Anda di halaman 1dari 107

Chapter 1

SEKOLAH kami dihuni hantu misterius.


Tak seorang pun pernah melihatnya. Tak seorang pun tahu di
mana dia tinggal.
Tapi sudah lebih dari tujuh puluh tahun dia gentayangan di
sekolah kami.
Sahabat karibku, Zeke, dan aku-lah yang menemukannya. Kami
memergokinya waktu kami sedang ikut sandiwara yang bercerita
tentang hantu di sekolah.
Guru kami memang sempat cerita bahwa sandiwara itu
dibayangi kutukan, tapi kami tidak percaya. Kami pikir dia cuma
bercanda.
Tapi waktu hantu itu kulihat dengan mata kepalaku sendiri, aku
langsung tahu guruku tidak bercanda. Cerita tentang kutukan itu
memang benar. Seratus persen benar.
Malam saat kami menemukan hantu itu adalah malam paling
menakutkan dalam hidup kami!
Tapi sebaiknya aku mulai dari awal saja.
Namaku Brooke Rodgers, dan aku duduk di kelas enam di
Woods Mill Middle School. Zeke Matthews sahabat karibku. Banyak
anak cewek menganggap aneh karena aku bersahabat dengan anak
cowok, tapi aku tidak peduli. Zeke lebih lucu dan lebih asyik diajak
berteman daripada semua anak cewek yang kukenal. Dia juga
penggemar film horor, sama seperti aku.
Sudah sembilan tahun Zeke dan aku bersahabat. Dan masing-
masing tahu segala sesuatu tentang yang lainnya. Misalnya, aku tahu
Zeke sampai sekarang masih pakai piyama bergambar Kermit si
Kodok.
Dia paling sebal kalau aku menceritakannya kepada orang lain.
Mukanya selalu jadi merah padam. Dan bintik-bintik di hidungnya
jadi semakin kelihatan.
Zeke benci bintik-bintik itu hampir sama seperti aku benci
kacamataku. Aku tak habis pikir kenapa dia begitu ribut tentang
bintik-bintik itu. Setelah beberapa lama, kita sudah terbiasa sehingga
tidak akan memperhatikannya lagi. Dan di musim panas, waktu
kulitnya jadi cokelat karena kena sinar matahari, bintik-bintik itu
malah hilang sama sekali.
Coba kalau kacamataku juga bisa lenyap begitu saja. Gara-gara
kacamata itu, tampangku jadi kayak kutu buku. Tapi kalau aku tidak
pakai kacamata, bisa-bisa dinding di depan mata pun kutabrak!
Beberapa teman cewekku menganggap Zeke kece. Tapi aku
tidak pernah berpikir begitu. Mungkin karena aku sudah begitu lama
bersahabat dengannya. Tepatnya sejak ibuku dan ibunya berkenalan di
tempat boling. Setelah mengobrol ke sana ke mari, akhirnya ketahuan
mereka tinggal di jalan yang sama.
Ribut-ribut soal hantu itu dimulai hari Jumat, beberapa minggu
lalu. Waktu itu jam pelajaran sudah selesai, dan aku sedang berusaha
membuka locker. Kusibakkan rambutku menghadapi kunci kombinasi
yang harus diputar-putar. Kunci brengsek itu selalu macet, dan aku
selalu uring-uringan karenanya.
Setelah gagal empat kali, akhirnya aku berhasil membuka
lockerku. Buku-bukuku kulempar ke dalam, lalu pintunya kubanting
keras-keras. Aku tidak mau membawa pulang buku pelajaran selama
akhir pekan. Pokoknya mulai detik ini aku libur! Dua hari penuh tanpa
sekolah.
Asyik.
Sebelum aku sempat menoleh, sebuah kepalan tangan melesat
di samping kupingku dan menghantam pintu locker. BANG!
"Wah, Brookie," sebuah suara berseru di belakangku, "tidak ada
PR untuk minggu depan?"
Aku tidak perlu menoleh untuk tahu siapa orangnya. Hanya ada
satu orang di seluruh dunia yang berani memanggilku Brookie.
Aku berbalik dan melihat Zeke cengar-cengir tak jelas. Rambut
pirangnya yang panjang di depan, dan pendek sekalibahkan hampir
botakdi belakang, menutupi sebelah matanya.
Aku tersenyum, lalu menjulurkan lidah.
"Persis seperti anak kecil, Brookie," Zeke bergumam.
Cepat-cepat aku melipat kelopak mataku ke atas supaya
kelihatan seram. Aku sering berbuat begitu untuk menakut-nakuti
orang.
Tapi Zeke tidak bereaksi. Berkedip pun tidak. Dia sudah sering
melihat trik itu.
"Kali ini tidak ada tugas apa-apa!" sahutku. "Aku benar-benar
bebas."
Tiba-tiba aku dapat ide bagus. "Eh, Zeke," kataku, "barangkali
Rich bisa mengantar kita ke festival Creature besok?"
Aku sudah tak sabar menonton ketiga film Creature yang lagi
diputar di Cineplex. Salah satunya malah berupa film 3-D! Zeke dan
aku sering nonton film horor, sekadar untuk menertawakan bagian-
bagian yang seram. Asal tahu saja, kami ini bersaraf baja. Kami tidak
kenal takut.
"Mungkin," balas Zeke sambil menyingkirkan rambut dari
mukanya. "Tapi Rich lagi dihukum. Dia tidak boleh pakai mobil
selama satu minggu."
Rich, abang Zeke. Dan sepertinya dia selalu dihukum oleh
orangtuanya.
Zeke memindahkan ranselnya dari pundak kiri ke kanan.
"Sudahlah, Brooke, jangan pikirkan festival Creature itu. Kita ada
urusan yang lebih penting. Masa sih kau lupa?"
Aku mengerutkan hidung. Lupa? Rasanya tidak ada apa-apa
yang perlu diingat. "Apa sih?" aku akhirnya bertanya.
"Aduh, Brookie! Coba ingat-ingat dulu!"
Aku benar-benar tidak tahu maksud Zeke. Aku mengikat
rambutku dengan karet rambut yang melingkar di pergelangan
tanganku.
Aku selalu pakai karet rambut di pergelangan tangan. Kiri dan
kanan. Karet rambut selalu banyak gunanya.
"Ayo dong, Zeke. Aku tidak tahu," ujarku sambil
mengencangkan kuncir. "Jangan bikin aku penasaran.
Sekonyong-konyong aku ingat lagi. "Daftar pemain!" aku
berseru sambil menepuk kening. Kok aku bisa sampai lupa? Sudah
dua minggu Zeke dan aku menunggu untuk melihat apakah kami
dapat peran dalam sandiwara sekolah.
"Ayo! Kita cari pengumumannya!" Aku meraih lengan baju
Zeke dan menyeretnya ke auditorium.
Zeke dan aku sama-sama ikut tes untuk sandiwara itu. Tahun
lalu, kami dapat peran figuran dalam sandiwara musikal Guys and
Dolls. Ms. Walker, guru kami, sudah bilang bahwa sandiwara tahun
ini bakal seram.
Itulah yang ditunggu-tunggu oleh Zeke dan aku. Pokoknya,
kami harus ikut main dalam sandiwara itu!
Waktu kami sampai di auditorium ternyata sudah ada
kerumunan murid di depan papan pengumuman. Semuanya berebut
membaca daftar pemain.
Aku gugup sekali. "Aku tidak berani lihat, Zeke!" aku
memekik. "Kau saja yang lihat, oke?"
"Yeah, boleh sa"
"Tunggu! Biar aku saja!" seruku lagi karena telah berubah
pikiran. Aku sering berubah-ubah pikiran. Dan Zeke selalu jengkel.
Aku menarik napas panjang lalu menerobos kerumunan orang.
Sambil menggigit kuku jempol kiri, aku menyilangkan jari tangan
kanan dan mengamati papan pengumuman.
Tapi waktu aku melihat yang tertulis di situ, hampir saja
jempolku kugigit sampai putus!
Di samping daftar pemain ada pengumuman lain:
PERHATIAN BROOKE RODGERS: HARAP LAPOR KE
KANTOR MR. LEVY. KAU DIKELUARKAN DARI SEKOLAH.





















Chapter 2




DIKELUARKAN?
Aku sampai melongo.
Jangan-jangan Mr. Levy akhirnya tahu bahwa aku yang
melepaskan tikus kecil di ruang guru? Dikeluarkan.
Aku langsung lemas. Orangtuaku pasti marah sekali.
Kemudian aku mendengar tawa cekikikan.
Kubalikkan tubuhku, dan kulihat Zeke terbahak-bahak. Anak-
anak lain juga ikut ketawa.
Dengan geram kupelototi Zeke. "Kau yang pasang
pengumuman itu, ya?"
"Siapa lagi?" sahutnya, dan tawanya semakin keras.
Dia memang jail.
"Kaupikir aku percaya? Enak saja!" aku berbohong.
Aku kembali berpaling ke papan pengumuman untuk membaca
daftar pemain. Aku membacanya sampai tiga kali. Dan setelah ketiga
kalinya, aku tetap tidak percaya. "Zeke!" aku berteriak untuk
mengalahkan hiruk-pikuk di sekelilingku. "Kau dan akukita jadi
pemeran utama!"
Zeke terbengong-bengong. Kemudian dia menatapku sambil
nyengir. "Mau balas dendam nih?" dia bergumam.
"Aku serius! Kita dapat dua peran terbesar! Lihat saja sendiri
kalau tidak percaya! Kau dapat peran 'si Hantu'!"
"Mana mungkin!" Zeke tetap tidak percaya.
"Dia benar, Zeke," ujar anak cewek di belakangku. Tina Powell,
anak kelas tujuh, muncul di sampingku.
Dari dulu aku merasa bahwa Tina Powell tidak suka padaku.
Aku tidak tahu kenapa. Aku tidak seberapa mengenalnya. Tapi setiap
kali ketemu aku, ia selalu mengerutkan keningnya. Seakan-akan ada
sisa makanan tersangkut di celah gigiku.
"Coba kulihat!" kata Zeke sambil mendesak semua orang.
"Wow! Benar juga! Aku dapat peran utama!"
"Aku jadi Esmerelda," aku membaca. "Hmm, kira-kira siapa
dia, ya? Hei, mungkin dia ibu tiri si Hantu yang gila, atau istri tanpa
kepala yang bangkit dari kubur untuk"
"Jangan mengkhayal, Brooke," Tina memotong sambil
mengerutkan kening. "Esmerelda cuma putri pemilik sebuah gedung
teater." Dia mengatakannya seakan-akan Esmerelda cuma peran
figuran.
"Oh, kau dapat peran apa, Tina?" tanyaku.
Tina langsung salah tingkah. Beberapa anak menoleh untuk
mendengar jawabannya.
"Aku cadangan!" dia bergumam sambil menunduk. "Jadi kalau
kau sakit atau tiba-tiba berhalangan, aku yang akan memainkan peran
Esmerelda.
"Tapi aku juga bertugas mengatur dekorasi!" dia langsung
menambahkan.
Sebenarnya aku ingin memberi komentar pedas, biar Tina tahu
rasa, tapi sayangnya tak ada ide yang melintas di benakku.
Aku bukan orang yang berlidah tajam, dan sulit bagiku untuk
mencari kata-kata yang nyelekit biarpun aku lagi sebal sama
seseorang.
Karena itu aku memutuskan untuk tidak menggubris Tina. Aku
terlalu gembira mengetahui peran yang kudapat.
Aku memakai jaket jeansku, lalu memanggul ranselku. "Ayo,
Hantu," aku berkata kepada Zeke. "Kita harus mulai gentayangan."
**********************************
Latihan sandiwara dimulai Senin sore. Ms. Walker yang
memimpin.
Dia berdiri di panggung auditorium, menatap kami semua
sambil membawa setumpuk naskah.
Rambut Ms. Walker ikal dan merah, dan matanya berwarna
hijau. Dia kurus sekali, sekurus tiang bendera. Sebenarnya sih, dia
guru yang baik, hanya saja agak terlalu disiplin.
Zeke dan aku duduk bersebelahan di baris ketiga. Aku
memandang berkeliling dan mengamati anak-anak yang lain.
Semuanya asyik mengobrol. Semuanya kelihatan bersemangat sekali.
"Sudah tahu sandiwara ini tentang apa?" tanya Corey Sklar. Dia
berperan sebagai ayahku. Maksudnya, ayah Esmerelda. Corey
berambut cokelat, seperti aku. Dan dia juga pakai kacamata. Mungkin
karena itu kami dipasang sebagai ayah dan anak.
"Belum," sahutku sambil angkat bahu. "Belum ada yang tahu.
Tapi katanya sih, ceritanya seram."
"Aku tahu!" Tina Powell berkata keras-keras.
Aku menoleh. "Tahu dari mana kau?" tanyaku. "Ms. Walker
kan belum membagikan naskah."
"Kakek buyutku bersekolah di Woods Mill Middle School dulu.
Dia menceritakan semuanya tentang The Phantom atau Sang Hantu,"
Tina membanggakan diri.
Aku baru mau bilang bahwa tak ada yang peduli tentang cerita
kakek buyutnya, tapi Tina keburu menambahkan, "Dia juga bercerita
tentang kutukan yang melekat pada sandiwara ini!"
Semua orang langsung terdiam. Termasuk aku. Perhatian Ms.
Walker pun beralih kepada Tina. Zeke menyikut rusukku, dan
matanya berbinar-binar. "Kutukan?" dia berbisik dengan gembira.
"Wow asyik!"
Aku mengangguk. "Yeah, asyik," gumamku.
"Kakek buyutku menceritakan kisah seram tentang sandiwara
ini," lanjut Tina. "Dan dia juga bercerita tentang hantu di sekolah kita.
Hantu sungguhan yang"
"Tina!" Ms. Walker memotong sambil melangkah maju. Dia
menatap Tina dengan tajam. "Saya rasa kisah itu tidak perlu
diceritakan sekarang."
"Hah? Kenapa tidak?" seruku.
"Yeah. Kenapa tidak?" Zeke menimpali.
"Saya rasa ini bukan saat yang tepat untuk mendengarkan cerita
menakutkan yang belum tentu benar," Ms. Walker berkata dengan
tegas. "Hari ini saya akan membagikan naskah, dan"
"Ms. Walker tahu ceritanya?" tanya Tina.
"Ya, saya sudah mendengarnya," jawab Ms. Walker. "Tapi
sebaiknya kausimpan sendiri saja, Tina. Ceritanya sangat seram.
Sangat menakutkan. Dan saya kira"
"Cerita! Cerita! Cerita!" Zeke mulai berseru-seru.
Dan seketika kami semua menatap Ms. Walker sambil nyengir
dan berseru-seru, "Cerita! Cerita! Cerita!"
Kenapa Ms. Walker tidak ingin kami mendengar cerita itu? aku
bertanya-tanya.
Seberapa seram sih ceritanya?










Chapter 3




"CERITA! Cerita! Cerita!" kami terus mendesak.
Ms. Walker mengangkat kedua tangannya supaya kami diam.
Tapi isyaratnya itu justru memancing kami untuk berseru-seru
sambil mengentak-entakkan kaki. "Cerita! Cerita! Cerita!"
"Oke!" Ms. Walker akhirnya mengalah. "Oke, saya akan
bercerita. Tapi ingatini hanya cerita. Saya tidak mau kalau kalian
sampai ketakutan."
"Kami tidak takut!" balas Zeke.
Semuanya tertawa. Tapi aku menatap Ms. Walker. Sepertinya
dia benar-benar keberatan kami mendengar cerita itu. Aku mulai heran
kenapa dia tidak mau bercerita soal si Hantu.
"Cerita ini berawal tujuh puluh dua tahun lalu," Ms. Walker
mulai, "ketika Woods Mill Middle School baru dibangun. Sepertinya
kakek-buyut Tina jadi murid di sini waktu itu."
"Ya," seru Tina, "kakek-buyut saya murid kelas pertama yang
belajar di sini. Katanya waktu itu di sekolah ini hanya ada 25 murid."
Ms. Walker menyilangkan tangannya, lalu meneruskan
ceritanya. "Para murid ingin mementaskan sebuah sandiwara. Salah
satu dari mereka bermain-main di ruang bawah tanah Perpustakaan
Old Woods Mill. Di sana dia menemukan naskah sandiwara berjudul
The Phantom.
"Sandiwara itu seram sekali, menceritakan tentang anak
perempuan yang diculik oleh hantu misterius. Anak laki-laki yang
menemukan naskah tersebut memperlihatkannya kepada gurunya. Dan
gurunya menganggap sandiwara itu menarik untuk ditampilkan.
Mereka berniat membuat pertunjukan besar dengan berbagai efek
khusus yang menakutkan."
Zeke dan aku berpandangan. Sandiwara itu pakai efek khusus!
Kami tergila-gila pada efek khusus!
"Latihan The Phantom pun dimulai," Ms. Walker melanjutkan.
"Anak laki-laki yang menemukan naskah di perpustakaan mendapat
peran utama."
Semuanya menoleh ke arah Zeke. Dia tersenyum lebar, seakan-
akan ada yang patut dibanggakannya.
"Setiap hari seusai sekolah mereka mengadakan latihan," Ms.
Walker menjelaskan. "Dan semua orang merasa senang. Semuanya
bekerja keras untuk menyukseskan sandiwara itu. Semuanya berjalan
lancar, sampaisampai"
Ms. Walker berhenti bicara.
"Ayo dong, Ms. Walker!" aku berseru keras-keras.
"Cerita! Cerita!" beberapa anak kembali mendesak Ms. Walker.
"Saya minta kalian ingat ini hanya cerita," Ms. Walker
menegaskan sekali lagi. "Tidak ada bukti cerita ini benar-benar
terjadi."
Kami semua mengangguk.
Ms. Walker berdeham, lalu kembali bicara. "Pada malam
perdana, semua pemain sudah siap dengan kostum masing-masing.
Auditorium dipadati orangtua dan teman-teman mereka. Auditorium
ini. Semua pemain tampak bersemangat, sekaligus gugup.
"Guru mereka menyuruh mereka berkumpul untuk memberi
wejangan terakhir. Pertunjukan sudah akan dimulai. Tapi anak yang
akan tampil sebagai Hantu ternyata tidak ada."
Ms. Walker mulai mondar-mandir di panggung. "Mereka
memanggil-manggilnya. Mereka mencarinya di belakang panggung.
Tapi mereka tidak berhasil menemukan si Hantu, bintang pertunjukan
mereka.
"Mereka menyebar. Mereka mencari di mana-mana. Tapi
mereka tetap tidak berhasil menemukannya. Anak itu hilang.
"Mereka mencarinya selama satu jam," Ms. Walker
melanjutkan. "Semua orang bingung dan kuatir. Terutama orangtua
anak itu.
"Akhirnya, guru mereka naik ke panggung untuk
mengumumkan bahwa sandiwara itu tidak bisa diteruskan. Tapi
sebelum dia sempat berkata apa-apa, mereka mendengar jeritan
mengerikan."
Ms. Walker berhenti. "Jeritan itu sangat menakutkan. Kata
orang, kedengarannya seperti lolongan binatang.
"Si guru langsung berlari ke arah bunyi itu. Dia kembali
memanggil-manggil anak yang hilang. Tapi tak ada yang menyahut.
Suasananya hening. Tak ada jeritan lagi.
"Mereka langsung melakukan pencarian di seluruh sekolah.
Tapi anak itu tak pernah ditemukan." Ms. Walker menelan ludah.
Kami semua terdiam. Tak ada yang berani menarik napas!
"Dia tak pernah muncul lagi," Ms. Walker mengulangi.
"Rasanya bisa dibilang si Hantu jadi hantu sungguhan. Dia
menghilang begitu saja. Dan sandiwara itu tak pernah dipentaskan."
Dia berhenti mondar-mandir dan menatap kami. Pandangannya
beralih dari satu kursi ke kursi berikut.
"Aneh," seseorang berkata di belakangku.
"Kau percaya cerita itu?" aku mendengar salah satu anak cowok
berbisik.
Dan kemudian, di sampingku, Corey Sklar memekik tertahan.
"Oh, ya ampun!" dia berseru sambil menunjuk ke pintu samping. "Itu
dia! Itu si Hantu!"
Aku menolehsama seperti semua orang laindan melihat
wajah si Hantu yang mengerikan. Sambil menyeringai, dia menatap
kami dari ambang pintu.
Chapter 4




COREY SKLAR menjerit.
Hampir semua anak menjerit. Sepertinya, Tina juga ikut
menjerit.
Si Hantu menyeringai lebar. Rambutnya yang merah terang
berdiri kaku. Sebelah matanya menyembul dari kelopaknya. Jahitan
hitam bekas luka melintang di sisi wajahnya.
"BOO!" si Hantu berseru sambil melompat maju. Anak-anak
kembali menjerit-jerit.
Aku cuma tertawa. Aku tahu itu Zeke.
Aku sudah pernah melihatnya memakai topeng konyol itu. Dia
menyimpannya di locker, supaya bisa dipakai sewaktu-waktu.
"Zeke, jangan macam-macam!" seruku.
Dia melepaskan topengnya. Mukanya kelihatan merah. Zeke
menatap kami sambil nyengir lebar. Dia senang karena berhasil
menakut-nakuti teman-teman kami.
Anak-anak mulai ketawa.
Seseorang melempar Zeke dengan kotak susu yang sudah
kosong. Anak lain mencoba menjegal kakinya waktu dia kembali ke
kursinya.
"Lucu sekali, Zeke," ujar Ms. Walker sambil geleng-geleng
kepala. "Mudah-mudahan ini kunjungan terakhir si Hantu!"
Zeke kembali duduk di sampingku. "Kenapa kau menakut-
nakuti mereka?" bisikku.
"Habis, kapan lagi ada kesempatan seperti itu?" Dia masih tetap
nyengir lebar.
"Jadi, kita yang pertama menampilkan sandiwara ini?" Corey
bertanya kepada Ms. Walker.
Guru kami mengangguk. "Ya. Setelah anak itu menghilang
tujuh puluh dua tahun lalu, pihak sekolah memutuskan akan
memusnahkan semua naskah dan dekor. Tapi satu salinan tetap
disimpan dalam lemari besi sekolah. Dan sekarang kita yang akan
mementaskan The Phantom untuk pertama kali!"
Anak-anak langsung sibuk berbisik-bisik. Baru beberapa saat
kemudian Ms. Walker berhasil menenangkan suasana.
"Dengarkan baik-baik," dia berkata sambil bertolak pinggang.
"Ini hanya cerita. Saya yakin kakek-buyut Tina pun akan menegaskan
bahwa kisah ini tidak benar. Saya menceritakannya sekadar untuk
menciptakan suasana horor."
"Tapi bagaimana dengan kutukannya?" tanyaku. "Tina bilang
ada kutukan!"
"Ya," Tina menimpali. "Kakek-buyut saya bilang sandiwara ini
dikutuk. Si Hantu takkan membiarkannya dipentaskan oleh siapa pun.
Dia bilang, si Hantu masih ada di sini. Hantu itu sudah tujuh puluh
dua tahun gentayangan di sekolah kita! Tapi sampai sekarang belum
pernah ada yang melihatnya."
"Asyik!" seru Zeke, matanya berbinar-binar.
Beberapa anak ketawa. Beberapa anak lain kelihatan kikuk.
Seperti ketakutan.
"Saya sudah katakan tadi, ini hanya cerita," ujar Ms. Walker.
"Nah, sekarang kita mulai saja, oke? Siapa yang mau membantu saya
membagi-bagikan naskah? Saya sudah membuat salinan untuk semua
pemain. Kalian harus membawanya pulang dan mempelajari peran
masing-masing."
Zeke dan aku nyaris terjatuh ketika kami berebut naik tangga
untuk membantu Ms. Walker. Dia menyerahkan setumpuk naskah.
Kami turun lagi dan mulai membagi-bagikan semuanya. Tapi ketika
aku sampai di depan Corey, dia justru menarik tangannya. "Ba
bagaimana kalau kutukan ini memang ada?" tanyanya kepada Ms.
Walker.
"Corey," Ms. Walker berkata dengan tegas, "saya tidak mau
mendengar satu kata pun lagi tentang hantu dan kutukan itu. Masih
banyak yang harus kita kerjakan, dan"
Dia tidak menyelesaikan kalimatnya.
Dia malah menjerit.
Aku menoleh ke panggung, tempat Ms. Walker masih berdiri
sedetik sebelumnya.
Dia lenyap.
Seakan-akan menguap.



















Chapter 5




TUMPUKAN naskah itu terlepas dari tanganku.
Aku bergegas naik ke panggung. Di belakangku aku mendengar
anak-anak berseru dan memekik karena kaget.
"Dia lenyap begitu saja!" aku mendengar Corey bergumam.
"Tapi dia tidak mungkin hilang begitu saja!" teriak salah satu
cewek.
Zeke dan aku menaiki panggung berbarengan. "Ms. Walker
Anda di mana?" panggilku. "Ms. Walker?"
Hening.
"Ms. Walker? Anda bisa mendengar saya?" seru Zeke.
Kemudian aku mendengar suara guruku itu, sayup-sayup. "Saya
di bawah sini!" dia berseru.
"Di bawah mana?" Zeke bertanya dengan bingung.
"Di bawah sini!"
Di bawah panggung? Sepertinya dari situlah dia memanggil.
"Bantu saya naik!" Ms. Walker kembali berseru.
Ada apa ini? aku bertanya-tanya. Kenapa kita bisa
mendengarnya, tapi tidak melihatnya?
Akulah yang pertama menemukan lubang besar berbentuk
persegi di panggung. Zeke dan anak-anak yang lain ikut berkerumun
di sekeliling lubang itu. Aku maju sampai ke tepi lubang dan
memandang ke bawah.
Ms. Walker sedang menatap ke atas. Dia berdiri di sebuah
pelataran kecil berbentuk bujur sangkar, sekitar satu setengah sampai
dua meter di bawah panggung. "Kalian harus menaikkan pelataran
ini," katanya.
"Bagaimana caranya?" tanya Zeke.
"Tekan tuas di panggung," Ms. Walker memberi petunjuk. Ia
menunjuk tuas kayu di sebelah kanan pintu panggung.
"Oke!" seru Zeke. Dia menekan tuas itu. Kami mendengar
bunyi berdentang. Lalu bunyi gesekan. Lalu bunyi berderak.
Perlahan-lahan pelataran itu mulai bergerak naik. Ms. Walker
segera melangkah ke panggung. Dia cengar-cengir menatap kami,
sambil menepis debu yang melekat di celana panjang birunya. "Saya
lupa memberitahu soal pintu kolong ini," katanya. "Untung saja saya
tidak patah kaki."
Zeke berlutut dan mengintip ke lubang di panggung.
"Saya lupa menyinggung bagian paling seru dari sandiwara
kita," Ms. Walker memberitahu kami. "Pintu kolong ini sengaja dibuat
untuk pementasan The Phantom yang pertama dulu. Setelah itu tak
ada yang mengingatnya. Pintu kolong ini belum pernah digunakan
dalam pertunjukan sandiwara sekolahsampai sekarang!"
Aku melongo. Rupanya ada pintu kolong! Asyik juga!
Ms. Walker membungkuk dan menarik Zeke menjauh dari
lubang itu. "Hati-hati. Kau bisa jatuh," dia mewanti-wanti. "Saya
sendiri yang menurunkan pelataran tadi. Dan saya lupa menaikkannya
lagi."
Zeke bangkit. Melihat tampangnya, aku langsung tahu dia
tertarik sekali pada pintu kolong itu.
"Ketika The Phantom hendak ditampilkan dulu," Ms. Walker
bercerita, "pihak sekolah membuat pintu kolong ini supaya si Hantu
bisa menghilang atau muncul dari bawah. Waktu itu, pintu kolong ini
termasuk efek khusus yang canggih."
Aku berpaling kepada Zeke. Sepertinya dia sudah tak sanggup
menahan semangatnya yang meluap-luap. "Cuma saya, kan, yang
pakai pintu kolong ini dalam pertunjukan nanti?" dia bertanya dengan
berapi-api. "Saya boleh coba sekarang, ya? Ya?"
"Nanti, Zeke," sahut Ms. Walker dengan tegas. "Pelatarannya
masih harus diperiksa, soalnya jangan-jangan sudah tidak aman untuk
dipakai. Sebelum itu tidak boleh ada yang mengutak-atiknya."
Zeke langsung berlutut lagi dan mengamati pintu kolong itu.
Ms. Walker berdeham keras-keras. "Sudah jelas? Zeke?"
Zeke menarik napas panjang. "Ya, Ms. Walker," gumamnya.
"Bagus," kata Ms. Walker. "Sekarang silakan duduk lagi. Saya
minta semuanya membaca naskah ini sampai habis sebelum kita
pulang nanti. Sekadar supaya kalian mendapat gambaran, mengenai
cerita dan tokoh-tokohnya."
Kami kembali ke kursi masing-masing. Tapi roman muka Zeke
berkesan mencurigakan. Aku sudah pernah melihatnya bertampang
seperti itu. Keningnya berkerut-kerut, dan alis kirinya terangkat
sedikit. Aku langsung tahu bahwa dia sedang sibuk memutar otak.
Kami menghabiskan satu jam untuk membaca naskah
sandiwara itu. The Phantom ternyata memang seram!
Ceritanya menyangkut laki-laki bernama Carlo. Dia pemilik
gedung teater tua yang biasa digunakan untuk konser dan pementasan
sandiwara. Carlo yakin gedung teaternya berhantu.
Ternyata memang ada orang misterius yang tinggal di ruang
bawah tanah. Wajahnya rusak. Tampangnya seperti monster. Karena
itu dia selalu memakai topeng. Tapi Esmerelda, putri Carlo, jatuh
cinta padanya. Mereka bahkan sampai berniat kawin lari. Tapi rencana
itu tercium oleh Eric, pacar Esmerelda yang tampan.
Eric mencintai Esmerelda. Dia melacak orang misterius itu di
tempat tinggal rahasianya, sebuah lorong gelap jauh di bawah
panggung. Mereka berkelahi. Dan Eric berhasil membunuh lawannya.
Perbuatan itu membuat Esmerelda patah hati. Dia kabur dari
rumah dan tak pernah lagi terdengar kabarnya. Dan si orang misterius
hidup terus sebagai hantu. Dia akan gentayangan untuk selama-
lamanya di gedung teater itu.
Cukup seru, ya?
Rasanya kami semua senang membaca naskah itu. Kami
langsung sadar bahwa pementasannya bakal ramai sekali.
Waktu aku membaca peranku sebagai Esmerelda, aku mencoba
membayangkan bagaimana rasanya mengenakan kostum dan tampil di
atas panggung. Aku sempat menoleh ke belakang, dan melihat Tina
membaca peranku sambil mengucapkannya tanpa bersuara.
Dia langsung berhenti waktu sadar bahwa aku menatapnya. Dan
seperti biasa, dia membalas tatapanku sambil mengerutkan kening.
Dia iri, aku berkata dalam hati. Aku yakin dia sebenarnya ingin
jadi Esmerelda.
Sejenak aku merasa kasihan pada Tina. Aku tidak terlalu
menyukainya. Tapi aku juga tidak ingin dia benci padaku karena aku
mendapat peran yang diincarnya.
Tapi aku tidak punya waktu memikirkan dia. Masih banyak
yang harus kubaca. Esmerelda sering tampil di panggung dalam
sandiwara itu. Perannya memang besar.
Ketika kami akhirnya selesai membaca, semuanya bertepuk
tangan dan bersorak-sorai.
"Oke. Sekarang kalian pulang dulu," Ms. Walker berkata sambil
menggiring kami ke pintu. "Mulailah mempelajari peran kalian. Besok
kita akan bertemu lagi."
Aku mulai mengikuti anak-anak lain ke pintu, tapi tiba-tiba
seseorang menarikku dari belakang. Aku menoleh. Ternyata Zeke.
Cepat-cepat dia menarikku ke balik tiang beton yang besar.
"Zekeapa-apaan sih?" tanyaku.
Dia segera menempelkan telunjuk ke bibir. "Ssst." Matanya
masih berbinar-binar. "Tunggu sampai semuanya pulang,'' dia
berbisik.
Aku mengintip dari balik tiang. Ms. Walker sedang
memadamkan lampu-lampu. Kemudian dia mengambil barang-
barangnya, dan meninggalkan auditorium.
"Kenapa kita harus sembunyi di sini?" aku berbisik dengan
jengkel.
Zeke menatapku sambil nyengir. "Aku mau coba pintu kolong
itu," sahutnya.
"Hah?"
"Ayo, kita coba saja. Cepat. Mumpung tidak ada siapa-siapa."
Aku memandang berkeliling. Auditorium telah gelap. Dan
kosong.
"Ayo, masa kau takut?" Zeke mendesak sambil menarikku ke
panggung. "Kita coba saja, oke? Kau takut apa sih?"
Dengan bimbang aku berpaling ke panggung. "Oke," kataku.
Zeke benar. Apa yang perlu kutakuti?
















Chapter 6




ZEKE dan aku naik ke panggung. Keadaannya jauh lebih gelap
dibandingkan tadi. Dan udaranya pun terasa lebih dingin.
Papan-papan lantai berderak-derak ketika diinjak. Setiap bunyi
terdengar menggema.
"Pintu kolong ini benar-benar asyik!" seru Zeke. "Sayang kau
tidak bisa memakainya dalam pertunjukan nanti."
Aku mendorongnya dan hendak mengatakan sesuatu. Tapi tiba-
tiba aku merasakan bahwa alergiku bakal kumat. Mungkin karena
tirai-tirai auditorium yang penuh debu.
Alergiku benar-benar parah. Aku alergi terhadap hampir segala
sesuatu. Sebutkan saja. Debu, serbuk bunga, kucing, anjingbahkan
beberapa sweter tertentu.
Kalau lagi kumat, aku bisa bersin tiga belas sampai empat belas
kali berturut-turut. Rekorku adalah tujuh belas kali.
Zeke suka menghitung berapa kali aku bersin. Dia
menganggapnya lucu. Dia menepuk-nepuk lantai dan berseru, "Tujuh!
Delapan! Sembilan!"
Ha-ha. Setelah bersin sepuluh kali berturut-turut, aku sudah
tidak berminat bercanda. Hidungku jadi berair, dan kacamataku
seperti berkabut. Benar-benar parah deh.
Kami mengendap-endap ke pintu kolong. "Coba periksa lantai
di sebelah sana," ujar Zeke pelan-pelan. "Cari tuas untuk membuka
pintu."
Zeke berdiri di atas pintu kolong sementara aku mencari-cari
tuas itu dalam kegelapan. Aku berusaha menahan bersin, tapi itu tidak
mudah.
Kemudian aku melihat tuas kecil di lantai itu. "Heiini dia!"
seruku gembira.
Zeke langsung memandang berkeliling. "Ssst! jangan keras-
keras! Nanti ketahuan kita masih di sini!"
"Sori," bisikku. Lalu aku sadar bahwa bersinku tidak bisa
ditahan lagi. Mataku sudah berair, dan hidungku gatalnya minta
ampun.
Aku mengambil sebungkus tisu dari kantong dan menempelkan
semuanya ke hidungku. Kemudian aku mulai bersin. Aku berusaha
bersin sepelan mungkin.
"Empat! Lima!" Zeke berhitung.
Untung saja aku tidak memecahkan rekorku. Aku berhenti
setelah bersin ketujuh. Aku menyeka hidung dan menyelipkan tisu
yang sudah kotor ke dalam kantong. Memang jorok sih, tapi ke mana
lagi harus kubuang?
"Oke, Zeke, siap-siap!" aku memberi aba-aba. Aku menginjak
tuas itu dan melompat ke samping Zeke.
Kami mendengar bunyi berdentang. Lalu bunyi gesekan. Lalu
bunyi berderak-derak.
Bagian lantai yang kami injak mulai turun.
Zeke meraih lenganku. "Heikok goyang begini sih?!"
teriaknya.
"Kau takut, ya?" aku menantangnya.
"Enak saja."
Bunyi berdentang itu bertambah keras. Pelataran bujur sangkar
di bawah kaki kami terus bergetar sambil bergerak ke bawah. Turun,
turunsampai panggungnya lenyap, dan kami dikelilingi kegelapan
pekat.
Tadinya kusangka pelataran itu bakal berhenti persis di bawah
panggung, seperti waktu Ms. Walker tadi.
Tapi di luar dugaanku, kami terus bergerak ke bawah. Semakin
lama semakin kencang lagi.
"Heiada apa ini?" seru Zeke sambil berpegangan pada
lenganku.
"Seberapa jauh kita bakal turun?" tanyaku.
"Ohh!" Zeke dan aku sama-sama memekik ketika pelataran itu
mendadak berhenti. Akhirnya kami sampai di dasar lubang.
Kami sama-sama terlempar ke lantai.
Aku segera bangkit lagi. "Kau tidak apa-apa?"
"Sepertinya sih begitu." Suara Zeke bernada ngeri. Sepertinya
kami berada di suatu terowongan yang panjang dan gelap.
Gelap gulita. Dan hening.
Sebenarnya aku enggan mengakuinya. Tapi aku sendiri juga
sudah mulai takut.
Sekonyong-konyong keheningan di sekeliling kami dipecahkan
oleh bunyi menciut-ciut yang terdengar pelan.
Aku mulai dicekam panik. Suara apa itu?
Bunyi itu terdengar lagi.
Mirip suara tarikan napas.
Jantungku berdegup-degup. Ya. Suara tarikan napas. Tarikan
napas sesosok makhluk aneh. Begitu dekat.
Persis di sampingku.
Zeke!
"Zekekenapa bunyi napasmu seperti itu?" tanyaku. Detak
jantungku langsung normal kembali.
"Bunyi bagaimana?" dia menyahut.
"Ah, sudahlah," aku bergumam. Napasnya berbunyi begitu
karena dia ketakutan. Kami sama-sama ketakutan. Tapi kami sama-
sama terlalu gengsi untuk mengakuinya.
Kami menengadah dan menatap langit-langit auditorium.
Langit-langit itu tampak seperti kotak kecil yang terang di kejauhan.
Seakan-akan berada bermil-mil atas kami.
Zeke berpaling padaku. "Kita ada di mana sih?"
"Kira-kira satu mil di bawah panggung," sahutku sambil
merinding.
"Kalau itu sih, aku juga sudah tahu," balas Zeke dengan nada
mengejek.
"Kalau kau memang lebih tahu, kau saja yang beritahu aku!"
aku menantangnya.
"Rasanya ini bukan ruang bawah tanah," dia berkata dengan
serius. "Rasanya kita jauh di bawah ruang bawah tanah."
"Kelihatannya seperti terowongan," ujarku, sambil berusaha
agar suaraku tidak bergetar. "Mau menyelidiki?"
Zeke tidak langsung menjawab. "Terlalu gelap untuk
diselidiki," dia akhirnya berkata.
Sebenarnya aku pun tidak berminat menyelidiki tempat itu. Aku
cuma berlagak berani saja. Biasanya aku senang kalau aku merinding
karena ngeri. Tapi suasana di tempat ini terlalu seram, bahkan untukku
sekali pun.
"Nanti kita balik lagi membawa senter," kata Zeke pelan-pelan.
"Yeah. Senter," aku mengulangi. Terus-terang, aku tidak akan
pernah berminat kembali lagidengan atau tanpa senter.
Dengan gugup aku memutar-mutar karet rambut di pergelangan
tanganku dan menatap ke dalam kegelapan. Ada sesuatu yang
mengusikku. Sesuatu yang terasa janggal.
"Zeke," kataku, "kenapa pintu kolong panggung itu turun
sampai ke sini?"
"Entahlah. Mungkin supaya si Hantu bisa lebih cepat pulang
setelah gentayangan di auditorium," dia berkelakar.
Aku langsung menonjok lengannya. "Jangan bercanda soal si
Hantuoke?"
Kalau memang ada hantu di sekolah kita, aku berkata dalam
hati, maka di sinilah tempat tinggalnya.
"Ayo, kita pulang saja," ujar Zeke sambil menatap kotak terang
yang begitu jauh di atas kepala kami. "Aku bakal telat untuk makan
malam."
"Yeah," aku bergumam sambil menyilangkan tangan di dada.
"Cuma ada satu hal yang mau kutanyakan, Tuan-Serba-Tahu."
"Apa itu?" tanya Zeke.
"Bagaimana caranya kita naik ke sana?"
Pertanyaan itu berkecamuk dalam benak kami selama beberapa
saat.
Setelah sekitar satu menit, Zeke berlutut dan mulai meraba-raba
lantai pelataran. "Pasti ada tuas yang bisa ditekan di sini," katanya.
"Tuasnya ada di atas sana," sahutku sambil menunjuk ke
panggung.
"Kalau begitu pasti ada tombol atau sakelar atau apa saja yang
bisa ditekan!" seru Zeke. Suaranya mulai melengking tinggi.
"Tapi di mana? Di mana?" Suaraku tak kalah melengking.
Kami mulai meraba-raba dalam gelap, mencari-cari sesuatu
yang bisa ditekan atau ditarik atau diputar. Sesuatu yang akan
membuat pelataran kecil itu naik kembali dan mengangkat kami ke
auditorium.
Tapi setelah mencari selama beberapa menit, aku menyerah.
"Kita terjebak di sini, Zeke," aku bergumam. "Kita terjebak."





Chapter 7




"INI semua gara-gara kau," gumamku.
Aku tidak tahu kenapa aku berkata begitu. Barangkali karena
aku begitu takut sehingga tidak tahu lagi apa yang kukatakan.
Zeke memaksakan tawa. "Hei, aku suka tempat ini!" dia
berkoar. "Mungkin aku bakal agak lama di sini. Tempat ini perlu
diselidiki."
Dia berusaha tampil berani. Tapi suaranya kecil dan bergetar.
Dia tidak bisa menipuku.
"Bisa-bisanya kaubawa kita ke sini!" aku berseru.
"Kau sendiri yang mau ikut!" sahutnya.
"Enak saja!" aku menyangkal dengan sengit. "Ms. Walker kan
sudah bilang ini tidak aman! Dan sekarang kita harus mendekam di
sini sepanjang malam! Mungkin malah untuk selama-lamanya."
"Kecuali kalau kita keburu dimakan tikus!" Zeke berkelakar.
"Aku sudah muak dengan leluconmu yang konyol!" hardikku.
Aku benar-benar lepas kendali. Tanpa berpikir panjang aku
mendorongnya dengan kedua tangan. Dia terjerembap di pelataran.
Keadaannya begitu gelap sehingga aku sempat tidak bisa
melihatnya.
"Aduh!" aku memekik ketika dia membalas dengan cara yang
sama.
Lalu aku mendorongnya lebih keras lagi.
Dan dia mendorongku lebih keras dari itu.
Aku terhuyung-huyung ke belakangdan punggungku
menabrak semacam sakelar.
Aku tersentak kaget ketika mendengar bunyi berdentang yang
keras.
"Brookeayo, naik! Cepat!" Zeke menjerit.
Aku melompat ke pelataran, dan seketika pelatarannya mulai
bergerak ke atas.
Naik. Naik. Perlahan tapi pasti.
Kotak terang di atas kepala kami bertambah besar dan terang
ketika kami naik kembali ke auditorium.
"Hei!" seruku waktu pelataran itu berhenti mendadak.
"Wah, hebat juga kau, Brooke," Zeke berseru dengan gembira.
Punggungku ditepuknya keras-keras.
"Jangan senang dulu," ujarku. Kami belum sampai di panggung.
Pelataran itu berhenti sekitar satu setengah meter di bawah lantai.
Persis seperti waktu Ms. Walker tadi turun.
Kelihatannya satu-satunya cara untuk naik sampai ke panggung
adalah dengan menginjak tuas di lantai.
"Ayo, bantu aku naik," Zeke mendesak.
Aku segera menyatukan tangan, dan dia menginjak tanganku
dengan sepatu ketsnya.
"Eh, tunggu dulu!" dia berseru sambil turun lagi. "Wah, gawat!
Bagaimana kalau si Hantu sudah menunggu di atas? Mungkin lebih
baik kalau kau yang naik dulu!"
"Ha-ha. Lucu sekali," aku berkomentar.
"Oke. Oke. Biar aku saja," dia bergumam.
Dia kembali menginjak tanganku, lalu meraih tepi lubang. Aku
mendorongnya dari bawah.
Aku memperhatikannya memanjat ke panggung.
Kemudian dia menghilang dari pandangan.
Aku menunggu uluran tangan Zeke.
Satu menit berlalu.
"Zeke?" Suaraku terdengar lemah dan kecil.
Aku kembali menunggu, dan pasang telinga.
Tapi aku tidak mendengar apa-apa. Di mana dia?
"Zeke? Di mana kau?" aku memanggilnya. "Ayo dong!
Naikkan pelataran. Atau tarik aku ke atas. Aku tidak bisa naik tanpa
dibantu."
Satu menit lagi berlalu. Rasanya seperti satu jam.
Dan tiba-tiba aku menyadari rencana Zeke.
Dasar brengsek! Dia mau menakut-nakutiku!
"Hei! Sudah dong!" aku berseru.
Aku sudah capek meladeni keisengan Zeke Matthews.
"Zeke!" teriakku. "Cepat dong! Bantu aku naik!"
Akhirnya dia mengulurkan tangan ke bawah.
"Lama betul sih?" ujarku deugan gusar.
Langsung saja kuraih kedua tangan itu. Kubiarkan Zeke
menarikku ke panggung.
Aku menyibakkan rambut. Perlahan-lahan mataku mulai
terbiasa dengan cahaya yang lebih terang.
"Zeke, kau benar-bnar keterlaluan!" aku membentak. "Kenapa
kaubiarkan aku menunggu di bawah sa"
Aku terdiam dan menelan ludah. Ternyata bukan Zeke yang
menarikku ke atas.
Sepasang mata gelap yang menyeramkan menatapku sambil
mendelik.








Chapter 8




AKU kembali menelan ludah. Di hadapanku berdiri laki-laki
kecil yang memelototiku sambil merengut. Dia memakai celana baggy
berwarna kelabu dan sweter longgar berwarna sama yang kerahnya
sudah robek.
Rambut putihnya yang tebal tampak acak-acakan dan menutupi
keningnya. Di sisi wajahnya ada bekas luka memanjang, kira-kira
sepanjang bekas luka di topeng monster kepunyaan Zeke.
Orang itu sudah tua, tapi kecil sekali. Tingginya paling-paling
berbeda satu atau dua inci dengan Zeke.
Tampangnya seperti hantu! Pikiran mengerikan itu melintas
begitu saja di dalam benakku.
"Sisiapa Anda?" aku tergagap-gagap.
"Aku Emile. Penjaga malam merangkap tukang bersih-bersih,"
laki-laki itu menyahut dengan suara parau.
"Mana teman saya, Zeke?" aku bertanya dengan nada
melengking ketakutan.
"Brooke, aku di sini," Zeke memanggil dari belakangku.
Aku langsung menoleh. Zeke berdiri di seberang pintu kolong.
Kedua tangannya dimasukkan ke kantong celana, dan dia sedang
menggigit bibir.
"Zeke!" seruku. "Ada apa ini? Kenapa"
"Sekolah sudah bubar!" si penjaga malam menggeram marah.
Suaranya kasar, seperti amplas. "Kenapa kalian masih di sini?"
Zeke dan aku saling berpandangan. Zeke maju selangkah.
"Kami... ehm... kami masih di sini karena ada latihan sandiwara
sekolah," dia berkata kepada laki-laki itu.
"Ya, betul," aku menimpali. "Ada latihan sandiwara."
Si penjaga malam tetap menatapku dengan curiga. "Latihan
sandiwara?" dia mengulangi. "Kalau begitu mana anak-anak yang
lain?"
Aku diam sejenak. Laki-laki itu membuat lututku gemetaran.
"Sebenarnya kami sudah pulang tadi," aku berdalih, "tapi kami
terpaksa balik lagi karena jaket saya ketinggalan."
Zeke mengangguk-angguk di belakang Emile.
"Dari mana kalian tahu soal pintu kolong ini?" si penjaga
malam bertanya dengan suara amplasnya.
Aku mengerutkan kening. Aneh, aku berkata dalam hati,
rasanya aku belum pernah melihat dia di sekolah.
"Dari Ms. Walker, guru kami. Dia yang menunjukkannya tadi,"
ujar Zeke pelan-pelan. Kelihatan sekali bahwa dia sama ngerinya
seperti aku.
Laki-laki itu membungkuk ke arahku. Dia memicingkan mata,
dan sebelah sisi wajahnya tampak berkerut-kerut. "Kalian tidak tahu
pintu kolong ini berbahaya?" dia berbisik.
Dia merapatkan wajahnya ke wajahku. Begitu dekat sehingga
aku bisa merasakan napasnya yang panas. Matanya yang kelabu pucat
menatapku dengan tajam. "Kalian tidak tahu pintu kolong ini
berbahaya?"
********************************
Malam itu Zeke dan aku bicara lewat telepon. "Orang itu bukan
memperingatkan kita," aku berkata kepada Zeke. "Dia mau menakut-
nakuti kita."
"Hah, aku sama sekali tidak ngeri," Zeke berkoar. "Tapi kalau
kau sih, aku tidak tahu, Brookie."
Huh, dasar! aku menggerutu dalam hati. Kadang-kadang Zeke
terlalu sok aksi.
"Kalau kau tidak ngeri, kenapa kau gemetaran sepanjang jalan
waktu kita pulang?" aku mendesaknya.
"Aku tidak gemetaran. Aku cuma berolahraga," Zeke
berkelakar. "Sekadar melatih otot-otot betis."
"Ah, jangan banyak alasan," ujarku dengan jengkel. "Eh,
kenapa kita belum pernah ketemu penjaga malam itu?"
"Soalnya dia bukan penjaga malam. Dia... si Hantu!" Zeke
berseru dengan suara dibesar-besarkan.
Aku tidak menanggapi kelakarnya. "Aku serius nih," kataku.
"Dia tidak bercanda. Dia memang mau menakut-nakuti
"Moga-moga kau tidak mimpi buruk nanti, Brookie," Zeke
menyahut sambil ketawa.
Langsung saja aku rnembanting gagang telepon.
*******************************
Selasa pagi aku berangkat sekolah bersama Jeremy, adikku.
Sambil jalan, aku bercerita tentang sandiwara sekolah.
Aku menceritakan semuanya. Tapi soal pintu kolong sengaja
tidak kusinggung-singgung. Ms. Walker sudah berpesan pintu kolong
itu sebaiknya dirahasiakan sampai saat pementasan.
"Sandiwaranya memang mengerikan, ya?" Jeremy bertanya
padaku. Jeremy baru tujuh tahun, dan dia mudah sekali takut. Suatu
ketika aku pernah mengajaknya menonton film Poltergeist bersamaku,
dan selama tiga minggu berikutnya dia terbangun setiap malam sambil
menjerit-jerit. .
"Yeah, lumayan seram," ujarku. "Tapi bukan seperti Friday the
13th."
Jeremy kelihatan lega. Dia paling tidak suka hal-hal yang
menakutkan. Setiap Halloween, dia bersembunyi di kamarnya! Aku
takkan pernah mengajaknya menonton Friday the 13th. Bisa-bisa dia
mimpi buruk sampai umur lima puluh!
"Sandiwara ini ada kejutannya," aku menambahkan. "Dan
kejutannya benar-benar seru."
"Apa sih?" tanya Jeremy.
Aku mengacak-acak rambutnya. Warnanya cokelat, persis
seperti rambutku. "Kalau aku cerita sekarang, berarti bukan kejutan
lagi dong."
"Ah, kau persis Mama!" Jeremy menggerutu. Keterlaluan!
Aku mengantar adikku sampai ke gerbang sekolahnya, lalu
menyeberang jalan, ke sekolahku. Sambil menyusuri lorong, aku
membayangkan peranku dalam sandiwara. Begitu banyak kalimat
yang harus diucapkan Esmerelda. Aku tidak yakin apakah aku bisa
menghafalkan semuanya.
Dan aku juga cemas soal demam panggungku. Tahun lalu,
waktu aku ikut main dalam Guys and Dolls, aku begitu gugup sampai
aku berkeringat dingin. Padahal waktu itu aku sama sekali tidak perlu
buka mulut!
Aku masuk ke kelas, menyapa beberapa teman, menuju ke
mejakudan berhenti mendadak.
"Hei!" Seorang anak laki-laki yang belum pernah kulihat duduk
di kursiku.
Tampangnya boleh juga. Rambutnya cokelat tua, dan matanya
berwarna hijau cerah. Dia memakai kemeja flanel bermotif kotak-
kotak merah-hitam dan celana hitam. Buku-buku pelajaran dan buku-
buku catatannya sudah menyebar di hadapannya. Dia duduk bersandar
sambil menaikkan sepatu ketsnya ke atas meja.
"Ini tempatku," kataku sambil bertolak pinggang.
Dia menatapku dengan matanya yang hijau. "Kata siapa?" dia
menyahut dengan tenang. "Ini tempatku."



Chapter 9




"APA? " ujarku sambil membelalakkan mata.
Dia tersipu-sipu. "Ms. Walker yang menyuruhku duduk di sini,"
katanya sambil memandang berkeliling dengan gugup.
Aku melihat tempat kosong di meja di belakang mejaku.
"Maksudnya di situ, barangkali," kataku sambil menunjuk. "Aku
sudah dari awal tahun duduk di sini. Di sebelah Zeke." Aku menoleh
ke tempat duduk Zeke. Dia belum datang. Seperti biasa, dia telat.
Anak yang duduk di mejaku semakin merah mukanya. "Sori,"
dia bergumam dengan kikuk. "Aku masih baru di sini." Dia mulai
mengumpulkan semua bukunya.
"Ini hari pertama kau di sini, ya?" aku bertanya, lalu
memperkenalkan diri.
"Aku Brian Colson," dia berkata sambil berdiri.
"Keluargaku baru pindah ke Woods Mill. Dari Indiana."
Aku bilang aku belum pernah ke Indiana. Jawaban yang agak
norak, memang, tapi benar.
"Kau Brooke Rodgers?" dia bertanya sambil menatapku.
"Kudengar kau dapat peran utama. Dalam sandiwara sekolah,
maksudku."
"Kok kau tahu sih?" tanyaku.
"Beberapa anak di bus sekolah membicarakannya tadi. Kau
pasti pemain sandiwara yang hebat, ya?" lanjutnya malu-malu.
"Mungkin. Aku sendiri kurang yakin. Aku sering demam
panggung," aku memberitahunya.
Aku tidak tahu kenapa aku bilang begitu. Kadang-kadang
mulutku memang tidak bisa distop. Barangkali karena itu aku dijuluki
Brooke si Bawel oleh orangtuaku.
Brian tersenyum tipis dan menghela napas. "Di sekolahku yang
lama di Indiana, aku selalu ikut sandiwara sekolah," dia bercerita.
"Tapi aku belum pernah kebagian peran utama. Coba kalau kami lebih
cepat pindah kemari. Kalau begitu aku masih sempat ikut tes untuk
dapat peran dalam The Phantom."
Aku berusaha membayangkan Brian di atas panggung, tapi
tidak berhasil. Sepertinya dia bukan tipe pemain sandiwara. Dia
kelihatan pemalu sekali. Dan mukanya selalu memerah.
Tapi aku memutuskan memberi kesempatan padanya. "Brian,
bagaimana kalau kau ikut aku latihan nanti sore?" aku mengusulkan.
"Siapa tahu masih ada peran figuran untukmu."
Brian tersenyum seakan-akan aku menawarkan sejuta dolar.
"Kau serius?" tanyanya dengan mata terbelalak.
"Tentu," sahutku. "Ikut saja deh."
Zeke menyelinap masuk dan cepat-cepat menuju ke tempat
duduknya. Matanya tertuju ke meja Ms. Walker. "Aku telat, ya?" dia
berbisik.
Aku menggelengkan kepala. Sebenarnya aku mau
memperkenalkannya pada Brian, tapi Ms. Walker keburu masuk dan
menutup pintu kelas. Sudah waktunya memulai pelajaran.
Brian bergegas ke tempat duduknya. Aku pun duduk, tapi
sekonyong-konyong aku sadar bahwa buku catatan IPA-ku
ketinggalan di locker.
"Permisi sebentar!" aku berseru kepada Ms. Walker. Aku
melesat ke luar dan membelok ke lockerku.
"Hei!" Di luar dugaanku, pintu locker-nya setengah terbuka.
Aneh, aku berkata dalam hati. Aku ingat benar bahwa aku telah
menguncinya.
Aku membuka pintunya, hendak meraih buku catatanku.
Lalu aku tersentak kaget.
Di dalam locker-ku ada orangdan dia sedang melotot ke
arahku!



























Chapter 10




WAJAHNYA buruk sekali, berwarna biru dan hijau, dan dia
menatapku sambil menyeringai.
Aku sempat menutup mulut dengan sebelah tangan supaya tidak
menjerit. Tapi kemudian aku malah tertawa.
Zeke dan topeng creature-nya yang konyol.
"Huh, kali ini kau berhasil, Zeke!" aku bergumam.
Lalu aku melihat kertas terlipat yang menggantung di bawah
topeng. Apa itu? Sebuah pesan untukku?
Aku mengambil dan membukanya, lalu membaca pesan yang
tertulis dengan krayon merah:
JANGAN GANGGU RUMAHKU
"Ha-ha," aku kembali bergumam. "Bagus, Zeke. Lucu sekali."
Aku mengambil buku catatanku, membanting pintu locker, dan
menguncinya. Kemudian aku bergegas kembali ke kelas.
Ms. Walker berdiri di belakang mejanya. Dia baru saja
memperkenalkan Brian kepada anak-anak yang lain, dan sekarang dia
sedang membacakan beberapa pengumuman. Aku menyelinap ke
kursiku di samping Zeke. "Sori, ya, tipuanmu tidak berhasil," aku
berbohong.
Dia mengalihkan pandangan dari buku catatan matematikanya.
Zeke selalu menyelesaikan PR matematikanya di ruang kelas. "Hah?"
Dia menatapku seakan-akan tidak bersalah.
"Topengmu," aku berbisik. "Kaupikir aku bakal takut?"
"Topeng? Topeng mana?" dia menyahut sambil mengetukkan
setip ke lenganku.
Aku menepisnya. "Jangan berlagak bodoh," kataku dengan
ketus. "Pesanmu juga tidak lucu. Masa sih, kau tidak punya ide yang
lebih bagus dari itu?"
"Aku tidak pernah menulis pesan untukmu, Brooke," balas Zeke
dengan jengkel. "Apa sih maksudmu?"
"Huh, dasar," aku menggerutu. "Jadi kamu tidak tahu apa-apa
tentang topeng dan pesan yang ada di locker-ku, begitu?"
"Sudah deh. PR matematikaku belum kelar nih," dia berkata
sambil kembali memperhatikan buku pelajarannya. "Kau masih
mimpi, ya?"
"Oh. Berarti, ini pasti perbuatan Hantu yang asli," ujarku.
Zeke diam saja. Dia sibuk menuliskan persamaan-persamaan di
buku catatannya.
Dasar jail! pikirku. Ini memang ulah Zeke. Dia saja yang, tidak
mau mengakuinya.
Seusai sekolah, aku mengajak Brian ke auditorium.
Dia terus menolak, sampai-sampai aku harus menyeretnya ke
panggung. Dia pemalu sekali!
"Ms. Walker, apakah masih ada peran yang belum terisi?"
tanyaku. "Brian ingin sekali ikut main dalam sandiwara kita."
Ms. Walker menoleh dari naskah di tangannya. Naskah itu
sudah penuh coretan. Dia mengamati Brian.
"Maaf, Brian," katanya sambil menggelengkan kepala. "Kau
terlambat beberapa hari."
Brian kembali tersipu-sipu. Baru kali ini aku bertemu orang
yang begitu sering tersipu-sipu.
"Semua peran dengan dialog sudah terisi," Ms. Walker
memberitahu.
"Barangkali Ms. Walker perlu pemain pengganti?" tanya Brian.
"Saya pintar menghafal. Saya bisa menghafalkan lebih dari satu
peran."
Wow, pikirku. Rupanya dia memang ingin sekali ikut bermain
dalam sandiwara kami.
"Hmm, pemain pengganti juga sudah banyak," ujar Ms. Walker.
"Tapi saya punya ide. Kalau kau mau, kau bisa bergabung dengan tim
dekor."
"Asyik!" seru Brian penuh semangat.
"Coba kautemui Tina di sebelah sana," kata Ms. Walker sambil
menunjuk sekelompok anak yang sedang berkumpul di dinding
belakang panggung. Tina sedang sibuk memberi pengarahan sambil
menggerak-gerakkan tangan dan berjalan mondar-mandir, diikuti anak
buahnya.
Brian kelihatan senang sekali. Aku memperhatikannya
menghampiri Tina.
Lalu aku mencari tempat di deretan kursi penonton dan mulai
membaca naskahku. Ternyata aku muncul dalam hampir semua
adegan. Bagaimana mungkin aku menghafalkan semua kalimat yang
mesti kuucapkan? Aku menarik napas panjang. Aku merosot di
kursiku dan menaikkan kaki ke sandaran kursi di depanku.
Aku sedang menghafalkan kalimat ketiga, yang berbunyi, "Apa
buktinya bahwa orang ini berbahaya?", ketika lampu-lampu mati.
Semuanya gelap gulita! Aku tidak bisa melihat apa-apa.
Beberapa anak berseru, "Hei! Siapa yang mematikan lampu?"
"Aku tidak bisa melihat!"
"Ada apa ini? Nyalakan lampu dong!"
Kemudian terdengar teriakan melengking, membuatku langsung
duduk tegak.
Teriakan mengerikanbagaikan lolongan binatangmembelah
kegelapan dan menjangkau setiap sudut auditorium.
"Jangan! Jangaaan!" aku mendengar Corey Sklar merintih-
rintih.
Lalu ada orang lain yang berseru, "Arahnya dari atas! Dari
catwalk."
Sekali lagi suara melengking tadi menggema. "Nyalakan lampu
dong!" aku mendengar Corey memohon-mohon. "Tolong nyalakan
lampu dong!"
Anak-anak lain pun mulai takut. "Siapa itu yang menjerit?"
"Tolongtolong!"
"Ada orang di catwalk!"
Lampu auditorium kembali menyala.
Lolongan berikut dari atas panggung memaksaku mengalihkan
pandangan.
Dan kemudian aku melihatnya. Makhluk bertopeng hijau-biru
yang memakai jubah panjang berwarna hitam mengilap.
Dia merosot ke panggung sambil berpegangan pada seutas tali,
lalu dia mendongakkan kepala dan melepaskan tawa yang membuatku
merinding. Aku langsung berdiri dan membelalakkan mata. Si Hantu!















Chapter 11




GEDUBRAK! Si Hantu melompat ke panggung.
Dia melepaskan tali, yang kemudian langsung terayun-ayun.
Wajahnya yang hijau-biru menoleh ke kiri-kanan.
Tina dan anak buahnya berdiri seperti patung. Ms. Walker pun
terkesima. Dia melongo sambil memeluk kedua tangannya sendiri.
Jubah si Hantu melambai-lambai ketika dia mengentakkan
sebelah kaki di lantai panggung.
Dia pendek, aku menyadari sambil berdiri dan menatapnya dari
barisan kedua. Tingginya kira-kira setinggi Zeke. Mungkin satu atau
dua inci lebih tinggi.
Tapi mungkin juga tingginya persis seperti Zeke karena dia
memang Zeke!
"Zeke! HeiZeke!" aku berseru.
Wajah bertopeng itu menoleh ke arahku. Si Hantu mulai turun.
Mula-mula sepatunya menghilang dari pandangan. Lalu kakinya yang
terbungkus celana hitam. Turun. Turun.
Rupanya dia telah menginjak tuas pintu kolong. "Zeke!" aku
memanggil. Aku berlari menyusuri gang dan memanjat ke panggung.
"Zekeini tidak lucu!" aku berseru.
Tapi si Hantu telah lenyap.
Aku menghampiri lubang di panggung dan memandang ke
bawah. Ms. Walker muncul di sampingku. Wajahnya cemberut karena
marah. "Itu Zeke, ya?" dia bertanya padaku. "Kau yakin itu Zeke?"
"Sayasaya tidak pasti," aku tergagap-gagap. "Tapi rasanya
ya."
"Zeke!" Ms. Walker memanggil ke lubang itu. "Zekekau di
bawah sana?"
Tak ada jawaban.
Pelataran itu telah turun sampai ke dasar lubang. Kami tidak
melihat apa-apa selain kegelapan yang pekat.
Anak-anak mulai berkerumun di sekeliling lubang. Semuanya
sibuk bicara, tertawa, dan saling mengejek. "Itu Zeke, ya?" aku
mendengar Corey bertanya. "Topengnya yang konyol dipakai lagi,
ya?"
"Kenapa Zeke mengganggu latihan kita?" Ms. Walker bertanya
dengan gusar. "Apa dia kira kita harus ditakut-takuti setiap sore?"
Aku angkat bahu. Aku tidak bisa menjawab.
"Barangkali bukan Zeke," aku mendengar suara Corey.
Sepertinya dia ketakutan setengah mati.
"Pasti dia. Zekedi mana kau?" Ms. Walker berseru keras-
keras. Pelan-pelan dia membalik. Pandangannya menyapu panggung,
lalu seluruh auditorium. "Zeke Matthews? Kau bisa mendengar saya?"
Tetap tak ada jawaban.
"Dia temanmu, Brooke," Tina berkata dengan nada
menyalahkan. "Masa kau tidak tahu di mana dia? Masa kau tidak bisa
melarang dia untuk tidak mengganggu latihan kita?"
Dia langsung kusemprot. Aku begitu kesal, sehingga aku tidak
tahu apa yang kukatakan padanya.
Habis bagaimana dong? Zeke memang temanku. Tapi aku tidak
bertanggung jawab atas segala tindak tanduknya!
Tina cuma mau menjelek-jelekkanku dan mencari muka di
depan Ms. Walker.
"Oke, tim dekor," ujar Ms. Walker. "Kalian kembali bekerja.
Biar saya saja yang menangani ini. Yang lainnya"
Ia terdiam. Kami semua mendengar suara itu.
Suara berdentang-dantang.
Kemudian terdengar bunyi mendengung.
"Hei, pintu kolongnya naik lagi!" aku berseru sambil menunjuk.
"Bagus," ujar Ms. Walker. Dia menyilangkan lengan di depan
dada dan memicingkan mata sambil menatap lubang di lantai
panggung. "Sekarang saya akan memberitahu Zeke bagaimana
pendapat saya tentang leluconnya. Leluconnya yang terakhir."
Oh-oh, aku berkata dalam hati.
Ms. Walker sebenarnya guru yang baik, dan juga orang yang
menyenangkantapi kalau dia sudah marah, kalau dia sudah
menyilangkan tangan dan memicingkan matamaka kita berada
dalam kesulitan besar.
Sebab kalau sudah begitu, dia benar-benar tidak kenal ampun.
Aku tahu Zeke cuma bercanda. Dia senang jadi pusat perhatian.
Dan dia senang menakut-nakuti orang, terutama aku.
Dia cuma bermain-main. Dia sekadar ingin membuktikan
bahwa semua orang penakut, dan dia tidak.
Dia selalu berbuat begitu.
Tapi kali ini dia kena batunya. Kali ini dia sudah keterlaluan.
Dan Ms. Walker sedang menunggunya sambil menyilangkan
tangan dan memicingkan mata.
Apakah Zeke akan dicoret sebagai pemeran utama? aku
bertanya-tanya. Ataukah dia sekadar dimarahi habis-habisan supaya
kapok?
Dengungan tadi bertambah keras. Seluruh panggung terasa
bergetar.
Kami mendengar pelatarannya berhentisatu setengah meter di
bawah panggung, seperti biasa.
Kasihan Zeke, pikirku. Dia belum tahu apa yang menantinya di
sini.
Zeke yang malang.
Aku menatap ke dalam lubangdan memekik tertahan.
Chapter 12




PELATARANNYA kosong. Tak ada yang berdiri di situ.
Zekeatau siapa pun orang taditelah menaikkannya tanpa ikut
naik. Dan dia menghilang di terowongan yang gelap, jauh di bawah
sekolah. Zeke tidak mungkin berbuat begitu, kataku dalam hati. Zeke
memang konyol, tapi dia tidak mungkin turun seorang diri ke tempat
gelap itu. Tanpa membawa senter. Tanpa tahu apa yang ada di sana.
Tapi...
Mungkin saja! Pertanyaanku kujawab sendiri.
Kalau dia merasa bisa membuat kami benar-benar ngeri, maka
dia mau berbuat apa saja.
Ms. Walker membatalkan latihan kami. Tim dekor disuruh
meneruskan pekerjaan mereka, sementara yang lain dipersilakan
pulang untuk mempelajari peran masing-masing di rumah.
"Saya akan bicara panjang-lebar pada Zeke kalau saya
menemukannya," gumam Ms. Walker. Kemudian dia berbalik,
meninggalkan auditorium.
Aku tidak terburu-buru waktu pulang. Sepanjang jalan aku
memikirkan Zeke. Aku begitu sibuk berpikir, sampai tidak sadar
bahwa rumahku sudah terlewat!
Di ujung blok aku melihat Pontiac merah milik ibu Zeke
berhenti di depan garasi mereka. Sambil melindungi mata dari cahaya
matahari sore, aku melihat Mrs. Matthews turun dari mobil. Dan
kemudian aku melihat Zeke turun dari sisi sebelahnya.
"Hei! Zeke!" aku memanggil sambil berlari melintasi halaman
rumput. "Zeke!"
Ibunya melambaikan tangan ke arahku, lalu masuk ke rumah
mereka. Zeke kelihatan heran. "Latihannya sudah selesai?" tanyanya.
"Ya. Gara-gara kamu," aku bergumam.
"Hah?" Lagi-lagi dia pasang tampang tak berdosa. "Gara-gara
aku?"
"Kau sama sekali tidak bisa membuatku takut tadi, Zeke,"
kataku padanya. "Dan tak ada yang menganggap leluconmu itu lucu.
Sekarang, kau jadi punya masalah dengan Ms. Walker."
Dia memicingkan mata dan mengerutkan wajah, seakan-akan
tidak tahu apa-apa. "Apa maksudmu, Brooke? Bagaimana aku bisa
punya masalah dengan Ms. Walker? Aku kan tidak ada di sana!"
"Jangan pura-pura," ujarku.
Dia menggelengkan kepala. Bintik-bintik di mukanya seolah-
olah bertambah gelap. Rambutnya yang pirang bergerak-gerak tertiup
angin. "Aku tidak ada di sana," dia mengulangi. "Ms. Walker sudah
kuberitahu tadi pagi bahwa aku tidak bisa datang. Dia sudah tahu aku
tidak bisa ikut latihan hari ini."
"Kau tidak ikut latihan, supaya kau bisa pakai topeng dan jubah,
dan melayang dari catwalk?" aku bertanya dengan curiga.
"Bukan. Dia sudah kuberitahu bahwa aku harus ke dokter gigi."
Aku melongo.
"Kenapa sih kau, Brooke?" tanya Zeke. "Gigiku cuma diperiksa
kok."
"Kaukau benar-benar tidak pergi ke sekolah?" aku tergagap-
gagap.
Dia menggelengkan kepala. "Tidak."
"Kalau begitu, siapa hantu tadi?" kataku dengan bingung.
Suaraku terdengar kecil dan lemah.
Zeke tersenyum simpul.
"Kau!" aku berseru dengan gusar. "Kau tampil sebagai si Hantu,
dan setelah itu kau baru ke dokter gigi! Ya, kan, Zeke? Ya, kan?"
Zeke cuma ketawa. Dia tidak mau menjawab.
**********************************
Seusai sekolah keesokan sorenya, aku berjalan bersama Brian
ke auditorium. Dia keren juga dengan rompinya yang hitam, T-shirt
putih, dan jeans belel. "Bagaimana dengan Tina?" tanyaku. "Kalian
bisa kerja sama?"
"Lumayan," sahut Brian. "Kadang-kadang dia agak sok ngatur.
Tapi aku diberi kebebasan untuk merancang latar belakang sesuka
hatiku."
Aku melambaikan tangan kepada beberapa temanku yang
hendak pulang. Kami membelok. Aku melihat Corey dan Tina
memasuki auditorium.
"Zeke sudah membereskan urusannya dengan Ms. Walker?"
tanya Brian. "Aku melihat mereka bicara tadi pagi."
"Kelihatannya sih begitu," kataku. "Zeke tetap memegang peran
utamauntuk sementara."
"Kau yakin bahwa Zeke yang muncul kemarin?" Brian
bertanya.
Aku mengangguk. "Ya. Dia suka menakut-nakuti orang. Dari
kecil dia sudah begitu. Kurasa dia mau menakut-nakuti kita. Dia mau
meyakinkan kita bahwa memang ada hantu di sini." Aku menatap
Brian sambil tersenyum. "Tapi aku tidak gampang takut!" ujarku
dengan mantap.
***********************************
Tidak lama setelah latihan dimulai, Ms. Walker memanggil
Zeke dan aku ke panggung. Katanya dia ingin kami memerankan
salah satu adegan. Dia ingin menunjukkan di mana kami harus berdiri
saat berbicara. Istilah yang dipakainya adalah "blocking."
Dia juga minta Tina Powell dan Robert Hernandez, pemain
pengganti Zeke, naik ke panggung. Menurut Ms. Walker mereka pun
perlu tahu mengenai blocking itu. Sekadar untuk berjaga-jaga.
Berjaga-jaga? pikirku. Kemudian aku teringat ucapan Tina:
"Kalau kau sakit atau tiba-tiba berhalangan, aku yang akan
memainkan peranmu."
Hmm, Tina, sori kalau aku terpaksa mengecewakanmu,
gumamku dalam hati, tapi aku tidak punya rencana untuk sakit atau
berhalangan. Jadi nikmatilah tugasmu mencat dekor, sebab itu satu-
satunya kesempatanmu naik panggung.
Aku tahu, aku tahu. Aku tidak boleh sirik. Tapi Tina memang
perlu diberi pelajaran.
Ms. Walker memberitahu Zeke di mana dia harus berdiri. Aku
berdiri di tepi panggung bersama Tina, dan menunggu aba-aba untuk
masuk ke panggung.
"Kelihatannya Ms. Walker dan Zeke sudah meluruskan masalah
mereka," ujar Tina. "Zeke bilang dia berada di dokter gigi, jadi pasti
bukan dia yang meluncur dari atas."
Aku baru mau menyuruh Tina diam supaya aku bisa mendengar
aba-abaku, tapi terlambat. Ms. Walker sudah memanggil namaku.
"Brooke Rodgers!" Sepertinya dia kesal. "Ada apa ini?
Seharusnya kau sudah masuk ke panggung!"
"Ini gara-gara Tina," aku bergumam. Aku berlari ke panggung.
Ketika menoleh ke belakang, aku melihat Tina tertawa sendiri.
Aduh! Keterlaluan! Rupanya Tina sengaja mengajakku
mengobrol supaya aku tidak mendengar aba-abaku!
Dengan bingung aku mencari tempat seharusnya aku berdiri.
Aku bahkan tidak tahu pada halaman berapa di naskah kami berada.
Apa kalimatku yang berikut?
Aku tidak ingat.
Dengan panik aku memandang ke arah anak-anak di tempat
penonton. Semuanya menatapku dan menungguku angkat bicara.
Aku buka mulut, tapi tak ada suara yang keluar. "Kalimatnya,
'Apa ada orang di bawah sini?'!" Tina berseru keras-keras.
Brengsek! aku menggerutu dalam hati. Tina mau berbuat apa
saja untuk membuatku kelihatan tidak mampu! Dia berharap Ms.
Walker akan mencoretku dari daftar pemain.
Aku marah sekali. Kepalaku serasa berputar-putar. Aku tidak
bisa berpikir dengan jernih. Aku mengucapkan kalimat itu, lalu
menarik napas panjang untuk menenangkan diri.
Kalimat berikut diucapkan oleh Zeke. Dia seharusnya muncul
di panggung dan menakut-nakuti Esmerelda.
Tapi Zeke tidak kelihatan!
Aku memandang ke tempat penonton. Ms. Walker berdiri di
kaki tangga. Dia sedang bertolak pinggang sambil mengetukkan
sebelah kaki ke lantai yang keras.
Suasana jadi hening. Tak ada suara selain ketukan kakinya.
Tuk, tuk, tuk, tuk, tuk. Sepertinya Ms. Walker benar-benar jengkel.
"Zeke ke mana?" tanya Ms. Walker dengan lesu. "Apa lagi yang
direncanakannya sekarang? Apakah dia mau terbang dari catwalk
dengan kostum lengkap?"
Seharusnya aku sudah tahu apa rencana Zeke. Tapi aku baru
menyadarinya ketika mendengar bunyi yang sudah akrab di telingaku.
Bunyi berdentang. Diikuti bunyi berdengung.
Pelataran pintu kolong! Pelatarannya naik!
Aku mendesah. "Ini dia," kataku kepada Ms. Walker.
Sedetik kemudian kepala Zeke yang tertutup topeng biru-hijau
muncul di hadapanku.
Aku mundur selangkah dan memperhatikannya menyembul dari
bawah lantai. Kesannya benar-benar hebat. Benar-benar dramatis.
Perlahan-lahan dia muncul di lantai panggung.
Sejenak dia memandang ke arah penonton, seakan-akan berpose
untuk difoto. Dia mengenakan kostum lengkap: topengnya, jubah
hitam yang membentang sampai ke mata kakinya, serta celana dan
baju berwarna sama.
Dasar tukang pamer! pikirku. Dia memang paling senang kalau
semua orang menatapnya dengan kagum!
Dan kemudian dia menghampiriku dengan langkah-langkah
panjang. Matanya menyorot mataku dari balik topengnya.
Aku berusaha mengingat-ingat kalimat selanjutnya.
Tapi sebelum aku sempat membuka mulut, dia menggenggam
kedua pundakku dan mengguncang-guncangku dengan keras. Terlalu
keras.
Hei, jangan terlalu bersemangat, Zeke, aku berkata dalam hati.
Ini kan baru latihan.
"Enyahlah!" dia berseru tertahan.
Aku ingat yang harus kukatakan. Aku hendak membuka
mulut...
Tapi kemudian aku terenyak.
Aku melihat seseorang melambai-lambaikan tangan di sisi
panggung.
Dia tampak kalang-kabut.
Orang itu Zeke!













Chapter 13




AKU langsung sadar bahwa ada yang tidak beres. Kalau Zeke
berdiri di sebelah sana, maka siapa yang mengguncang-guncangku
sambil menyeringai di balik topeng itu?
"Tolong! Tolong!" aku menjerit sambil berusaha membebaskan
diri.
"Bukan begitu, Brooke!" seru Ms. Walker. "Seharusnya kau
bilang, 'Tolong. Tolong aku, Ayah'."
Dia belum mengerti.
Masa dia tidak sadar bahwa aku sedang diserang oleh hantu
yang asli?
Tiba-tiba si Hantu merapatkan wajahnya yang bertopeng, dan
berbisik ke telingaku, "Enyahlah! Jangan ganggu rumahku!"
Aku menatap matanya. Sepertinya aku sudah pernah melihat
mata itu. Siapa dia? Aku yakin aku sudah pernah melihatnya.
Tapi sebelum aku sempat mengingatnya, dia mendadak
berbalik, melompat dari panggung, dan berlari menyusuri gang di
antara kursi-kursi penonton. Jubahnya yang panjang melambai-
lambai.
Aku masih terbengong-bengong ketika dia menghambur ke luar
lewat pintu.
Beberapa anak tertawa. Aku mendengar Tina berbisik kepada
seseorang, "Memangnya itu ada di dalam naskah?"
Zeke bergegas menghampiriku. "Brookie, kau tidak apa-apa?"
"Akuentahlah," sahutku dengan bingung.
"Wow, ini benar-benar ajaib!" Zeke berseru.
Ms. Walker melintasi panggung sambil membawa naskah.
Sepertinya dia sama bingungnya denganku. "Apakah ada yang bisa
menjelaskan kejadian tadi?" tanyanya.
******************************
"Di sekolah ini ada hantu sungguhan," ujar Zeke pelan-pelan.
Dia menatapku sambil mengerutkan kening dan memicingkan mata.
Kami duduk di baris paling depan di auditorium. Brian sedang
membersihkan noda cat hitam di punggung tangannya. Aku duduk di
antara mereka dan sedang mengamati Zeke.
Lampu-lampu sudah diredupkan. Latihan telah berakhir
beberapa menit sebelumnya. Dari lorong masih terdengar suara-suara.
Ms. Walker baru saja meninggalkan auditorium.
"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Zeke.
"Aku masih belum yakin bahwa kau tidak ada sangkut-paut
dengan semua ini," kataku terus terang.
Dia menggelengkan kepala. "Yeah. Pasti aku biang keladinya,"
gumamnya dengan jengkel. "Bagaimana aku bisa berada di dua tempat
sekaligus, Brooke? Coba jawab. Itu bukan sesuatu yang mudah,
biarpun untuk orang sehebat dan secerdik aku!"
Aku ketawa. "Tapi bukannya tidak mungkin," kataku.
"Uh, catnya tidak mau hilang," Brian mengeluh. "Lihat nih.
Bajuku juga kena."
"Barangkali bisa hilang kalau dicuci dengan air?" ujar Zeke.
"Mana kutahu?" balas Brian. "Label di kalengnya tidak kubaca.
Memangnya kau selalu baca label di kaleng?"
"Zeke cuma baca label di kotak sereal," aku berkelakar.
"Jangan bercanda terus dong!" Zeke menggerutu. "Sekolah ini
ada hantunya. Dan entah kenapa, dia mau mengacaukan sandiwara
kita."
Aku masih mengamati wajah Zeke untuk memastikan apakah
dia bohong atau tidak. "Tadi pagi aku melihat kau bicara dengan Andy
Seltzer," aku memberitahunya. "Bisa saja kau merencanakan
semuanya berdua dengan dia. Andy kau beri kostum itu, ya, kan? Kau
bilang apa yang harus dikerjakannya. Ini semua ulahmu dan Andy.
Ya, kan?"
Zeke sampai melongo. "Hah? Untuk apa aku berbuat begitu?"
"Untuk menakut-nakuti aku," jawabku. "Untuk menakut-nakuti
kami semua. Supaya kami percaya memang ada hantu sungguhan.
Dan habis itu, kau tinggal ketawa dan bilang 'Ketipu!'. Dan kami akan
merasa seperti orang tolol."
Zeke mengembangkan senyum. "Bagus juga ide itu," dia
bergumam. "Sayangnya tidak terpikir olehku. Aku serius, Brooke.
Aku tahu kamu tak bakal percaya, tapi aku tidak merencanakan apa-
apa bersama Andy. Dan aku tidak"
Tina melompat dari panggung. Rupanya dia masih mengerjakan
dekor di balik tirai. "Sudah tenang lagi, Brooke?" dia bertanya dengan
dingin.
Aku berpaling ke arahnya. "Tenang lagi? Aku tidak apa-apa.
Apa maksudmu?"
"Kau kelihatan lemas sekali di panggung tadi. Kupikir kau
sakit," katanya dengan nada mengejek. "Jangan-jangan kau akan
terserang flu. Katanya sih, sekarang memang lagi musim flu."
"Aku tidak apa-apa," aku menegaskan.
"Apakah cat ini bisa hilang kalau dicuci dengan air?" Brian
bertanya kepada Tina.
Tina angkat bahu. "Entahlah. Coba pakai terpentin saja." Dia
menatap Brian sambil tersenyum. "Rancanganmu untuk latar belakang
bagus juga." Kemudian dia kembali menatapku dan senyumnya
langsung lenyap. "Paling tidak ada yang mengerjakan tugasnya
dengan baik."
Sebelum aku sempat menyahut, dia sudah berbalik dan
bergegas meninggalkan auditorium.
"Dia berdoa supaya aku kena flu," aku berkata kepada Zeke.
"Keterlaluan, ya?"
Zeke diam saja. Dia masih sibuk memikirkan hantu itu.
Mungkin dia bahkan tidak mendengarku.
"Jangan-jangan Tina yang mengatur semuanya ini," aku
menduga-duga. "Supaya aku ngeri, dan dia bisa jadi Esmerelda."
"Itu tidak masuk akal," balas Zeke.
"Yeah. Kau benar," kataku.
Brian tetap sibuk menghapus cat hitam yang menempel di
tangannya.
"Ayo, kita pulang saja deh," aku mengajak mereka. "Sudah sore
nih. Nanti saja kita bicara lagi tentang hantu itu." Aku mulai berdiri.
Zeke menatapku sambil mendelik. "Kau tetap tidak percaya,
ya?!" tuduhnya. "Kau tetap menganggap ini cuma siasat untuk
menakut-nakutimu."
"Mungkin. Mungkin juga tidak," sahutku sambil melewatinya.
Terus-terang, aku tidak tahu apakah dia bisa dipercaya atau tidak.
Brian bangkit dan mengikutiku ke pintu. Aku berpaling kepada
Zeke yang masih duduk di kursinya. "Mau ikut pulang atau mau
menginap di sini?"
Zeke berdiri tanpa berkata apa-apa. "Yeah, aku ikut pulang."
Kami sedang menyusuri lorong ke arah locker ketika Zeke tiba-
tiba berhenti. "Oh. Aku lupa."
"Lupa apa?" tanyaku. Sudah hampir waktu makan malam, dan
aku ingin segera pulang. Ibuku selalu uring-uringan kalau aku
terlambat. Dia selalu kuatir aku ketabrak bus dan sebagainya. Entah
kenapa dia berpikiran begitu. Aku belum pernah kenal seseorang yang
ketabrak bus!
"Buku matematikaku," ujar Zeke. "Aku harus ke kantor kepala
sekolah dulu. Waktu itu bukuku ketinggalan di auditorium. Barangkali
ada yang menyerahkannya."
"Aku duluan, ya," ujar Brian sambil terus menyusuri lorong.
"Eh, di mana sih rumahmu?" aku berseru padanya.
Dia menunjuk. Ke selatan, kalau aku tidak salah. "Sampai
besok!" Dia segera berbalik dan mulai berlari kecil.
Aku mengikuti Zeke ke kantor Mr. Levy. Semua lampu masih
menyala, tapi kantornya sudah kosong. Yang ada cuma sekretarisnya,
Dot. Dia baru saja mematikan komputer dan sedang bersiap-siap
pulang.
"Apakah ada yang menyerahkan buku matematika saya ke
sini?" Zeke bertanya sambil bersandar ke komputer.
"Buku matematika?" Dot menatap Zeke sambil mengerutkan
kening.
"Waktu itu ketinggalan di auditorium," Zeke menjelaskan.
"Saya pikir Emile pasti menyerahkannya ke sini."
Dot tampak bingung. "Siapa? Siapa Emile itu?"
"Yang itu lho," balas Zeke. "Orang tua berambut putih.
Orangnya kecil. Si tukang bersih-bersih yang bertugas malam."
Dot menggelengkan kepala. "Barangkali kau keliru, Zeke,"
ujarnya. "Tidak ada pegawai bernama Emile di sekolah ini. Dan kita
tidak punya petugas kebersihan yang bekerja malam."











Chapter 14




MALAM itu Tina Powell meneleponku di rumah. "Aku cuma
mau tanya bagaimana keadaanmu," katanya. "Kau kelihatan pucat
sekali tadi, Brooke."
"Aku tidak terserang flu!" seruku. Aku benar-benar naik pitam.
"Kemarin kau sering bersin," Tina menyahut sambil berlagak
prihatin.
"Aku memang sering bersin," kataku. "Sampai ketemu, Tina."
"Siapa hantu satu lagi yang muncul di panggung tadi sore?" dia
bertanya sebelum aku sempat meletakkan telepon.
"Aku tidak tahu," ujarku. "Aku benar-benar"
"Seram juga, ya," Tina memotong. "Mudah-mudahan kau tidak
terlalu ngeri, Brooke."
"Sampai besok, Tina," aku berkata dengan dingin.
Cepat-cepat aku meletakkan telepon. Lama-lama dia mulai
menyebalkan.
Sepertinya dia memang ingin sekali memainkan peran
Esmerelda, kataku dalam hati.
Jangan-jangan dia memang berusaha menakut-nakuti aku,
supaya aku mengundurkan diri?

Tidak lama setelah itu Zeke menelepon dan meyakinkan aku
bahwa hantu itu pasti Emile. "Dia membohongi kita, kan?" Zeke
bertanya dengan berapi-api. "Dia bilang dia pegawai sekolah. Dan dia
mencoba menakut-nakuti kita. Pasti dia deh," Zeke berkeras.
"Yeah. Mungkin saja," sahutku sambil memutar-mutar karet
rambut di tanganku.
"Tingginya cocok," Zeke melanjutkan. "Dan dia juga tahu soal
pintu kolong itu." Zeke menarik napas. "Dan kenapa dia ada di sana,
Brookie? Kenapa dia ada di auditorium malam-malam?"
"Karena dia si Hantu?" tanyaku.
Memang masuk akal.
Aku berjanji datang lebih pagi besok, supaya Zeke dan aku bisa
menceritakan tentang Emile kepada Ms. Walker.
Malam itu aku bermimpi tentang sandiwara kami. Aku berada
di atas panggung, berkostum lengkap. Semua lampu sorot diarahkan
padaku. Aku menatap kursi-kursi yang dipenuhi penonton.
Auditorium menjadi hening. Semua orang menunggu
Esmerelda berbicara.
Aku membuka mulutdan mendadak sadar bahwa aku tidak
ingat harus berkata apa.
Aku menatap wajah para penonton.
Seluruh dialog seperti terhapus dari ingatanku. Setiap kata.
Setiap kalimat.
Semua kata telah terbang bagaikan burung yang meninggalkan
sarang.
Sarangnya kosong. Otakku benar-benar kosong. Aku berdiri
dicekam rasa panik. Aku tidak sanggup bergerak. Aku tidak sanggup
bicara.
Aku terbangun bermandikan keringat dingin. Seluruh tubuhku
gemetaran. Setiap ototku terasa kejang. Selimutku sudah jatuh
tergeletak di lantai.
Uh, mimpi itu betul-betul menakutkan.
Aku tidak sabar untuk berpakaian dan berangkat sekolah.
Mimpi buruk itu ingin kulupakan secepat mungkin.
Tapi berhubung aku harus mengantar Jeremy dulu, aku tidak
bisa datang sepagi yang kuharapkan.
Jeremy terus bertanya tentang sandiwara kami. Dia ingin tahu
segala sesuatu tentang si Hantu.
Tapi aku tidak berminat membicarakannya. Aku terus teringat
mimpiku, teringat perasaan panik yang menyerang saat aku berdiri di
hadapan tiga ratus orang dan kelihatan seperti orang tolol.
Aku mengantarkan Jeremy sampai ke gerbang sekolah, lalu
terburu-buru menyeberang jalan. Zeke ternyata sudah menunggu di
pintu depan. Dengan kesal dia menatap jam tangannya.
Aku tidak tahu untuk apa. Jamnya tidak menunjukkan waktu
dengan tepat. Dia pakai jam digital dengan tujuh belas macam kontrol.
Zeke tak pernah mengerti bagaimana cara menyetelnya. Dia bisa
bermain gamedan jamnya bisa memainkan selusin lagu. Tapi dia
tidak bisa mendapatkan waktu yang tepat.
"Sori aku telat," kataku.
Dia meraih lenganku dan menarikku ke kelas.
Dia bahkan tidak memberi kesempatan padaku untuk
mengambil buku dari locker atau membuka jaket.
Kami menghampiri Ms. Walker, yang duduk di belakang
mejanya sambil mempelajari pengumuman-pengumuman yang harus
disampaikannya pagi itu. Dia menoleh sambil tersenyum, tapi
senyumnya segera lenyap ketika melihat roman muka kami yang
serius.
"Ada masalah?"
"Apakah kami bisa bicara sebentar dengan Anda?" bisik Zeke.
Dia menatap anak-anak yang sudah berada di dalam kelas. "Bertiga
saja?"
Ms. Walker menatap jam di dinding. "Apakah tidak bisa
menunggu sampai nanti? Dua menit lagi bel sudah berdering."
"Kami hanya perlu satu menit," Zeke berjanji.
Ms. Walker mengikuti kami ke lorong, lalu menyandarkan
punggung ke dinding. "Ada apa?"
"Di sekolah kita ada hantu," ujar Zeke penuh semangat. "Hantu
sungguhan. Brooke dan saya sudah melihatnya."
"Nanti dulu!" Ms. Walker bergumam sambil mengangkat kedua
tangannya sebagai isyarat stop.
"Betul kok!" aku berkeras. "Kami memang melihatnya, Ms.
Walker. Di auditorium. Kami menyelinap masuk. Untuk
menggunakan pintu kolong, dan"
"Apa?" dia berseru. Dia memicingkan mata dan menatapku, lalu
Zeke.
"Saya tahu, saya tahu," Zeke berkata sambil tersipu-sipu. "Anda
sudah melarang kami. Tapi bukan itu masalahnya."
"Di sini ada hantu," aku menegaskan. "Dan dia berusaha
menggagalkan sandiwara kita."
"Saya tahu Anda pikir sayalah yang jail selama ini," Zeke
menambahkan, "tapi sebenarnya bukan. Itu ulah si Hantu. Dia"
Ms. Walker kembali mengangkat kedua tangannya. Dia hendak
mengatakan sesuatu, tapi tiba-tiba bel berderingpersis di atas kepala
kami.
Kami langsung menutup telinga masing-masing.
Ketika bel akhirnya berhenti berdering, Ms. Walker
menghampiri pintu kelas. Suasana di dalam benar-benar gaduh. Anak-
anak lain memanfaatkan ketidakhadiran Ms. Walker untuk bercanda
sesuka hati.
"Saya menyesal telah menceritakan kisah itu," katanya kepada
kami.
"Hah?" seru Zeke dan aku berbarengan.
"Seharusnya saya tidak menceritakan kisah hantu itu," Ms.
Walker berkata dengan nada menyesal. "Banyak anak yang
terpengaruh karenanya. Saya minta maaf karena telah membuat kalian
ketakutan."
"Tapi kami tidak ketakutan!" Zeke memprotes. "Kami melihat
seseorang, dan"
"Kalian bermimpi buruk tentang hantu itu?" tanya Ms. Walker.
Dia tidak percaya pada kami.
"Begini" aku angkat bicara.
Kami bertiga tersentak kaget ketika terdengar suara benturan
keras dari dalam. Suara benturan yang disusul tawa berderai-derai.
"Ayo, kita masuk saja," ujar Ms. Walker. Dia menunjuk Zeke.
"Dan mulai sekarang jangan macam-macam lagioke? Saya tidak
mau ada lelucon lagi. Kita ingin sandiwara ini berhasil, bukan?"
Sebelum kami sempat menyahut, dia sudah bergegas memasuki
kelas.
************************************
"Kenapa aku ada di sini?" Brian mengeluh. Dia gemetaran dan
menatap pohon-pohon gelap di hadapan kami. "Kenapa aku mau
diajak ke sini?"
"Kau ikut karena kau teman yang setia," kataku sambil
menepuk pundaknya.
"Bukan. Karena aku bodoh!" Brian meralat.
Sebenarnya ini ide Zeke. Dia muncul di rumahku sehabis
makan malam. Aku memberitahu orangtuaku bahwa ada latihan
sandiwara, padahal tidak ada.
Lalu Zeke dan aku berjalan ke sekolah. Di depan sekolah Brian
bergabung dengan kami. Dia memang sudah berjanji akan menunggu
kami di sana.
"Aku tidak percaya bahwa Ms. Walker tidak percaya cerita
kita," Zeke mengomel.
"Apakah kau akan percaya cerita gila seperti itu?" aku
menantangnya.
"Pokoknya, kita akan mencari si Hantu, dan kita akan
membuktikan bahwa kita benar," Zeke berkata dengan tegas. ''Kita
tidak punya pilihan lain sekarang. Kalau Ms. Walker tidak mau
membantu, kita harus berusaha sendiri."
"Persis seperti dalam cerita petualangan yang seru," aku
berkomentar.
Zeke menoleh ke arahku. "Hmm, Brookie, kalau kau terlalu
takut..."
"Tapi kenapa aku harus ikut?" Brian mengulangi sambil
memperhatikan gedung sekolah yang gelap.
"Soalnya kami butuh bantuan!" kataku. Aku mendorong Zeke.
"Ayo, jalan. Kita lihat saja siapa yang takut dan siapa yang tidak."
"Sebenarnya aku agak ngeri," Brian mengakui. "Bagaimana
kalau kita kepergok?"
"Siapa yang mau memergoki kita?" balas Zeke. "Kaudengar
sendiri apa kata Dot. Di sini tidak ada tukang bersih-bersih yang
bertugas malam."
"Tapi bagaimana kalau ada alarm atau sebangsanya?" tanya
Brian. "Maksudku, alarm maling."
"Yang benar saja," sahutku sambil geleng-geleng kepala. "Beli
rautan pensil saja sekolah kita tidak sanggup! Apalagi alarm maling."
"Hmm, pintunya harus didobrak," kata Zeke sambil
memandang ke jalan. Sebuah station wagon lewat tanpa mengurangi
kecepatan. Dia kembali menarik-narik pintu depan. "Pintu dikunci."
"Barangkali ada pintu samping?" ujar Brian.
Kami mengendap-endap ke bagian samping gedung sekolah.
Lapangan bermain lengang dan sunyi. Rumput tampak berkilau
keperakan karena cahaya bulan.
Pintu samping ternyata juga dikunci.
Begitu pula pintu belakang yang menuju ke ruang musik.
Aku mendongak dan memandang ke atap. Gedung sekolah
menjulang di atas kami bagaikan makhluk misterius. Jendela-jendela
memantulkan sinar bulan, yang merupakan satu-satunya cahaya yang
terlihat.
"Heiada jendela yang terbuka!" bisik Zeke.
Kami langsung berlari menghampiri jendela salah satu kelas di
lantai dasar. Jendela itu memang setengah terbuka. Setelah mengintip
ke dalam, aku mengenali ruang itu sebagai ruang PKK. Mrs. Langston
pasti sengaja membiarkan jendelanya terbuka, supaya bau biskuit
yang dipanggang sore itu bisa terbawa angin.
Zeke menggenggam ambang jendela dengan kedua tangan, lalu
menarik badannya ke atas. Sambil duduk di ambang jendela, dia
mendorong daun jendela sampai terbuka sepenuhnya.
Beberapa detik kemudian Brian dan aku sudah menyusulnya ke
dalam. Bau biskuit gosong masih tercium jelas. Perlahan-lahan kami
mengendap-endap dalam kegelapan, menuju ke pintu.
"Aduh!" aku berseru tertahan ketika pahaku membentur meja
yang rendah.
"Jangan ribut dong!" Zeke langsung menggerutu. "Heiaku
kan tidak sengaja!" bisikku dengan gusar.
Zeke sudah keluar ke lorong. Brian dan aku menyusul, pelan-
pelan, dengan hati-hati.
Lorong ternyata lebih gelap lagi dari ruang kelas. Kami terus
merapat ke dinding ketika berjalan menuju ke auditorium.
Jantungku berdebar-debar. Aku gugup sekali. Sepatuku
menimbulkan bunyi srek-srek pada lantai yang keras.
Tak ada yang perlu ditakuti, kataku dalam hati.
Ini cuma gedung sekolah, gedung yang sudah jutaan kali
kaumasuki. Dan di sini tidak ada siapa-siapa.
Hanya kamu. Zeke. Brian. Dan si Hantu.
Hantu yang tidak mau ditemukan.
"Aku... aku benar-benar ngeri," bisik Brian ketika kami
membelok di ujung lorong.
"Anggap saja ini cuma film bioskop yang seram," aku berkata
padanya.
"Tapi aku tidak suka film seram," Brian memprotes.
"Ssst!" Zeke mendesis. Dia mendadak berhenti. Dan aku
langsung menabraknya. "Hati-hati sedikit dong, Brookie," dia
berbisik.
"Bilang-bilang dong kalau mau berhenti, Zekey," balasku
dengan kesal.
Aku memandang ke kegelapan di hadapanku. Kami telah
sampai di auditorium.
Zeke membuka pintu terdekat. Kami mengintip ke dalam. Gelap
gulita. Udara di auditorium terasa lebih dingin.
Dingin dan lembap.
Soalnya, di sini tempat tinggal hantu, aku berkata dalam hati.
Jantungku berdegup semakin kencang. Aku langsung menyesal
bahwa aku tidak bisa mengendalikan pikiranku.
Zeke meraba-raba dinding dan menyalakan barisan lampu di
atas deretan kursi di sebelah kiri kami. Baru sekarang aku bisa melihat
panggung yang kosong dan sunyi. Seseorang membiarkan tangga
bersandar pada salah satu dinding. Beberapa kaleng cat ditaruh di
bawah tangga.
"Bagaimana kalau semua lampu dinyalakan?" Brian
mengusulkan. Sepertinya dia benar-benar ngeri.
"Jangan," sahut Zeke sambil mengamati panggung. "Kita kan
mau menyergap si Hantu. Jangan sampai dia tahu kita datang."
Sambil saling merapat, kami menyusuri gang di tengah dan
menuju ke panggung. Sinar lampu dari belakang menghasilkan
bayangan-bayangan panjang.
Mirip hantu, pikirku.
Heirasanya ada bayangan yang bergerak di dekat panggung!
Ah, mana mungkin.
Jangan macam-macam, Brooke, aku menegur diriku sendiri.
Jangan biarkan daya khayalmu lepas kendali.
Pandanganku terus beralih dari depan ke belakang, dari
panggung ke deretan-deretan kursi yang kami lewati.
Di mana dia? aku bertanya-tanya. Di mana si Hantu?
Apakah dia tinggal di ruangan gelap jauh di bawah panggung
itu?
Kami sudah hampir sampai di panggung ketika bunyi itu
terdengar.
Suara langkah? Papan lantai yang berderak? Kami langsung
berhenti. Rupanya Zeke dan Brian juga mendengarnya.
Aku meraih lengan Zeke. Dan aku melihat Brian
membelalakkan mata karena ngeri.
Dan kemudian terdengar bunyi lain. Bunyi orang batuk.
"Kita... kita titidak sendirian di sini!" aku tergagap-gagap.
















Chapter 15




"SI-SIAPA itu?!" aku berseru. Tapi suaraku tersangkut di
tenggorokan.
"Ada siapa di sini?" Zeke berseru ke arah panggung.
Tak ada jawaban.
Sekali lagi terdengar bunyi berderak.
Brian langsung mundur selangkah. Dia menggenggam sandaran
kursi dan terus berpegangan.
"Dia ada di belakang sana," Zeke berbisik ke telingaku.
Matanya tampak berbinar-binar. "Aku yakin dia ada di belakang
sana."
"Di mana?" tanyaku dengan suara parau. Memang sukar untuk
berbicara kalau tenggorokan kita seperti tersekat.
Aku memandang ke panggung, tapi tidak melihat apa-apa.
Aku tersentak kaget ketika terdengar suara orang batuk.
Lalu ada bunyi berdentang-dentang yang bergema di seluruh
auditorium.
Mula-mula aku mengira pelataran pintu kolong sedang bergerak
ke atas.
Jangan-jangan ada orang yang sedang naik?
Jangan-jangan si Hantu akan muncul di hadapan kami?
Ternyata bukan.
Aku memekik tertahan ketika latar belakang panggung mulai
bergerak turun.
Suara berdentang itu bertambah keras. Gambar latar turun
pelan-pelan ke panggung.
"Perbuatan siapa itu?" aku berbisik. "Siapa yang menurunkan
gambar latar?"
Zeke dan Brian memandang lurus ke depan. Mereka tidak
menyahut.
Zeke terbengong-bengong. Tanpa berkedip dia menatap ke
panggung.
Gambar latar terus turun.
Dan kami bertiga menahan napas ketika melihat apa yang telah
terjadi dengan gambar itu.
Semula gambarnya memperlihatkan tembok batu bata berwarna
kelabu. Brian dan beberapa anak lain menghabiskan waktu berhari-
hari untuk mengerjakannya. Mereka mulai dengan membuat sketsa,
lalu mengoleskan catbata demi bata.
"Sisiapa yang merusak gambarku?" seru Brian. Zeke dan aku
menatap gambarnya dengan mata terbelalak.
Tembok kelabu itu penuh corat-coret cat merah. Sepertinya
seseorang mencelupkan kuas ke dalam cat, lalu menggoreskannya ke
seluruh gambar latar.
"Gambarku rusak!" Brian memekik.
Zeke yang pertama bergerak. Dia berpegangan pada tepi
panggung, lalu menarik badannya ke atas. Brian dan aku segera
menyusul.
"Siapa yang ada di sini?" Zeke memanggil sambil
menempelkan tangan di sekeliling mulut. "Siapa yang ada di sini?"
Hening.
Pasti ada orang di sini, aku berkata dalam hati. Orang itu telah
menurunkan gambar latar supaya kami melihat yang telah
dilakukannya.
"Siapa yang ada di sini? Siapa kau?" Zeke mengulangi.
Tetap tidak ada jawaban.
Kami mendekat pelan-pelan sambil saling merapat.
Dan ketika kami menghampiri gambar latar, kami melihat
serangkaian kata yang ditulis dengan cat merah di bagian bawah.
Aku berhenti dan memicingkan mata untuk membaca pesan itu
dalam cahaya yang redup:
JANGAN GANGGU RUMAHKU
"Astaga," aku bergumam. Aku langsung merinding.
Kemudian aku mendengar pintu samping dibuka. Kami bertiga
segera membalikkan badan melihat sosok gelap yang melangkah ke
auditorium.
Kami berseru kaget ketika menyadari siapa orang itu.





















Chapter 16




ORANG itu menatap kami sambil melongo. Berkali-kali dia
mengedip-ngedipkan mata, seakan-akan takut telah salah lihat.
"Sayasaya benar-benar tidak menyangka," Ms. Walker
akhirnya berkata.
Aku menelan ludah. Aku hendak mengatakan sesuatu, tapi tak
ada suara yang keluar dari mulutku.
Zeke dan Brian pun berdiri seperti patung.
"Saya sangat kecewa terhadap kalian bertiga," ujar Ms. Walker
sambil menghampiri kami. "Memasuki bangunan dengan paksa dan
tanpa izin merupakan pelanggaran serius. Dan kalian bertiga tidak
boleh berada di"
Dia mendadak terdiam. Pandangannya beralih pada gambar
latar, dan dia memekik tertahan. Dia begitu terkejut melihat Zeke,
Brian, dan aku di atas panggung, sehingga dia tidak
memperhatikannyasampai saat ini.
"Oh! Oh! Ya, ampun!" serunya sambil menempelkan kedua
tangan ke pipi. Dia terhuyung-huyung, seolah-olah tidak sanggup
menjaga keseimbangan. Aku sudah takut dia bakal jatuh!
"Tega-teganya kalian berbuat begini!" katanya dengan sedih.
Dia bergegas melintasi panggung sambil terus menatap gambar latar
yang berlumuran cat merah. ''Tega-teganya kalian merusak gambar
ini! Anak-anak lain sudah bekerja keras selama berhari-hari untuk
menyelesaikannya!"
"Bukan kami yang melakukannya," ujar Zeke pelan-pelan.
"Ya, bukan kami," aku menambahkan.
Ms. Walker menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan hendak
mengusir kami dari pikirannya. "Kelihatannya kalian tertangkap
basah," dia berkata dengan nada menyesalkan. Aku melihat matanya
berkaca-kaca.
"Ms. Walker, sebenarnya," aku mulai berkata.
Dia mengangkat tangan supaya aku berhenti. "Begitu
pentingkah lelucon ini bagi kalian bertiga?" dia bertanya dengan suara
bergetar.
"Ms. Walker"
"Begitu pentingkah kalian membuat semua orang percaya
bahwa ada hantu di sini? Sampai kalian masuk tanpa izindan
dengan begitu melakukan kesalahan seriuslalu merusak latar
belakang panggung sandiwara kita?"
"Bukan kami yang melakukannya," aku berkeras. Suaraku pun
bergetar.
Ms. Walker maju selangkah dan menggoreskan jari ke noda cat
merah pada gambar latar. Ketika dia mengangkat jarinya, ujung
jarinya berwarna merah.
"Catnya masih basah," dia berkata sambil menatapku dengan
tajam. "Selain kalian tidak ada siapa-siapa di sini. Apakah kalian akan
terus membohongi saya sepanjang malam?"
"Kalau saja Anda mau mendengarkan," Zeke angkat bicara.
"Kaulah yang paling mengecewakan saya, Brian," ujar Ms.
Walker. Ia menggelengkan kepala sambil mengerutkan kening. "Kau
baru satu minggu bersekolah di sini. Seharusnya kau menunjukkan
sikapmu yang paling baik."
Brian tersipu-sipu. Wajahnya lebih merah dari wajah siapa pun
yang pernah kulihat. Dia menundukkan kepala, seolah-olah memang
bersalah.
Aku menarik napas panjang. "Ms. Walker, kami harus diberi
kesempatan untuk menjelaskan semuanya!" aku berseru. "Bukan kami
yang melakukan ini! Gambar latarnya sudah begini waktu kami
datang! Sungguh!"
Ms. Walker hendak mengatakan sesuatu, namun kemudian
berubah pikiran. "Oke." Dia langsung menyilangkan tangan di depan
dada. "Silakan. Tapi saya ingin mendengar yang sebenarnya."
"Ya," ujarku. Aku mengangkat tangan kanan, seakan-akan
sedang bersumpah. "Brian, Zeke, dan saya memang masuk tanpa izin.
Tapi sebenarnya bukan dengan paksa. Kami memanjat lewat jendela
yang terbuka."
"Kenapa?" Ms. Walker bertanya dengan tegas. "Untuk apa
kalian datang ke sini? Kenapa kalian bukan di rumah masing-masing,
seperti seharusnya?"
"Kami ingin mencari si Hantu," Zeke menyahut. Rambutnya
yang pirang disibakkannya dengan sebelah tangan. Dia selalu berbuat
begitu kalau lagi tegang.
"Tadi pagi kami sudah bercerita mengenai si Hantu, tapi Anda
tidak percaya."
"Tentu saja saya tidak percaya!" balas Ms. Walker. "Itu hanya
legenda tua. Sebuah cerita." Ia menatap Zeke sambil mengerutkan
kening.
Zeke menghela napas. "Kami sudah bertemu si Hantu, Ms.
Walker. Brooke dan saya. Kami melihatnya. Dialah yang mencorat-
coret gambar latar. Bukan kami. Dia yang turun lewat tali dari
catwalk. Dan menyergap Brooke waktu latihan."
"Kenapa saya harus percaya itu?'' tanya Ms. Walker, masih
sambil menyilangkan tangan di depan dada.
"Karena memang benar," kataku. "Zeke, Brian, dan sayakami
datang ke sini untuk mencari si Hantu."
"Di mana kalian akan mencarinya?" Ms. Walker bertanya.
"Ehm," Zeke bergumam. "Kemungkinan di bawah panggung."
"Maksudnya, kalian mau turun lewat pintu kolong?" tanya Ms.
Walker.
Aku mengangguk. "Mungkin. Kalau terpaksa."
"Tapi saya sudah melarang semua orang mendekati pintu
kolong," guru kami menegaskan.
"Saya tahu," ujarku. "Dan saya menyesal. Kami semua
menyesal. Tapi kami harus menemukan si Hantu, untuk membuktikan
kepada Anda bahwa dia memang ada, bahwa kami tidak mengada-
ada."
Tampang Ms. Walker tetap kencang. Dia tetap menatap kami
sambil mendelik. "Sampai sekarang saya belum mendengar apa pun
yang bisa meyakinkan saya."
"Waktu kami datang tadi, kami mendengar suara-suara," Zeke
memberitahunya sambil bergoyang-goyang dengan canggung. "Suara
langkah. Suara lantai berderak. Jadi kami tahu ada orang lain di sini."
"Lalu gambar latarnya mulai turun," Brian menimpali dengan
suara kecil dan bergetar. "Kami cuma berdiri di sini dan
memperhatikannya turun sendiri, Ms. Walker. Sungguh. Dan waktu
kita lihat bahwa gambarnya sudah dicoret-coret, kami... kami sendiri
kaget sekali!"
Roman muka Ms. Walker agak melunak. Brian begitu gugup,
sehingga Ms. Walker kelihatannya mulai percaya.
"Saya sudah bekerja keras untuk membuat gambar latar itu,"
Brian melanjutkan. "Ini tugas pertama yang saya kerjakan di sekolah
ini, dan saya ingin hasilnya sebaik mungkin. Saya tidak mungkin
merusak gambar saya sendiri sebagai lelucon konyol. Saya tidak
mungkin berbuat begitu."
Ms. Walker menurunkan tangannya. Dia menatap kami satu per
satu, lalu kembali memperhatikan gambar latar. Kemudian dia
membaca pesan yang tertulis di bagian bawah sambil menggerakkan
bibir tanpa bersuara:
JANGAN GANGGU RUMAHKU
Dia memejamkan mata dan diam beberapa saat. Kemudian dia
kembali berpaling kepada kami. "Sebenarnya saya ingin mempercayai
kalian," dia mengakui sambil mendesah. "Tapi saya tidak bisa." Dia
mulai mondar-mandir di hadapan kami. "Saya kembali ke sekolah
sebab saya lupa membawa kertas-kertas ulangan matematika kalian.
Lalu saya mendengar suara di auditorium. Saya masuk ke sini, dan
melihat kalian di panggung. Gambar latar sudah rusak dicoret-coret.
Catnya masih basah. Dan kalian berharap saya percaya bahwa hantu
misterius dari tujuh puluhan tahun silam-lah yang bertanggung
jawab."
Aku diam saja. Begitu pula Zeke dan Brian. Rasanya tak ada
lagi yang bisa kami katakan.
"Anehnya, saya mulai mempercayai kalian," Ms. Walker
menambahkan sambil mengerutkan kening. Kami bertiga menarik
napas lega.
"Maksudnya, saya mulai percaya bahwa bukan kalian yang
mencorat-coret gambar latar." Dia kembali menggelengkan kepala.
"Ayo, kita pulang saja," dia berkata dengan lembut. "Malam sudah
larut. Saya perlu merenungkan kejadian ini. Barangkali kita perlu
minta Mr. Levy mengadakan penyelidikan. Siapa tahu dia bisa
menemukan orang yang berniat menggagalkan sandiwara kita."
Oh, gawat, ujarku dalam hati. Jangan bawa-bawa kepala
sekolah. Bagaimana kalau dia memutuskan bahwa sandiwara kita
harus dibatalkan? Tapi aku tidak mengatakan apa-apa. Zeke dan Brian
pun diam saja. Kami bahkan tidak saling berpandangan. Kami hanya
mengikuti Ms. Walker ke lorong.
Aku lega sekali karena Ms. Walker akhirnya mulai
mempercayai kami. Dan juga karena dia tidak menjatuhkan hukuman.
Dia menyalakan lampu di lorong supaya kami tidak perlu
berjalan dalam kegelapan.
Tiba-tiba kami berhenti serempak.
Kami semua melihat bercak-bercak cat merah yang mengotori
lantai lorong.
"Hmm, coba lihat ini!" seru Ms. Walker. "Tukang cat kita agak
sembrono. Dia meninggalkan jejak untuk diikuti."
Ms. Walker menyalakan sejumlah lampu lain, dan kemudian
kami mengikuti bercak-bercak cat itu sampai ke ujung lorong. Jelas-
jelas kami melihat jejak sepatu di salah satu genangan cat.
"Ya ampun," bisik Zeke. "Dia meninggalkan jejak."
"Untung saja," aku menyahut, juga sambil berbisik. "Bercak-
bercak cat ini mungkin akan membawa kita ke orang yang merusak
gambar latar."
"Maksudmu, si Hantu?" ujar Zeke.
Kami membelok dan melewati sebuah noda kecil.
"Paling tidak ini akan membuktikan kepada Ms. Walker bahwa
kita tidak mengada-ada," Brian berkata pelan-pelan.
Kami kembali membelok.
Jejak cat merah itu mendadak lenyap. Bercak terakhir tampak di
depan sebuah pintu locker.
"Hmm," Ms. Walker bergumam sambil mengerutkan kening.
Dia mengalihkan pandangan dari bercak di lantai ke pintu locker.
"Kelihatannya jejak ini menuju kemari."
"Hei!" Zeke berseru tiba-tiba, sehingga kami semua tersentak
kaget. Aku melihatnya membelalakkan mata. "Itu lockerku!"







Chapter 17




SEJENAK semuanya membisu.
Aku mendengar napas Zeke tersengal-sengal. Aku berpaling ke
arahnya. Dia sedang memelototi locker-nya seakan-akan
pandangannya sanggup menembus pintu logam yang berwarna kelabu
itu.
"Buka locker-mu, Zeke," Ms. Walker memerintahkan sambil
mengertakkan gigi.
"Hah?" Zeke menatapnya dengan bingung, seolah-olah tidak
mengerti ucapan Ms. Walker. Dia menundukkan kepala dan
memperhatikan bercak-bercak cat merah pada lantai di bawah pintu
locker-nya.
"Ayo, buka locker-mu," Ms. Walker mengulangi. Tiba-tiba dia
kelihatan letih sekali.
Zeke tetap tidak bereaksi. "Tapi... tapi tidak ada apa-apa di
dalamnya," Zeke memprotes. "Cuma buku pelajaran dan buku catatan
dan sebagainya."
"Ayo." Ms. Walker menunjuk kunci kombinasi. "Ayo, Zeke.
Sudah malam."
"Anda menyangka bahwa?" Zeke mulai berkata.
Ms. Walker kembali menunjuk kunci kombinasi di pintu.
"Barangkali ada orang yang menjadikan Zeke sebagai kambing
hitam," ujarku. "Barangkali orang itu sengaja meninggalkan bercak-
bercak cat yang menuju ke locker Zeke."
"Mungkin saja," Ms. Walker menyahut singkat. "Karena itulah
saya minta dia membuka locker-nya."
"Oke, oke," Zeke bergumam. Tangannya gemetaran ketika dia
meraih kunci kombinasi. Sambil membungkuk dia memutar kunci
itumula-mula ke kiri, lalu ke kanan.
"Minggir sedikit dong!" dia menggerutu. "Kau menghalangi
sinar lampu."
Aku langsung mundur. "Sori." Aku baru sadar bahwa dia tidak
bisa melihat angka-angka pada kunci kombinasi karena terhalang
bayanganku.
Aku melirik ke arah Brian. Kedua tangannya dimasukkan ke
kantong celana. Dia bersandar di dinding dan memperhatikan Zeke
memutar-mutar kunci kombinasi.
Akhirnya terdengar bunyi klik. Zeke segera menarik pegangan
pintu dan membuka pintunya.
Aku langsung mencondongkan badan ke depan untuk
mengintip. Ms. Walker juga. Akibatnya kepala kami nyaris
bertabrakan.
Kami sama-sama melihat kaleng kecil berisi cat. Sebuah kaleng
cat warna merah di dasar locker. Tutupnya tidak terpasang rapat. Di
pinggir kaleng masih ada tetes-tetes cat yang mengalir ke bawah.
"Tapi itu bukan punya saya!" Zeke berseru.
Ms. Walker menarik napas panjang. "Sori, Zeke."
"Kaleng cat itu bukan punya saya!" Zeke berkeras. "Sungguh,
Ms. Walker! Bukan!"
"Saya akan menelepon orangtuamu dan mengundang mereka ke
sini untuk mengadakan pembicaraan serius," Ms. Walker berkata
sambil menggigit bibir. "Dan tentu saja, kau tidak bisa ikut dalam
sandiwara kita."
"Oh, jangan dong, Ms. Walker!" Zeke menggerutu. Pintu
locker-nya dibanting sekeras mungkin. Bunyinya bergema di
sepanjang lorong yang lengang.
Ms. Walker tersentak kaget. Zeke ditatapnya dengan marah.
Kemudian dia berpaling kepada Brian dan aku. "Jadi kalian berdua
juga terlibat? Katakan yang sebenarnya!"
"Tidak!" seru Brian dan aku berbarengan. "Bukan kami yang
melakukannya," aku menambahkan, lalu hendak berkata, "Zeke juga
bukan."
Tapi aku sadar bahwa usahaku sia-sia saja. Kaleng cat di locker
Zeke merupakan bukti yang sukar disangkal.
Zeke tidak bisa berkelit.
"Kalau saya mendengar bahwa kau dan Brian ternyata ikut
terlibat, maka kalian juga akan dicoret dari daftar pemain dan
orangtua kalian juga akan dipanggil," Ms. Walker mengancam.
"Sekarang pulanglah."
Kami segera keluar lewat pintu depan tanpa mengucapkan
sepatah kata pun.
Udara malam terasa dingin di kulitku yang panas. Aku
menggigil.
Bulan sabit setengah tersembunyi di balik gumpalan kabut
kelabu. Kabut itu tampak bagaikan sosok hantu yang hendak menelan
bulan.
Aku mengikuti Zeke dan Brian menuruni tangga di muka
gedung sekolah.
"Brengsek," Zeke rnenggerutu dengan gusar. "Betul-betul
brengsek."
"Yeah," aku bergumam sambil mengangguk-angguk. Kasihan si
Zeke. Dia benar-benar kesal. Dan keadaannya bakal tambah gawat
kalau orangtuanya sudah ditelepon oleh Ms. Walker!
"Bagaimana kaleng cat itu bisa masuk ke locker-mu?" Brian
bertanya sambil melirik ke arah Zeke.
Zeke langsung melengos. "Mana kutahu?!" balasnya sengit.
Kami menuju ke trotoar. Dengan gusar Zeke menendang kotak
jus yang sudah kosong ke tengah jalan.
"Sampai besok deh," ujar Brian dengan muram. Dia
melambaikan tangan, lalu berjalan ke arah rumahnya.
Zeke berlari kecil ke arah yang berlawanan.
"Kita tidak pulang bareng-bareng?" aku memanggil.
"Tidak," dia menyahut sambil terus berlari.
Lega juga rasanya dia mendahuluiku. Aku benar-benar tidak
tahu harus berkata apa padanya.
Perasaanku tak menentu.
Aku berjalan pelan-pelan sambil menundukkan kepala dan
berpikir keras, ketika aku melihat titik cahaya mengambang di
kegelapan di hadapanku.
Titiknya bertambah besar, dan aku menyadari bahwa itu lampu
sepeda. Sepedanya membelok ke pelataran parkir di sekolah, lalu
meluncur ke arahku.
Ketika jaraknya tinggal satu atau dua meter, aku baru mengenali
pengendaranya. "Tina!" aku berseru terkejut. "Kenapa kau ada di
sini?"
Dia berhenti. Matanya yang gelap memantulkan cahaya lampu
jalanan di atas kepala kami. Dia mengembangkan senyum. Senyum
yang janggal.
"Hai, Brooke!
Apakah dia ada di sekolah tadi? aku bertanya dalam hati.
Apakah dia baru dari sekolah?
"Dari mana kau?" aku mengulangi.
Dia tetap tersenyum simpul. "Dari rumah teman," katanya.
"Kau baru dari sekolah, ya?" aku mendesak.
"Dari sekolah? Tidak. Untuk apa aku ke sana malam-malam
begini?" jawabnya. Dia bergeser sedikit di jok sepeda, lalu kembali
menginjak pedal. "Sebaiknya jaketmu dikancingkan saja, Brooke," dia
berkata padaku. "Kau tidak ingin kena flu, kan?"





























Chapter 18




PADA hari Sabtu sepanjang hari kami mengadakan latihan
sandiwara di auditorium. Pertunjukannya tinggal seminggu lagi.
Kami semua bekerja keras, dan latihannya pun berjalan lancar.
Aku cuma dua kali lupa kalimat yang harus kuucapkan.
Tapi tanpa Zeke rasanya tetap lain.
Robert Hernandez telah menggantikan tempatnya. Aku suka
Robert, hanya saja dia terlalu serius. Dia tidak pernah bisa memahami
lelucon-leluconku, dan dia juga tidak suka bercanda atau dijaili.
Sehabis makan siang, Robert dan Corey melatih sebuah adegan
bersama-sama. Ms. Walker belum kembali dari makan siangnya.
Aku menghampiri Brian. Dia memegang kuas yang baru
dicelupnya ke dalam cat hitam. Dia sedang berdiri membungkuk di
atas gambar latar yang baru, dan memberi sentuhan terakhir pada
beberapa batu bata.
"Bagus juga," aku memuji. Tiba-tiba saja aku merasa terdorong
untuk menepuk punggungnya supaya catnya berlepotan. Tapi
kemudian aku memutuskan bahwa itu bukan ide yang baik.
Aku sendiri tidak mengerti dari mana dorongan-dorongan
mendadak seperti itu berasal.
"Bagaimana latihannya?" Brian bertanya tanpa menoleh. Dia
sedang menambal beberapa titik yang sebelumnya terlewatkan
olehnya.
"Lumayan," kataku sambil memandang berkeliling. Aku
melihat Tina sibuk dengan kaleng besar berisi lem di seberang
panggung. Dia sedang mengoleskan lem ke lampu gantung yang
terbuat dari karton.
"Robert bagus juga sebagai hantu," ujar Brian sambil
menggaruk dagu dengan ujung tangkai kuas.
"Yeah," aku membenarkan, "tapi aku tetap merasa kehilangan
Zeke."
Brian mengangguk. Kemudian dia menoleh dan menatapku.
"Kau tahu, tidak? Sejak Zeke pergi tak ada lelucon konyol lagi. Tak
ada dekor yang rusak. Tak ada hantu misterius yang mengagetkan kita
semua. Tak ada pesan ancaman di dinding. Tak ada apa-apa. Tak ada
satu kejadian buruk pun sejak Ms. Walker mengusir Zeke."
Terus-terang, aku sama sekali tidak memperhatikannya. Tapi
Brian benar. Sejak Zeke dicoret dari daftar pemain, si Hantu sama
sekali tak pernah muncul lagi.
Semuanya berjalan dengan lancar. Dan aku bahkan tidak
menyadarinya.
Apakah ini berarti bahwa memang Zeke yang tampil sebagai si
Hantu? Bahwa Zeke yang bertanggung jawab atas segala kejadian
aneh yang kami alami?
"Orangtua Zeke pasti marah, ya, waktu Ms. Walker memanggil
mereka ke sekolah?" tanya Brian. "Apakah Zeke kena hukuman?"
"Tentu saja," sahutku, sambil terus memikirkan si Hantu. "Dia
dihukum tidak boleh keluar main seumur hidup. Dan videonya juga
diambil. Berarti dia tidak bisa nonton film horor. Zeke tidak bisa
hidup tanpa film horor."
Brian terkekeh-kekeh. "Barangkali Zeke sudah terlalu banyak
nonton film horor," katanya.
"Oke, semuanya!" sebuah suara berseru keras-keras. Aku
menoleh dan melihat Ms. Walker sudah kembali dari makan siangnya.
"Kita mulai dari adegan pembukaan Babak Dua," dia mengumumkan.
"Kita akan melatih seluruh babak sampai selesai."
Aku meninggalkan Brian dan bergegas ke bagian depan
panggung. Esmerelda tampil dalam hampir semua adegan di Babak
Dua. Kali ini aku akan memastikan bahwa aku ingat semua kalimat
yang harus kuucapkan.
Ketika aku menghampiri Robert, aku melihat Ms. Walker
meraih naskahnya dari meja. Dia memegangnya dengan kedua tangan,
hendak membuka Babak Dua.
Aku memperhatikan ekspresinya berubah ketika tangannya
mengutak-atik naskah tersebut. Dia menggerutu. Kemudian dia
kembali menarik-narik buku tebal itu.
"Hei" serunya gusar. "Siapa ini yang iseng?"
"Ms. Walker, ada apa?" tanya Robert.
Ms. Walker mengacungkan naskahnya dan mengguncang-
guncangnya dengan jengkel. "Buku sayasemua halamannya
direkatkan dengan lem!" dia marah-marah.
Anak-anak di sekitar panggung menahan napas.
"Oke, ini sudah keterlaluan!" seru Ms. Walker. Buku naskah
dilemparkannya ke dinding. "Ini lelucon yang terakhir! Sandiwara ini
dibatalkan! Silakan pulang, semuanya! Sandiwara kita batal!"














Chapter 19




"TAPI Ms. Walker pasti berubah pikiran lagi, kan?" tanya Zeke.
Aku mengangguk. "Yeah. Setelah beberapa detik dia sudah
tenang lagi, dan dia bilang sandiwara kita bisa diteruskan. Tapi sampai
selesai latihan dia jadi uring-uringan dan gampang marah."
"Paling tidak, kali ini dia tidak bisa menyalahkan aku," ujar
Zeke. Dia menggelindingkan bola berwarna pink melintasi ruang
tamu, dan Buster, anjing cocker spaniel-nya yang berbulu hitam,
langsung mengejarnya.
Brian dan aku sengaja mampir ke rumah Zeke untuk
menceritakan perkembangan terakhir. Zeke dilarang keluar main
mungkin untuk seumur hidupsehingga terpaksa mendekam di dalam
rumah. Orangtuanya sedang nonton film di bioskop. Mereka akan
pulang beberapa jam lagi.
Buster melepaskan bola dan mulai menyalak ke arah Brian.
Zeke ketawa. "Dia tidak suka padamu, Brian." Dia meraih bola
dan kembali menggelindingkannya di atas karpet.
Tapi bolanya tak digubris oleh Buster. Dia terus menggonggong
ke arah Brian.
Brian tersipu-sipu. Dia mengulurkan tangan untuk menepuk-
nepuk kepala anjing itu. "Kenapa sih kau? Aku bukan orang jahat."
Buster langsung menghindar dan berlari untuk mencari bola
yang telah menggelinding sampai ke lorong.
"Hmm, ini bukti nyata bahwa ada orang iseng lain di kelas
kita," ujar Zeke, dan senyumnya langsung lenyap. Dia menyandarkan
punggung di sofa yang didudukinya. "Berarti sekarang terbukti bahwa
bukan aku yang berusaha menggagalkan sandiwara kita."
Sebenarnya aku ingin menanggapinya dengan bercanda, tapi
aku melihat roman muka Zeke serius. Karena itu aku diam saja.
"Di sekolah kita memang ada hantu, dan hantunya bukan aku,"
kata Zeke. "Tapi sekarang semua orang menganggap aku pembohong.
Ms. Walker pikir aku mau menggagalkan sandiwara kita. Dan
orangtuaku sendiri menyangka aku anak yang tidak bisa diatur."
"Sebagai hantu kau jauh lebih bagus daripada Robert," aku
berusaha menghiburnya. "Waktunya kurang dari seminggu lagi dan
Robert belum juga hafal kalimat-kalimatnya. Bahkan dia menyesal
ikut seleksi sandiwara ini. Sebenarnya dia sudah tidak mau ikutan
lagi."
Zeke langsung berdiri. "Kalau kita bisa membuktikan bahwa
bukan aku hantunya, aku yakin Ms. Walker akan mengembalikan
peran itu padaku."
"Oh-oh," kataku. Pikiran Zeke sudah terbaca olehku. Aku sudah
tahu ucapannya yang berikut.
"Oh-oh," Brian membeo. Rupanya dia juga sudah bisa
membayangkannya.
"Ayo, kita ke sekolah," ujar Zeke. Matanya berbinar-binar.
"Kali ini hantu itu akan kita cari sampai ketemu. Aku benar-benar
ingin mendapatkan peranku kembali."
Aku menggelengkan kepala. "Jangan, Zeke" aku mulai
membujuknya.
"Aku mau membuktikan kepada semua orang bahwa bukan aku
yang berniat menggagalkan sandiwara kita," Zeke berkeras.
Brian melemparkan bola kepada Buster. Tapi anjing itu tidak
bereaksi. "Tapi kau kan lagi dihukum," Brian mengingatkan Zeke.
Zeke angkat bahu. "Kalau kita bisa menemukan hantu itu dan
membuktikan bahwa aku tidak bersalah, orangtuaku justru akan
senang aku melanggar larangan mereka. Dan setelah itu hukumanku
pasti dihapus. Ayo dong. Kita coba sekali lagi, oke?"
Aku menatap Zeke sambil mengerutkan kening. Terus terang,
aku tidak setuju pada gagasannya itu. Terakhir kali kami menyusup ke
auditorium, kami semua mendapat kesulitan besar.
Tampang Brian pun menunjukkan bahwa dia enggan pergi ke
sana.
Tapi bagaimana kami bisa menolak ajakan Zeke? Dia sudah
sampai memohon-mohon!
*********************************
Udara malam itu sebenarnya cukup hangat, tapi aku tetap
kedinginan. Ketika kami berjalan ke sekolah, aku terus melihat
bayangan-bayangan yang seakan-akan hendak menyergap kami. Tapi
setiap kali aku menoleh, bayangan-bayangan itu langsung
menghilang.
Brooke, kau terlalu banyak mengkhayal, aku menegur diriku
sendiri.
Tapi kenapa jantungku terus berdentum-dentum bagaikan
gendang besar ditalu?
Kenapa aku tidak berada di rumah dan menonton TV bersama
Jeremy? Aku punya firasat buruk mengenai petualangan kami. Firasat
yang sangat buruk.
Kami tidak membuang-buang waktu dengan mencoba
membuka pintu. Kami memasuki gedung sekolah dengan cara sama
seperti terakhir kali, yaitu dengan memanjat lewat jendela ruang PKK.
Kemudian, sekali lagi kami menyusuri lorong-lorong gelap ke arah
auditorium.
Deretan lampu di atas barisan kursi paling belakang ternyata
masih menyala. Panggung tampak gelap dan kosong di hadapan kami,
kecuali gambar latar yang menempel di dinding.
Zeke menyusuri gang di tengah. Brian dan aku sudah dibekali
senter, dan kami segera menyalakan senter masing-masing ketika
menuju ke panggung. Berkas cahayanya menyoroti deretan bangku
kosong. Aku mengarahkan senterku ke depan dan membiarkan
cahayanya menyapu seluruh panggung.
Tak ada siapa-siapa di sana. Semuanya kelihatan biasa saja.
"Zeke, kita cuma buang-buang waktu di sini," ujarku sambil
berbisik, biarpun tak mungkin ada yang mendengar kami.
Dia menempelkan telunjuk ke bibir. "Kita harus turun ke bawah
panggung," dia menyahut sambil memandang lurus ke depan. "Dan
kita akan menemukannya, Brooke. Kali ini, kita akan
menemukannya."
Belum pernah aku melihat Zeke begitu serius, begitu
bersungguh-sungguh. Bulu kudukku berdiri. Tapi aku memutuskan
untuk tidak berdebat dengannya.
"Ehm... mungkin lebih baik kalau aku tunggu di sini sementara
kalian ke bawah," Brian mengusulkan. "Aku akan berjaga-jaga di
panggung."
"Berjaga-jaga terhadap siapa?" balas Zeke, sambil menyorotkan
senternya ke wajah Brian. LWS.OGOT.M
Roman muka Brian jelas-jelas ketakutan. "Terhadap... siapa saja
yang mungkin datang," dia menyahut pelan-pelan.
"Semua harus ikut turun," Zeke berkeras. "Aku butuh dua saksi
kalau kita menemukan si Hantukau dan Brooke."
"Tapi si Hantu memang hantuya, kan?" tanya Brian.
"Bagaimana caranya mencari hantu?"
Zeke langsung melotot. "Pokoknya, kita cari dia sampai
ketemu."
Brian angkat bahu. Dia dan aku sama-sama sadar bahwa malam
ini tak ada gunanya berdebat dengan Zeke.
Papan-papan lantai panggung berderak-derak ketika kami
menghampiri pintu kolong. Berkas sinar senter-senter kami menerangi
celah di sekeliling pelataran.
Brian dan aku berdiri di tengah-tengahnya. Zeke menginjak tuas
di lantai, lalu melompat ke samping kami.
Seketika terdengar bunyi berdentang yang sudah akrab di
telinga kami. Lalu bunyi berdengung saat pelatarannya mulai turun.
Panggung seakan-akan bergerak naik. Dalam waktu beberapa detik
saja kami sudah dikelilingi empat dinding gelap.
Cahaya senter menyapu permukaan dinding sementara kami
terus turun. Suasana kian mencekam, dan semangatku pun semakin
redup. Lututku mulai gemetaran.
Kami berdiri di tengah-tengah pelataran. Bunyi berdentang dan
menggerisik bertambah keras. Akhirnya kami sampai di dasar lubang.
Selama beberapa detik tak ada yang bergerak.
Zeke yang pertama turun dari pelataran. Dia mengangkat
senternya dan menyorotkannya ke segala arah. Kami berada di tengah-
tengah ruangan besar yang kosong. Di kiri-kanan ada terowongan
yang entah menuju ke mana.
"Sini, Hantu! Kemari, kau!" Zeke memanggil pelan-pelan,
seakan-akan memanggil anjingnya. "Hantu, di mana kamu?" dia
bertanya dengan nada bersenandung.
Aku pun turun dari pelataran dan mendorongnya dengan keras.
"Jangan macam-macam," kataku. "Tadi kau bilang kau sedang serius.
Kenapa malah bercanda sekarang?"
"Supaya kau jangan terlalu ngeri," sahut Zeke.
Tapi aku tahu alasan sebenarnya. Dia bercanda supaya dia
jangan terlalu ngeri.
Aku menatap Brian. Dalam cahaya yang redup pun aku
langsung melihat bahwa wajahnya pucat pasi. "Tidak ada siapa-siapa
di sini," katanya. "Ayo, kita naik lagi deh."
"Nanti dulu," ujar Zeke. "Ikuti aku. Arahkan sentermu ke
bawah, supaya jalannya kelihatan."
Brian dan aku berdampingan mengikuti Zeke. Kami memasuki
terowongan panjang, berjalan beberapa langkah, lalu berhenti dan
pasang telinga.
Hening.
Lututku masih gemetaran. Dan bukan lututku saja, tapi seluruh
tubuhku. Tapi Zeke kelihatan begitu berani. Dia tidak boleh tahu
bahwa aku ngeri.
"Terowongan ini kemungkinan membentang sampai ke ujung
gedung sekolah," bisik Zeke sambil mengarahkan senternya ke depan.
"Mungkin lebih jauh lagi. Sampai ke ujung blok!"
Kami kembali maju beberapa langkahlalu berhenti karena
mendengar bunyi di belakang.
Bunyi berdentang, diikuti dengungan keras. "Hei!" Brian
memekik. "Pelatarannya!"
Kami bertiga membalik dan mulai berlari ke arah pelataran.
Suara langkah kami terdengar bergema di terowongan yang gelap.
Aku terengah-engah ketika sampai di ruangan semula. Aku
nyaris tak sanggup menarik napas. "Pepelatarannya naik sendiri!"
Zeke berseru. Tak berdaya kami menyaksikan pelataran itu bergerak
ke atas, kembali ke panggung.
"Tekan tombolnya!" Zeke berpesan padaku. "Bawa turun lagi!"
Aku meraba-raba dinding berusaha menemukan tombol yang
dimaksud, lalu berusaha menggerak-gerakkannya. Tapi tombol itu
macet.
Oh, bukan. Ternyata dikunci.
Seseorang menguncinya supaya tidak bisa digunakan.
Pelataran pintu kolong berhenti jauh di atas kepala kami. Zeke,
Brian, dan aku sama-sama membisu sambil memandang kegelapan di
atas.
"Zeke, kita terperangkap di sini," aku bergumam. "Kita tidak
bisa naik lagi. Kita benar-benar terperangkap."
Chapter 20




KAMI menunggu untuk melihat apakah seseorang akan turun.
Tapi pelatarannya tetap berhenti di atas.
Brian bertanya dengan suara bergetar, "Siapa yang menaikkan
pelataran? Siapa yang menginjak tuas supaya pelatarannya naik lagi?"
"Si Hantu!" seruku. Aku berpaling kepada Zeke. "Sekarang
bagaimana?"
Zeke angkat bahu. "Kelihatannya tidak ada pilihan lain. Kalau
kita mau keluar dari sini, kita harus menemukan si Hantu!"
Berkas sinar senter-senter kami menerangi lantai ketika kami
kembali memasuki terowongan. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun
kami menyusuri terowongan yang berliku-liku.
Dasar terowongannya mulai becek dan berlumpur. Udara pun
bertambah dingin.
Di kejauhan aku mendengar bunyi menciut-ciut. Moga-moga
bukan kelelawar, aku berharap dengan cemas.
Brian dan aku harus mengayunkan langkah dengan cepat agar
tidak tertinggal oleh Zeke. Dia berjalan dengan langkah panjang,
sementara senternya berayun maju-mundur.
Tiba-tiba aku mendengar seseorang bersenandung pelan. Baru
kemudian kusadari itu suara Zeke. Dia sedang bersenandung sendiri.
Ya ampun, Zeke! aku berkata dalam hati. Masa sih kau sama
sekali tidak ngeri? Kau tidak bisa menipuku dengan sikapmu yang sok
tenang. Kau sama takutnya seperti aku!
Aku baru hendak mengolok-oloknya, tapi terowongan
mendadak berakhir dan kami berdiri di depan pintu yang rendah.
Brian berdiri di belakang. Tapi Zeke dan aku langsung menghampiri
pintu itu dan memeriksanya di bawah cahaya senter.
"Siapa di sini?" Zeke memanggil dengan suara kecil yang
berkesan janggal.
Tak ada jawaban.
Aku mengulurkan tangan dan mendorong pintu, yang lalu
membuka diiringi bunyi berderak-derak. Zeke dan aku mengangkat
senter masing-masing dan mengarahkannya ke ruangan di balik pintu.
Ruangan itu ternyata penuh perabot. Ada kursi lipat. Sofa lusuh
dengan satu jok sudah hilang. Rak-rak buku di sepanjang dinding.
Cahaya senterku menerangi meja kecil. Di atasnya ada
mangkuk dan sebungkus cornflakes. Aku mengalihkan senterku dan
melihat tempat tidur kecil yang berantakan di dinding seberang.
Zeke dan Brian menyusulku. Berkas sinar senter-senter kami
menyapu semua barang yang ada di dalam ruangan itu. Sebuah alat
pemutar piringan hitam kuno tampak di atas meja rendah. Di
sampingnya terdapat tumpukan rekaman-rekaman lama.
"Astaga!" bisik Zeke. Senyumnya mulai berkembang.
"Rasanya kita berhasil menemukan tempat tinggal si Hantu,"
aku menyahut.
Brian menghampiri meja, lalu menyorot mangkuk sereal dengan
senternya. "Si Hantudia baru saja di sini," ujar Brian. "Cornflakes-
nya belum melempem."
"Wow!" aku berseru. "Ternyata ada orang yang tinggal di sini,
jauh di bawah"
Aku berhenti karena merasa mau bersin.
Aku berusaha menahannya. Tapi sia-sia. Aku bersin satu kali.
Dua kali. Lima kali.
"Ssst, Brooke!" Brian mendesis. "Jangan ribut dong. Dia akan
mendengarmu."
"Justru bagus dong. Kita kan mau menemukan dia," Zeke
mengingatkan Brian.
Aku bersin tujuh kali. Lalu sekali lagi sebagai pelengkap.
Akhirnya serangan bersin itu berlalu.
"Dia pasti mendengarnya. Aku jamin dia mendengarnya," Brian
meratap. Dengan panik dia memandang berkeliling.
Pintu mendadak menutup sendiri.
"Aaah!" Kami bertiga memekik kaget.
Jantungku langsung berdegup kencang. Setiap otot di tubuhku
menegang.
Kami berbalik, menatap pintu. Pintu itu tidak terdorong oleh
angin. Seseorang telah menutupnya. Zeke yang pertama bereaksi. Dia
langsung melompat ke pintu, lalu meraih pegangannya dan
mengguncang-guncangkannya dengan sekuat tenaga.
Pintu tak bergerak sedikit pun.
Zeke berusaha mendorong dengan bahunya, tapi hasilnya sama
saja.
Untuk pertama kali dia kelihatan ngeri. "Kitakita terkunci di
sini," ujarnya pelan-pelan.












Chapter 21




AKU bergegas ke samping Zeke. "Barangkali pintunya bisa
dibuka kalau kita dorong bersama-sama," aku mengusulkan.
"Mungkin saja," sahut Zeke. Tapi sepertinya dia tidak berani
berharap terlalu banyak.
Aku menelan ludah. Melihat Zeke ketakutan membuat aku
semakin ngeri.
"Yeah. Coba kita dorong bersama-sama," Brian mendukung
usulku sambil melangkah maju. "Kalau perlu, pintu ini kita dobrak
saja!"
Begitu dong, Brian! kataku dalam hati. Akhirnya dia
memperlihatkan sedikit semangat.
Kami merapatkan pundak ke pintu dan bersiap-siap untuk
mendorong.
Aku menarik napas panjang dan menahannya untuk
menenangkan diri. Lengan dan kakiku serasa terbuat dari permen
karet.
Aduh, ini benar-benar seram, pikirku. Kalau kami terkunci di
ruangan kecil ini dan tidak sanggup keluar, bisa-bisa kami harus
menghabiskan sisa hidup karni di sini. Kami terpisah bermil-mil
jauhnya dari dunia luar.
Semua orang akan mencari kami di atas. Dan mereka takkan
pernah menemukan kami. Biarpun kami menjerit dan berteriak sekuat
tenaga, takkan ada yang mendengar kami.
Kami akan terperangkap untuk selama-lamanya.
Sekali lagi aku menarik napas panjang. "Oke, aku hitung
sampai tiga," kataku. "Pada hitungan ketiga, semuanya harus
mendorong pintu."
Zeke mendahuluiku. "Satu... dua..."
"Hei! Tunggu dulu!" aku memotong, lalu mengamati pintu
sambil mengerutkan kening. "Pintunya kita dorong ke sebelah dalam
waktu masuk ke sini, ya kan?"
"Yeah, rasanya sih ya," balas Zeke. Dia menatapku sambil
mengerutkan kening.
"Berarti tidak bisa didorong dari dalam," ujarku. "Pintunya
harus ditarik."
"Heibenar juga!" seru Zeke.
Aku meraih pegangan pintu, memutarnya, dan menarik dengan
keras.
Pintu langsung membuka.
Dan kemudian kami melihat laki-laki kecil yang berdiri di
ambang pintu.
Senterku kuarahkan ke wajahnya, dan seketika aku
mengenalinya.
Emile. Laki-laki kecil berambut putih yang mengaku sebagai
petugas kebersihan yang berdinas malam.
Dia menghalangi pintu dan memelototi kami sambil
menyeringai dan memicingkan mata.








Chapter 22




"JANGAN ganggu kami!" aku menjerit.
Dia tidak beranjak. Mata kelabunya yang aneh beralih dari Zeke
ke Brian lalu menatapku.
"Jangan ganggu kami!" aku mengulangi. Lalu kutambahkan
dengan nada memohon, "Jangan, ya?"
Roman mukanya malah bertambah kencang. Cahaya senter
membuat bekas luka yang memanjang di pipinya kelihatan semakin
dalam dan seram.
Dia tetap menghalangi jalan kami. "Kenapa kalian ada di bawah
sini?" dia bertanya dengan suaranya yang parau. "Kenapa kalian ada
di tempat tinggalku?"
"Jadikaulah hantu itu!" aku berseru.
Dia memicingkan mata dengan bingung. "Hantu?" Dia
mengerutkan kening. "Rasanya aku memang bisa disebut begitu."
Brian memekik tertahan.
"Ini rumahku," laki-laki itu berkata dengan gusar. "Kenapa
kalian ada di sini? Kenapa kalian tidak mengindahkan semua
peringatan yang kuberikan?"
"Peringatan?" tanyaku. Tubuhku gemetar begitu hebat, sehingga
berkas cahaya senterku seperti menari-nari di dinding.
"Aku sudah berusaha menghalau kalian dari sini," si Hantu
berkata. "Menghalau kalian dari rumahku."
"Maksudnya, dengan mencoret-coret gambar latar? Dengan
turun lewat tali dari catwalk? Dengan menaruh topeng dan pesan itu di
locker-ku?"
Si Hantu mengangguk.
"Dan apa yang terjadi tujuh puluh dua tahun lalu?" aku bertanya
padanya. "Apa yang terjadi padamu waktu sandiwara ini seharusnya
dipentaskan untuk pertama kali? Kenapa kau menghilang malam itu?"
Roman muka si Hantu berubah. Aku melihat sorot bingung
dalam matanya yang bersinar-sinar. "Akuaku tidak mengerti," dia
berkata sambil menatapku dengan tajam. Rambutnya yang panjang
jatuh menutupi keningnya.
"Tujuh puluh dua tahun yang lalu," aku mendesak.
Dia mengembangkan senyum getir. "Heiaku belum setua
itu!" katanya. "Umurku baru lima puluh tujuh."
"Berarti... kau bukan si Hantu?" Zeke bertanya dengan ragu.
Emile menggelengkan kepala dan menghela napas. "Aku tidak
tahu-menahu soal hantu ini, anak muda. Aku cuma orang tanpa rumah
yang berusaha melindungi tempat berteduhku ini."
Kami bertiga menatapnya sambil menerka-nerka apakah dia
bohong atau tidak. Akhirnya aku menyimpulkan bahwa dia berkata
apa adanya. "Jadi, selama ini kau tinggal di bawah gedung sekolah?"
tanyaku dengan lembut. "Dari mana kau tahu tentang ruangan di
bawah sini?"
"Ayahku bekerja selama tiga puluh tahun di sini," jawab Emile.
"Dia sering mengajakku kemari waktu aku masih kecil. Waktu aku
kehilangan apartemenku di kota, aku teringat tempat ini. Dan sejak itu
aku tinggal di sini. Sudah hampir enam bulan sekarang."
Matanya kembali menyorot marah. Dia menepis rambut yang
menutupi keningnya, dan sekali lagi dia pasang tampang kencang.
"Tapi kalian merusak semuanya," dia berkata dengan ketus. "Gara-
gara kalian semuanya jadi rusak."
Sekonyong-konyong dia melangkah maju, dan menghampiri
kami dengan roman muka yang menakutkan.
Aku langsung mundur. "Aapa yang akan kaulakukan pada
kami?"
Chapter 23




"SEMUANYA jadi kacau. Semuanya," ulangnya sambil
berjalan ke arah kami.
"Tunggu dulu!" aku berseru sambil mengangkat tangan untuk
melindungi diri.
Kemudian aku mendengar bunyi itu. Dari arah terowongan.
Bunyi berdentang-dentang.
Aku berpaling kepada Zeke dan Brian. Rupanya mereka juga
mendengarnya.
Pelatarannya! Pelatarannya sedang turun. Kami mendengarnya
dari ujung terowongan.
Sepertinya ide itu muncul berbarengan dalam benak kami
bertiga. Kami harus bisa sampai ke pelataran. Itu satu-satunya jalan
bagi kami untuk meloloskan diri.
"Kalian merusak semuanya," Emile mengulangi. Nada suaranya
tiba-tiba lebih berkesan sedih daripada marah. "Kenapa kalian tidak
menghiraukan semua peringatan yang kuberikan?"
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Zeke, Brian, dan aku
melesat ke pintu. "Oh!" Aku sempat menabrak Emile ketika aku
melewatinya.
Di luar dugaanku, dia tidak berusaha menangkapku atau
mencegahku.
Aku yang pertama menghambur keluar. Aku berlari sekencang
mungkin. Kakiku tetap serasa terbuat dari permen karet, tapi
kupaksakan untuk terus bergerak, selangkah demi selangkah.
Aku tidak menoleh ke belakang. Tapi aku bisa mendengar Zeke
dan Brian tepat di belakangku. Dan kemudian aku mendengar suara
Emile membahana di terowongan: "Kalian merusak semuanya.
Semuanya!"
Apakah Emile sedang mengejar kami?
Aku tidak peduli. Satu-satunya keinginanku adalah mencapai
pelataran pintu kolong dan keluar dari situ!
Dengan kalang-kabut aku menyusuri terowongan yang berliku-
liku. Sepatuku setengah terbenam dalam tanah becek setiap kali
melangkah. Pundakku berkali-kali membentur dinding terowongan
yang kasar, tapi aku tidak mengurangi kecepatan.
Cahaya senterku menari-nari di hadapanku. Aku segera
mengangkatnya ketika pelataran pintu kolong mulai kelihatan.
Napasku tersengal-sengal.
"Hah? Sedang apa kau di sini?" sebuah suara pria berseru.
Ayah Zeke!
Zeke, Brian, dan aku langsung naik ke pelataran.
"Ada apa ini?" tanya Mr. Matthews. "Suara siapa yang saya
dengar tadi?"
"Naik!" aku berkata sambil terengah-engah.
"Bawa kami naik."
Zeke mengulurkan tangan dan menekan tombol. Kali ini
tombolnya bisa digerakkan.
Dengan satu sentakan keras pelataran itu mulai bergerak naik.
Aku memandang ke arah terowongan. Apakah Emile mengikuti
kami?
Tidak. Dia tidak kelihatan.
Dia sama sekali tidak berusaha mengejar.
Aneh, pikirku. Betul-betul aneh.
"Saya mendengar suara laki-laki tadi. Siapa itu?" Mr. Matthews
kembali bertanya.
"Dia tunawisma. Dia tinggal di bawah panggung," jawabku.
Kemudian aku menjelaskan apa yang terjadi, dan bagaimana Emile
mencoba menakut-nakuti kami selama berminggu-minggu.
"Dari mana Ayah tahu bahwa kami ada di bawah sana?" Zeke
bertanya pada ayahnya.
"Seharusnya kau di rumah," Mr. Matthews berkata dengan
tegas. "Kau dihukum. Dan hukumanmu belum selesai. Tapi waktu
Ayah tahu kau tidak ada di rumah, Ayah langsung bisa menebak
bahwa kau pergi ke sekolah untuk menyelidiki panggung ini. Pintu
samping sekolah terbuka. Ayah masuk ke auditorium dan mendengar
pelataran pintu kolong bergerak. Karena itu Ayah memutuskan untuk
menyusul ke bawah."
"Untung saja!" aku berseru. Rasanya Mr. Matthews ingin
kupeluk saja.
Begitu pelatarannya berhenti, kami melangkah ke panggung.
Ayah Zeke segera menelepon polisi. Dia memberitahu mereka bahwa
ada tunawisma yang tinggal di bawah gedung sekolah.
Tidak lama kemudian polisi sudah tiba. Kami memperhatikan
mereka turun lewat pintu kolong, lalu menunggu sampai mereka
membawa Emile ke atas. Tapi waktu mereka naik lagi beberapa menit
setelah itu, mereka muncul tanpa Emile.
"Tidak ada siapa-siapa di bawah sana," salah satu petugas
melaporkan. Dia membuka helm dan menggaruk-garuk kepala. "Kami
hanya menemukan tempat tidur dan perabotan tua."
"Bagaimana dengan makanannya? Buku-bukunya?" tanyaku.
"Semuanya sudah diangkut," si petugas menyahut. "Sepertinya
dia pergi terburu-buru sekali. Pintu ruang bawah tanah juga masih
terbuka."
Setelah para petugas kembali ke kantor polisi, Brian
mengucapkan selamat malam dan meninggalkan auditorium. Aku
diantar pulang oleh ayah Zeke.
Aku berpaling kepada Zeke. "Nah, sekarang kita sudah tahu
siapa hantu itu," ujarku. Aku merasa agak sedih. "Ternyata cuma laki-
laki malang yang tidak punya rumah. Bukan hantu sungguhan
berumur tujuh puluh dua tahun yang sudah gentayangan sejak sekolah
ini dibangun."
"Yeah, aku juga agak kecewa," sahut Zeke sambil mengerutkan
kening. "Sebenarnya aku kepingin sekali bertemu hantu sungguhan."
Roman mukanya bertambah cerah. "Tapi paling tidak Ms. Walker
akan mempercayaiku sekarang. Dan peranku dalam sandiwara kita
akan kudapatkan lagi."
Sandiwara kita. Aku hampir lupa tentang sandiwara itu.
Zeke benar, pikirku dengan gembira. Dia akan mendapatkan
kembali perannya. Semuanya bakal beres.
Si Hantu sudah pergi.
Sekarang kita bisa bernapas lega, pikirku. Sekarang kita bisa
bersenang-senang dan menampilkan pertunjukan yang hebat.
Wah. Ternyata aku salah besar!














Chapter 24




PADA malam menjelang pertunjukan, aku duduk di ruang ganti
cewek sambil mengoleskan makeup panggung ke wajahku. Aku
belum pernah memakai makeup sebanyak itu, dan kurasa hasilnya
tidak seperti yang diharapkan. Sebenarnya aku memang tidak mau
pakai makeup tebal-tebal.
Tapi Ms. Walker berkeras bahwa kami harus memakainya.
Anak-anak cowok juga. Katanya, untuk mengurangi pantulan dari
lampu-lampu sorot, supaya wajah kami tidak terlalu mengilap di atas
panggung.
Suasana di ruang ganti cewek kacau balau. Semuanya sibuk
mengenakan kostum dan mengoleskan makeup. Lisa Rego dan Gia
Bentleydua anak kelas lima yang cuma dapat peran figuranterus
berdiri di depan cermin sambil ketawa cekikikan dan mengagumi diri
sendiri.
Ketika aku meninggalkan ruang ganti, manajer panggung sudah
berseru, "Perhatian! Semuanya siap di tempat masing-masing!"
Aku mendadak gugup sekali. Tenang saja, Brooke, ujarku
dalam hati. Ingat, kau seharusnya senang karena bisa tampil di sini.
Aku keluar dari ruang ganti, menyusuri lorong, memasuki
auditorium lewat pintu panggung, lalu mengambil tempat di pinggir.
Seseorang menepuk pundakku, dan aku langsung tersentak kaget.
Aduh, gugupnya minta ampun deh!
Aku segera menengok. Ternyata aku berhadap-hadapan dengan
si Hantu!
Aku tahu orang di balik topeng dan kostum itu cuma Zeke, tapi
aku tetap tertegun. "Zeke! Kau kelihatan seperti hantu sungguhan!
Mantap sekali!" aku berkata padanya.
Zeke tidak menyahut. Dia membungkuk dengan sikap formal,
lalu bergegas untuk mengambil tempat.
Tirai panggung masih tertutup. Tapi aku bisa mendengar suara
para penonton di baliknya. Wow! Tak ada satu kursi pun yang kosong,
aku menyadari. Tiba-tiba aku mulai gugup lagi.
Lampu-lampu mulai meredup. Para penonton langsung terdiam.
Lampu-lampu panggung dinyalakan. Musik mulai mengalun.
Ayo, Brooke, aku berkata dalam hati. Sikat saja!
Sandiwara kami berjalan lancar sampai akhir babak pertama.
Semua pemain tampil dengan baik hingga saat itu.
Ketika tirai membuka dan para penonton bertepuk tangan untuk
menghargai dekor, aku melangkah ke panggung bersama Corey. Dan
aku sama sekali lupa pada demam panggungku.
"Waspadalah, anakku," Corey mewanti-wanti, sesuai perannya
sebagai ayahku. "Ada makhluk misterius yang tinggal di bawah
gedung teater ini, hantu berwajah mengerikan."
"Aku tidak percaya, Ayah!" aku menyahut sebagai Esmerelda.
"Ayah hanya ingin terus mengaturku. Ayah menganggap aku masih
kecil!"
Para penonton tampaknya menikmati pertunjukan kami. Mereka
tertawa jika ada sesuatu yang lucu dan beberapa kali bertepuk tangan.
Wah, asyik juga, pikirku. Aku senang tidak merasa gugup. Aku
menikmati setiap menit keberadaanku di atas panggung.
Dan menjelang akhir babak pertama, aku menanti adegan
puncak sandiwara kami. Kabut dry ice tampak melayang-layang di
panggung ditembus sorot lampu berwarna biru, sehingga berkesan
menyeramkan.
Aku mendengar pelataran pintu kolong berdentang-dentang.
Dan aku tahu bahwa Zeke, dengan kostum hantunya, sedang naik dari
bawah panggung.
Beberapa detik lagi si Hantu akan muncul di tengah-tengah
kabut biru.
Para penonton bakal kagum, pikirku sambil memperhatikan
kabut bergulung-gulung di sekeliling gaunku yang panjang dan
berwarna kuning.
"Hantu, kaukah itu?" aku memanggil. "Engkau datang untuk
menemuiku?"
Topeng si Hantu yang berwarna biru-hijau mulai tampak .di
tengah kabut. Menyusul pundaknya yang terbungkus jubah hitam.
Para penonton menahan napas lalu bertepuk tangan dengan
meriah ketika si Hantu muncul di hadapan mereka. Dia berdiri kaku di
tengah kabut, dengan jubah melambai-lambai.
Dan kemudian dia melangkah menghampiri, pelan-pelan, penuh
wibawa.
"Oh, Hantu! Akhirnya kita bisa bertemu!" aku berseru dengan
segenap perasaan yang dapat kucurahkan. "Sudah begitu lama aku
mendambakan saat ini!"
Aku meraih tangannya yang terbungkus sarung tangan, dan
mengajaknya menembus kabut ke bagian depan panggung.
Sebuah lampu berwarna putih menyorot kami.
Aku berpaling dan menghadap ke arah si Hantu. Aku menatap
kedua mata di balik topeng berwarna biru-hijau itu.
Dan seketika aku sadar bahwa itu bukan Zeke!





Chapter 25




AKU hendak berteriak. Tapi dia meremas tanganku keras-keras.
Matanya menatap mataku dengan tajam. Pandangannya seakan-
akan memohon agar aku tidak berkata apa-apa, agar aku tidak
membuka kedoknya.
Siapa dia? aku bertanya-tanya. Sepertinya aku sudah pernah
melihatnya.
Aku kembali berpaling kepada para penonton. Suasananya
hening. Semua orang menungguku berbicara.
Aku menarik napas panjang, lalu mengucapkan kalimat
Esmerelda yang berikut. "Oh, Hantu, mengapa engkau gentayangan di
gedung teater ini? Ceritakanlah kisahmu. Aku berjanji takkan takut."
Si Hantu mengibaskan jubahnya. Matanya tetap menatap
mataku. Tangannya yang terbungkus sarung tangan tetap meremas
tanganku, seakan-akan hendak mencegahku melarikan diri.
"Lebih dari tujuh puluh tahun aku hidup di bawah gedung teater
ini," dia berkata. "Kisahku sungguh sedih. Mungkin bahkan bisa
disebut tragis, Esmerelda-ku yang cantik."
"Teruskanlah!" seruku.
Siapa dia? aku bertanya dalam hati. Siapa?
"Aku terpilih menjadi bintang dalam sebuah sandiwara," si
Hantu mengungkapkan. "Sebuah sandiwara di gedung teater ini.
Malam itu seharusnya malam paling mengesankan dalam hidupku."
Dia terdiam agak lama dan menarik napas panjang.
Jantungku berdegup-degup. Ucapannya tidak sesuai dengan
yang tertera di naskah, aku menyadari. Kata-kata itu tidak ada di
naskah kami.
Apa maksudnya?
"Namun malam kejayaanku tak pernah tiba!" si Hantu
melanjutkan, masih sambil menggenggam tanganku erat-erat. "Sebab,
Esmerelda tersayang, satu jam sebelum pertunjukan dimulai, aku
terjatuh. Aku terempas dan menemui ajalku!"
Aku menahan napas. Dia menunjuk pintu kolong.
Sekonyong-konyong aku tahu siapa dia. Dialah anak laki-laki
yang menghilang tujuh puluh dua tahun yang lalu. Anak laki-laki yang
seharusnya berperan sebagai si Hantu. Tapi dia menghilang dan tak
pernah ditemukan lagi.
Dan sekarang dia berdiri di sampingku, di atas panggung yang
sama. Dan dia menjelaskan bagaimana dia menghilang, dan kenapa
sandiwara itu tak pernah dipentaskan.
"Di situlah!" dia berseru sambil menunjuk lubang di lantai
panggung. "Di situlah aku terjatuh. Di situ! Aku terempas sampai
tewas. Aku menjadi hantu sungguhan. Dan sejak itu aku menunggu di
bawah sana, menunggu dan menunggu. Mengharapkan malam seperti
ini, di mana aku akhirnya bisa memainkan peranku yang paling
besar!"
Begitu dia selesai bicara, para penonton langsung bertepuk-
tangan dan bersorak-sorai.
Mereka pikir ini memang bagian dari sandiwara, kataku dalam
hati. Mereka tidak menyadari kepedihan di balik ucapannya itu.
Mereka tidak tahu bahwa dia mengungkapkan kisah nyata kepada
mereka.
Si Hantu membungkuk rendah-rendah. Tepuk tangan semakin
membahana.
Kami berdua diselubungi kabut.
Siapa dia? Siapa?
Pertanyaan itu terus berkumandang dalam benakku.
Aku harus mendapatkan jawabannya. Aku harus tahu siapa si
Hantu sesungguhnya.
Ketika dia kembali berdiri tegak, aku melepaskan tanganku dari
genggamannya.
Lalu aku meraih ke atasdan merenggut topengnya!


























Chapter 26




SAMBIL memicingkan mata aku memandang ke kabut biru
yang tebal. Aku betul-betul penasaran. Namun sekilas mataku silau
karena cahaya lampu sorot yang terang benderang, sehingga aku tidak
bisa melihat apa-apa.
Seketika si Hantu menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
Aku berusaha menarik tangannya.
"Jangan!" dia memekik. "Jangan!"
Dia mundur sambil terhuyung-huyung, menjauhiku.
Kakinya tersandung, dan dia kehilangan keseimbangan.
"Jangan! Jangan!" teriaknya.
Dan kemudian dia terjatuh ke belakang.
Ke lubang pintu kolong yang menganga.
Dan dia lenyap ditelan kabut biru yang bergulung-gulung.
Aku mendengar jeritannya saat dia melayang ke bawah.
Lalu hening.
Keheningan yang membuat bulu kudukku berdiri.
Para penonton berdiri serempak dan bertepuk tangan dengan
meriah. "Bravo! Bravo!" mereka berseru-seru.
Mereka pikir semuanya bagian dari sandiwara kami.
Tapi aku tahu itu tidak benar. Aku tahu bahwa si Hantu
akhirnya memperlihatkan diri, setelah menunggu tujuh puluh dua
tahun. Bahwa dia akhimya memperoleh kesempatan untuk tampil di
atas panggung.
Dan bahwa dia sekali lagi menemui ajalnya.
Ketika tirai menutup dan meredam suara para penonton, aku
berdiri di tepi lubang di lantai dan menutupi wajahku dengan kedua
tangan.
Aku tidak sanggup bicara. Aku tidak sanggup bergerak.
Aku memandang ke dalam lubang di lantai, namun yang terlihat
hanya kegelapan yang hitam pekat.
Lalu, sambil menoleh, aku melihat Zeke berlari
menghampiriku. Dia mengenakan jeans dan T-shirt putih. Dia tampak
bingung.
"Zeke!" aku berseru.
"Oh. Kepalaku dipukul orang," katanya sambil menggosok-
gosok kepala. "Aku sempat pingsan." Kemudian dia menatapku.
"Brooke, kau tidak apa-apa? Apakah?"
"Si Hantu!" seruku. "Dia yang memainkan peranmu tadi, Zeke.
Sekarang dia adadi bawah sana." Aku menunjuk pintu kolong yang
terbuka. "Kita harus mencarinya!"
Aku menginjak tuas di lantai. Serta merta terdengar bunyi
berdentang dan berderak. Pelatarannya muncul dari kegelapan. Zeke
dan aku segera naik.
Kemudian kami turun, ke ruangan gelap jauh di bawah
panggung.
Setiap sudut kami periksa. Tapi kami tidak berhasil
menemukannya.
Kami tidak menemukan topengnya. Kami tidak menemukan
kostumnya. Kami tidak menemukan apa pun.
Entah kenapa, aku memang sudah menduganya. Aku sudah tahu
bahwa kami takkan pernah lagi bertemu dengannya.
"Hebat, anak-anak! Hebat sekali!" Ms. Walker berseru ketika
kami turun dari panggung. "Hantu, saya suka kalimat-kalimat yang
kautambahkan tadi! Bagus sekali! Nanti kita ketemu lagi di pesta
untuk para pemain!"
Zeke dan aku menuju ke ruang ganti untuk berganti pakaian.
Tapi kami diserbu oleh orang-orang yang ingin mengucapkan selamat
dan memuji penampilan kami.
Sandiwara kami sukses besar!
Aku mencari Brian. Aku ingin memberitahu dia tentang si
Hantu. Tapi aku tidak melihatnya di tengah kerumunan orangtua dan
teman-teman yang sedang bergembira ria.
"Ayokita pergi. saja!" seru Zeke. Dia meraih tanganku dan
menarikku ke lorong di luar auditorium.
"Wow! Kita jadi terkenal!" ujarku. Aku capek dan senang, dan
bingung sekaligus.
"Kita ambil mantel, ganti bajunya di rumah saja," Zeke
mengusulkan. "Sekalian kita pikir-pikir siapa yang menggantikan
tempatku tadi. Kita ketemu lagi di rumahku nanti, terus berangkat
barengan ke tempat pesta."
"Oke," kataku. "Tapi kita harus buru-buru. Orangtuaku pasti
sudah tak sabar memuji penampilanku."
Suara tawa dan canda ria dari auditorium mengikuti kami ketika
kami menuju ke locker.
"Hei" Aku berhenti di depan lockerku. "Lihat, Zeke
pintunya terbuka. Padahal tadi sudah kukunci."
"Aneh," Zeke bergumam.
Sebuah buku jatuh ke lantai ketika pintu lockerku kutarik.
Aku membungkuk untuk memungutnya. Buku itu ternyata
sudah tua. Sampulnya yang cokelat tampak lusuh dan berlapis debu.
Aku mengamatinya di bawah cahaya lampu lorong yang redup.
"Wah, ini buku tahunan yang sudah tua," aku berkata kepada
Zeke. "Dari sekolah ini. Woods Mill. Tapi dari tahun 1920-an."
"Hah? Bagaimana buku ini bisa masuk ke locker-mu?" Zeke
bertanya dengan bingung.
Tiba-tiba aku melihat secarik kertas yang terselip di antara dua
halaman.
Sambil menggenggam buku tua yang berat itu dengan kedua
tangan, aku membuka halaman yang ditandai oleh kertas tadi.
"Wow!" seru Zeke.
Kami melihat artikel buku tahunan mengenai sandiwara yang
baru saja selesai kami tampilkan. "The Phantom Akan Naik Pentas di
Musim Semi," begitu bunyi judulnya.
"Ini pasti ditulis pada awal tahun itu," kataku. "Kita tahu
sandiwara ini belum pernah dipentaskan. Kita tahu apa yang terjadi
waktu itu."
"Coba bergeser ke tempat yang lebih terang," ujar Zeke sambil
menarikku ke bawah lampu. "Biar foto-fotonya kelihatan."
Kami menatap foto-foto kecil yang memenuhi dua halaman.
Dan kemudian kami melihatnya.
Foto hitam-putih yang kabur dari anak laki-laki yang
mendapatkan peran utama, anak laki-laki yang seharusnya tampil
sebagai si Hantu. Anak laki-laki yang menghilang sebelum
pertunjukan.
Anak itu adalah Brian.END

Anda mungkin juga menyukai