikan kewenangan untuk
memungut pajak dan retribusi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun
2009 tentang Perubahan atas UU Nomor
34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan undang-
undang tersebut, terdapat 16 jenis pajak daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan
11 jenis pajak kabupaten/kota. Berbeda dengan ketentuan dalam UU No. 28
Tahun 2009 yang memberi kesempatan kepada pemerintah kabupaten/kota
untuk memungut pajak selain yang ditetapkan dalam undang-undang selama
0
1.000.000
2.000.000
3.000.000
4.000.000
5.000.000
6.000.000
7.000.000
8.000.000
9.000.000
10.000.000
J
u
m
l
a
h

(
j
u
t
a

r
u
p
i
a
h
)
Anggaran Dana Perimbangan Provinsi Tahun 2009
(juta rupiah)

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV61

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
sesuai dengan potensi yang ada dan harus sesuai dengan kriteria pajak yang
ditetapkan dalam undang-undang, maka dalam UU No. 28 Tahun 2009, baik
pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota tidak diperkenankan lagi memungut
pajak selain dari yang telah ditentukan dalam UU 28 Tahun 2009 tersebut.
Sementara itu, retribusi daerah dikelompokkan menjadi tiga golongan
sesuai dengan jenis pelayanan dan perizinan yang diberikan, yaitu: (1) Retribusi
Jasa Umum, (2) Retribusi Jasa Usaha, dan (3) Retribusi Perizinan Tertentu.
Retribusi jasa umum adalah retribusi terhadap pelayanan yang wajib disediakan
oleh pemerintah daerah. Retribusi jasa usaha adalah retribusi terhadap
pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah karena pelayanan sejenis
belum memadai disediakan oleh swasta atau dalam rangka optimalisasi
pemanfaatan aset daerah. Retribusi perizinan tertentu adalah retribusi terhadap
pelayanan pemberian izin tertentu guna melindungi kepentingan umum dan
menjaga kelestarian lingkungan. Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009, terdapat 14
retribusi umum, 11 retribusi jasa usaha, dan 5 retribusi perizinan tertentu.
Secara nasional, peranan pajak daerah dan retribusi daerah dalam
penerimaan PAD sangat dominan, baik di tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota. Dalam tahun 20052008, PAD provinsi didominasi oleh
penerimaan pajak, sedangkan dalam PAD kabupaten/kota, kontribusi
penerimaan pajak tidak jauh berbeda dengan penerimaan retribusi. Oleh sebab
itu, dalam rangka meningkatkan PAD, pemerintah daerah cenderung untuk
memungut berbagai jenis pajak dan retribusi melalui penetapan Peraturan
Daerah (Perda) selain yang telah ditetapkan dalam undang-undang dan
peraturan pemerintah, meskipun hasilnya kurang signifikan.
Sehubungan dengan hal tersebut, sebagian besar Perda terkait dengan
pajak dan retribusi baru yang bermasalah telah dibatalkan oleh Pemerintah.
Pembatalan tersebut dilakukan juga karena tidak memenuhi kriteria
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pajak
daerah dan retribusi daerah. Namun demikian, terdapat beberapa retribusi yang
berkaitan dengan pelayanan administrasi, yang pengenaannya tidak bersifat
pajak belum dibatalkan, dengan pertimbangan untuk memberikan ruang bagi
daerah dalam meningkatkan penerimaan dan meningkatkan kualitas pelayanan
administrasi.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV62

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Hal-Hal Yang Mengakibatkan suatu Perda dibatalkan:
1. Bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.
2. Bertentangan dengan kepentingan umum.
3. Perda yang cenderung membebani masyarakat umum.
4. Perda yang cenderung menguntungkan pihak lain baik perseorangan maupun
golongan.
5. Perda yang menimbulkan berbagai masalah sosial kemasyarakatan yang
merugikan kehidupan masyarakat.
6. Perda yang berpotensi menimbulkan konflik sosial dan disintegrasi bangsa.

Tabel 4.9a dan 4.9b
Rekapitulasi Pembatalan Perda PDRD
Tahun Jumlah Perda Dibatalkan
2002 20
2003 106
2004 237
2005 127
2006 114
2007 173
2008 229
2009 *) 58
Jumlah 1064
*) Hingga Agustus 2009

Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, Depkeu

Berdasarkan hasil monitoring berbagai Peraturan Daerah (Perda) Pajak dan
Perda Retribusi dari seluruh daerah (provinsi, kabupaten/kota) yang dilakukan
oleh Ditjen Bina Administrasi Keuangan Daerah (BAKD) Departemen Dalam
Hasil Evaluasi
Jumlah Perda dan
Raperda yang
Dievaluasi
Batal Revisi Tidak Bermasalah Daerah
Perda Raperda Perda Raperda Perda Raperda Perda Raperda
1. Provinsi 530 112 156 5 1 57 373 50
2. Kabupaten 6511 1973 2180 257 98 1066 4233 650
3. Kota 2141 450 611 57 45 268 1485 125
Jumlah 9182 2535 2947 319 144 1391 6091 825

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV63

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Negeri, sampai dengan bulan Agustus 2009 terdapat 17.812 Perda (627 Perda di
tingkat provinsi dan 17.185 di tingkat kabupaten dan kota). Dari jumlah tersebut
terdiri dari 3.539 Perda Pajak dan 14.243 Perda Retribusi. Selanjutnya, dari
jumlah 17.812 Perda tersebut sudah diterima sebanyak 7.500 Perda untuk
dilakukan evaluasi, sisanya sebanyak 10.312 belum diterima. Dari Perda yang
telah dievaluasi, telah disetujui untuk dilaksanakan sebanyak 4.427 Perda dan
sisanya sebanyak 3.063 Perda direkomendasikan untuk dibatalkan atau direvisi.
Dari jumlah Perda yang direkomendasikan untuk dibatalkan atau direvisi
tersebut, telah ditetapkan pembatalannya melalui Surat Keputusan (SK) Menteri
Dalam Netgeri sebanyak 1.064 Perda, dan sisanya sebanyak 1.999 masih dalam
proses pembatalan.
Tabel 4.10
Rekapitulasi SK Mendagri tentang Pembatalan Perda PDRD
Tahun 2002 s.d. 2009












Sumber: Ditjen BAKD, Depdagri
Perda-Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang dibatalkan
melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri terdapat di hampir seluruh
daerah. Jumlah Perda yang paling banyak dibatalkan terdapat di Sumatera Utara
(111 Perda), kemudian di Jawa Timur (102 Perda) dan Sulawesi Selatan (64
Perda). Jika dilihat berdasarkan sektor, maka Perda yang dibatalkan paling
Sektor Perke
bunan
Peter
nakan
Pertania
n
Kehuta
nan
ESDM INDAG
Kopera
si UKM
Kelau
tan
Naker
Perhub
ungan
Komin
fo
Link.
Hidup
Pekerj.
Umum
Budpar
keseha
tan
Sumb.
Pihak 3
Lain2
Wilayah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
1 NAD 5 3 1 3 3 15
2 Sumut 12 6 5 6 13 15 3 7 2 14 7 4 6 2 4 5 111
3 Sumbar 4 6 6 3 7 7 1 1 35
4 Riau 4 1 1 3 4 7 2 4 7 2 4 2 1 42
5 Kepri 1 1 1 1 4
6 Jambi 4 1 10 3 1 4 1 10 3 1 38
7 Sumsel 4 2 4 4 1 2 5 2 1 1 26
8 Babel 1 3 1 2 1 2 2 1 1 1 15
9 Lampung 6 4 2 2 3 3 2 2 2 6 3 35
10 Bengkulu 3 4 2 4 3 3 2 21
11 DKI Jakarta 1 1
12 Jabar 4 4 1 10 4 12 4 2 7 9 2 1 1 61
13 Banten 2 4 1 1 1 2 6 2 1 20
14 Jateng 1 3 1 13 2 7 1 1 5 6 2 2 3 1 48
15 DIY 5 2 1 3 1 12
16 Jatim 15 2 11 14 9 2 6 31 2 2 1 1 1 5 102
17 Kalbar 2 5 8 3 2 2 5 1 28
18 Kalteng 3 1 13 1 5 4 2 2 9 1 1 4 2 1 49
19 Kalsel 5 4 5 5 4 1 4 4 1 1 34
20 Kaltim 1 5 1 2 6 3 1 8 6 2 1 36
21 Gorontalo 1 1 6 5 2 1 1 1 18
22 Sulut 1 1 1 2 2 6 3 1 5 2 1 2 27
23 Sulteng 2 3 5 7 14 1 3 7 2 1 1 1 47
24 Sulsel 4 12 5 2 16 3 6 2 8 1 2 1 2 64
25 Sulbar 1 1 2
26 Sultra 2 1 3 1 3 1 11
27 Bali 6 2 4 2 1 1 2 2 1 21
28 NTB 5 1 1 14 5 4 3 9 1 43
29 NTT 1 1 2 8 5 3 2 4 1 27
30 Maluku 1 1 1 2 2 3 1 1 12
31 Malut 1 1 1 2 1 4 2 12
32 Papua 2 1 1 5 2 2 2 1 2 1 1 20
33 Papua Barat 5 1 2 4 4 2 2 1 3 2 1 27
63 110 22 120 93 163 60 57 77 162 15 29 16 21 5 21 30 1064
No. Jumlah

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV64

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
banyak berasal dari sektor perindustrian dan perdagangan (163 Perda), sektor
perhubungan (162 Perda), sektor kehutanan (120 sektor) dan sektor peternakan
(110 sektor). Jumlah Perda PDRD tersebut yang akan dibatalkan nampaknya akan
bertambah mengingat hingga bulan Agustus 2009 masih ada 1.999 Perda yang
masih dalam proses pembatalan atau revisi.
4.2.6. Program Penataan Daerah Otonomi Baru
Pembentukan DOB sejak tahun 1999 sampai 2008 menunjukkan perkembangan
yang cukup signifikan, karena jumlah Provinsi di Indonesia meningkat sebesar
27%, jumlah Kabupaten meningkat sebesar 65%, dan jumlah Kota meningkat
sebesar 50%. Pada tahun 2005 Pemerintah untuk sementara waktu
menangguhkan pemekaran daerah, namun hingga akhir tahun 2006 gejolak
usulan pemekaran daerah terus berlanjut. Kebijakan penangguhan sementara
pemekaran daerah selama 2005-2006 sulit bertahan mengingat hingga saat ini
belum ada dasar yang kuat untuk itu, meskipun Depdagri menilai bahwa
perkembangan DOB belum optimal karena berbagai permasalahan atau
hambatan yang dihadapi (Depdagri 2005). Di samping itu, belum adanya
kebijakan pemerintah mengenai pembatasan jumlah daerah juga mendorong
daerah terus mengajukan pemekaran daerah. Dengan desakan yang kuat dari
daerah maka pada tahun 2007 dan 2008 terjadi lagi tambahan jurisdiksi daerah di
Indonesia.
Jumlah DOB di Indonesia sampai saat ini adalah 205 DOB, yang terdiri dari 7
Provinsi, 34 Kota dan 164 Kabupaten. Pada periode tahun 2008-2009, Pemerintah
menetapkan 32 DOB berdasarkan 32 Undang-undang sebagai berikut.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV65

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009

Gambar 4.10
Perkembangan Administrasi Kabupaten dan Kota Tahun 1998 sd 2008









Sumber: Otda-Depdagri dalam Laporan Evaluasi Pelaksanaan RKP Tahun
2008 oleh Direktorat Otonomi Daerah-Bappenas

Tabel 4.11.
Daerah Otonom Baru Tahun 2008 - 2009

NO DOB
DAERAH
INDUK
UU IBUKOTA
JUMLAH
PENDUDUK
(2007)
JUMLAH
KECA-
MATAN
LUAS
WILAYAH
(KM
2
)
PROVINSI SUMATERA UTARA
1 Kab. Labuhan
Batu Selatan
Kabupaten
Labuhan
Batu
22 Tahun
2008
Kota Pinang 250.173 5 3.596
2 Kab. Labuhan
Batu Utara
Kabupaten
Labuhan
Batu
23 Tahun
2008
Aek Kanopan 323.740 8 3570,982

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV66

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009

NO DOB
DAERAH
INDUK
UU IBUKOTA
JUMLAH
PENDUDUK
(2007)
JUMLAH
KECA-
MATAN
LUAS
WILAYAH
(KM
2
)
3 Kab. Nias
Utara
Kab. Nias 45 Tahun
2008
Lolofaoso 127.703 11 1.202,78
4 Kab. Nias
Barat
Kab. Nias 46 Tahun
2008
Onolimbu 84.181 8 473,379
5 Kota
Gunungsitoli
Kab. Nias 47 Tahun
2008
Gunungsitoli 118.392 6 280,78
PROVINSI JAMBI
6 Kota Sungai
Penuh
Kabupaten
Kerinci
25 Tahun
2008
Sungai Penuh 77.315 5 391,5
PROVINSI BENGKULU
7 Kab.
Bengkulu
Tengah
Kabupaten
Bengkulu
Utara
24 Tahun
2008
Karang Tinggi 93.557 6 1.223,94
PROVINSI RIAU
8 Kab. Kep.
Meranti
Kab.
Bengkalis
12 Tahun
2009
Selat Panjang 204.579 5 3.707,84
PROVINSI KEPULAUAN RIAU
9 Kab.
Anambas
Kabupaten
Natuna
33 Tahun
2008
Tarempa,
Siantan
41.341 6 590,14
PROVINSI LAMPUNG
10 Kab.
Pringsewu
Kab.
Tanggamus
48 Tahun
2008
Pringsewu 368.318 8 625,00
11 Kab. Mesuji Kab. Tulang
Bawang
49 Tahun
2008
Sidomulyo 188.999 7 2.184,00
12 Kab. Tulang
Bawang Barat
Kab. Tulang
Bawang
50 Tahun
2008
Panaragan 233.360 8 1.201,00
PROVINSI BANTEN
13


Kota
Tangerang
Sel.
Kab.
Tangerang
51 Tahun
2008
Ciputat 918.783 7 147,19
PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
14 Kab. Lombok
Utara
Kabupaten
Lombok
Barat
26 Tahun
2008
Tanjung 204.556 6 776,25
PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
15 Kab. Sabu
Raijua
Kab.
Kupang
52 Tahun
2008
Mania 72.190 6 460,54
PROVINSI SULAWESI UTARA
16 Kab. Bolaang
Mongondow
Timur
Kabupaten
Bolaang
Mongondo
w
29 Tahun
2008
Tutuyan 61.123 5 910,176
17 Kab. Bolaang
Mongondow
Selatan
Kabupaten
Bolaang
Mongondo
w
30 Tahun
2008
Bolaang Uki 54.751 5 1.615,86
PROVINSI SULAWESI TENGAH
18 Kab. Sigi Kabupaten
Donggala
27 Tahun
2008
Sigi Biromaru 203.898
(2005)
15 5.196,02

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV67

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009

NO DOB
DAERAH
INDUK
UU IBUKOTA
JUMLAH
PENDUDUK
(2007)
JUMLAH
KECA-
MATAN
LUAS
WILAYAH
(KM
2
)
PROVINSI SULAWESI SELATAN
19 Kab. Toraja
Utara
Kabupaten
Tana Toraja
28 Tahun
2008
Rantepao 219.428 21 1.215,55
PROVINSI MALUKU
20 Kab. Maluku
Barat Daya
Kabupaten
Maluku
Tenggara
Barat
31 Tahun
2008
Tiakur 66.627 8 4.581,06
21 Kab. Buru
Selatan
Kabupaten
Buru
32 Tahun
2008
Namrole 43.096 5 3.780,56
PROVINSI MALUKU UTARA
22 Kab. Pulau
Morotai
Kab.
Halmahera
Utara
53 Tahun
2008
Daruba 54.876 5 2.476
PROVINSI PAPUA BARAT
23 Kab.
Tambrauw
Kab. Kebur 56 Tahun
2008
Kebur 29.119 6 5.179,65
24 Kab. Maybrat Kab. Sorong 13 Tahun
2009
Kumurkek 27.919 6 5.461,690
PROVINSI PAPUA
25 Kab. Lanny
Jaya
Kabupaten
Jayawijaya
5 Tahun 2008 Tiom 89.332* 10 2.248
26 Kab.
Mamberamo
Tengah
Kabupaten
Jayawijaya
3 Tahun 2008 Kobakma 54.735* 5 1.275
27 Kab. Yalimo Kabupaten
Jayawijaya
4 Tahun 2008 Elelim 34.057* 5 1.253
28 Kab. Nduga Kabupaten
Jayawijaya
6 Tahun 2008 Kenyam 73.696* 8 2.168
29 Kab. Dogiyai Kabupaten
Nabire
8 Tahun 2008 Kigamani 51.805* 7 4.237,4
30 Kab. Puncak
Papua
Kabupaten
Puncak Jaya
7 Tahun 2008 Ilaga 60.294* 8 8.055
31 Kab. Intan
Jaya
Kab. Paniai 54 Tahun
2008
Yokatapa 41.163 6 3.922,02
32 Kab. Deiyai Kab. Paniai 55 Tahun
2008
Waghete 38.301 5 537,39
*tidak ada keterangan tahun.
Sumber : Ditjen Otda-Depdagri dan UU Pembentukan Wilayah (DOB)

Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa pada periode tahun 2008-2009
terbentuk 32 DOB yang terdiri dari 29 Kabupaten dan 3 Kota. Pemekaran wilayah
yang terjadi pada tahun 2008-2009 terkonsentrasi di Kawasan Timur Indonesia
(Nusa Tenggara-Maluku-Papua), sebesar 47%. Sisanya adalah 37,5% di Sumatera
dan 12,% di Sulawesi. Pada tahun 2008-2009 tidak terjadi pemekaran wilayah di
Kalimantan. Sedangkan di wilayah Jawa-Bali hanya terbentuk 1 (satu) daerah
otonom baru, yaitu Kota Tangerang Selatan, sehingga meskipun demikian Jawa-

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV68

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Bali tetap merupakan daerah yang mengalami pemekaran paling sedikit
dibandingkan wilayah lainnya selama 10 tahun pelaksanaan desentralisasi.
DOB yang ditetapkan pada tahun 2008 ini sebagian besar terdiri dari
5-6 kecamatan, dengan nilai rentang 5-21 kecamatan. Kabupaten Sigi dan
Toraja Utara memiliki jumlah kecamatan yang jauh lebih besar dibandingkan
DOB lain, yaitu secara berturut-turut 15 dan 21 kecamatan. Jumlah kecamatan
yang dimiliki oleh DOB tahun 2008 tersebut sebagian besar hanya sebatas jumlah
minimal yang diperlukan untuk membentuk satu kabupaten, berdasarkan PP 19
tahun 2008 tentang Kecamatan (minimal 5 kecamatan untuk membentuk
Kabupaten dan 4 kecamatan untuk membentuk Kota). Kondisi ini dapat menjadi
indikasi bahwa antusias daerah (masyarakat, pemerintah ataupun DPRD) untuk
memekarkan wilayahnya cukup besar, sehingga hanya mengambil persyaratan
teknis dan administrasi minimalis dari apa yang tertuang dalam peraturan
perundangan.
Rata-rata luas wilayah DOB tahun 2008 (mayoritas wilayah
kabupaten) adalah 2.470,52 km
2
, dengan nilai rentang 460,54 km
2
(Kab.
Sabu Raijua) s.d. 8.055 km
2
(Kab. Puncak Papua). Luasnya wilayah pemekaran
di Papua dipengaruhi oleh relativitas luas wilayah tiap kabupaten yang telah ada,
di antara seluruh wilayah kabupaten di seluruh Indonesia. Jika diklasifikasikan
berdasarkan pulau di Indonesia, maka wilayah kabupaten di Pulau Kalimantan
memiliki rata-rata luasan yang paling besar, yaitu 11.631,22 km
2
. Disusul dengan
Kawasan Timur Indonesia yang wilayah kabupatennya memiliki rata-rata luas
6.752,61 km
2
, Pulau Sumatera dengan rata-rata luas kabupaten 3.853,47 km
2
,
Pulau Sulawesi dengan rata-rata luas kabupaten 3.268,49 km
2
, serta yang paling
kecil adalah Pulau Jawa-Bali dengan rata-rata luas kabupaten hanya sebesar
1.190,90 km
2
(lihat gambar 2.2). Dari perbandingan tersebut terlihat adanya
ketimpangan rentang kendali dan jangkauan pelayanan publik oleh Pemerintah
Kabupaten di Pulau Jawa dengan luar Jawa, terutama di Pulau Kalimantan dan
Kawasan Timur Indonesia.
Gambar 4.11
Rata-rata Luas dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Tiap Pulau se-
Indonesia

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV69

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009









Sumber : Hasil perhitungan data UU pembentukan DOB, 2009


Dari keseluruhan DOB tersebut ternyata sebagian besar merupakan DOB
yang berada di daerah-daerah di luar Jawa-Bali. Demikian pula ditinjau dari
sebaran kawasan, sebagian besar DOB berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI)
daripada Kawasan Barat Indonesia (KBI), sebagaimana tabel dan gambar berikut:
Tabel 4.12.
Sebaran Daerah Otonom Baru
Kawasan Jumlah Kawasan Jumlah
Jawa & Bali 10 KBI 87
Luar Jawa & Bali 195 KTI 118
T o t a l 205 205
Sumber : Ditjen Otda-Depdagri dan UU Pembentukan Wilayah (DOB)

Secara persentase pembentukan daerah otonom baru (DOB) 1999 - 2009, dapat
digambarkan sebagaimana grafik berikut:
Gambar 4.12.
Sebaran Daerah Otonom Baru





5%
95%
Jawa & Bali
Luar Jawa & Bali
58%
42%
KBI KTI

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV70

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009




Dari Gambar di atas menunjukkan bahwa pemekaran daerah di Indonesia
dalam periode tahun 1999 2009 sebagaian besar terjadi di wilayah luar pulau
Jawa yang mencapai 95% dan Jawa-Bali hanya 5%, sedangkan berdasarkan
kawasan barat dan timur Indonesia, sebagian besar berada di Kawasan Timur
Indonesia (KTI) sebesar 58% dan Kawasan Barat Indonesia (KBI) 42%.
Pembangunan yang terkonsentrasi di Pulau Jawa-Bali dan KBI selama Orde Baru
nampaknya menyulut semangat pemerataan pembangunan di daerah di luar Jawa
dan KTI, yang tercermin dari tuntutan pemekaran wilayah atau pembentukan
daerah otonom baru sejak digulirkannya kebijakan pemekaran daerah pada
tahun 1999, khususnya sejak ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004.
Selanjutnya, dari sebaran pembentukan daerah otonom baru menurut
kawasan seperti yang telah dijelaskan di atas, kemudian dapat dirinci kembali
menurut wilayah pulau-pulau, sebagaimana gambar berikut.
Gambar 4.13.
Sebaran Daerah Otonom Baru per Wilayah










Dari gambar tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa sejak tahun 1999
hingga 2009, sebaran daerah otonom baru paling banyak ada di pulau Sumatera,
yakni sebanyak 77 DOB atau 38%, kemudian disusul di wilayah Maluku & Papua
77
10 11
25
35
47
0
20
40
60
80
S
U
M
A
T
E
R
A
:
J
A
W
A
&
B
A
L
I
N
U
S
A

T
E
N
G
G
A
R
A
K
A
L
I
M
A
N
T
A
N
:
S
U
L
A
W
E
S
I
:
M
A
L
U
K
U
&
P
A
P
U
A
12% 5%
5%
23%
38%
17%
SUMATERA:
JAWA&BALI
NUSATENGGARA
KALIMANTAN:
SULAWESI:
MALUKU&PAPUA

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV71

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
sebanyak 47 DOB (23%), Sulawesi sebanyak 35 DOB (17%), Kalimantan sebanyak
25 DOB (12%), Nusa Tenggara sebanyak 11 DOB (5%), dan Jawa-Bali merupakan
wilayah yang paling sedikit terdapat pembentukan daerah otonom baru, yaitu
hanya 10 DOB (5%). Pulau Sumatera, meskipun berada di kawasan barat
Indonesia, namun memiliki daerah otonom baru terbanyak. Hal ini nampaknya
karena Sumatera merupakan wilayah yang memiliki jumlah provinsi terbanyak
diantara kawasan lainnya, yaitu sebanyak 10 provinsi, dan tiap-tiap provinsi di
Sumatera mengalami pemekaran daerah.
Pada tahun 2005, Presiden
3
mengeluarkan himbauan untuk melakukan
penundaan (moratorium) pemekaran wilayah. Himbauan tersebut disampaikan
terkait dengan berbagai hasil evaluasi yang dilakukan terhadap DOB yang telah
ada saat itu yang menunjukkan bahwa sebagian besar dari daerah pemekaran
tersebut masih belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan, dan bahkan
ada yang menunjukkan kenyataan sebaliknya. Selain agenda pemilu, himbauan
Presiden untuk menunda pemekaran wilayah juga didasari oleh adanya beban
keuangan negara yang semakin meningkat seiring dengan bertambahnya daerah
otonom di Indonesia. Hal ini terkait dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana
Alokasi Umum (DAU) untuk tiap daerah otonom yang dibebankan pada APBN.
Lalu bagaimanakah kondisi pelayanan publik, utamanya pelayanan publik di
daerah setelah diimplementasikannya kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah selama 2004-2009? Dalam rangka menjalankan amanat yang tertuang
dalam UU 32/2004 tersebut, maka telah dilakukan upaya-upaya untuk
mewujudkan pelayanan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat, sejak
tahun 2006, yakni melalui RPJMN tahap 1 (2005-2009) hingga saat ini, seperti yang
tertuang dalam RKP 2010. Beberapa perkembangan telah dihasilkan selama
kurun waktu tersebut, diantaranya:
Layanan Satu Atap (One Stop Service/ OSS):
Hingga tahun 2008, sudah terdapat 300 unit pelayanan terpadu satu pintu
(OSS), dan sebanyak 93 unit pelayanan sudah membangun Sistem Manajemen

3
Disampaikan pada pidato Presiden di depan DPD pada 23 Agustus 2006

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV72

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Mutu, sedangkan unit pelayanan yang sedang membangun Sistem Manajemen
Mutu adalah sebanyak 31 unit pelayanan;
Standard Pelayanan Minimal (SPM):
Hingga tahun 2008 telah diterbitkan 4 Standar Pelayanan Minimal (SPM), yaitu
SPM Bidang Kesehatan, SPM Bidang Lingkungan Hidup, SPM Bidang Sosial,
SPM Bidang Pemerintahan Dalam Negeri di Kabupaten/Kota berbagai diklat
yang bertujuan untuk menunjang penerapan manajemen SPM sebanyak 630
orang dalam 21 kegiatan belum diterbitkanya SPM pada seluruh bidang
pemerintahan (sampai akhir tahun 2008, baru 4 SPM yang telah diterbitkan,
yaitu Bidang Kesehatan, Bidang Lingkungan Hidup, Bidang Sosial, dan Bidang
Pemerintahan Dalam Negeri di Kabupaten/Kota)
Terkait dengan penyusunan dan pelaksanan SPM tersebut, beberapa kegiatan
yang sudah dilakukan antara lain :
1) Penerbitan PP No. 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Pelayanan Minimal pada tanggal 28 Desember 2005.
2) Penerbitan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2007 Tentang
Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal
sebagai peraturan pelaksanaan dari PP 65/2005 pada tanggal 7 Februari
2007.
3) Penerbitan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 100.05 76 Tahun 2007
Tentang Pembentukan Tim Konsultasi Penyusunan Standar Pelayanan
Minimal telah diterbitkan pada tanggal 7 Februari 2007. Tim Konsultasi
SPM terdiri dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan,
Kementrian PAN dan Bappenas yang mempunyai peranan menyerasikan
usulan-usulan SPM dari Departemen Sektor dan LPND.
4) Departemen Kesehatan dan Kementerian Lingkungan Hidup telah
menerbitkan SPM, sementara Departemen PU, dan Departemen
Pendidikan telah menyusun Draft Calon SPM yang akan siap untuk dibahas
dengan Tim Konsultasi SPM.
5) Penyusunan Peraturan Menteri Dalam Negeri Tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM)
berdasarkan Analisis Kemampuan dan Potensi Daerah.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV73

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
6) Pembentukan Technical Working Group SPM yang mengakomodasikan
berbagai aktor termasuk Pemerintah, Donor, Pakar dan pihak lainnya
terkait.
Pertumbuhan BLUD: Bentuk organisasional baru ini telah diterapkan di
beberapa sektor: pengembangan kehutanan, universitas, rumah sakit
nasional, jalan tol dan lain-lain. Tetapi sampai saat ini belum cukup jelas apa
keunggulan BLUD dibandingkan dengan model Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD), dan apakah model BUMD sekarang sedang mengalami kemunduran.
Pola geografis pendirian BLUD masih belum dipetakan tetapi sepertinya
sebagian besar terdapat di Jawa. Perbandingan antara BUMD dan BLUD
sepertinya menjamin diketahuinya keunggulan relatif masing-masing dan
memutuskan yang mana yang perlu didorong dan untuk situasi yang mana.
(STS)
Kontrak Pelayanan (Citizen Service Charters): Satu upaya yang terus diterapkan
di beberapa daerah adalah kontrak layanan, yang mendapatkan banyak
dukungan dari beberapa mitra pembangunan. Kontrak layanan sepertinya
bermanfaat dalam merubah pola pikir penyedia layanan dari kepentingan
birokratis mereka ke kebutuhan masyarakat, tetapi tidak ada dokumentasi
yang tersedia sejauhmana Kontrak Pelayanan sudah direplikasikan dan
bagaimana digunakan dalam prakteknya. (STS)
Mekanisme keluhan dan umpan balik: Pengembangan berkaitan dengan
mekanisme penyampaian keluhan dan umpan balik juga tercatat pada STS
2006, seperti pendekatan scorecard, atau penggunaan televisi untuk
berinteraksi dengan publik. Percobaan ini berlanjut dan beberapa daerah
kini mengembangkan cara untuk penyampaian keluhan dan tanggapan lewat
pesan singkat (SMS). Layanan Ombudsman juga dikembangkan di beberapa
daerah.
Indeks Kepuasan Masyarakat. Berdasarkan hasil kegiatan monitoring dan
evaluasi pada tahun 2007 yang lalu, IKM telah diterapkan oleh 10 Propinsi
yang meliputi 150 unit pelayanan publik, 7 kabupaten yang meliputi 56 unit
pelayanan publik, dan 5 kota yang meliputi 39 unit pelayanan.Sedangkan
untuk tahun 2008 telah diterapkan oleh 15 Propinsi yang meliputi 180 unit

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV74

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
pelayanan publik, 14 kabupaten yang meliputi 100 unit pelayanan publik, dan
15 kota yang meliputi 99 unit pelayanan. (situs Menpan)

4.3. Permasalahan dan Tantangan Ke Depan
Walaupun berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka penerapan
desentralisasi dan otonomi daerah melalui program-program di atas, masih
ditemukan beberapa permasalahan tersisa dan tantangan yang masih harus
dihadapi ke depan.
4.3.1. Permasalahan dan tantangan terkait dengan harmonisasi
perundangan
Tim revisi UU No. 32/2004 mencatat sejumlah permasalahan yakni: (1)
banyaknya Perda atau usulan Perda yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi; (2) Perda yang tidak
pernah dilaporkan; (3) Pengawasan Perda yang lemah; serta (4) Mekanisme
pembatalan Perda yang tidak jelas. Karenanya, tim revisi UU No. 32/2004
memandang perlu kejelasan alat kontrol terhadap penyusunan dan
pelaksanaan Perda.
Selain itu pada tataran pemerintahan beberapa permasalahan yang juga
penting untuk mendapatkan perhatian adalah sebagai berikut :
1. Belum selesainya beberapa peraturan pelaksanaan dari amanat UU No.
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
2. Beberapa regulasi peraturan yang masih tumpang tindih dengan
beberapa peraturan amanat UU No. 32 Tahun 2004. Hal ini terkait dengan
harmonisasi peraturan-perundangan sektoral dengan peraturan-
perundangan desentralisasi dan otonomi daerah;
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa permasalahan terkait dengan
harmonisasi perundangan adalah belum sinkron dan harmonisnya peraturan
perundang-undangan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah di
tingkat pusat dan daerah.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV75

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
4.3.2. Permasalahan dan tantangan terkait dengan keuangan daerah
Sasaran yang hendak dicapai dalam lima tahun revitalisasi kebijakan
desentralisasi terjabar di dalam berbagai rumusan yang diantaranya adalah
sinkronisasi peraturan perundang-undangan mengenai hubungan
kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta
terkelolanya sumber dana dan pembiayaan pembangunan secara
transparan, akuntabel dan profesional. Dalam hal ini tampak bahwa
keterkaitan antara arah kebijakan desentralisasi di bidang keuangan daerah
dengan sinkronisasi peraturan perundangan, penguatan kelembagaan,
kejelasan tentang pembagian urusan, serta unsur-unsur kebijakan jangka
menengah lainnya.
Selanjutnya, kebijakan di bidang keuangan daerah dimaksudkan untuk
meningkatkan kapasitas keuangan daerah dalam rangka peningkatan
pelayanan kepada masyarakat, penyelenggaraan otonomi daerah, dan
penciptaan pemerintahan yang baik. Ada tiga unsur program untuk
mencapai sasaran tersebut, yaitu: 1) Peningkatan efektivitas dan
optimalisasi sumber-sumber penerimaan daerah yang berkeadilan,
termasuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi kegiatan usaha dan
investasi; 2) Peningkatan efisiensi, efektivitas dan prioritas alokasi belanja
daerah secara profesional; dan 3) Pengembangan transparansi,
akuntabilitas, dan profesionalisme dalam pengelolaan keuangan daerah.
4.3.3. Permasalahan dan tantangan terkait dengan penguatan kelembagaan
Permasalahan terkait dengan kelembagaan pemerintah daerah. RPJMN
2005-2009 menggariskan bahwa kelembagaan pemerintah daerah yang
akan dicapai adalah kelembagaan pemerintah daerah yang efektif, efisien,
dan akuntabel. Untuk mewujudkan hal tersebut, salah satu upaya yang
dilakukan adalah melalui kebijakan yang mengatur organisasi pemerintah
daerah. Pada tahun 2007, untuk kesekian kalinya, Pemerintah
mengeluarkan sebuah kebijakan yang mengatur tentang kelembagaan
pemerintah daerah. Sebelumnya, pengaturan terhadap kelembagaan atau

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV76

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
sering disebut dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), telah diatur dan
ditetapkan berdasarkan PP 84 tahun 2000, yang diganti dengan PP 8 tahun
2003. Pada tahun 2007, peraturan-peraturan tersebut diganti dengan
Peraturan Pemerintah/PP No 41 tahun 2007. Penggantian kebijakan berkali-
kali dalam kurun waktu yang singkat justru mendatangkan permasalahan
dalam penerapannya di daerah. Kelembagaan pemerintah daerah yang
seyogyanya akan dicapai melalui PP No 41 Tahun 2007 belum dapat
terwujud pada akhir kurun waktu RPJMN 2005-2009. Dengan demikian,
permasalahan yang terjadi terkait dengan kelembagaan pemerintah daerah
masih berkisar pada belum efektif, efisien, dan akuntabelnya kelembagaan
pemerintah daerah.
4.3.4. Permasalahan dan tantangan terkait dengan kerjasama antar daerah.
Dalam database Desentralisasi dan Otonomi Daerah Bappenas
diidentifikasi beberapa permasalahan terkait dengan kerjasama antar
daerah, yakni:
Pada umumnya masih terdapat cukup banyak potensi kerjasama antar
daerah, yang dapat berakar dari konflik antar daerah, ataupun belum
terpenuhinya kebutuhan masyarakat suatu daerah akibat keterbatasan
sumber daya alam. Namun, pemerintah daerah masih belum dapat
melihat hal tersebut sebagai potensi, melainkan masih sebatas
permasalahan yang belum diketahui jalan keluarnya.
Beberapa daerah yang telah mengidentifikasi bidangbidang yang
berpotensi untuk dikerjasamakan, masih belum dapat menyusun
usulan/proposal kerjasama, karena masih terbatasnya informasi dan
best practice pelaksanaan teknis kerjasama, terutama di bidang
pelayanan publik. Misalnya pelaksanaan kerjasama penyediaan air
bersih di wilayah yang berbatasan dengan daerah yang memiliki
sumber air cukup banyak.
Bentuk kelembagaan pemerintah daerah yang memiliki tupoksi terkait
kerjasama antar daerah juga berpengaruh terhadap perkembangan
dan pelaksanaan kerjasama secara maksimal. Isu ini telah bergulir

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV77

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
sejak kurang lebih 2 tahun yang lalu, dan sampai saat ini Pemerintah
Daerah masih mengalami kesulitan yang sama. Di beberapa daerah,
urusan kerjasama masih diurusi dalam wadah sub bagian, sehingga
beban kerja seperti yang diatur dalam PP 50 tahun 2007 tidak dapat
dilaksanakan secara lengkap dan optimal.




4.3.5. Permasalahan terkait dengan Daerah Otonom Baru
Berdasarkan laporan monitoring Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2008,
teridentifikasi beberapa permasalahan terkait dengan pemekaran daerah
dan Daerah Otonom Baru, yakni:
(a) Belum selesainya penetapan batas wilayah pada sebagian besar DOB.
Masingmasing DOB memiliki jumlah batas wilayah yang
berbedabeda. Penetapan batas wilayah merupakan wewenang
pemerintah pusat;
(b) Belum adanya Grand Strategy Penataan DOB sebagai acuan jumlah
provinsi dan kabupaten/kota yang ideal;
(c) Berdasarkan hasil evaluasi Ditjen Otda, Depdagri, sebagian besar DOB
tidak memiliki kinerja yang baik.
Sedangkan dalam laporan database pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah 2009, Bappenas disebeutkan permasalahan sebagai
berikut :
(a) Masih belum optimalnya pelaksanaan desentralisasi di daerah-daerah
yang memiliki karakteristik khusus dan istimewa, karena masih ada
beberapa peraturan yang belum tersusun dan tersosialisasi;
(b) Adanya keterbatasan dalam kemampuan keuangan negara dan
keuangan daerah untuk membiayai penyediaan prasarana dan sarana
pemerintahan di daerah, baik prasarana dan sarana instansi vertikal

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV78

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
maupun SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) termasuk kantor
kecamatan sebagai unit terdepan pelayanan masyarakat;
(c) Peningkatan transfer dana APBN ke daerah tidak dinikmati oleh daerah
secara optimal karena lebih ditujukan untuk mendanai daerah otonom
baru.
Berikut isu-isu terkait pemekaran DOB:
1. Sesuai dengan kesepakatan antar pemerintah dan DPR-RI khususnya dengan
Komisi II, bahwa perlu dilakukan revisi terhadap UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, menjadi 3 (tiga) undang-undang yang terdiri
dari Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah; Undang-undang tentang
Desa; dan Undang-undang tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah. Beberapa isu yang terkait penyempurnaan RUU ini, antara lain
adalah penyempurnaan pengaturan tentang pembentukan daerah otonom
baru; pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; hak dan kewajiban
DPRD; perangkat daerah; kepegawaian daerah; peraturan daerah; desa;
mekanisme dan prosedur pemeriksaan pejabat daerah; pengawasan terhadap
pemerintahan daerah; musyawarah pimpinan daerah (muspida);
dekonsentrasi dan tugas pembantuan; kecamatan; penganganan daerah
perbatasan; posisi provinsi sebagai daerah otonom dan gubernur sebagai
wakil pusat di daerah; pembninaan terhadap pemerintahan di daerah; urusan
pendidikan agama; urusan perkotaan; kedudukan wakil kepala daerah;
pelayanan public; dan alokasi anggaran pelayanan publik oleh aparatur.
2. Pelaksanaan PILKADA secara langsung telah dilaksanakan sebanyak 484
dimulai sejak Juni 2005 sampai Agustus 2009. Meskipun pelaksanaan
pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tersebut dapat berjalan
dengan tertib dan lancar hingga dilantiknya Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah terpilih, masih terdapat permasalahan-permasalahan terkait
pelaksanaan Pilkada langsung. Setidaknya terdapat 182 kasus hasil Pilkada
langsung yang berproses di Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, dan
terakhir dengan adanya Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang
perubahan kedua atas Undang-undang No. 32 Tahun 2004 proses

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV79

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
penyelesaian sengketa hasil Pilkada langsung diselesaikan di Mahkamah
Konstitusi sebanyak 27 kasus dari Tanggal 1 November 2008 s.d 10 Maret
2009. Pada Tahun 2010 akan dilaksanakan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah berjumlah 246 yang terdiri dari 7 Pemilihan Gubernur/Wakil
Gubernur dan 204 Bupati/Wakil Bupati dan 35 Walikota/Wakil Walikota.
3. Pembentukan Daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan
pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Sejat Tahun 1999 sampai saat ini telah terbentuk 205 Daerah Otonom Baru
yang terdiri dari 7 Provinsi 164 Kabupaten dan 34 Kota, sehingga jumlah
daerah otonom sampai dengan Tahun 2009 adalah 524 yang terdiri dari 33
provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota. Untuk mengetahui sejauh mana
pencapaian tujuan pembentukan daerah, pemerintah telah menetapkan
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Sampai saat ini sedang dilakukan
evaluasi terhadap 31 Daerah Otonomi Baru (EDOB dari 57 DOB yang usia
pembentukannya kurang dari 3 tahun tahun 2007-2009) dengan hasil 17
kabupaten/kota termasuk kategori baik dan 14 kabupaten/kota termassuk
kategori kurang baik. Disamping itu, sedang disusun Grand Strategy
Penataan Daerah (GSPD) sebagai acuan dalam rangka penataan daerah ke
depan hingga tahun 2025. Ruang lingkup GSPD antara lain untuk menentukan
jumalh ideal daerah otonom, baik provinsi maupun kabupaten/kota, juga
dilakukan penyempurnaan terhadap persyaratan dan tata cara pembentukan
daerah otonom baru, evaluasi secara terprogram dan pola pembinaan
terhadap penyelenggaraan otonomi daerah.
4. Pembentukan daerah otonom yang akan datang, diupayakan lebih selektif
lagi mengingat setiap terbentuknya daerah otonom akan menimbulkan
implikasi terhadap beban keuangan Negara berupa penyediaan dana alokasi
umum, penyediaan sarana dan prasarana perangkat pusat dan daerah. Pada
saat ini masih terdapat 20 usulan pembentukan daerah otonom baru atas
inisiatif DPR yang belum dapat diproses mengingat kebijakan pemerintah
untuk melakukan moratorium pemekaran sampai dengan pelaksanaan
evaluasi yang menyeluruh terhadap 205 daerah otonom baru dapat

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV80

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
diselesaikan. Moratorium tersebut disampaikan oleh Bapak Susilo Bambang
Yudhoyono pada rapat siding paripurna di DPR tanggal 3 Agustus 2009.
5. Di samping itu, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di DOB
masih pula diwarnai oleh permasalahan terkait dengan pengelolaan aset
daerah, penyediaan aparatur pemerintahan, batas wilayah dan efektivitas
pembentukan daerah otonom baru untuk meningkatkan pelayanan publik di
daerah


4.3.6. Permasalahan terkait dengan kapasitas aparat pemerintah daerah
Permasalahan terkait dengan kapasitas aparat pemerintah daerah dapat
dikelompokkkan dalam beberapa isu, yakni:
(a) Formasi
Penentuan formasi pegawai dan jabatan struktural belum
menggunakan standar yang jelas dan baku
Adanya beberapa perbedaan pengaturan antara UU No. 32/2004
tentang Pemerintahan Daerah dengan UU No. 43/ 1999 tentang
PokokPokok Kepegawaian
(b) Rekruitmen
Pola rekruitmen yang dilaksanakan selama ini berbeda antara
daerah yang satu dengan yang lain, sehingga mendapatkan hasil
saringan yang berbeda. Pada akhirnya kompetensi aparatur pemda
yang dimiliki oleh daerah cenderung menjadi tidak seimbang
Penerapan PP No. 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer
Menjadi Pegawai Negeri Sipil di daerah kurang memperhatikan
kompetensi pegawai
Untuk daerah pemekaran, terdapat kesulitan rekruitmen pegawai
untuk jabatan eselon tertentu (eselon III dan IV)
(c) Pola karir
Masih banyak penempatan pejabat yang tidak sesuai dengan
pengalaman dan latar belakang pendidikan karena masalah

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV81

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
kekurangan SDM. Hal ini juga menyebabkan kesulitan dalam
menerapkan pedoman karir yang telah disusun. Salah satu
Rancangan Peraturan Pemerintah yang terkait adalah Pedoman
Persyaratan Jabatan Perangkat Daerah, yang sedang disusun
sebagai amanat pasal 128 ayat (3) UU No. 32/2004. Pedoman
pengaturan jabatan perangkat daerah ini diharapkan dapat
mendukung kebijakan pemerintah daerah dalam menyusun struktur
organisasi pemerintah daerah secara profesional dan berkualitas
Terkait dengan adanya pengembangan jabatan fungsional di
daerah, pegawai di daerah cenderung tidak tertarik untuk
mengambil alternatif jabatan fungsional tersebut. Hal ini disebabkan
rumitnya persyaratan kenaikan pangkat/golongan jabatan
fungsional yang didasarkan pada produk atau output kerja tiap
pegawai. Kesulitan ini salah satunya disebabkan lingkup kerja
(wilayah administrasi pemerintahan) di daerah yang tidak sebesar
lingkup kerja Pemerintah, tetapi tidak ada pembedaan
penghitungan output atau hasil kerja antara pegawai pusat dan
daerah untuk naik golongan/pangkat. Pada intinya, aparat
pemerintah daerah menemui kendala untuk memenuhi ketentuan
dalam persyaratan KUM dan sebagainya. Meskipun demikian,
sosialisasi terus dilakukan oleh Pemerintah Daerah terkait dengan
jabatan fungsional ini, dan Pemerintah Daerah mengharapkan
kerjasama Pemerintah untuk memberikan alternatif pilihan ataupun
kebijakan yang lebih responsif dan fleksibel terhadap kondisi
aparat pemerintah daerah
(d) Promosi dan mutasi
Belum semua daerah menerapkan promosi pegawai atas dasar hasil
assessment center bekerjasama dengan pihak ketiga, guna menjaga
obyektivitas hasil. Sehingga sistem promosi belum dapat menjadi
pemacu kinerja aparatur pemda
Saat ini, mutasi pegawai dari provinsi ke kabupaten/kota tidak dapat
dilakukan dengan mudah karena harus ada persetujuan dari
Pemdapemda yang terkait. Sehingga, saat ini terjadi ketimpangan

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV82

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
kompetensi pegawai karena adanya kesan pengkaplingan
pegawai provinsi, ataupun pegawai kabupaten/kota
(e) Remunerasi
Adanya kesenjangan pemberian tunjangan bagi pejabat eselon
antar daerah karena bergantung pada kemampuan keuangan
daerah provinsi masingmasing, tidak hanya terbatas pada platform
Pemerintah
Adanya kebijakan untuk membagi rata remunerasi kepada seluruh
aparatur di setiap SKPD sebagai usaha mengurangi ketimpangan
besarnya tunjangan antar SKPD tidak sepenuhnya diterima oleh
daerah, karena pemberian tunjangan yang tidak didasarkan pada
kinerja di lain pihak justru dapat menurunkan semangat/kinerja
aparat
(f) Pengembangan dan disiplin pegawai
Penyusunan standar pengembangan pegawai dalam rangka
peningkatan kinerja aparatur ternyata menimbulkan permasalahan,
yakni banyaknya pegawai yang berlombalomba melanjutkan studi
S1, S2, bahkan S3. Hanya saja pendidikan yang diambil sering tidak
mendukung tugas, pokok dan fungsi tempat dimana dia berkerja.
Masih terjadi overlapping penyelenggaraan diklat antara
Pemerintah dengan Pemerintah Daerah
Penegakan displin dan etika melalui proses internal antar staf, apel
pagi rutin, dan absensi harian masih belum efektif.
Gambaran kondisi diatas juga didukung dan diperkuat oleh hasil
kajian Bappenas lainnya mengenai database bidang desentralisasi dan
otonomi daerah pada tahun 2008 yang mengemukakan sejumlah
permasalahan dalam pengelolaan aparatur sebagai berikut:
Terkait dengan manajemen kepegawaian daerah yang merupakan
satu kesatuan dengan kepegawaian nasional, maka pemerintah
daerah harus mengacu pada peraturan perundangan yang
ditetapkan oleh Pemerintah. Beberapa peratuan yang dipedomani

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV83

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
antara lain: Kepmendagri No. 10/2003, PP No. 9/2003, UU No.
43/1999, PP No. 31/2001, PP No. 11/12 mengenai Pegawai Negeri
Sipil. Namun, permasalahan yang sering ditemui dalam pelaksanaan
peraturan tersebut adalah kurang tegasnya sanksi yang diatur di
dalamnya, sehingga pelanggaran yang dilakukan baik oleh instansi
maupun personel dalam perangkat daerah tertentu tidak dapat
ditindak tegas. Pada akhirnya, pengelolaan kepegawaian tidak
dapat optimal karena unsur politis dan keberpihakan masih menjadi
kekuatan terbesar yang mempengaruhi pola karir aparatur
pemerintah daerah. Hal ini sangat terlihat pada kasus pe-nonjob-an
Sekretaris Daerah yang tidak berada di pihak kepala daerah terpilih
secara sepihak (tanpa proses evaluasi dan analisis jabatan) oleh
kepala daerah
Adanya kebijakan untuk mengangkat pegawai honorer di daerah
menjadi pegawai negeri sipil (berdasarkan Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara), termasuk pengangkatan
Sekretaris Desa menjadi PNS, menimbulkan pro dan kontra di
daerah. Walaupun proses teknis pengangkatan pegawai honorer
terpetakan dengan baik di daerah, namun ternyata menimbulkan
dampak yang cukup signifikan. Permasalahan utama adalah terkait
dengan standar kompetensi PNS yang sedang ditingkatkan untuk
mendukung peran pemerintah daerah yang lebih tinggi pada era
desentralisasi. Di sisi lain kebijakan pengangkatan pegawai honorer
tersebut justru dinilai menurunkan kompetensi PNS mengingat
proses pengangkatan tersebut tidak dilaksanakan berdasarkan
kompetensi yang dibutuhkan oleh daerah yang bersangkutan.
Selain itu, secara umum pegawai honorer daerah pada awalnya
bergabung lebih berdasarkan sistem kekerabatan, bukan
berdasarkan tingkat kompetensi. Pada akhirnya, Pemerintah
dianggap tidak konsisten terhadap kebijakan nasional yang
ditetapkan, yang akan mempersulit daerah dalam melaksanakan
kebijakan tersebut

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV84

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Sistem pola karir yang belum jelas menjadi hambatan dalam
menentukan formasi jabatan untuk tiap personel struktural. Pada
dasarnya sistem pola karir bukanlah akar dari permasalahan formasi
jabatan, melainkan salah satu variabel yang berpengaruh dan
dipengaruhi oleh variabel lain. Adanya kekuatan dan dorongan
politis, belum adanya kemampuan database kepegawaian untuk
menjawab secara rinci dan berjenjang mengenai bidang keahlian
tiap pegawai, adanya peluang untuk berpindah-pindah bidang
dalam rangka mempercepat kenaikan pangkat, merupakan 3 (tiga)
diantara sekian banyak faktor yang mempengaruhi dan dipengaruhi
oleh sistem pola karir pegawai. Pada akhirnya, terjadi
pengelompokan pegawai yang tidak puas terhadap sistem karir
yang ada, yang mempengaruhi kinerja dan loyalitas mereka
terhadap jabatan dan bidang kerja masing-masing. Hal ini
merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan
kebijakan terhadap pengaturan jabatan fungsional dan struktural,
serta Rancangan Peraturan Presiden mengenai Pengembangan
Kapasitas Pegawai yang sedang dibahas oleh Pemerintah
Bagi pemerintah propinsi, pelimpahan wewenang pengelolaan
pegawai di masing-masing daerah kabupaten/kota (sejak
desentralisasi), menyebabkan tertutupnya kesempatan bagi aparat
pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitasnya di tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi. Berbeda halnya dengan kebijakan
di era orde baru, bahwa pegawai kabupaten/kota yang memiliki
kinerja tinggi memiliki peluang untuk dapat diangkat menjadi
pegawai provinsi, dan demikian seterusnya. Kebijakan tersebut
menjadi insentif dan motivasi bagi aparat pemerintah daerah untuk
dapat meningkatkan kinerja demi memperbaiki karir dan
kesejahteraan, bahkan mungkin untuk mendapatkan prestise yang
lebih baik. Terkait dengan hal tersebut, pemerintah propinsi juga
tidak memiliki kewenangan untuk menilai peningkatan kompetensi
pegawai kabupaten/kota dalam rangka pemberian alokasi jabatan
di tingkat propinsi. Di satu sisi, kebijakan era orde baru tersebut

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas IV85

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
dinilai tidak pro terhadap daerah karena hal tersebut akan
memposisikan aparat pemerintah kabupaten/kota memiliki
kompetensi yang lebih rendah dari aparat pemerintah provinsi,
demikian juga pegawai provinsi terhadap pegawai Pemerintah.
Namun di sisi lain, pertukaran dan pengembangan wilayah kerja
merupakan satu bentuk pembelajaran yang baik bagi aparat
pemerintah daerah (bentuk pengembangan kapasitas yang
berprinsip learning by doing).
Terkait dengan adanya pengembangan jabatan fungsional di
daerah, pegawai di daerah cenderung tidak tertarik untuk
mengambil alternatif jabatan fungsional tersebut. Hal ini disebabkan
rumitnya persyaratan kenaikan pangkat/golongan jabatan
fungsional yang didasarkan pada produk atau output kerja tiap
pegawai. Kesulitan ini salah satunya disebabkan lingkup kerja
(wilayah administrasi pemerintahan) di daerah yang tidak sebesar
lingkup kerja Pemerintah, tetapi tidak adanya pembedaan
penghitungan output atau hasil kerja antara pegawai pusat dan
daerah untuk naik golongan/pangkat. Pada intinya, aparat
pemerintah daerah menemui kendala untuk memenuhi ketentuan
dalam persyaratan KUM, dsb. Meskipun demikian, sosialisasi terus
dilakukan oleh Pemerintah Daerah terkait dengan jabatan fungsional
ini, dan Pemerintah Daerah mengharapkan kerjasama Pemerintah
untuk memberikan alternatif pilihan ataupun kebijakan yang lebih
responsif dan fleksibel terhadap kondisi aparat pemerintah daerah

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V1

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
BAB V
USULAN PROGRAM PRIORITAS BIDANG
RPJMN BIDANG DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH
2010-2014

Prioritas bidang RPJMN diusulkan berdasar uraian permasalahan dan tantangan
pada Bab IV dalam pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah ke depan.
Uraian usulan prioritas bidang dibahas beserta argumentasinya meliputi kondisi
umum, permasalahan dan sasaran pembangunan, strategi dan arah kebijakan
pembangunan. Penulisan rekomendasi usulan prioritas bidang ini disesuaikan
dengan Panduan penyusunan RPJM 2010-2014 yang diterbitkan oleh Bappenas.
5.1. Prioritas Bidang Pemantapan Harmonisasi Peraturan Perundang-
Undangan (Usulan Fokus Prioritas : Penataan Peraturan Perundang-
Undangan Desentralisasi Dan Otonomi Daerah)
A. Kondisi Umum
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (sebagai revisi atas
UU No. 22 Tahun 1999) dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (sebagai revisi UU
No. 25 Tahun 1999) menjadi landasan pokok pelaksanaan kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Sampai saat ini hampir semua
peraturan pelaksanaan dari kedua undang-undang ini telah diterbitkan.
Dengan telah diselesaikannya hampir semua peraturan pelaksanaan dari
UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004, proses desentralisasi di bidang
administrasi kepemerintahan dan keuangan (fiskal) telah berjalan dengan makin
mantap karena format hubungan pusat-daerah yang baru, yang lebih mendorong
kemandirian daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya, hubungan wewenang antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah, serta hubungan antar pemerintah daerah telah
terbangun. Berbagai kerangka regulasi, rambu-rambu dan pedoman serta

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V2

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
skema pendanaan yang dibutuhkan pemerintah daerah baik provinsi maupun
kabupaten/kota dalam menjalankan otonomi daerahnya, telah pula tersedia.
UU 32 tahun 2004 mengamanatkan 27 Peraturan Pemerintah (PP), 2
Peraturan Presiden (Perpres) dan 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri, sedangkan
UU 33 tahun 2004 mengamanatkan 7 Peraturan Pemerintah dan 1 Peraturan
Menteri Dalam Negeri. Hingga saat ini Pemerintah telah menyelesaikan 80,6%
peraturan pelaksanaan dari UU 32 tahun 2004, serta seluruh peraturan
pelaksanaan UU 33 tahun 2004.
Selanjutnya, berdasarkan amanat UU 32 tahun 2004 yang belum terbit
hingga saat ini adalah sebagai berikut:
1. PP tentang Belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Hingga saat ini,
draft RPP tersebut telah disusun dan sedang dibahas dengan instansi terkait
dan Daerah.
2. PP tentang Fungsi Pemerintahan Tertentu dan Tatacara Penetapan Kawasan
Khusus. Proses penyusunan PP tersebut telah sampai pada pengajuan RPP
kepada Sekretariat Negara dan Departemen Hukum dan HAM.
3. PP tentang Tatacara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan
Keuangan Gubernur Selaku Wakil Pemerintah. RPP ini juga telah disampaikan
kepada Sekretariat Negara dan Departemen Hukum dan HAM.
4. PP tentang Pedoman, Standar, Norma dan Prosedur Pembinaan dan
Pengawasan Manajemen PNS Daerah. Draft PP tersebut saat ini masih dalam
proses pembahasan dengan instansi terkait dan Daerah.
Saat ini juga tengah dilaksanakan revisi atau penyempurnaan terhadap UU
No. 32 Tahun 2004. Sebagai konsekuensinya, akan ada penyesuaian terhadap
beberapa peraturan pelaksana UU No. 32 Tahun 2004 yang terkait.
Salah satu elemen penting dari kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah adalah pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Menurut UU No. 32
Tahun 2004, urusan yang menjadi kewenangan mutlak pemerintah pusat meliputi

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V3

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
enam bidang, sedangkan urusan-urusan di luar keenam urusan tersebut menjadi
urusan bersama (concurrent) antara pemerintah Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/Kota, yang penyelenggaraannya dibagi berdasarkan kriteria
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian
hubungan antar susunan pemerintahan. Pembagian urusan ini kemudian
dijabarkan melalui Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, yang menegaskan bahwa urusan
pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah Pusat terdiri
dari enam urusan, dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan
pemerintahan terdiri atas 31 urusan pemerintahan.
PP No. 38 Tahun 2007 diharapkan menjadi salah satu acuan dalam
perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional dan daerah. Dengan
terbitnya PP No. 38 Tahun 2007, berbagai peraturan perundangan sektoral yang
belum sinkron dan sejalan dengan peraturan perundangan mengenai pembagian
urusan perlu disesuaikan. PP No. 38 Tahun 2007 mengamanatkan perlukan
Kementerian/Lembaga untuk menyesuaiakn Norma, Standar, Prosedur dan
Kriteria (NSPK) di sektor masing-masing dalam waktu 2 (dua) tahun. Untuk itu
diperlukan koordinasi dengan berbagai Kementerian/Lembaga yang terkait
dengan masing-masing urusan ini guna mempercepat proses penyusunan NSPK
tersebut.
B. Permasalahan Dan Sasaran Pembangunan
Permasalahan yang masih dihadapi sampai dengan saat ini, terkait dengan
penataan peraturan perundang-undangan mengenai desentralisasi dan otonomi
daerah, diantaranya adalah :
(1) Pengaturan mengenai pembagian urusan dalam PP No. 38 Tahun 2007 masih
belum aplikatif dan memerlukan pengaturan yang lebih teknis dalam bentuk
Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) untuk masing-masing urusan.
Penyusunan NSPK ini juga menjadi salah satu isu penting dalam 5 tahun
kedepan.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V4

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
(2) Belum selesainya beberapa peraturan pelaksanaan dari amanat UU No. 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu 3 (tiga) PP dan 1 (satu)
Perpres dari 27 (dua puluh tujuh) PP, 2 (dua) Perpres dan 2 (dua)
Permendagri (Peraturan Menteri Dalam Negeri) yang diamanatkan;
(3) UU No. 33 Tahun 2004 beserta peraturan pelaksananya, khususnya yang
terkait dengan pengaturan tentang dana alokasi khusus (DAK) dinilai belum
sepenuhnya mampu mendukung pencapaian prioritas nasional di daerah
secara efektif, sehingga perlu direvisi;
(4) Masih terdapat beberapa regulasi sektoral dan daerah yang belum
serasi/sinkron dengan beberapa peraturan pelaksanaan UU No. 32 Tahun
2004; serta
(5) masih belum optimalnya pelaksanaan desentralisasi di daerah-daerah yang
memiliki karakteristik khusus dan istimewa, karena masih ada beberapa
peraturan yang belum tersusun dan tersosialisasi.
Berdasarkan kondisi umum dan permasalahan-permasalahan yang di
hadapi, ma di rumuskan sasaran-sasaran sebagai berikut : (a) tersedianya secara
lengkap dan tertatanya berbagai peraturan perundangan di bidang
desentralisasi dan otonomi daerah, (b) meningkatnya keharmonisan peraturan
perundangan di bidang desentralisasi dan otonomi daerah dengan peraturan
perundangan lain yang bersifat sektoral, serta dengan peraturan daerah, dan (c)
lebih jelasnya pembagian urusan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
C. Strategi Dan Arah Kebijakan Pembangunan
Untuk mencapai sasaran di atas, strategi pembangunan yang direncanakan
diantaranya adalah :
1. Fasilitasi penyusunan dan/atau revisi peraturan perundang-undangan
di bidang desentralisasi dan otonomi daerah.
Muatan pokok dalam strategi ini mencakup upaya-upaya (a) fasilitasi
penyusunan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) sebagai

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V5

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
pedoman teknis untuk setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan; dan
(b) fasilitasi pelaksanaan sosialisasi dan koordinasi antar
Kementerian/Lembaga dan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah
dalam penerapan NSPK.
2. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan di bidang desentralisasi
dan otonomi daerah
Muatan pokok dalam strategi ini mencakup upaya-upaya (a) finalisasi
dan sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 hasil penyempurnaan; (b)
penyusunan/penyesuaian dan sosialisasi Peraturan Pemerintah (PP) dan
Peraturan Menteri (Permen) Pelaksana UU No. 32 Tahun 2004 hasil
penyempurnaan; (c) harmonisasi peraturan perundangan desentralisasi dan
otonomi daerah dengan peraturan perundangan lain yang bersifat sektoral
dan Peraturan Daerah; (d) Revisi UU No. 33 Tahun 2004 beserta beberapa
peraturan perundang-undangan di bidang desentralisasi dan otonomi
daerah.




LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V6

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009


Tabel 5.1. PRIORITAS BIDANG PEMANTAPAN HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
(Usulan: Fokus Prioritas Fasilitasi Penyusunan dan/atau Revisi Peraturan Perundang-Undangan Terkait Desentralisasi dan Otonomi Daerah)
TARGET (kumulatif)
ALOKASI ANGGARAN BASELINE
KEGIATAN PRIORITAS
No
FOKUS PRIORITAS/
KEGIATAN PRIORITAS
SASARAN (Hasil
Outcomes/Output yang
diharapkan)

INDIKATOR 2010 2011 2012 2013 2014

PROGRAM

KEMENTERIAN/
LEMBAGA
TERKAIT
2010 2011 2012 2013 2014
1. Prioritas Fasilitasi
Penyusunan dan/atau Revisi
Peraturan Perundang-
Undangan Terkait
Desentralisasi dan Otonomi
Daerah
Lebih jelasnya pembagian
urusan antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota

a. Fasilitasi penyusunan Norma,
Standar, Prosedur dan Kriteria
(NSPK) sebagai pedoman
teknis untuk setiap
penyelenggaraan urusan
pemerintahan
Tersusunnya NSPK sebagai
pedoman teknis
penyelenggaraan setiap
urusan pemerintahan dan
sebagai sarana
harmonisasi dengan
peraturan perundangan
sektoral
Jumlah NSPK yang
tersusun
5 15 25 31 - Program
Penataan
Kelembagaan
Kementerian
Negara PAN

b. Fasilitasi pelaksanaan
sosialisasi dan koordinasi antar
Kementerian/Lembaga dan
antara Pemerintah dengan
Pemerintah Daerah dalam
penerapan NSPK
Terselenggaranya suatu
sistem koordinasi yang
baik antar
Kementerian/Lembaga dan
antara Pemerintah dengan
Pemerintah Daerah dalam
penerapan NSPK
Jumlah NSPK yang dapat
diterapkan/diaplikasika
n
- 5 15 25 31 Program
Pemantapan
Otonomi
Daerah
Departemen
Dalam Negeri


LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V7

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
5.2. Prioritas Bidang : Pemantapan Desentralisasi, Peningkatan Kualitas
Hubungan Pusat Daerah, Dan Antar Daerah
A. Kondisi Umum
Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang mantap merupakan
faktor utama keberhasilan pemerataan pembangunan di Indonesia untuk
mengurangi kesenjangan wilayah. UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (sebagai revisi atas UU No.22 Tahun 1999) dan UU No.33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah (sebagai revisi UU No.25 Tahun 1999) menjadi landasan pokok
pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Sampai
saat ini hampir semua peraturan pelaksanaan dari kedua undang-undang ini telah
diterbitkan sehingga proses desentralisasi di bidang administrasi
kepemerintahan dan keuangan (fiskal) telah berjalan dengan makin mantap
karena format hubungan pusat-daerah yang baru, yang lebih mendorong
kemandirian daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya, hubungan wewenang antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah, serta hubungan antar Pemerintah Daerah telah terbangun.
Berbagai kerangka regulasi, rambu-rambu dan pedoman serta skema
pendanaan yang dibutuhkan Pemerintah Daerah baik provinsi maupun
kabupaten/kota dalam menjalankan otonomi daerahnya, telah pula tersedia.
Alokasi dana perimbangan, yang terdiri dari dana bagi hasil (DBH), dana alokasi
umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK), yang makin meningkat baik dalam
angka nominal maupun proporsinya terhadap APBN, secara umum telah
membantu mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan
Pemerintah Daerah (ketimpangan vertikal) dan antar Pemerintah Daerah
(ketimpangan horisontal), meningkatkan aksesibilitas publik terhadap prasarana
dan sarana sosial ekonomi dasar di daerah dan mengurangi kesenjangan
pelayanan publik antar daerah, mendukung kegiatan-kegiatan yang menjadi
prioritas pembangunan nasional yang menjadi urusan daerah, serta
meningkatkan daya saing daerah melalui pembangunan infrastruktur.
Dalam rangka penataan peraturan perundang-undangan mengenai
desentralisasi dan otonomi daerah, UU No.32 tahun 2004 mengamanatkan 27

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V8

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Peraturan Pemerintah, 2 Peraturan Presiden dan 2 Peraturan Menteri Dalam
Negeri, sedangkan UU No.33 tahun 2004 mengamanatkan 7 Peraturan Pemerintah
dan 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri. Hingga 4 tahun pelaksanaan kedua
peraturan perundangan tersebut, saat ini Pemerintah telah menyelesaikan 80,6
persen amanat UU No.32 tahun 2004, serta 100 persen amanat UU No.33 tahun
2004.
Selanjutnya, berdasarkan amanat UU No.32 tahun 2004 yang belum terlaksana
hingga saat ini adalah PP tentang Belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah, PP tentang Fungsi Pemerintahan Tertentu dan Tatacara Penetapan
Kawasan Khusus, PP tentang Tatacara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta
Kedudukan Keuangan Gubernur Selaku Wakil Pemerintah, PP tentang Pedoman
Standar, Norma dan Prosedur Pembinaan dan Pengawasan Manajemen PNS
Daerah.
Sejak tahun 2008, Pemerintah juga menginisiasi penyusunan 2 (dua) buah
draft RUU berkaitan dengan penyempurnaan UU No.32 Tahun 2004, yaitu
mengenai RUU tentang Pemerintahan Daerah dan RUU tentang Pemilihan Umum
Kepala Daerah. Selain itu, juga telah dilakukan pemantapan kebijakan dan
regulasi otonomi daerah dan otonomi khusus seperti Provinsi NAD, Provinsi
Papua dan Provinsi Papua Barat dan daerah berkarakter khusus seperti Provinsi
DKI (Daerah Khusus Ibukota) Jakarta dan Provinsi DI (Daerah Istimewa)
Yogyakarta.
Dalam segi pemantapan desentralisasi fiskal, UU No.33 Tahun 2004 telah
mengatur bahwa penyediaan sumber-sumber pendanaan untuk mendukung
penyelenggaraan otonomi daerah dilakukan berdasarkan kewenangan
antarpemerintahan. Mekanisme pendanaan atas pelaksanaan kewenangan
tersebut dilakukan melalui asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan, yang dilaksanakan melalui perimbangan keuangan antara
Pemerintah dan pemerintahan daerah.
Sejak tahun 2001, persentase belanja daerah dalam distribusi belanja negara
relatif stabil pada kisaran 30 persen, dengan pengecualian pada tahun 2006 dan
2007 hampir menyentuh angka 35 persen. Akan tetapi apabila dilihat dari jumlah

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V9

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
sebenarnya terus mengalami peningkatan yang signifikan. Lonjakan terbesar
adalah pada tahun 2006 dimana jumlah dana perimbangan sudah melebihi angka
200 Triliun rupiah, sementara pada tahun 2005 masih dibawah 150 Triliun rupiah.
Pada tahun 2009, jumlah total dana perimbangan sudah hampir menyentuh angka
300 Triliun rupiah dimana porsi terbesar adalah pada komponen Dana Alokasi
Umum (DAU). Isu lain yang dapat diangkat adalah mengenai pengelolaan dana
perimbangan dan keuangan daerah yang harus mengedepankan prinsip tata
pemerintahan yang baik (transparan, akuntabel, dan berkeadilan).
Selain penyempurnaan yang terkait dengan Transfer ke Daerah, Pemerintah juga
memberikan perhatian yang besar terhadap sumber Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Hal ini dimaksudkan agar daerah dapat memungut sumber-sumber
pendapatannya secara optimal sesuai dengan potensi tiap-tiap daerah. Namun,
pelaksanaan pemungutannya tidak boleh menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan
tetap menciptakan iklim yang kondusif bagi para investor. Dalam hubungan ini,
Pemerintah telah menerbitkan UU No.28 Tahun 2009 sebagai pengganti UU No.34
Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk memperkuat taxing
power daerah dan meningkatkan kepastian hukum di bidang perpajakan daerah.
Hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah bahwa rata-rata persentase PAD
terhadap total pendapatan daerah yang masih relatif kecil. Sejak tahun 2006, rata-
rata persentase kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah ini adalah
pada kisaran 15,47 persen-15,74 persen, yang berarti bahwa tingkat
ketergantungan pembiayaan pembangunan daerah terhadap dana perimbangan
masih lebih dari 80 persen.
Berbagai kebijakan tersebut diharapkan dapat memperkuat pendanaan daerah
dalam menyelenggarakan pembangunan dan pelayanan masyarakat. Namun,
apabila APBD mengalami defisit, Pemerintah Daerah dapat melakukan pinjaman,
dalam batas kemampuan keuangan daerah dan tetap menjaga kesinambungan
fiskal.
Sejalan dengan semakin besarnya kewenangan Pemerintah Daerah melalui
otonomi daerah dan semakin besarnya dana yang didaerahkan melalui
desentralisasi fiskal, maka Pemerintah Daerah mempunyai beban dan tanggung

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V10

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
jawab yang lebih besar dalam pengelolaan keuangannya. Dalam
implementasinya, pertanggungjawaban keuangan dalam rangka desentralisasi
dilakukan oleh Kepala Daerah kepada DPRD dalam bentuk Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah. Laporan tersebut merupakan dokumen daerah yang terbuka
dan dapat diketahui masyarakat. Dengan demikian, akan tercipta sistem
pengelolaan keuangan daerah yang tertib, efisien, ekonomis, profesional,
transparan, partisipatif dan dapat dipertanggungjawabkan kepada para
pemangku kepentingan.
Setelah era desentralisasi dan otonomi daerah, regulasi yang mengatur tentang
kerjasama antar daerah adalah Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor
120/1730/SJ tanggal 13 Juli 2005. Selanjutnya, diterbitkan PP No.50 Tahun 2007
tentang Tatacara Pelaksanaan Kerjasama Daerah yang juga memuat aturan
mengenai kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan pihak ketiga, yang
ditindaklanjuti oleh diterbitkannya Permendagri No.3 Tahun 2008 tentang
Pedoman Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah dengan pihak luar negeri,
Permendagri No.22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tatacara Kerjasama
Daerah dan Permendagri No.23 Tahun 2009 tentang Tata cara pembinaan dan
Pengawasan Kerjasama Daerah.
Pelaksanaan kerjasama di masa yang akan datang, diupayakan agar kerjasama
antar daerah memiliki kekuatan hukum. Selain itu, dorongan dalam bentuk
mekanisme insentif untuk penyelenggaraan kerjasama antardaerah juga perlu
terus dilakukan, disamping upaya untuk mendiseminasikan pembelajaran atau
keberhasilan-keberhasilan berbagai bentukan kerjasama antardaerah yang telah
ada ke daerah-daerah lain.
Dalam hal penataan daerah otonom baru, PP No.78 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah menyebutkan bahwa
pembentukan daerah (pemekaran) pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan
pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Pada tahun 2006, Presiden mengeluarkan himbauan untuk melakukan penundaan
(moratorium) pemekaran wilayah. Himbauan tersebut disampaikan terkait
dengan berbagai hasil evaluasi yang dilakukan terhadap DOB yang telah ada

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V11

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
saat itu yang menunjukkan bahwa sebagian besar dari daerah pemekaran
tersebut masih belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan, dan bahkan
ada yang menunjukkan kenyataan sebaliknya. Himbauan Presiden untuk
menunda pemekaran wilayah juga didasari oleh adanya beban keuangan negara
yang semakin meningkat seiring dengan bertambahnya daerah otonom di
Indonesia. Hal ini terkait dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi
Umum (DAU) untuk tiap daerah otonom yang dibebankan pada APBN.
Sampai bulan Juni 2009 telah terbentuk sebanyak 205 daerah otonom yang terdiri
dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Dengan demikian total daerah
otonom saat ini berjumlah 33 Provinsi dan 497 Kabupaten/Kota (398 Kabupaten
dan 93 Kota, serta 5 Kota administratif dan 1 Kabupaten administratif di Provinsi
DKI Jakarta).
Dalam rangka membangun pengawasan dan evaluasi kinerja Pemerintah Daerah,
Pemerintah telah menetapkan PP No.39 Tahun 2006 Tata Cara Pengendalian Dan
Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, PP No.3 Tahun 2007 tentang
Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan
Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada DPRD, dan Informasi
Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kepada Masyarakat, PP No.6
Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan
PP No.8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan
Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan Daerah.
B. Permasalahan Dan Sasaran Pembangunan
Untuk dapat mewujudkan seluruh elemen pembangunan dibutuhkan
pemerintahan daerah yang berkualitas, yang diupayakan melalui pemantapan
desentralisasi dan peningkatan kualitas hubungan pusat daerah, dan antar
daerah. Beberapa permasalahan dalam 5 tahun kedepan dapat dirinci sebagai
berikut :
1. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah akan sangat diwarnai dengan
revisi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Maka
penyesuaian peraturan-peraturan perundangan turunannya juga akan

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V12

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
diperlukan, untuk substansi-substansi pengaturan yang berubah antara UU
No. 32 Tahun 2004 dengan revisinya.
2. Harmonisasi peraturan perundangan yang mengatur desentralisasi dan
otonomi daerah dengan peraturan perundangan lain yang bersifat
sektoral juga akan menjadi salah satu tantangan utama dalam 5 tahun ke
depan.
3. Pemantapan pembagian urusan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pengaturan mengenai
pembagian urusan ini sampai saat ini masih belum aplikatif dan memerlukan
pengaturan yang lebih teknis dalam bentuk Norma, Standar, Prosedur dan
Kriteria (NSPK) untuk masing-masing urusan.
4. Penyusunan NSPK ini juga menjadi salah satu isu penting dalam 5 tahun ke
depan.
5. Penyusunan dan penerapan Grand Strategy Otonomi Daerah atau Grand
Strategy Penataan Daerah.
6. Proporsi besaran Dana Perimbangan antara Pusat dan Daerah serta
antara daerah penghasil (Dana Bagi Hasil) dan non penghasil belum
berdasarkan urusan/fungsi yang diemban oleh Pemerintah atau pemda
(mengikuti prinsip money follows function).
7. Pemanfaatan dana perimbangan belum selaras dengan kebutuhan
nyata daerah, seperti misalnya dana perimbangan masih banyak untuk
membiayai kegiatan operasional.
8. Belum optimalnya usaha Pemerintahan Daerah dalam meningkatkan
kapasitas fiskalnya menuju kemandirian keuangan daerah.
9. Masih banyak daerah yang belum memahami sepenuhnya adanya
peluang dan manfaat yang dapat diperoleh dari kerja sama antardaerah
di berbagai bidang (ekonomi dan keuangan, pelayanan publik, pengelolaan
sumber daya alam).

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V13

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
10. Belum mantapnya sistem pengawasan dan evaluasi kinerja
pemerintahan daerah mengakibatkan Pemerintah sulit untuk dapat segera
melakukan intervensi terhadap kekurangan atau kelemahan atau kesalahan
dalam suatu penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kebutuhan akan sistem
pengawasan dan evaluasi kinerja pemerintahan daerah yang handal makin
diperlukan terlebih saat dana yang ditransfer ke daerah makin membesar
serta makin banyaknya daerah otonom baru di wilayah yang jauh dan
terpencil dari kedudukan pemerintah provinsi dan Pemerintah.
11. Regulasi baru yang terkait dengan tata cara pembentukan daerah
otonom baru belum sepenuhnya berhasil menahan usulan dan
pembentukan daerah otonom baru. Hal ini juga disebabkan penggunaan
landasan hukum yang berbeda dalam mensikapi usulan pembentukan
daerah otonom baru.
Berdasarkan penjabaran permasalahan-permasalahan tersebut diatas, maka
sasaran-sasaran pokok pembangunan dalam 5 tahun kedepan adalah sebagai
berikut :
Terwujudnya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang dapat
meningkatkan kemampuan fiskal daerah terutama pada daerah-daerah yang
kemampuan fiskalnya masih rendah, meningkatkan keharmonisan dalam
pembangunan daerah, serta didukung oleh sistem monitoring dan evaluasi
yang baik.
C. Strategi Dan Arah Kebijakan Pembangunan
Arah kebijakan prioritas bidang pemantapan desentralisasi, peningkatan kualitas
hubungan pusat daerah, dan antar daerah adalah penataan pembagian urusan
antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota. Arah kebijakan ini juga diarahkan untuk mendukung
pelaksanaan urusan yang telah menjadi kewenangan daerah dalam rangka
mempercepat pembangunan, penyediaan pelayanan publik berkualitas, dan
pengurangan kesenjangan antar daerah melalui pemantapan kebijakan
desentralisasi fiskal, penguatan kerjasama daerah, dan penataan daerah dengan

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V14

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
disertai mekanisme pengawasan dan evaluasi kinerja penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang efektif dan efisien.
Arah kebijakan pembangunan tersebut merupakan pedoman bagi
penyusunan berbagai strategi pembangunan. Strategi pembangunan tersebut
diantaranya adalah :
1. Pemantapan Desentralisasi Fiskal
Strategi ini bertujuan untuk memantapkan pengelolaan dana perimbangan
keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah sehingga sesuai
dengan prinsip money follows function (desentralisasi kewenangan diikuti
dengan desentralisasi fiskal). Hal ini akan terkait dengan pemantapan
pelaksanaan peraturan perundangan yang mengatur pembagian urusan
antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota. Strategi ini juga bertujuan untuk memperbaiki
penyempurnaan kebijakan dan reformulasi transfer ke daerah. Muatan
lainnya adalah meningkatkan sumber penerimaan daerah dan meningkatkan
kemampuan aparatur daerah dalam mengelola keuangan daerah secara
transparan dan akuntabel.
2. Penataan Daerah
Strategi ini dilakukan dengan memperketat pembahasan usulan pembentukan
daerah otonom baru melalui pembentukan regulasi baru, yang bertujuan agar
daerah otonom baru dapat memberikan pelayanan publik yang berkualitas
dan mendorong peningkatan daya saing daerah. Regulasi baru tersebut
disusun agar dapat memberikan arahan yang lebih tepat bagi usulan
pembentukan daerah otonom baru. Selain itu, regulasi tersebut memberikan
landasan yuridis yang kuat dan sama-sama dipergunakan bagi Pemerintah
dan DPR dalam pembahasan usulan pembentukan daerah otonom baru.
Strategi ini juga melingkupi berbagai upaya untuk memperkuat alternatif atau
argumentasi lain dari Pemerintah dalam menghadapi usulan pembentukan
daerah otonom baru. Muatan lainya adalah meningkatnya kualitas
pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua, Papua Barat, Daerah Istimewa

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V15

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Daerah Khusus DKI Jakarta.
Pelaksanaan otonomi daerah secara khusus di daerah-daerah tersebut tetap
dalam kerangka NKRI.
3. Peningkatan Kerjasama Daerah
Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik yang
potensial dikerjasamakan antara daerah dan daerah dengan dunia usaha.
Disamping itu, memperkuat sistem dan regulasi bagi pengelolaan suatu isu
atau kepentingan yang bersifat lintas daerah, misalnya wilayah aliran sungai
dan wilayah perbatasan antar daerah, dalam bentuk kerjasama daerah.
Strategi ini juga dapat menjadi suatu alternatif terhadap pemekaran daerah
otonom baru.
4. Pengawasan dan Evaluasi Kinerja Pemerintah Daerah
Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan
Pemerintah Daerah secara umum yang meliputi a) pengawasan dan
koordinasi kebijakan, yaitu peningkatan peran DPOD sehingga ditempatkan
untuk bertanggung jawab secara langsung kepada presiden; b) pengawasan
terhadap regulasi daerah, yaitu pengawasan dan evaluasi pada perda-perda
bermasalah dan juga pengawasan regulasi di daerah-daerah yang termasuk
dalam Otonomi Khusus; c) pengawasan keuangan daerah, yaitu pengawasan
terhadap penggunaan dana yang berasal dari anggaran publik agar mampu
meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan umum.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V16

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009

Arah kebijakan dan strategi tersebut di atas dapat dijelaskan dalam bagan
di bawah ini, yaitu:
Gambar 5.1
Arah Kebijakan dan Strategi Prioritas Bidang Pemantapan
Desentralisasi, Peningkatan Kualitas Hubungan Pusat Daerah
dan Antar Daerah














Prioritas Bidang Fokus Prioritas Indikator Kinerja
PEMANTAPAN
DESENTRALISASI,
PENINGKATAN
KUALITAS HUBUNGAN
PUSAT DAERAH, DAN
ANTAR DAERAH
Sasaran:
Indikator:
Pemantapan
Desentralisasi
Fiskal
Penataan Daerah
Peningkatan
Kerjasama Daerah
Pengawasan dan
Evaluasi Kinerja
Pemerintah Daerah
Terwujudnya pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah
yang dapat meningkatkan kemampuan
fiskal daerah, meningkatkan
keharmonisan dalampembangunan
daerah, serta didukung oleh sistem
monitoring dan evaluasi yang baik.
-% berkurangnya jumlah kegiatan
pusat yang telah menjadi
kewenangan daerah.
-Jumlah daerah dengan indeks
kapasitas fiscal daerah tinggi
-% peningkatan kinerja
pemerintahan DOB
-jumlah DOB dibandingkan
periode sebelumnya
-Jumlah prov & kab/kota yang
membentuk KAD dan menerima
manfaat (ekonomi, prasarana &
pelayanan publik)
-Keberadaan peraturan
pemberian penghargaan dan
hukuman atas kinerja pemerintah
daerah
- persentase LKPD dengan
status WTP
- % peningkatan daerah yang
meningkat kelompok indeks
kapasitas fiscal daerahnya
- % berkurangnya jumlah pembentukan
DOB,
- Jumlah penyelenggaraan KAD,
- Jumlah LKPD dengan status WTP.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V17

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V18

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Tabel 5.2. Prioritas Bidang: Pemantapan Desentralisasi, Peningkatan Kualitas Hubungan Pusat Daerah, Dan Antar Daerah
TARGET
ALOKASI ANGGARAN BASELINE KEGIATAN
PRIORITAS
No.
FOKUS
PRIORITAS/
KEGIATAN
PRIORITAS
SASARAN
(Hasil
Outcomes/
Output yang
diharapkan)

INDIKATOR
2010 2011 2012 2013 2014

PROGRAM

KEMENTERIAN/
LEMBAGA TERKAIT 2010 2011 2012 2013 2014
1. Pemantapan
Desentralisasi
Fiskal

a. penyempurnaa
n kebijakan
pelaksanaan
Dana Bagi
Hasil, Dana
Alokasi Umum,
dan Dana
Alokasi Khusus
Berkurangnya
kesenjangan
fiskal antar
daerah
Menurunnya
indeks
kesenjangan
fiskal daerah
(indeks
Williamson
menjadi xx%
dan indeks
Coefficient
Variety
menjadi xx%)
Program
Desentralisasi
Fiskal
Departemen Keuangan
b. Fasilitasi
penyempurnaa
n perencanaan
Dana Alokasi
Khusus
Terintegrasiny
a perencanaan
Dana Alokasi
Khusus dengan
perencanaan
sektoral
khususnya
dalam
penentuan
lokasi kegiatan
% kesesuain
jumlah daerah
memiliki
kriteria teknis
dengan lokasi
alokasi.
Program
Perencanaan
Pembangunan
Nasional
Bappenas
2. Peningkatan
Kerjasama
antar Daerah

a. peningkatan
kerjasama antar
pemda dalam
meningkatkan
pelayanan
Meningkatnya
penyelenggara
an kegiatan
kerjasama
antar daerah
jumlah dan
jenis bidang
penyelenggara
an kegiatan
kerjasama
>20%
Kab/Kot
a telah
melaksa
nakan
>25%
Kab/Kot
a telah
melaksa
nakan
>30%
Kab/Kot
a telah
melaksa
nakan
>40%
Kab/Kot
a telah
melaksa
nakan
>50%
Kab/Kot
a telah
melaksa
nakan
Program
Pembinaan Umum
Pemerintah
Daerah
Departemen Dalam
Negeri

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V19

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
TARGET
ALOKASI ANGGARAN BASELINE KEGIATAN
PRIORITAS
No.
FOKUS
PRIORITAS/
KEGIATAN
PRIORITAS
SASARAN
(Hasil
Outcomes/
Output yang
diharapkan)

INDIKATOR
2010 2011 2012 2013 2014

PROGRAM

KEMENTERIAN/
LEMBAGA TERKAIT 2010 2011 2012 2013 2014
antara daerah
terutama
dalam upaya
peningkatan
pelayanan
publik
KAD &
>75%
jenis
bidang
kerjasa
ma
terkait
dlm
pelayan
an
publik
KAD &
>75%
jenis
bidang
kerjasa
ma
terkait
dlm
pelayan
an
publik
KAD &
>75%
jenis
bidang
kerjasa
ma
terkait
dlm
pelayan
an
publik
KAD &
>75%
jenis
bidang
kerjasa
ma
terkait
dlm
pelayan
an
publik
KAD &
>75%
jenis
bidang
kerjasa
ma
terkait
dlm
pelayan
an
publik
jumlah daerah
yang berhasil
dan gagal
dalam
penyelenggara
an KAD (untuk
mengukur
manfaat yang
diperoleh
dengan adanya
KAD)
Penyusu
nan
sistem
databas
e, sistem
penilaia
n kinerja
dan
monev
KAD
Pemetaa
n
pelaksa
naan
KAD
baik
yang
sukses
maupun
yang
gagal
Pemetaa
n
pelaksa
naan
KAD
baik
yang
sukses
maupun
yang
gagal
Pemetaa
n
pelaksa
naan
KAD
baik
yang
sukses
maupun
yang
gagal
Pemetaa
n
pelaksa
naan
KAD
baik
yang
sukses
maupun
yang
gagal

Jumlah
sosialisasi dan
promosi KAD
terutama
dalam
penyelenggara
an pelayanan
publik
Pengem
bangan
program
kegiatan
sosialisa
si dan
promosi
KAD
Promosi
dan
sosialisa
si ke
seluruh
daerah
Promosi
dan
sosialisa
si ke
seluruh
daerah
Promosi
dan
sosialisa
si ke
seluruh
daerah
Promosi
dan
sosialisa
si ke
seluruh
daerah

publik dan
daya saing
ekonomi
daerah,

dengan daerah
lain maupun
pihak ketiga
dalam
penyelenggara
an pelayanan
publik
Jumlah
pengaturan
yang
mendorong
pelaksanaan
penyusu
nan
pengatu
ran
pelaksa
na PP
penyusu
nan
pengatu
ran
pelaksa
na PP

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V20

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
TARGET
ALOKASI ANGGARAN BASELINE KEGIATAN
PRIORITAS
No.
FOKUS
PRIORITAS/
KEGIATAN
PRIORITAS
SASARAN
(Hasil
Outcomes/
Output yang
diharapkan)

INDIKATOR
2010 2011 2012 2013 2014

PROGRAM

KEMENTERIAN/
LEMBAGA TERKAIT 2010 2011 2012 2013 2014
KAD No. 50
Tahun
2007
tentang
KAD
No. 50
Tahun
2007
tentang
KAD
Jumlah
kerjasama
antar daerah
yang terbentuk
di wilayah
strategis
>30%
Prov,
Kab/Kot
a di
wilayah
strategis
telah
melaksa
nakan
KAD
>35%
Prov,
Kab/Kot
a di
wilayah
strategis
telah
melaksa
nakan
KAD
>45%
Prov,
Kab/Kot
a di
wilayah
strategis
telah
melaksa
nakan
KAD
>60%
Prov,
Kab/Kot
a di
wilayah
strategis
telah
melaksa
nakan
KAD
>75%
Prov,
Kab/Kot
a di
wilayah
strategis
telah
melaksa
nakan
KAD
Program
Perencanaan
Pembangunan
Nasional
Bappenas b. Fasilitasi
pembentukan
kerjasama antar
daerah di
beberapa
wilayah
strategis
Meningkatnya
kerjasama
antar daerah di
wilayah
strategis
Jumlah
kegiatan
fasilisasi
kerjasama
antar daerah
Fasilitasi
KAD di
25%
Kab/Kot
a di
wilayah
strategis
Fasilitasi
KAD di
25%
Kab/Kot
a di
wilayah
strategis
Fasilitasi
KAD di
25%
Kab/Kot
a di
wilayah
strategis
Fasilitasi
KAD di
25%
Kab/Kot
a di
wilayah
strategis
Fasilitasi
KAD di
25%
Kab/Kot
a di
wilayah
strategis

3. Pengawasan
dan Evaluasi
Kinerja
Pemerintah
Daerah

a. Fasilitasi
pengawasan
Pemerintah
Daerah
Terlaksananya
pengawasan
terhadap
penyelenggara
an
pemerintahan
Jumlah laporan
pengawasan
terhadap
penyelenggara
an
pemerintahan
Program
Pengawasan
Keuangan dan
Pembangunan
BPKP

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V21

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
TARGET
ALOKASI ANGGARAN BASELINE KEGIATAN
PRIORITAS
No.
FOKUS
PRIORITAS/
KEGIATAN
PRIORITAS
SASARAN
(Hasil
Outcomes/
Output yang
diharapkan)

INDIKATOR
2010 2011 2012 2013 2014

PROGRAM

KEMENTERIAN/
LEMBAGA TERKAIT 2010 2011 2012 2013 2014
daerah daerah
b. Fasilitasi
evaluasi kinerja
Pemda
Terlaksananya
evaluasi
terhadap
kinerja
penyelenggara
an
pemerintahan
daerah
Jumlah laporan
evaluasi
kinerja
penyelenggara
an
pemerintahan
daerah
Program
Pemantapan
Otonomi Daerah
Departemen Dalam
Negeri

4. Penataan
Daerah

a. Fasilitasi
penyusunan
regulasi
pengganti PP
No. 78 Tahun
2007 dan revisi
terbatas UU No
10 Tahun 2004
dalam rangka
pengecualian
proses dan
prosedur
pembentukan
undang-undang
pembentukan
daerah otonom
baru
Tersusunnya
regulasi yang
menjadi satu-
satunya
landasan
hukum dalam
pembentukan
daerah otonom
baru.

Regulasi
tersebut
menjadikan
bahwa proses
dan prosedur
pembentukan
daerah otonom
menjadi lebih
ketat.
PP pengganti
PP No. 78
Tahun 2007

Revisi terbatas
UU No. 10
Tahun 2004


Evaluasi
pelaksa
naan PP
78/2007
Naskah
akademi
k PP
baru
tentang
Pemekar
an dan
Pengga
bungan
Daerah
Pengesa
han PP
Pemekar
an dan
Pengga
bungan
Pelaksan
aan PP
Pemekar
an dan
Pengga
bungan
Monitori
ng
pelaksa
naan PP
dan
kinerja
DOB
Program
Pemantapan
Otonomi Daerah
Departemen Dalam
Negeri

b. Penyusunan
peraturan
Tersusunnya
peraturan
Terbit
peraturan
Evaluasi
terhada
Tersusu
nnya
Pengesa
han PP
Pelaksan
aan PP
Monitori
ng
Program
Pemantapan
Departemen Dalam

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V22

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
TARGET
ALOKASI ANGGARAN BASELINE KEGIATAN
PRIORITAS
No.
FOKUS
PRIORITAS/
KEGIATAN
PRIORITAS
SASARAN
(Hasil
Outcomes/
Output yang
diharapkan)

INDIKATOR
2010 2011 2012 2013 2014

PROGRAM

KEMENTERIAN/
LEMBAGA TERKAIT 2010 2011 2012 2013 2014
pelaksana
undang-undang
yang mengatur
daerah dengan
otonomi khusus
pelaksana pelaksana
turunan UU
yang mengatur
daerah dengan
otonomi
khusus
p UU
18/2001
dan UU
21/2001
draf PP
Otsus di
NAD dan
Otsus di
Papua
Otsus di
NAD dan
Otsus di
Papua
Otsus
Evaluasi
PP
Otonomi
Khusus
di DI
Jogjakar
ta
pelaksa
naan PP
Otsus di
NAD dan
Papua
Otonomi Daerah Negeri
c. Fasilitasi
evaluasi
terhadap usulan
pembentukan
daerah otonom
baru
Terlaksananya
evaluasi dan
rekomendasi
usulan
pembentukan
daerah otonom
baru.
Laporan
evaluasi dan
rekomendasi
terhadap
usulan
pembentukan
daerah otonom
baru.
Evaluasi
DOB
yang
dibentu
k pada
periode
2001-
2003
Evaluasi
DOB
yang
dibentu
k pada
periode
2004-
2006
Evaluasi
DOB
yang
dibentu
k pada
periode
2007-
2009
Evaluasi
terhada
p usulan
pemben
tukan
DOB
Penyusu
nan
rekome
ndasi
terhada
p
pemeka
ran dan
atau
pengga
bungan
Program
Pemantapan
Otonomi Daerah
Departemen Dalam
Negeri

d. Kajian
penggabungan
daerah
Terlaksananya
kajian
penggabungan
daerah
Laporan kajian
penggabungan
daerah
Kajian
DOB
yang
dibentu
k
dengan
PP
129/200
0
Penyusu
nan
rekome
ndasi
pengga
bungan
daerah
Kajian
DOB
yang
dibentu
k
dengan
PP
78/2007
Penyusu
nan
rekome
ndasi
pengga
bungan
daerah
Monitori
ng
kinerja
pelayan
an
publik
di DOB
Perencanaan
Pembanguanan
Nasional
Bappenas

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V23

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
5.3. Prioritas Bidang Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah A. Kondisi Umum
Pada tahun 2007 Pemerintah telah menerbitkan dua Peraturan Pemerintah yang
menjadi dasar bagi pelaksanaan pemerintahan, baik di pusat maupun daerah,
sebagai perwujudan Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Kedua PP tersebut
adalah PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota, dan PP No.41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Sebagai tindak lanjut dari penerbitan PP No.38 tahun 2007, maka diperlukan
pedoman mengenai organisasi perangkat daerah yang sinergis dengan urusan
pemerintahan yang harus dilaksanakan sebagai respon atas kondisi
kelembagaan pemerintah yang belum menunjukkan efisiensi dan efektivitas
dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dicirikan dengan jelasnya
tupoksi tiap instansi tanpa adanya tumpang tindih, kelengkapan Standar
Operasional Prosedur (SOP), sistem koordinasi antar organisasi pemerintah, dan
pemenuhan sarana dan prasarana pemerintahan.
Dalam PP No.41 Tahun 2007, organisasi perangkat daerah merupakan unsur
pembantu Kepala Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang
terdiri dari Setda, Sekwan, Dinas, Lembaga Teknis Daerah (meliputi badan,
kantor dan Rumah Sakit Daerah) untuk wilayah provinsi; sedangkan untuk
wilayah kabupaten/kota dengan menyertakan kecamatan dan kelurahan.
Lembaga Pemerintah Daerah yang terkait erat dengan penyelenggaraan
pelayanan publik adalah dinas dan lembaga teknis daerah. Dalam PP No.41 tahun
2007, pengaturan terhadap organisasi perangkat daerah menekankan pada
ketentuan jumlah dinas dan lembaga teknis daerah (tidak termasuk Rumah Sakit
Daerah). Keberadaan dinas dan lembaga teknis daerah di tiap provinsi dan
kebupaten/kota di Indonesia sendiri sangat bervariasi dan didasarkan pada
kebutuhan masing-masing daerah.
Berdasarkan data Biro Organisasi, Departemen Dalam Negeri, yang berasal dari
laporan Pemerintah Daerah, pelaksanaan restrukturisasi kelembagaan
pemerintahan daerah belum sesuai seperti yang diharapkan. Karena sampai
dengan pertengahan 2009 pencapaian pelaksanaan PP No.41 Tahun 2007 oleh

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V24

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Pemerintah Daerah baru mencapai 56 persen dari seluruh wilayah di Indonesia.
Dari 295 wilayah (provinsi, kabupaten dan kota), 12,5 persen diantaranya telah
melaksanakan pada tahun 2007, sebanyak 87 persen, melaksanakan PP tersebut
pada tahun 2008, dan 0,7 persen pada tahun 2009. Sisanya, masih terdapat 5
provinsi, 175 kabupaten dan 55 kota yang belum melaksanakan PP tersebut, atau
setidaknya belum melaporkan perda organisasi perangkat daerah mereka
berdasarkan PP No.41 Tahun 2007.
Salah satu implikasi dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah
terjadinya penyerahan kewenangan atau urusan yang lebih luas kepada
Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya secara otonom.
Penyerahan sebagian besar kewenangan dari pemerintah kepada Pemerintah
Daerah ini dilakukan dalam rangka meningkatkan pelayanan publik kepada
masyarakat. Selain itu, adanya perubahan kebijakan yang tertuang dalam UU
No.32 Tahun 2004 khususnya di dalam pasal 37 dan 38, adalah memberikan peran
yang lebih besar kepada Pemerintah Provinsi sebagai wakil dari Pemerintah
Pusat dan sebagai koordinator dari pembangunan kabupaten/kota di dalam
provinsi tersebut.
Jumlah keseluruhan aparatur Pemerintah Daerah di Indonesia (tidak termasuk
pegawai negeri sipi pusat) berkisar 3 juta personel. Nilai tersebut hanya
sebanyak 1,3 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Ditambah dengan jumlah
PNS di pusat, jumlahnya adalah 1,7 persen dari seluruh jumlah penduduk. Jumlah
tersebut masih belum dapat memberikan informasi bahwa jumlah PNS secara
nasional telah berkecukupan atau masih berkekurangan atau telah berkelebihan.
persentase ini masih di bawah angka pegawai negeri yang ada di Thailand, yakni
2,81 persen, Singapura (3,67 persen), dan Brunei Darussalam (12,9 persen).
Komposisi jumlah pegawai untuk dapat melaksanakan tupoksi dan wewenang
secara efektif dan efisien masih jauh dari ideal. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa
jumlah pegawai yang melaksanakan tugas administrasi hampir 40 persen dari
jumlah pegawai negeri sipil saat ini. Padahal, menurut prinsip organisasi yang
efisien, jumlah tenaga adminstratif hanya berkisar antara 15 persen hingga 20
persen dari total pegawai yang ada.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V25

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Selama ini, usaha-usaha peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah lebih banyak
dilakukan melalui diklat-diklat maupun pelatihan yang diarahkan langsung pada
aparat Pemerintah Daerah. Pelatihan-pelatihan itu diselenggarakan untuk
berbagai bidang berdasarkan kebutuhan Pemerintah Daerah atau berdasarkan
kebutuhan terkait dikeluarkannya kebijakan baru dari Pemerintah. Selain itu,
peningkatan sarana/prasarana penunjang diklat seperti kualitas pengajar,
koordinasi dalam penyelenggaraan, fasilitas diklat dan sebagainya juga terus
ditingkatkan. Namun demikian, pengaturan atau pedoman dalam manajemen
aparatur itu sendiri masih memerlukan banyak penanganan, termasuk belum
adanya standar kompetensi maupun pola mutasi untuk aparat Pemerintah
Daerah. Pengaturan-pengaturan teknis seperti ini masih diperlukan karena
adanya perbedaan-perbedaan pengaturan antara sebelum dan setelah
diberlakukannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Seiring dengan pengalihan urusan-urusan pemerintahan kepada pemerintah
daerah, keuangan daerah juga meningkat secara signifikan. Dana APBN yang
didaerahkan meningkat lebih dari 100 persen pada awal pelaksanaan kebijakan
otonomi daerah di Indonesia sehingga dibutuhkan praktek pengelolaan
keuangan daerah yang lebih baik. Sebagai turunan dari UU No.17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan
Pemerintah No.58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Berdasarkan PP tersebut, Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan
kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,
pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan
daerah tersebut merupakan subsistem dari dari sistem pengelolaan keuangan
negara dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan Pemerintah
Daerah.
Sebagai tindak lanjut PP No.58 tahun 2005, Depdagri telah mengeluarkan
Permendagri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah,
dan terakhir telah direvisi dengan Permendagri No.59 Tahun 2007 tentang
Perubahan Atas Permendagri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah. Peraturan ini khusus mengatur mengenai pedoman

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V26

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
pengelolaan keuangan daerah yang baru, sesuai arah reformasi tata kelola
keuangan negara/daerah.
Selain itu, dari segi kapasitas keuangan daerah, Pemerintah Daerah masih sangat
bergantung pada dana perimbangan. Oleh karena itu, diperlukan pemanfaatan
beberapa alternatif sumber penerimaan daerah diluar pajak dan retribusi
daerah, yaitu pemanfaatan pinjaman daerah, pengelolaan aset daerah,
pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), pengelolaan Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD).
B. Permasalahan Dan Sasaran Pembangunan
Untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik diperlukan kapasitas
pemerintahan daerah yang mapan. Terkait dengan itu, beberapa permasalahan
yang diperkirakan relevan dalam lima tahun ke depan adalah sebagai berikut:
1. Permasalahan utama dalam bidang kelembagaan adalah penerapan prinsip-
prinsip organisasi modern, kepemerintahan yang baik (good
governance), efektivitas dan efisiensi dalam kelembagaan Pemerintah
Daerah, terutama dalam hal peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah untuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensi birokrasi, dalam penyelenggaraan
pelayanan publik dan pelayanan satu atap untuk perizinan investasi.
2. Penerapan sistem evaluasi dan monitoring pembangunan daerah,
terutama terkait dengan penerapan PP No. 6 Tahun 2008 serta merumuskan
implikasi atau sistem penindaklanjutan hasil evaluasi yang dilakukan.
3. Permasalahan utama dalam bidang aparatur Pemerintah Daerah dapat dibagi
dua, yaitu terkait dengan kompetensi atau kualitas aparatur dan yang
terkait dengan pengelolaan atau pendayagunaan aparatur. Untuk
kompetensi atau kualitas aparatur, permasalahan 5 tahun ke depan masih
berkisar pada upaya-upaya peningkatan kualitas melalui kegiatan-kegiatan
diklat atau pelatihan untuk aparatur Pemerintah Daerah. Dalam hal
manajemen aparatur, tantangan utama untuk Pemerintah dalam 5 tahun ke
depan adalah menyusun, menerapkan, dan memantapkan pengaturan
mengenai standar kompetensi, pola formasi, pola karir, mutasi, remunerasi
dan rekruitmen pegawai. Sampai saat ini, kejelasan pengaturan mengenai hal

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V27

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
ini belum ada, dan penerapannya memerlukan koordinasi yang kuat antara
Pemerintah dengan Pemerintah Daerah.
4. Permasalahan dalam bidang keuangan daerah antara lain: (a) belum
optimalnya peran dana perimbangan dalam membiayai
penyelenggaraan otonomi daerah, (b) belum optimalnya pajak dan
retribusi daerah yang tepat dan proporsional sehingga dapat menjadi
sumber utama penerimaan daerah sekaligus tidak menimbulkan
ekonomi biaya tinggi di daerah, (c) belum optimalnya pemanfataan dan
pengelolaan sumber-sumber alternatif penerimaan daerah seperti
pinjaman daerah, aset daerah, BLUD, BUMD, (d) belum profesionalnya
pengelolaan keuangan daerah, (e) belum optimalnya penerapan Sistem
Informasi Keuangan Daerah (SIKD) dan Sistem Informasi Pengelolaan
Keuangan Daerah (SIPKD).
Berdasarkan penjabaran permasalahan-permasalahan tersebut diatas, maka
sasaran-sasaran pokok pembangunan dalam 5 tahun kedepan adalah sebagai
berikut :
Terwujudnya pemerintahan daerah yang memiliki kapasitas untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah dalam
kerangka NKRI.
C. Strategi Dan Arah Kebijakan Pembangunan
Arah kebijakan peningkatan kapasitas pemerintahan daerah adalah
membentuk Pemerintah Daerah yang mampu memberikan pelayanan
publik yang berkualitas, mendorong peningkatan daya saing daerah, serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan arah kebijakan
tersebut harus didukung oleh aparatur Pemerintah Daerah yang profesional pada
organisasi perangkat daerah yang efisien dan efektif serta kemampuan keuangan
Pemerintah Daerah yang akuntabel sesuai prinsip penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang baik.
Selanjutnya arah kebijakan tersebut akan dilaksanakan dengan strategi
pembangunan bidang, antara lain sebagai berikut :

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V28

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
1. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah dan DPRD
Strategi ini mendorong Pemerintah Daerah untuk membentuk organisasi
perangkat daerah yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan
kemampuan serta potensi daerah. Pembentukan organisasi perangkat daerah
ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan
kualitas pelayanan publik dan mendorong peningkatan daya saing daerah
secara efektif (pemenuhan lingkup, jangkauan, dan luas wilayah pelayanan)
dan efisien (tidak membebani APBD dan APBN serta menambah birokrasi).
Dalam kerangka tersebut, organisasi perangkat daerah yang ada didorong
untuk melakukan dan meningkatkan kerjasama daerah terutama pada wilayah
perbatasan antar daerah dan wilayah aliran sungai. Untuk itu, maka
diperlukan suatu regulasi, sistem, dan pemahaman bersama berbagai pihak
baik pemerintah (K/L) maupun pemerintahan daerah (termasuk kepala
daerah dan DPRD).
Disamping itu, strategi ini juga berisikan upaya penyusunan regulasi yang
tepat bagi daerah, baik dari sisi proses, prosedur penyusunannya, maupun
dari sisi materi (substansi pengaturan) dari regulasi daerah tersebut. Untuk itu
perlu dilakukan peningkatan kapasitas DPRD sebagai bagian dari
pemerintahan daerah, Sehingga tercipta pengawasan penyelenggaraan
Pemerintah Daerah secara tepat, tercipta kontrol dan keseimbangan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Disamping itu, DPRD dapat bekerja
sama dengan Pemerintah Daerah secara baik dalam menyusun APBD
sehingga penetapan APBD dapat tepat waktu, dan dapat menyusun regulasi
daerah secara tepat.
2. Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintah Daerah dan Anggota DPRD
Strategi ini mendorong aparatur Pemerintah Daerah berfungsi menjadi
fasilitator dalam rangka peningkatan pelayanan masyarakat,
penyelenggaraan pemerintahan daerah serta mendorong penciptaan aparatur
Pemerintah Daerah yang kompeten dan profesional. Untuk itu diperlukan
regulasi, sistem, dan budaya kerja bagi aparatur Pemerintah Daerah yang

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V29

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
mampu memberikan kepastian hukum, kemudahan bekerja, kesesuaian
pekerjaan dengan tingkat kompetensi, kejelasan jenjang karir (termasuk
mutasi, rotasi, dan promosi secara lintas organisasi, lintas daerah, dan lintas
tingkatan pemerintah), serta sistem reward dan punishment yang tepat dan
memadai. Strategi peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah
meliputi upaya agar pemimpin daerah melakukan berbagai inovasi
peningkatan pelayanan publik dengan berdasarkan kemampuan keuangan
Pemerintah Daerah yang ada. Strategi ini juga dimaksudkan sebagai upaya
untuk dapat menjamin keutuhan mata rantai pelaksanaan kebijakan nasional
di daerah. Seiring dengan itu, untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik
maka pelatihan teknis dan substantif perlu terus dilakukan baik oleh
pelaksana diklat di Pusat maupun di daerah. Dalam kerangka itu, maka
pelatihan diklat yang ada ditujukan bagi upaya dan dukungan pencapaian
standar pelayanan yang telah ditetapkan.
Selain peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah, perlu dilakukan
juga peningkatan kapasitas legislatif daerah. Hal ini ditujukan untuk
meningkatkan kemampuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
dalam penyusunan regulasi yang mendukung peningkatan kesejahteraan
masyarakat, pelayanan publik dan daya saing daerah. Peningkatan kapasitas
anggota DPRD juga perlu dilakukan agar harmonisasi peraturan perundang-
undangan daerah dengan peraturan perundangan diatasnya tetap terjaga.
3. Peningkatan Kapasitas Keuangan Pemerintah Daerah
Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas keuangan Pemerintah
Daerah baik dari aspek sumber-sumber penerimaan daerah maupun dari
aspek pemanfaatan dan pengelolaan keuangan daerah. Strategi ini
diharapkan akan meningkatkan dan memperluas basis penerimaan
Pemerintah Daerah sehingga mengurangi ketergantungan terhadap dana
perimbangan dari pusat. Peningkatan kapasitas keuangan Pemerintah Daerah
ini diarahkan untuk mendukung iklim usaha yang kondusif di daerah tersebut.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V30

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Peningkatan kapasitas keuangan Pemerintah Daerah juga didorong untuk
meningkatkan kemampuan daerah dalam mengelola sumber daya daerah dan
meningkatkan kemampuan pengelolaan keuangan daerah. Oleh karena itu
perlu dilakukan peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah dalam
melakukan pengelolaan keuangan daerah secara profesional dan akuntabel.
Arah kebijakan dan strategi tersebut di atas dapat dijelaskan dalam
bagan di bawah ini, yaitu:
Gambar 5.2
Arah Kebijakan dan Strategi Prioritas Bidang Peningkatan Kapasitas
Pemerintahan Daerah




Prioritas Bidang Fokus Prioritas Indikator


Kinerja
PENINGKATAN
KAPASITAS
PEMERINTAHAN
DAERAH
Sasaran:
Indikator:
Peningkatan Kapasitas
Kelembagaan
Pemerintah Daerah dan
DPRD
Peningkatan Kapasitas
Aparatur Pemerintah
Daerah dan Anggota
DPRD
Peningkatan Kapasitas
Keuangan Pemerintah
Daerah
Terwujudnya pemerintahan
daerah yang memiliki kapasitas
untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat,
pelayanan umum, dan daya
saing daerah dalamkerangka
NKRI
-% pemda dengan struktur
organisasi daerah yang sesuai
dengan regulasi yang mengatur
organisasi/ kelembagaan
daerah
-Jumlah perda yang sesuai
dengan peraturan perundangan
yang lebih tinggi
-Keberadaan regulasi yang
mengatur sistem
manajemen aparatur Pemda
- Rasio jumlah PNSD yang
mampu mengelola layanan
pendidikan, kesehatan dan
pemerintahan dalamnegeri
terhadap jumlah penduduk
-Proporsi belanja modal terhadap
total belanja daerah
-Rasio penerimaan asli daerah (di
luar pajak & retribusi daerah)
terhadap APBD
-Rasio penerimaan pajak daerah
(yang sesuai aturan perundangan
yang lebih tinggi) terhadap APBD
1)Jumlah pemda yang mampu
menurunkan tingkat kemiskinan
2)Jumlah pemda yang mampu
menerapkan SPM di bidang
pendidikan, kesehatan, dan
pemerintahan dalamnegeri.
3)Jumlah pemda yang mampu
meningkatkan realisasi
penanaman modal

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V31

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Tabel 5.3. PRIORITAS BIDANG: PENINGKATAN KAPASITAS PEMERINTAHAN DAERAH
TARGET
ALOKASI ANGGARAN BASELINE
KEGIATAN PRIORITAS
No.
FOKUS PRIORITAS/
KEGIATAN PRIORITAS
SASARAN (Hasil
Outcomes/Output
yang diharapkan)

INDIKATOR
2010 2011 2012 2013 2014

PROGRAM

KEMENTERIAN/
LEMBAGA
TERKAIT
2010 2011 2012 2013 2014
1. Peningkatan Kapasitas
Kelembagaan
Pemerintah Daerah
dan DPRD

a. Harmonisasi regulasi
sektoral dan regulasi
desentralisasi dan
otonomi daerah yang
terkait dengan
pembentukan organisasi
perangkat daerah .
Tercapainya
pemahaman bersama
(stakeholders Pusat)
terhadap organisasi
perangkat daerah
Terlaksananya
penyesuaian atau
revisi terhadap
UU sektoral yang
belum harmonis
dengan UU
pemerintahan
daerah
Revisi
thd
UU di
bidan
g
perta
nahan
Revisi
UU di
bidan
g
pelay
anan
publi
k
Revisi
UU di
bidan
g
indust
ri dan
ekono
mi
lokal
Revisi
UU di
bidan
g tata-
ruang
Monit
oring
pelak
sanaa
n
revisi
undan
g-
undan
g
Program
Penataan
Kelembagaan
Kementerian
Negara PAN

b. Penyusunan regulasi
yang mengatur
organisasi perangkat
daerah sebagai revisi
atas PP No. 41 Tahun
2007.
Tersusunnya
kelembagaan
pemerintah daerah yang
efektif (pemenuhan
lingkup, jangkauan, dan
luas wilayah pelayanan)
dan efisien (tidak
membebani APBD/APBN
dan tidak menambah
birokrasi) sesuai dengan
kebutuhan dan
kemampuan daerah
masing-masing.
Peraturan
Pemerintah
pengganti PP No.
41 Tahun 2007.

Pemerintah
daerah yang
organisasi
perangkat
daerahnya sesuai
dengan PP
pengganti PP No.
41 Tahun 2007.
Evalu
asi
pelak
sanaa
n PP
41/20
07
Penyu
sunan
Naska
h
Akad
emik
PP
tentan
g SOT
Peng
esaha
n PP
tentan
g SOT
Pelak
sanaa
n PP
tentan
g SOT
Monit
oring
pemb
entuk
an
organ
isasi
Pemd
a
Program
Pemantapan
Otonomi
Daerah
Departemen
Dalam Negeri

c. Pelaksanaan pembinaan
dan peningkatan
kemampuan anggota
Kapasitas anggota DPRD
yang memadai sebagai
mitra kerja Pemerintah
Daerah dalam
Meningkatnya
kemampuan
anggota DPRD
dalam
Pelak
sanaa
n
Bintek
Pelak
sanaa
n
Bintek
Pelak
sanaa
n
Bintek
Perlu
asan
Bintek
Evalu
asi
terha
dap

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V32

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
TARGET
ALOKASI ANGGARAN BASELINE
KEGIATAN PRIORITAS
No.
FOKUS PRIORITAS/
KEGIATAN PRIORITAS
SASARAN (Hasil
Outcomes/Output
yang diharapkan)

INDIKATOR
2010 2011 2012 2013 2014

PROGRAM

KEMENTERIAN/
LEMBAGA
TERKAIT
2010 2011 2012 2013 2014
DPRD penyelenggaraan
pemerintahan
menjalankan
fungsi-fungsinya
fungsi
Legisl
asi
fungsi
Penga
wasan
Fungs
i
Penga
nggar
an
DPRD penin
gkata
n
kapas
itas
DPRD
2. Peningkatan Kapasitas
Aparatur Pemerintah
Daerah


a. Penyusunan peraturan
dan pedoman
perkembangan karir
bagi PNS daerah secara
transparan, akuntabel,
dan berdasarkan
prestasi (merit based),

Tersusunnya regulasi
dan terlaksananya
sistem rekruitmen, karir,
insentif bagi PNS daerah
yang transparan,
akuntabel dan berdasar
prestasi
0% keluhan PNS
daerah terhadap
sistem karir.
Program
Manajemen
Aparatur
Pemda
Kementerian
Negara PAN

b. Pelatihan etika dan
kepemimpinan daerah.

Terlaksananya pelatihan
etika dan kepemimpinan
Jumlah kepala
daerah yang
mengikuti
pelatihan
Program
Pendidikan
dan Latihan
Depdagri
Departemen
Dalam Negeri

3. Peningkatan Kapasitas
Keuangan Pemerintah
Daerah


a. Fasilitasi peningkatan
kemampuan keuangan
daerah termasuk
Meningkatnya PAD
tanpa harus
mengganggu iklim
Proporsi rata-rata
PAD terhadap
APBD menjadi
18% (provinsi)
Program
Pembinaan
Administrasi
Keuangan
Departemen
Dalam Negeri

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V33

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
TARGET
ALOKASI ANGGARAN BASELINE
KEGIATAN PRIORITAS
No.
FOKUS PRIORITAS/
KEGIATAN PRIORITAS
SASARAN (Hasil
Outcomes/Output
yang diharapkan)

INDIKATOR
2010 2011 2012 2013 2014

PROGRAM

KEMENTERIAN/
LEMBAGA
TERKAIT
2010 2011 2012 2013 2014
manajemen aset daerah,

usaha dan 19%
(kabupaten/ kota)
dan 0% perda
pajak daerah dan
retribusi daerah
bermasalah
Daerah
b. Fasilitasi peningkatan
kemampuan
pengelolaan keuangan
pemerintah daerah
Penetapan APBD secara
tepat waktu
Jumlah APBD yang
disahkan secara
tepat waktu.
Program
Pembinaan
Administrasi
Keuangan
Daerah
Departemen
Dalam Negeri

c. Fasilitasi peningkatan
penyusunan laporan
keuangan pemerintah
daerah
Meningkatnya jumlah
daerah dengan Laporan
Keuangan Pemerintah
Daerah (LKPD) berstatus
Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP).
50% daerah
berLKPD WTP
Program
Pengawasan
Keuangan
Pembanguna
n
Badan Pengawas
Keuangan dan
Pembangunan

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V34

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
5.4. Prioritas Bidang Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik (Usulan Fokus
Prioritas : Perumusan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal)
A. Kondisi Umum
Berlandaskan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan RPJMN
2004-2009, RPJM 2010-2014 ditujukan untuk lebih memantapkan penataan
kembali Indonesia di segala bidang dengan menekankan upaya peningkatan
kualitas sumber daya manusia termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan
teknologi serta penguatan daya saing perekonomian. Secara lebih khusus,
arahan untuk RPJM ke-2 untuk bidang desentralisasi dan otonomi daerah dari
RPJPN 2005-2025 adalah kehidupan bangsa yang lebih demokratis semakin
terwujud ditandai dengan membaiknya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi
daerah serta kuatnya peran masyarakat sipil dan partai politik dalam kehidupan
bangsa. Posisi penting Indonesia sebagai negara demokrasi yang besar juga
diarahkan makin meningkat dengan keberhasilan diplomasi di fora internasional
dalam upaya pemeliharaan keamanan nasional, integritas wilayah, dan
pengamanan kekayaan sumber daya alam nasional. Selanjutnya, kualitas
pelayanan publik yang lebih murah, cepat, transparan, dan akuntabel makin
meningkat yang ditandai dengan terpenuhinya standar pelayanan minimal di
semua tingkatan pemerintah.
Dalam rangka menyediakan pelayanan kepada masyarakat, Pemerintah
harus mampu menjamin terpenuhinya hak dasar masyarkat di seluruh daerah
atas layanan dasar publik yang bersifat wajib. Untuk itu, dibutuhkan sebuah
standar minimal yang berlaku sama untuk seluruh daerah di Indonesia. Standar
ini memberikan petunjuk kepada seluruh daerah tentang jenis dan mutu
pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh
setiap warga secara minimal, serta digunakan sebagai salah satu indikator
kinerja penyelenggaraan pelayanan publik oleh daerah.
Sejak direvisinya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
menjadi UU No. 32 Tahun 2004, berbagai SPM yang telah terbit berdasarkan UU
No. 22 Tahun 1999 harus disesuaikan dengan UU No. 32 Tahun 2004. Sehubungan
dengan itu, telah diterbitkan :

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V35

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
1. PP No. 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar
Pelayanan Minimal pada tanggal 28 Desember 2005.
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis
Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal sebagai peraturan
pelaksanaan dari PP 65/2005 pada tanggal 7 Februari 2007.
3. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 100.05 76 Tahun 2007 Tentang
Pembentukan Tim Konsultasi Penyusunan Standar Pelayanan Minimal pada
tanggal 7 Februari 2007. Tim Konsultasi SPM terdiri dari Departemen Dalam
Negeri, Departemen Keuangan, Kementrian PAN dan Bappenas yang
mempunyai tugas menyerasikan usulan-usulan SPM dari
Kementerian/Lembaga.
Dengan telah diterbitkannnya Pedoman dan Petunjuk Teknis (Juknis)
tentang SPM tersebut dan difasilitasinya penyusunan SPM di berbagai sektor
oleh Tim Konsultasi, maka, sampai saat ini (2009) telah diterbitkan SPM di bidang
kesehatan, lingkungan hidup, sosial, pemerintahan dalam negeri di
Kabupaten/Kota, dan perumahan rakyat. Adapun SPM untuk bidang
ketenagakerjaan, keluarga berencana, dan pemberdayaan perempuan telah
memasuki tahap akhir pembahasan di sidang DPOD.
Saat ini sedang disusun Peraturan Menteri Dalam Negeri Tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) berdasarkan
Analisis Kemampuan dan Potensi Daerah.
B. Permasalahan Dan Sasaran Pembangunan
Beberapa permasalahan terkait dengan prioritas bidang tersebut di atas
dapat dirinci sebagai berikut
1. Belum selesainya perumusan SPM (Standar Pelayanan Minimal) untuk semua
urusan yang terkait pelayanan publik, terutama pelayanan publik dasar
2. Implementasi SPM masih terkendala permasalahan kelembagaan dan
penganggaran di Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah masih memerlukan
persiapan untuk dapat menerapkan SPM tesebut
3. Belum tersedianya pedoman penganggaran SPM di daerah

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V36

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
4. Kapasitas aparatur Pemerintah Daerah masih perlu ditingkatkan, karena
belum dipersiapkan untuk dapat langsung menggunakan SPM
5. Belum ada mekanisme insentif/disinsentif bagi daerah dalam penerapan SPM
6. Pemerintah Daerah memerlukan bimbingan teknis dalam penerapan SPM di
daerah
Berdasarkan kondisi umum dan permasalahan yang dihadapi, maka
dirumuskan sasaran-sasaran sebagai berikut:
1. Terselesaikannya perumusan Standar Pelayanan Minimal untuk seluruh urusan
wajib di tahun 2012.
2. Penyelenggaraan pelayanan publik di seluruh kabupaten/kota berdasarkan
Standar Pelayanan Minimal (SPM).
C. Strategi Dan Arah Kebijakan Pembangunan
Untuk mencapai sasaran di atas, strategi pembangunan yang direncanakan
diantaranya adalah :
1. Fasilitasi penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Muatan pokok dalam strategi ini mencakup upaya-upaya koordinasi untuk
mendorong percepatan penyusunan SPM oleh kementerian/lembaga sektoral
penyedia pelayanan publik.
2. Fasilitasi penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di daerah
Muatan pokok dalam strategi ini mencakup: (1) perumusan model skema
pembiayaan dan penganggaraan di daerah untuk dapat mengakomodasi SPM;
(2) perumusan mekanisme insentif/disinsentif bagi daerah dalam penerapan
SPM; (3) bimbingan teknis dalam penerapan SPM di daerah; (4) perumusan
inovasi-inovasi dalam penyelenggaraan SPM, seperti melalui pola kerjasama
antardaerah; (5) peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah untuk
dapat menerapkan SPM; dan (6) perumusan struktur kelembagaan
pemerintah yang efektif, efisien dan akuntabel dalam mendukung
pelaksanaan SPM, seperti lembaga pelayanan satu atap.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V37

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Tabel 5.4. PRIORITAS BIDANG: PERUMUSAN DAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL
TARGET (kumulatif)
ALOKASI ANGGARAN BASELINE
KEGIATAN PRIORITAS
No.
FOKUS PRIORITAS/
KEGIATAN
PRIORITAS
SASARAN (Hasil
Outcomes/Output
yang diharapkan)

INDIKATOR 2010 2011 2012 2013 2014

PROGRAM

KEMENTERIAN/
LEMBAGA
TERKAIT
2010 2011 2012 2013 2014
1. Fasilitasi Penyusunan
Standar Pelayanan
Minimal (SPM)
Terselesaikannya
perumusan Standar
Pelayanan Minimal
untuk seluruh
urusan wajib di
tahun 2012.

c. Fasilitasi percepatan
penyusunan SPM oleh
Kementerian/Lembaga
yang terkait dengan
bidang-bidang urusan
wajib
Terumuskannya
Standar Pelayanan
Minimal untuk
bidang-bidang yang
terkait dengan
pelayanan publik,
terutama pelayanan
publik dasar
Jumlah SPM yang
disahkan
13
(5 pada
2009, 8
pada
2010)
20
(7 pada
2011)
26
(6 pada
2012)
- -
d. Sosialisasi Standar
Pelayanan Minimal
(SPM)
Tersosialisasikannya
SPM yang telah
disahkan
Jumlah SPM yang
tersosialisasikan
Jumlah daerah
yang mendapat
sosialisasi
5

75%
13

85%
20

95%
26

100%
-
2. Fasilitasi Penerapan
Standar Pelayanan
Minimal (SPM) di
Daerah
Kualitas pelayanan
publik yang lebih
murah, cepat,
transparan dan
akuntabel makin
meningkat yang
ditandai dengan
terpenuhinya SPM di
semua tingkatan
pemerintahan

c. Pengembangan skema
pembiayaan dan
penganggaran daerah
untuk mengakomodasi
Terumuskannya
struktur APBD yang
telah
mengakomodasi
Jumlah daerah
yang telah
melakukan
perubahan struktur
APBD untuk
Perumus
an
struktur
APBD
untuk
Sosialisa
si dan
bimbing
an teknis
30% 60% 90% Departemen
Dalam Negeri

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V38

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
TARGET (kumulatif)
ALOKASI ANGGARAN BASELINE
KEGIATAN PRIORITAS
No.
FOKUS PRIORITAS/
KEGIATAN
PRIORITAS
SASARAN (Hasil
Outcomes/Output
yang diharapkan)

INDIKATOR 2010 2011 2012 2013 2014

PROGRAM

KEMENTERIAN/
LEMBAGA
TERKAIT
2010 2011 2012 2013 2014
penerapan SPM penerapan SPM penerapan SPM penerap
an SPM
d. Pengembangan sistem
insentif/disinsentif bagi
daerah dalam
penerapan SPM
Terumuskannya
sistem
insentif/disinsentif
bagi daerah dalam
penerapan SPM
Sistem
insentif/disinsentif
dirumuskan dan
diterapkan
- Perumus
an sistem
insentif/
disinsent
if
Penerap
an sistem
insentif/
disinsent
if
Penerap
an sistem
insentif/
disinsent
if
Penerap
an sistem
insentif/
disinsent
if
Bappenas
c. Fasilitasi bimbingan
teknis dalam
penerapan SPM di
daerah
Tercapainya
pemahaman yang
sama di daerah
dalam penerapan
SPM
Jumlah daerah
yang mendapatkan
bimbingan teknis
- - 30% 60% 90%
d. Peningkatan kapasitas
aparatur Pemerintah
Daerah dalam rangka
mempersiapkan
Pemerintah Daerah
untuk penerapan SPM
Aparat Pemerintah
Daerah memiliki
kompetensi yang
cukup untuk
menyelenggarakan
pelayanan publik
sesuai SPM
Jumlah bidang
SPM yang
menjadi materi
diklat
Jumlah keluhan
masyarakat
terkait kualitas
aparat dalam
penyelenggaraa
n pelayanan
publik
berkurang
2


Berkuran
g relatif
dibandin
g tahun
sebelum
nya
7


Berkuran
g relatif
dibandin
g tahun
sebelum
nya
15


Berkuran
g relatif
dibandin
g tahun
sebelum
nya
22


Berkuran
g relatif
dibandin
g tahun
sebelum
nya
26


Berkuran
g relatif
dibandin
g tahun
sebelum
nya

f. Monitoring dan
evaluasi penerapan
SPM
Terbangunnya
sistem monitoring
dan evaluasi
penerapan SPM
Terselenggaranya
monitoring dan
evaluasi penerapan
SPM
Perumus
an
pedoma
n
monitori
ng dan
evaluasi
SPM
Monitori
ng dan
evaluasi
penerap
an SPM
Monitori
ng dan
evaluasi
penerap
an SPM
Monitori
ng dan
evaluasi
penerap
an SPM


LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V39

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009











LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V40

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009





















LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas V41

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009



LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI1

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
BAB VI
PENUTUP
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1. Kesimpulan
Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia yang direalisasikan melalui
kebijakan otonomi daerah telah mencapai beberapa perkembangan terkait
dengan:
6.1.1. Peningkatan Kapasitas Aparat Pemerintah Daerah
Berdasarkan Laporan Database Desentralisasi dan Otonomi Daerah Tahun
2009 yang dikeluarkan oleh Direktorat Otonomi Daerah-Bappenas, profil aparat
pemerintah daerah di Indonesia sejak tahun 2007 hingga 2009 diwarnai oleh
terjadinya peningkatan jumlah yang cukup signifikan untuk semua jenjang
pendidikan, kecuali pasca sarjana. Jumlah aparatur pemerintah daerah yang
berpendidikan maksimal SLTA meningkat hingga 21 %, diploma meningkat 14%,
dan Sarjana (S1) paling tinggi peningkatannya, mencapai 22%, sedangkan pada
jenjang pascasarjana justru menurun sekitar 8%. Hal ini kemungkinan karena
tren yang ditunjukkan pada jenjang pasca sarjana ini banyak dipengaruhi oleh
para pegawai yang memasuki masa pensiun, tetapi tidak diimbangi dengan
program peningkatan kapasitas dari S2 menjadi S3 bagi pegawai lainnya yang
masih aktif.
Perkembangan positif berupa peningkatan jumlah yang signifikan untuk
semua jenjang pendidikan tersebut tidak terlepas dari upaya yang dilakukan
pemerintah dalam meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dalam
menghadapi desentralisasi dan otonomi daerah melalui program Peningkatan
Profesionalisme Aparat Pemerintah Daerah. Program ini secara umum bertujuan
untuk meningkatkan kapasitas aparat Pemerintah Daerah dalam rangka
meningkatkan kualitas pelayanan yang mereka berikan kepada masyarakat.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam kurun waktu 2005-2009 telah

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI2

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
direncanakan beberapa kegiatan, diantaranya : perumusan kebijakan terkait
dengan sumber daya manusia, fasilitasi pengembangan kapasitas aparat dan
penyediaan aparat, penyusunan rencana pengelolaan aparatur pemerintah
daerah.
Hingga mendekati akhir periode RPJMN pertama, kegiatan-kegiatan yang
belum begitu mendapat perhatian adalah program penyusunan peraturan
perundang-undangan daerah, pedoman dan standar kompetensi aparatur
pemerintah daerah; program penyusunan rencana pengelolaan aparatur
pemerintah daerah termasuk sistem rekruitmen yang terbuka, mutasi dan
pengembangan pola karir; serta program peningkatan etika kepemimpinan
daerah. Dengan demikian, kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan antara
lain: fasilitasi penyediaan aparat pemerintah daerah, mutasi dan kerjasama
aparatur pemerintah daerah; serta program fasilitasi pengembangan kapasitas
aparatur pemerintah daerah dengan prioritas peningkatan kemampuan dalam
pelayanan publik seperti kebutuhan dasar masyarakat, keamanan dan
kemampuan di dalam menghadapi bencana, kemampuan penyiapan rencana
strategis pengembangan ekonomi (lokal), kemampuan pengelolaan keuangan
daerah, dan penyiapan strategi investasi.
Tidak terealisasinya beberapa kegiatan dalam rangka peningkatan
kapasitas aparat pemerintah daerah tersebut disebabkan oleh beberapa
kendala. Dalam laporan hasil kajian evaluasi pertengahan terhadap pelaksanaan
RPJMN 2005-2009 yang dilakukan pada tahun 2008, Direktorat Otonomi Daerah-
Bappenas mengidentifikasi beberapa kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan
program peningkatan profesionalisme aparat pemerintah daerah ini, yakni: (1)
permasalahan yang terkait dengan penataan dan harmonisasi berbagai peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan desentralisasi dan otonomi daerah; (2)
permasalahan akibat belum tersedianya PP mengenai standar kompetensi
aparatur; (3) permasalahan akibat kebijakan Menpan untuk mengangkat semua
pegawai honorer menjadi CPNS yang tidak mempertimbangkan kompetensi dan
keterampilan yang dibutuhkan; serta (4) permasalahan yang terkait dengan
kesulitan dalam menyusun standar etika kepemimpinan daerah.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI3

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Lebih lanjut, hasil evaluasi pertengahan ini juga mencatat sejumlah isu
strategis, hambatan dan kendala umum lainnya, diantaranya:
a. Formasi
Penentuan formasi pegawai dan jabatan struktural belum menggunakan
standar yang jelas dan baku
Adanya beberapa perbedaan pengaturan antara UU No. 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah dengan UU No. 43/ 1999 tentang PokokPokok
Kepegawaian
Pemerintahan Daerah dengan UU No. 43/ 1999 tentang PokokPokok
Kepegawaian
b. Rekruitmen
Pola rekruitmen yang dilaksanakan selama ini berbeda antara daerah yang
satu dengan yang lain, sehingga mendapatkan hasil saringan yang
berbeda. Pada akhirnya kompetensi aparatur pemda yang dimiliki oleh
daerah cenderung menjadi tidak seimbang
Penerapan PP No. 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi
Pegawai Negeri Sipil di daerah kurang memperhatikan kompetensi
pegawai
Untuk daerah pemekaran, terdapat kesulitan rekruitmen pegawai untuk
jabatan eselon tertentu (eselon III dan IV)
c. Pola karir
Masih banyak penempatan pejabat yang tidak sesuai dengan pengalaman
dan latar belakang pendidikan karena masalah kekurangan SDM. Hal ini
juga menyebabkan kesulitan dalam menerapkan pedoman karir yang
telah disusun. Salah satu Rancangan Peraturan Pemerintah yang terkait
adalah Pedoman Persyaratan Jabatan Perangkat Daerah, yang sedang
disusun sebagai amanat pasal 128 ayat (3) UU No. 32/2004. Pedoman
pengaturan jabatan perangkat daerah ini diharapkan dapat mendukung
kebijakan pemerintah daerah dalam menyusun struktur organisasi
pemerintah daerah secara profesional dan berkualitas
Terkait dengan adanya pengembangan jabatan fungsional di daerah,
pegawai di daerah cenderung tidak tertarik untuk mengambil alternatif

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI4

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
jabatan fungsional tersebut. Hal ini disebabkan rumitnya persyaratan
kenaikan pangkat/golongan jabatan fungsional yang didasarkan pada
produk atau output kerja tiap pegawai. Kesulitan ini salah satunya
disebabkan lingkup kerja (wilayah administrasi pemerintahan) di daerah
yang tidak sebesar lingkup kerja Pemerintah, tetapi tidak ada pembedaan
penghitungan output atau hasil kerja antara pegawai pusat dan daerah
untuk naik golongan/pangkat. Pada intinya, aparat pemerintah daerah
menemui kendala untuk memenuhi ketentuan dalam persyaratan KUM dan
sebagainya. Meskipun demikian, sosialisasi terus dilakukan oleh
Pemerintah Daerah terkait dengan jabatan fungsional ini, dan Pemerintah
Daerah mengharapkan kerjasama Pemerintah untuk memberikan alternatif
pilihan ataupun kebijakan yang lebih responsif dan fleksibel terhadap
kondisi aparat pemerintah daerah
d. Promosi dan mutasi
Belum semua daerah menerapkan promosi pegawai atas dasar hasil
assessment center bekerjasama dengan pihak ketiga, guna menjaga
obyektivitas hasil. Sehingga sistem promosi belum dapat menjadi pemacu
kinerja aparatur pemda
Saat ini, mutasi pegawai dari provinsi ke kabupaten/kota tidak dapat
dilakukan dengan mudah karena harus ada persetujuan dari
Pemdapemda yang terkait. Sehingga, saat ini terjadi ketimpangan
kompetensi pegawai karena adanya kesan pengkaplingan pegawai
provinsi, ataupun pegawai kabupaten/kota
e. Remunerasi
Adanya kesenjangan pemberian tunjangan bagi pejabat eselon antar
daerah karena bergantung pada kemampuan keuangan daerah provinsi
masingmasing, tidak hanya terbatas pada platform Pemerintah
Adanya kebijakan untuk membagi rata remunerasi kepada seluruh
aparatur di setiap SKPD sebagai usaha mengurangi ketimpangan besarnya
tunjangan antar SKPD tidak sepenuhnya diterima oleh daerah, karena
pemberian tunjangan yang tidak didasarkan pada kinerja di lain pihak
justru dapat menurunkan semangat/kinerja aparat

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI5

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
f. Pengembangan dan disiplin pegawai
Penyusunan standar pengembangan pegawai dalam rangka peningkatan
kinerja aparatur ternyata menimbulkan permasalahan, yakni banyaknya
pegawai yang berlombalomba melanjutkan studi S1, S2, bahkan S3. Hanya
saja pendidikan yang diambil sering tidak mendukung tugas, pokok dan
fungsi tempat dimana dia bekerja.
Masih terjadi overlapping penyelenggaraan diklat antara Pemerintah
dengan Pemerintah Daerah
Penegakan displin dan etika melalui proses internal antar staf, apel pagi
rutin, dan absensi harian masih belum efektif.
Gambaran kondisi diatas juga didukung dan diperkuat oleh hasil kajian
Bappenas lainnya mengenai database bidang desentralisasi dan otonomi daerah
pada tahun 2009 yang mengemukakan sejumlah permasalahan dalam
pengelolaan aparatur sebagai berikut:
1. Kemampuan aparat Pemda yang belum memadai, khususnya di tingkat
kecamatan dan kelurahan/desa di dalam bidang kependudukan, kesempatan
kerja, strategi investasi, keamanan dan ketertiban (tramtib), serta
perlindungan masyarakat (linmas);
2. Belum tersusunnya NSPK yang baik terhadap penetapan formasi, pengadaan,
pengembangan, penetapan gaji, program kesejahteraan (program pensiun,
tabungan hari tua, asuransi kesehatan, tabungan perumahan, asuransi
pendidikan bagi putra-putri pegawai), dan pemberhentian aparatur Pemda;
3. Belum adanya standar kompetensi dalam sistem karier dan sistem prestasi
kerja; serta Manajemen aparatur Pemda belum optimal, khususnya di dalam
penataan jabatan negeri, jabatan negara, maupun karier (jabatan fungsional
dan struktural) berdasarkan kompetensi dan keahliannya.
4. Belum ada pedoman jumlah aparatur pemda ideal berdasarkan karakteristik
daerah dan urusan pemerintahan sehingga menyebabkan sulitnya melakukan
penilaian/evaluasi terhadap aparatur pemerintah;
5. Belum adanya pedoman pola karier sebagai dasar untuk menyelenggarakan
pengelolaan kepegawaiannya;

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI6

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
6. Kinerja aparatur pemerintah daerah yang belum optimal terkait dengan
tingkat kesejahteraan yang masih rendah, sehingga bila dibiarkan dapat
menyebabkan timbulnya penurunan moral (moral hazard) dan terjadinya
KKN;
7. Peningkatan kesejahteraan melalui tunjangan berdasarkan kinerja dan output
pegawai masih belum dapat dilaksanakan;
8. Sulit untuk melakukan mutasi antara pusat dan daerah dan antara daerah satu
dengan daerah lainnya;
9. Penempatan aparatur pemda ada yang tidak didasarkan pada keahlian dan
kompetensi, tetapi lebih disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan politis
dan pertimbangan lainnya;
10. Belum semua daerah memiliki profil aparatur pemda yang komprehensif;
11. Masih belum baiknya pemahaman aparatur pemda mengenai konsep Standar
Pelayanan Minimal (SPM);
12. Jabatan fungsional belum menjadi pilihan yang menarik bagi aparatur pemda
sehingga perlu dilakukan sosialisasi dan pemberian insentif yang lebih besar
untuk jabatan fungsional.
Berdasarkan gambaran di atas dapat terlihat bahwa program peningkatan
profesionalisme aparat pemerintah daerah ternyata masih meninggalkan
sejumlah permasalahan. Karenanya, kedepannya pemerintah harus berupaya
untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut sehingga tujuan untuk
memfasilitasi penyediaan aparat pemerintah daerah; menyusun rencana
pengelolaan serta meningkatkan kapasitas aparat pemerintah daerah dalam
rangka peningkatan pelayanan masyarakat, penyelenggaraan pemerintahan,
serta penciptaan aparatur pemerintah daerah yang kompeten dan profesional
dapat diwujudkan.
Selain menyangkut kapasitas aparatur Pemerintah Daerah, jika membahas
sumber daya manusia pemerintah daerah juga menyangkut kapasitas para
legislator daerah (anggota DPRD) karena Pemerintahan Daerah dikelola oleh
Pemerintah Daerah sebagai eksekutif, dan DPRD sebagai legislatif. Dengan

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI7

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
demikian, untuk menciptakan pemerintahan daerah yang baik, kerjasama antara
kedua belah pihak menjadi suatu keharusan.
Tetapi sayangnya hubungan kerjasama antara kedua belah pihak tersebut
diwarnai oleh belum harmonisnya hubungan tersebut. Hal ini dimungkinkan
terjadi karena masing-masing pihak belum memahami fungsi dan peran mereka
seiring dengan diterapkannya desentralisasi dan otonomi daerah.
6.1.2. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah
Reformasi birokrasi baik pada pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah merupakan kebutuhan dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang
baik (good governance). Reformasi birokrasi pada tataran pemerintah daerah
antara lain bidang organisasi perangkat daerah yang diarahkan untuk terciptanya
organisasi yang efisien, efektif, rasional dan proporsional sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan daerah serta adanya koordinasi, integrasi,
sinkronisasi dan simplikasi serta komunikasi kelembagaan antara pusat dan
daerah.
Perangkat daerah atau Kelembagaan Pemerintah Daerah merupakan
elemen dasar pemerintahan kedua, setelah urusan pemerintahan dan sebelum
aparatur pemerintah daerah. Pengaturan terhadap kelembagaan atau sering
disebut dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), diatur dan ditetapkan
berdasarkan PP 84 tahun 2000, yang diubah dengan PP 8 tahun 2003, dan
kemudian diubah lagi menjadi PP 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat
Daerah. Dalam PP 41 tahun 2007 disebutkan bahwa pelaksanaan peraturan
perundangan ini diharapkan dapat selesai dalam waktu 1 tahun sejak ditetapkan,
dan pada saat akhir tahun 2009 ini PP 41 tahun 2007 sudah berjalan selama 2
tahun.
Berdasarkan data Biro Organisasi, Departemen Dalam Negeri, yang
berasal dari laporan pemerintah daerah, pelaksanaan restrukturisasi
kelembagaan pemerintahan daerah telah mengalami perkembangan meskipun
belum sesuai dengan seperti apa yang diharapkan. Hingga bulan Mei 2009
sudah 30 provinsi, 223 kabupaten dan 43 kota yang telah melaporkan Perda

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI8

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Organisasi Perangkat Daerahnya kepada Depdagri, atau sebesar 91%
provinsi, 56% kabupaten, dan 46% kota, atau total 296 daerah (provinsi,
kabupaten, kota). Sisanya, sebanyak 3 provinsi, 175 kabupaten dan 50 kota
belum terdata atau belum melaporkan Perda tersebut. Berikut disajikan informasi
lengkap daerah-daerah yang telah melaporkan pelaksanaan PP 41 tahun 2007 di
daerahnya masing-masing. Data-data tersebut juga mencakup daerah-daerah
hasil pemekaran wilayah (daerah otonom baru) hingga bulan Mei 2009, yang
terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota.
Keterlambatan pelaksanaan restrukturisasi kelembagaan pemerintah
daerah tidak hanya terkait dengan sosialisasi dan diseminasi peraturan oleh
Pemerintah, melainkan pula karena kurang jelas/detailnya ketentuan yang diatur
dalam PP tersebut, atau bahkan dalam petunjuk teknis pelaksanaannya. Dan
ketika semua peraturan dan petunjuk teknis telah disosialisasikan kepada
daerah, muncul permasalahan baru yang terkait dengan tidak sikronnya
pengaturan dalam PP 41 tahun 2007 dengan peraturan perundangan sektoral,
yang mengamanatkan tiap daerah untuk membentuk suatu instansi daerah
dengan nomenklatur tertentu untuk menjalankan urusan pemerintahan yang
didelegasikan oleh kementerian lembaga terkait.
Pengaturan mengenai pembentukan kelembagaan di daerah terkait
dengan pelaksanaan urusan Pemerintah, tidak sepenuhnya diatur secara jelas
dan sinkron dengan PP 41 tahun 2007, mengingat beberapa peraturan
perundangan telah ditetapkan sebelum ditetapkannya PP Organisasi tersebut.
Meski demikian, beberapa peraturan perundangan seperti tersebut di atas,
menjelaskan mengenai posisi kelembagaan yang diminta, yaitu kelembagaan
non-struktural (Badan Pertimbangan Kesehatan dan Badan Promosi Pariwisata
Indonesia yang bersifat lembaga swasta/independen), yang berarti tidak
termasuk dalam kuota besaran organisasi seperti yang diatur dalam PP 41 tahun
2007, namun untuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah
(BKKBD) tidak ada pengaturan yang jelas terkait dengan struktur lembaga
tersebut meskipun pembentukannya melalui Peraturan Daerah (Perda).
Dengan ditetapkannya dan dilaporkannya Perda mengenai Organisasi
Perangkat Daerah kepada Depdagri, tidak berarti bahwa pelaksanaan PP 41

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI9

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
tahun 2007 telah selesai. Proses pelaksanaan Perda tersebut lebih lanjut juga
masih perlu mendapat perhatian dari Pemerintah, terutama terkait dengan
sinkronisasi Perda Urusan Pemerintahan dan Organisasi Perangkat Daerah dalam
menyelenggarakan pelayanan publik secara efektif.
Beberapa permasalahan yang masih tersisa dalam rangka peningkatan
kapasitas kelembagaan aparat pemerintah daerah antara lain:
1. Peningkatan kapasitas daerah belum berdasarkan pada hasil evaluasi
penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan belum tersusunnya kerangka
nasional kebijakan peningkatan kapasitas daerah, sebagaimana yang
dimanatkan oleh PP No. 6 Tahun 2008 tentang Evaluasi Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah;
2. Belum optimalnya implementasi PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang organisasi
perangkat daerah karena berbagai kendala teknis dan politis di daerah;
3. Belum tersusunnya secara lengkap NSPK (Norma, Standar, Pedoman, dan
Kriteria) di berbagai sektor untuk digunakan sebagai pedoman bagi daerah,
termasuk peraturan sektoral tentang penerapan SPM (Standar Pelayanan
Minimal);
4. Belum disusunnya RAN (Rencana Aksi Nasional) di bidang pelayanan publik
khususnya bidang administrasi kependudukan dan perijinan investasi; (5)
belum optimalnya koordinasi penyelenggaraan kegiatan dekonsentrasi dan
tugas pembantuan antara kementerian/lembaga dengan pemerintah daerah;
5. Peran gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah perlu diperkuat dalam
mengkoordinasikan pembangunan di wilayahnya.
6.1.3. Peningkatan Kerjasama Antar Daerah
Era desentralisasi dan otonomi daerah membuka peluang bagi pemerintah
daerah untuk melakukan kerjasama, utamanya kerjasama antar daerah sehingga
dapat mendorong perwujudan pelayanan publik yang optimal. Salah satu yang
merupakan permasalahan strategis dalam pelaksanaan pelayanan publik yang
optimal adalah yang berkaitan dengan kondisi keterbatasan sumber daya yang
dimiliki suatu daerah, baik yang berupa sumber daya alam, dana/ modal,
manusia, dan kelembagaan. Keterbatasan sumber daya ini bukan lagi menjadi

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI10

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
atau bersifat kendala dalam penyelenggaraan pelayanan publik, tetapi telah
menjadi limitasi bagi terselenggaranya pelayanan publik. Hal ini berarti
keterbatasan sumber daya menjadikan pelayanan publik yang dibutuhkan
masyarakat hanya mampu dipenuhi secara terbatas atau bahkan tidak mampu
dilaksanakan sama sekali, karena memang sumber daya yang dibutuhkan untuk
menyelenggarakan pelayanan tersebut tidak dimiliki oleh daerah.
Pada kondisi dimana suatu daerah tidak memiliki sumber daya yang
dibutuhkan untuk menyelenggarakan pelayanan publik, tidak jarang sumber
daya tersebut tersedia melimpah di daerah lainnya. Kerjasama antar daerah
merupakan salah satu kunci untuk mengatasi permasalahan penyediaan
pelayanan publik oleh suatu daerah karena adanya limitasi
kepemilikan/ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan untuk
menyelenggarakan pelayanan tersebut.
Dalam rangka penerapan kerjasama daerah, maka telah dilakukan upaya-
upaya untuk menjadikan kerjasama antar daerah sebagai prioritas yakni melalui
RPJMN tahap 1 (2005-2009) hingga saat ini, seperti yang tertuang dalam RKP
2010. Meskipun demikian dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah
seperti tertuang dalam hasil evaluasi pertengahan pelaksanaan RPJM 2005-2009
secara riil, kebijakan kerjasama antar daerah ini memang masih kalah populer
dibanding program-program lain, beberapa kendala teridentifikasi dalam
evaluasi pertengahan RPJMN 2005-2009, yakni:
1. Belum optimalnya kerja sama antarpemda khususnya dalam
penanganan kawasan perbatasan, pengurangan kesenjangan
antarwilayah dan penyediaan pelayanan publik
2. Revitalisasi fungsi kerjasama yang strategis dalam usaha menjaga
keberlanjutan, efektivitas, dan optimalisasi kemajuan pembangunan di
daerah
3. Belum ada database yang cukup baik mengenai KAD maupun potensi
kerja sama daerah di seluruh Indonesia
4. Pemerintah Daerah masih belum cukup mempertimbangkan KAD
sebagai salah satu inovasi dalam penyelenggaraan pembangunan

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI11

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
5. Untuk daerah-daerah pemekaran, ada kecenderungan lebih enggan
untuk bekerja sama dengan daerah lain, termasuk daerah induk
6. Di pemerintah pusat sendiri, KAD belum menjadi satu inovasi prioritas
untuk didiseminasikan ke daerah
7. Belum ada mekanisme insentif untuk daerah-daerah yang bekerja
sama dalam peningkatan efektivitas/efisiensi penyelenggaraan
pelayanan publik
8. Selama ini KAD biasanya terbentuk atas inisiatif daerah sendiri. Masih
sangat kurang fasilitasi atau inisiasi dari Pemerintah maupun
Pemerintah Provinsi. Peran Pemerintah sampai saat ini baru dalam
bentuk penyusunan PP No. 50 Tahun 2007 mengenai tata cara KAD

6.1.4. Peningkatan Kapasitas Keuangan Daerah
Sejak berlakunya kebijakan otonomi daerah pada awal tahun 2001,
pemerintahan daerah di Indonesia berubah dari sistem yang sangat tersentralisir
menjadi sistem yang sangat terdesentralisir. Pemerintahan Daerah diberikan
kewenangan yang lebih besar lagi dalam proses perencanaan dan implementasi
pembangunan di daerah. Seiring dengan pengalihan urusan-urusan
pemerintahan, keuangan daerah pemerintahan daerah juga meningkat secara
drastis. Dana perimbangan APBN yang didaerahkan meningkat lebih dari 100%
pada awal pelaksanaan kebijakan otonomi daerah di Indonesia.
Selain dalam bentuk dana perimbangan, pemerintahan daerah juga
memiliki kewenangan untuk mengumpulkan pajak dan retribusi daerah sebagai
komponen utama dari Pendapatan Asli Daerah. Kebijakan local taxing power ini
diatur dalam UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Kita menyadari saat ini local taxing power dari pemerintahan daerah relatif kecil
dibandingkan dengan potensi yang ada pada jenis pajak di tingkat pusat. Terjadi
kesenjangan antara kebutuhan pemerintahan daerah untuk menjalankan
kewenangannya dibandingkan dengan kapasitas anggaran pemerintahan daerah

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI12

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
yang ada. Kekurangan ini, dalam sistem desentralisasi di Indonesia, ditutupi
dengan dana perimbangan.
Seiring meningkatnya anggaran pemerintahan daerah, tuntutan untuk
mewujudkan praktek pengelolaan keuangan daerah yang lebih baik terus
meningkat. Sebagai turunan dari UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Berdasarkan PP tersebut, Pengelolaan
Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan
keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah tersebut merupakan subsistem
dari dari sistem pengelolaan keuangan negara dan merupakan elemen pokok
dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
Beberapa permasalahan dalam Program Peningkatan Kapasitas Keuangan
Pemerintah Daerah antara lain adalah: (1) permasalahan terkait sistem
pendanaan pembangunana daerah, dimana peningkatan jumlah transfer dana ke
daerah (utamanya dana perimbangan) belum efisien dan memberi manfaat pada
rakyat. Beberapa penyebabnya antara lain: keberadaan belanja pegawai dalam
alokasi DAU; formula dana perimbangan yang masih bermasalah; kecilnya
proporsi DAK (8%); 4) efektivitas alokasi DAK perbidang sangat minimal karena
fragmentasi bidang; terlalu besarnya peran pemerintah pusat dalam pelaksanaan
DAK; perpajakan daerah yang belum efisien; rendahnya kapasitas aparatur
daerah dalam perencanaan, pengelolaan keuangan daerah; penyusunan
anggaran daerah yang belum menggunakan analisis kebutuhan nyata; (2)
permasalahan terkait kurang efektif dan efisiennya pengawasan dan evaluasi
keuangan daerah sebagai akibat dari: rendahnya implementasi good
governance; kurang jelasnya tolak ukur penilaian kinerja keuangan daerah;
perangkat sistem infromasi keuangan daerah yang belum terintegrasi; 4)
tumpang tindih antara pengeluaran pemerintah; banyaknya penganggaran
daerah yang belum berkorelasi dengan upaya pencapaian SPM; banyaknya
keterlambatan dalam siklus anggaran.

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI13

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
6.1.5. Penataan Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Desentralisasi
dan Otonomi Daerah
Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang efektif
diharapkan mampu mendorong proses transformasi pemerintahan daerah yang
efisien, akuntabel, responsif dan aspiratif. Untuk itu, dalam tataran pelaksanaan
diperlukan sejumlah perangkat pendukung (regulasi) baik berupa peraturan
atau perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan teknis guna menunjang
keberhasilan tersebut.
Sejak tahun 1999, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kerangka
peraturan perundang-undangan sebagai pedoman untuk implementasi
desentralisasi dan otonomi daerah. Namun mengingat luasnya dimensi
desentralisasi yang berlangsung di Indonesia, belum semua elemen
pemerintahan dan pembangunan daerah sudah memiliki pedoman.
Permasalahan baru timbul terkait dengan pembuatan Peraturan
Perundang-undangan dalam rangka perwujudan desentralisasi dan otonomi
daerah di Indonesia, yakni berupa ketidaksinkronan antar peraturan di tingkat
pusat maupun daerah.

6.1.6. Penataan Daerah Otonom Baru
Semakin pendeknya rentang pelayanan kepada masyarakat ternyata
belum dapat meningkatkan pelayanan publik itu sendiri, karena masih ada
faktor-faktor lain yang juga berubah pasca pemekaran. Selain itu, pemekaran
yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing
daerahnya ternyata belum mampu memenuhi ekspektasi tersebut.
Untuk mewujudkan tujuan pemekaran tersebut, Pemerintah dalam RPJMN
2005-2009 telah menetapkan beberapa upaya yang terealisir dalam berbagai
program. Hingga mendekati akhir pelaksanaan RPJMN I tersebut, capaian
pelaksanaan program penataan daerah otonom baru adalah :

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI14

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Program-program yang telah dilaksanakan: program yang terkait dengan
evaluasi perkembangan daerah-daerah otonom baru (DOB) dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat; program yang terkait dengan
penyelesaian status kepemilikan dan pemanfaatan aset daerah secara optimal;
serta program yang terkait dengan penataan penyelenggaraan pemerintahan
daerah otonom baru
Program-program yang belum dilaksanakan: program yang terkait dengan
pelaksanaan kebijakan pembentukan daerah otonom baru dan atau
penggabungan daerah otonom, termasuk perumusan kebijakan dan
pelaksanaan upaya alternatif bagi peningkatan pelayanan masyarakat dan
percepatan pembangunan wilayah selain melalui pembentukan DOB
Berdasarkan evaluasi daerah pemekaran (148 DOB) yang dilakukan oleh
Ditjen OTDA-Depdagri, terungkap beberapa masalah yang muncul seiring
dengan pelaksanaan pemekaran wilayah dan pelaksanaan pembangunan di
DOB. Temuan tersebut antara lain (Depdagri, 2005) :
80% pemda hasil pemekaran gagal.
87,71% daerah induk belum menyelesaikan penyerahan Pembiayaan,
Personil, Peralatan dan Dokumen (P3D) kepada daerah baru.
79% daerah baru belum memiliki batas wilayah yang jelas.
89,48% daerah induk belum memberi dukungan dana kepada daerah
otonom baru.
84,2% pegawai negeri sipil sulit dipindahkan dari daerah induk ke daerah
otonom baru.
22,8% pengisian jabatan tidak berdasarkan standar kompetensi, 91,23%
daerah otonom baru yang belum memiliki Rencana Tata Ruang dan
Wilayah
Beberapa masalah yang teridentifikasi: insentif finansial mendorong bagi
adanya upaya pemekaran wilayah; (2) melalui pemekaran, para elite lokal
berupaya untuk mendapatkan kesempatan bagi penguatan kedudukan politik,
pencarian keuntungan dan patronase; (3) proses review dan persetujuan

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI15

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
terhadap proposal dilakukan dalam mekanisme penyeleksian yang cenderung
formal dan cacat administratif bahkan terbuka untuk dimanipulasi; (4) Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) tidak dapat memainkan perannya secara
memadai khususnya dikaitkan dengan peran DPR dalam menentukan persetujuan
terhadap pemekaran wilayah; (5) kinerja dari DOB belum diukur melalui
mekanisme pengukuran yang memadai; (6) pelayanan publik tidak mengalami
peningkatan yang berarti dengan pemekaran; serta (7) beban yang semakin
besar dari pemerintah dalam melakukan pengawasan, peningkatan kapasitas
pembangunan dan pembiayaan (stock taking studies 2009)
Dari gambaran capaian kebijaksanaan, program, dan kegiatan yang
dilaksanakan dalam rangka mewujudkan desentralisasi di Indonesia, dapat
ditarik beberapa kesimpulan secara umum:
1. Desentralisasi di Indonesia belum menjadi desentralisasi yang ideal.
Hakikatnya, desentralisasi dilakukan untuk mendekatkan pemerintah dengan
yang dilayani agar mereka dapat memberikan pelayanan yang lebih
maksimal. Dengan kata lain, melalui penerapan desentralisasi, diharapkan
terjadi perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Saat ini,
kualitas pelayanan publik di daerah sudah menampakkan beberapa kemajuan
jika dibandingkan dengan ketika desentralisasi belum diterapkan. Misalnya
dengan adanya standar pelayanan minimal bagi beberapa jenis pelayanan
publik, yakni: pendidikan dan kesehatan. Tetapi SPM tersebut belum
diterapkan bagi semua jenis pelayanan publik.
Jika dilakukan penilaian atas kualitas pelayanan publik saat ini, dari beberapa
kriteria pelayanan publik yang baik menurut LAN, maka belum semua
dimensi tersebut dapat mencapai nilai yang ideal, atau bahkan belum
terpenuhi semua.
Misalnya pelayanan kesehatan, dari 8 kriteria yang digunakan oleh LAN,
hampir kesemua kriteria tersebut tidak terpenuhi, misalnya untuk beberapa
kriteria berikut ini:
Dari kriteria kesederhanaan, yang ditandai dengan prosedur/tata cara
pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit,

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI16

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta
pelayanan, pelayanan kesehatan belum memenuhi dimensi tersebut.
Meskipun Pemerintah telah menerapkan berbagai inovasi terkait dengan
pelayanan kesehatan seperti jamkesmas, askeskin, dan program-program
imunisasi gratis, pengaduan atau keluhan terkait dengan masih buruknya
pelayanan kesehatan masih marak hingga saat ini. Misalnya berita mengenai
masih banyaknya anak-anak yang mengalami gizi buruk.
Kejelasan dan kepastian, yang ditandai dengan kejelasan dan kepastian
mengenai: (a) prosedur/tata cara pelayanan; (b) persyaratan pelayanan, baik
persyaratan teknis maupun persyaratan administratif; (c) unit kerja dan atau
pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan
pelayanan; (d) rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya,
dan (e) jadwal waktu penyelesaian pelayanan. Jika melihat pelayanan yang
diberikan rumah sakit (utamanya rumah sakit pemerintah), tampak bahwa
pasien belum memperoleh kepastian dan kejelasan mengenai prosedur/tata
cara layanan. Hal ini umumnya menimpa pasien miskin. Dengan
diberikannya askeskin, masalah kesulitan berobat bagi orang miskin belum
terselesaikan karena mereka dipersulit sebagai akibat minimnya informasi
yang mereka peroleh dari pihak pemerintah.
Keamanan, yang ditandai dengan prosedur/tatacara persyaratan, satuan
kerja/pejabat penanggung jawab pemberi layanan, waktu penyelesaian,
rincian waktu/tarif serta hal-hal yang berkaitan dengan proses pelayanan
wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh
masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta
Sama halnya dengan masalah kepastian dan kejelasan, masalah keamanan
dalam pelayanan kesehatan masih jauh dari apa yang diharapkan pengguna
pelayanan. Sulitnya memperoleh informasi mengenai prosedur/tata cara
persayaratan serta rincian waktu/tarif yang berkaitan dengan proses
pelayanan masih sulit diperoleh oleh pengguna pelayanan secara sukarela.
Akibatnya, konsumen atau pengguna pelayanan kesehatan di Indonesia masih
menjadi pihak yang selalu dirugikan. Tengoklah kasus prita vs rs
internasional omni batavia baru-baru ini. Dari kasus tersebut tampak betapa

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI17

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
lemahnya posisi pengguna pelayanan, dan tidak informatifnya pihak rumah
sakit kepada pasien.
Efisiensi, yang ditandai dengan : (a) persyaratan pelayanan hanya dibatasi
pada hal-hal langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap
memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan
yang berkaitan; (b) dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan,
dalam hal proses pelayanan masyarakat yang bersangkutan
mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi
pemerintah lain yang terkait.
Ketepatan waktu, yang ditandai dengan pelayanan masyarakat dapat
diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Terkait dengan
pelayanan kesehatan, masalah ketepatan waktu pemberian pelayanan
menjadi masalah utama yang selalu dikeluhkan oleh para pengguna
pelayanan. Berlarut-larutnya waktu pelayanan yang diberikan oleh pihak
rumah sakit kepada pasien bukan lagi menjadi rahasia. Responsif, yang
ditandai dengan : daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi
masalah, kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayani.
2. Otonomi daerah yang hadir karena adanya kebijakan desentralisasi, belum
mencapai tujuannya (sesuai dengan apa yang digariskan dalam UU 32/2004)
dan sasarannya (sesuai dengan apa yang digariskan dalam RPJMN 2005-
2009). Tujuan otonomi daerah seperti yang tercantum dalam UU 32/2004
adalah : 1) mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui: (i)
peningkatan pelayanan; (ii) pemberdayaan dan peran serta masyarakat; dan
2) meningkatkan daya saing daerah dengan memperhatikan: (i) prinsip
demokrasi; (ii) pemerataan; (iii) keadilan; (iv) keistimewaan dan kekhususan
serta; (v) potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem NKRI . Sasaran
pertama yakni terwujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan belum dapat terwujud dengan optimal, meskipun telah terjadi
perkembangan jika dibandingkan dengan masa sebelum era desentralisasi
dan otonomi daerah. Masih belum memuaskannya kualitas pelayanan publik

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI18

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
tercermin dari adanya tuntutan akan perlunya keberadaan undang-undang
pelayanan publik, yang pada akhirnya telah disahkan pada akhir tahun 2009.
Demikian pula halnya dengan pemberdayaan dan peran serta masyarakat
yang masih menjadi tuntutan dari masyarakat untuk diwujudkan.
Sasaran kedua berupa peningkatan daya saing daerah yang diwujudkan
melalui program peningkatan kerjasama daerah juga belum tercapai
sepenuhnya. Hal ini tampak dari capaian program tersebut, dimana
kerjasama daerah belum menjadi prioritas utama bagi daerah.
Seperti yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya, sasaran otonomi
daerah menurut RPJMN 2005-2009 terdiri dari 6 butir, yakni:
1) Tercapainya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-
undangan pusat dan daerah, termasuk yang mengatur tentang
otonomi khusus Provinsi Papua dan Provinsi NAD.
2) Meningkatnya kerjasama antar pemerintah daerah;
3) Terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif,
efisien, dan akuntabel;
4) Meningkatnya kapasitas pengelolaan sumberdaya aparatur
pemerintah daerah yang profesional dan kompeten;
5) Terkelolanya sumber dana dan pembiayaan pembangunan secara
transparan, akuntabel, dan profesional; dan
6) Tertatanya daerah otonom baru.
Dari keenam sasaran tersebut, hampir kesemuanya belum menampakkan
hasil yang menggembirakan. Hal ini terlihat dari capaian dan masalah yang
masih tersisa dari program-program desentralisasi dan otonomi daerah.
Misalnya:
Sasaran pertama berupa tercapainya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan
perundang-undangan pusat dan daerah yang diupayakan melalui program
Penataan Perundang-undangan mengenai Desentralisasi dan Otonomi
Daerah , hingga pertengahan tahun 2009 (berdasarkan laporan database
desentralisasi dan otonomi daerah yang dikeluarkan oleh Direktorat Otonomi
Daerah-Bappenas), capaiannya telah 89%, tetapi hal tersebut menyangkut
capaian tentang pembuatan peraturan seperti yang diamanatkan dalam UU

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI19

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
32/2004. Pemenuhan amanat UU 32/2004 terkait dengan perumusan
peraturan tentang desentralisasi dan otonomi daerah pada saat ini
menimbulkan masalah baru berupa ketidaksinkronan antar peraturan di
tingkat pusat maupun daerah yang membuat pelaksanaan otonomi daerah
justru menjadi terhambat.
Sasaran kedua berupa meningkatnya kerjasama antar pemerintah daerah
yang diupayakan melalui program Peningkatan Kerjasama Daerah, baru
sampai pada tahap pembentukan kerjasama dalam bidang ekonomi, dam
belum menjadi prioritas utama bagi pemerintah daerah.
Sasaran ketiga berupa terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang
efektif, efisien, dan akuntabel yang diupayakan melalui program
Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah yang diwujudkan
melalui kebijakan PP 41/2007 justru menimbulkan permasalahan baru dalam
penerapannya di daerah karena terjadi perbenturan dengan peraturan
sektoral, sehingga kelembagaaan pemerintah daerah yang efektif, efisien,
dan akuntabel belum dapat diwujudkan.
Demikian pula dengan sasaran-sasaran berikutnya, sasaran keempat hingga
keenam yang belum menampakkan hasil seperti yang diharapkan.

3. Mengacu pada definisi yang diberikan oleh Joko Widodo tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi kualitas otonomi daerah, yakni: kualitas sumber daya
manusia, kemampuan manajemen kelembagaan yang makin tinggi, dan
ketersediaan dana, jika disandingkan dengan kondisi desentralisasi di
Indonesia saat ini dimana desentralisasi dan otonomi daerah belum berada
dalam kondisi yang ideal, beberapa faktor dapat diidentifikasi sebagai faktor-
faktor yang menjadi kendala, yakni:
Masih lemahnya kualitas sumber daya manusia aparat pemerintah
daerah dan anggota DPRD
Masih lemahnya kapasitas kelembagaan pemerintah daerah
Masih lemahnya kapasitas keuangan pemerintah daerah

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI20

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
5.2. Rekomendasi
Berangkat dari kondisi di atas, untuk mewujudkan tujuan otonomi daerah
sesuai dengan peraturan yang berlaku, serta mencapai sasaran otonomi daerah
sesuai dengan arah rencana pembangunan yang ada, serta mewujudkan
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang lebih baik, dalam arti
mendekati konsep ideal, gagasan tentang pemberdayaan otonomi daerah dapat
menjadi sebuah jalan keluar. Dari kondisi terkini, maka pemberdayaan yang
dapat ditempuh adalah:
1) Pemberdayaan kemampuan SDM, yang ditempuh untuk mengatasi masalah
masih rendahnya kapasitas aparat pemerintah daerah dan anggota DPRD.
Strategi ini mendorong aparatur Pemerintah Daerah berfungsi menjadi
fasilitator dalam rangka peningkatan pelayanan masyarakat,
penyelenggaraan pemerintahan daerah serta mendorong penciptaan aparatur
Pemerintah Daerah yang kompeten dan profesional. Untuk itu diperlukan
regulasi, sistem, dan budaya kerja bagi aparatur Pemerintah Daerah yang
mampu memberikan kepastian hukum, kemudahan bekerja, kesesuaian
pekerjaan dengan tingkat kompetensi, kejelasan jenjang karir (termasuk
mutasi, rotasi, dan promosi secara lintas organisasi, lintas daerah, dan lintas
tingkatan pemerintah), serta sistem reward dan punishment yang tepat dan
memadai. Strategi peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah
meliputi upaya agar pemimpin daerah melakukan berbagai inovasi
peningkatan pelayanan publik dengan berdasarkan kemampuan keuangan
Pemerintah Daerah yang ada. Strategi ini juga dimaksudkan sebagai upaya
untuk dapat menjamin keutuhan mata rantai pelaksanaan kebijakan nasional
di daerah. Seiring dengan itu, untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik
maka pelatihan teknis dan substantif perlu terus dilakukan baik oleh
pelaksana diklat di Pusat maupun di daerah. Dalam kerangka itu, maka
pelatihan diklat yang ada ditujukan bagi upaya dan dukungan pencapaian
standar pelayanan yang telah ditetapkan.
Selain peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah, perlu dilakukan
juga peningkatan kapasitas legislatif daerah. Hal ini ditujukan untuk

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI21

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
meningkatkan kemampuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
dalam penyusunan regulasi yang mendukung peningkatan kesejahteraan
masyarakat, pelayanan publik dan daya saing daerah. Peningkatan kapasitas
anggota DPRD juga perlu dilakukan agar harmonisasi peraturan perundang-
undangan daerah dengan peraturan perundangan diatasnya tetap terjaga.
Untuk itu, perlu ditempuh upaya dalam rangka meningkatkan kemampuan
aparatur pemerintah daerah dalam mengelola pelayanan publik bidang
pendidikan, kesehatan, dan pemerintahan dalam negeri.
Sasaran tersebut diukur melalui : (i) rasio jumlah PNSD yang mampu
mengelola pelayanan publik bidang pendidikan, kesehatan dan
pemerintahan dalam negeri terhadap jumlah penduduk; dan (ii)
meningkatnya kapasitas aparatur pemda dan anggota DPRD
Sedangkan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka mencapai
sasaran tersebut adalah:
a) Penyusunan dan penerapan Grand Design penyelenggaraan diklat bagi
aparatur Pemda
Sasaran dari kegiatan ini adalah: terintegrasinya seluruh diklat bagi PNS
Daerah
Sedangkan indikator capaian dari kegiatan ini adalah: tersusunnya dan
terlaksananya Grand Design penyelenggaraan diklat
b) Pengembangan standar kompetensi untuk seluruh jabatan di daerah
Sasaran dari kegiatan ini adalah: tersedianya peta dan standar kompetensi
jabatan bagi jabatan-jabatan pada level Provinsi
Sedangkan indikator capaian dari kegiatan ini adalah: tersusunnya dan
diterapkannya pedoman pengembangan karir dan standar kompetensi
bagi jabatan struktural dan fungsional PNSD
c) Penyusunan peraturan dan pedoman perkembangan karir bagi PNS
daerah secara transparan, akuntabel, dan berdasarkan prestasi (merit
based)
Sasaran dari kegiatan ini adalah: tersusunnya regulasi dan terlaksananya
sistem rekruitmen, karir, insentif bagi PNS daerah yang transparan,
akuntabel dan berdasar prestasi

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI22

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Sedangkan indikator capaian dari kegiatan ini adalah: keberadaan
regulasi yang mengatur sistem manajemen aparatur Pemda
d) Pelaksanaan pembinaan dan peningkatan kemampuan anggota DPRD
Sasaran dari kegiatan ini adalah: kapasitas anggota DPRD yang memadai
sebagai mitra kerja Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan
Sedangkan indikator capaian dari kegiatan ini adalah: jumlah anggota
DPRD yang memiliki kemampuan dalam menjalankan fungsi-fungsinya
e) Peningkatan Kompetensi anggota DPRD
Sasaran dari kegiatan ini adalah: meningkatnya kualitas Perda yang
berasal dari usul inisiatif DPRD
Sedangkan indikator capaian dari kegiatan ini adalah: jumlah anggota
DPRD yang mengikuti diklat RIA atau harmonisasi peraturan perundangan.

2) Pemberdayaan kemampuan manajemen kelembagaan
Strategi ini mendorong Pemerintah Daerah untuk membentuk organisasi
perangkat daerah yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan
kemampuan serta potensi daerah. Pembentukan organisasi perangkat daerah
ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan
kualitas pelayanan publik dan mendorong peningkatan daya saing daerah
secara efektif (pemenuhan lingkup, jangkauan, dan luas wilayah pelayanan)
dan efisien (tidak membebani APBD dan APBN serta menambah birokrasi).
Dalam kerangka tersebut, organisasi perangkat daerah yang ada didorong
untuk melakukan dan meningkatkan kerjasama daerah terutama pada wilayah
perbatasan antar daerah dan wilayah aliran sungai. Untuk itu, maka
diperlukan suatu regulasi, sistem, dan pemahaman bersama berbagai pihak
baik pemerintah (K/L) maupun pemerintahan daerah (termasuk kepala
daerah dan DPRD).
Disamping itu, strategi ini juga berisikan upaya penyusunan regulasi yang
tepat bagi daerah, baik dari sisi proses, prosedur penyusunannya, maupun
dari sisi materi (substansi pengaturan) dari regulasi daerah tersebut. Untuk itu
perlu dilakukan peningkatan kapasitas DPRD sebagai bagian dari

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI23

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
pemerintahan daerah, Sehingga tercipta pengawasan penyelenggaraan
Pemerintah Daerah secara tepat, tercipta kontrol dan keseimbangan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Disamping itu, DPRD dapat bekerja
sama dengan Pemerintah Daerah secara baik dalam menyusun APBD
sehingga penetapan APBD dapat tepat waktu, dan dapat menyusun regulasi
daerah secara tepat.
Sasaran dari strategi ini adalah:
Tersusunnya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif (pemenuhan
lingkup, jangkauan, dan luas wilayah pelayanan) dan efisien (tidak
membebani APBD/APBN dan tidak menambah birokrasi) sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing
Sesuainya perda dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi
Untuk mengukur tercapai tidaknya sasaran tersebut di atas, digunakan
indikator berikut ini:
Jumlah daerah yang struktur organisasi daerahnya sesuai dengan regulasi
yang mengatur organisasi/kelembagaan daerah
Jumlah perda yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi
Untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan, dapat ditempuh beberapa
kegiatan, diantaranya:
a) Harmonisasi regulasi sektoral dan regulasi desentralisasi dan otonomi
daerah yang terkait dengan revisi regulasi pembentukan organisasi
perangkat daerah
Sasaran dari kegiatan ini adalah: tercapainya pemahaman bersama
(stakeholders Pusat) terhadap organisasi perangkat daerah dan
tersusunnya organisasi perangkat daerah sesuai revisi regulasi organisasi
perangkat daerah.
Sedangkan indikator capaian dari kegiatan ini adalah : jumlah revisi
terhadap UU sektoral yang belum harmonis dengan UU pemerintahan
daerah dalam aspek organisasi perangkat daerah
a) Pengaturan organisasi/kelembagaan daerah beserta kelengkapannya

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI24

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Sasaran dari kegiatan ini adalah : penyempurnaan PP No 41 tahun 2007 dan
peraturan-peraturan turunannya sehingga tidak menimbulkan konflik antar
peraturan yang mengatur organisasi perangkat daerah
Sedangkan indikator capaian dari kegiatan ini adalah : PP No 41 tahun 2007
hasil revisi
b) Fasilitasi peningkatan kapasitas DPRD dalam proses penyusunan regulasi
Sasaran dari kegiatan ini adalah : meningkatnya kualitas mekanisme kerja
antara pemerintah daerah dengan DPRD dalam penyusunan regulasi,
pengambilan keputusan
Sedangkan indikator capaian dari kegiatan ini adalah : Perda yang
mengakomodasi kepentingan rakyat dan tidak bertentangan dengan
perundang-undangan di atasnya.

3) Pemberdayaan keuangan
Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas keuangan Pemerintah
Daerah baik dari aspek sumber-sumber penerimaan daerah maupun dari
aspek pemanfaatan dan pengelolaan keuangan daerah. Strategi ini
diharapkan akan meningkatkan dan memperluas basis penerimaan
Pemerintah Daerah sehingga mengurangi ketergantungan terhadap dana
perimbangan dari pusat. Peningkatan kapasitas keuangan Pemerintah Daerah
ini diarahkan untuk mendukung iklim usaha yang kondusif di daerah tersebut.
Peningkatan kapasitas keuangan Pemerintah Daerah juga didorong untuk
meningkatkan kemampuan daerah dalam mengelola sumber daya daerah dan
meningkatkan kemampuan pengelolaan keuangan daerah. Oleh karena itu
perlu dilakukan peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah dalam
melakukan pengelolaan keuangan daerah secara profesional dan akuntabel.
Untuk itu, kegiatan-kegiatan berikut ini dapat ditempuh dalam rangka
mencapai sasaran meningkatnya kualitas belanja dalam APBD (% proporsi
belanja pelayanan publik terhadap belanja aparatur) dan menguatnya pajak
daerah:
a) Fasilitasi peningkatan kemampuan keuangan daerah termasuk manajemen
aset daerah

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI25

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
Sasaran dari kegiatan ini adalah : meningkatnya PAD tanpa harus
mengganggu iklim usaha
Sedangkan indikator capaiannya adalah: rasio penerimaan pajak daerah
(yang sesuai aturan perundangan yang lebih tinggi) terhadap APBD
b) Fasilitasi peningkatan kemampuan pengelolaan keuangan pemerintah
daerah
Sasaran dari kegiatan ini adalah : penetapan APBD secara tepat waktu
Sedangkan indikator capaiannya adalah: proporsi Jumlah APBD yang
disahkan secara tepat waktu.

4) Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
Strategi ini diperlukan dalam rangka menyediakan pelayanan kepada
masyarakat yang berkualitas. Pemerintah harus mampu menjamin terpenuhinya
hak dasar masyarakat di seluruh daerah atas layanan dasar publik yang bersifat
wajib. Untuk itu, dibutuhkan sebuah standar minimal yang berlaku sama untuk
seluruh daerah di Indonesia. Standar ini memberikan petunjuk kepada seluruh
daerah tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib
daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal, serta digunakan
sebagai salah satu indikator kinerja penyelenggaraan pelayanan publik oleh
daerah. Belum selesainya perumusan SPM (Standar Pelayanan Minimal) untuk
semua urusan yang terkait pelayanan publik, terutama pelayanan publik dasar,
disamping implementasi SPM yang masih terkendala permasalahan
kelembagaan dan penganggaran di Pemerintah Daerah, karena Pemerintah
Daerah masih memerlukan persiapan untuk dapat menerapkan SPM tesebut,
menjadikan pentingnya bimbingan teknis bagi Pemerintah daerah dan
peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah dalam penerapan SPM di
daerah.
Untuk itu, kegiatan-kegiatan berikut ini dapat ditempuh dalam rangka mencapai
sasaran meningkatnya kualitas pelayanan publik:

LaporanDirektoratOtonomiDaerah,Bappenas VI26

KAJIAN PERUMUSAN RANCANGAN ARAH KEBIJAKAN JANGKA MENENGAH BIDANG


REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2010-2014
2009
a) Fasilitasi penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Sasaran dari kegiatan ini adalah : Terselesaikannya perumusan Standar
Pelayanan Minimal untuk seluruh urusan wajib di tahun 2012.
Sedangkan indikator capaiannya adalah: Jumlah dan jenis bidang SPM
pelayanan publik yang disahkan, disosialisasikan dan daerah yang telah
mendapat sosialisasi SPM tersebut
b) Fasilitasi penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di daerah
Sasaran dari kegiatan ini adalah : terselenggaranya pelayanan publik di
seluruh kabupaten/kota berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Sedangkan indikator capaiannya adalah: jumlah daerah yang mendapatkan
bimbingan teknis, jumlah pelatihan terkait penerapan SPM, jumlah daerah
yang telah melakukan perubahan struktur APBD untuk penerapan SPM,
terselenggaranya monitoring dan evaluasi penerapan SPM dan berkurangnya
jumlah keluhan masyarakat terkait kualitas aparat dalam penyelenggaraan
pelayanan publik


DAFTAR PUSTAKA

Buku 1 & 2 Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2009
Djadijono, M dan T.A. Legowo. Desentralisasi di Indonesia : Seberapa Jauh Bisa
Menjangkau? (1999 2006)
Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas. Laporan Studi Evaluasi Penataan Daerah
Otonom Baru Tahun 2008
Direktorat Otonomi Daerah,Bappenas. Laporan Monitoring Pelaksanaan Rencana
Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2008 Bidang Revitalisasi Proses Desentralisasi dan
Otonomi Daerah
Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas. Laporan Evaluasi Pelaksanaan Program
Pengembangan Otonomi Daerah Tahun 2004
Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas. Laporan Evaluasi Pelaksanaan Program
Pengembangan Otonomi Daerah Tahun 2005
Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas. Laporan Evaluasi Pelaksanaan Program
Pengembangan Otonomi Daerah Tahun 2008
Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas. Laporan Penyusunan Database Bidang
Desentralisasi dan Otonomi Daerah Tahun, 2009
Fanani, Ahmad Zaenal, SHI, M.Si. Optimalisasi Pelayanan Publik : Perspektif David
Osborne dan Ted Gaebler
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah 2005-2009
S, Yogi dan M.Ikhsan. Standar Pelayanan Publik di Daerah
Solihin, Dadang, H, Drs, MA. Otonomi Daerah dalam Perspektif Teori, Kebijakan,
dan Praktek. 2007
Suwondo, MS, Drs. Desentralisasi Pelayanan Publik : Hubungan Komplementer
Antara Sektor Negara, Mekanisme Pasar, dan Organisasi Non-Pemerintah.
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
USAID-DRSP. Stock Taking Study Decentralization. 2009
Widodo, Joko. Good Governance: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol
Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Insan Cendekia. 2001

Anda mungkin juga menyukai