Anda di halaman 1dari 5

Konsep Manusia Ekonomi: Konvensional vs Syariah

Oleh : Rahmat Hanna, S.Pd


(Kali ini penulis akan membandingkan sudut pandang psikologis-konsep manusia
ekonomi, menurut ekonomi konvensional dengan ekonomi Islami, berdasarkan buku
The Future of Economics: An Islamic Perspective oleh Umer Chapra )
Ketika wahyu dianggap tidak mempunyai pengaruh dalam proses
penentuan benar vs salah; disukai vs tak disukai; adil vs tidak adil;
maka sebagai konsekuensinya ( ekonomi konvensional) kemudian HARUS
mencari cara- cara lain untuk menentukannya ( sebagai alternative- nya) .
Pendekatan utilitarianisme hedonis adalah salah satu yang dianjurkan
sebagai alternative tersebut. Ketika alternative ini dipakai, maka
kemudian benar dan salah akan ditentukan atas dasar penghitungan
kriteria kesenangan ( sebagai kebenaran) dan kesusahan ( sebagai
kesalahan) . Pendekatan ini akan membuka jalan pada pengenalan filsafat
filsafat, yakni sosial Darwinisme, Materialisme dan Determinisme.
Pertanyannya, adakah yang salah dengan hal ini?

Filsafat sosial Darwinisme adalah kepanjangan tangan dari prinsip-prinsip
kelangsungan hidup bagi yang lebih baik dan seleksi alam Darwinisme kepada
tatanan masyarakat. Penerapan filsafat tersebut dengan kurang hati-hati
sebenarnya akan membawa kecenderungan pada pen-sah-an konsep kekuatan
adalah kebenaran secara terselubung dalam tatanan hubungan kemanusiaan.
Sehingga hal ini membawa implikasi bahwa kaum miskin dan tertindas adalah pihak
yang salah dan patut disalahkan, karena kemiskinan dan kesengsaraan yang
menimpa diri mereka sendiri (adalah karena mereka kesalahan sendiri sehingga
tidak punya daya saing oleh karenaya patut dengan sendirinya untuk terkalahkan
dalam seleksi alam). Lebih jauh lagi, kaum miskin seharusnya tidak dibantu, karena
jika dibantu, hal ini adalah tindakan melawan mekanisme seleksi alam Darwinisme
itu sendiri dan memperlambat proses evolusi socsal masyarakat. Konsep inilah yang
kemudian membuat kaum kaya dan penguasa lebih bisa menenangkan suara hati
nurani mereka dan merasa tidak bersalah dari tanggung jawab sosial dan moral
untuk menghilangkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan dalam sistem yang ada.
Singkatnya, biarkan saja kaum miskin tambah miskin dan makin tertinggal, atau
bahkan mati sekalipun; dan sama sekali jangan dibantu; karena seperti inilah alam
ini bekerja, yakni mempertahanan hidup bagi mereka yang lebih kuat atau terkuat
saja (dalam asumsi Darwinisme mereka). KAPITALISME
Filsafat Materialisme cenderung untuk meningkatkan kekayaan, kesenangan dan
semua kenikmatan fisik (lahiriah) sebagai tujuan dari usaha manusia. Hal inilah yang
menjadi dasar budaya konsumerisme pada zaman ini, yang cenderung selalu
meningkatkan cara konsumsi masyarakat dan menggandakan tingkat kerakusan
masyarakat untuk mengkonsumsi di atas kemampuan sumber daya yang dimiliki.
Dengan merujuk kepada etos budaya di atas, proporsi ilmu ekonomi konvensional
yang tidak controversial adalah bahwa jumlah besar yang beraneka ragam tentu
lebih baik daripada kekurangan, dan hal ini akan meningkatkan produksi,
memperbanyak harta kekayaan, dan meningkatkankonsumsi barang-barang
kebutuhan pokok. Menjadi sesuatu yang tidak diinginkan bila masyarakat harus
mengorbankan tujuan-tujuan materi mereka demi mengurangi biaya-biaya non-
ekonomi (seperti kegiatan amal sosial, pelestarian lingkungan, dsb) demi produksi
dan konsumsi yang lebih besar dan selanjutnya me-realisasi-kan keadilan dan
keharmonisan social dan masyarakat. EKSPLOITASI
Filsafat Determinisme membawa implikasi bahwa manusia memiliki kontrol yang
lemah terhadap pola tingkah laku mereka. Malahan, tindakan-tindakan yang
dilakukan manusia dianggap sebagai mekanis dan respon atas otomatis terhadap
rangsangan eksternal sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan hewan (Watson
dan Skinner), mental bawah sadar manusia menunjukkan jauh di atas kontrol
individu secara sadar (Freud) atau konflik social ekonomi (Marx). J adi, filsafat
determinisme tidak hanaya meniadakan perbedaan dan keruwetan dalam diri
manusia saja, tetapi sedikit membawa kepada filsafat social Darwinisme guna
menolak tanggung jawab moral dalam tingkah laku manusia. Saat mana suasana
yang dikontrol oleh kebiasaan-kebiasaan setiap setiap individu jauh di atas
kemampuan kontrol mereka, maka orang-orang kaya dan penguasa tak dapat
dipersalahkan atas hal-hal yang menimpa kaum miskin dan orang-orang yang
tertindas. INDIVIDUALIS
Terlihat bahwa semua pendekatan yang dianggap (oleh pendukungnya sebagai)
ilmiah dan rasional di atas sama sekali menurunkan moral dan tidak sesuai dengan
tujuan-tujuan kemanusiaan. Hal ini tentu berbeda dengan sangat kontras dengan
pandangan hidup yang religious, yang menganggap bahwa manusia
bertanggungjawab pada setiap tindakan mereka dan selanjutnya akan
dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan. Dan, sifat dari ekonomi Islami itu sendiri
yang bertujuan pada perlindungan pada al maqasidus syariah.
Dalam bahasa penulis sendiri, maka Ekonomi konvensional secara dasar filsafatnya,
tampak sekali begitu mengutamakan kehidupan yang sangat individualis.
Pengorbanan kepentingan pribadi demi kepentigan masyarakat yang lebih besar
adalah sebuah kesalahan mutlak, karena bertentangan dengan seleksi alam
Darwinisme maupun dua filsafat yang berikutnya di atas. Sebaliknya, ekonomi
Islami, dibentuk atas dasar wahyu dan religious. Manusia dengan pemahaman
ekonomi Islami akan seimbang dalam memenuhi kepentingan individu dan
kepentingan masyarakat. Dalam ekonomi Islami, persaingan dalam kebaikan begitu
didukung, karena dengan demikian akan terjadi perbaikan yang berkesinambungan
dalam masyarakat. Namun demikian, pengorbanan juga bernilai positif, karena
dalam setiap harta yang dimiliki ada hak orang lain yang harus ditunaikan.
Meskipun persaingan, yang juga diperbolehkan dalam ekonomi Islami, ada di
ekonomi konvensional. Namun nilai pengorbanan yang menjadi tujuan kemanusiaan,
yang juga ada dan menjadi sebuah nilai kebaikan dalam ekonomi Islami, sama sekali
tidak ada bahkan tidak menjadi tujuan bagi ekonomi konvensional. Di sinilah letak
kelebihan ekonmi Islami dari sisi keseimbangan antara individu dan sosial.
Pemahaman ini, jika kemudian dilanjutkan pada perbandingan antara ekonomi
konvensional dengan ekonomi Islam, terkait bagaimana pandangan keduanya
terhadap konsep manusia ekonomi: rational-according to conventional economics vs
Islamic rational, dengan mengutip penjelasan dari ibu Sri Mulyani pada Diskusi
Buku the Future of Economics : An Islamic Perspective Mencari
Landscape Baru Perekonomian Indonesia masa Depan, adalah sbb:
Di situ disebutkan kegagalan pasar disebakan asimetric information yang
disebabkan moral Hazard. Sebenarnya, bila orang Islam menjalankan Islam dengan
sesungguhnya pasti tidak akan terjadi asimetric information dan moral hazard
karena orang Islam selalu mengatakan ;walaupun kamu ada di kutub dunia atau di
dalam kamar sendiri, kamu tidak bisa melakukan moral hazard karena ada yang
mengawasi. Karena ada informasi yang lengkap , info lengkap itu dari Tuhan. J adi
ada self built in mechanism di dalam mental yang menyatakan: saya sebetulnya bisa
menipu tapi saya tidak akan menipu. Padahal kalau di dalam ilmu ekonomi
konvensional seseorang kalau diberi opportunity untuk menipu, di pasti menipu.
Itu yang disebut rational behavior according to conventional economics, ini telah
jelas.

Kesimpulan dari penulis atas tulisan di atas adalah sebagai berikut:
1. Konsep benar dan salah dalam peniliaian manusia-ekonomi pada manusia
ekonomi Islami adalah didasarkan pada wahyu (Quran dan hadist; yang mana
berorientasi pada perlindungan maqqasidus as syriah yang menyeimbangkan antara
pemenuhan kepentingan probadi dengan kepentingan masyarakat). Sebaliknya,
konsep benar dan salah pada manusia-ekonomi konvensional adalah filsafat
hedonism, di mana benar dan salah direduksi pada penilaian menurut Darwinisme
social (kebenaran=kekuatan, kekayaan, kekuasaan; dan kesalahan=kemiskinan,
ketertindasan; di mana menurut filsafat ini tidak boleh bagi yang kaya untuk
membantu yang miskin karena itu bertentangan dengan seleksi alam dan evolusi
masyarakat); menurut Materialisme (kebenaran=ekspoitasi sumber daya alam guna
mencapai kenikmatan fisik yang maksimal; kesalahan=aktivitas social non ekonomi,
dan aktivitas yang tidak berdampak langsung pada keuntungan mterial mislakan
pelestarian lingkungan; yang mana ini kemudian membawa pada eksploitasi alam)
serta Determinisme (mirip social Darwinisme yang menolak tanggung jawab moral
dan tingkah laku manusia).
2. Ekonomi konvesional, melalui doktrin, manusia rational-nya menafikkan nilai
moral dan kebaikan dalam diri manusia. Dalam pandangannya, manusia adalah
pribadi yang individualis dan begitu mengutamakan self interest. Malakukan segala
macam cara, walau harus menipu sekalipun, guna mencapai tujuannya. Sehingga
bangunan Corporate Governance yang ada dalam sistem ini dibangun dengan
penilaian awal bahwa sistem tatakelola yang dibangun harus bisa menutup segala
akses agar manusia yang menurut mereka semuanya penuh nafsu dan rasional ini
kemudian bisa dikendalikan dalam sebuah sistem. Mereka tidak mengenal istilah
pendekatan moral untuk mengatur behavior manusia. Sebaliknya, dalam ekonomi
Islami, sistem ini memandang bahwa manusia , selain meiliki potensi kejelekan, juga
memiliki potensi kebaikan,. Sehingga tatakelola yag dibangun dengan dasar ini
kemudian akan membuat sebuah sistem yang juga menutup akses bagi potensi
jahat untuk bisa keluar. Namun, di sisi lain, ekonomi islami yang relijius ini tidak
menafikkan untuk melakukan pendekatan moral untuk mengatur perilaku manusia
karena pada dasarnya mereka juga memiliki potensi positif. (Dan menurut penulis,
inilah yang lebih ideal, sebab jika menutup mata pada pendekatan moral, bahkan
dalam ekonomi yang dibangun atas dasar konvesional pun, para ekonom
konvensional kemudian menghadapi sebuah masalah, sebagai contoh adalah apa
yang tertulis dalam buku Kieso: Intermediate Accounting; sesorang (akuntan)
bahkan, bisa melakukan untuk kegiatan yang melanggar hukum (misalkan korupsi
atau pencucian uang) namun laporan keuangan yang dibuat masih memenuhi
aturan standard akuntansi.)

Anda mungkin juga menyukai