Anda di halaman 1dari 19

2.

1 Pengertian Apotik
Apotik adalah tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi
serta perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat (Departemen Kesehatan RI, 2002).
Menurut PP No.51 Tahun 2009, Apotik adalah sarana pelayanan Kefarmasian tempat
dilakukannya praktek kefarmasian oleh Apoteker. Dalam hal ini seorang Apoteker bertanggung
jawab penuh terhadap pengelolaan suatu Apotik. Supaya pelayanan terhadap obat-obatan dalam
masyarakat lebih terjamin baik dalam segi keamanan maupun dalam segi kualitas dan
kuantitasnya.
Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada
pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pekerjaan Kefarmasian yang dilakukan meliputi
pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas
resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional.
2.2 Peraturan dan Perundang-undangan Tentang Apotik/Tenaga Kesehatan
Pada peraturan ini ada beberapa kali mengalami perubahan, yang pertama kali berlaku
adalah perundang-undangan pada zaman Belanda (DVG Regleme) pasal 58 dan seterusnya. Pada
tahun 1963 Pemerintah Indonesia menerbitkan UU No.7 Tahun 1965 mengenai pengelolaan dan
perizinan Apotek dan kemudian peraturan ini disempurnakan oleh PP No. 25 tahun 1980 beserta
petunjuk pelaksanaan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 278 tahun 1981 tentang
persyaratan Apotek, No. 279 tahun 1981 tentang ketentuan dan tatacara pengelolaan Apotek, SK
Menkes RI No. 1332/ Menkes/ SK/ 2002, kemudian peraturan yang dipakai sampai saat ini
adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 pada Tahun 2009.
Berikut peraturan perundang-undangan mengenai Apotik dan Tenaga Teknis
Kefarmasian menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun 2009 :
1. Pasal 33
Tenaga Kefarmasian terdiri atas :
a. Apoteker, dan
b. Tenaga Teknis Kefarmasian
Tenaga Teknis Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari
Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah
Farmasi/Asisten Apoteker.
2. Pasal 34
a. Tenaga Kefarmasian melaksanakan pekerjaan Kefarmasian pada :
Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi berupa Industri Farmasi Obat, Industri Bahan Baku
Obat, Industri Obat Tradisional, Pabrik Kosmetika dan Pabrik lain yang memerlukan
Tenaga Kefarmasian untuk menjalankan tugas dan fungsi produksi serta pengawasan
mutu.
Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi dan alat kesehatan melalui
Pedagang Besar Farmasi, penyalur alat kesehatan, instalasi sediaan farmasi dan alat
kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah
kabupaten/kota, dan/atau
Fasilitas pelayanan kefarmasian melalui praktek di Apotek, instalasi Farmasi Rumah
Sakit, Puskesmas, Klinik, Toko Obat, dan Praktek Bersama.
b. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Peraturan Menteri.
3. Pasal 35
a. Tenaga Kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 harus memiliki keahlian dan
kewenangan dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian.
b. Keahlian dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan
dengan menerapkan Standar Profesi.
c. Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus didasarkan
pada Standar Kefarmasian, dan Standar Prosedur Operasional yang berlaku sesuai
fasilitas kesehatan dimana Pekerjaan Kefarmasian dilakukan.
d. Standar Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
4. Pasal 38
a. Standar pendidikan Tenaga Teknis Kefarmasian harus memenuhi ketentuan perundang-
undangan yang berlaku di bidang pendidikan.
b. Peserta didik Tenaga Teknis Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian harus memiliki Ijazah dari Institusi
Pendidikan sesuai peraturan perundang-undangan.
c. Untuk dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
peserta didik yang telah memiliki ijazah wajib memperoleh rekomendasi dari Apoteker
yang memiliki STRA di tempat yang bersangkutan bekerja.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51, Pasal 5 tahun 2009,
tentang Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian meliputi :
a. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan Sediaan Farmasi;
b. Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi;
c. Pekerjaan Kefarmasian dalam Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi.
d. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan Farmasi.
2.3 Tugas dan Fungsi Apotik
Tugas dan Fungsi Apotik menurut Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980 pasal 2
berbunyi :
1. Tempat Pengabdian Profesi Apoteker atau tenaga teknis kefarmasian yang telah memiliki
Surat Izin Kerja.
2. Sarana Farmasi yang melaksanakan peracikan, perubahan bentuk dan penyerahan obat
ataupun bahan obat.
3. Sarana penyaluran pembekalan farmasi yang harus menyebarkan obat secara luas dan merata
kepada masyarakat.

2.5 Peran dan Fungsi Tenaga Teknis Kefarmasian/Asisten Apoteker di Apotik
Asisten Apoteker yang telah memiliki Surat Izin Kerja (SIK) yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang menjadi salah satu tenaga kefarmasian yang selalu bekerja dibawah pengawasan
seorang Apoteker. Pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh Apoteker dan Asisten Apoteker
di Apotik haruslah sesuai dengan Standar Profesi yang dimilikinya dimana seorang Apoteker dan
Asisten Apoteker dituntut oleh masyarakat/pasien harus bersifat profesional dan ramah.
Tugas Asisten Apoteker menurut keputusan Menteri Kesehatan R.I
No.1332/MenKes/SK/2002 sebagai berikut : Melayani resep dokter sesuai dengan tanggung
jawab dan standar profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat serta melayani
penjualan obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter.
1. Memberi informasi :
a. Berkaitan dengan penggunaan/pemakaian obat yang diserahkan kepada pasien.
b. Penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional atas permintaan masyarakat.
c. Dilakukan dengan benar, jelas, dan mudah dimengerti.
d. Dilakukan sesuai dengan kebutuhan, selektif, etika, bijaksana, dan hati-hati.
2. Informasi yang diberikan kepada pasien sekurang-kurangnya meliputi :
a. Cara pemakaian dan penggunaan obat
b. Cara penyimpanan
c. Jangka waktu pemakaian obat
d. Hal-hal yang perlu dilakukan dan dihindari selama pemakaian obat dan informasi
lain yang diperlukan.
2.6 Pengelolaan Apotik
Pengelolaan Apotik meliputi hal-hal sebagai berikut :
Pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan, dan
penyerahan obat dan bahan obat.
Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan sediaan farmasi lainnya.
Pelayanan farmasi mengenai informasi sediaan farmasi berdasarkan kemampuan dan
kebutuhan masyarakat.
Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya, dan mutu dari
obat dan produk farmasi lainnya.
Dan disamping itu semua produk farmasi yang sudah tidak dapat digunakan lagi dilarang
untuk digunakan (kadaluwarsa) harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau dengan cara yang
telah ditetapkan oleh Badan POM. Pemusnahan ini dilakukan langsung oleh Apoteker dan
dibantu sekurang-kurangnya oleh karyawan Apotik dan wajib dibuat daftar berita acara
pemusnahan.

2.2.3 Perbekalan Apotek
Menurut KepMenKes No. 1332/MenKes/SK/X/2002 bab I pasal 1 Perbekalan farmasi
adalah obat, bahan obat, obat asli Indonesia, alat kesehatan, dan kosmetika. Dari keseluruhan
perbekalan farmasi tersebut, akan dibahas lebih dalam lagi mengenai obat, karena sebagian besar
barang yang terdapat di apotek adalah berupa obat.
Definisi obat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.193/KabB.VII/71 adalah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk
digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan, menghilangkan,
menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada
manusia atau hewan dan memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia.
Pertama kali mendirikan apotek, obat-obatan yang harus ada di apotek adalah obatobat
yang terdapat pada daftar obat esensial. Seiring berjalannya waktu, macam dan jumlah obat yang
dijual akan semakin banyak dan akan dikenal adanya obat fast moving dan slow moving. Untuk
obatobat fast moving, persediaan obat tersebut dalam apotek harus tetap ada dan pemesanan
harus dilakukan secara berkelanjutan dan cukup banyak. Sebaliknya untuk obatobat yang slow
moving persediaan jangan terlalu banyak dan pemesanan dilakukan dalam periode yang lama.
Obatobat yang tersedia dalam apotek terdiri dari beberapa golongan yaitu:

a. Obat bebas
Obat bebas adalah obat yang dapat diperoleh oleh masyarakat tanpa harus
menggunakan resep dokter biasanya dijual bebas dan dapat dibeli di apotek, toko obat,
supermarket atau toko yang menyediakannya. Wadah dan kemasan obat bebas diberi tanda
khusus berupa lingkaran hijau dengan diameter tertentu dengan garis tepi hitam.
Contoh: vitamin B1, vitamin C, vitamin A, multivitamin.






Gambar 2.2 Tanda Obat Bebas
b. Obat bebas terbatas atau obat daftar W (Waarschuwing)
Obat bebas terbatas adalah obat yang dapat dijual pada masyarakat tanpa resep dokter
dengan jumlah tertentu. Pembatasan ini disebabkan karena efek samping yang dapat

ditimbulkan oleh obat ini lebih besar jika dibandingkan obat bebas (jadi dalam menggunakan
obat ini ada batasan-batasannya). Obat ini dapat dibeli di apotek atau toko obat. Wadah dan
kemasannya diberi tanda khusus berupa lingkaran biru tua dengan diameter tertentu dengan
garis tepi hitam. Kemasan obat bebas terbatas harus ada tanda peringatan (P1-P6).



Gambar 2.3 Tanda Obat Bebas Terbatas
Khusus untuk obat bebas terbatas, selain terdapat tanda khusus lingkaran biru, diberi pula tanda
peringatan untuk aturan pakai obat, karena hanya dengan takaran dan kemasan tertentu obat ini
aman digunakan untuk pengobatan sendiri. Tanda peringatan tersebut berupa empat persegi
panjang dengan huruf putih pada dasar hitam yang terdiri dari 6 macam yaitu P No. 1, P No. 2, P
No. 3, P No. 4, P No. 5, dan P No. 6 sebagai berikut :

Gambar 2.4 Tanda Peringatan pada Obat Bebas Terbatas
Apabila menggunakan obat-obatan Golongan Obat Bebas dan Golongan Obat Bebas
Terbatas, hal-hal yang perlu diperhatikan:
Meyakini bahwa obat tersebut telah memiliki izin edar dengan pencantuman nomor
registrasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan atau Departemen Kesehatan.
Kondisi obat apakah masih baik atau sudak rusak, perhatikan tanggal kadaluarsa (masa
berlaku) obat.

Membaca dan mengikuti keterangan atau informasi yang tercantum pada kemasan obat
atau pada brosur / selebaran yang menyertai obat yang berisi tentang
Indikasi (merupakan petunjuk kegunaan obat dalam pengobatan)
Kontra-indikasi (yaitu petunjuk penggunaan obat yang tidak diperbolehkan)
Efek samping (yaitu efek yang timbul, yang bukan efek yang diinginkan)
Dosis obat (takaran pemakaian obat)
Cara penyimpanan obat, dan
Informasi tentang interaksi obat dengan obat lain yang digunakan dan dengan
makanan yang dimakan.

c. Obat keras atau obat daftar G (Gevaarlijk = berbahaya)
Obat keras adalah obat yang boleh diserahkan kepada seseorang berdasarkan resep
dokter, kecuali untuk Obat Wajib Apotek dapat dijual tanpa resep dokter tetapi harus
diserahkan Apoteker dengan pemberian Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE). Wadah
dan kemasan obat keras diberi tanda khusus berupa huruf K tercetak tebal berwarna hitam di
atas lingkaran merah tua dengan garis tepi hitam. Pada kemasan obat keras, industri farmasi
harus mencantumkan tulisan yang menyatakan bahwa obat tersebut hanya boleh diserahkan
dengan resep dokter.
Obat keras merupakan obat yang hanya bisa didapatkan dengan resep dokter. Obat-obat
yang umumnya masuk ke dalam golongan ini antara lain obat jantung, obat darah tinggi/ anti
hipertensi, obat darah rendah/ antihipotensi, obat anti diabetes, hormon, antibiotika
(tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), dan beberapa obat ulkus lambung. Obat golongan ini
hanya dapat diperoleh di apotek dengan resep dokter.

Gambar 2.5 Tanda Obat Keras
d. Obat Wajib Apotek (OWA)
Menurut KepMenKes Nomor 347/MenKes/SK/VII/1990 Obat Wajib Apotek adalah
obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter.
Tugas apoteker di apotek dalam melayani pasien yang memerlukan Obat Wajib Apotek
adalah:
1. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan dalam Obat
Wajib Apotek yang bersangkutan.
2. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.
3. Memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek samping,
dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.
Obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter adalah obat-obat yang sesuai dengan
PerMenKes No. 919/MenKes/Per/X/1993 yaitu :
1. Tidak dikontraindikasikan penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun
dan orang tua di atas 65 tahun.
2. Pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksud tidak memberikan resiko pada kelanjutan
penyakit.
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan.
4. Penggunaannya digunakan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.
5. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dipertanggungjawabkan
untuk pengobatan sendiri.
Pertimbangan Pemerintah dalam pelayanan OWA adalah peningkatan kemampuan
masyarakat dalam pengobatan sendiri untuk mengatasi masalah kesehatan secara tepat, aman
dan rasional.
e. Obat Golongan Narkotika
Obat-obat yang termasuk ke dalam golongan ini bekerja dengan mempengaruhi
susunan syaraf pusat. Obat golongan ini dapat memberikan efek depresi, misalnya morfin
dan opium, atau dapat memberikan efek stimulan, seperti kokain. Menurut Undang-Undang
RI No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika, Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Penggunaannya pada apotek harus
dilaporkan setiap bulan (selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya) ke Dinas
Kesehatan Kota Surabaya dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Jawa
Timur Subdin Farmakmin, BPOM Provinsi Jawa Timur dan arsip apotek.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 pasal 39 ayat 2 apotek hanya
dapat menyerahkan narkotika kepada:
1. Rumah sakit.
2. Puskesmas.
3. Apotek lainnya.
4. Balai pengobatan.
5. Dokter.
6. Pasien.
Sesuai dengan pasal 39 ayat 3 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 maka
penyerahan narkotika kepada pasien harus berdasarkan resep dokter.

Gambar 2.6 Tanda Obat Narkotika
f. Obat Psikotropika
Menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 bab 1 pasal 1, psikotropika adalah zat
atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang bersifat psikotropika melalui
pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang dapat menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku.
Penyerahan psikotropika dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 pasal
14 yaitu bahwa penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dilakukan kepada apotek lainnya,
rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, dan kepada pasien. Seperti halnya
penggunaan obat narkotika, penggunaan obat psikotropikaa\ di apotek juga harus dilaporkan
setiap bulan (selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya) (Hardjono, 2004).
g. Obat Generik
Obat generik adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan Farmakope Indonesia dan
INN (International Non propietary Name) WHO untuk setiap zat berkhasiat yang dikandungnya.
Sesuai dengan PerMenKes Nomor 085/MenKes/Per/I/1989, apotek wajib menyediakan obat
esensial dengan nama generik. Dengan adanya obat generik, maka diharapkan harga obat lebih
terjangkau oleh masyarakat.


h. Obat Paten
Obat Paten adalah obat yang telah dipatenkan oleh suatu pabrik dan biasanya memiliki
harga yang lebih mahal jika dibandingkan dengan obat generik. Harga obat paten lebih mahal
karena obat paten diformulasikan dengan khusus, memiliki biaya promosi yang tinggi, dan
kemasan yang beraneka ragam.
i. Obat tradisional
Obat tradisional seperti jamu juga dapat dijual di sebuah apotek, karena ada sebagian dari
masyarakat tetap percaya bahwa obatobat tradisional lebih manjur jika dibandingkan dengan
obat-obat sintetik, dan juga memiliki efek samping yang lebih minimal.
Obat tradisional yang beredar di Indonesia dikategorikan menjadi 3 golongan, yaitu: jamu,
obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Untuk dapat beredar, jamu, obat herbal terstandar, dan
fitofarmaka harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Menggunakan bahan berkhasiat dan bahan tambahan yang memenuhi persyaratan mutu,
keamanan dan kemanfaatan/khasiat
b. Dibuat sesuai dengan ketentuan tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang baik
atau cara pembuatan obat yang baik yang berlaku.
c. Penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin penggunaan obat
tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka secara tepat, rasional dan aman sesuai
dengan hasil evaluasi.





Jamu Obat Herbal Fitofarmaka
Terstandar
Gambar 2.7 Tanda Obat Tradisional


Di apotek juga menjual alat kesehatan (termometer, tensimeter, timbangan berat badan, kapas,
perban), kosmetik (bedak, sabun, tabir surya, deodoran), dan perbekalan rumah tangga
(pembalut, obat nyamuk, pembersih lantai).

PELAYANAN KEFARMASIAN
Pekerjaan kefarmasian apoteker di apotek merupakan suatu rangkaian kegiatan yang
berdasarkan keilmuan, tanggung jawab dan etik profesi. Resep adalah permintaan tertulis dari
dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat
bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Bagian-bagian Resep
Resep terdiri dari empat bagian utama yaitu : inscriptio, praescriptio, signatura, dan
subscriptio.
1. Inscriptio terdiri dari :
Nama dan alamat dokter, SIP (Surat Ijin Praktek), telepon, jam praktek, serta hari
praktek.
Kota dan tanggal resep tersebut ditulis oleh dokter.
Tanda
R
/, singkatan dari recipe yang berarti harap diambil.
2. Praescriptio terdiri dari :
Nama dan jenis/bahan obat serta jumlahnya
a. Remedium cardinale yaitu obat pokok yang mutlak harus ada dalam resep.
b. Remedium adjuvans yaitu bahan pembantu kerja obat pokok dan tidak mutlak harus
ada dalam resep.
c. Corrigens yaitu bahan untuk memperbaiki rasa, bau, atau warna obat (corrigens
saporis, odoris, dan coloris).
d. Constituens/Vehikulum yaitu bahan yang seringkali diperlukan, terutama kalau resep
berupa komposisi dokter sendiri (obat racikan seperti pulveres atau obat dalam
kapsul) dan bukan obat jadi. Constituens obat minum biasanya adalah air.
Cara pembuatan obat
3. Signatura terdiri dari :
Aturan pakai obat yang ditandai dengan signa.
Identitas pasien yang ditandai dengan Pro yaitu nama, alamat, dan umur pasien.
Subscriptio yang terdiri dari tanda tangan atau paraf dokter.
Pelayanan di apotek meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
2.5.1 Pelayanan Resep
1.1. Skrining resep
a. Persyaratan Administratif
- Nama, SIP dan alamat dokter
- Tanggal penulisan resep
- Tanda tangan/paraf dokter penulis resep
- Nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien
- Cara pemakaian yang jelas
- Informasi lainnya
b. Kesesuaian farmasetik: bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas,
cara dan lama pemberian.
c. Pertimbangan klinis: adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian, (dosis,
durasi, jumlah obat, dan lain-lain).
Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep
dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan
persetujuan setelah pemberitahuan (Hardjono, 2004).
1.2. Penyiapan Obat
a. Peracikan
Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan
memberikan etiket pada wadah.
Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan
memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket obat yang benar.
b. Etiket
Etiket harus jelas dan dapat dibaca.
c. Kemasan obat yang diserahkan
Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga
kualitasnya.
d. Penyerahan obat
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap
kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker
disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga
kesehatan.
e. Informasi obat
Harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak
bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya
meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan,
aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.
f. Konseling
Harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan
perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien
atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau pengguna salah
sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya.
Untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovaskular, diabetes, TBC, asthma,
dan penyakit kronis lainnya, harus memberikan konseling secara berkelanjutan.
g. Monitoring penggunaan obat
Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan
penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovaskular, diabetes,
TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya.
a. Resep baru, dengan tiga pertanyaan utama :
1. Apa yang dikatakan dokter tentang kegunaan pengobatan anda?
2. Bagaimana yang dikatakan dokter tentang cara pakai obat anda?
3. Apa yang dikatakan dokter tentang harapan terhadap pengobatan anda?
Disertai dengan verifikasi akhir : sekedar untuk meyakinkan saya supaya tidak ada
yang kelupaan, silahkan diulangi bagaimana anda menggunakan obat anda
b. Resep ulang, dengan pertanyaan tunjukkan dan katakan :
1.Gangguan / penyakit apa yang sedang anda alami?
2.Obat yang anda gunakan ditujukan untuk apa?
3.Bagaimana anda menggunakannya?
Terkait dengan upaya untuk lebih mengefektifkan terapi obat, dengan melibatkan secara
aktif pasien dan keluarganya, maka kehadiran apoteker di apotek dan memberikan pelayanan
informasi (KIE) obat menjadi mutlak diperlukan.(Sartono, 2000).

2.5.2 Pelayanan Non Resep
Pelayanan Obat Non Resep merupakan pelayanan kepada pasien yang ingin melakukan
pengobatan sendiri, dikenal dengan swamedikasi. Obat untuk swamedikasi meliputi obat-obat
yang dapat digunakan tanpa resep yang meliputi Obat Wajib Apotek (OWA), obat bebas terbatas
(OBT) dan obat bebas (OB). Obat wajib apotek terdiri dari kelas terapi oral kontrasepsi, obat
saluran cerna, obat mulut serta tenggorokan, obat saluran nafas, obat yang mempengaruhi sistem
neuromuskular, anti parasit dan obat kulit topikal.
Pelayanan non resep adalah pelayanan terhadap pasien tanpa resep dokter dan biasanya
mereka datang berbekal keluhan gejala penyakit yang diderita.
Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam menanggapi gejala penyakit pada kasus non
resep :
1. Mendengarkan dan bertanya dengan menggunakan metode WWHAM, AS-
METHODE, ENCORE,. Tujuan dari tahap ini adalah mengumpulkan informasi,
sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang gejala yang dikeluhkan.
Tahapan metode WWHAM :
Who is it for?/Untuk siapa obat tersebut?
What are the symptoms?/Gejala apa yang dialami?
How long have the symptoms persisted?/Sudah berapa lama gejala tersebut
dialami?
Action already taken?/Tindakan atau pengobatan apa yang dilakukan?
Medicines being taken for other problems?/Obat-obat apa saja yang rutin
digunakan?

AS-METTHOD
A-Age of patient?/ Usia pasien?
S-Self or for some one else?/ Untuk diri sendiri atau orang lain?
M-Medicine the patient is taking?/ Obat yang digunakan pasien saat ini?
E-Exactly what does the patient mean?/ Apa sesungguhnya yang dimaksud
pasien?
T-Time/Duration the symptoms?/ Kapan/lamanya gejala?
T-Taken anything or seen the doctor ?/ Sudah mendapat pengobatan apa saja atau
ke dokter?
H-History of any disease or condition ?/ Riwayat penyakit atau gangguan
tertentu?
O-Other symptoms being experience ?/ Gejala lain yang dialami saat ini?
Doing anything to aggreviate or alleviate the condition ?/ Melakukan sesuatu
yang dapat memperburuk atau meringankan keadaan?
ENCORE
E-Explore, menggali data /informasi
N-No medication, tanpa pengobatan
C-Care, melayani
O-Observe, mengamati
R-Refer- merujuk
E-Explain, memberi penjelasan
The Basic Seven Question
Location, di mana gejalanya?
Quality, gejalanya seperti apa dan bagaimana rasanya ?
Quantity, gejalanya seberapa parah ?
Timing, berapa lama atau seberapa sering berlangsung ?
Setting, bagaimana kejadiannya ?
Modifying factors, apa yang membuat terasa lebih parah atau lebih nyaman ?
Associated symptoms, gejala apa lagi yang anda rasakan?
2. Pengambilan keputusan, ditangani atau dirujuk ke dokter yang didasarkan pada
pertimbangan : lamanya gejala terjadi, gejala yang kambuh atau memburuk, rasa sakit
yang sangat, penggunaan satu atau lebih macam obat yang tepat namun tidak ada
perbaikan kondisi pasien, dugaan efek samping obat dan gejala yang harus di
waspadai. Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut maka pasien disarankan rujuk ke
dokter.
3. Jika keputusannya adalah menangani keluhan pasien, maka proses pengambilan
keputusan didasarkan pada pengobatan berbasis bukti.
Bila seorang pasien menggambarkan gejala-gejala seperti dibawah ini, maka farmasis
perlu mempertimbangkan pasien untuk merujuk ke dokter. Adapun gejala-gejala tersebut :
1. Hilangnya nafsu makan yang membuat pasien tidak makan.
2. Turunnya berat badan.
3. Perdarahan melalui hidung, mulut, anus dan telinga.
4. Sesak nafas.
5. Sputum berwarna hijau atau kuning.
6. Gejala pada saluran kemih (gatal, sakit, perih).
7. Semua masalah dengan menstruasi.
8. Bengkak dengan berbagai ukuran termasuk di persendian.
9. Kesulitan menelan.
10. Rasa sakit yang hebat di dada, abdomen, kepala, telinga.
11. Suhu badan tinggi dalam jangka waktu yang lama atau dalam periode waktu berulang.
12. Hilangnya kesadaran atau luka berat yang baru saja terjadi.













Terapi dengan obat:
Pilihkan obat paling tepat
Jelaskan cara
Rujuk ke dokter Terapi non obat:
Perbaikan gaya hidup
Mendengarkan dan bertanya dengan
menggunakan metode WWHAM atau
AS-METHODE atau
Pengambilan keputusan
KIE non resep







2.6 KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi)
Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) bertujuan untuk memastikan keamanan dan
ketepatan waktu pemberian pengobatan dan cara penggunaan obat agar tujuan terapi dapat
tercapai dengan baik. Dengan KIE farmasis dapat menjembatani dokter dan pasien sehingga
terapi dapat dilakukan secara efektif.
Seorang Apoteker Pengelola Apotek wajib melakukan layanan kefarmasian
(Pharmaceutical Care) yaitu tanggungjawab pemberian terapi oabat yang bertujuan untuk
mencapai outcome yang meningkatkan kualitas hidup penderita, yang salah satunya meliputi
layanan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) (Seto, 2004).
KIE perlu diberikan karena penggunaan obat di masyarakat semakin meluas seiring dengan
semakin banyaknya jumlah obat yang diproduksi oleh industri farmasi, biaya pengobatan yang
semakin mahal, kurangnya informasi mengenai obat dan semakin gencarnya promosi obat di
berbagai media dapat mendorong seseorang untuk melakukan pengobatan sendiri (self
medication) menyebabkan semakin pentingnya peran apoteker untuk melakukan komunikasi,
memberi informasi, dan edukasi kepada pasien agar pasien tidak salah memilih obat dan dapat
menggunakan obat yang benar.
Informasi minimal yang harus diberikan kepada penderita meliputi:
- nama generik dan nama dagang beserta deskripsi fisik dan kekuatan obat
- aksi obat yang diharapkan dan interaksi yang mungkin terjadi
- bagaimana dan kapan menggunakannya
- perhatian khusus dan teknik monitoring yang dapat dilakukan sendiri
- efek samping yang biasa terjadi dan cara mengatasinya
- apabila obat dihentikan, bagaimana cara menghentikannya dan hubungannya dengan obat
yang baru
- cara penyimpanan
- lama penggunaan dan bagaimana cara mengatasi apabila lupa minum obat (Seto, 2004)

2.5 Patien Medication Report (PMR)
Patient Medication Record adalah catatan mengenai pengobatan/obat-obat yang pernah
atau sedang digunakan pasien, riwayat penyakit, riwayat alergi ataupun riwayat penyakit
keluarga pasien.
Hal-hal yang terdapat dalam PMR yaitu:
o Data pasien meliputi nama, alamat, telepon, jenis kelamin, tanggal lahir, usia; data dokter
meliputi nama, alamat praktik, telepon
o Data dokter meliputi nama dokter, alamat praktek dokter, nomor telepon, spesialisasi dokter
o Data obat meliputi nama, dosis, bentuk sediaan, jumlah yang diberikan, aturan pakai, tanggal
obat diberikan dan tanggal obat habis
o Data lain meliputi riwayat alergi obat, riwayat penyakit kronis, nomor batch.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan agar PMR dapat berfungsi dengan baik :
a. Mengumpulkan dan menginterpretasikan semua informasi yang ada
b. Membuat daftar dan menyusun berdasarkan prioritas
c. Menentukan hasil (outcome) yang ingin dicapai.
d. Menentukan, mengimplementasikan, dan mendokumentasikan aktivitas yang perlu
dilakukan.
e. Memonitor dan menilai hasil kerja

Contoh PMR yang sederhana:
Catatan pengobatan pasien Kode:
Nama
Tanggal lahir
Alamat
Telepon
Riwayat obat/alergi/pengobatan:





Tgl No.resep Nama dokter Obat Signa Keterangan

Anda mungkin juga menyukai