Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG PENGGUNAAN APLIKASI GIS
Pilihan untuk melakukan revitalisasi sektor adalah pilihan yang sangat tepat untuk saat ini.
Hal ini dapat dilihat dari besarnya sumbangan yang telah diberikan oleh sektor pertanian dalam
pembangunan nasional. Revitalisasi juga mengandung pengertian bahwa sektor pertanian pernah
sangat vital, namun kini kurang mendapatkan perhatian dan prioritas sebagaimana mestinya
sehingga sumbangan yang diberikan kurang optimal. Sektor pertanian, perkebunan dan
kehutanan yang baik akan terwujud jika didukung oleh sistem perencanaan yang akurat dan
terukur. Oleh karena itu semua faktor yang mempengaruhi pembangunan pertanian yang
berkelanjutan,baik itu faktor pendukung maupun faktor pembatas harus dipikirkan sejak awal
dan dituangkan dalam produk database dan peta pembangunan pertanian.
Lahan yang luas dan subur dengan kualitas sumberdaya manusia yang berpikiran maju
merupakan salah satu faktor pendukung utama. Namun demikian dengan kondisi lahan yang
terbatas dan kemampuan lahan tidak merata, maka pengembangan pertanian yang berkelanjutan
harus mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Sedangkan faktor pembatas yang sering
ditemui adalah kurangnya informasi dan data yang akurat tentang kondisi sumber daya alam,
dimana data dan informasi merupakan instrumen yang sangat penting dalam perencanaan
pembangunan.
Perkembangan penggunaan sumberdaya alam lahan sampai saat ini belum memberikan
kontribusi yang nyata dalam meningkatkan produksi tanaman. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi
lahan yang bervariasi berdasarkan letak georafis dan topografinya, yang masing-masing
mempengaruhi produktifitas tanaman. Diperlukan perencanaan yang matang dalam mengambil
keputusan jenis tanaman yang akan ditanam. Perencanaan dan pengambilan keputusan harus
dilandasi oleh data dan informasi yang akurat tentang kondisi lahan. Penggunaan teknologi
berbasi komputer untuk mendukung perencanaan tersebut mutlak digunakan untuk menganalisis,
memanipulasi dan menyajikan informasi. Salah satu teknologi tersebut adalah Sistem
Informasi Geografi (SIG) yang mempunyai kemampuan membuat model yang memberikan
gambaran, penjelasan dan perkiraan dari suatu kondisi faktual. Untuk mendapatkan model,
gambaran dan informasi tentang komoditas yang cocok untuk ditanam, maka dilakukan
pembuatan peta dan analisis kesesuaian lahan dengan menggunakan metode SIG.
Pembuatan peta dan analisis kesesuaian lahan ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi
kesesuaian lahan dan menyajikan data dan informasi yang akurat, obyektif dan lengkap sebagai
bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan kebijaksanaan. Selain itu juga bertujuan
untuk mendorong peningkatan produktifitas sektor pertanian sesuai dengan kemampuan dan
daya dukung lahan. Informasi dari analisis kesesuaian lahan ini diharapkan akan memberikan
manfaat antara lain sebagai berikut:
1. Memberikan pedoman dan arahan bagi petani untuk memilih komoditas yang sesuai sehingga
kegagalan panen dapat dihindari.
2. Tersedianya informasi yang cukup bagi para penyuluh di lapangan.
3. Sebagai bahan acuan dan referensi dalam membuat perencanaan di wilayah kerja masing-
masing.
4. Sebagai pemandu bagi instansi yang berwenang dalam menentukan kebijakan.
Sistem Informasi Geografi (SIG) dapat digunakan untuk membantu mengelola sumberdaya
pertanian, seperti luas kawasan untuk tanaman, pepohonan saluran air. Selain itu SIG juga dapat
digunakan untuk menetapkan masa panen, mengembangkan sistem rotasi tanam dan melakukan
perhitungan secara tahunan terhadap kerusakan tanah yang terjadi karena perbedaan pembibitan,
penanaman atau teknik yang digunakan dalam masa panen.
Analisa tanah untuk kesesuaian lahan dilakukan untuk mendapatkan alternative berbagai
tanaman yang sesuai dengan kondisi bentang lahan dan jenis tanah yang terdapat dalam areal
kerja tersebut. Analisis ini dilakukan dengan cara mencocokan antara kebutuhan tanaman untuk
hidup dengan data kondisi tempat yang akan ditanami. Hasil analisis tanah dan faktor iklim
disesuaikan dengan persyaratan tumbuh suatu jenis tanaman. Data-data hasil analisis tanah di
atas dimasukkan ke dalam data base peta sebagai atribut peta yaitu sifat tanah, sifat kimia tanah
dan jenis komoditas yang paling cocok. Masing-masing peta tematik dengan atributnya
ditumpang tindihkan sehingga diperoleh peta kesesuaian lahan (sangat tidak cocok, kurang
cocok, cocok, sangat cocok).


Contoh aplikasi dalam berbagai macam kegiatan seperti :
1. Pemantauan produksi dibidang pertanian seperti Integrasi Data Satelit
Dan Model Produktivitas Tanaman yang disusun oleh Fahrizal, Bandar Lampung
2. Penilaian resiko usaha pertanian seperti Model Manajemen Data Spasial Untuk Pemilihan
Jalur Distribusi Holtikultura yang disusun oleh Kudang B. Seminar , Mohammad Abousaidi
dan Agus Wibowo
3. Pengendalian hama dan penyakit seperti Sistem Informasi Geografis Di Bidang Hpt yang
disusun oleh Ussy, Jatinangor
4. Pemantauan budidaya pertanian seperti Aplikasi Inderaja Dan Sig Untuk Monitoring
Keberhasilan Reboisasi Di Kabupaten Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur yang disusun
oleh Irmadi Nahib dan Jaya Wijaya , Nusa Tenggara Timur
5. Presisi pertanian seperti Pemetaan Daerah Potensial Penangkapan Ikan Cakalang
(Katsuwonus Pelamis) Berbasis Sistem Informasi Geografis Diperairan Teluk Tomini ,
Provinsi Gorontalo yang disusun oleh Fauzan, Makassar
6. Pengelolaan sumber daya air seperti Aplikasi Arcview Gis Untuk Pengelolaan Sumberdaya
Air yang disusun oleh Anjar suprapto
7. Kajian biodiversitas bentang lahan untuk kegiatan pertanian berlanjut seperti Analisis
Polaruang Kalimantan Dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 disusun oleh Doni Prihatna

BAB II
URAIAN CONTOH DAN PENJELASAN PENERAPAN APLIKASI GIS
2.1 Pemantauan produksi dibidang pertanian seperti INTEGRASI DATA SATELIT DAN
MODEL PRODUKTIVITAS TANAMAN yang disusun oleh Fahrizal, Bandar Lampung
Integrasi data satelit dan model produktivitas tanaman merupakan metode analisis kuantitatif
yang penting untuk menduga hasil panen pada skala lokal dan regional. Data penginderaan jauh
praktis di-gunakan untuk permodelan tanaman dengan kondisi kanopi yang selalu dinamis
berubah dalam waktu dan ruang.
Metode pendugaan hasil tanaman yang dilakukan berdasarkan data sa-telit dengan menggunakan
indikator biomassa tanaman dan IV. Walaupun pendekatan IV dapat dikatakan sederhana,
hubungan antara IV dengan hasil dapat dikatakan bersifat lokal dan sensitif terhadap terhadap
tanah dan kondisi atmosfer. Untuk prediksi hasil pertanian pada berbagai kondisi, dibutuhkan
parameter lainnya yang dapat menjelaskan mekanisme fisiologis/biologis yang mengontrol
pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Moulin, et al., 1998). Oleh karena itu dibutuhkan
model model mekanistis yang mampu mengintegrasikan berbagai parameter (biofisik tanaman,
tanah, iklim dan sistem budidaya) yang mempengaruhi produksi tanaman. Beberapa model
tanaman seperti halnya Environmental Policy Integrated Cli-mate (EPIC) (Easterling et al.,1998;
Izaurralde et al., 2003) dan FAO model: Specific Water Balance (CS-WB) (Reynolds et al.,
2000) telah diintegrasikan dengan SIG untuk menghasilkan model tanaman spasial yang
kemudian diintegrasikan data penginderaan jauh yang terkini berhasil mensimulasi hasil
produksi tanaman secara efisien dalam skala regional.
2.2 Penilaian resiko usaha pertanian seperti MODEL MANAJEMEN DATA SPASIAL
UNTUK PEMILIHAN JALUR DISTRIBUSI HORTIKULTURA yang disusun oleh Kudang B.
Seminar , Mohammad Abousaidi dan Agus Wibowo
1. Kondisi umum daerah penelitian
Salah satu tujuan utama dari aktivitas agroindustri yang vital adalah mengantarkan produk
hortikultura (sayuran atau buah) ke lokasi pengguna tepat waktu dengan penyusutan mutu yang
minimal. Hal ini mengingat karakteristik produk holtikultura yang peka terhadap fluktuasi
kondisi klimat mikro dan makro selama pengangkutan, metoda serta perioda pengangkutan.
Untuk itu pemilihan jalur distribusi holtikultura menjadi salah satu kunci penentu dalam
meminimisasi keterlambatan pengiriman dan penyusutan mutu produk holtikultura ke pengguna.
Dukungan data spasial yang tepat dapat didayagunakan untuk mendukung pemilihan jalur
distribusi yang secara alami berkaitan erat dengan orientasi spasial (kondisi jalan, jarak dan lebar
jalan, alternatif jalan, posisi gografis, dan peta jalan). Paper ini membahas pendekatan
manajemen data spasial untuk mendukung pemilihan jalur distribusi produk holtikultura, dan
beberapa penerapan manajemen data spasial tersebut untuk distribusi sayuran di wilayah kota
Bogor.
2. Kebutuhan data spasial dan non spasial
Kebutuhan data spasial dan non-spasial untuk pemilihan jalur distribusi hortikultura mencakup
peta pasar dan jalan, jarak, kondisi trafik, kecepatan kemudi (drive time), kecepatan rata-rata
perjalanan seperti disajikan pada Gambar1
Gambar 1. Kebutuhan data hasil identifikasi
a. Hasil permodelan FBMS
Hasil permodelan dengan FBSM = (O, F, R, , )
Gambar 2 . hasil pemodelan FBMS
b. Implementasi data spasial
Entri data spasial dilakukan dengan registrasi peta kota yang diperoleh dari Bakosurtanal
digabungkan dengan peta jalan (digitized roads) dari BPPT untuk memperoleh peta jalur kota
(roads theme) dan target pasar (market theme seperti pada Gambar 2 & 3.
Gambar 3. Peta pasar hasil entri
c. Pencarian jalur terpendek
Untuk menentukan jalur dengan jarak tempuh terpendek menggunakan alur logika seperti pada
Gambar 7.
Gambar 4. Alur logika pemilihan jalur terbuka
Sebagai contoh hasil pemilihan jalur terbaik dari Saung Mirwan (produsen hortikultura) ke
HERO Swalayan (konsumen), disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Jalur terbuka menuju HERO dari saung Mirwan
2.3 Pengendalian hama dan penyakit seperti SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DATA
SPASIAL DI BIDANG HPT KELAPA SAWIT yang disusun oleh Hartanto Sanjaya , Sulawesi
Utara.
1. Kondisi Umum daerah penelitian
Serangan organisme pengganggu tanaman dapat menyebabkan target pertanian menurun. Kini
prediksi serangan organisme pengganggu tanaman dapat diakses melalui Internet. Organisme
pengganggu tanaman (OPT), seperti gulma, hama, dan mikroorganisme patogenik merupakan
musuh bebuyutan para petani.
Organisme-organisme itu dapat menyebabkan tanaman rentan terserang penyakit dan
menurunkan kualitas tanaman. Oleh karena itu, untuk menghasilkan tanaman berkualitas,
diperlukan upaya pengendalian OPT yang menyeluruh. Menurut Edi Suwardiwijaya, fungsional
pengendali OPT dari Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (BB-POPT)
Departemen Pertanian, berbagai upaya pengendalian hama terpadu (PHT) untuk mencegah
serangan OPT terus dikembangkan hingga saat ini. Secara operasional, penerapan PHT
mencakup upaya preemtif dan responsif.
Upaya preemtif ialah pengendalian hama berdasarkan informasi dan pengalaman status OPT
waktu sebelumnya. Upaya tersebut mencakup penentuan pola tanam, varietas, waktu tanam,
keserentakan tanam, pemupukan, pengairan, jarak tanam, dan penyiangan. Tujuan upaya
preemtif ialah membudidayakan tanaman sehat. Di samping upaya preemtif, dilakukan pula
upaya responsif, yaitu pengendalian berdasarkan informasi status OPT dan faktor yang
berpengaruh terhadap berlangsungnya musim saat itu.
Beberapa bentuk upaya responsif, antara lain penggunaan musuh alami, pestisida alami, pestisida
kimia, serta pengendalian mekanis. Upaya itu kerap mempertimbangkan biaya pengendalian
yang perlu dilakukan. Edi mengatakan untuk menerapkan tindakan operasional tersebut
diperlukan informasi berupa model prediksi kejadian serangan atau peramalan OPT di suatu
daerah. Peramalan itu mencakup suatu kegiatan yang diarahkan untuk mendeteksi dan
memprediksi serangan OPT. Tidak hanya itu, peramalan juga bertujuan untuk memprediksi
kemungkinan penyebaran dan akibat yang ditimbulkan serangan OPT dalam ruang dan waktu
tertentu.
Menurut Peneliti dari Pusat Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam (PTISDA) BPPT,
Hartanto Sanjaya, jaringan komputer Neonet didukung 16 prosesor dengan memori 16 gigabyte.
Sedangkan kapasitas hardisk untuk menyimpan data sebesar 9 terabyte.
Model Runtun Waktu
Agar ramalan yang dibuat cukup akurat, perlu dilakukan peningkatan mutu (upgrading)
informasi hasil ramalan, deskripsi, dan pengembangan model peramalan. Kegiatan itu dilakukan
oleh BB-POPT. Edi menerangkan metode peramalan tersebut menggunakan model runtun
waktu, yaitu menyelidiki pola dalam deret data historis atau data masa lalu dan
mengekstrapolasikannya ke masa depan. Metode tersebut hanya menggunakan satu variabel,
yaitu serangan OPT pada masa lampau. Asumsi yang digunakan dalam penerapan model runtun
waktu itu mengganggap kejadian serangan OPT pada masa lalu akan terus berulang setiap
tahunnya. Cara membaca data peta sebaran OPT secara nasional terbilang cukup mudah. Mula-
mula kursor diarahkan ke menu komoditas untuk memilih padi, jagung, atau kedelai. Setelah itu
pengguna bisa memilih enam jenis OPT yang tersedia, misalkan penggerek batang, wereng
cokelat, tikus, tungro, BLB, dan blas. Proses selanjutnya, pengguna mengatur keterangan yang
akan ditampilan di peta berupa grid, kota, jalan, sungai, dan provinsi.
Kursor kemudian diarahkan ke menu pembesar, pengecil, penggeser, dan penampil keseluruhan
peta. Untuk mengetahui detail ramalan OPT di peta sebaiknya pengguna memilih menu
pembesar. Selanjutnya, kursor diarahkan ke suatu provinsi untuk mengetahui perkiraan luas
daerah yang terserang OPT. Sebagai contoh, ketika pengguna mengeklik Provinsi DKI Jakarta,
saat itu pula bisa diketahui informasi mengenai luas tanaman padi yang rentan terserang OPT
jenis penggerek batang.
Kelemahan lain dari sistem informasi itu ialah pada data sebaran OPT belum dilengkapi petunjuk
cara pengendalian yang harus dilakukan para petani. Misalnya, apabila terjadi serangan BLB,
apa yang harus dilakukan petani untuk dapat mengatasi persoalan itu. Metode peramalan dengan
model yang menggunakan satu variabel itu juga dinilai memiliki akurasi rendah. Menurut
Hartanto, selama ini data serangan OPT diperoleh secara manual dari pemantauan petugas
pengendali OPT di lapangan. Padahal, selama ini jumlah petugas yang tersedia tidak sebanding
dengan luasnya lahan pertanian yang dipantau. Dampaknya, kebanyakan data akhirnya
didasarkan pada perkiraan-perkiraan.
2. Kebutuhan data Spasial
Contoh lain di bidang pertanian adalah digunakannya SIG untuk pengelolaan kebun kelapa sawit
yang di dalamnya termasuk pengendalian hama dan penyakit tumbuhan. Berikut skemanya.
Gambar 6. Diagram Konteks SIG Pengelolaan Kelapa Sawit
Gambar 7. Peta Sebaran OPT di lahan Kelapa Sawit
Gambar 8. Peta Sebaran Lahan Pertanian dan Sebaran OPT
Gambar 9. Peta Sebaran Ramalan Serangan OPT
2.4 Pemantauan budidaya pertanian seperti APLIKASI INDERAJA DAN SIG UNTUK
MONITORING KEBERHASILAN REBOISASI DI KABUPATEN KUPANG PROPINSI
NUSA TENGGARA TIMUR yang disusun oleh Irmadi Nahib dan Jaya Wijaya , Nusa
Tenggara Timur
1. Kondisi keadaan umum penelitian.
Kabupaten Kupang dengan ibukota Kupang memiliki luas 733.872 ha, yang terdiri dari 1 kota
administratif dan 21 kecamatan. Secara geografis terletak pada koordinat 121 30 124 11 BT.
dan 9 19 10 17 00 LS., sedangkan secara administratif berbatasan dengan Kabupaten Timor
Tengah Selatan (sebelah utara), Laut Timor (sebelah timur dan selatan), dan Teluk Kupang
(sebelah barat)
Luas hutan di Kabupaten Kupang adalah 222.214,6 Ha (30,28 % dari luas Kabupaten Kupang),
yang terdiri atas hutan lindung 86.120 Ha (38,75 %), hutan suaka alam dan wisata 3.783,6 Ha
(1,70 %), hutan produksi tetap 54.880 Ha (24,70 %), hutan produksi terbatas 74.031 Ha (33,32
%) dan hutan konversi 3.400 Ha (1,53 %). Sampai dengan akhir PELITA V luas lahan yang telah
direboisasi 14.898 Ha, dengan luas areal reboisasi yang berhasil 11,871 Ha (79,7 %) dan
tanaman yang gagal 3.027 Ha (20,30 %)
2. Pembahasan
Dari hasil interpretasi citra komposit Landsat TM band 542 (RGB) dan pemeriksaan lapangan
diperoleh deskripsi setiap liputan lahan seperti disajikan pada berlangsung antara 3-5 bulan, yaitu
antara bulan DesemberApril dan musim kemarau/kering antara 7-9 bulan.
Berdasarkan Tabel 4 diatas diketahui bahwa selama periode 5 tahun terjadi pengurangan luas
lahan terbuka sekitar 7,265.27 Ha (0,99%), dan penambahan luas areal berhutan sekitar
35,959.43 Ha ( 4.86 %). Bertambahnya luas areal hutan dan berkurangnya lahan terbuka
merupakan indikator awal keberhasilan kegiatan reboisasi.
2.5 Presisi pertanian seperti PEMETAAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN
CAKALANG (Katsuwonus pelamis) BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
DIPERAIRAN TELUK TOMINI , PROVINSI GORONTALO yang disusun oleh Fauzan,
Makassar
1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Teluk Tomini secara geografis terletak pada 1200-1230 30 BT dan 0030 LU 1030 LS.
Wilayah Provinsi Gorontalo yang berbatasan langsung dengan perairan mempunyai panjang
garis pantai sekitar 436,52 kilometer yang terdiri dari empat Kabupaten dan satu Kota yaitu
Kabupaten Boalemo, Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Pohuwato, Kabupaten Gorontalo,
dan Kota Gorontalo.
Kegiatan perikanan tangkap di wilayah Teluk Tomini sejauh ini pada daerah penangkapan
(fishing ground) relatif dekat dari garis pantai dengan trip penangkapan yang relatif pendek.
Fishing base yang digunakan selama penelitian adalah pangkalan nelayan di Tempat Pendaratan
Ikan (TPI) yang berada di Desa Pentadu Timur, Kecamatan Tilamuta, Kabupaten Boalemo
dengan posisi 1222124,1 bujur timur dan 003035,7 lintang utara. Waktu yang diperlukan
untuk sampai ke fishing ground tergantung jarak fishing base ke fishing ground. Posisi fishing
ground terjauh ditempuh sekitar 6-8 jam dengan, Sedangkan untuk posisi fishing ground terdekat
hanya ditempuh waktu 2-3 jam
2. Analisis Parameter Oseonografi Terhadap Hasil Tangkapan
Untuk mengetahui hubungan kondisi oseonografi dengan hasil tangkapan pada penelitian ini
dilakukan anilisi beberapa parameter. Berdasarkan hasil pengukuran parameter suhu (X1),
klorofil-a (X2), kedalaman (X3), salinitas (X4), dan kecepatan arus (X5) sebagai variabel bebas
(independent), sedangkan hasil tangkapan ikan cakalang (Y) sebagai varibel tak bebas
(depandent). Parameter suhu, salinitas, kecepatan arus, kedalaman, dan klorofil diduga memilki
hubungan dan pengaruh terhadap hasil tangkapan ikan cakalang. Berdasarkan hasil regresi,
diperoleh nilai korelasi regresi berganda antara variabel parameter oseonografi (suhu, kliorofil,
kedalaman salinitas dan kecepatan arus) dengan hasil tangkapan. Untuk korelasi tersebut dapat
dilihat pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Nilai korelasi regresi berganda antara variabel hasil tangkapan cakalang (katsuwonus
pelamis) dengan variabel parameter oseonografi.
a) Prediksi Daerah Potensial Penangkapan Ikan Cakalang
Dari analisis data yang dilakukan, maka di peroleh nilai prediksi hasil tangkapan yang menjadi
acuan dalam interpolasi data sehingga diperoleh prediksii daerah penangkapan ikan cakalang
yang potensial, seperti yang terlihat
Prediksi jumlah hasil tangkapan tertinggi memiliki luas area 36,3528 km2 yang terletak antara
121,890 BT sampai 121,950 BT dan 0,260 LU sampai 0,190 LU dengan jarak 34,43 mil dari
posisi fishing base dimana jumlah tangkapannya berkisar antara 257-330 ekor/hauling.
Fluktuasi hasil tangkapan ikan pada suatu daerah penangkapan ditentukan oleh penyediaan
kondisi oseanografi yang optimum pada suatu perairan baik suhu permukaan laut, konsentrasi
klorofil-a maupun parameter oseonografi lainnya. Dengan mengoptimalkan upaya penangkapan
lokasi-lokasi yang potensial maka akan diperoleh keuntungan yang lebih banyak pula dari
operasi penangkapan yang dilakukan.
2.6 Pengelolaan sumber daya air seperti APLIKASI ArcView GIS UNTUK PENGELOLAAN
SUMBERDAYA AIR yang disusun oleh Anjar suprapto Yogyakarta
1. Keadaan umum daerah penelitian
Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya air yang baik mutlak diperlukan untuk menjaga
kelestariannya. Untuk itu dipelukan informasi yang memadai yang bisa digunakan oleh
pengambil keputusan, termasuk diantaranya informasi spasial. Sistem Informasi Geografis (SIG)
merupakan teknologi spasial yang sedang berkembang saat ini. Sebagaian besar aplikasi SIG
untuk pengelolaan sumberdaya air masih sangat kurang di negara Indonesia meskipun
perkembangan SIG sudah maju pesat di negara-negara lain.
Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya air harus dilakukan terpadu mulai dari sumber air
sampai dengan pemanfaatannya. Informasi secara spasial akan sangat membantu pada proses
pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya air di daerah Yogyakarta
2. Pembahasan
Pada kasus ini pengguna akan mengembangkan suatu model bahaya erosi yang dapat
mengidentifikasi area-area mana saja yang sangat beresiko mengalami erosi. Faktor yang
mempengaruhi erosi pada suatu lahan dalam kasus ini dibatasi oleh dua tiga faktor saja terlebih
dahulu (sekedar contoh) yaitu : Tingkat Kelerengan, Jenis Tanah, dan Keadaan vegetasi penutup
di atas tanah. Model ini akan melibatkan beberapa proses seperti : (1) mengkonversikan data
spasial vektor jenis tanah dan Vegetasi ke dalam format grid, kemudian (2) mengkalsifikasikan
nilai-nilai bobot resiko erosi ke dalam setiap jenis tanah dan vegetasi serta kelerengan tanah ke
dalam suatu skala potensi bahaya erosi (Nilai 1 5). Selain itu pengguna akan memberikan
prosentase pengaruh terhadap potensi bahaya erosi dari setiap faktor jenis tanah (25%), vegetasi
(25%), dan kelerengan (50%). Akhirnya pengguna akan mengeksekusi model ini untuk
mendapatkan keseluruhan peta digital potensi bahaya erosi.
2.7 Kajian biodiversitas bentang lahan untuk kegiatan pertanian berlanjut seperti ANALISIS
POLARUANG KALIMANTAN DENGAN TUTUPAN HUTAN KALIMANTAN 2009
disusun oleh Doni Prihatna
1. Keadaan umum daerah penelitian
Kalimantan sebagai satu kesatuan ekosistem memiliki keterkaitan antar satu wilayah dengan
wilayah lainnya (antara hulu dan hilir) sehingga pengelolan perlu dilakukan secara seimbang
dengan memperhatikan aspek Daerah Aliran Sungai sebagai dasar untuk pembangunan secara
berkelanjutan (Sustainable Development).
2. Pembahasan
Polaruang Kalimantan sendiri terbagi kedalam 2 kawasan yaitu kawasan lindung dan kawasan
budidaya. Kawasan lindung mencakup, kawasan hutan lindung, kawasan cagar alam, kawasan
suaka margasatwa, kawasan taman nasional, kawasan wisata alam, kawasan taman hutan raya,
kawasan cagar alam laut dan kawasan taman wisata alam. Kawasan budidaya mencakup
kawasan peruntukan kehutanan, kawasan permukiman, kawasan pertanian, kawasan
pertambangan mineral dan bebatuan, kawasan peruntukan pertambangan minyak dan gas bumi
serta kawasan budidaya lainnya.
Kami mencoba menyederhanakan klasifikasi menjadi 8 kelas :
a. Kawasan konservasi, meliputi Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman
Wisata Alam, Taman Hutan Raya
b. Kawasan Hutan Lindung yang meliputi kawasan hutan lindung
c. Kawasan peruntukan kehutanan yang meliputi hutan produksi, Hutan Produksi Terbatas dan
Hutan Produksi Konversi (penggabungan dari terminologi status kawasan hutan)
d. Kawasan Pertanian
e. Kawasan Permukiman
f. Kawasan Penggunaan Lain (APL)
g. Danau
h. Tubuh Air (Sungai)
Kawasan konservasi merupakan kawasan yang sudah ditetapkan oleh departemen kehutanan
sebagai kawasan yang harus di lindungi dengan pemanfaatan terbatas, yang terbagi dalam zona-
zona pemanfaatan kawasan lindung. Menurut Perpres no 3 tahun 2012 pasal 1 point nomer 4,
Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian
lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Kondisi fisik dan
kualitas hutan di kedua kawasan ini harus selalu terjaga untuk kelangsungan hidup berbagai
keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem. Kawasan ini bisa dikatakan sebagai zona
inti dari ekosistem Pulau Kalimantan. Apabila ada kerusakan tentunya dapat menyebabkan
terganggunya ekosistem yang dampaknya bisa beruntun dan menyebabkan kerugian baik itu
kerugian terhadap lingkungan ataupun kerugian terhadap manusia yang berinteraksi dengan
lingkungan tersebut baik secara langsung taaupun tidak langsung, sebagai contoh apabila
ekosistem dan kualitas hutan daerah hulu rusak, maka yang akan merasakan dampaknya adalah
daerah hilir, bisa terjadi banjir, sedimentasi atau penurunan kualitas air. Berdasarkan data
analisis tumpang susun antara polaruang Kalimantan dengan tutupan hutan dari hasil interpretasi
citra satelit landsat, diketahui bahwa kawasan yang berfungsi lindung yaitu meliputi Kawasan
konservasi dan kawasan hutan lindung. Pada kawasan konservasi daerah yang berhutan seluas
3,9 jt ha atau sekitar 79% dari total luas kawasan konservasi. Daerah yang tidak berhutan (tidak
di klasifikasikan sebagai hutan) adalah seluas 1 juta ha atau sekitar 21% dari total luas kawasan
konservasi. Pada kawasan hutan lindung memiliki luas hutan 5,8 juta ha atau sekitar 86% dari
total luas kawasan hutan lindung dan daerah yang tidak berhutan seluas 940 ribu ha atau sekitar
14% dari total luas kawasan hutan lindung. Daerah yang tidak berhutan pada kawasan ini bisa
merupakan indikasi adanya kerusakan hutan akibat illegal logging, kebakaran hutan dan perlu
dilakukan restorasi pada kawasan ini.
Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan
atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya
buatan. Di dalam tataruang pulau kalimantan, kawasan budidaya ini terbagi menjadi kawasan
peruntukan hutan, kawasan peruntukan pertanian, kawasan peruntukan permukiman, kawasan
peruntukan pertambangan dan kawasan budi daya lainya. Kawasan ini merupakan kawasan yang
akan dikelola oleh pemerintah daerah untuk area pembangunan, namun pada kenyataanya di
lapangan masih banyak kondisi hutan yang kualitasnya bagus di kawasan ini. Apabila
pengelolaan tidak dilakukan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan, hutan di kawasan ini
akan hilang atau terkonversi. Untuk luasanya bisa dilihat pada tabel diatas, hasil tumpang susun
antara pola ruang baik itu dengan tutupan hutan dari Kementerian Kehutanan maupun dengan
tutupan hutan WWF-SarVision
BAB III
PELUANG APLIKASI GIS
3.1 Pemantauan produksi dibidang pertanian seperti INTEGRASI DATA SATELIT DAN
MODEL PRODUKTIVITAS TANAMAN yang disusun oleh Fahrizal, Bandar Lampung
Integrasi data satelit dan model produktivitas tanaman merupakan metode analisis kuantitatif
yang penting untuk menduga hasil panen pada skala lokal dan regional dibutuhkan model
model mekanistis yang mampu mengintegrasikan berbagai parameter (biofisik tanaman, tanah,
iklim dan sistem budidaya) yang mempengaruhi produksi tanaman. Beberapa model tanaman
seperti halnya Environmental Policy Integrated Cli-mate (EPIC)
3.2 Penilaian resiko usaha pertanian seperti MODEL MANAJEMEN DATA SPASIAL
UNTUK PEMILIHAN JALUR DISTRIBUSI HOLTIKULTURA yang disusun oleh Kudang B.
Seminar , Mohammad Abousaidi dan Agus Wibowo
Model manajemen basis data spasial telah diformulasikan dan diimplementasikan untuk
prototipe sistem pemilihan jalur distribusi produk hortikultura. Model manajemen data spasial
yang dikembangkan telah diujicobakan untuk dapat mendukung pemilihan jalur distribusi
hortikultura dengan kasus studi pada wilayah Bogor. Selanjutnya implementasi penuh dari sistem
pmilihan transportasi dapat aplikasikan secara nayata pada skala industri distributor hortikulura
yang saat ini berkembang cukup signifikan.
Model manajemen data masih dapat dikembangkan untuk kriteria pemilihan jalur distribusi yang
lebih komprehensif mencakup jenis transportasi yang digunakan, perhitungan susut mutu dan
kuantitas produk dan diintegrasikan dengan sistem distribusi hortikultura yang telah
dikembangkan oleh Darmawati (2004) dan diintegrasikan pula dengan sistem informasi potensi
sumberdaya alam (Seminar, Wirdawati, & Sitanggang 2003). Sistem yang dikembangkan juga
dapat menjadi bagian integral dari Sistem Informasi Agroindustri. Hal yang masih perlu
dikembangkan lebih lanjut adalah fasilitas inteogasi (kueri) visual untuk melakukan navigasi
peta pemilihan jalur dengan karakteristik tertentu, serta simulasi transportasi untuk melihat
pengaruh fisik, bologis, dan kimiawi pada produk hortikultura, yang mengarah pada kuantifikasi
dan kualifikasi susut mutu produk hortikultura yang diangkut.
3.3 Pengendalian hama dan penyakit seperti SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI BIDANG
HPT yang disusun oleh Ussy, Jatinangor
Upaya prementif ialah pengendalian hama berdasarkan informasi dan pengalaman status OPT
waktu sebelumnya. Upaya tersebut mencakup penentuan pola tanam, varietas, waktu tanam,
keserentakan tanam, pemupukan, pengairan, jarak tanam, dan penyiangan. Tujuan upaya
preemtif ialah membudidayakan tanaman sehat. Di samping upaya preemtif, dilakukan pula
upaya responsif, yaitu pengendalian berdasarkan informasi status OPT dan faktor yang
berpengaruh terhadap berlangsungnya musim saat itu.
3.4 Pemantauan budidaya pertanian seperti APLIKASI INDERAJA DAN SIG UNTUK
MONITORING KEBERHASILAN REBOISASI DI KABUPATEN KUPANG PROPINSI
NUSA TENGGARA TIMUR yang disusun oleh Irmadi Nahib dan Jaya Wijaya , Nusa
Tenggara Timur
Pemanfaatan teknologi inderaja dan SIG untuk pemantauan reboisasi dapat mempermudah
pelaksanaan kegiatan, karena lebih cepat, akurat dan efesien.
Berdasarkan hasil analisis tutupan lahan dari citra Landsat dua periode waktu, diketahui
keberhasilan luas areal reboisasi di Kabupaten Kupang pada selang kepercayaan 95% berkisar
antara 56,73%-84,22%, sedangkan keberhasilan per-tumbuhan tanamannya berkisar antara 70,38
%-91,28%.
Kegiatan reboisasi yang dilakukan mampu memperbaiki mutu lingkungan, dengan menekan
tingkat erosi berkisar 70,38% hingga 91,28%, dan pencapaian target berkisar 70,38 % hingga
91,28%, (hasil pendugaan pada selang kepercayaan 95%)
3.5 Presisi pertanian seperti PEMETAAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN
CAKALANG (Katsuwonus pelamis) BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
DIPERAIRAN TELUK TOMINI , PROVINSI GORONTALO yang disusun oleh Fauzan,
Makassar
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data terhadap daerah penangkapan Cakalang
(Katsuwonus pelamis) yang dilakukan di perairan Teluk Tomini Provinsi Gorontalo, dapat
disimpulkan sebagai berikut :
a) Parameter oseanografis suhu, konsentrasi Klorofil-a, kedalaman, salinitas dan kecepatan arus
memberi pengaruh nyata terhadap variasi hasil tangkapan cakalang di perairan Teluk Tomini
Gorontalo. Sedangkan Faktor oseonografi yang menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap
hasil tangkapan ikan cakalang adalah suhu dan khlorofil-a.
b) Daerah potensial penangkapan ikan cakalang memiliki luas area 36,3528 km2 yang terletak
antara 121,890 BT sampai 121,950 BT dan 0,260 LU sampai 0,190 LU dengan jarak 34,43 mil
dari posisi fishing base dimana
jumlah tangkapannya berkisar antara 257-330 ekor/hauling.
Diperlukan penelitian lanjutan pada semua musim karena kegunaan dari penelitian ini adalah
sebagai informasi kepada nelayan, pelaku industri penangkapan ikan serta pemerintah setempat
mengenai kondisi daerah penangkapan ikan Cakalang di perairan teluk Tomini Provinsi
Gorontalo sehingga potensinya dapat dimanfaatkan secara optimall dan berkelanjutan.
3.6 Pengelolaan sumber daya air seperti APLIKASI ArcView GIS UNTUK PENGELOLAAN
SUMBERDAYA AIR yang disusun oleh Anjar suprapto
Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya air yang baik mutlak diperlukan untuk menjaga
kelestariannya. Untuk itu dipelukan informasi yang memadai yang bisa digunakan oleh
pengambil keputusan, termasuk diantaranya informasi spasial. Sistem Informasi Geografis (SIG)
merupakan teknologi spasial yang sedang berkembang saat ini. Sebagaian besar aplikasi SIG
untuk pengelolaan sumberdaya air masih sangat kurang di negara Indonesia meskipun
perkembangan SIG sudah maju pesat di negara-negara lain.
Saat ini, telah tersedia alat bantu untuk proses analisa secara spasial berupa software-software
SIG diantaranya adalah program ArView GIS yang dikeluarkan oleh ESRI (Environmental
System Research Institute) Inc. Dengan model ini pengguna dapat :
a) menilai area-area geografis sesuai dengan kriteria yang ditentukan,
b) melakukan prediksi apa yang akan terjadi pada area-area geografis atas perlakuan yang
diberikan padanya,
c) mendapatkan solusi, mencari pola, dan memperluas pemahaman terhadap sistem yang yang
bersangkutan.
Aplikasi SIG untuk pengelolaan sumberdaya air masih belum banyak digunakan, oleh karena itu
masih sangat luas kesempatan untuk mengembangkan aplikasi SIG untuk bidang pengelolaan
sumberdaya air dengan menghasilkan informasi-informasi secara spasial yang dapat digunakan
untuk pengambilan keputusan oleh instansi yang berkepentingan
3.7 Kajian biodiversitas bentang lahan untuk kegiatan pertanian berlanjut seperti ANALISIS
POLARUANG KALIMANTAN DENGAN TUTUPAN HUTAN KALIMANTAN 2009
disusun oleh Doni Prihatna
Oleh karena itu, pada kawasan budidaya ini perlu diterapkan praktek pembangunan yang
berkelanjutan, yang tidak hanya mengedepankan kepentingan jangka pendek (kepentingan
generasi sekarang) namun juga memperhatikan kepentingan generasi mendatang. Pembangunan
yang berkelanjutan secara ekologi dipahami sebagai usaha untuk memanfaatkan dan mengelola
sumberdaya alam secara bijaksana, tidak menyebabkan kerusakan lingkungan dan berlaku adil
kepada generasi yang akan datang (Keraf, 2002). Apabila didekati dengan perspektif sosiologi
maka perlu untuk mewujudkan pembangunan yang berdimensi kerakyatan (berorientasi pada
kesejahteraan rakyat) dengan mengupayakan masyarakat dan institusi yang berkelanjutan.
BAB IV
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
4.1 Pembahasan
4.1.1 Sejarah sistem informasi geografis
Sistem informasi geografis (SIG) pertama pada tahun 1960 yang bertujuan untuk menyelesaikan
permasalahan geografis. 40 tahun kemudian perkembangan GIS berkembang tidak hanya
bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan geografi saja tetapi sudah merambah ke berbagai
bidang seperti:
analisis penyakit epidemik (demam berdarah)
analisis kejahatan (kerusuhan)
navigasi dan vehicle routing (lintasan terpendek)
analisis bisnis (sistem stock dan distribusi)
urban (tata kota) dan regional planning (tata ruang wilayah)
peneliti: spatial data exploration
utility (listrik, PAM, telpon) inventory and management
pertahanan (military simulation), dll
GIS merupakan akronim dari:
Geography
Istilah ini digunakan karena GIS dibangun berdasarkan pada geografi atau spasial. Object ini
mengarah pada spesifikasi lokasi dalam suatu space. Objek bisa berupa fisik, budaya atau
ekonomi alamiah. Penampakantersebut ditampilkan pada suatu peta untuk memberikan
gambaran yang representatif dari spasial suatu objek sesuai dengan kenyataannya di bumi.
Simbol, warna dan gaya garis digunakan untuk mewakili setiap spasial yang berbeda pada peta
dua dimensi.
Information
Informasi berasal dari pengolahan sejumlah data. Dalam GIS informasi memilikivolume
terbesar. Setiap object geografi memiliki setting data tersendiri karena tidak sepenuhnya data
yang ada dapat terwakili dalam peta. Jadi, semua data harus diasosiasikan dengan objek spasial
yang dapat membuat peta menjadi intelligent. Ketika data tersebut diasosiasikan dengan
permukaan geografis yang representatif, data tersebut mampu memberikan informasi dengan
hanya mengklik mouse pada objek. Perlu diingat bahwa semua informasi adalah data tapi tidak
semua data merupakan informasi.
System
Pengertian suatu sistem adalah kumpulan elemen-elemen yang saling berintegrasi dan
berinterdependensi dalam lingkungan yang dinamis untuk mencapai tujuan tertentu.
Sistem Informasi Geografis merupakan sistem berbasis computer yang didesain untuk
mengumpulkan, mengelola, memanipulasi, dan menampilkan informasi spasial (keruangan)1.
Yakni informasi yang mempunyai hubungan geometric dalam arti bahwa informasi tersebut
dapat dihitung, diukur, dan disajikan dalam sistem koordinat, dengan data berupa data digital
yang terdiri dari data posisi (data spasial) dan data semantiknya (data atribut). SIG dirancang
untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis suatu obyek dimana lokasi geografis
merupakan karakteristik yang penting, dan memerlukan analisis yang kritis. Penanganan dan
analisis data berdasarkan lokasi geografis merupakan kunci utama SIG. Oleh karena itu data
yang digunakan dan dianalisa dalam suatu SIG berbentuk data peta (spasial) yang terhubung
langsung dengan data tabular yang mendefinisikan bentuk geometri data spasial. Misalnya
apabila kita membuat suatu theme atau layer tertentu, maka secara otomatis layer tersebut akan
memiliki data tabular yang berisi informasi tentang bentuk datanya (point, line atau polygon)
yang berada dalam layer tersebut .
4.1.2 Definisi Sistem Informasi Geografis
Geographic Information System atau lebih dikenal dengan sebutan GIS merupakan suatu sistem
informasi yang terintegrasi dan secara khusus digunakan untuk mengelola berbagai data yang
mempunyai suatu informasi dalam bentuk spasial (keruangan) dimana teknologi sistem informasi
geografis ini dapat digunakan untuk investigasi ilmiah, pengelolaan sumber daya, perencanaan
pembangunan, kartografi bahkan data juga digunakan untuk melakukan perencaraan terhadap
rute. Secara praktisnya kita bisa menyebutkan bahwa Geographic Information System adalah
suatu sistem komputerisasi yang mempunyai kemapuan untuk membangun, mengelola,
menganalisa, menyimpan dan menampilkan suatu informasi geografis dalam bentuk pemetaan
dimana user yang membangun data serta mengoperasikannya juga termasuk dari bagian sistem
tersebut.
Dalam pengertian lainnya Geographic Information System adalah suatu alat yang
memungkinkan para user untuk menciptakan query secara interaktif, menganalisa informasi
spasial, mengedit data, peta wilayah dan mempresentasikan semua dari hasil operasi tersebut.
Geographic Information Knowledge merupakan suatu ilmu yang mendasari suatu konsep
geografis, program aplikasi dan sistemnya dan biasanya ilmu ini akan diajarkan ketika sudah
mencapai tingkat perguruan tinggi. Dalam istilah sederhana itu Geographic Information System
adalah penggabungan database (dB) kartografi dan teknologi dimana memungkinkan para user
menjadi lebih user friendly terhadap program aplikasi untuk menemukan arah lokasi seperti
Global Positioning System atau lebih dikenal dengan sebutan GPS. Global Positioning System
merupakan suatu komponen apliaksi real time yang menggunakan satelit untuk menunjukkan
posisi lokasi dimana anda berada saat ini. Atau untuk lebih jelasnya Global Positioning System
adalah sebuah sistem navigasi berbasiskan radio yang menyediakan informasi koordinat posisi,
kecepatan, dan waktu kepada pengguna diseluruh dunia dimana untuk jasa penggunaan satelit
GPS ini tidak akan dikenakan biaya tambahan atau free akses dan untuk menggunakannya para
user hanya membutuhkan GPS receiver untuk dapat mengetahui koordinat lokasi dimana
keakuratan koordinat lokasi tergantung pada tipe GPS receiver yang digunakan.
Geographic Information System dapat diakses, ditransfer, ditransformasikan, diproses dan
ditampilkan dengan menggunakan berbagai macam program aplikasi perangkat lunak (software).
Dalam suatu industri komersial ditawarkan oleh perusahaan seperti: Autodesk, Bentley Systems,
ESRI, Intergraph, Manifold System, MapInfo dan Smallworld yang paling mendominasi.
Departemen pemerintah dan militer sering menggunakan perangkat lunak (software) yang telah
di costumize dimana produk produk yang berbasis Open Source seperti : GRASS atau uDig
atau secara khususnya adalah suatu produk yang telah memenuhi kebutuhan serta telah
didefinisikan dengan sangat baik. Meskipun ada suatu perangkat gratis untuk melihat GIS
dataset, akses publik terhadap informasi geografis didominasi oleh sumber daya online seperti
Google Earth dan pemetaan web interaktif.
Alasan GIS dibutuhkan adalah karena untuk data spatial penanganannya sangat sulit terutama
karena peta dan data statistik cepat kadaluarsa sehingga tidak ada pelayanan penyediaan data dan
informasi yang diberikan enjadi tidak akurat. Berikut adalah dua keistimewaan analisa melalui
Geographical information system (GIS) yakni:
Analisa Proximity
Analisa Proximity merupakan suatu geografi yang berbasis pada jarak antar layer. Dalam analisis
proximity GIS menggunakan proses yang disebut dengan buffering (membangun lapisan
pendukung sekitar layer dalam jarak tertentu untuk menentukan dekatnya hugungan antara sifat
bagian yang ada.
Analisa overlay
Proses integrasi data dari lapisan-lapisan layer yang berbeda disebut dengan overlay. Secara
analisa membutuhkan lebih dari satu layer yang akan ditumpang susun secara fisik agar bisa
dianalisa secara visual. Dengan demikian, GIS diharapkan mampu memberikan kemudahan-
kemudahan yang diinginkan yaitu:
penanganan data geospasial menjadi lebih baik dalam format baku
revisi dan pemutakhiran data menjadi lebih muda
data geospasial dan informasi menjadi lebih mudah dicari, dianalisa dan
menjadi produk yang mempunyai nilaI tambah
kemampuan menukar data geospasial
penghematan waktu dan biaya
keputusan yang diambil menjai lebih baik.
4.1.3 Karakteristik SIG
1. Merupakan suatu sistem hasil pengembangan perangkat keras dan perangkat luna untuk tujuan
pemetaan, sehingga fakta wilayah dapat disajikan dalam satu sistem berbasis komputer.
2. Melibatkan ahli geografi, informatika dan komputer, serta aplikasi terkait.
3. Masalah dalam pengembangan meliputi: cakupan, kualitas dan standar data, struktur, model
dan visualisasi data, koordinasi kelembagaan dan etika, pendidikan, expert system dan decision
support system serta penerapannya
4. Perbedaannya dengan Sistem Informasi lainnya: data dikaitkan dengan letak geografis, dan
terdiri dari data tekstual maupun grafik
5. Bukan hanya sekedar merupakan pengubahan peta konvensional (tradisional) ke bentuk peta
dijital untuk kemudian disajikan (dicetak / diperbanyak) kembali
6. Mampu mengumpulkan, menyimpan, mentransformasikan, menampilkan, memanipulasi,
memadukan dan menganalisis data spasial dari fenomena geografis suatu wilayah
7. Mampu menyimpan data dasar yang dibutuhkan untuk penyelesaian suatu masalah. Contoh :
penyelesaian masalah perubahan iklim memerlukan informasi dasar seperticurah hujan, suhu,
angin, kondisi awan. Data dasar biasanya dikumpulkan secara berkala dalam jangka yang cukup
panjang.
4.1.4 Konsep Sistem Informasi Geografis
Pertengahan 1970-an telah dikembangkan sistem-sistem yang secara khusus dibuat untuk
menangani masalah informasi yang bereferansi geografis dalam berbagai cara dan bentuk.
Masalah-masalah ini mencakup:
a. Pengorganisasian data dan informasi.
b. Penempatan informasi pada lokasi tertentu.
c. Melakukan komputasi, memberikan ilusi keterhubungan satu sama lainnya (koneksi), beserta
analisa-analisa spasial lainnya.
Sebutan umum untuk sistem-sistem yang menangani masalah-masalah tersebut adalah Sistem
Informasi Geografis. Dalam literatur, Sistem Informasi Geografis dipandang sebagai hasil
perpaduan antara sistem komputer untuk bidang Kartografi (CAC) atau sistem komputer untuk
bidang perancangan (CAD) dengan teknologi basis data (data base).
Pada awalnya, data geografis hanya disajikan di atas peta dengan menggunakan symbol, garis
dan warna. Elemen-elemen geografis ini dideskripsikan di dalam legendanya misalnya: garis
hitam tebal untuk jalan utama, garis hitam tipis untuk jalan sekunder dan jalan-jalan yang
berikutnya.
Selain itu, berbagai data yang di-overlay-kan berdasarkan sistem koordinat yang sama.
Akibatnya sebuah peta menjadi media yang efektif baik sebagai alat presentasi maupun sebagai
bank tempat penyimpanan data geografis. Tetapi media peta masih mengandung kelemahan atau
keterbatasan. Informasi-informasi yang disimpan, diproses dan dipresentasikan dengan suatu
cara tertentu, dan biasanya untuk tujuan tertentu pula, tidak mudah untuk merubah presentasi
tersebut karena peta selalu menyediakan gambar atau simbol unsur geografis dengan bentuk
yang tetap walaupun diperlukan untuk kebutuhan yang berbeda.
Sumber data untuk keperluan GIS dapat berasal dari data citra, data lapangan, survei kelautan,
peta, sosial ekonomi dan GPS. Selanjutnya diolah dilaboratorium atau studio GIS dengan
software tertentu sesuai dengan kebutuhannya untuk menghasilkan produk yang berupa
informasi yang berguna dapat berupa peta konvensional maupun peta digital sesuai keperluan
USER, maka harus ada input kebutuhan yang diiinginkan USER, dapat dilihat pada gambar
berikut :
Gambar 10. Konsep Sistem Informasi Geografis
4.1.5 Komponen Sistem Informasi Geografis
4.1.5.1 Hardware
GIS membutuhkan komputer untuk penyimpanan dan pemproresan data. Ukuran dari sistem
komputerisasi bergantung pada tipe GIS itu sendiri. GIS dengan skala yang kecil hanya
membutuhkan PC (personal computer) yang kecil dan sebaliknya. Ketika GIS yang di buat
berskala besar di perlukan spesifikasi komputer yang besar pula serta host untuk client machine
yang mendukung penggunaan multiple user. Hal tersebut disebabkan data yang digunakan dalam
GIS baik data vektor maupun data raster penyimpanannya membutuhkan ruang yang besar dan
dalam proses analisanya membutuhkan memori yang besar dan prosesor yang cepat. Untuk
mengubah peta ke dalam bentuk digital diperlukan hardware yang disebut digitizer.
4.1.5.2 Software
Dalam pembuatan GIS di perlukan software yang menyediakan fungsi tool yang mampu
melakukan penyimpanan data, analisis dan menampilkan informasi geografis. Dengan demikian,
elemen yang harus terdapat dalam komponen software GIS adalah:
Tool untuk melakukan input dan transformasi data geografis
Sistem Manajemen Basis Data (DBMS)
Tool yang mendukung query geografis, analisa dan visualisasi
Graphical User Interface (GUI) untuk memudahkan akses pada tool geografi. Inti dari software
GIS adalah software GIS itu sendiri yang mampu menyediakan fungsi-fungsi untuk
penyimpanan, pengaturan, link, query dan analisa data geografi. Beberapa contoh software GIS
adalah ArcView, MapInfo, ArcInfo untuk SIG; CAD system untuk entry graphic data; dan
ERDAS serta ER-MAP untuk proses remote sensing data. Modul dasar perangkat lunak SIG:
modul pemasukan dan pembetulan data, modul penyimpanan dan pengorganisasian data, modul
pemrosesan dan penyajian data, modul transformasi data, modul interaksi dengan pengguna
(input query)
4.1.5.3 Data
SIG merupakan perangkat pengelolaan basis data (DBMS = Data Base Management System)
dimana interaksi dengan pemakai dilakukan dengan suatusistem antar muka dan sistem query
dan basis data dibangun untuk aplikasi multiuser.
SIG merupakan perangkat analisis keruangan (spatial analysis) dengan kelebihan dapat
mengelola data spasial dan data non-spasial sekaligus.
a. Syarat pengorganisasian data:
Volum kecil dengan klasifikasi data yang baik; Penyajian yang akurat; Mudah dan cepat dalam
pencarian kembali (data retrieval) dan penggabungan (proses komposit).
Gambar 11. Syarat pengorganisasian data
b. Type Data
Data lokasi
Koordinat lokasi
Nama lokasi
Lokasi topologi (letak relatif: sebelah kiri danau A, sebelah kanan pertokoan B)
Data non-lokasi
Curah hujan
Jumlah panen
Terdiri dari variabel (tanah), kelas (alluvial), nilai luas (10 ha), jenis (pasir)
Data dimensi waktu (temporal)
Data non-lokasi di lokasi bersangkutan dapat berubah dengan waktu (misal: data curah hujan
bulan Desember akan berbeda dengan bulan Juli)
Gambar 12. Capturing and Displaying Data
1. Lima Cara Perolehan Data/Informasi Geografi
1) Survei lapangan: pengukuran fisik (land marks), pengambilan sampel (polusi air),
pengumpulan data non-fisik (data sosial, politik, ekonomi dan budaya).
2) Sensus: dengan pendekatan kuesioner, wawancara dan pengamatan pengumpulan data secara
nasional dan periodik (sensus jumlah penduduk, sensus kepemilikan tanah).
3) Statistik: merupakan metode pengumpulan data periodik/per-interval-waktu pada stasiun
pengamatan dan analisis data geografi tersebut, contoh: data curah hujan.
4) Tracking: merupakan cara pengumpulan data dalam periode tertentu untuk tujuan pemantauan
atau pengamatan perubahan, contoh: kebakaran hutan, gunung meletus, debit air sungai.
5) Penginderaan jarak jauh (inderaja): merupakan ilmu dan seni untuk mendapatkan informasi
suatu obyek, wilayah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dari sensor pengamat
tanpa harus kontak langsung dengan obyek, wilayah atau fenomena yang diamati (Lillesand &
Kiefer, 1994).
ii. Manusia
Komponen manusia memegang peranan yang sangat menentukan, karena tanpa manusia maka
sistem tersebut tidak dapat diaplikasikan dengan baik. Jadi manusia menjadi komponen yang
mengendalikan suatu sistem sehingga menghasilkan suatu analisa yang dibutuhkan.
iii. Metode
SIG yang baik memiliki keserasian antara rencana desain yang baik dan aturan dunia nyata,
dimana metode, model dan implementasi akan berbeda untuk setiap permasalahan.
Gambar 13. Komponen Sistem Informasi Geografis
4.2 KESIMPULAN
1. SIG merupakan pengelolaan data geografi yang didasarkan pada kerja komputer (mesin).
2. Sistem Informasi Geografis bekerja berdasarkan integrasi komponen, yaitu: Hardware,
Software, Data, Manusia, dan Metode.
3. Penyajian SIG dengan komputer lebih menguntungkan, karena mudah dan lebih cepat diolah.
Pengumpulan data dan penyimpanannya hemat serta ringkas (pada disket), mudah diulang dan
diubah kalau diperlukan, dan mudah ditransformasikan.
4. Sistem Informasi Geografis dapat diartikan sebagai :
suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan
sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk menangkap, menyimpan,
memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa, dan
menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis
DAFTAR PUSTAKA
Institut Pertanian Bogor. Pemetaan dan Pengindraan Jarak Jauh dengan GIS. Bogor
Adimihardja A., Wahyunto dan Rizatus Shofiyati. 2004. Gagasan Pengendalian Konversi Lahan
Sawah Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan Nasional. Prosiding Seminar: Multi
Fungsi Pertanian dan Konservasi Sumberdaya Lahan, di Bogor, 18 Desember 2003 dan 7 Januari
2004. halaman 47-64. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura (Ditjen TPH). 1998. The Role of
Agriculture Information System on Rice Production and Productivity. Lokakarya Sistem
Pemantauan dan Prediksi Produksi Padi di Indonesia, BPPTeknologi. Jakarta 22 Juli 1998.
Suryanto, Wahyunto dan Widagdo. 2000. Identifikasi dan Inventarisasi Lahan Pertanian dan
Estimasi Produksi Padi Melalui Analisis Digital Citra Satelit. Laporan Akhir: Bagian Proyek
Penelitian Sumberdaya Lahan dan Agroklimat. Puslit. Tanah dan Agroklimat. Bogor (tidak
diplublikasi).
Wahyunto, Sofyan Ritung dan Widagdo. 2003. Teknologi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring
Sumberdaya Lahan di Daerah Lampung. Laporan Akhir, Bagian ProyekPenelitian Sumberdaya
Tanah. Balai Penelitian Tanah. Bogor (tidak dipublikasikan).
Yunihadi Indra (Departemen Riset, PT Sarana Inti Pratama). 2008. GIS, Pemetaan dan
Pemanfaatannya Pada Perkebunan, Makalah Sosialisasi GIS untuk para Manajer PTPN XI
(Persero), Surabaya.
Seminar,Kudang B. Mohammad Abousaidi, Agus Wibowo. 2010. Model Manajemen Data
Spasial untuk Pemilihan Jalur Distribusi Hortikultura. Bogor.
Posted under Uncategorized
Comments (0)

Anda mungkin juga menyukai