Anda di halaman 1dari 7

Nama : Taufik Nurhidayatulloh

NPM : 170410120022
Jurusan : Ilmu Pemerintahan
Dosen : Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjajaran
Pembahasan : Eksistensi Ketetapan MPR, Perkembangan Perppu dalam Hierarki
Perundang-
Undangan, Peraturan dan Keputusan Presiden, Posisi Perturan Desa dalam
UU No. 10 tahun 2004.

Perkembangan Hierarki Perundang-undangan di Indonesia

A. Eksistensi Ketetapan MPR
Majelis Permusyawarahan Rakyat (MPR) yang merupakan salah satu lembaga legislatif
bikameral
1
dalam perkembangannya mengalami perubahan baik dalam kedudukan serta
kewenangan pasca amandemen. Bentuk putusan yang bersifat penetapan (Beschikking)
yang biasa dikenal sebagai Tap MPR sebagai produk hukum yang dihasilkan MPR
2
pun juga
mengalami perubahan dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Seperti yang
dijabarkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 pada masa sebelum amandemen, kedaulatan
rakyat dijalankan secara penuh oleh MPR. Maka kemudian Tap MPR sebelum amandemen
berada dibawah UUD 1945 seperti tergambar pada Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 dan Tap
MPR RI No. III/MPR/2000. Namun, setelah dilakukan amandemen ke-4 yang secara
signifikan merubah kedudukan MPR dari lembaga tertinggi menjadi lembaga tinggi negara
sejajar dengan lembaga kepresidenan, DPR, DPD, MA, BPK, dan MK maka kewenangan MPR
dalam mengeluarkan Tap MPR telah ditiadakan
3
. Maka, pada UU no. 10 tahun 2004 pasal 7
ayat 1 Tap MPR tidak dimasukan kedalam hierarki peraturan perundang-undangan.
Meskipun demikian, jika kita mengacu kepada Undang-Undang Dasar Pasal 1 aturan
peralihan UUD 1945 yang menjelaskan bahwa Segala peraturan perundang-undangan yang
ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar

ini". Selain itu merunut pasal 1 aturan tambahan yang menyatakan bahwa Majelis
permusyawaratan Rakyat diharuskan melakukan peninjauan terhadap materi dan status
hukum ketetapan MPR ataupun MPRS yang kemudian mendasari lahirnya Tap MPR Nomor
1/MPR/2003 yang artinya bahwa Tap MPR masih berlaku walaupun kewenangannya sudah
tidak dimiliki. Dalam Tap MPR Nomor 1/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan
status hukum ketetapan MPRS dan MPR RI tahun 1960-2002 yang lahir karena perubahan
kedudukan serta fungsi lembaga negara, maka ada 6 kategori status hukum
4
Tap MPRS/MPR
yaitu :
1. Tap MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlakuS
2. Tap MPR yang dinyatakan tetap berlaku
3. Tap MPR yang berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004
4. Tap MPR yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya UU yang mengatuur substansi
yang sama
5. Tap MPR tentang tata tertib MPR RI yang masih berlaku sampai ditetapkan peraturan tata
tertib MPR yang baru
6. Tap MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut karena bersifat einmalig
Berangkat dari pasal 1 aturan peralihan, pasal 1 aturan tambahan UUD 1945 dan ditambah
dengan adanya beberapa Tap MPR yang masih berlaku seperti Tap MPRS Nomor
XVI/MPRS/1966 mengenai pembubaran partai komunis Indonesia dan sebagai organisasi
terlarang diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia bagi partai komunis Indonesia juga
larangan kegiatan untuk menyebarkan dan mengembangkan faham atau ajaran
komuniks/Marxisme Leninisme dan Tap MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi
dan Rangka Demokrasi maka dipandang perlu adanya landasan hukum yang kuat dalam
menyelenggarakan Tap MPR yang masih dijalankan hingga sekarang. Maka kemudian itulah
yang melatarbelakangi munculnya Tap MPR pada UU Nomor 12 tahun 2011 mengenai
hierarki peraturan perundang-undangan. Penulis beranggapan bahwa Tap MPR sudah
seharusnya mempunyai posisi dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagai
penegasan kekuatan hukumnya. Kemudian jika dipertanyakan mengenai kemungkinan

adanya Tap yang bertentangan dengan UU sesungguhnya MK memiliki kewenangan untuk
mengujinya.

1
Langi, Fitri Meilany. 2013. "Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Dalam Perundang-Undangan di Indonesia."
Lex Administratum 1.

2
Pasal 3 UUD 1945 sebelum amandemen
3
Saf'at, Muchamad Ali. 2013. Kedudukan Ketetapan Perundang-undangan di Indonesia. Malang, Februari.
4
Loc.cit.

B. Perkembangan Peraturan Pemerintah Pengganti Perundang-Undangan
Jika kita menganalisis mengenai Peraturan pengganti perundang-undangan atau yang biasa
disebut dengan Perppu dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sejak
berlakunya Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004,
hingga Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Perppu dinilai sejajar dengan Undang-
Undang dikarenakan Perppu merupakan salah satu peraturan perundang-undangan dalam
sistem norma hukum negara Republik Indonesia yang dari segi isinya ditetapkan karena ada
kegentingan memaksa
1
. Menjadi sangat subjektif ketika berbicara mengenai kegentingan
memaksa, maka dalam teori-teori yang berkaitan dengan hukum tata negara darurat
disebutkan bahwa kegentingan memaksa yang dimaksud dalam Pasal 22 UUD 1945 lebih
menekankan pada aspek kebutuhan hukum yang bersifat mendesak atau urgensi yang
terkait dengan waktu yang terbatas. Setidaknya terdapat tida unsur penting yang dapat
menimbulkan suatu kegentingan memaksa yaitu
2
:
1. Unsur ancaman yang membahayakan (dangerous threat)
2. Unsur kebutuhan yang mengharuskan (reasonable necessetity), dan/atau
3. Unsur keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia
Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan
refleksi dari unsur ancaman yang membahayakan dimana dalam Penjelasan Umumnya
menegaskan bahwa penggunaan Perppu untuk mengatur pemberantasan tindak pidana
terorisme didasarkan pertimbangan bahwa terjadinya terorisme di berbagai tempat telah
menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil serta menimbulkan ketidakamanan
bagi masyarakat, sehingga mendesak untuk dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang guna segera dapat diciptakan suasana yang kondusif bagi pemeliharaan

ketertiban dan keamanan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip hukum
3
. Sedangkan untuk
contoh Perppu yang muncul karena dilatarbelakangi oleh unsur kebutuhan yang
mengharuskan (reasonable necessity) adalah Perppu Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, dimana
kebijakan Pemerintah Arab Saudi yang menetapkan bahwa mulai tahun 1430 Hijriyah
jemaah haji dari seluruh negara (termasuk Indonesia) harus menggunakan paspor biasa
(ordinary passport) yang berlaku secara internasional dijadikan sebagai ukuran kegentingan
yang memaksa, sehingga Pemerintah Indonesia perlu melakukan upaya yang bersifat
segera untuk menjamin tersedianya paspor dimaksud agar penyelenggaraan ibadah haji
tetap dapat dilaksanakan
4
. Adapun contoh Perppu yang dilatarbelakangi oleh unsur
keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2006
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, yang mengatur bahwa Anggota KPU yang diangkat berdasarkan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1999 tentang Pemilihan Umum dan yang telah disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2003 tentang Pemilihan. Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tetap melaksanakan tugasnya
sampai dengan terbentuknya penyelenggara pemilihan umum yang baru. Hal ini mengingat
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sedang mempersiapkan Rancangan Undang-
Undang tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum untuk menggantikan ketentuan yang
saat ini berlaku yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Presiden berpendapat
syarat hal ihwal kegentingan yang memaksa telah terpenuhi untuk menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
5
. Namun dalam Tap MPR nomor
III/MPR/2000 posisi Perppu tidak lagi disandingkan dengan UU namun berada dibawah
Undang-Undang. Namun dalam prespektif penulis Perppu memang sudah seharusnya
disandingkan dengan UU karena kedudukannya yang sama.

1
Febriansyah, Reza Fikri. 2009. Eksistensi dan Prospek Pengaturan Perppu Dalam Sistem Norma Hukum
Negara Republik Indonesia. Jakarta, Wednesday December.
2
Dikutip oleh Fikri dalam Hukum Tata Negara Darurat, Edisi ke-1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007,
hlm. 3
3
Febriansyah. Reza Fikri, Op.cit.
4
Febriansyah. Reza Fikri, Op.cit

5
Febriansyah. Reza Fikri, Op.cit
C. Antara Keputusan Presiden dan Peraturan Presiden
Seperti kita ketahui bersama dalam Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966 keputusan presiden
masuk kedalam hierarki peraturan perundang-undangan dibawah peraturan pemerintah.
Kemudian pada Tap MPR Nomor III/MPR/2000 juga dapat dilihat masih ada posisi
keputusan presiden dalam hierarki. Namun dalam pasal 7 ayat 1 UU Nomor 10 tahun 2004
keputusan presiden berganti menjadi peraturan presiden dan berlaku hingga UU Nomor 12
Tahun 2011. Jika kita analisis bahwa perbedaan dasar diantara keputusan dan peraturan
adalah sifatnya, jika keputusan (beshikking) bersifat indivisual, kongkret, dan berlaku sekali
selesai (enmahlig) sedangkan suatu peraturan (regels) selalu bersifat umum, abstrak, dan
berlaku secara terus menerus (dauerhafig)
1
. Maka dapat kita simpulkan bahwa keduanya
berbeda, keputusan presiden merupakan norma hukum yang bersifat kongkret, individual,
dan sekali selesai seperti Keputusan Presiden mengani pengangkatan dan pemberhentian
sedangkan peraturan Presiden adalah norma hukum yang bersifat abstrak, umum, dan terus
menerus dampaknya dapat dirasakan misalnya Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2010
mengenai persetujuan perdagangan barang ASEAN. Namun ada keputusan presiden yang
masih memiliki kekuatan hukum hingga hari ini yaitu Keppres No. 63 Tahun 2004 tentang
Pengamanan Objek Vital Nasional, maka berdasarkan pasal 100 UU No. 12 Tahun 2011
mengenai pembentukan peraturan perundang-Undangan Keppres tersebut harus diakui
sebagai peraturan. Dalam hierarki perundangan-undangan yang mengacu pada UU Nomor
12 Tahun 2011 meskipun kepres tidak dicantumkan namun masih tetap berlaku. Menurut
hemat penulis pencantuman peraturan presiden dalam hierarki sudahlah ideal karena
peraturan presiden bersifat umum dan terus menerus.

1
Hadi, Ilman. 2014. Perbedaan Keputusan Presiden dan Peraturan Presiden. Jakarta,
Tuesday September.




D. Posisi Peraturan Desa Pada Pasal 7 ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2004

Ketika kita membahas posisi desa dalam hierarki perundan-undangan di Indonesia tidak
terlepas dari UU Nomor 10 tahun 2004 pasal 7 ayat 1 yang memunculkan peraturan daerah
dibawah peraturan presiden. Lebih lanjut dalam ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2004
menerangkan bahwa Peraturan Daerah yang dimaksud pada ayat 1 huruf e meliputi:
a. Peraturan Daerah propinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah propinsi bersama
dengan Gubernur
b. Peraturan Daerah kabupaten/ Kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
Kabupaten/ Kota bersama Bupati/ Walikota
c. Peraturan Desa/ peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desan atau
nama lainnya bersama dengan kepada desa atau nama lainnya.
Jelaslah dalam UU No. 10 Tahun 2004 peraturan desa merupakan salah satu dari pengertian
peraturan daerah yang keberadaannya ditingkat desa. Walaupun demikian tata cara
pembuatan peraturan desanya harus diatur oleh peraturan daerah Kabupaten/ kota yang
bersangkutan
1
. Namun jika kita meilhat pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004, jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan terdiri dari :
a. Undang-Undang Dasar 1945
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Undnag-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
d. Peratuaran Pemerintah
e. Peraturan presiden
f. Peraturan Daerah Propinsi

g. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota
Dalam hierarki diatas tidak dimunculkan Peraturan Desa. lantas bagaimanakah eksistensi
peraturan desa? Namun, jika kita melihat pasal 8 ayar 1 dan 2 Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 peraturan desa dimunculkan. pasal 8 ayat 1 dan 2 Undang-undang No 12 tahun 2011
diterangkan
2
:
1. jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat 1
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan rakyat, Dewan perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pengawas Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota, Bupati/ Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.
2. Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Dapat kita simpulkan bahwa, pada Undang-undang No. 12 tahun 2011 dipisahkan
eksistensinya sebagai peraturan daerah sebagaimana diatur oleh Undang-undnag No. 10
tahun 2004. Jadi dengan adanya perubahan posisi peraturan desa ini dalam Undang-Undang
No. 12 Tahun 2011 tidak merubah eksistensi dan urgensi peraturan desa sebagai piranti
dalam penyelenggarakan urusan pemerinatahan di tingkat desa
3
.

1
Deliarnoor, Nandang Alamsah. 2011. "Reposisi Peraturan Desa Dalam Kajian Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011." Workshop Paper, Bandung.

2
Loc.cit.
3
Loc.cit.

Anda mungkin juga menyukai