Anda di halaman 1dari 13

Achmad Shawaludin Ali dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 1001-1013, September 2013

1001
JUMLAH ERITROSIT, KADAR HEMOGLOBIN DAN HEMATOKRIT PADA BERBAGAI JENIS ITIK LOKAL
TERHADAP PENAMBAHAN PROBIOTIK DALAM RANSUM

THE CONCENTRATION OF ERYTHROCYTE, HEMOGLOBIN, AND HEMATOCRYTE ONMANY KINDS
OF LOCAL DUCK THAT WERE AFFECTED THE ADDITION OF PROBIOTIC IN RATION

Achmad Shawaludin Ali, Ismoyowati, dan Diana Indrasanti
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto
e-mail : achmadshawaludin@gmail.com

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui interaksi pemberian probiotik dengan level yang
berbeda pada berbagai jenis itik lokal betina dan pengaruhnya terhadap jumlah eritrosit, kadar
hemoglobin, dan hematokrit. Materi penelitian menggunakan itik betina Magelang, Tegal, dan
Mojosari umur 22 minggu masing-masing jenis itik berjumlah 27 ekor. Pakan terdiri dari campuran
jagung kuning giling 40 %, dedak padi 40 % dan konsentrat itik 20 % dengan kandungan nutrient
pakan: PK= 16,56 %, ME = 2.947 kcal/kg, Ca = 1,75 %, P =1,36 % dan probiotik starbio. Petak
kandang dengan ukuran 1m x 1m x 1,5 m, masing-masing sebanyak 27 unit serta peralatan
kandang dan timbangan. Metode penelitian adalah eksperimental menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) pola faktorial 3 x 3. Perlakuan yang diujicobakan yaitu a
1
b
0
: Itik Magelang kontrol,
a
1
b
1
: Itik Magelang + probiotik 3 g/kg pakan, a
1
b
2
: Itik Magelang + probiotik 6 g/kg pakan, a
2
b
0
:
Itik Mojosari kontrol, a
2
b
1
: Itik Mojosari + probiotik 3 g/kg pakan, a
2
b
2
: Itik Mojosari + probiotik 6
g/kg pakan, a
3
b
0
: Itik Tegal kontrol, a
3
b
1
: Itik Tegal + probiotik 3 g/kg pakan, a
3
b
2 :
Itik Tegal +
probiotik 6 g/kg pakan. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah (1) Jumlah eritrosit, (2)
Kadar Hemoglobin, dan (3) Hematokrit.Data dianalisis menggunakan analisis variansi dan
dilanjutkan uji BNJ ( Beda Nyata Jujur).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kadar eritrosit darah berbagai jenis itik lokal
berkisar antara 2,50 10
6
l sampai dengan 3,47 10
6
l, rata-rata kadar hemoglobin darah itik 8,10
g/100 ml sampai dengan 11,23 g/100 ml dan rata-rata kadar hematokrit darah itik 35,3 % sampai
dengan 44,7 % . Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara jenis itik
dengan level probiotik starbio yang diberikan (P>0,05) terhadap jumlah eritrosit, kadar
hemoglobin dan hematokrit darah itik. Jenis itik berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar
hemoglobin darah itik dan pemberian probiotik starbio tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap
jumlah eritrosit, kadar hemoglobin dan hematokrit darah itik. Kesimpulan dari penelitian ini adalah
interaksi antara level probiotik dan jenis itik lokal tidak menyebabkan perbedaan kondisi
hematologis ditinjau dari jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan hematokrit. Itik Tegal memiliki
kadar hemoglobin yang lebih tinggi dibandingkan dengan itik Magelang dan itik Mojosari, serta
pemberian berbagai level probiotik starbio pada berbagai itik lokal tidak mengubah jumlah
eritrosit, kadar hemoglobin dan hematokrit.

Kata Kunci : Itik, jumlah eritrosit, kadar hemoglobin dan hematokrit.

ABSTRACT
The purpose of this study was to know the interaction between administration of different
probiotic levels to various types of local female ducks and the effect on the concentration of
erythrocyte, haemoglobin, and hematocryte. The materials of the research were female Magelang
duck, Mojosari duck and Tegal duck at age 22 weeks, each type duck amount to 27 head. The feed
consisted of a mixture of 40% ground yellow corn, 40% rice bran and 20% concentrate duck with
nutrient content of the feed: CP = 16.56%, ME = 2,947 kcal / kg, Ca = 1.75%, P = 1.36% and
Achmad Shawaludin Ali dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 1001-1013, September 2013

1002
starbio probiotics. The cages were plotted with the size of 1m x 1m x 1,5 m, each of which as
many as 27 units, and equipment used were enclosure, and digital scale and sitting scales. The
experimental research method used was Completely Randomized Design (CRD), 3 x 3 factorial. The
treatments tested namely, a
1
b
0
: Magelang duks as control feed, a
1
b
1
: Magelang ducks + probiotics
3 g/kg of feed, a
1
b
2
: Magelang ducks + probiotics 6 g/ kg of feed, a
2
b
0
: Mojosari as control feed,
a
2
b
1
: Mojosari ducks + probiotics 3 g/kg of feed, a
2
b
2
: Mojosari ducks + probiotics 6 g/kg of feed,
a
3
b
0
: Tegal ducks as control feed, a
3
b
1
: Tegal ducks + probiotics 3 g/kg of feed, a
3
b
2
: Tegal ducks +
probiotics 6 g / kg of feed. The variables observed in this study were (1) the concertation of
erythrocyte (2) haemoglobin, and(3)hematocryte.The Data were analyzed using analysis of
variance and was the test continued with HSD test (Honestly Significant Difference).
The results showed that the average level of blood erythrocytes of various types of local
ducks ranged from 2.50 to 3.47 10
6
l, the average blood haemoglobin levels of ducks were 8.10
g/100 ml to 11.23 g/100 ml and the average blood hematocryte levels of ducks were 35.3% to
44.7%. The results of analysis of variance showed that there was no interaction between the type
of duck with starbio probiotics (P>0.05) on the concentration of erythrocytes, haemoglobin and
hematocryte levels of duck blood. The types of ducks had a significant effect (P<0.05) on blood
haemoglobin levels of ducks and starbio probiotics had no significant effect (P>0.05) on the
concentration of erythrocytes, haemoglobin and hematocryte levels of duck blood. The conclusion
of this study is the interaction between probiotics and the level of local ducks does not cause
differences in haematological conditions in terms of the concertation of erythrocytes,
haemoglobin level, and hematocryte. Tegal ducks have a haemoglobin level that is greater than
the ducks of Magelang and Mojosari, as well as various levels of starbio probiotic administration
of a various types of local ducks do not change the concentration of erythrocytes, haemoglobin
and hematocryte.

Keywords: Ducks, erythrocytes, hemoglobin, hematocryte, Probiotics.

PENDAHULUAN
Itik merupakan unggas air yang banyak dipelihara oleh masyarakat Indonesia untuk tujuan
utama penghasil telur.Populasi itik pada tahun 2010 di Indonesia mencapai 44.301.805 ekor dengan
produksi telur 245.038 ton/ tahun (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2011). Itik
lokal adalah salah satu plasma nutfah yang mempunyai mutu genetik tinggi. Itik lokal di Indonesia yang
diternakkan sekarang ini dan sudah di domestikasi disebut Anas domesticus berasal dari itik liar (Wild
Mallard). Itik Indonesia mula-mula berasal dari Jawa di Inggris itik ini dikenal dengan nama Indian
Runner(Anas javanica) (Samosir, 1983).
Berbagai jenis itik lokal dikenal penamaannya berdasarkan tempat pengembangannya, wilayah
asal dan sifat morfologis. Beberapa jenis itik lokal yang dikenal memiliki keunggulan produktivitasnya
tinggi yaitu diantaranya itik Tegal di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, itik Mojosari di Mojosari,
Mojokerto, Jawa Timur, dan itik Magelang di Magelang, Jawa Tengah (Suharno, 2003). Itik Tegal, itik
Mojosari, dan itik Magelang banyak diternakkan oleh peternak saat ini dengan tujuan produksi telur.
Selain itu produksi telur itik yang baik pada masing-masing itik diantaranya itik Tegal dengan produksi
telur 150-250 butir/ekor/tahun, itik Mojosari 230-250 butir/ekor/tahun, itik Magelang 131
butir/ekor/tahun. Dalam upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas ternak menurut Ismoyowati dkk,
(2006) menyatakan diperlukan seleksi melalui pendekatan fisiologis berdasarkan pada status
hematologis atau profil darah itik untuk menentukan mutu genetik yang berkualitas.
Kondisi fisiologis ternak salah satunya proses pembentukan darah (hemopoeisis) memerlukan
zat seperti besi, mangan, kobalt, vitamin, asam amino dan hormon sehingga mempengaruhi nilai
Achmad Shawaludin Ali dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 1001-1013, September 2013

1003
status darah. Hal yang mempengaruhi kondisi fisiologis antara lain pakan. North and Bell (1990),
menyatakannutrisi dalam pakan digunakan tubuh unggas untuk menjaga keberlangsungan proses
fisiologis yang secara umum berupa kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, produksi telur dan deposit
lemak. Penggunaan probiotik dalam ransum dapat meningkatkan daya cerna sehingga zat-zat pakan
lebih banyak diserap oleh tubuh untuk pertumbuhan maupun produksi dan menunjang proses-proses
fisiologis dalam tubuh (Barrow, 1992). Pemeriksaan profil darah sangat penting dilakukan, karena
profil darah yang merupakan gambaran kondisi fisiologis tubuh yang berkaitan dengan kesehatan.
Profil darah yang baik akan dapat menunjang proses fisiologis yang menjadi lebih baik.
Penggunaan probiotik pada ternak unggas sangat menguntungkan karena dapat menghasilkan
berbagai enzim yang dapat membantu pencernaan dan dapat menghasilkan zat antibakteri yang dapat
menekan pertumbuhan mikroorganisme yang merugikan (Ritonga, 1992). Pemberian probiotik starbio
pada pakan ternak akan meningkatkan kecernaan ransum, kecernaan protein dan mineral fosfor (Piao
et al., 1999). Probiotik strabio terdiri atas bakteri proteolitik, selulolitik, lipolitik, dan amilolitik serta
nitrogen fiksasi non simbiosis (Laksmiwati, 2006). Protein sangat penting dibutuhkan dalam proses
pembentukan sel-sel darah dimana mekanisme kerja bakteri proteolitik dibutuhkan dalam memecah
protein menjadi senyawa sederhana seperti asam amino, Sehingga kebutuhan akan protein dalam
pembentukan sel-sel darah dapat terpenuhi. Pemberian probiotik dalam pakan tambahan dapat
menguntungkan bagi ternak, dimana probiotik menyeimbangkan mikroflora usus, meningkatkan
ketersediaan nutrient ternak, meningkatkan imun tubuh dan dapat memperbaiki profil darah itik
(jumlah eritrosit, kadar hemoglobin dan hematokrit).
Darah merupakan salah satu parameter dari status kesehatan hewan karena darah merupakan
komponen yang mempunyai fungsi penting dalam pengaturan fisiologis tubuh. Fungsi darah secara
umum berkaitan dengan transportasi komponen di dalam tubuh seperti nutrisi, oksigen,
karbondioksida, metabolisme, hormon dan kelenjar endokrin, panas dan imun tubuh. Nutrisi yang
diserap pada saluran pencernaan yang kemudian dibawa ke dalam darah guna memenuhi kebutuhan
akan jaringan tubuh. Proses pembentukan sel-sel darah yang diproduksi setiap hari di dalam sumsum
tulang memerlukan prekusor antara lain besi, mangan, kobalt, vitamin, asam amino dan hormon untuk
mensintesis pembentukan sel darah (Hoffbrand dan Pettit, 1996). Darah memiliki peranan yang sangat
kompleks untuk terjadinya proses fisiologis yang berjalan dengan baik, sehingga produktifitas ternak
dapat optimal. Profil darah pada hewan juga dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti umur,
jenis kelamin, bangsa, penyakit, temperatur lingkungan, keadaan geografis, dan kegiatan fisik.
Berbagai itik lokal yang pakannya disuplementasi probiotik diharapkan mampu meningkatkan status
fisiologisnya ditinjau dari jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit.

METODE
Materi penelitian menggunakan itik betina Magelang, Tegal, dan Mojosari umur 22 minggu
masing-masing jenis itik berjumlah 27 ekor. Pakan yang terdiri dari campuran jagung kuning giling
40 %, dedak padi 40 % dan konsentrat itik 20 % dengan kandungan nutrient pakan: PK= 16,56 %,
ME = 2.947 kcal/kg, Ca = 1,75 %, P =1,36 % dan probiotik starbio. Petak kandang dengan ukuran
1m x 1m x 1,5 m, masing-masing sebanyak 27 unit serta peralatan kandang dan timbangan yang
terdiri dari timbangan digital dan timbangan duduk.
Metode penelitian adalah eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola
faktorial 3 x 3. Perlakuan yang diujicobakan yaitu a
1
b
0
: Itik Magelang kontrol, a
1
b
1
: Itik Magelang
+ probiotik 3 g/kg pakan, a
1
b
2
: Itik Magelang + probiotik 6 g/kg pakan, a
2
b
0
: Itik Mojosari kontrol,
Achmad Shawaludin Ali dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 1001-1013, September 2013

1004
a
2
b
1
: Itik Mojosari + probiotik 3 g/kg pakan, a
2
b
2
: Itik Mojosari + probiotik 6 g/kg pakan, a
3
b
0
: Itik
Tegal kontrol, a
3
b
1
: Itik Tegal + probiotik 3 g/kg pakan, a
3
b
2 :
Itik Tegal + probiotik 6 g/kg pakan.
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah (1) Jumlah eritrosit, (2) Kadar Hemoglobin, (3)
Hematokrit.Eritrosit diperoleh dari pengambilan sampel darah dihisap dengan pipet eritrosit
standar sampai tanda 0,5, kemudian menghisap larutan Rees Ecker hingga tanda 101. Kemudian
pipet eritrosit di kocok dengan membuat angka 8 agar darah bercampur baik. Larutan darah 3-4
tetes dimasukan dalam kamar hitung yang ditutup dengan kaca penutup. Penghitungan jumlah
eritrosit dilakukan di bawah mikroskop perbesaran 45x. Hemoglobin ditentukan dengan cara
metode spektofotometer yang diperoleh dari sample darah 0,02 ml darah dimasukan dalam
tabung uji yang mengandung larutan Drabkins 5 ml kemudian dikocok hinggga homogen. Lalu
diukur dengan menggunakan alat spektofotometer. Nilai hematokrit ditentukan dengan cara
metode mikrohematokrit.Tabung mikrokapiler hematokrit yang dimasukan darah sampai bagian
tabung dan ditutup dengan penutup khusus. Tabung kapiler yang ditempatkan dalam sentrifuse
hematokrit kemudian diputar dengan kecepatan 16.000 rpm selama 3-5 menit. Nilai hematokrit
dihitung dengan menggunakan grafik alat baca mikrohematokrit. Data dianalisis menggunakan
analisis variansi dan dilanjutkan uji BNJ ( Beda Nyata Jujur).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Darah terbentuk dari sel-sel yang terdapat di dalam cairan yang disebut plasma darah
(Frandson, 1993). Fungsi darah diantaranya adalah menyerap dan membawa nutrien dari saluran
pencernaan menuju ke jaringan, membawa oksigen (O
2
) dari paru-paru ke jaringan dan
karbondioksida (CO
2
) dari jaringan ke paru-paru, membawa produk buangan metabolisme,
membawa hormon yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin dan mengatur kandungan cairan
jaringan tubuh (Sturkie, 1976). Schalm (2010), menyatakan bahwa masa umur eritosit pada unggas
sekitar 28-35 hari. Hasil pemeriksaaan hematologis darah pada itik yang disuplementasi probiotik
tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan Status Hematologis Itik Magelang, Mojosari, dan Tegal.
Perlakuan
Rataan Eritrosit
(10
6
/l)
Rataan Hemoglobin
(g/100ml)
Rataan Hematokrit
(%)
a
1
b
0
3,14 0,10 8,10 0,79 40,3 0,6
a
1
b
1
2,76 0,53 9,40 0,96 37,0 4,6
a
1
b
2
2,78 0,24 9,40 0,46 38,0 1,0
a
2
b
0
3,08 0,33 9,70 0,17 41,7 3,1
a
2
b
1
2,50 0,34 10,03 0,75 35,3 3,1
a
2
b
2
3,30 0,18 10,27 1,15 42,0 3,5
a
3
b
0
2,96 0,11 10,57 1,19 40,0 1,0
a
3
b
1
3,04 0,52 11,23 1,23 40,7 4,0
a
3
b
2
3,47 0,62 10,27 1,15 44,7 5,0
Keterangan a
1
b
0
: Itik Magelang kontrol, a
1
b
1
: Itik Magelang + probiotik 3 g/kg pakan,a
1
b
2
: Itik Magelang +
probiotik 6 g/kg pakan, a
2
b
0
: Itik Mojosari kontrol, a
2
b
1
: Itik Mojosari + probiotik 3 g/kg pakan, a
2
b
2
: Itik
Mojosari + probiotik 6 g/kg pakan, a
3
b
0
: Itik Tegal kontrol, a
3
b
1
: Itik Tegal + probiotik 3 g/kg pakan, a
3
b
2 :
Itik
Tegal + probiotik 6 g/kg pakan.

Achmad Shawaludin Ali dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 1001-1013, September 2013

1005
Jumlah Eritrosit
Tabel 1 menunjukkan rataan jumlah eritrosit diperoleh3,00 0,33 10
6
l dengan kisaran hasil
rataan kadar eritrosit 2,50 0,34 10
6
l sampai3,47 0,62 10
6
l. Hasil penelitian masih berada
dalam kisaran normal jumlah eritrosit pada itik. Biester dan Schwarte (1965), melaporkan bahwa
jumlah eritrosit normal pada itik yaitu 3,06 10
6
/l. Ismoyowati (2006), melaporkan rataan status
hematologis itik betina lokal (Itik Tegal) produksi tinggi yaitu 2,30 0,27 10
6
/l. Perbedaan ini
dimungkinkan karena perbedaan musim, umur, tingkat produksi, dan sistem pemeliharaan. Hal ini
sesuai dengan penyataan Sturkie (1976), bahwa perbedaan jumlah eritrosit dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor diantaranya umur, jenis kelamin, bangsa, penyakit, temperatur, lingkungan,
keaadaan geografis, kebuntingan dan kegiatan fisik.
Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa interaksi antara berbagai jenis itik lokal dengan
pemberian probiotik dengan level yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap
jumlah eritrosit, demikian juga jenis itik maupun pemberian probiotik dengan level yang berbeda
terhadap jumlah eritrosit. Jenis itik tidak mempengaruhi jumlah eritrosit dikarenakan faktor
spesies, genetik dan umur ternak. Itik yang digunakan dalam penelitian menggunakan itik betina
lokal Mojosari, itik Tegal dan itik Magelang. Itik tersebut masih termasuk ke dalam spesies yang
sama yaitu Anas plathyrynchos yang merupakan keturunan dari itik Indian Runner (Suharno, 2003).
Itik yang digunakan pada penelitian ini menggunakan itik yang sama dengan masa periode
produksi ketika berumur 28 minggu, karena kondisi itik relatif sama sehingga kondisi fisiologis itik
relatif sama salah satunya jumlah eritrosit. Namun, kemungkinan umur dan tingkat produksi itik
dapat mempengaruhi jumlah eritrosit. Hal ini terlihat pada penelitian Isroli (2004), melaporkan
jumlah eritrosit pada itik betina Tegal periode produksi umur 20 minggu dengan perlakuan tanpa
menggunakan perlakuaan tepung ampas tahu sebesar 5,45 10
6
/l. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Ismoyowati (2006), perbedaan umur itik dan tingkat produksi dapat mempengaruhi
jumlah eritrosit.
Guyton (1997), menyatakan bahwa mekanisme eritropoiesis atau pembentukan eritrosit
berasal dari sel hemositoblast yang secara kontinyu dibentuk dari sel induk primordial yang
terdapat di sumsum tulang. Hemositoblast yang membentuk eritroblast basofil yang mulai
mensintesis hemoglobin, kemudian menjadi eritroblast polikromatofilik yang mengandung
campuran zat basofilik dan hemoglobin sehingga inti sel menyusut menjadi normoblast karena
sitoplasma normoblast terisi hemoglobin. Retikulum endoplasma yang direabsorbsi sehingga sel
berubah menjadi retikulosit dan masuk ke dalam kapiler darah. Retikulum endoplasma di dalam
retikulosit menghasilkan hemoglobin dalam jumlah kecil selama satu sampai dua hari hingga sel
inti hilang dan berubah menjadi sel eritrosit yang dewasa.
Proses pembentukan eritrosit baru setiap harinya membutuhkan prekusor untuk
mensintesis sel baru. Prekusor yang dibutuhkan antara lain zat besi, vitamin, asam amino, dan
hormon (Hoffbrand dan Pettit, 1996). Faktor yang mempengaruhi jumlah eritrosit dalam sirkulasi
antara lain hormon eritropoietin yang berfungsi merangsang pembentukan eritrosit (eritropoiesis)
dengan memicu produksi proeritroblas dari sel-sel hemopoietik dalam sumsum tulang (Meyer dan
Harvey, 2004). Protein merupakan unsur utama dalam pembentukan eritrosit darah. Enzim
protease dalam tubuh merupakan enzim ekstraseluler yang berfungsi menghidrolisis protein
menjadi asam amino yang dibutuhkan tubuh. Wardhana dkk., (2001), menyatakan bahwa
kurangnya prekusor seperti zat besi dan asam amino yang membantu proses pembentukan
Achmad Shawaludin Ali dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 1001-1013, September 2013

1006
eritrosit akan menyebabkan penurunan jumlah eritrosit. Keadaan ini dapat disebabkan oleh
gangguan penyerapan atau nilai gizi yang berkurang pada pakan yang diberikan sehingga akan
mempengaruhi organ yang berperan dalam produksi sel darah.
Guyton (1997), Efek dari gagalnya proses pembentukan eritrosit mengakibatkan bentuk
makrosit yang tidak teratur dan memiliki membran sangat tipis, besar, bentuknya oval berbeda
dengan bentuk normal yaitu lempeng cekung. Hal ini berpengaruh dalam pengangkutan oksigen
ke jaringan tubuh, bentuk makrosit pada itik yang tidak sempurna akan mudah lisis yang
mengakibatkan masa hidup eritrosit bertambah pendek. Selain itu faktor yang mempengaruhi
perbedaan jumlah eritrosit diantarannya yaitu umur, nutrisi, volume darah, spesies, dan
ketinggian tempat, musim, waktu pengambilan sampel, jenis antikoagulan juga dapat
mempengaruhi jumlah eritrosit (Swenson, 1997; Jain, 1993).
Sukarmiati (2007), melaporkan penambahan probiotik dalam pakan menggunakan
Lactobacillus sp pada ayam petelur dapat meningkatkan jumlah eritrosit. Namun, dalam penelitian
ini pemberian level probiotik dalam ransum tidak mempengaruhi jumlah eritrosit. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pemberian probiotik dalam ransum pakan tidak mempengaruhi jumlah
eritrosit kemungkinan karena kondisi saluran pencernaan itik. Selain itu, semakin banyak zat besi
tubuh, vitamin, asam amino tubuh maka semakin cepat sintesa hemoglobin dan pembentukan
eritrosit (Hoffbrand dan Petit, 1996). Fuller (1992), menyatakan bahwa perbedaan respon inang
terhadap probiotik dipengaruhi oleh jenis atau strain bakteri yang digunakan, tingkat ketahanan
bakteri terhadap kondisi ternak, umur ternak, spesies dan lingkungan tempat penyimpanan
bakteri sebelumnya. Saputri dkk., (2012), melaporkan bahwa pada kondisi bagian usus halus
banyak terdapat bakteri patogen yang bersifat basa dengan pH 7-8. Apabila dalam pemberian
probiotik tidak mampu menyeimbangkan kondisi mikroflora usus maka dalam proses penyerapan
nutrisi akan terhambat sehingga mengganggu dalam proses pembentukan sel-sel darah.
Sedangkan menurut Budiman (2007), apabila terjadi kerusakan atau peradangan dalam mukosa
usus dapat menyebabkan gangguan penyerapan nutrisi pakan sehingga itik tidak dapat
menggunakan pakannya dengan baik untuk memproduksi sel eritrosit melalui sumsum tulang.
Hasil penelitian pada (Tabel 1) menunjukkan bahwa jumlah eritrosit tetap berada dalam
kisaran normal. Biester dan Schwarte (1965), melaporkan bahwa jumlah eritrosit normal pada itik
yaitu 3,06 10
6
/l. Sukarmiati (2007), probiotik mengandung bakteri proteolitik yang dapat
mensinstesis enzim protease yang menghasilkan keritinase. Keritinase selanjutnya memecah
keratin menjadi senyawa-senyawa sederhana yaitu asam amino. Asam amino merupakan prekusor
pembentukan eritrosit atau eritropoeisis. Probiotik starbio salah satunya bakteri proteolitik yang
berfungsi memecah protein dengan bantuan enzim protease menjadi asam amino. Hasil dari
perombakan nutrien di dalam saluran pencernaan yaitu protein dengan bantuan bakteri
proteolitik dibutuhkan untuk membentuk eritrosit baru setiap harinya. Natalia (2008), menyatakan
limpa yang bertindak sebagai tempat penyimpanan untuk eritrosit, yang akan dikeluarkan ke
sistem sirkulasi sebagaimana yang dibutuhkan dalam proses pembentukan eritrosit.

Kadar Hemoglobin
Hasil penelitian penambahan level probiotik pada berbagai jenis itik lokal menghasilkan
rataan kadar hemoglobin diperoleh (Tabel 1) sebesar 9,8 gr/ml 0,87, dengan kisaran 8,10 0,79
g/100 ml sampai 11,23 1,23 g/100 ml. Rataan kadar hemoglobin masing-masing perlakuan
Achmad Shawaludin Ali dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 1001-1013, September 2013

1007
diperoleh rataan tertinggi 11,23 1,23. Sturkie (1976), melaporkan kadar hemoglobin itik betina
sebesar 12,7 g/100 ml darah. Ismoyowati (2006), melaporkan rataan kadar hemoglobin itik betina
produksi (layer) sebesar 10,81 1,16 g/100 ml. Menurut Wardhana (2001), menyatakan bahwa
faktor yang mempengaruhi kadar hemoglobin adalah umur hewan, spesies, lingkungan, pakan,
ada tidaknya kerusakan eritrosit, dan penanganan darah pada saat pemeriksaan.
Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa interaksi antara berbagai jenis itik lokal dan
pemberian level probiotik yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kadar
hemoglobin. Hasil penelitian menunjukkan kadar hemoglobin dengan kisaran 8,10 0,79 g/100 ml
sampai 11,23 1,23 g/100 ml masih dalam keadaan normal. Sturkie (1976), melaporkan kadar
hemoglobin itik betina sebesar 12,7 g/100 ml darah. Hal tersebut kemungkinan yang
mempengaruhi nilai hematokrit yaitu spesies, genetik dan umur itik. Itik Magelang, itik Mojosari,
dan itik Tegal merupakan spesies yang sama berasal dari keturunan itik Indian Runner, keragaman
genetik masing-masing itik relatif sama (Suharno, 2003). Menurut Swenson (1997), menyatakan
bahwa hemoglobin dalam eritrosit berwarna merah pada darah yang berupa ikatan kompleks
protein terkonjugasi dibentuk oleh pigmen dan protein globin.
Enzim protease dibutuhkan untuk memecah protein menjadi asam amino yang dibutuhkan
pada proses hemopoeisis. Hal ini sesuai dengan pendapat Hoffbrand dan Petit (1996), menyatakan
bahwa zat yang dibutuhkan untuk pembentukan eritrosit antara lain zat besi, mangan, kobalt,
vitamin, asam amino dan hormon eritropoetein. Proses penyerapan nutrien di dalam saluran
pencernaan yang tidak sempurna dapat menyebabkan kegagalan pembentukan sel-sel darah,
sehingga mempengaruhi kadar hemoglobin dalam darah. Semakin banyak zat besi tubuh, vitamin,
asam amino tubuh maka semakin cepat sintesa hemoglobin dan pembentukan eritrosit.
Berdasarkan uji BNJ menunjukan terdapat perbedaan yang nyata pada kadar hemoglobin terhadap
berbagai jenis itik lokal (P<0,05).

Tabel 2. Rataaan Kadar Hemoglobin Darah Itik Pada Berbagai Itik Lokal.
Perlakuan Rataan Kadar hemoglobin (g/dl)
Itik Mojosari

8,97
b

Itik Magelang 10,00
ab

Itik Tegal 10,69
a

Keterangan : Angka dalam baris yang diikuti dengan notasi yang berbeda menunjukan berbeda nyata pada
uji BNJ (P<0,05).

Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar hemoglobin darah itik tertinggi adalah terdapat pada itik
Tegal. Diduga itik Tegal dalam proses sintesis hemoglobin lebih baik dibandingkan dengan itik
Magelang dan Mojosari. Namun berbeda dengan pendapat Wardhana dkk., (2001), sintesis
hemoglobin berhubungan dengan proses pembentukan eritrosit. Hal ini diperkuat dalam pendapat
Sukarmiati (2007), menyatakan penambahan probiotik dalam pakan menggunakan Lactobacillus
sp pada ayam petelur dapat meningkatkan jumlah eritrosit. Dalam penelitian ini kadar hemoglobin
tidak sejajar dengan jumlah eritrosit. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor
yang mempengaruhi sintesis hemoglobin disebabkan oleh faktor genetik, status kesehatan, umur,
dan nutrisi. Jain (1993) dan Wardhana dkk., (2001), menyatakan bahwa faktor yang
mempengaruhi kadar hemoglobin adalah umur hewan, spesies, lingkungan, musim, pakan, ada
Achmad Shawaludin Ali dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 1001-1013, September 2013

1008
tidaknya kerusakan eritrosit, waktu pengambilan sampel, jenis antikoagulan yang dipakai dan
metoda yang digunakan.
Ismoyowati dkk., (2006) menyatakan bahwa enzim merupakan molekul yang tersusun oleh
sederetan asam amino dengan struktur komplek sebagai produk langsung dari sebuah atau
beberapa gen melalui proses transkripsi DNA dan translasi RNA. Bloom dan Fawcett (1994),
menyatakan bahwa DNA mengandung gen yang dibutuhkan dalam sintesis dan penggabungan ke
dalam hemoglobin dari empat rantai polipeptida yang berbeda, disebut alfa (), beta (), gamma
() dan delta (). Struktur setiap rantai globin ditentukan oleh lokus gen terpisah. Ganong (1995),
menyatakan rangkain asam amino dalam rantai polipeptida hemoglobin ditentukan oleh gen
globin. Hal ini menunjukan bahwa faktor genetik berpengaruh terhadap kadar hemoglobin,
dimana dalam penyusunan gen yang baik memerlukan senyawa protein yaitu asam amino sebagai
pembentuknya.
Hemoglobin merupakan suatu senyawa kompleks globlin yang dibentuk 4 sub unit, masing-
masing mengandung suatu gugusan hem yang dikonjugasi ke suatu polipeptida. Hem adalah
turunan porofirin yang mengandung zat besi (Fe). Hemoglobin menjadi satu dengan oksigen udara
yang terdapat di dalam paru-paru hingga terbentuk yaitu oksihemoglobin, yang nantinya
melepaskan oksigen menuju sel-sel jaringan tubuh. Proses oksihemoglobin memerlukan besi
dalam bentuk ferro di dalam molekul hemoglobin. Oksigen yang terikat jumlahnya sama dengan
jumlah atom besi. Tiap gram hemoglobin akan mengangkut sekitar 1,34 ml oksigen. (Frandson,
1993). Maka dari itu besi penting dalam pembentukan hemoglobin, mioglobin, dan substansi
lainnya seperti sitokrom, sitokrom oksidase, peroksidase, dan katalase. Menurut Guyton (1997),
sintesis hemoglobin diawali dari dalam proeritoblast kemudian dilanjutkan dalam fase retikulosit
dalam sumsum tulang. Tahap dasar kimiawi pembentukan hemoglobin yaitu suksini KoA yang
dibentuk dalam siklus Krebs berikatan dengan glisin untuk membentuk senyawa pirol yang
menyatu membentuk senyawa protoporfirin. Kemudian senyawa tersebut berikatan dengan besi
menggunakan bantuan enzim ferokelatase membentuk molekul heme. Setiap molekul heme
bergabung dengan rantai polipeptida panjang (globin) membentuk suatu subunit hemoglobin.
Menurut Campbell (1995) menyatakan bahwa pada berbagai jenis unggas yang normal,
hemoglobin menempati sepertiga dari volume sel darah merah.
Penambahan level probiotik tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar hemoglobin
(P<0,05). Hal tersebut dimungkinkan pemberian probiotik hanya dapat meningkatkan proses
pencernaan sehingga tercukupinya zat yang dibutuhkan dalam proses sintesa hemoglobin.
Winarsih (2005), menyatakan pemberian probiotik hanya dapat meningkatkan pertambahan berat
badan dan menurunkan FCR (Feed Corvertion Ratio) yang menunjukkan bahwa proses pencernaan
dan penyerapan nutrisi lebih efisisen. Sehingga zat yang dibutuhkan dalam proses pembentukan
sel-sel darah dapat berlangsung lebih baik. Probiotik starbio dapat menghasilkan enzim
pencernaan diantaranya amilase, protease dan lipase yang akan membantu pemecahan molekul
kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana yang dapat diserap oleh usus. Semakin banyak
aktivitas enzim protease yang mengubah protein menjadi asam amino di dalam saluran
pencernaan, maka kecepatan sintesis hemoglobin semakin cepat.
Budiman (2007), apabila terjadi kerusakan atau peradangan dalam mukosa usus dapat
menyebabkan gangguan metabolis hemoglobin sehingga kemampuan unggas dalam penyerapan
nutrisi dari pakan yang dikonsumsi menurun sehingga penyerapan zat besi mengalami gangguan
Achmad Shawaludin Ali dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 1001-1013, September 2013

1009
dan berdampak terhadap pembentukan hemoglobin yang tidak sempurna. Menurut Guyton
(1997), bahwa produksi hemoglobin dipengaruhi oleh kadar besi (Fe) dalam tubuh karena besi
merupakan komponen penting dalam pembentukan molekul heme. Besi diangkut oleh transferin
ke mitokondria, tempat dimana heme di sintesis. Jika tidak terdapat transferin dalam jumlah
cukup, maka kegagalan pengangkutan besi menuju eritoblas dapat menyebabkan anemia
hipokromik yang berat, yaitu penurunan jumlah eritrosit yang mengandung lebih sedikit
hemoglobin. Gangguan dalam pembentukan eritrosit dapat mempengaruhi kadar hemoglobin itik.
Hal ini sesuai pernyataan Wardhana dkk., (2001), bahwa pengaruh kadar hemoglobin dapat
disebabkan oleh kerusakan eritrosit, penurunan produksi eritrosit dan dipengaruhi oleh jumlah
dan ukuran eritrosit. Natalia (2008), menyatakan kadar hemoglobin berjalan sejajar dengan jumlah
eritrosit.

Hematokrit
Berdasarkan hasil pengukuran hematokrit dari 81 ekor itik diantaranya itik Magelang,
Mojosari dan Tegal dengan penambahan level probiotik yang berbeda. Rataan nilai hematokrit
diperoleh (Tabel 1) yaitu 39,97 2,88 % dengan kisaran 35,3 3,1 % sampai 44,7 5,0 %. Hasil ini
berbeda lebih tinggi apabila dibandingkan penelitian Ismoyowati dkk, (2006) dan Isroli (2003)
melaporkan kadar hematokrit itik sebesar 36,85% dan 39,2%. Hasil penelitian masih berada dalam
kisaran normal hal ini sesuai dengan penelitian Sturkie (1976), melaporkan bahwa kisaran normal
nilai hematokrit itik jantan yaitu 40,7 %. Perbedaan nilai hematokrit darah dimungkinkan karena
perbedaan umur, tingkat produksi, sistem pemeliharaan dan musim. Hal ini sesuai dengan
pernyataan bahwa kadar hematokrit dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur, jenis kelamin,
status nutrisi, keadaan hipoksia, jumlah eritrosit dan ukuran eritrosit (Sturkie, 1976).
Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa interaksi antara berbagai jenis itik lokal dengan
pemberian probiotik dengan level yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai
hematokrit, demikian juga jenis itik maupun pemberian probiotik dengan level yang berbeda
terhadap nilai hematokrit. Hal tersebut kemungkinan yang mempengaruhi nilai hematokrit yaitu
spesies, genetik dan umur itik. Itik Magelang, itik Mojosari, dan itik Tegal merupakan spesies yang
sama berasal dari keturunan itik Indian Runner, keragaman genetik masing-masing itik relatif sama
(Suharno, 2003). Itik yang digunakan pada penelitian ini menggunakan itik yang sama dengan
masa periode produksi ketika berumur 28 minggu, karena kondisi itik relatif sama sehingga kondisi
fisiologis itik relatif sama salah satunya nilai hematokrit. Selain itu, kemungkinan secara genetik
dan umur itik dapat mempengaruhi nilai hematokrit dikarenakan oleh ukuran dan jumlah eritrosit
perbedaan umur itik dan tingkat produksi dapat mempengaruhi nilai hematokrit (Budiman, 2007;
Ismoyowati, 2006).
Hematokrit menunjukan besarnya volume sel darah merah atau eritrosit penuh di dalam 100
mm
3
darah dan dinyatakan dalam persen (Hoffbrand dan Pettit, 1996). Budiman (2007),
menyatakan bahwa fungsi lain dari hematokrit yaitu mengukur proporsi sel darah merah
(eritrosit), sebab hematokrit dapat mengukur konsentrasi eritrosit. Peningkatan atau penurunan
hematokrit dalam darah mempengaruhi viskositas darah. Semakin besar persentase hematokrit
maka semakin banyak gesekan yang terjadi di dalam sirkulasi darah pada berbagai lapisan darah
dan gesekan ini menentukan viskositas, oleh karena itu viskositas darah meningkat dengan
bersamaan hematokrit pun meningkat (Guyton, 1997).
Achmad Shawaludin Ali dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 1001-1013, September 2013

1010
Rataaan nilai hematokrit pada hasil penelitian berada dalam kisaran normal yaitu 39,97
2,88 %. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai hematokrit yaitu kerusakan eritrosit
(eritrositosis), penurunan produksi eritrosit atau dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran eritrosit
(Wardhana dkk., 2001). Nilai hematokrit sangat tergantung dengan jumlah eritrosit yang
mempengaruhi kadar hematokrit pada itik. Semakin besar jumlah eritrosit darah maka nilai
hematokrit akan mengalami peningkatan juga. Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarsih (2005),
bahwa kadar hematokrit sangat tergantung pada jumlah sel eritrosit, karena eritrosit merupakan
masa sel terbesar dalam darah.
Penambahan level probiotik tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar hematokrit
(P<0,05). Hal tersebut dimungkinkan dipengaruhi kondisi saluran pencernaan. Selain itu, probiotik
yang dapat meningkatkan kondisi pencernaan hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup
pokok. Probiotik starbio mengandung bakteri selulolitik, hemiselulolitik, lignolitik dan bakteri
pemecah protein dan lemak (Mangisah, 2009). Winarsih (2005), menyatakan pemberian probiotik
hanya dapat meningkatkan pertambahan berat badan dan menurunkan FCR (Feed Corvertion
Ratio) yang menunjukkan bahwa proses pencernaan dan penyerapan nutrisi lebih efisisen.
Sehingga zat yang dibutuhkan dalam proses pembentukan sel-sel darah dapat berlangsung lebih
baik. Natalia (2008), menyatakan jumlah eritrosit dan nilai hematokrit berjalan sejajar satu sama
lain.
Hoffbrand dan Petit (1996), menyatakan bahwa zat yang dibutuhkan untuk pembentukan
eritrosit antara lain zat besi, mangan, kobalt, vitamin, asam amino dan hormon eritropoetein.
Natalia (2008), melaporkan bahwa apabila terjadi penyimpangan dari nilai hematokrit
berpengaruh penting terhadap kemampuan darah untuk membawa oksigen. Winarsih (2005),
menyatakan bahwa peningkatan kadar hematokrit dapat terjadi pada keadaan edema hebat yang
akan terjadi pengeluaran cairan dari pembuluh darah ke jaringan ekstravaskuler. Sturkie (1976),
kadar hematokrit dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur, jenis kelamin, status nutrisi,
keadaan hipoksia, jumlah eritrosit dan ukuran eritrosit.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Interaksi antara level probiotik dan
jenis itik lokal tidak menyebabkan perbedaan kondisi hematologis ditinjau dari jumlah eritrosit,
kadar hemoglobin, dan hematokrit. Itik Tegal memiliki kadar hemoglobin darah lebih tinggi
dibandingkan dengan itik Magelang dan itik Mojosari.Pemberian berbagai level probiotik pada
berbagai jenis itik lokal tidak mengubah jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan hematokrit.

UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada Ketua LPPM UNSOED atas dana Hibah Kompetensi Dikti
(an. Dr. Ismoyowati, S.Pt., M.P.)dan rekan-rekan satu tim penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
Barrow, P.A. 1992. Probiotics for Chickens. In : R. Fuller. Probiotics The Scientific Basic. 1
st
Ed.
Chapman and Hall, London. Hal 225-250.
Biester, H.E and L.H. Schwarte. 1965. Diseases of Poultry. 5
th
Ed. Iowa State University Press.Ames.
Iowa. United States of America. Hal 1382.
Achmad Shawaludin Ali dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 1001-1013, September 2013

1011
Bijanti, R. dan Partosoewignyo, S. 1992. Hematologi Veteriner. Edisi I. Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga. Surabaya.
Bloom, W dan Fawcett, D.W. 1994. Buku ajar Histologi. 12
th
Ed. Penerjemah : Jan Tambayong.
EGC. Jakarta.
Budiman, R. 2007. Pengaruh Penambahan Bubuk Bawang Putih pada Ransum Terhadap Gambaran
Darah Ayam Kampung yang Diinfeksi Cacing Nematoda (Ascaridia galli). Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Campbell TW. 1995. Avian Hematology and Cytology. 1
th
Ed. Iowa State University Press.Ames.
Iowa. United States of America.
Cunningham, J.G. 2002. Textbook of Veterinary Phisiology. SaundersCompany. United States of
America.
Direktorat Jenderal Peternakan dan kesehatan hewan. 2011. Statistik Peternakan dan kesehatan
hewan 2011. CV. Karya Cemerlang. Jakarta.
Dukes, E.H,. 1995. The Physiology of Domestic Animal. 7
th
ed. Commestock Publishing Associats
Cornell University Press. Ithaca, New York.
Erniasih, I dan Saraswati, T.R. 2006. Penambahan Limbah Padat Kunyit (Curcuma Domestica) pada
Ransum Ayam dan pengaruhnya terhadap Status Darah dan Hepar Ayam (Gallus sp).
Laboratorium Biologi Struktur dan fungsi Hewan Jurusan Biologi FMIPA. UNDIP. Semarang.
Buletin dan Fisiologi. Vol. XIV, No. 2.
Farner D.S, King J.R, and Parkes K.C. 1972. Avian Biology Volume II. Academic Press. United States
of America.
Frandson, R.D. 1986. Anatomy and Physiology of Farm Animal. Diterjemahkan oleh Srigandono
dan Koen Praseno. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. Hal 395-398.
Fuller, R. 1992. History and development of probiotic. In : R. Fuller. Probiotic The Science Basic. 1
st

Ed. Chapman and Hall. London.
Ganong, W.F. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 14
th
Ed . Diterjemahkan oleh dr. Jonatan
Oswari. EGC. Jakarta.
Guyton A.C and Hall J.E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-9. Diterjemahkan oleh
Irawati Setiawan. EGC. Jakarta.
Hoffbrand A.V, JE Pettit. 1996. Kapita Selekta Hematologi. Ed ke-2. Iyan D, penerjemah. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Terjemahan dari : Essential Hematology.
Ismoyowati, Prayitno, dan Ida. F. 2003. Penentuan Aktivfitas Enzim -Amilase Dan Kadar Glukosa
Darah Pada Itik Lokal. Fakultas Peternakan UNSOED. Animal Production, Vol.5, No. I.
Ismoyowati, T. Yuwanta, J.H.P. Sidadolog, dan S. Keman. 2006. Performans Reproduksi Itik Tegal
Berdasarkan Status Hematologis. Fakultas Peternakan UNSOED dan Fakultas Peternakan
UGM. Animal Production. Vol. 8, No. 2: 88-93.
Isroli. 2003. Jumlah Eritrosit, Kadar Hematoktrit dan Hemoglobin pada Itik Tegal periode Layer
Akibat Penambahan Tepung Ampas Tahu dalam Ransum. Skripsi. Fakultas Peternakan
Universitas Diponegoro. Semarang.
Jain, N.C. 1993. Essential of Veterinary Hematology. Lea and Febriger, Philadelphia.
Achmad Shawaludin Ali dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 1001-1013, September 2013

1012
Laksmiwati, N. 2006. Pengaruh Pemberian Starbio dan Effective Microorganisme (EM4) sebagai
Probiotik terhadap Penampilan Itik Jantan Umur 0-8 Minggu. Skripsi. Fakultas Peternakan.
Universitas Udayana. Denpasar.
Mangisah, I, Suthama N, Wahyuni, H.I. 2009. Pengaruh Penambahan Starbio dalam Ransum
Berserat Kasar Tinggi terhadap Performan Itik. Laporan Seminar Nasional kebangkitan
Peternakan. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang.
Meyer, D.J. and J.W. Harvey. 2004. Veterinary Laboratory Medicine Interpretation and Diagnosis.
3
rd
ed. Sauders. USA.
Natalia, R. D. 2008. Jumlah Eritrosit, Nilai Hematokrit dan Kadar Hemoglobin Ayam Pedaging Umur
6 Minggu yang Diberi Suplemen Kunyit, Bawang Putih dan Zink. Skripsi. Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
North, M.O and D.D. Bell.1990. Commercial chicken Production Manual. 4
th
Ed. An Avi Book
Published by Van Nostrand Reinhold. New York.
Piao, X.S., I.K. Han, J.H. kim, W.T. cho, Y.H. Kim and C. Liang. 1999. Effects of Kemzyme, Phytase
and Yeast, Suplementation on The Growth Performance and Pullution Reduction of Broiler
Chicks. Asian-Aust. Jurnal Animal Science 12(1) : 36-41
Prasetyo, L. Hardi, T. Susanti, P. P. Ketaren, E. Juwarini dan M. Purba. 2004. Pembentukan Itik
Lokal Petelur MA G3 dan Pedaging Seleksi dalam Galur pada Bibit Induk Alabio dan Itik
Mojosari Generasi F3. Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Tahun Anggaran 2004. Balai
PenelitianTernak Ciawi, Bogor. Hal. 70-82.
Prasetyo, L. Hardi, T. Susanti, P. P. Ketaren, E. Juwarini, S. Sopiana, A. Suparyanto, A.R. Setioko.
2010. Panduan Budidaya dan Usaha Ternak Itik. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Ritonga, H. 1992. Beberapa Cara Menghilangkan Mikroorganisme Patogen. Majalah Ayam dan
Telur. No. 73 Maret1992. Hal : 24-26.
Samosir, D.J. 1983. Ilmu Ternak Itik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Saputri, F, Sumaryati Syukur, dan Endang Purwatir. 2012. Pengaruh Pemberian Probiotik Bakteri
Asam Laktat (BAL) Pediococcus pentosaceus terhadap Keseimbangan Mikroflora Usus dan
Trigliserida Daging Itik Pitalah. Artikel. Program Pasca sarjana. Universitas Andalas. Padang.
Saxelin, M .1997. Lactobacillus GG a Human Probiotic Strain with Thorough Clinical
Documentation. Food Rev Int. Vol. 13: 293313.
Schalm. 2010. Veterinary. Haematology. 6
th
Ed. Blackwell Publishing. USA.
Suharno, B dan Amri, K. 2000. Beternak Itik Secara Intensif. Penebar Swadaya. Jakarta.
Suharno, B. 2003. Beternak Itik Secara Intensif. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sukarmiati. 2007. Kajian Penggunaan berbagai Jenis Probiotik terhadap Profil Darah, Titer ND dan
Kandungan Amonia Feses Ayam Petelur. Tesis. Program Pasca Sarjana.Universitas Jenderal
Soedirman. Purwokerto.
Steel, R. G.D., dan J.H. Torrie. 1980. Principles and Procedures of Statistis. Diterjemahkan oleh B.
Soemantri. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistic. Gramedia Utama. Jakarta.
Sturkie, P.D. 1976. Blood Physical Characteristic, Formed, Elemant, Hemoglobin and Coagulation.In
: Avian Physiology. 3
th
ed. Springerverleg. New York
Swenson. 1997. Dukes Phisiology of Domestic Animals. 9
th
Ed. Cornel university Press. London.
Achmad Shawaludin Ali dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 1001-1013, September 2013

1013
Wardhana, April H, E Kenanawati, Nurmawati, Rahmaweni, dan C.B. Jatmiko. 2001. Pengaruh
Pemberian Sediaan Patikaan Kebo (Euphorbia Hirta L) terhadap Jumlah Eritrosit, Kadar
Hemoglobin, dan Nilai Hematokrit pada Ayam yang Diinfeksi dengan Eimeria tenella. Jurnal
Ilmu Ternak dan Veteriner. Vol. 6 No. 2 Th. 2001. Bogor.
Whendrato, I. dan I.M. Madyana. 1998. Beternak Itik Tegal. Eka Offiset. Semarang.
Winarsih, W. 2005. Pengaruh Probiotik dalam Pengendalian Slamonellosis Subklinis pada Ayam
Gambaran Patologis dan Performan. Thesis. Pasca Sarjana. Intitut Pertanian Bogor. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai