Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PUSAT LISTRIK TENAGA AIR (PLTA)


2.1 Perencanaan Pusat Listrik Tenaga Air
A. Pemilihan Proyek PLTA
Dalam menentukan pilihan proyek PLTA, perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
a) Besarnya kapasitas tiap proyek harus ditentukan sedemikian rupa sehingga
tenaga airnya dapat dimanfaatkan dengan efektif;
b) Penentuan proyek mana yang akan didahulukan pelaksanaannya harus
dilakukan sesudah diadakan pertimbangan terhadap kebutuhan secara
menyeluruh, serta penentuan lokasi yang ekonomis, karena lokasi
penyediaan tenaga listrik harus disesuaikan dengan lokasi kebutuhan
tenaga.
Dalam pemilihan proyek PLTA perlu juga memperhitungkan hal-hal
sebagai berikut:
1. Keadaan aliran air
2. Keadaan geografis, geologis, dll
3. Hubungan antara penyediaan dan kebutuhan tenaga listrik
4. Biaya pembangunan
5. Keuntngan dari pembangkitan tenaga
6. Hubungan dengan pengembangan sungai secara menyeluruh
7. Hubungan antara tenaga yang sudah ada dan rencana penambahan di masa
depan
8. Biaya penggantian tanah dan bangunan yang sudah ada
9. Jangka waktu penyelesaian proyek
10. Jaringan transmisi dan peralatan gardu sehubungan dengan daerah yag
membutuhkan tenaga
11. Pengangkutan dan pembuatan mesin dan alat-alat lainnya.
B. Kapasitas Proyek
Untuk menentukan besarnya kapasitas proyek perlu ditentukan dahulu:
1. Aliran air (debit), Q
2. Tinggi jatuh efektif (head), H
3. Besarnya waduk yang dapat dibangun sesuai keadaan geografisnya.
Dari data-data ini kemudian ditentukan jumlah dan jenis turbin air serta
unit dari generator dan tenaga yang dihasilkan tiap tahun. Perlu pula
dipertimbangkan dan ditentukan lokasi dari proyek, jenis dan dimensi konstruksi
bangunan sipil seperti bendungan, saluran air, dan gedung sentral. Pada pokoknya
perlu dibuat terlebih dahulu beberapa alternatif rencana garis besar untuk dapat
menghitung secara kasar biaya konstruksi dan pembangkitan tenaga, sehingga
dapat ditentukan suatu rencana yang menghasilkan biaya pembangkitan tenaga
yang paling rendah.
Dengan pertimbagan diatas, hal-hal berikut perlu dipenuhi untuk
memperoleh biaya pembangkitan serendah mungkin, yaitu:
1. Tinggi efektif (head) harus mudah diperoleh, jumlah air yang berlimpah
dan debit yang bagus.
2. Letak geografis dan geologi yang baik untuk bendungan, gedung sentral
dan konstruksi lainnya.
3. Material untuk proyek mudah diperoleh diseitar proyek
4. Jalur transportasi pengangkutan bahan bangunan baik
5. Masalah-masalah yang ditimbulkan adanya proyek dapat dipecahkan
6. Biaya untuk transmisi tenaga listrik ke pusat beban yang rendah.
C. Pemilihan Lokasi PLTA
Macam bangunan PLTA berbeda-beda tergantung dari ukuran pembangkit
tenaga yang dipergunakan, bangunan ini biasanya terdiri dari:
1. Tempat penampungan air dan bangunan ambil air seperti bendungan,
waduk, dll
2. Jalan air seperti terowongan tekan, pipa pesat, dll
3. Pusat tenaga seperti gedung pembangkitan dan gardu induk.
Dalam memilih lokasi proyek perlu diperhatikan hal-hal sebagaimana
diuraikan pada subbab sebelumnya. Untuk maksud tersebut setiap lokasi harus
direncanakan suatu peta topologi dengan skala 1 : 1000 atau 1: 2000, kemudian
dengan mempelajari biaya konstruksi dan keandalannya dapat dipilih 1 lokasi
yang paling murah dilihat dari segi pembangunan, pemeliharaan dan operasi
PLTA.
Hal-hal berikut harus diperhatikan untuk: a) pondasi dasar yang baik
apabila tanah pondasinya lemah, maka akan dibutuhkan biaya yang amat besar
untuk pembangunan pondasi yang benar-benar kuat; b) permukaan air yang
rendah pada waktu banjir; c) mesin-mesin dan alat-alat dapat dengan mudah
diangkut; dan d) tanah untuk gedung dan gardu induk dapat diperoleh di sekitar
pryek dengan mudah. Apabila hal-hal diatas dapat terpenuhi, maka lokasi tersebut
dapat dipilih sebagai lokasi pembangunan PLTA yang paling menguntungkan.
D. Jenis-Jenis PLTA
Penggolongan beerdasarkan tinggi terjun yang ada:
1. PLTA jenis terusan air (water way) PLTA yang mempunyai tempat
ambil air (intake) di hulu sungai dan mengalirkan air ke hilir melalui
terusan air dengan kemiringan yang agak kecil. Tenaga listrik yang
dibangkitkan denga cara memanfaatkan tinggi terjun dengan kemiringan
yang kecil (head kecil).
2. PLTA jenis bendungan (dam) PLTA dengan bendungan yang melintang
pada sungai guna menaikkan permukaan air di bagian hulu bendungan.
Tenaga listrik dibangkitkan dengan memanfaatkan tinggi terjun yang
diperoleh antara sebelah hulu dan hilir sungai (H tinggi).
3. PLTA jenis bendungan dan terusan air jenis gabungan dari kedua jenis
PLTA di atas dimana tinggi terjun diperoleh selain dari sudut kemiringan
antara hulu dan hilir sungai juga ditambah dengan menaikkan ketinggian
air dengan cara dibendung, sehingga H menjadi maksimal. Tenaga listrik
dibangkitkan dengan memanfaatkan tinggi terjun yang didapat dari
gabungan dan terusan (H kombinasi).
Penggolongan PLTA berdasarkan aliran air:
1. PLTA jenis aliran sungai langsung (run-off river) PLTA yang
membangkitkan tenaga listrik dengan memanfaatkan kekuatan aliran
sungai itu sendiri secara alamiah (tanpa dibendung).
2. PLTA jenis dengan kolam pengatur (regulating pond) PLTA yang
membangkitkan tenaga listrik dengan cara mengatur aliran sungai setiap
hari atau setiap minggu dengan menggunakan suatu kolam pengatur yang
dibangun melintang sungai, sehingga diharapkan mampu untuk mengatur
pembangkitan tenaga listrik agar sesuai perubahan beban (dengan bantuan
kolam pengatur aliran air ke turbin).
3. PLTA jenis waduk (reservoir) PLTA yang membangkitkan tenaga
listrik dengan cara membangun sebuah bendungan besar yang dibangun
melintang sungai, sehingga terbentuk suatu danau buatan. Air yang
dihimpun pada musim hujan dapat digunakan pada musim kemarau,
sehingga PLTA jenis ini sangat berguna untuk pemakaian sepanjang tahun.
4. PLTA jenis dipompa (pumped storage) PLTA yang membangkitkan
tenaga listrik dengan cara memanfaatkan kelebihan produksi tenaga listrik
pada saat musim hujan atau pada saat tengah malam. Pada waktu itu air di
bagian hilir bendungan dipompa kembali dan disimpan ke dalam waduk
(menggunakan kelebihan tenaga listrik yang ada) untuk dapat
dimanfaatkan esok hari atau saat musim kemarau.

2.2 Debit
A. Curah Hujan
Angin yang mengandung uap air dan naik ke atas karena suhu yang makin
rendah (dingin), kemudian mengembun dan berkumpul membentuk awan.
Kumpulan embun ini bergabung menjadi titik-titik air yang kemudian jatuh ke
tanah menjadi hujan. Jumlah hujan yang jatuh disebut sebagai curah hujan
(precipitation). Salju, badai, dan lainnya yang telah berubah menjadi air termasuk
dalam curah hujan. Sebagian dari curah hujan tadi menghilang karena menguap
atau meresap ke dalam tanah, sebagian lagi mengalir pada permukaan tanah
menuju ke sungai-sungai.
Terdapat korelasi antara jumlah curah hujan dengan aliran sungai, hal ini
dipengaruhi oleh keadaan geografis dari hutan disekitar sungai. Perbandingan
antara curah hujan dan aliran sungai disebut sebagai faktor kedap air/koefisien
pengaliran (run-off coefficient) dalam satuan % dan dilambangkan dengan .
B. Pengukuran Curah Hujan
Curah hujan dinyatakan dengan tingginya air dalam suatu tabung
(biasanya dalam satuan mm). Manual untuk mengukur curah hujan digunakan alat
ukur hujan (rain gauge), yang dikenal ada 2 macam:
1. Alat ukur hujan biasa (manual) digunakan untuk mengukur curah hujan
dalam 1 hari, kurang tepat digunakan untuk mengetahui berapa intensitas
dan lamanya hujan berlangsung (tidak ada indikator/pencatatnya).
2. Alat ukur hujan yang dapat mencatat sendiri sesuai untuk mengukur
intensitas dan lamanya hujan. Alat ini sangat tepat digunakan untuk
pengukuran hujan dengan jangka waktu yang lama di daerah-daerah
pegunungan dimana para pengamat sulit untuk tinggal lama di daerah
tersebut.
C. Aliran Sungai (Debit)
Jumlah air yang mengalir melalui suatu penampang sungai tertentu per
satuan waktu. Debit di sebelah hulu sungai dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain: curah hujan, keadaan geologis (bebatuan bawah tanah), flora
(tumbuhan) dan temperatur.
Debit air selalu berubah dari musim ke musim dan dari hari ke hari.
Kecenderungan karakteristik dan besarnya debit secara kasar dapat diketahui
dengan pengamatan dalam jangka waktu yang lama. Pengukuran debit sungai
sangat penting untuk dapat menentukan tenaga yang akan dihasilkan oleh pusat
listrik tenaga air (rumus daya PLTA). Pengetahuan tentang debit pada waktu
banjir mutlak diperlukan untuk keamanan dalam perencanaan dan pembangunan
PLTA, sehingga sangat diperlukan adanya pengamatan debit banjir untuk jangka
waktu yang lama untuk antisispasinya.
Pada umumnya hanya data-data lebih dari 10 tahun saja yang dapat
dipergunakan untuk usaha perencanaan PLTA, apabila data semacam itu tidak
dapat diperoleh, maka perlu dibuat perkiraan atas dasar data-data lainnya, misal:
data-data aliran yang diukur ditempat lain dengan kondisi yang kurang lebih
lama, demikian pula untuk data curah hujan.
Korelasi antara curah hujan dengan aliran sungai tergantung dari beberapa
faktor pendukung:
1. Sifat menahan air dari tanah (misal: karena adanya pepohonan, keadaan
tanah pada permukaan, dll)
2. Keadaan geologis (kekedapan bebatuan di bawah tanah)
3. Curah hujan (sumber air untuk aliran sungai)
4. Waktu datangnya hujan (kekerapan turun hujan)
D. Lengkung Debit
D1. Hidrograf
Lengkung yang menunjukkan aliran air sungai sehari-hari, diukur pada
suatu titik pengamatan tertentu selama jangka waktu 365 hari dalam 1 tahun. Hari
dinyatakan pada sumbu horisontal dan aliran air pada sumbu vertikal.
D2. Lengkung Kelangsungan Debit
Untuk menyelidiki aliran sungai, maka lengkung debit (duration curve)
harus dibuat berdasarkan hidrograf agar dapat diketahui dengan jelas kondisi dari
aliran sungai tersebut.
Hal ini diperlukan untuk mengetahui aliran sungai yang dapat
dipergunakan dalam 365 hari. Lengkung kelangsungan debit ini merupakan data
dasar yang penting untuk perencanaan suatu PLTA untuk menjamin kelangsungan
operasi PLTA nantinya. Lengkung debit ini berbeda-beda untuk setiap sungai,
bahkan untuk sungai yang sama, lengkungnya berbeda-beda untuk setiap tahun.
Lengkung debit tahunan rata-rata dari aliran sungai dapat diperoleh berdasarkan
lengkung debit selama 10 tahun. Mengingat bahwa besar debit berbeda dari waktu
ke waktu, dari musim ke musim, dan dari tahun ke tahun maka untuk
memudahkan perhitungan sebagai dasar perencanaan dibuatlah model lengkung
debit tahunan rata-rata.
Ada 3 cara untuk membuat model lengkung kelangsungan debit, yaitu:
1. Cara seri
Seluruh data debit harian yang ada di sungai tersebut disusun mulai dari
yang terbesar sampai yang terkecil selama jangka waktu pengambilan data
(misal selama 10 tahun). Model ini kurang memberikan gambaran yang
relevan, misal debit maksimum dan debit minimum hanya terjadi sekali
dalam sekian tahun.
2. Cara paralel
Data debit kronologis dari berbagai hasil pengukuran selama suatu panjang
selang waktu yang sama (harian, mingguan, bulanan, tahunan) masing-
masing dibuat lengkung kelangsungan debit ini dihitung rata-ratanya dan
digambarkan menjadi 1 lengkung kelangsungan debit. Model ini kurang
memberikan gambaran yang sebenarnya karena merupakan hasil
perhitungan rata-rata dari waktu kronologis yang berbeda-beda (tidak
seperiode).
3. Cara paralel seri
Pada debit kronologis dari berbagai hasil pengukuran selama panjang
selang waktu yang sama (harian, mingguan, bulanan, tahunan) terlebih
dahulu diambil harga rata-rata pada waktu kronologis yang sama,
selanjutnya dari harga rata-rata tersebut dibuat model lengkung
kelangsungan debitnya (dideret dari maks ke min). Model ini dipandang
dapat mewakili keadaan yang sebenarnya karena merupakan harga rata-
rata dari waktu kronologis yang sama (seperiode).
D3. Pengukuran Debit Sungai
Debit sungai yang merupakan data pokok untuk perencanaan PLTA harus
diukur secara teliti dan dalam jangka waktu yang sepanjang mungkin (lebih teliti).
Besar debit pada suatu tempat di sungai dapat ditentukan dengan 2 cara, yaitu:
1. Tidak langsung
Diturunkan dari data curah hujan yang turun di suatu darah tangkapan air
(catchment area) selama selang waktu tertentu.
Rumus pendekatan yang dipakai:


Dengan:
Q
r
= debit rata-rata selama selang waktu t (m
3
/dt)
= faktor kedap air/koefisien pengaliran (run off coeffient, %)
R = tinggi curah hujan (m)
S = luas daerah tangkapan hujan (m
2
)
t = selang waktu pengukuran (dt)
V = volume air yang mengalir (m
3
)

2. Langsung
Ada 3 cara langsung pengukuran debit, yaitu:
a. Cara pelampung dan stop watch untuk sungai dengan saluran yang
bentuk penampangnya tidak berubah-ubah dalam jarak yang cukup
panjang, dengan rumus sebagai berikut:


Dengan:
v
t
= kecepatan pelampung selama selang waktu tertentu (m/dt)
s = jarak yang ditempuh suatu pelampung dalam saluran selama
selang waktu tertentu (m)
t = selang waktu yang ditunjukkan stop watch sejak pelampung
melalui titik awal sampai titik akhir pengukuran (dt)
A = luas penampang basah aliran sungai (m
2
)

b. Cara alat ukur kecepatan (velocity meter)
Pada hakekatnya sama dengan rumus pelampung dan stopwatch, hanya
saja disini pengukuran kecepatan vt dilakukan menggunakan alat ukur
kecepatan. Karena velocity meter dapat dicemplugkan ke dalam air,
maka dapat diperoleh data kecepatan air pada berbagai kedalaman. Hal
ini mengingat bahwa kecepatan air pada permukaan cenderung lebih
besar daripada kecepatan pada dasar sungai akibat adanya sifat kohesif
(melekat) air terhadap zat lain (dasar sungai).
Ada beberapa metode sederhana untuk menghitung kecepatan rata-rata
dengan velocity meter, antara lain:



D4. Debit Andalan
Debit andalan adalah debit yang dipakai untuk menentukan kapasitas
perencanaan PLTA. Debit yang secara teknis akan memberikan efisiensi pada
investasi pembangunan prasarana secara optimum, antara dimensi bangunan air
dan mesin elektromekanik dengan sumber daya energi atau volume air seimbang.
Juga debit yang secara ekonomis akan memberikan perbandingan antara manfaat
terhadap biaya (Benefit Cost Ratio) yang paling besar (B/C, max).
Karena manfaat sebanding dengan energi listrik yang dihasilkan dan biaya
sebanding dengan daya yang terpasang maka ini berarti debit ini akan
menghasilkan perbandingan antara energi terhadap daya terpasang yang terbesar
(E/P, max). Daya yang dihasilkan oleh debit andalan dinamakan daya andalan,
dan dapat diperoleh dengan cara optimasi.
Optimasi artinya, mencoba berbagai debit sampai diperoleh perbandingan
antara manfaat terhadap biaya yang terbesar (B/C, max). Biasanya menggunakan
simulasi dengan bantuan komputer untuk mendapatkan debit andalan.

Turbin air
Turbin air reaksi
Prinsip kerja :
Air menekan sudu-sudu kincir hampir tanpa merubah energi potensial yang
dikandungnya menjadi energi kinetik untuk menghasilkan energi listrik (tidak
memukul). Turbin reaksi dibuat sedemikian rupa sehingga rotor turbin berputar
karena tekanan aliran air berdasarkan adanya tinggi terjun air (energi potensial
air). Yang termasuk turbin reaksi berdasarkan arah aliran airnya ada 2 jenis, yaitu:
1. Turbin radial arah aliran air yang menekan sudu-sudu kincir bentuknya
melingkar. Arah aliran air berlawanan dengan arah gerakan sudu jalan.
Contoh : turbin Francis
2. Turbin aksial arah aliran air sejajar poros kincir. Contoh : turbin Kaplan

Pengatur Kecepatan Turbin (Governor)
Apabila beban naik, maka turbin akan berputar lebih lambat, dan
sebaliknya apabila beban turun maka turbin akan berputar lebih cepat. Hal ini
akan berpengaruh pada frekuensi maupun tegangan yang dibangkitkan generator,
karena baik frekuensi maupun tegangan tergantung kepada kecepatan putar poros
generator yang dikopel pada poros turbin berdasarkan persamaan:

(Hz) untuk frekuensi


(Volt) untuk tegangan
Dengan :
n = kecepatan putar rotor generator (rpm)
P = jumlah kutup generator
C = konstanta
= fluks medan generator (Wb)
Hal ini menyebabkan besarnya frekuensi maupun tegangan yang
dihasilkan berbanding lurus dengan kecepatan putar rotor generator atau turbin
(naik/turun). Pada saat kecepatan putar turbin yang tinggi, gaya sentrifugal yang
terjadi akan besar, ini akan dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan pada
generator maupun turbin. Untuk itu diperlukan alat pengatur kecepatan turbin atau
generator, yang biasa disebut sebagai governor. Ada beberapa jenis governor
antara lain: governor mekanik, hidrolik dan elektronik.
Salah satu yang paling umum digunakan adalah governor mekanik, dengan
prinsip kerja sebagai berikut:
- Pada governor mekanikal, alat pendeteksi kecepatan putar adalah bola gila
(fly ball).
- Bola gila ini diputar sebuah motor yang memperoleh pasokan listrik dari
PMG (permanent magnet Generator) yang dipasang pada sumbu generator
utama sekaligus sumbu turbin.
- Frekuensi tegangan PMG sebanding dengan kecepatan putar bola gila

.
- Bila putaran terlalu cepat, maka akibat gaya sentrifugal pentograf akan naik
dan bila terlalu lambat maka akan turun.
- Melalui mekanisme mekanik tertentu (servomotor) gerakan naik/turun
pentograf ini akan diikuti dengan atau dipakai untuk menutup/membuka
sudu-sudu hantar.
- Turbin akan cepat merespon naik turunnya beban sehingga frekuensi dan
tegangan yang dihasilkan generator relatif stabil.

Gejala-Gejala Pada PLTA
1. Gejala Kavitasi (Cavitation)
Permukaan air di sebelah hilir PLTA terletak cukup jauh di bawah garis
ketinggian turbin, akibatnya pada pipa lepas di bawah kincir turbin terjadi
besar tekanan udara yang negatif (jadi ruang hampa). Sesuai dengan sifat
termodinamika air, pada tekanan 1 Atmosfir air akan mendidih pada suhu
100
o
C, namun pada tekanan yang lebih rendah dari 1 Atmosfir, air akan
mendidih di bawah temperatur 100
o
C. Akibatnya pada kondisi tekanan dan
temperatur tertentu akan timbul gelembung-gelembung uap pada permukaan
air di dalam pipa lepas. Gelembung-gelembung ini akan naik ke atas dan
pecah pada bagian atas pipa lepas atau pada bagian bawah sudu-sudu turbin
karena disini tekanan lebih tinggi (sudah 1 Atm). Gelembung-gelembung
yang pecah ini dapat menimbulkan abrasi (pengikisan) pada logam yang
dikenainya (sudu-sudu turbin) disertai bunyi seperti kerikil jatuh pada logam,
yang apabila berlanjut dapat mengakibatkan robeknya sudu-sudu turbin.
Gejala ini paling mencolok pada saat beban rendah karena muka air hilir akan
rendah, sehingga tekanan pada pipa lepas akan semakin negatif (titik didih
semakin rendah).
Cara yang paling umum digunakan untuk mengatasi gejala kavitasi ini adalah
dengan menggunakan peralatan tambahan yang biasa disebut sebagai air
breather (cerobong penyadap udara) untuk menyalurkan uap-uap air tersebut
agar tidak pecah pada sudu-sudu turbin tetapi disalurkan dari pipa lepas
menuju ke udara bebas di luar turbin.

2. Gejala Pukulan Air (Water Hammer)
Bila air mengalir pada suatu pipa, umpama pipa air PAM lalu mendadak
kran/katup ditutup, maka akibat kelembaban air, aliran air tidak dapat
berhenti dengan seketika.
- Akibat menumpuknya air dalam waktu yang singkat, maka tumpukan
massa air akan menyebabkan tekanan pada pipa akan naik.
- Kemudian air tersebut akan terdorong kembali ke belakang dan tekanan
akan menurun.
- Massa air yang terdorong ke belakang ini akan bertemu dengan aliran air
yang baru datang (yang akibat kelembabannya yang berjalan terus),
akibatnya tekanan air naik kembali, kemudian air baru tadi terdorong
balik dan demikian seterusnya sehingga menimbulkan gelembung
berjalan pada pipa.
- Dengan demikian tekanan air akan naik turun secara berkala sampai
akhirnya normal kembali.
- Secara fisik peristiwa ini akan menghasilkan bunyi pukulan air yang
dapat didengar, sehingga peristiwa ini disebut menghasilkan gejala
pukulan air (water hammer).
- Pada pipa yang panjang gejala pukulan air ini dapat tinggi sekali
tekanannya sehingga mampu memecahkan pipa.
- Untuk mencegah kejadian ini terjadi pada saluran pipa atas PLTA saat
beban naik atau turun (kran tutup/buka), maka antara pipa saluran atas
(head race) dan pipa pesat (penstock) diberi tangki pendatar yang
berfungsi untuk : a) melepaskan tekanan yang berlebihan saat beban naik
(kecepatan turbin menurun) atau sama dengan kran tutup; b) mencegah
penurunan tekanan yang berlebihan saat beban turun (kecepatan turbin
naik) atau sama dengan kran buka.

Anda mungkin juga menyukai