Anda di halaman 1dari 115

1

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar belakang

Bank berdasarkan prinsip syariah atau bank syariah, juga berfungsi
sebagai suatu lembaga intermediasi yaitu mengerahkan dana dari
masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada
masyarakat yang membutuhkannyadalam bentuk fasilitas pembiayaan.
Bedanya kegiatan usahanya tidak berdasarkan bunga (interest free), tetapi
berdasarkan prinsip syariah,yaitu prinsip pembagian kauntungan dan
kerugian
1


Bank syariah adalah bank yang dalam aktivitasnya, baik
penghipunpunan dana maupun penyaluran dana memberikan imbalan atas
dasar prinsip syariah yaitu bagi hasil dan jual beli.
2

Perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia telah dimulai
sejak lama, yaitu sejak lembaga keuangan bukan bank hadir dengan konsep
bagi hasil. Namun demikian, lembaga perbankan syariah secara formal

1
Sutan Remy Sjahdeini,. Perbankan Islam(cetaka ke II,. Pustaka Utama Grafiti,2005)
hal 1
2
Ade Arthesa, Edia Handiman.Bank dan lembaga keungan bukan bank ( PT.INDEKS
Kelompok Gramedia Jakarta,2006)hal77
2
dimulai sejak tahunn 1992 dengan hadirnya perbankan syariah pertama di
Indonesia, yang didirikan berdasrkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
3

Di Indonesia bentuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
merupakan salah satu bentuk jasa perbankan yang baru mendapatkan
pengakuan secara hukum setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 Tentang perbankan, pada masa pembiyaan berdasarkan prinsip
syariah itu tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang
pokok-pokok perbankan, bentuk jasa pembayaran berdasarkan prinsip
syariah merupakan pelaksaan dari sistem ekomomi Islam yaitu prinsip-prisip
syariah
4

Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang
pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak
istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank
Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga, Bank Tanpa Riba (Lariba Bank),
dan Bank Syariah. Di Indonesia secara teknis yuridis penyebutan Bank Islam
mempergunakan istilah resmi Bank Syariah, atau yang secara lengkap
disebut Bank Berdasarkan Prinsip Syariah.
Undang-undang Perbankan Indonesia, yakni Undang-undang No 7
Tahun 1992 tentang perbankan dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998,

3
Ibid Hal 77
4
Muhamad Djumhana. Hukum Perbankan Di Indonesia(Cetakan IV:PT.Citra Aditya
Bandung 2003)hal 334
3
membedakan bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu bank
yang melaksanakan kegiatan usaha dan bank yang melaksanakan kegiatan
usaha. Sebagaimana disebutkan dalam butir 13 Pasal 1 undang-undang
perbankan indonesia memberikan batasan pengertian prinsip syariah sebagai
aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk
penyimpanan dana pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang
dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan
prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan
modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh
keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan
prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan
pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh
pihak lain (ijarah wa iqtina).
5

Disamping dilibatkannya Hukum Islam dan pembebasan transaksi dari
mekanisme bunga (interest free), Bank Syariah dibandingkan dengan bank
konvensional adalah diperbolehkannya Bank Syariah melakukan kegiatan-
kegiatan usaha yang bersifat multi-finance dan perdagangan (trading). Hal ini
berkenaan dengan sifat dasar transaksi Bank Syariah yang merupakan
investasi dan jual beli serta sangat beragamnya pelaksanaan pembiayaan

5
Muhamad Djumhana. Hukum Perbankan Di Indonesia ( Cetakan IV:PT.Citra Aditya
Bandung 2003)hal 335
4
yang dapat dilakukan Bank Syariah, seperti pembiayaan dengan prinsip (jual
beli), ijarah (sewa) atau ijarah wa iqtina (sewa beli) dan lain-lain.
Sendangkan perjanjian Qardh adalah pinjaman. Dalam perjanjian
qardh, pemberian pinjaman (kreditor)
6
. Sedangkan Qardh ul-hasan
merupakan perjanjian qardh untuk tujuan sosial. Rahn
7
adalah
tetap,kekal,dan jaminan. kafalah adalah perjanjian pemberian pinjaman
(kredit) atau penanggungan.
Didalam prinsip Perbankan Syariah menggunakan sistem Bank
Konvensional dengan menggunakan sistem bunga atau yang dikenal dengan
hukum Islam sendiri yaitu Riba akan tetapi Bank Syariah menggukan sistem
bagi hasil,

Setelah berlakunya Udang-undang No.10 Tahun 1998 yang sikapnya
sangat tegas terhadap kehidupan perbankan Islam sebagai alternatif
pembiyaan yang dapat diperoleh, oleh masyarakat yang memerlukan dana
bagi kegiatan bisnisnya,yang lain telah memberikan kemungkinan kepada


6
. Sutan Remy Sjahdeini,. Perbankan Islam(cetaka ke II,. Pustaka Utama Grafiti,2005)
hal 74
7
Esiklopedia hukum Islam (jilid 5 PT Ictiar baru van Houve,1997),hal 1480-1483.


5
bank konvensional untuk membuka pintu dan rangka Indonesia memasuki
era globalisasi saat ini,
B. Perumusan Masalah.
Dari uraian diatas, maka penulis hanya akan menitik beratkan
pembahasannya pada hal-hal sebagai berikut:
1. Bagaimana sistem prekreditan syariah atau perjanjian perbankan
syariah didalam undang-undang?
2. Mekanisme penyelesaian sengketa dipengadilan ?
a. Badan Syariah Nasional (Arbitrase Syariah)
b. Pengadilan Negeri
c. Pengadilan Agama.
Menurut kesepakatan kedua belah pihak.
C. Ruang Lingkup Penulisan.
Sistem perkreditan Syariah, perbankan Nasional telah memberikan
Ibroh (pelajaran dan nasihat) tentang perlunya segera dilakukan perbaikan
dan penyempurnaan terhadap sistem perbankan konvensional. Juga tentang
perlunya di formalisasikan dan diasosiasikannya sistem perbankan alternatif
6
yang dikelola secara amanah, halal, profesional, menguntungkan, Hal ini
merupakan kunci utama upaya penyehatan perbankan Indonesia.
Di Indonesia sendiri, atas prakarsa Majelis Ulama Indonesia bersama
kalangan pengusaha umat Islam sejak 1992 telah beroperasi sebuah bank
syariah yang bernama Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang mengacu pada
PP Nomor 72 Tahun 1992 Tentang Bank bagi hasil
Respon pemerintah yang lebih positif atas perkembangan bank
syariah di tanah air semakin kita rasakan dengan disahkannya Undang-
undang RI Nomor 10 Tahun 1998 Tentang perubahan atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun1992 Tentang perbankan. Secara legal, perbankan syariah
telah diakui sebagai subsistem perbankan Nasional. Disamping itu,
pemerintah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarkat
untuk menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah,
termasuk pemberian kesempatan kepada bank umum untuk membuka kantor
cabangnya yang khusus melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah.
Penulis lebih memfokuskan pada sistem perkreditan perbankan syariah
menurut Undang-undang dan penyelesaiannya.


7
D. Maksud Dan Tujuan
Maksud dari penulisan skripsi ini adalah untuk menjelaskan bahwa
masih banyaknya masyarakat yang belum mengetahui prinsip-prinsip dari
bank syariah dan sistem perkreditannya serta menjelaskan hukum-hukumnya
maupun peraturan-peraturannya yang ada didalam Undang-undang. Maka
saya disini ingin menjelaskan sistemnya dalam perkreditan syariah meskipun
di Indonesia mayoritas warga di Indonesia adalah Muslim (Islam),akan tetapi
masih banyak yang menggunakan sistem bank konvensional dari pada bank
syariah meskipu bank syariah menggunakan sistem bagi hasil dari pada bank
konvesional menggunakan sistem buang masyarakat banyak yang memilih
bank konvensional maka dari pada itu saya ingin menjelaskan hukum yang
ada dalam perbankan syariah mengenai sistem perkreditannya dan hukum-
hukum dan undang-undangnya.
Tujuan penulisan skripsi ini untuk mengetahui sistem perkreditannya
serta sanksi-sanksi yang ada apabila terjadi wanprestasi berdasarkan
Undang-undang. Serta kendala apa yang terjadi di lapangan, juga sebagai
suatu sumbangan masyarakat lebih banyak tau perbankan konvensional dari
pada perbankan syariah.

8
E. Kerangka Teori Dan Kerangka Analisa.

Kerangka Teori
Di Indonesia, keberadaan bank syariah sudah ada sejak pertengahan
tahun 1992, tepatnya setelah disahkannya UU No. 7 Tahun 1992 sebagai
dasar hukum, yang kemudian dirubah menjadi UU No. 10 Tahun 1998.
kebijakan perundangan ini diperkuat oleh Keputusan Menteri Koperasi
Pengusaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia No. 53/BH/KDK
13.32/1.2/XII/1998, pengesahan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi No.
165/PAD/KDK 13.32/1.2/V/1999,serta izin usaha dari Menteri Keuangan
untuk beroperasi dengan prinsip bagi hasil seperti bank perkreditan rakyat
(BPR) Syariah. Berdasarkan beberapa dasar hukum ini, bank muamalat
memiliki kesamaan fungsi dengan bank umum.
Fungsi-fungsi bank umum sebagaimana yang dimaksud antara lain
(Siamat:1999)
8
:

Menyediakan mekanisme dan alat pembayaran yang lebih efisien dalam
kegiatan ekonomi. Bank wajib menyediakan mekanisme dan alat

8
Saidi, Zaim. "(Contradictio In Terminis: Kritik Atas Perbankan Syariah"). Jurnal
Ekonomi Syariah Muamalah, Vol. 2, No. 2, Yogyakarta: Shariah Economics Forum
Universitas Gadjah Mada 2003.

9
pembayaran yang lebih efisien kepada nasabahnya, seperti penyediaan
fasilitas kartu kredit, ATM, serta mekanisme jasa kliring dan inkaso.
Mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang dapat menciptakan keadaan yang
kondusif bagi terbentuknya dan tumbuhnya pasar uang (money
market)syariah
1. Menentukan jenis dan bentuk baku dari surat dan bentuk baku
dari surat berharga yang di gunakan bagi transaksi-transaksi
pembiyaan yang berdasarkan prinsip syariah. Perlunya Bank
Indonesia menentukan jenis dan bentuk surat-surat berharga
dimaksud karena sifatnya yang tidak boleh memuat besarnya bunga
seperti yang digunakan dalam transaksi-transaksi yang berbunga.
2. Menyeragamkan perjanjian perjanjian yang dipakai oleh bank-
bank syariah dengan dengan para nasabahnya untuk berbagi
transaksi. Bank Indonesia sebagai otoritas yang berkewajiban dan
bertanggung jawab atas pengaturan dan pengawasan dan bank-bank,
dari putusan pengadilan, ternyata tindakan-tindakan yang telah diambil
oleh bank-bank terhadap para nasbah kreditnya macet berdasarkan
klausul-klausul perjanjian kredit yang diharaskan merupakan senjata
pemungkas bagi bank-bank pengadilan tindakan-tindakan tersebut
telah dinyatakan sebagai tindakan yang bertentangan dengan asas
10
kepatutan atau bertentangan dengan itikad baik atau merupakan
perbuatan melawan hukum. Beberapa keputusan pengadilan juga
telah menyatakan perjanjia-perjanjian kredit yang memuat klausul-
klausul yang secara sepihak sangat memberatkan nasabah itu
sebagai perjanjian-perjanjian kredit yang telah dibuat oleh bank
dengan melakukan penyalahgunaan keadaan oleh pihak bank
terhadap nasabah. Akibatnya perjanjian itu dinyatakan tidak sah (tidak
berlaku atau tidak mempunyai kekuatan yang mengikat).
3. Disamping hal-hal yang harus diupayakan oleh bank Indonesia
sebagai man dikemukan diatas, menurut penyalahgunan kredit bank
oleh nasabah, yang sebagai mana di ketahuai didalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
Penyalahguanan kredit bank Konvesional maupun bank Syariah tidak
ditentukan sebagai tindak Pidana oleh undang-undang tersebut
9

Batas maksimum pemberian kreditan bank syariah wajib mematuhi
pemberian kredit berdasarkan prinsip-prinsip syariah sebagaimana
ditentukan dalam pasal 11 ayat 3 undang-undang perbangkan.ketentuan
mengenai besarnya

9
.Sutan Remy Sjahdeini..OP Cit hal.206
11
maksimum tersebut ditentukan oleh bank indonesia.batas maksimum
pemberian kredit tersebut akan ditetapkan oleh bank indonesia bagi
pembiayaan yang dilakukan oleh bank kepada :
Ketentuan pasal 11 ayat (4A) Undang-undang perbankan menentukan
bahwa dalam pembiayaan berdasarkan prinsiap syariah,bank dilarang
melaupaui batas maksimum pemberiaan kredit berdasarkan prinsip syariah.
Kerangka Analisa.
Dalam penulisan skripsi ini, saya mencoba memberikan penjelasan
hubungan hukum antara bank syariah dan nasbah diatur oleh hukum
perjanjian berdasarkan KHUPerdata.
Sudah merupakan kelaziman dalam praktek perbankan, sebagaimana
praktek dunia bisnis pada umumnya, bahwa untuk memberikan fasilitas
pembiayaan atau jasa perbankan lainya, hubungan antara bank (termasuk
juga bank syariah) dan juga para nasabah selalu dituangkan dalam perjanjian
tertulis. Apabila hubungan hukum antara bank dan nasabahnya dituangkan
dalam suatu perjanjian, maka bagi hubungan hukum itu barlaku ketentuan-
ketentuan dan syarat-syarat yang dituangkan dalam perjanjian itu. Dalam
praktek perbankan, bagi hubungan hukum jasa-jasa tertentu, bank
menyediakan pula ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat umum yang
12
berlakunya ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat umum tersebut adalah
berdasarkan surat pernyataan yang ditandatangani oleh nasabah atau
berdasarkan perjanjian antara bank dan nasabah yang di dalamnya memuat
pernyaatan bahwa nasabah tunduk pada ketentuan-ketentuan dan syarat-
syarat umum tersebut. Adakalanya ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat
umum itu pada suatu kantor Notaris.
Didalam tata hukum Indonesia, sebagai bukan negara islam( tetapi
negara muslim, yaitu negara yang sebagian besar penduduknya beragama
islam), hukum Islam bukanlah merupakan hukum positif (bukan merupakan
hukum yang berlaku resmi dan dapat dipaksakan atas pelanggaranya oleh
pengadilan). Dengan kata lain, sengketa yang timbul diantara bank syariah
dan nasabahnya tidak akan diberlakukan hukum Islam. Yang diberlakukan
adalah hukum perjanjian sebagai mana diatur dalam KHUPerdata, karena
KHUPerdata itulah yang merupakan hukum positif. Menurut pasal 1320
KHUPerdata, suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya sah apabila
perjanjian itu dibuat oleh pihak-pihak yang oleh hukum dianggap cakap untuk
membuat suatu perjanjian, dan dibuat berdasarkan kesepakatan diantara
para pihak yang membuatnya (dengan kata lain, tidak dibuat atas dasar
paksaan oleh satu pihak terhadap pihak lainnya). Disamping itu, hukum
perjanjian menentukan bahwa isi perjanjian hanyalah sah apabila tidak
bertentangan dengan undang-undang, dengan kepatutan, dan dengan
13
ketertiban umum serta dibuat dan dilaksanakan dengan itikad baik oleh para
pihak yang membuatnya.

F. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara yang digunakan untuk mencapai
tujuan dari sebuah penelitian, misal untuk menguji suatu hipotesa digunakan
metode atau tehnikpengujian tertentu. Dalam penelitian, faktor utama yang
harus diperhitungkan yang disesuaikan dengan kemampuan si penelitian.
Dalam suatu penerapan metode penelitia haruslah mampu secara
transparan, terang, terperinci menjabarkan sifat jenis penelitian yang
dilakukannya. Dengan demikian akan diperoleh hasil penelitian yang relevan
dengan segala masalah yang dibahas, sehingga dapat dihindari adanya
penyimpangan penganalisaan atas data-data yang diperoleh. Penelitian pada
umumnya bertujuan untuk menentukan, dan menggambarkan suatu
kebenaran dari suatu pengetahuan yang dibahas di dalam skripsi ini,
sebelum melakuakn penelitian terlebih dahulu harus menentukan langkah-
langkah, cara atau metode yang digunakan dalam penelitian tersebut.
Dengan menggunakan metode atau cara-cara ilmiah, seorang peneliti
diharapkan nantinya bisa merumuskan, menganalisa buruk maupun
14
memecahkan masalah secara obyektif dan positif serta tidak berprasangkan
buruk terhadap kasus yang sedang dihadapi. Faktor tersebut sangatlah
penting demi didapatkannya kebenaran dan keadilan dalam menentukan
suatu kasus.
Dalam penyusunan skripsi ini saya menggunakan metode penelitian
hukum normatif, penelitian hukum atau penelitian hukum kepustakaan adalah
penelitian menggunakan data sekunder yaitu data yang dari bahan-bahan
pustaka:
Bahan-bahan Hukum Primer
a. Kitab Undang-undang Hukum perdata (KUHPerdata)
b. Undang-undang Nomor.7 Tahun 1992 dan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 Tentang Perbankan
c. peraturan Bank Indonesia No.7 Tahun 2005 Tentang Penyelesaian
Pengaduan Nasabah.
d. Suarat keputusan direksi Bank Indonesia No.31/177/Kep/Dir tentang
Batas Maksimum Pemberian kredit Bank Umum.
e. Surat keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/34/Kep/Dir Tentang
Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah
f. Surat keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/36/Kep/Dir Tentang
Bank perkreditan Rakyat berdasarkan Prinsip syariah.
15
Bahan-bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum
primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum
primer adalah :
a. Rancangan peraturan perundang-undangan.
b. Hasil ilmiah para sarjan.
c. Artikel-artikel penelitian.
d. Hasil-hasil penelitian dll

Metode Analisa Data
Data-data yang telah terkumpul, kemudian disusun untuk selanjutnya
dianalisa. Analisa data dilakukan secara kualitatif atas dasar disiplin ilmu
hukum dan hasil analisa di laporkan dalam bentuk skripsi,
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pemahaman dalam pembahasan skripsi ini, serta
mencapai tulisan yang sistematis, maka penulisan membagi skripsi ini
menjadi beberapa bab. Disamping itu untuk memudahkan pembaca dalam
memahami isi skripsi dan untuk mengetahui apa yang sebenarnya penulisan
utarakan dari bab pendahuluan sampai penutup. Penulisan ini disusun dalam
16
rangka sistematis yang di uraikan dalam 5 (lima) Bab pokok bahasan dengan
rincian sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang masalah alasan obyektif dan alasan
subyektif, perumasan masalah, ruang lingkup, maksud dan tujuan, kerangka
teori dan kerangka analisa, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II PENGERTIAN PERKREDITAN PERBANKAN SYARIAH.
Bab ini menjelaskan tentang badan perkreditan syariah yang meliputi
pengertian perkreditan syaraih,perjanjian-perjanjiannya,serta sanksi-sanksi
perdata,peranan badan perkreditan rakyat syariah tinjau dari dasar
hukumnya, bentuk hukum,serta izin pendirian badan perkreditan rakyat
syariah.larangan melakuakan kegiatan konvesional serta batas maksimum
pemberian kredit.



17
BAB III:HUBUNGAN ANTARA BANK SYARIAH DAN NASABAHNYA
TENTANG PERJANJIAN BERDASARKAN HUKUM PERDATA.
Bab ini menjelaskan mengenai realisasi antara bank syariah dan
nasabah undang-undang No. 7 dan undang-undang No. 10 serta
penyelesaian pengaduan nasabah menurut peraturan Bank Indonesia No. 7
Tahun 2005 serta KHUPerdata mengenai perjanjian dan wanpertasi.
BAB IV : PENYELESAIAN SENGKETA DAN PELANGGARAN
PERJANJIAN PERKREDITAN SYARIAH.
Bab ini menjelaskan tentang Mekanisme penyelesaian sengketa
dipengadilan Menurut kesepakatan kedua belah pihak. Serta
bagaimana sistem prekreditan syariah atau perjanjian perbankan
syariah didalam undang-undang

BAB V:PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini yang berisi
tentang kesimpulan dan saran penulisan tentang sanksi hukum berdasarkan
Undang-undang yang telah ada.


18
BAB II
PENGERTIAN PERKREDITAN PERBANKAN SYARIAH

A. Perbankan Syariah

1 Pengertian Bank Syariah


Bank syariah terdiri atas dua kata, yaitu bank dan syariah. Kata bank
bermakna suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara
keuangan dari dua pihak yang berkelebihan dana dan pihak yang
kekurangan dana. Kata syariah dalam versi bank syariah di Indonesia adalah
aturan perjanjian berdasarkan yang dilakukan oleh pihak bank dan pihak lain
untuk penyimpanan dana dan/atau pembiyaan kegitan uasaha dan kegiatan
lainya sesuai dengan hukum islam
10

Bank berdasarkan prinsip syariah. Bank syariah atau bank islam,
seperti halnya bank konvensional,juga berfungsi sebagai suatu lembaga yaitu
mengarahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada
masyarakat yang membutukannya dalam bentuka fasilitas pembiayaan.
Bedanya hanyalah uasahanya tidak berdasarakan bunga (interest free),
tetapi berdasarkan prinsip syariah, yaitu prinsip pembagian keuntungan dan
kerugian, seperti juga bank konvensional, selain memberikan jasa-jasa
pembiayaan bank, bank syariah juga jasa-jasa lain, seperti jasa kiriman uang,

10
Zainudin Ali,Hukum Perbankan Syariah (Jakarta : cetakan 1 Sinar Grafika 2008) hal1
19
pembukaan letter of credit, jaminan dan jasa-jasa lainya.
11
Yang saya
tekankan disini untuk menyelesaikan skripsi ini adalah tentang permasalah
hukum menganai Badan Perkreditan syariahnya atau perkreditannya antara
kedua belah pihak.
Sistem perbankan Islam telah ditumbuhkan untuk menggantikan sistim
perbankan konvensional yang telah ada selama ini. Konferensi Negara-
negara Islam sedunia, 21-27 April 1969 memberi dampak positif berupa
perkembangan bank Islam atau bank syariah di berbagai negara yang
ditengarai lebih dari 200 lembaga keuangan dan investasi syariah yang
berkembang sejak tahun 1975. Pada tahun tersebut, perkembangan sistem
ekonomi syariah secara empiris diakui dengan lahirnya Islamic Development
Bank (IDB).
Secara umum bank adalah badan usaha yang menghimpun dana
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat
dalam bnetuk kredit dan atau bentuk bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan dengan prinsip syariah
merupakan aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dengan
pihak lain untuk penyimpanan dana dan / atau pembiayaan kegiatan usaha
atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah.

11
Sutan Remy Sjahdeini,. Perbankan Islam(cetaka ke II,. Pustaka Utama Grafiti,2005)
hal 1

20
Pengertian Bank yang mengoperasikan disesuaikan dengan prinsip
syariat islam disebut juga bank tanpa bunga (interest free bank), bank tanpa
riba (lariba bank) dan bank syariah, dan di Indonesia secara resmi
menggunakan istilah Bank Syariah.
Pengertian dari bank syariah bagi banyak kalangan masih dipahami sebagai
bank yang hanya menerima nasabah muslim saja, hal ini terjadi karena
belum tersosialisasikan pengertian dan keberadaan bank syariah di
Indonesia.
Di Indonesia, atas prakarsa Majelis Ulama Indonesia bersama
kalangan pengusaha muslim sejak 1992 telah beroperasi sebuah bank
syariah, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang sistem operasionalnya
mengacu pada No. 72 tahun 1992 tentang bank bagi Hasil. Pada tahun 1998,
disahkan Undang-undang RI No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU
No. 7 tahun 1992 tentang perbankan. Secara legal, perbankan syariah telah
diakui sebagai subsistem perbankan nasional
Bank syariah menurut UndangUndang No. 10 Tahun 1998 pasal (6)
disebutkan bahwa usaha bank umum meliputi menyediakan pembiayaan dan
atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Peraturan Bank Indonesia menyatakan perbankan syariah harus
menuangkan prinsipprinsip syariah. Dalam adanya perjanjian disebutkan
21
pada pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi
mereka yang membuatnya.
2 Perjanjian perkreditannya.
Bank Islam atau yang di Indonesia terkenal dengan bank Syariah,
adalah sebuah bank yang didirikan untuk menghindari persoalan bunga uang
yang terus menjadi perdebatan berkepanjangan, yang dikhawatirkan
mengandung unsur Riba. Oleh karena itu setiap aktivitas bank Syariah harus
menghindari kekhawatiran adanya unsur-unsur riba. Usaha menghindari
kekhawatiran ini dilaukan antara lain dengan cara mengganti pranata bunga
dengan pranata hukum hasil pemikiran para ilmuwan hukum Islam Klasik.
Pranata-pranata hukum yang digunakan adalah pranata hukum dalam
dunia ekonomi riil murni hasil pemikiran ilmuwan hukum Islam klasik,
misalnya musyarakah dan mudharabah. Penggunaan pranata-pranata hukum
tersebut bertujuan untuk menghindari transaksi pinjam meminjam uang atau
utang piutang uang. Sebab dalam transaksi utang piutang atau pinjam
meminjam inilah unsur riba dapat muncul dengan sangat mudah. Prinsip
usaha perbankan Syariah untuk menghindari bentuk pinjam meminjam atau
utang piutang ini mengandung dua pengertian yang secara terminologis
sangat penting.
22
Pertama adalah untuk menunjukkan bahwa bank Syariah adalah
sebuah lembaga keuangan yang berangkat dasar bisnis. Yaitu mencari
keuntungan dalam pengertian ekonomis. Bukan sebagai lembaga keuangan
dalam amal kebijakan sebagaimana dalam sejarah pemikiran ekonomi Islam
yang terkenal dengan Bait al-mal. Kedua adalah untuk menunjukkan prinsip
bahwa nasabah yang akan menggunakan jasa dana keuangan bank Syariah
selalu terkait secara pasti dengan sektor ekonomi riil. Untuk mewujudkan
prinsip tersebut, perbankan Syariah dalam memberikan fasilitas pembiayaan
pranata ekonomi riil seperti jual beli yang dimodifikasi dalam berbagai bentuk
(misalnya : bai assalam, bai al-Istishna, murabahah)kerjasama kemitraan
musyarakah (partner-Kedudukan, Fungsi, dan Problematika ...Yustisia Edisi
Nomor 69 Sept. - Desember 2006 45ship), kerjasama kemitraan bagi hasil.
Utang piutang antara kreditur dan debitur. Oleh karena itu
persyaratanpersyaratan yang bertentangan atau yang menghambat tujuan
adanya jaminan adalahtidak diperbolehkan, yang menjadikan tidak sahnya
jaminan.



23
A) Persetujuan antarayang memberikan jaminan dan yang menerima
jaminan atau orangyang memberikan utang. Persetujuan itu
mencakup hal-hal yang dapat memperlancar hubungan

B) Harus ada utang piutang. Jaminan adalah untuk menjamin suatu
utang.Oleh karena itu tidak ada jaminan tanpa utang piutang.
Untuk adanyajaminan maka dipersyaratkan adanya utang piutang.
Dengan demikian jaminan merupakan perjanjian tambahan yang
dalam literatur hukum berat disebut dengan perjanjian asessoir.
Dalam hukum Islam adanya utang ini diperyaratkan;
(1) bahwa utang merupakan kewajiban debitur yang
harus dilunasi kepada kreditur;
(2) bahwa utang tersebut boleh dilunasi dengan
jaminan, jika ternyata kemudian debitur ingkar janji;
(3) bahwa utang yang dijamin itu harus jelas dan
tertentu. Artinya dalam jumlah yang jelas dan utang
tertentu.
C) Harus ada harta yang dijadikan jaminan Harta yang dijadikan
jaminan itu harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Barang yang dijadikan jaminan dapat dijual;
24
b. Nilai barang jaminan adalahseimbang dengan
utang;
c. Barang jaminan harus bernilai harta dan dapat
dimanfaatkan dalam pengertian mempunyai
manfaat. Maka minuman ganja misalnya, tidak
dapat dijadikan jaminan karena tidak mempunyai
manfaat, meskipun mempunyai nilai harta;
d. Barang jaminan adalah jelas dan tertentu wujud dan
jenisnya;
e. Barang jaminan adalam milik sah orang yang
berutang;
f. Barang jaminan tidak terkait dengan hak orang lain;
g. Barang jaminan itu merupakan barang yang utuh
dan tidak bertebaran dalam berbagai tempat yang
menyilitkan;
h. Barang jaminan dapat diserahkan secara materi,
atau secara alas hak
i. atau pemanfaatannya.



25
Dalam uraian di atas telah disinggung bahwa jaminan bukan
merupakan perjanjian pokok. Jaminan bukan merupakan perjanjian yang
berdiri sendiri. Jaminan merupakan perjanjian tambahan yang terjadi karena
adanya perjanjian pokok, yaitu utang piutang. Jaminan bukan merupakan
perjanjian pokok, sehingga perjanjian jaminan tidak dapat berdiri sendiri. Oleh
karena itu para ilmuwan hukum Islam menentukan bahwa jaminan (ar-Rahn)
baru dianggap sempurna jika pihak debitur sebagai orang yang berhutang
telah menerima utang dari pihak kreditur sebagai pihak yang berpiutang dan
barang jaminan telah diserahkan secara hukum berdasarkan alas hak oleh
debitur sebagai pihak yang berhutang kepada kreditur sebagai pihak yang
berpiutang.
Tentu saja penyerahan barang dari orang yang berutang kepada
orang yang memberikan utang itu sesuai dengan barang jaminannya. Oleh
karena itu jika
jaminan berupa tanah, maka tidak mungkin tanah itu diberikan secara fisik,
tetapi dapat berupa alat bukti hak(sertifikat). Demikian juga jika jaminan itu
sepeda motor, maka yang diserahkan dapat berupa alat bukti kepemilikannya
(BPKB). Seperti yang telah dipaparkan di dalam pembahasan dasar falsafah
mudharabah di muka, bahwa mudharabah adalah kerjasama. Yaitu
gabungan antara Kedudukan, Fungsi, dan Problematika ...Yustisia Edisi
Nomor 69 Sept. - Desember 2006 51
26
3. Sanksi hukum perkerditan.
Kalau kita simak ketentuan Undang-undang No.1 Tahun 1995 tentang
perseroan terbatas, anggota dewan komisaris dan bank (termasuk bank
syariah) yang berbentuk perseroan terbatas.
Menurut pasal 85 ayat (1) Undang-undang perseoran terbatas,setiap
anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggu jawab
menjalankan tugas untuk kepentigan dan usaha perseoan terbat.
Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 85ayat (1) tersebut bukan
tanpakonsekuansi apaila anggota direksi menjalankan tugasnya tanpa itikad
baik dan penuh tanggu jawab. Pasal 85 ayat (2) undang-undang tersebut
menentukan bahwa setiap anggotadireksi bertanggu jawab penuh secara
pribadi apabila yang bersengkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya
sesuai dengan ketentuan sebagaimana diamksud dalam pasal dimaksud
pasal dalam pasal 85 ayat (1) itu.
Dalam kaitannya dengan kemungkina anggota direksi perseroan untuk
digugat karena melanggar pasal 85 ayat (1) tersebu, undang-undang
perseroan terbatas membarikan hak kepada pemegang saham minorita, yaitu
pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian
dari seluruh jumlah saham dengan hak suara yang sah, untuk dapat
mengajukan guagatan kepengadilan negri terhadap anggota direksi yang
27
karena kesalahan atau lkelalaian menimbulkan kerugian pada perseroan
terbata, demikian deitentukan oleh pasal 85 ayat (3).
Berkaitan dengan pelnggaran rambu-rambu prudensial banking dan
kaitan dengan ketentuan pasal 85 ayat (1) dan pasal 98 ayat (1) itu,
terjadinya penlanggaran dengan sengaja rambu-rambu prudential banking itu
telah cukup bagi hakim untuk dijadikan bukti bahwa direksi dan komisari bank
yang bersangkutan tealh tidak dijalankan tugas untuk kepentingan dan usaha
persoroan dengan penuh tanggung jawab dan dengan itikad baik. Apabila
sampai ada pihak yang dirugikan sebagai akibat bank tersebut mengalami
(misalnya) kerugian, maka pihakyang dirugikan berdasarkan pasal 1365
KUHPerdata dapat mengajukan gugatan menlalui pengadilan terhadap
anggota direksi bank yang bersangkutan. Apabila terbukti bahwa direksi telah
melanggar rambu-rambu kesehatan bank sehingga mengakibatkan
kepentingan dan usaha bank dirugikan, maka sasuai dengan ketentuan
undang-undang perseroan terbatas, direksi dan komisaris bank yang
bersangkutan secara pribadi dapat diwajibkan untuk menggatikan kerugian
pihak tersebut.




28
B. Bank Perkerditan Rakyat Syariah (BPRS).

1. Dasar Hukum
Bank syariah secara yuridis normative dan yuridis empiris diakui di
Negara Republik Indonesua. Pengakuan secara yuridis normative tercata
peraturan perundang-undangan di Indonesia, diantaranya, Undang-undang
No, 7 Tahun 1992 tentang perbankan,undang-undang No. 10 tentang
perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1998 tentang perbankan
Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 Tentang perubahan atas Undang-Undang
No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Undang-Undang No. 3 Tahun
2006 Tentang perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang
peradilan agama, selain itu, pengakuan secara yuridis empiris dapat dilihat
perbankan syariah tumbuh dan berkembang pada umumnya di seluruh Ibu
kota Provinsi dan Kabupaten di Indonesia, bahkan beberapa bank
konvensional lembaga keuangan lainya membuka unit usaha syariah (bank
syariah, asuransi syariah, pengadaian syariah dan semacamnya).
Pengakuan secara yuridis perbankan syariah, termasuk memberi peluang
tumbuh dan berkembangan secara luas kegiatan usaha perbankan syariah,
termasuk memberi kesempatan kepada bank umum (konvensional) untuk
membuka kantor cabang yang khusus kepada bank konvensional dengan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
29

Bank syariah dan bank muamalah serta bank konvensional yang
membuka layanan syariah di Indonesia menjadikan pedoman Undang-
Undang No.10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undan-Undang No. 7
tahun 1992 tentang perbankan. Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang
perubahan ats Undang-Undang dimaksud, UndangUndang No. 23 Tahun
1999 tentang bank Indonesia. Undang-Undang dimaksud, yang
kemudiandijabarkan dalam berbagai peraturan bank Indonesia. Dalam hal ini
a. Perbakan adalah segala sesuatu yang menyangkut
tentang bank, mencakup tentang kelmbagaan, kegiatan
usha serta cara dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usahanya.
b. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
atau bentuk lainya dalam meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak.
c. Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah
penyediaan uang atau tegihan yang dipersamakan
dengan itu berdasrkan persetujuan atau kesepakatan
antara bank dengan pihak laian yang mewajibkan pihak
30
yang dibiayai utuk mengembalikan uang atau tagihan
tersebut setelah jangkan waktu tertentu dengan imbalan
atau bagi hasil.
d. Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasrkan
hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk
penympanan dan atau pembiayaan kegitan uasaha dan
ked\giatan lainya yang dinyatakan sesuai syariah, antara
lain pembiayan prinsip bagi hasil (mudharabah),
pembiayaan dengan prinsip perntaan modal
(musyarakah), prinsip jaul beli barang dengan
memperoleh keuntungan (murabahah), pembiayaan
barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa
pilihan (ijarah), atau adanya pilihan pemindahan pemilik
atau yang disewaka dari pihak bank oleh pihak lain(ijarah
wa iqatima).
12.

Selain itu, perlu dikemukan bahwa dalam pasal 11 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang
No.23 Tahun 1999 tentang bank Indonesia, mejelaskan bahwa.
a. Bank indonesiadapat memberikan kredit atau
pembiyaan berdasarkan prinsip syariah untuk

12
Ketentuan umum pasal 11 Undang-undang No. 3 tahun 2994 tentang perbankan.

31
janka waktu paling lama 90 ( sembilan puluh)
hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan
pendanan jangka pendek bank yang
bersangkutan dan
b. Pelaksanan pemberian kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wajib dijamin oleh bank
penerima dengan aguanan yang berkualitas
tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya
minimal sebesar jumlah kredit atau pembiyaan
yang diterimanya.
13


Sekalipun Indonesia bukan Negara Islam, yaitu Negara yang multi
kultur akan tetapi Negara republic Indonesia yang mayoritas beragama Islam,
kebutuhan bagi para penduduk Indonesia yang beragama Islam akan adanya
suatu bank yang berusaha dengan berlandaskan prinsip syariah, berkenan
dengan itu Undang-undang No. 7 tahun 1992 jo Undang-Undang No.10
tahun 1998 menampung kebutuhan tersebut. Sekalipun bank Islam didalam
Undang-Undang tersebut tidak disebutkan sebagai suatu jenis bank tersendiri
dia\samping bank umum dan bank perkreditan rakyat, tetapi suatu bank

13
Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun
1999 tentang bank Indonesia.
32
umum atau bank perkreditan rakyat boleh melakukan uasahanya
berdasarkan bunga, tetapi berdasarkan prinsip syariah.

Dalam Undang-Undang Perbankian No.7 tahun 1992 belum
disebutkan kegitannya berdasarkan syariah. Undang-undang tersebut hanya
secara samara-samar memberikan indikasi mengenai kemungkinan suatu
bank memberikanfasilitas kredit dengan imbalam atau pembegian hasil
keuntungan ketika pasal 1 ayat (2) menjelaskan mengenai pengertian krediot.
Menurut pasal 1 ayat (12) yang dimaksud dengan kredit ialah:

Penyediaan uang tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam untukmelunasi utang setelah jangka waktu
tertentu dengan jumlah bungan,imbalan atau pembagian hasil keuntungan.

Berbeda dengan sikap Undang-undang No. 7 Tahun 1992 yang
diubahnya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas
undang-undang No.7 tahun 1992 tentang perbankan mengakui secara tegas
tentang pembiyaan berdasarkan prinsip syariah yang dapat dilakukan oleh
suatu bank, baik bank umum maupun bank perkreditan rakyat. Hal ini dapat
diketahui dari bunyi pasal 1 ayat (12), pasal 6 huruf n, pasal 7 huruf c, pasal 8
33
ayat (1) dan ayat (2), pasal 11 ayat (1) dan (4a), pasal 13, pasal 29 ayat (3),
dan pasal 37 ayat (1) huruf c.

2. bentuk hukum.
Menunurut Pasal 2 SK DIR BI 32/36/1999,bentuk hukum suatu BPRS
dapat berupa.
a. perseroan terbatas
b. koperasi atau
c. perusahaan daerah.
Perseroan terbatas

Ia menambahkan, dengan berbentuk PT, UU Perbankan Syariah akan
lebih sederhana karena UU No.1/1995 tentang Perseroan Terbatas telah
banyak mengatur tentang organisasi usaha mulai dari pendirian, modal dan
saham serta. Selanjutnya, jika bank konvensional akan melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah, maka wajib mendirikan anak perusahaan
berbentuk PT, dan bukan dengan membuka Unit Usaha Syariah (UUS).

Ditekankannya, bagi bank konvensional yang telah memiliki UUS
harus melakukan pemisahan. Hingga saat ini, terdapat 15 UUS yang dimiliki
34
bank konvensional. Untuk pemisahan, dapat diberikan waktu maksimal dua
tahun dan diatur dalam pasal ketentuan peralihan
Dalam RUU Perbankan Syariah, DPR mengusulkan penambahan
sanksi pelanggaran prinsip syariah dalam Pasal 66. Sehingga, terdapat tiga
macam sanksi, yaitu administratif, pidana penjara selama satu-tiga tahun dan
denda antara Rp550 miliar.

C. Jenis-Jenis Kegiatan Usaha Bank Syariah Menurut Undang-Undang
Perbankan.

Menurut undang-undang No. 7 TAHUN 1992 TENTANG
PERBANKAN NOMOR. 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN
ATURAN TENTANG PERBANKAN INADONESIA .

pasal 13
Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi :
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa
deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu ;
b. memberikan kredit ;
35
c. menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip
Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia ;
d. menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI),
deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank
lain.


Pasal 14
Bank Perkreditan Rakyat dilarang :
a. menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas
pembayaran ;
b. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing ;
c. melakukan penyertaan modal ;
d. melakukan usaha perasuransian ;
e. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13.




36

Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh suatu BPRS menurut Pasal
27 SK DIR BI 32/36/1999 tersebut adalah sebagai berikut:

a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
yang meliputi :

(1) tabungan berdasarkan prinsip wadiah atau mudarabah
(2) deposito berjangka berdasarkan prinsip mudarabah
(3) bentuk lain berdasarkan prinsip wadiah atau
mudharabah.

b. Melakukan penyaluran dana melalui.
(1) Tramsaksi jual beli berdasarkan prinsip :
a) mudrabahah
b) istishna
c) ijarah
d) salam
e) jual beli lainya
2 pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip
a) mudharabah
37
b) musyarakah
c) bagi hasil lainya
3 pembiayaan lainya berdasarkan prinsip
a) rahn
b) qardh
c. melakuakan kegiatan lain yang lazim dilakukan Bank sepanjang
disetujui oleh Dewan Syariah Nasional.

Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dalam pasal 27 SK
DIR BI 32/36/1999 tersebut, pasal 28 menetukan bahwa BPRS dapat pula
bertindak sebagi lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang bersal dari
zakat infaq, shadaqah, waqaf, hibah, atau dana social lainnya dan
menyalurkannyakepada yang berhak dalam bentuk satuan dan atau
pinjaman kebijakan

Di bandingkan dengan kegiatan yang boleh dilakukan oleh suatu bank
syariah sebagaimana ditentukan oleh SK DIR Bank Indonesia 32/36/1999,
kegitan BPRS lebih terbatas. Dari daftar kegiatan-kegiatan usaha yang boleh
dilakukan oleh BPRS sebagaimana dikemukakan di atas, BPRS tidak
diperkenankan untuk melakukan kegiatan usaha menerima dana simpanan
prisip wadiah. Hal ini sejalan dengan ketentuan Undang-undang perbankan
38
yang tidak memungkinkan bank Perkreditan rakyat (BPR) untuk menerima
dan simpanban dalam bentuk giro.

1. Larangan Melakukan Kegiatan Bank Konvensional.

Ketentuan pasal 31 ayat (1) SK DIR BI 32/36/1999 melarang BPRS
melakukan kegiatan usaha secara konvensional. Sedangkan ayat (2) dari
pasal itu bahwa BPRS tidak diperkenankan mengubah kegiatan usahanya
menjadi BPR konvensional. Ayat (3) pasal 31 itu menentukan bahwa BPRS
yang semula memilki izin usahanya sebagai BPR konvensional dan telah
memperoleh izin perubahan kegiatan usaha menjadi berdasarkan prinsip
syariah tidak diperkenankan mengubah status menjadi BPR konvensiona

39



BPRS sama sekali tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan
bank untuk melaukan kegiatan bank konvesional, sekalipun kegiatan itu
melalui cabangkhusus yang tidak melakukan kegiatan berdasarkan prinsip
syariah, atau dengan kata lain hanya melakukan kegiatan Bank
konvesional
14


2 Kegiatan Perbankan Syariah Oleh Bank Perkerditan Rakyat
Syariah Oleh Bank Konvensional.

Sejak diberlakukannya UU No. 7/1992 tentang Perbankan, maka
keberadaan bank syariah dalam sistem perbankan di Indonesia
sebenarnya telah diakui dan dikenal. Bahkan, dapat dikatakan bahwa UU
No. 7/1992 ini merupakan pintu gerbang dimulainya perbankan syariah di
Indonesia. Namun demikian, UU tersebut belum memberikan landasan
hukum yang cukup kuat terhadap pengembangan bank syariah karena
belum secara tegas mengatur mengenai keberadaan bank berdasarkan
prinsip syariah, melainkan bank bagi hasil.
Sementara itu, pengertian bank bagi hasil yang dimaksudkan
dalam undang-undang tersebut belum mencakup secara tepat pengertian
bank syariah, yang ternyata memiliki cakupan yang lebih luas dari bagi
hasil itu sendiri. Termasuk belum adanya ketentuan operasional yang

14
Sutan Remy Sjahdeini,. Perbankan Islam Op.Cit. hal 170

40

secara lengkap mengatur kegiatan usaha bank syariah hingga tahun
1998.
Tahun 1998 dengan diberlakukannya UU No. 10/1998 tentang perubahan
UU No. 7/1992 tentang Perbankan yang diikuti dengan dikeluarkannya
sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam bentuk SK Direksi BI baru
dianggap telah memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan
kesempatan yang lebih luas bagi pengembangan perbankan syariah di
Indonesia. Perundang-undangan tersebut memberikan kesempatan yang
lebih luas untuk pengembangan jaringan perbankan syariah antara lain
melalui izin dual banking system. Selain itu UU No. 23/1999 tentang Bank
Indonesia juga menugaskan BI mempersiapkan perangkat peraturan dan
fasilitas-fasilitas penunjang yang mendukung operasional bank syariah.

Pada wilayah tinjauan hukum materilnya, perbankan konvensional
dengan perbankan syariah pasti sangat berbeda. Hukum perbankan
konvensional didasari oleh prinsip penetapan bunga yang dibawa oleh
sistem ekonomi kapitalis, dengan filosofi uang memiliki nilai waktu (time
value of money). Sedangkan hukum perbankan syariah mempunyai
filosofi berbeda dengan prinsip perbankan konvensional tersebut. Dimana
Islam memandang sebaliknya, uang hanyalah alat penukaran yang tidak
memiliki nilai waktu. Karena itu, berapapun besarnya tingkat suku bunga
tetap saja diharamkan. Hal inilah yang menjadi pembeda mendasar antara
bank konvensional dengan bank syariah.

41

Hanya pada aspek teknis operasionalnya, bank konvensional dengan
bank syariah dapat menemui beberapa persamaan, yaitu:
1 Akad/kontrak
2 Lembaga penyelesaian sengketa
3 Struktur organisasi
4 Bisnis dan usaha yang dibiayai
5 Lingkungan dan budaya kerja
6 Paradigma perhimpunan dana
7 Kegiatan operasional dan pengelolaan risiko.


Akan tetapi mempunya krekteristik yang berbeda didalamnya,
sehingga dalam operasionalisasinya harus mengikuti system yang dipakai
pada masing-masing bank tersebut.

3 Batas Maksimum Pemberian Kredit.
a). Menurut Undang-Undang No 10 Tentang Perbankan.

Salah satu penyediaan dari kegagalan usaha bank adalah
penyediaan dana yang tidak didukung dengan kemampuan bank
mengelola konsentrasi penyediaan dana secara efektif. Dalam rangka
mengurangi potensi kegagalan usaha bank maka bank wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit, antara lain

42

dengan melakukan penye aran (diversifikasi) portofolio penyediaan
dana melalui pem atasan penyediaan dana, baik kepada pihak terkait
maupun kepada pihak ukan terkait. Pembatasan penyediaan dana
adalah persentase tertentu dari modal ank yang dikenal dengan atas
maksimum pem erian kredit (BMPK). BMPK mendapatkan dasar
pengaturan dalam UU Perbankan.

Pengaturan tersebut selanjutnya dijabarkan oleh Bank
Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/3/PBI/2005
tentang Batas
Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Berdasarkan PBI tersebut,
BMPK adalah persentase maksimum penyediaan dana yang
diperkenankan terhadap modal bank.
15


Tujuan ketentuan BMPK adalah untuk melindungi kepentingan
dan kepercayaan masyarakat serta memelihara kesehatan dan daya
tahan bank, dimana dalam penyaluran dananya, bank diwajibkan
mengurangi risiko dengan cara menyebarkan penyediaan dana sesuai
dengan ketentuan BMPK pemerintah Indonesia. Selain itu penyediaan
dana bank kepada BUMN untuk tujuan pembangunan dan
mempengaruhi hajat hidup orang banyak dapat dilakukan paling tinggi

15
Pasal 1 angka 2 PBI No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian
Kredit Bank Umum



43

sebesar 30 % dari modal bank. Kemudian dapat ditambahkan bahwa
pengambilalihan (negosiasi) wesel ekspor berjangka dikecualikan dari
peritungan BMPK sepanjang wesel ekspor erjangka diter itkan atas
dasar lette of credit berjangka yang sesuai dengan berlaku, Bank
yang melakukan pelanggaran BMPK dan atau pelampauan BMPK
dikenakan sanksi penilaian tingkat kesehatan bank sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pelanggaran
BMPK adalah selisih lebih antara persentase BMPK yang
diperkenankan dengan persentase penyediaan dana terhadap modal
bank pada saat pem erian penyediaan dana. Sementara, pelampauan
BMPK adalah selisih lebih antara persentase BMPK yang
diperkenankan dengan persentase penyediaan dana terhadap modal
bank pada saat tanggal laporan dan tidak termasuk pelanggaran
BMPK sebagaimana dimaksud di atas. Penyediaan dana oleh Bank
dikategorikan se agai pelampauan BMPK apabila disebakan oleh :
a. penurunan modal bank;
b. perubahan nilai tukar;
c. perubahan nilai wajar;
d. penggabungan usaha dan atau perubahan
struktur kepengurusan yang
e. menyebabkan perubahan pihak terkait dan
atau kelompok peminjam;
f. perubahan ketentuan.

44



Dalam hal terjadi pelanggaran BMPK dan atau pelampauan
BMPK, bank wajib menyusun dan menyampaikan rencana tindakan
(action plan) untuk penyelesaiannya yang setidaknya memuat
langkah-langkah untuk penyelesaian pelanggaran BMPK dan atau
pelampauan BMPK serta target waktu penyelesaian sesuai dengan
ketentuan dalam PBI No. 7/3/PBI/2005. Bank yang menyampaikan
action plan untuk pelanggaran BMPK setelah atas akhir waktu sampai
dengan 14 (empat belas) hari kerja setelah atas akhir waktu tersebut,
dikenai sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) perhari kerja keterlam batan. Sementara bank yang
menyampaikan action plan untuk pelampauan BMPK setelah atas akhir
waktu sampai dengan 14 (empat belas) hari kerja setelah atas berakhir
waktu tersebut, dikenai sanksi berupa kewajiban membayar sebesar
Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) perhari kerja keterlambatan.
Selanjutnya bank juga diwajibkan untuk menyampaikan laporan
pelaksanaan action plan masing-masing untuk pelanggaran BMPK
dan pelampauan BMPK kepada Bank Indonesia paling lambat 14
(empat belas) hari kerja setelah realisasi action plan.
Bank yang menyampaikan laporan pelaksanaan action plan
setelah atas akhir waktu sampai dengan 14 (empat belas) hari kerja
setelah atas waktu tersebut, dikenai sanksi berupa kewajiban

45

membayar sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) perhari kerja
keterlambatan. Bank yang tidak menyelesaikan pelanggaran BMPK
dan atau pelampauan BMPK sesuai dengan action plan setelah diri
peringatan 2 (dua) kali oleh Bank Indonesia dengan tenggang waktu 1
(satu) minggu untuk setiap teguran, dikenai sanksi administratif
sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) UU Perbankan antara lain
berupa :
a. Pencantuman anggota pengurus, pegawai
bank, pemegang saham dalam daftar
pihak-pihak yang mendapat predikat tidak
lulus penilaian kemampuan dan kepatutan
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku;
b. Pembekuan kegiatan usaha tertentu,
antara lain tidak diperkenankan untuk
ekspansi penyediaan dana atau
c. Larangan untuk turut serta dalam rangka
kegiatan kliring.Selain itu, terhadap Dewan
Komisaris, Direksi, pegawai bank,
pemegang saham maupun pihak terafiliasi
lainnya dapat dikenai sanksi pidana
sebagaimana diatur dalam.
Pasal 49 ayat (2) huruf , Pasal 50 dan Pasal 50 A UU Perbankan.

46


Berdasarkan PBI tentang BMPK maka batas penyediaan dana
bank dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu:Pertama, seluruh portofolio
penyediaan dana kepada pihak terkait dengan bank ditetapkan paling
tinggi 10% dari modal bank.
Bank juga tidak boleh memberikan penyediaan dana kepada pihak
terkait tanpa persetujuan dewan komisaris bank. Bank tidak boleh
membeli aktiva berkualitas rendah dari pihak terkait. Jika kualitas
penyediaan dana kepada pihak terkait menurun menjadi kurang lancar,
diragukan, atau macet maka bank wajib menempuh penyelesaian dengan
cara pelunasan kredit selambat-lambatnya 60 hari sejak turunnya kualitas
penyediaan dana. Yang dimaksud dengan pihak terkait adalah
perseorangan, perusahaan atau badan yang mempunyai hubungan
pengendalian dengan bank secara langsung maupun tidak langsung.
Hubungan yang dimaksud dapat berupa hubungan dalam hal kepemilikan,
kepengurusan, hubungan keuangan, dan juga hubungan keluarga.Kedua,
BMPK bagi peminjam yang tidak terkait dengan bank. Untuk kategori ini,
peminjam individu BMPK yang berlaku paling tinggi adalah 20% dari
modal bank, sedangkan untuk peminjam kelompok BMPK tertinggi adalah
25 % dari modal bank.
Bank wajib memberikan laporan kepada BI bila terjadi
pelanggaran/pelampauan BMPK. Hal ini harus dipatuhi agar BI dapat
dengan segera mengambil langkah-langkah penyelesaian agar kesehatan

47

bank bersangkutan tidak dibahayakan. Pelampauan BMPK ini dapat
disebabkan beberapa hal, salah satunya adalah karena terjadinya
penurunan modal bank. Ketika modal bank menurun maka besaran
persentase kredit terhadap modal pasti akan naik. Pelampauan BMPK
dapat juga terjadi ketika perubahan nilai tukar, dan ketika terjadi
penggabungan usaha serta perubahan struktur kepengurusan yang
menyebabkan perubahan pihak terkait dan atau kelompok peminjam.
Ketika terjadi pelampauan BMPK, bank diwajibkan untuk menyusun action
plan yang memuat langkah-langkah penyelesaian yang akan dilakukan
bank dan melaporkan action plan tersebut kepada BI.

Ada beberapa penyediaan dana yang mendapat pengecualian dari
ketentuan BMPK. Misalnya, penyediaan dana untuk pembelian surat
berharga yang diterbitkan pemerintah Indonesia, maupun surat berharga
yang diterbitkan BI. Hal ini adalah wajar mengingat kedua surat berharga
tersebut memiliki likuiditas yang tinggi sehingga tidak membahayakan
ketika bank melakukan penempatan pada bank kedua instrumen tersebut.
Pengecualian yang lain adalah penyediaan dana bank dalam bentuk
penyertaan modal kepada bank lain dalam rangka konsolidasi perbankan
(ini merupakan salah satu insentif yang diberikan BI agar bank yang
jumlah modal minimumnya kurang segera melakukan merger) yang
sifatnya hanya sementara



48



b). Menurut Pasal 11 ayat 4 Undang-Undang Perbankan.

Pasal 11
1. Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas
maksimum pemberian kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan,
penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang
serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada
peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait
termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam
kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.
2. Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak boleh melebihi 30 % (tiga puluh perseratus) dari
modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
3. Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas
maksimum pemberikan kredit, atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan,
penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang
serupa yang dapat dilakukan oleh bank kepada :
a. pemegang saham yang memiliki 10 % (sepuluh
perseratus) atau lebih dari modal disetor bank ;

49

b. anggota Dewan Komisaris ;
c. anggota Direksi ;
d. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c ;
e. pejabat bank lainnya ; dan
f. perusahaan-perusahaan yang di dalamnya
terdapat kepentingan dari pihak-pihak
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf e.
4. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah, bank dilarang melampaui batas
maksimum pemberian kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam
ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4).










50


BAB III
HUBUNGAN ANTARA BANK SYARIAH DAN NASABAHNYA
TENTANG PERJANJIAN BERDASARKAN HUKUM
PERDATA

A. Bentuk Kegiatan Bank Syariah Dan Bentuk Hukumnya
Syariah
Aktivitas perdagangan dan usaha yang sesuai dengan syariah
adalah kegiatan usaha yang tidak berkaitan dengan produk atau jasa yang
haram seperti makanan haram, perjudian atau kemaksiatan. Selain itu
juga menghindari cara perdagangan dan usaha yang dilarang, termasuk
yang tergolong praktik riba, gharar dan maysir.
Kenyataannya tidak semua aktivitas perdagangan dan usaha
memenuhi ketentuan syariah. Untuk itu fatwa ulama diperlukan guna
memastikan pemenuhan kualifikasi tersebut. Fatwa mengenai halal-haram
transaksi keuangan syariah di Indonesia ditetapkan Majelis Ulama
Indonesia melalui Dewan Syariah Nasional (DSN) dengan bantuan tenaga
praktisi dan penerapannya dilaksanakan dengan bantuan Dewan
Pengawas Syariah (DPS).

51

Salah satu tonggak penting dalam pengembangan ekonomi syariah
di Indonesia adalah beroperasinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada
tahun 1992. Perbankan syariah semakin marak setelah diterbitkan UU No
10/1998 yang memungkinkan perbankan menjalankan dual banking
system atau bank konvensional dapat mendirikan divisi syariah. Dengan
adanya Undang-undang tersebut bank-bank konvensional mulai melirik
dan membuka unit usaha syariah. Tak heran jika perkembangan
perbankan syariah cukup pesat.
Faktor utama yang mendukung perkembangan ekonomi syariah di
Indonesia di masa mendatang adalah jumlah penduduk Indonesia yang
mayoritas muslim. Selain itu adanya peningkatan kesadaran umat Islam
dalam berinvestasi sesuai syariah. Mengingat begitu pentingnya investasi
sebagai salah satu perilaku ekonomi, maka menjadi penting pula
pemahaman mengenai teori dan praktik investasi tersebut. Berikut uraian
dari teori dan praktik investasi syariah.
(http://www.hukumonline.com/03262005/enterprise,0326,02.html,
Muhammad Budi Setiawan. 25 Mei 2005).





52

1 Bentuk-bentuk Investasi Syariah
a) Deposito Syariah.

Dalam operasionalisasi di dunia perbankan, transaksi ini
mempunyai karakteristik tersendiri, yaitu:
Kedua belah pihak yang mengadakan kontrak antara pemilik dana
dan mudharib akan menentukan kapasitas baik sebagai nasabah maupun
pemilik. Di dalam akad tercantum pernyataan yang harus dilakukan kedua
belah pihak yang mengadakan kontrak dengan ketentuan sebagai berikut:
1 Di dalam perjanjian tersebut harus dinyatakan
secara tersurat maupun tersirat mengenai tujuan
kontrak.
2 Penawaran dan penerimaan harus disepakati
kedua belah pihak di dalam kontrak tersebut.
3 Maksud penawaran dan penerimaan merupakan
suatu kesatuan informasi yang sama
penjelasannya. Perjanjian bisa saja berlangsung
melalui proposal tertulis dan langsung
ditandatangani.

53

Modal adalah sejumlah uang pemilik dana diberikan kepada
mudharib untuk diinvestasikan dikelola) dalam kegiatan usaha
mudharabah.
Adapun Syarat yang tercakup dalam modal adalah sebagai berikut:
1 Jumlah modal harus diketahui secara pasti termasuk
jenis mata uangnya.
2 Modal harus dalam bentuk tunai, seandainya
berbentuk aset menurut Jumhur Ulama Fiqh
diperbolehkan, asalkan berbentuk barang niaga dan
mempunyai nilai atau historinya pada saat
mengadakan kontrak. Bila aset tersebut berbentuk
non-kas yang siap dimanfaatkan, seperti pesawat dan
kapal, menurut Madzab Hanbali diperbolehkan
sebagai modal mudharabah asalkan mudharib tetap
menginvestasikan semua modal tersebut dan berbagi
hasil dengan pemilik dana dalam pendapatan dari
investasi dan pada akhir jangka waktu.
3 Modal harus tersedia dalam bentuk tunai tidak dalam
bentuk piutang.
4 Modal mudharabah langsung dibayar kepada
mudharib. Beberapa Fuqaha berbeda pendapat
mengenai cara realisasi pencarian dana, yaitu dibayar

54

langsung dengan cara lain dilaksanakan dengan
memungkinkan mudharib untuk memperoleh manfaat
dari modal tersebut bagaimanapun cara akuisisinya.
Sesuai dengan pendapat kedua, pengadaan kontrak
dapat dilaksanakan untuk keseluruhan modal dan
pembayarannya kepada mudharib dapat dibuat dalam
beberapa angsuran.
Keuntungan adalah jumlah yang melebihi jumlah modal dan
merupakan tujuan mudharabah dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1 Keuntungan ini haruslah berlaku bagi kedua belah
pihak dan tidak ada satu pihakpun yang akan
memilikinya.
2 Haruslah menjadi perhatian dari kedua belah pihak
dan tidak terdapat pihak ketiga yang akan turut
memperoleh bagi hasil darinya. Porsi bagi hasil
keuntungan untuk masing-masing pihak harus
disepakati bersama pada saat perjanjian
ditandatangani. Bagi hasil mudharib harus secara
jelas dinyatakan pada saat pengadaan kontrak
dilakukan.
3 Pemilik dana akan menanggung semua kerugian
sebaliknya mudharib tidak menanggung kerugian

55

sedikitpun. Akan tetapi, mudharib harus menanggung
kerugian bila kerugian itu timbul dari pelanggaran
perjanjian atau penghilangan dana tersebut.
Jenis usaha / pekerjaan diharapkan mewakili / menggambarkan
adanya kontribusi mudaharib dalam usahanya untuk mengembalikan /
membayar modal kepada penyedia dana. Jenis pekerjaan dalam hal ini
berhubungan dengan masalah manajemen dari pembiayaan mudharabah
itu sendiri. Di bawah ini merupakan syarat-syarat yang harus diterapkan
dalam usaha / pekerjaan mudharabah adalah sebagai berikut:
Bentuk pekerjaan / usaha. Merupakan hak khusus mudharib tidak
ada intervensi manajemen dari pemilik dana, meskipun demikian menurut
Madzab Hambali membolehkan adanya peran serta / partisipasi pemilik
dana dalam pekerjaan / usaha tersebut.
Penyedia dana tidak harus boleh membatasi kegiatan mudharib
seperti melarang mudharib agar tidak sukses dalam pencarian laba
keuntungan.
Mudharib tidak boleh melanggar hukum islam dalam usahanya dan
juga harus mematuhi praktik-praktik usaha yang berlaku.
Mudharib harus mematuhi syarat-syarat yang diajukan pemilik dana
asalkan syarat-syarat tersebut tidak bertentangan kontrak mudharabah
tersebut.

56

Modal mudharabah tidak boleh dalam penguasaan pemilik dana,
sehingga tidak dapat ditarik sewaktu-waktu. Penarikan dana mudharabah
hanya dapat dilakukan sesuai dengan waktu yang disepakati (periode
yang telah ditentukan). Penarikan dana yang dilakukan setiap saat akan
membawa dampak berkurangnya pembagian hasil usaha oleh nasabah
yang menginvestasikan dananya.
b). Pasar Modal Syariah.

Dalam arti sempit pengertian pasar merupakan tempat para
penjual dan pembeli bertemu untuk melakukan transaksi. Artinya pembeli
dan penjual langsung bertemu untuk melakukan transaksi dalam suatu
lokasi tertentu. Lokasi atau tempat pertemuan tersebut disebut pasar.
Namun dalam arti luas pengertian pasar merupakan tempat melakukan
transaksi antara pembeli dan penjual, dimana pembeli dan penjual tidak
harus bertemu dalam suatu tempat atau bertemu langsung, akan tetapi
dapat dilakukan melalui sarana informasi yang ada seperti sarana
elektronika.
Pengertian pasar modal secara umum merupakan suatu tempat
bertemunya para penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi dalam
rangka memperoleh modal. Penjual (emiten) dalam pasar modal
merupakan perusahaan yang membutuhkan modal, sehingga mereka
berusaha untuk menjual efek di pasar modal. Sedangkan pembeli

57

(investor) adalah pihak yang ingin membeli modal diperusahaan yang
menurut mereka menguntungkan. Pasar modal dikenal dengan nama
bursa efek, dan di Indonesia dewasa ini ada dua buah bursa efek yaitu
Bursa Fek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES).
Modal yang diperdagangkan dalam pasar modal merupakan modal
yang bila diukur dari waktunya merupakan modal jangka panjang. Oleh
karena itu bagi emiten sangat menguntungkan mengingat masa
pengembaliannya relatif panjang, baik yang bersifat kepemilikan maupun
yang bersifat hutang. Khusus untuk modal bersifat kepemilikan, jangka
waktunya lebih panjang jika dibandingkan dengan yang bersifat hutang.
c) Saham Syariah.

Menurut Dewan Syariah Nasioanal (DSN), saham adalah suatu
bukti kepemilikan atas suatu perusahaan yang memenuhi kriteria syariah
dan tidak termasuk saham yang memiliki hak-hak istimewa. Bagi
perusahaan yang modalnya diperoleh dari saham merupakan modal
sendiri. Dalam struktur permodalan khususnya untuk perusahaan yang
berbentuk perseroan terbatas (PT), pembagian modal menurut undang-
undang terdiri:
Modal dasar, yaitu modal pertama sekali perusahaan didirikan.

58

Modal ditempatkan, maksudnya modal yang sudah dijual dan besarnya
25% dari modal dasar.
Modal disetor, merupakan modal yang benar-benar telah disetor yaitu
sebesar 50% dari modal yang telah ditempatkan.
Saham dalam portepel yaitu modal yang masih dalam bentuk saham yang
belum dijual atau modal dasar dikurangi modal ditempatkan.

B. Prinsip Dasar Saham Syariah
a) Bersifat musyarakah jika ditawarkan secara
terbatas.
b) Bersifat mudharabah jika ditawarkan kepada
publik.
c) Tidak boleh ada pembeda jenis saham, karena
risiko harus ditanggung oleh semua pihak.
d) Prinsip bagi hasil laba-rugi.
e) Tidak dapat dicairkan kecuali dilikuidasi.




59

1. Jenis-jenis Saham
a) Saham Preferen
1 Mempunyai sifat gabungan antara saham biasa dan
obligasi.
2 Hak preferen terhadap dividen: hak untuk menerima
dividen terlebih dahulu dibandingkan dengan
pemegang saham biasa. Dividen biasanya dinyatakan
dalam persen (%).
3 Hak dividen komulatif hak untuk menerima dividen
tahun-tahun sebelumnya yang belum dibayarkan.
1. Hak preferen likuiditas: mendapatkan terlebih dahulu aktiva
perusahaan dibandingkan dengan pemegang saham biasa bila
terjadi likuidasi.
2. Dari penjelasan mengenai prinsip dasar saham syariah, maka
saham preferen tidak berlaku pada saham syariah.
b) Saham Biasa
Hak kontrol: memilih pimpinan perusahaan.
Hak menerima pembagian keuntungan.
Hak preemtive: hak untuk mendapatkan prosentasi kepemilikan yang
sama jika perusahaan mengeluarkan tambahan lembar saham.

60


c) Saham Treasury
1 Saham perusahaan yang pernah beredar dan dibeli kembali
oleh perusahaan untuk disimpan dan dapat dijual kembali.
2 Beberapa alasan kenapa ada saham treasury:
3 Dapat diberikan sebagai bonus kepada karyawan,
Meningkatkan perdagangan, sehingga nilai pasar meningkat,
Mengurangi jumlah saham beredar untuk menaikkan laba per
lembar saham. Untuk mencegah perusahaan dikuasai oleh
perusahaan lain.
d) Pedoman Syariah
Uang tidak boleh menghasilkan uang. Uang hanya boleh
berkembang bila diinvestasikan dalam aktivitas ekonomi.
Hasil dari kegiatan ekonomi diukur dengan tingkat keuntungan
investasi. Keuntungan ini dapat diestimasikan tetapi tidak ditetapkan di
depan. Uang tidak boleh dijual untuk mempeoleh uang.
Saham dalam perusahaan, kegiatan mudharabah atau
partnership/musyarakah dapat diperjualbelikan dalam rangka kegiatan
investasi dan bukan untuk spekulasi dan untuk tujuan perdagangan kertas
berharga.

61

Instrumen finansial islami, seperti saham, dalam suatu venture atau
perusahaan, dapat diperjualbelikan karena ia mewakili bagian kepemilikan
atas aset dari suatu bisnis.
Beberapa batasan dalam perdagangan sekuritas seperti itu antara
lain. Nilai per share dalam suatu bisnis harus didasarkan pada hasil
appraisal atas bisnis yang bersangkutan. Transaksi tunai, harus segera
diselesiakan sesuai dengan kontrak.
2 Obligasi Syariah.

Perihal obligasi syariah sendiri, sebenarnya telah ada fatwa yang
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN
MUI). Yaitu, fatwa No.32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah dan
fatwa No.33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah.
Keduanya, dikeluarkan pada waktu bersamaan, 14 September lalu.
Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan
prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi
syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan pada
pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil serta membayar kembali
dana obligasi pada saat jatuh tempo.

62

Sementara pendapatan investasi yang dibagikan emiten kepada
pemegang obligasi syariah harus bersih dari unsur nonhalal. Mengenai
bagi hasil (nisbah) antara emiten dan pemegang obligasi syariah, diatur
bahwa nisbah keuntungan dalam obligasi syariah mudharabah ditentukan
sesuai kesepakatan dengan ketentuan pada saat jatuh tempo, akan
diperhitungkan secara keseluruhan.
Kewajiban dalam syariah hanya timbul akibat adanya transaksi atas
aset/produk (mal) atau jasa (amal) yang tidak tunai, sehingga terjadi
transaksi pembiayaan. Kewajiban ini umumnya berkaitan dengan
transaksi perniagaan dimana kondisi tidak tunai tersebut dapat terjadi
karena penundaan pembayaran atau penundaan penyerahan obyek
transaksi (mal atau amal).
Dalam Islam pembiayaan dapat terjadi karena ada suatu pihak
yang memberikan dana untuk memungkinkan suatu transaksi. Pihak
penjual dapat memberikan pembiayaan dengan memberikan fasilitas
penundaan pembayaran, sedangkan pihak pembeli dapat memberikan
pembiayaan dengan memberikan fasilitas penundaan penyerahan obyek
transaksi.
a) Jenis-jenis Obligasi
1. Obligasi Mudharabah adalah kerja sama dengan skema bagi hasil
pendapatan atau keuntungan, obligasi jenis ini akan memberikan

63

return dengan penggunaan term indicative/expected return karena
sifatnya yang floating dan tergantung pada kinerja pendapatan
yang dibagihasilkan.
2. Obligasi Ijarah. Dengan akad Ijarah sebagai bentuk jual beli dengan
skema cost plus basis, obligasi jenis ini akan memberikan fixed
return.
C. Pedoman Syariah
Tetapi, sebagai catatan, tidak semua emiten dapat menerbitkan
obligasi syariah. Untuk menerbitkan obligasi syariah, beberapa
persyaratan berikut yang harus dipenuhi:
Aktivitas utama (core business) yang halal, tidak bertentangan
dengan substansi Fatwa No: 20/DSN-MUI/IV/2001. Fatwa tersebut
menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan
syariah Islam di antaranya adalah:
a. Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau
perdagangan yang dilarang.
b. Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk
perbankan dan asuransi konvensional.
c. Usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta
memperdagangkan makanan dan minuman haram.

64

d. Usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau
menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak
moral dan bersifat mudarat.
1. Memiliki fundamental usaha yang kuat.
2. Memiliki fundamental keuangan yang kuat.
3. Memiliki citra yang baik bagi publik
Reksadana adalah wadah yang dipergunakan
untuk menghimpun dana dari masyarakat
pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan
dalam portofolio efek oleh manajer investasi.
Sedangkan reksadana syariah adalah
reksadana yang beroperesi menurut
ketentuan dalam prinsip syariah, baik dalam
bentuk akad, pengelolaan dana dan
penggunaan dana.
Akad antara investor dengan lembaga
hendaknya dilakukan dengan sistem
mudharabah.
Secara teknis, mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara
dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh (100%) modal,
sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.

65


Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi,
ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat
kelalaian di pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena
kecurangan atau kelalain pengusaha, maka pengelola harus bertanggung
jawab atas kerugian tersebut.
Dalam hal transaksi jual beli, saham-saham dalam reksadana
syariah dapat diperjual belikan. Saham-saham dalam reksadana syariah
merupakan yang harta (mal) yang dibolehkan untuk diperjual belikan
dalam syariah.
Tidak adanya unsur penipuan (gharar) dalam transaksi saham
karena nilai saham jelas. Harga saham terbentuk dengan adanya hukum
supply and demand.
Semua saham yang dikeluarkan reksa dana tercatat dalam
administrasi yang rapih dan penyebutan harga harus dilakukan dengan
jelas.




66

D. Jenis Investasi Berdasarkan Syariah.
a) Tabungan Bagi Hasil (Mudharabah).

Tabungan bagi hasil adalah tabungan yang berdasarkan prinsip
mudharabah mutlaqah. Dalam hal ini bank syariah mengelola dana yang
diinvestasikan oleh penabung secara produktif, menguntungkan dan
memenuhi prinsip-prinsip syariah Islam. Hasil keuntungannya akan
dibagikan kepada penabung dan bank, sesuai perbandingan bagi hasil
atau nisbah yang disepakati bersama.
Contoh perhitungan bagi hasil Saldo rata-rata Bapa Huda bulan
November 2004 sebesar Rp 1 juta sedangkan saldo rata-rata tabungan
seluruh nasabah Bank Syariah pada bulan tersebut sebesar Rp 50 juta.
Bila perbandingan bagi hasil antara nasabah dan bank sebesar 50:50 dan
pendapatan bank yang dibagihasilkan untuk tabungan sebesar Rp 1 juta
maka bagi hasil yang didapatkan oleh Bapa Huda adalah sebesar: (Rp 1
juta : Rp 50 juta X Rp 1 juta X 50% = Rp 10.000,00.
Sehingga Bapa Huda akan menerima bagi hasil sebesar Rp. 10
ribu rupiah dalam bulan November 2004 atas tabungan saldo rata-rata
sebesar Rp. 1 juta. Berbeda dengan bank konvensional yang pendapatan
bunganya tetap sepanjang tidak ada perubahan. Bagi hasil yang
didapatkan dari bank syariah dapat berubah setiap bulan, tergantung
pendapatan bagi hasil yang diterima bank syariah dari para peminjam.

67


b) Deposito Bagi Hasil (Mudharabah).

Deposito Bagi Hasil merupakan produk investasi jangka waktu
tertentu. Nasabahnya bisa perorangan maupun badan. Produk ini
menggunakan prinsip mudharabah muthlaqah. Dengan prinsip ini bank
akan mengelola dana yang diinvestasikan nasabah secara produktif,
menguntungkan dan memenuhi prinsip-prinsip hukum Islam. Hasil
keuntungannya akan dibagikan kepada nasabah dan bank sesuai nisbah
yang disepakati bersama sebelumnya.
Contoh ilustrasi perhitungan bagi hasil; Saldo rata-rata Bapa Huda bulan
November 2004 sebesar Rp 10 juta sedangkan saldo rata-rata deposito
seluruh nasabah bank syariah pada bulan tersebut sebesar Rp 500 juta.
Bila perbandingan bagi hasil antara nasabah dan bank sebesar 65:35 dan
pendapatan bank syariah yang dibagihasilkan untuk deposito sebesar Rp
10 juta maka bagi hasil yang didapatkan oleh Bapa Huda adalah: (Rp 10
juta : Rp 500 juta X Rp 10 juta X 65% = Rp 130.000,00.
c) Investasi Khusus (Mudharabah).

Investasi khusus adalah suatu bentuk investasi nasabah yang
disalurkan langsung kepada pembiayaan tertentu sesuai dengan

68

keinginan nasabah. Perbandingan atau nisbah bagi hasil yang ditetapkan
berdasarkan kesepatan antara bank, nasabah serta penasihat keuangan
jika diperlukan (dapat dinegosiasikan). Dana akan diinvestasikan kepada
sektor riil yang menguntungkan sesuai keinginan nasabah.
Contoh perhitungan bagi hasil; Bapa Huda menginvestasikan dana
sebesar Rp 5 juta dengan pilihan untuk pembiayaan kepada pedagang
bahan bangunan. Bila pada bulan berikutnya keuntungan investasi yang
diterima bank dari pedagang bahan bangunan sebesar Rp 2 juta
sementara kesepakatan nisbah antara nasabah dan bank sebesar 65:35,
maka bagi hasil yang didapatkan Bapa Huda adalah sebesar: Rp 2 juta X
65% = Rp 1.300.000
Pendapatan bagi hasil yang diterima oleh deposan investasi
khusus dalam hal ini akan sangat bervariasi tergantung dari kinerja dari
pedagang yang diberikan pinjaman, dimana ada kemungkinan suatu saat
apabila pedagang tersebut mengalami kerugian maka bisa saja kita tidak
mendapat bagi hasil alias 0.
a. Investasi Saham Sesuai Syariah di Pasar Modal
Salah satu bentuk investasi yang sesuai dengan syariah adalah
membeli saham perusahaan, baik perusahaan non publik (private equity)
maupun perusahaan publik/terbuka. Cara paling mudah dalam melakukan

69

investasi saham sesuai syariah di BEJ adalah memilih dan membeli jenis
saham-saham yang dimasukkan dalam Jakarta Islamic Index (JII).

b. Reksadana Syariah
Dalam reksadana konvensional, pengaturan atau penempatan
portfolio investasi hanya menggunakan pertimbangan tingkat keuntungan.
Sedangkan reksadana syariah selain mempertimbangkan tingkat
keuntungan juga harus mempertimbangkan kehalalan suatu produk
keuangan. Sebagai contoh bila reksadana syariah ingin menempatkan
salah satu jenis investasinya dalam saham, maka saham yang dibeli
tersebut harus termasuk perusahaan yang sudah dibolehkan secara
syariah. Lebih mudahnya sudah termasuk dalam jenis saham yang ada
dalam daftar JII (Jakarta Islamic Index). Demkian juga jenis investasi
lainnya seperti obligasi, harus yang menganut sistem syariah.
Manajer investasi reksadana syariah harus memahami investasi
dan mampu melakukan kegiatan pengelolan yang sesuai dengan syariah.
Untuk itu diperlukan adanya panduan mengenai norma-norma yang harus
dipenuhi Manajer Investasi agar investasi dan hasilnya tidak melanggar
ketentuan syariah, termasuk ketentuan yang berkaitan dengan praktek
riba, gharar dan maysir. Dalam praktek syariah maka Manajer Investasi
bertindak sesuai dengan perjanjian atau aqad wakalah. Manajer investasi

70

akan menjadi wakil dari investor untuk kepentingan dan atas nama
investor. Sebagai bukti penyertaan dalam reksadana syariah maka
investor akan mendapat unit penyertaan dari reksadana syariah.

E. Realisasi Hukumnya Peraturan Bank Indonesia No 7 Tahun 2005
Tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.
Dari berbagai pengalaman yang ada, timbulnya friksi tersebut
terutama disebabkan oleh empat hal yaitu informasi yang kurang
memadai mengenai karakteristik produk atau jasa yang ditawarkan bank,
pemahaman nasabah terhadap aktivitas dan produk atau jasa perbankan
yang masih kurang, ketimpangan hubungan antara nasabah dengan
bank, khususnya bagi nasabah peminjam dana, dan tidak adanya saluran
yang memadai untuk memfasilitasi penyelesaian awal friksi yang terjadi
antara nasabah dengan bank.
Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas industri perbankan
berkepentingan untuk meningkatkan perlindungan terhadap kepentingan
nasabah dalam berhubungan dengan bank. Mengingat pentingnya
permasalahan tersebut, Bank Indonesia telah menetapkan upaya
perlindungan nasabah sebagai salah satu pilar dalam Arsitektur
Perbankan Indonesia (API) yang diluncurkan oleh Gubernur Bank
Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004. API sendiri merupakan suatu

71

cetak biru sistem perbankan nasional yang terdiri dari enam pilar untuk
mewujudkan visi sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna
menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu
mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Enam pilar dalam API adalah
struktur perbankan yang sehat, sistem pengaturan yang efektif, sistem
pengawasan yang independen dan efektif, industri perbankan yang kuat,
infrastruktur yang mencukupi, dan perlindungan nasabah.
Jika selama ini Bank Indonesia selalu berpijak pada UU No. 7/1992
tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan UU No. 10/1998 dan UU
No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan UU No.
3/2004 dalam pengaturan aspek kehati-hatian bank, maka dengan telah
berlaku efektifnya UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen sejak
tahun 2001 aspek pengaturan perbankan pun harus diperluas dengan
aspek perlindungan dan pemberdayaan nasabah sebagai konsumen
pengguna jasa bank.
Bank Indonesia sejak awal tahun 2002 mulai menyusun cetak biru
sistem perbankan nasional yang salah satu aspek didalamnya tercakup
upaya untuk melindungi dan memberdayakan nasabah. Upaya ini
kemudian berlanjut dan dituangkan menjadi Pilar ke VI dalam API yang
mencakup empat aspek, yaitu mekanisme pengaduan nasabah,
pembentukan lembaga mediasi independen, transparansi informasi

72

produk, dan edukasi nasabah. Keempat aspek tersebut dituangkan
kedalam empat program API, yaitu:
1. Penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah
2. Pembentukan lembaga mediasi perbankan independen
3. Penyusunan standar transparansi informasi produk
4. Peningkatan edukasi untuk nasabah
Tidak kalah pentingnya dalam upaya peningkatan dan
pemberdayaan nasabah ini adalah keberadaan infrastruktur di bank untuk
menangani dan menyelesaikan berbagai keluhan dan pengaduan
nasabah. Dalam hal ini, bank harus merespons setiap keluhan dan
pengaduan yang diajukan nasabah, khususnya yang terkait dengan
transaksi keuangan yang dilakukan nasabah melalui bank tersebut. Untuk
menghindari berlarut-larutnya penanganan pengaduan nasabah,
diperlukan standar waktu yang jelas dan berlaku secara umum di setiap
bank dalam menyelesaikan setiap pengaduan nasabah. Standar waktu ini
harus ditentukan sedemikian rupa sehingga dapat dipenuhi dengan baik
oleh bank dan tidak menimbulkan kesan bahwa pengaduan tidak
ditangani dengan semestinya oleh bank.
Apabila nasabah tidak puas dengan hasil penyelesaian pengaduan
yang dilakukan bank, maka perlu pula disediakan media yang dapat
menampung penyelesaian sengketa antara nasabah dengan bank.
Mengingat sebagian besar nasabah bank adalah nasabah kecil, maka

73

media penyelesaian sengketa nasabah dengan bank haruslah dapat
memenuhi unsur sederhana, murah, dan cepat. Sederhana dalam arti
proses penyelesaian sengketa dilaksanakan tanpa melalui proses yang
berkepanjangan, murah dalam arti tidak menimbulkan beban tambahan
yang memberatkan nasabah, dan cepat dalam arti penyelesaian sengketa
dilaksanakan dalam jangka waktu relatif singkat.
Penerbitan PBI No. 7/6/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang
Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi
Nasabah dan PBI No. 7/7/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang
Penyelesaian Pengaduan Nasabah yang menjadi bagian dari Paket
Kebijakan Perbankan Januari 2005 dan PBI No.8/5/PBI/2006 tanggal 30
Januari 2006 tentang Mediasi Perbankan sebagai bagian dari Paket
Kebijakan Perbankan Januari 2006 merupakan realisasi dari upaya Bank
Indonesia untuk menyelaraskan kegiatan usaha perbankan dengan
amanat UU Perlindungan Konsumen yang mewajibkan adanya
kesetaraan hubungan antara pelaku usaha (bank) dengan konsumen
(nasabah). Sebagai bagian dari Paket Kebijakan Perbankan, penerbitan
ketiga ketentuan tersebut akan dapat membawa dimensi baru dalam
pengaturan perbankan dengan turut diperhatikannya pula kepentingan
nasabah secara eksplisit sebagai aspek penting yang turut mempengaruhi
perkembangan perbankan nasional ke depan.

74

Pada PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan
Nasabah, Bank Indonesia mewajibkan seluruh bank untuk menyelesaikan
setiap pengaduan nasabah yang terkait dengan adanya potensi kerugian
finansial pada sisi nasabah. Dalam PBI ini diatur mengenai tatacara
penerimaan, penanganan, dan juga pemantauan penyelesaian
pengaduan. Selain itu, bank diwajibkan pula untuk memberikan laporan
triwulanan kepada Bank Indonesia mengenai pelaksanaan penyelesaian
pengaduan nasabah tersebut.
Pada prinsipnya, PBI diatas mengatur bahwa bank tidak diperkenankan
menolak setiap pengaduan yang diajukan secara lisan maupun tertulis.
Untuk pengaduan lisan, bank wajib menyelesaikannya dalam waktu 2 hari
kerja sedangkan untuk pengaduan tertulis wajib diselesaikan dalam waktu
20 hari kerja dan dapat diperpanjang hingga 20 hari kerja berikutnya
apabila terdapat kondisi-kondisi tertentu.
Untuk memastikan bahwa bank telah melaksanakan ketentuan
penyelesaian pengaduan nasabah, maka setiap triwulan bank diwajibkan
menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia mengenai kasus-kasus
pengaduan yang sedang dan telah diselesaikan oleh bank. Laporan ini
nantinya akan disusun sedemikian rupa sehingga akan mudah diketahui
produk apa yang paling bermasalah dan jenis permasalahan yang paling
sering dikemukakan nasabah. Melalui laporan ini pula Bank Indonesia
akan dapat memantau permasalahan yang kemungkinan dapat

75

berkembang menjadi permasalahan yang bersifat sistemik sehingga dapat
segera dilakukan langkah-langkah preventif untuk mencegah ekskalasi
permasalahan yang dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat pada
lembaga perbankan.
Penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005
tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah tidak akan selalu dapat
memuaskan nasabah. Ketidakpuasan tersebut dapat diakibatkan oleh
tuntutan nasabah yang tidak dipenuhi bank baik seluruhnya maupun
sebagian sehingga berpotensi menimbulkan sengketa antara nasabah
dengan bank yang dapat merugikan hak-hak nasabah.
Sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, upaya penyelesaian sengketa
antara nasabah dan bank dapat dilakukan melalui negosiasi, konsiliasi,
mediasi, arbitrase, maupun melalui jalur peradilan. Namun demikian,
upaya penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau jalur peradilan tidak
mudah dilakukan bagi nasabah kecil dan usaha mikro kecil (UMK)
mengingat hal tersebut memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Oleh karena itu, penyelesaian sengketa nasabah dengan bank bagi
nasabah kecil dan UMK perlu diupayakan secara sederhana, murah, dan
cepat melalui penyelenggaraan mediasi perbankan agar hak-hak mereka

76

sebagai nasabah dapat terjaga dan terpenuhi dengan baik dan reputasi
bank dapat tetap terjaga.
Pada PBI No.8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan dinyatakan
bahwa sampai dengan akhir tahun 2007 pelaksanaan fungsi mediasi
perbankan akan dilakukan oleh Bank Indonesia. Hal ini perlu dimaklumi
karena Bank Indonesia berkewajiban dan berkepentingan untuk
membentuk image yang baik mengenai penyelenggaraan mediasi
perbankan, sebelum lembaga mediasi tersebut dilaksanakan oleh suatu
lembaga yang independen pada tahun 2008.
Sudah merupakan kelaziman dalam praktek perbankan,
sebagaiman praktek dunia bisnis pada umumnya, bahwa untuk pemberian
fasilitas pembiayaan atau jas perbankan lainya, hubungan hukum antara
bank (termasuk juga bank syariah )dan para nasabahnya selalu
dituangkan dalam perjanjian tertulis apabila hubungan hukum antara bank
dan nasabahnya dituangkan dalam suatu perjanjian, maka bagi hubungan
hukum itu berlaku bketentuan-ketentuan dan syarat-syarat umum yang
berlakunya ketentuan-ketentuan umum yang berlaku adalah berdasarkan
surat pernyataan yang ditanda tangani nasabah tunduk pada ketentuan-
ketantuan umum tersebut .
Adakala ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat umum itu dideponir
pada suatu kantor notaries. Dengan penudukan diri oleh nasbah terhadap
ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat umum berdasarkan surat

77

pernyatan atau perjanjian tersebut, maka apabila timbul perbedaan
pendapat mengenai hubungan hukum antara bank syariah dan nasabah
kedua belah pihak akan merujuk kepada ketentuan-ketentuan dan syarat-
syarat umum yang baku dalam hal pembukaan rekening giro. Contoh lain
adalah kentuan ketentuan dan syarat-syarat umum yang dibakukan
untuk jasa kiriman uang.
Sehubungan dengan ini hubungan antara bank bank syariah dan
nasabahnya munsul suatua pertanyaan, terutama oleh nasabah yang
kurang memahami hukum, hukum apakah yang akan diberikan atau
dibaerlakukan dalam hala terjadi sengketa antara bank syariah yang
bersangkutan dengan nasabah mengenai pengunaan suatu jasa
perbankan syariah apakah terhadap sengketa yang timbul akan
diberlakukan hukum islam ataukah yang diberlakukan adalah ketentua-
ketentuan dan syarat-syaratyang dituangkan di dalam perjanjian antara
bank dan nasabah hal ini perlu dikemukan dan dijawabnya sangat
diperlukan bagi mereka yang yang awam hukum dan bernaksud untuk
berhubungan dengan bank bsyariah.
Diadalam tata hukum Indonesia, sebagai bukan Negara islam
tetapi Negara dengan jumlah mayoritas penduduknya muslim,dengan
kata lain penduduknya sebagia besar penduduknya beragama Islam ,
hukum Islam bukanlah merupakan hukum positif (bukan merupakan
hukum yang berlaku resmi dan dapat dipaksa atas pelangarannya oleh
pengadilan). Dengan kata lain, sengketa yang timbul diantara bank

78

syariah tidak diberlakukan hukum Islam. Yang diberlakukan adalah hukum
perjanjian sebagai mana diatur oleh KUHPerdata itulah yang merupakan
hukum positif.
Menurut pasal 1320 KUPerdata, suatu perejanjian yang dibuat oleh
para pihak hanya sah apabila perjanjian itu dibuat oleh pihak-pihak yang
oleh hukum dianggap cakap untuk membuat suatu perjanjian dan dibuat
berdasarkan kesepakatan diantara para pihak yang membuatnya (dengan
kata lain, tidak dibuat atas dasar paksaan oleh suatu pihak terhadap pihak
laian). Diasamping itu, hukum perjanjian menentukan bahwa isi perjanjian
hanyalah sah apabila tidak bertentang dengan undang-undang, dengan
kepatutan dan dengan ketertiban umum serta dibuat dengan dilaksankan
dengan itikad baik oleh para pihak yang membuatnya.
Dalam, hukum perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata itu, bagi
pembuatan suatu perjanjian berlaku asas kebebasan berkontrak (freedom
of contract). Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, para pihak bebas
memperjanjiakan apa saja yang dikehendaki oleh mereka sebagai isi
perjanjian. Setelah suatu perjanjian itu dibuat oelh para pihak, hukum
perjanjian menentukan bahwa perjanjian dibuat oleh para pihak secara
sah berlaku atau mengikat pihak yang membuatnya. Sekali dibuat oleh
para pihak, maka suatu perjajian tersebut tidak boleh ditarikan kembali,
kecuali dengan mennuntut undang-undang terdapat alasan yang cukup
untuk demikian ditententukan oleh KUHPerdata dalam pasal 1338
KUHPerdata.

79

Terdapat asas lain yang harus diperhatikan dalam hukum
perjanjian. Asas tersebut menetukan bahwa apabila didalam perjanjian
tidak diatur menmgenai hal yang dipermasalhakan oleh para pihak, tetapi
hal itu telah diatur oleh hukum perjanjian dalam KUHPerdata, maka
kententuan dalam KUHPerdata itu yang berlaku. Namun, apabila
mengenai hal itu telah diatur oleh suatu perjanjian, maka isi perjanjian itu
berbeda dengan pengaturannya dalam hukumn perjanjian didalam
KUHperdata, mka yang harus diberlakukan adalah ketentuan dalam
perjanjian itu dengan kententuan dalam perjanjian tidak merupakan
ketentuan yang tidak boleh disimpangi (ketentu7an itu bersifat memaksa
atau merupakan dwingendrecht). Apabila ketentuan dari hukum perjanjian
dalam KUHPerdata itu merupakan ketentuan dari hukum perjanjian dalam
KUHPerdata itu merupakan ketentuan yang tidak boleh disimpangi
(bersifat memaksa), maka sesuai dengan asas bahwa isi perjanjian tidak
boleh bertentangan dengan Undang-undang ketentuan dari hukum
perjanjian itu batal demi hukum. Sebagian besar ketentuan ketentuan
hukum perjanjian dalam KUHPerdata bersifat tidak memaksa (aanvullend
recht). Artinya, boleh disimpangi oleh pihak dengan membuat ketentuan-
ketentuan dan syarat-syarat yang lain didalam perjanjian yang dibuat oleh
mereka.
Berkenan dengan penafsiran perjanjian, apabila terjadi perbedaan
pendapat di antara para pihak mengenai hal isi suatu perjanjian,
sendangkan mengenai hal yang disengketakan itu tidak jelas

80

pengaturannya didalam perjanjian itu dan hukum perjanjian juga tidak
mengaturnya, maka para pihak dapat mengacu kepada ketentuan-
ketentuan kebiasaan . dengan kata lain, para pihak harus mencari
bagaimana kebiasaan mengatur atau menetukan hal yang
dipermasalahkan itu. Asas ini sesuai dengan ketentuan pasal 1339
KUHPerdata yang menentukan bahawa perjanjian-perjanjian tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya,tetapi
juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian itu diharuskan
oleh kepatutan, kebaiasaan suatu undang-undang. Asas tersebut juga
sesuai dengan ketentuan pasal KUHPerdata yang menentukan bahwa
hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjiakan, secara diam-
diam dianggap telah dimasukan
F. KUHPerdata Tentang Perjanjian Dan Wanprestasi
Sekarang sampailah kita pada aspek-aspek hukum perdata dalam
pemberian kredit.setelah kita mengetahui apa itu perjanjian kredit. Kita
akan mencova mebahas aspek-aspek hukum yang terdapat pada
perjanjian kredit sesuai dengan sistemtika dari perjanjian kredit tersebut
sebagai landasan pemberian kredit.
16

Perjanjian kredit ini tunduk pada bagian umum buku III KUHPerdata
tentang perikatan. Dana ketentua-ketentuntuan Undang-undang
No.14/1967 tentang pokok perbankan. Disamping itu perjanjian kredit

81

bank juga tunduk pada kasual - kasual yang telah dituangkan didalam
perjanjian kredit dan telah disepakati bersama oleh kedua belah pihak.
Sesuai dengan pasal 1320 KUHPerdata yang berbunyi untuk sahnya
persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat :
1 Sepakat mereka yang meningkatkan didirinya
2 Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian perikatan
3 Suatu hal tertentu
4 Suatu sebab yang halal.
17

Apa yang dimaksud dengan kesepakatan, kecakapan, hal tertentu
dan sebab yang halal diuraikan dalam pasal-pasal selanjutnya sampai
dengan pasal 1337 KUHPerdata. Mengenai suatu persetujuan diatur
dalam pasal 1313 KUHPerdata, dimana dikatakan bahwa persetujuan
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih meningkatkan
dirinya terhadap orang atau lebih.
18

Akan tetapi perjanjian kredit tidaklah sama dengan persetujuan
sebagaiman yang diatur oleh pasal 1313 junto pasal 1320 KUHPerdata
karena perjanjian kredit mempunyai sifat khusus sebagaimana yang diatur
oleh pasal 1745 KUHPerdat yang menetukan bahwa perjanjian pinjam
mengatikan ialah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan
kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang
menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwaa pihak yang

16
M .Hazniel Harun, 1995, Aspek-aspek hukum perdata pemberian kredit
perbankan , Jakarta,cetakan pertama Hal 8
17
ibid
18
Opcit hal 9

82

belakang ini akan mengabalikan sejumlah yang sama dari macam dan
keadaan yang sama pula
Apabila piahak bank dan debitur telah sepakat mengenai semua
unsur perjanjian pinjam menggati, maka tidak berarti bahwa perjanjian
pinjam menggati telah terlahir, yang telah terjadi hanyalah perjanjian
untuk mengadakan perjanjian pinjam menggati, perjanjian pinjam
menggati baru terjadi/lahir apabila uang telah diserahkan oleh bank
kepada debitur, jadi dapat kita tarik kesimpulan bahawa dalam hal ini dua
buah perjanjian yang berdampingan yaitu :

Perjanjian untuk mengadakan perjanjian pinjam menggati, yang
merupakan perjanjian timbale balik, dan perjanjian ini tunduk pada bagian
umum buku III KUHPerdata.
Perjanjian pinjam menggati yang merupakan perjanjian sepihak,
perjanjian pinjam menggati ini tuduk pada pasal 1745 samai pasal 1759
KUHPerdat serta bagian umum buku III KUHPerdata sepanjang tidak
disimpangi oleh ketentuan-ketentuan yang diatur oleh pasal 1745 samapi
dengan pasal 1759 perjanjian pinjam menggati ini tidak akan terjadi tanpa
didahului oleh adanya parjanjian yang pertama.

Mengenai hal ini bahwa perjanjian kredit bank merupakan
perjanjian pendahulu dari pada perjanjian kredit bank merupakan
pendahulu dari pada penyerahan uang, dan merupakan persetujuan /

83

perjanjian antara kreditur dan debitur mengenai hubungan hukum antara
kedua belah pihak. Oleh karena itu perjanjian kredit bank merupakan
perjanjian yang barsifat konsensual dan obligatur, yang tunduk pada
bagian umum buku III KUHPerdata sehingga pada saat penyerahan uang
dilakukan, maka barulah berlaku ketentuan-ketentuan yang dituangkan
didalam perjanjian kredit.
19


Sudah merupakan kelaziman dalam praktek perbankan,
sebagaiman praktek dunia bisnis pada umumnya, bahwa untuk pemberian
fasilitas pembiayaan atau jas perbankan lainya, hubungan hukum antara
bank (termasuk juga bank syariah) dan para nasabahnya selalu
dituangkan dalam perjanjian tertulis apabila hubungan hukum antara bank
dan nasabahnya dituangkan dalam suatu perjanjian, maka bagi hubungan
hukum itu berlaku ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat umum yang
berlakunya ketentuan-ketentuan umum yang berlaku adalah berdasarkan
surat pernyataan yang ditanda tangani nasabah tunduk pada ketentuan-
ketantuan umum tersebut .
20


Adakala ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat umum itu dideponir
pada suatu kantor notaris. Dengan penundukan diri oleh nasbah terhadap
ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat umum berdasarkan surat

19
Ibid
20
Sutan Remy Sjahdeini,. Perbankan Islam(cetaka ke II,. Pustaka Utama
Grafiti,2005) hal


84

pernyatan atau perjanjian tersebut, maka apabila timbul perbedaan
pendapat mengenai hubungan hukum antara bank syariah dan nasabah
kedua belah pihak akan merujuk kepada ketentuan-ketentuan dan syarat-
syarat umum yang baku dalam hal pembukaan rekening giro. Contoh lain
adalah ketentuanketentuan dan syarat-syarat umum yang dibakukan
untuk jasa kiriman uang.

Sehubungan dengan ini hubungan antara bank bank syariah dan
nasabahnya munsul suatua pertanyaan, terutama oleh nasabah yang
kurang memahami hukum, hukum apakah yang akan diberikan atau
dibaerlakukan dalam hala terjadi sengketa antara bank syariah yang
bersangkutan dengan nasabah mengenai pengunaan suatu jasa
perbankan syariah apakah terhadap sengketa yang timbul akan
diberlakukan hukum islam ataukah yang diberlakukan adalah ketentua-
ketentuan dan syarat - syarat yang dituangkan di dalam perjanjian antara
bank dan nasabah hal ini perlu dikemukan dan dijawabnya sangat
diperlukan bagi mereka yang yang awam hukum dan bernaksud untuk
berhubungan dengan bank bsyariah.
21


Di dalam tata hukum Indonesia, sebagai bukan Negara islam tetapi
Negara dengan jumlah mayoritas penduduknya muslim, dengan kata lain
penduduknya sebagia besar penduduknya beragama Islam, hukum Islam

21
Ibid

85

bukanlah merupakan hukum positif (bukan merupakan hukum yang
berlaku resmi dan dapat dipaksa atas pelangarannya oleh pengadilan).
Dengan kata lain, sengketa yang timbul diantara bank syariah tidak
diberlakukan hukum Islam. Yang diberlakukan adalah hukum perjanjian
sebagai mana diatur oleh KUHPerdata itulah yang merupakan hukum
positif.

Menurut pasal 1320 KUPerdata, suatau perjanjinan yang dibuat
oleh para pihak hanya sah apabila perjanjian itu dibuat oleh pihak-pihak
yang oleh hukum dianggap cakap untuk membuat suatu perjanjian dan
dibuat berdasarkan kesepakatan diantara para pihak yang membuatnya
(dengan kata lain, tidak dibuat atas dasar paksaan oleh suatu pihak
terhadap pihak laian). Disamping itu, hukum perjanjian menentukan
bahwa isi perjanjian hanyalah sah apabila tidak bertentangan dengan
undang - undang , dengan kepatutan dan dengan ketertiban umum serta
dibuat dengan dilaksanakan dengan itikad baik oleh para pihak yang
membuatnya.

Dalam, hukum perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata itu, bagi
pembuatan suatu perjanjian berlaku asas kebebasan berkontrak (freedom
of contract). Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, para pihak bebas
memperjanjiakan apa saja yang dikehendaki oleh mereka sebagai isi
perjanjian. Setelah suatau perjanjian itu dibuat oleh para pihak, hukum

86

perjanjian menentukan bahwa perjanjian dibuat oleh para pihak secara
sah berlaku atau mengikat pihak yang membuatnya.sekali dibuat oleh
para pihak, maka suatu perjajian tersebut tidak boleh diterika kembali,
kecuali dengan menutut undang-undang terdapat alas an yang cukup
untuk demikian ditententukan oleh KUHPerdata dalam pasal 1338
KUHPerdata.

Terdapat asas lain yang harus diperhatikan dalam hukum
perjanjian. Asas tersebut menetukan bahwa apabila didalam perjanjian
tidak diatur menmgenai hal yang dipermasalahkan oleh para pihak, tetapi
hal itu telah diatur oleh hukum perjanjian dalam KUHPerdata, maka
kententuan dalam KUHPerdata itu yang berlaku. Namun apabila
mengenai hal itu telah diatur oleh suatu perjanjian, maka isi perjanjian itu
berbeda dengan pengaturannya dalam hukum perjanjian didalam
KUHperdata, mka yang harus diberlakukan adalah ketentuan dalam
perjanjian itu dengan kententuan dalam perjanjian tidak merupakan
ketentuan yang tidak boleh disimpangi (ketentuan itu bersifat memaksa
atau merupakan Dwingendrecht). Apabila ketentuan dari hukum perjanjian
dalam KUHPerdata itu merupakan ketentuan dari hukum perjanjian dalam
KUHPerdata itu merupakan ketentuan yang tidak boleh disimpangi
(bersifat memaksa), maka sesuai dengan asas bahwa isi perjanjian tidak
boleh bertentangan dengan Undang-undang ketentuan dari hukum
perjanjian itu batal demi hukum. Sebagian besar ketentuanketentuan

87

hukum perjanjian dalam KUHPerdat bersifat tidak memaksa( aanvullend
recht). Artinya, boleh disimpangi oleh pihak dengan membuat ketentuan-
ketentuan dan syarat-syarat yang lain didalam perjanjian yang dibuat oleh
mereka.

Berkenan dengan penafsiran perjanjian, apabila terjadi perbedaan
pendapat di antara para pihak mengenai hal isi suatu perjanjian,
sendangkan mengenaimengeania hal yang disengketakan itu tidak jelas
pengaturannya didalam perjanjian itu dan hukum perjanjian juga tidak
mengaturnya, maka para pihak dapat mengacu kepada ketentuan-
ketentuan kebiasaan. Dengan kata lain, para pihak harus mencari
bagaimana kebiasaan mengatur atau menetukan hal yang
dipermasalahkan itu. Asas ini sesuai dengan ketentuan pasal 1339
KUHPerdata yang menentukan bahawa perjanjian-perjanjian tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi
juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian itu diharuskan
oleh kepatutan, kebiasaan uatu undang-undang. Asas tersebut juga
sesuai dengan ketentuan pasal KUHPerdata yang menentukan bahwa
hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjiakan, secara diam-
diam dianggap telah dimasukan.
22




22
Ibid

88

BAB IV
PENYELESAIAN SENGKETA DAN PELANGGARAN
PERJANJIAN PERKREDITAN SYARIAH.

A. Bagaimana Sistem Prekreditan Syariah Atau Perjanjian Perbankan
Syariah Didalam Undang-Undang

Ketidak berdayaan sistem ekonomi kapitalis, sosialis dan berbagai
jenissistem lainnya telah memberikan peluang bagi perkembangan
ekonomi yang bernuansa Islam. Sistem ekonomi Islam merupakan sistem
ekonomi yang mandiri, bukan diadopsi dari ekonomi liberal, komunis,
kapitalis dan sebagainya
Sistem ekonomi Islam sebagai kebijaksanaan alternatif dalam
mencari jalan keluar dari kemelut ekonomi dewasa ini Perkembangan
bank Islam sebagai bagian dari sistem ekonomi Islam mulai muncul pada
pertengahan abad ke 20. Di Indonesia, perbankan Islam dapat dikatakan
terlambat dibandingkan negara- negara lain yang mayoritas penduduknya
muslim. Setelah munculnya bank-bank syariah di negara-negara lain,
pada awal tahun 1980 diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar
ekonomi Islam mulai dilakukan. Konkritnya pada tahun 1991 dibentuk

89

suatu Akte Pendirian PT Bank Muamalat Indonesia sebagai hasil
musyawarah nasional Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1990 yang
menginginkan adanya pendirian bank Islam di Indonesia Bank syari .ah di
Indonesia secara resmi yuridis diperkenalkan pada tahun 1992 sejalan
dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan. Lahirnya undang-undang ini menandakan adanya
kesepakatan rakyat dan bangsa Indonesia untuk menerapkan dual
banking system atau system perbankan ganda di Indonesia. Tahapan ini
merupakan tahap perkenalan introduction terhadap perbankan
berlandaskan pada ketentuan Islam.

Penegasan adanya prinsip syariah dalam Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 merupakan salah satu yang membedakan antara bank
konvensional dengan bank syariah. Perbedaan lain yang menonjol adalah
mengenai penyelesaian sengketa. Dalam perjalanan sejarah penyelesaian
sengketa bank syariah, setidaknya ada tiga lembaga yang mempunyai
kompetensi untuk menanganinya yaitu arbitrase, peradilan umum dan
peradilan agama. Dua lembaga terakhir merupakan lembaga peradilan
yang seringkali disebut dengan litigasi, sedangkan satu lembaga lain
adalah proses di luar pengadilan (non litigasi).

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tidak
secara eksplisit menyebutkan adanya apa yang disebut bank syariah.

90

Hanya ada dua pasal yang dapat dijadikan dasar yaitu Pasal 6 huruf (m)
yang berkenaan dengan lingkup perbankan umum dan Pasal 13 huruf c
berkenaan dengan salah satu lingkup kegiatan Bank Perkreditan Rakyat
dengan isi yang sama menyebutkan bahwa "menyediakan pembiayaan
bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai ketentuan yang
ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah".

Secara tegas kegiatan perbankan syariah diatur dalam Undang-
Undang Nomor : 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Pen yebutan mengenai
perbankan syariah dapat terlihat dari pengertian bank yang terdapat pada
Pasal 1 angka 3, Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah yang
dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Hal ini
mengingat dalam undang-undang tersebut perbankan syari .ah diberikan
peluang yang luas menjalankan kegiatan usaha, termasuk membuka
kesempatan kepada bank umum konvensional untuk membuka kantor
cabang yang khusus melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah.Sedangkan, yang dimaksud dengan prinsip syariah, disebutkan
dalam Pasal 1 angka 13, yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam
antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau
pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan
sesuai dengan syariah. Di sini terlihat, bahwa di Indonesia berlaku dua

91

sistem perbankan, yaitu sistem konvensional yang menggunakan sistem
bunga dan sistem syariah yang berlandaskan pada ketentuan Islam.
Penegasan adanya prinsip syariah dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 merupakan salah satu yang membedakan antara bank
konvensional dengan bank syariah.

B Bagaimana MekanismePerkreditan syariah
Untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu kita harus
mengetahui kewenangan dari Pengadilan Agama , Pengadilan Umum dan
Arbitrase Syariah .

1 Kewenangan Pengadilan Umum Sebagai Lembaga Penyelesaian
Sengketa perbankan

Berdasarkan ketentuan pasal.50 Undang-undang No. 2 Tahun
1986 tentang Peradilan Umum (UU Peradilan Umum), disebutkan bahwa
:
Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat
pertama.


92

Melihat kepada definisi kewenangan diatas, Kewenangan
Pengadilan Agama dibatasi hanya untuk hal-hal tertentu dan hanya untuk
orang-orang tertentu. Pengertian orang dalam ketentuan mengenai
kewenangan tersebut tidak dapat diartikan melalui intepretasi analogi
sebagai badan hukum, karena dipersyaratkan beragama Islam. Badan
hukum, termasuk Bank Syariah secara hukum tidak beragama islam,
meskipun mungkin menjalankan kaidah syariah. Dengan demikian,
sengketa yang bersangkutan dengan Perbankan Syariah tidak termasuk
kewenangan dari Pengadilan Agama.

Apabila dimasukan dalam kewenangan pengadilan umum, apakah
dari segi hukum syariahnya memungkinkan? Untuk itu kita perlu
memahami terlebih dahulu beberapa terminologi dan kaidah-kaidah
dasarnya. Syariah, dari akar katanya berarti adalah jalan yang ditempuh
atau garis yang harus dilalui. Dalam pemahaman terminologi, Syariah
diartikan sebagai Ketentuan Allah SWT yang berkaitan dengan Manusia
untuk menjalankan peranan hidupnya yaitu untuk beribadah. Sumber
hukum syariah adalah dari Al- Quran dan Al-Hadist (Sunah Rasulullah).
Secara garis besar, ketentuan tersebut dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu yang mengatur mengenai Ibadah, yaitu bentuk hubungan manusia
dengan Allah (habluminallah) dan yang mengatur mengenai hubungan
sesama manusia (hablumminannas) atau lebih dikenal dengan muamalah.
Muamalah, dalam istilah hukum kita lebih dikenal dengan Perdata.

93


Kaidah dasar untuk ibadah adalah: segala sesuatunya haram untuk
dilakukan, kecuali yang telah jelas-jelas diperintahkan.

Kaidah dasar untuk muamalah/ perdata adalah segala sesuatunya
boleh, kecuali yang telah jelas-jelas diharamkan. Muamalah dalam bahasa
hukum konvensional dikenal dengan istilah perdata (privat).

Kegiatan usaha Perbankan Syariah, diwujudkan dalam aqad-aqad
yang dibuatnya, baik itu dalam bentuk musyarakat, mudarabah, ataupun
bentuk-bentuk yang lain. Tindakan membuat Aqad tersebut termasuk
dalam klasifikasi muamalah, maka dari itu segala sesuatunya
diperbolehkan, sepanjang tidak melanggar ketentuan syariah yang
melarang, termasuk penggunaan ketentuan dalam Kitab Undang -
Undang Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata.

Jika kemudian timbul sengketa terhadap Aqad bank syariah
tersebut, karena termasuk dalam kaidah syariah muamalah, maka kita
dibebaskan untuk menyelesaikannya dengan cara yang menurut kita baik,
sepanjang tidak melanggar ketentuan yang telah dilarang oleh syariah.
Oleh karena itu, dari sudut pandang hukum Syariah boleh dipergunakan
hukum acara perdata dalam Pengadilan Umum untuk menyelesaikan
sengketa yang berkaitan dengan Perbankan Syariah.

94


Sedangkan dalam definisi kewenangan Pengadilan Umum,
sebagaimana telah disebutkan diatas, perkara perdata/muamalah adalah
kewenangan dari Pengadilan Umum, maka dengan demikian telah jelas
bahwa sengketa yang bersangkutan dengan Perbankan Syariah menurut
hukum adalah kewenangan Pengadilan Umum, dan hal tersebut
diperbolehkan (tidak dilarang) oleh kaidah syariah muamalah.

Dari beberapa kasus pelangaran perbankan yang dapat penulis
uraikan antara lain, kasus perbankan dalam bentuk perjanjian atau dalam
perbankan syariah adalah mudrabah dimana putusan pengadilan dari
kasus tersebut penulis memperoleh dari pengadilan negeri Jakarta selatan
yang dapat dilihat sebagai berikut :

Pengadilan negeri Jakarta selatan yang memreiksa dan mengadili
perkara-perkara perdata pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan
sebagai berikut dibawah ini :

PT BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH WAKALUMNI (BANK
WAKLUMNI), berkantor dijalan dewi sartika No.11 ciputat, tangerang,yang
dalam hal ini diwakili oleh kuasanya Soejono, SH., Bachrum, SH., James
RH. Panggabean, SH., Pengacara pada Kator Law Firm BOB NASUTION
& REKAN, beralamat di jalan batutulis Raya No. 51 jakarta Pusat,

95

Berdasarkan surat Kuasa Khusus tertanggal 25 Oktober 1999 No.
336/pdt.G/X/99, selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT:

HELMI SALEH , selaku direktur Utama PT. Dwinada Gitaswara
(PT DG), alamat Jl. M. No.25 RT. 002 RW 011, kebon Baru
Tebet, Jakarta Selatan selanjutnya disebut sebagai
TERGUGAT I:
ERNI BUDIVANI, alamat di Jl. Prof. Dr. sahardjo, RT 002
RW.007 Kelurahan Menteng, Kecamatan Setiabudi, Jakarta
Selatan selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT II :
HARDJO SUHAR DJUMHANA DJUMRI, alamat Gang Manggis
20/30 RT. 011 RW 04, Kelurahan Tanjung Duren Selatan,
Grogol, Jakarta Barat, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya
SAMUEL TANAKA PANE , SH.., RISDA SIDABUTAR, SH,.
DAN HOR. AGUSMEN GIRSANG, SH.., pengacara dan
konsultan Hukum pada kantor pengacara TANAKA &
REKAN barkantor di Jl. DR. Saharjo No. 102 S/B, lantai 4
jakarta Selatan, berdasarkan surat kausa khusus tertanggal
14 Mei 2001 No. 215/ SK.Pdt.G/V.T&R-01, selanjutnya
disebut sebagai TERGUGAT III :

Bahwa karena dalil-dalil yang dikemukakan Penggugat dalam
gugatanya adalah cukup baralasan menurut hukum, maka untuk jaminan

96

agar hutang (kewajiaban) Tergugat I dan Tergugat II tersebut diatas
dapat dibayar sepenuhnya dan agar barang yang telah menjadi jaminan
hutang tidak dijual atau pindah tangankan kepada orang lain, perlu
terlebih dahulu melakukan sita jaminan sebelum perkara diputuskan di
pengadilan Negeri yaitu atas harta milik Tergugat I dan Tergugat II
berupa:
Sebidang tanah hak pakai No. 337 atas nama Tergugat II terletak di
cipinang Muara RT 002 RW. 08 Jatinegara Jakarta Timur seluas 139 M2
serta bangunan yang ada diatas:
Sebidang tanah milik Tergugat I di jalan M. No. 25 RT.002 RW.007
kelurahan Menteng Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan serta
bangunan yang ada diatas.
Bahwa gugatan ini terutama berdasarkan atas adanya perjanjian
Pembiayaan Mudarabah No. 1140/MRBPT/IV/95 tanggal 26 April 1995
dan kesepakatan Bersama tanggal 28 juli 2000 yang ditandatangani oelh
tergugat I diatas materai yang cukup disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi
sehingga surat-surat tersebut merupakan bukti autentik dan jadi Undang-
Undang bagi kedua belah pihak, karenanya beralasan untuk memohon
putusan Pengadilan Negeri dilaksanakan serta merta Walupun ada verzet,
banding ataupun kasasi:

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Dalam Kopensi

97

Dalam Eksepsi
menolak Eksepsi Tergugat III
Dalam Pokok perkara
Mengabulkan guagatan Penggugat sebagai berikut
Menyatakan bahwa Tergugat I telah berhutang kepada
penggugat sebesar Rp 110.000.000 (seratus sepuluh juta
rupiah):
Menyatakan bahwa Tergugat I dan tergugat II telah ingkar
janji ( wanpertasi ) dan telah melakukan perbuatan yang
melawan hukum
Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung
rentang untuk membayar hutang Tergugat I sebesar
Rp.110.000.000 (seratus sepuluh juta rupiah) kepada
penggugat :
Menyatakan sita jaminan yang telah dilaksankan sah dan
berharga :
Menghukum tergugat I dan Tergugat II untuk membayar biaya
perkara sebesar Rp 799.000 (tujuh ratus sebilan puluh
sembilan ribu rupiah)
Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya ;
Dalam Rekopensi
Mengabulkan gugatan Penggugat sebagai ;

98

Menyatakan sah dan mengikat saecara hukum Akta
Penjualan dan Pembelian No. 15 tertanggal 2 Mei 1996
yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris Soekaimi, SH,. ;
Menyatakan Penggugat Rekopensi sebagai pemilik yang
sah secara hukum atas sebidang tanah bekas pakai
Sertivikat No. 337/Cipinang Muara, yang terletak di
Kelurahan Cipinang Muara, Kecamatan Jatinegara,
Jakarta Timur, gambar situasi tertanggal 18 Febuari 1984
nop. 381/1984 seluas 139 M2 ;
Biaya perkara dinyatakan Nihil ;
Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya ;

2 Kewenangan Pengadilan Agama Sebagai Lembaga Penyelesaian
Sengketa perbankan

Namun sejak tahun 2006 penyelesaian sengketa perbankan
syariah beralih menjadi kewenangan Pengadilan. Agama berdasarkan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Berdasarkan
Pasal 49 Undang-Undang tersebut Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ditingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :


99

a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. Infaq
h. Shadaqah dan
i. Ekonomi syariah.

Dalam Penjelasan Pasal 49 huruf i mengenai ekonomi syariah
mencakup 11 termasuk di dalamnya bank syariah. Sejak lahirnya Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama maka berdasarkan asas hukum lex spesialis
derogat lex generalis Pengadilan Negeri sudah tidak berwenang lagi
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Namun demikian dalam sengketa yang berkaitan dengan hak milik
atau sengketa keperdataan lain antara orang-orang yang beragama Islam
dan non Islam mengenai sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun. Hal ini ditegaskan pada Pasal 50
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 ayat (1) dari Pasal 50 menegaskan tentang kewenangan
Peradilan Umum manakala terjadi sengketa kepemilikan atas obyek dari

100

pasal 49. Sedangkan ayat (2) merupakan pembahasan eksepsionalnya, di
mana ketika para pihak yang bersengketa adalah orang-orang yang
beragama Islam, maka sengketa kepemilikan tersebut diselesaikan
bersama-sama dengan sengketa yang terdapat pada Pasal 49. Setelah
lahirnya Undang-Undang Perbankan Syariah selain Pengadilan Agama
yaitu Pengadilan Negeri dan Arbitrase mempunyai peluang yang sama
dalam menyelesaian sengketa syariah. Pasal 55 Undang-Undang
Perbankan Syariah
berbunyi :

(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh
pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama.
(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa
selainsebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian
sengketa dilakukan sesuaidengan isi akad.
(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.

Penjelasan dari ayat (2) diatas menyebutkan bahwa pihak yang
berwenang menyelesaikan sengketa sesuai dengan isi akad adalah upaya
dengan musyawarah, mediasi perbankan, badan arbitrase Syariah
Nasional atau lembaga arbitrase lain serta melalui pengadilan dalam

101

lingkungan peradilan umum. Secara materil substansial pasal 55 Undang-
Undang Perbankan Syariah telah memunculkan kembali kompetensi
absolute peradilan umum terhadap sengketa ekonomi syari .ah yang
sebelumnya telah dilimpahkan kepada peradilan agama . Penyelesaian
sengketa selain melalui peradilan agama (mediasi, arbitrase dan peradilan
umum) sangat tergantung terhadap kontrak yang dibuat ketika nasabah
dan bank melakukan transaksi perbankan. Seperti halnya dalam sengketa
perbankan konvensional, penangannya sangat tergantung kepada kontrak
yang dibuat, namun dalam penanganan sengketa perbankan syariah
terdapat perbedaan baik secara formil maupun materil.
Perbedaan secara formil, Pengadilan Agama mempunyai
kewenangan
terhadap penanganan sengketa ekonomi syariah berdasarkan Undang-
Undang Peradilan Agama yaitu Undang-Undang Nomor Nomor 3 Tahun
2006 jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, sedangkan Pengadilan
Negeri mempunyai kewenangan menyelesaikan sengketa syariah
berdasarkan pada akad yang dibuat saat transaksi perbankan. Adapun
kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Peradilan Umum yaitu
Undang-Undang Nomor Nomor 8 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1986 telah dinasakh oleh Undang-Undang Peradilan Agama. Dari
sisi materil kewenangan Pengadilan Agama ditentukan langsung oleh
Undang-Undang Perbankan Syariah, sesuatu yang berbeda yang tidak
pernah terjadi pada Pengadilan Negeri, sebab meskipun Pengadilan

102

Negeri berwenang menyelesaikan sengketa perbankan konvensional dan
pernah berwenang menyelesaikan sengketa syariah hanya ditetapkan
berdasarkan Undang -Undang Peradilan Umum, bukan berdasarkan
Undang-Undang Perbankan.
Subtansi bidang hukum perdata yang menjadi yurisdiksi mengadili
Peradilan Agama ditegaskan beberapa kali dalam UU Peradilan agama
dan sejauh ini terdapat konsistensi dalam hal penegaasan yurisdiksi
mengadili Peradilan Agama.
Walaupun UU Peradilan Agama dapat di amandem,
pelaksanaanya tidaklah semudah yang dibayangkan, karena hal ini
tergantung pada Political Will pemerintah dab perkemabangna politik. Lagi
pula, penempatanm senketa BPRS maupun perbankan syariah pada
peradilan agama justru akan memperlambat pertumbuhan bisnis syariah
karena ada kesan bahwa Pengadilan Agama hanya untuk yang beragama
Islam saja mengingat asas personalitas yang dianutnya
23
. Padahal para
pihak yang mengunakan perbankan syariah bisinis syariah belum tentu
beragama Islam semua, karena bank syariah sekalipun melakukan
kegiatan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah Islam, tetapi boleh
melayania siapa saja, baik kalangan muslim, maupun non muslim,. Pada
dasarnya menyerahkan kewengan menyelesaikan sengketa perbankan
syariah kepada Peradilan Agama merupakan pilihan yang terbaik
didsarkan pada SDM pada institusi tersebut yang sudah memahami

23
Wirdyaningih,et.al., Bank dan asuransi Islam di Indonesia,Ed.l cet.1,(Jakarta: Kecana
2005,hal 296

103

permaslahan syariah dan mengingat sejarahmnya yang memiliki
wewenang yang sangat luas. Namun demikian pada saat ini hal tersebut
tidak dimungkinkan karena peraturan perundang-undangan yang berlaku
tidak memberikan kewenagan yang demikian.
Kewenangan Pengadilan Agama dibatasi hanya untuk hal-hal
tertentu dan hanya untuk orang-orang tertentu. Pengertian orang dalam
ketentuan mengenai kewenagan Peradilan Agama tidak dapt diartikan
melalui intepretasi analogi sebagi badan hukum. Badan hukum
merupakan badan yang dianggap dapat bertindak menurut hukum dan
mempunyai hak - hak, kewajiban-kewajiban, dan hubungan hukum
terhadap orang lain atau badan lain
24
. Badan hukum merupakan dari
pengusaan. Ia tidak dapat bertindak dengan sendirinya, namum
memerlukan organ yang melakukan tindakan untuk dan atas nama badan
hukum tersebut berdasarkan aggaran daasr yang telah dibentuk demi
kelangsungan badan hukum tersebut.
Sengketa perbankan merupakan dibidang kebendaan yang timbul
kerena perikatan. Dengan demikian, sengketa perbankan syariah yang
bersangkutan dengan bidang pembiyaan menurut ketentuan yang berlaku
tidak termasuk kewenang dari Pengadilan Agama. Meletakan sengketan
perbankan syariah pada kewenagan Peradilan Agama memangdirasakan
menjadi pilihan yang terbaik, namum berdasarkan hukum yang berlaku
pada saat ini, segala sengketa kepredataan yang menyangkut hak

24
Wirjono prodjodikoro,asas-asa hukum perdata, cet.8, (Bandung: sumur bandung, 1981)
hal.23.

104

kebendaan atau berdasarkan perikatan, menjadi kewengan pengadilan
umum (pengadilan Negeri) untuk mengadilinya.
Dalam hal ini peyelesaian sengketa melalui proses litigasi di
Pengadilan Negeri, maka timbul permasalahan. Masalah utamanya adlah
Pengadilan Negeri tidak menerapkan hukum Islam, padahal perbankan
syariah tentunya operasinya menggunakan prinsip-prinsip syariah
tentunya mengusahkan agar pelaksanaanya dilakukan secara Kaffah
(menyeluruh) sehingga penyelesai sengketanya juga harus menggunakan
prinsip-prinsip syariah. Di sisi lain, sistem hukum positif yang berlaku tidak
memungkinkan proses penyelesaian sengketa yang timbul dari akad
agunan pada perbankan syariah, misalnya dala hal permohonan eksekusi
hak tanggungan atau jaminan fidusia, ditempuh melalaui bentuk lain selain
melalui proses litigasi. Menurut praktik kebiasaan tidak mencantumkan
klausula mengenai penyelesaian, sengketa dengan bentuk lain selain
dengan proseslitigasi. Perjanjian baku ini menepatkan posisi bank
mempunyai posisi tawar yang lebih kuat dari pada nasabah, karenba
nasabah dihadapkan pada posisi dimana ia harus memilih apakah ia akan
terikat dengan syarat dan ketentuan yang ada di dalam perjanjian tersebut
terkecuali mengenai penetapan nibah bagi hasil yang masih dapat di
negosiasikan. Pilihan yang tersedia bagi nasbah hanyalah menerima
semua syarat dan ketentuan tersebut dengan akibat tidak terikat dengan
perjanjian dan tidak dapat dicairkan pembiayaannya. Hal ini tentu saja
mengutamakan pihak bank secara sepihak.

105

Masalah lain adalah lamanya proses penyelesaian sengketa
melalui proses litigasi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses
beracara di pengadilan memakan banyak waktu dan biaya. Hal ini
dikarenakan sistem pengadilan yang bersifat advesarial dan belum tentu
memberikan rasa kesilan diantara pihak yang bersengketa.
Pengadilan mempunyai sikap apriori terhadap bank. Pengadilan
menganggap bahwa dalam hubungan akad anrata bank dan nasabah,
pihak nasbah adakah pihak yang lemah yang harus dilindungi dari potensi
tindakan bank yang sewenang-wenang. Hal serupa dapat dialami oleh
BPRS karena targer pembiyaanya lebih kepada sektor usaha kecil dan
menengah. Terkadang tindakan-tindakan yang diambil bank dinyatakan
sebagai tindakan yang bertentangan dengan kepatutan, keadilan, dan
itikad baik, padahal tindakan tersebut diambil berdasarkan kewenagan
yamng diberikan oleh klausul-klausul dalam akad. Hal ini di sebabkan oleh
kurangnya pengetahuan hakim, khususnya pengetahuan mengenai
perikatan berdasarkan hukum Islam serta pengetahuan mengenai
kegiatan perbankan syariah. Pengetahuan hakim pengadilan Negeri lebih
terbatas kepada pengetahuan hukum.
Untuk mengatasi permaslahan yang terjadi, diperlukan upaya
sosialisasi hukum megaeani bisnis syariah, khususnya pembiayaan yang
dilakukan oleh perbankan syariah kepada kalangan hakim mengadakan
pengadilan khsus untuk bsisnis syariah, seperti yang telah dilakukan
dengan pengadilan khusus, yaitu adalah pengadilan anak, pengadilan

106

niaga, pengadilan hak asasi manusia, poengadilan tindak pidana korupsi,
pengadilan hubungan industrial yang bertada di lingkungan peradilan
umum.
Proses penyelesaian sengeketa perbankan syariah memerlukan
cara-cara tersediri untuk melindungi kepercayaan masyarakat, yaitu
menerapakan hukum Islam, dan harus dapat diselesaikan dalam waktu
yang singkat dengan putusan yang bersifat final dan mengikat sehingga
tidak mengganggu kegiatan bisnisnya. Dalam hal ini perlu sekiranya
dikedepankan arbitrase sebagi bentuk penyelesaian sengketa perbankan
syariah.

Studi terhadap penyelesaian sengketa perbankan syariah ini
sangatlah penting untuk ditinjau dari berbagai sudut pandang yang
berbeda, hukum perbankan konvensional, perbankan syariah, perjanjian
dalam kajian perdata maupun kajian syariah, serta keberadaan lembaga
non litigasi baik mediasi perbankan ataupun arbitrase.

3 Kewenangan Arbitrase Sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa
Perbankan

Hanya saja, perlu diperhatikan apabila dalam aqad dibuat klausula
mengenai penyelesaian sengketa melalui Arbriter, maka penyelesaiannya

107

harus melalui proses Arbitrase dengan mengacu pada ketentuan UU No.
30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Pilihan Penyelesaian Sengketa.
Penyelesaian sengketa sebagaimana telah disinggung di muka
termasuk hukum perjanjian, sehingga berlaku asas kebebasan berkontrak
(freedom of contract principle). Para pihak bebas memilih forum dan
hukum yang berlaku untuk penyelesaian sengketa yang terjadi di antara
mereka. Hal serupa juga terdapat pada dunia perbankan, dimana para
pihak yakni pihak bank dan nasabah mempunyai kebebasan untuk
menyelesaikan sengketanya melalui lembaga-lembaga penyelesaian
sengketa yang ada.
Salah satu forum alternatif penyelesaian sengketa yang dapat
dipilih oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa perbankan adalah
melalui Mediasi Perbankan. Sama dengan mediasi pada umumnya di sini
juga terdapat pihak ketiga yang netral (mediator). Jika kita ikuti ketentuan
dalam Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dapat kita
katakan bahwa mediator dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Mediator ditunjuk secara bersama oleh para pihak (Pasal 6 ayat
(3) )
b. Mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga
alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak.

108

Berdasarkan pada ketentuan Pasal 6 ayat (4) dimaksud, maka
Mediator dalam Lembaga Mediasi Perbankan termasuk dalam Mediator
yang ditunjuk oleh lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang telah
dipilih oleh para pihak. Karena Bank Indonesia yang saat ini sementara
melaksanakan fungsi Mediasi Perbankan, maka mediator dimaksud
adalah mediator yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Mengenai kekuatan hukum dari putusan mediasi dapat kita baca
dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang intinya
menyatakan bahwa kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda
pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak untuk
dilaksanakan dengan itikad baik. Kesepakatan tersebut wajib didaftarkan
di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilaksanakan dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
Kalau kita kaji lebih dalam bahwa kekuatan mengikat hasil mediasi
pada hakikatnya sama seperti undang-undang. Hal ini terjadi karena
penyelesaian sengketa melalui mediasi merupakan kesepakatan dari para
pihak, yakni bank dengan nasabah atau perwakilan nasabah.
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata intinya
menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Khusus
mengenai kesepakatan para pihak sebagai hasil mediasi di samping harus

109

memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata juga berdasarkan PBI No.
8/5/PBI/2006 harus dituangkan dalam bentuk Akta Kesepakatan yaitu
dokumen tertulis yang memuat kesepakatan yang bersifat final dan
mengikat bagi nasabah dan Bank
Kemudian berdasarkan Pasal 12 PBI No 8/5/PBI/2006 disebutkan
bahwa kesepakatan antara Nasabah atau Perwakilan Nasabah dengan
Bank yang dihasilkan dari proses Mediasi dituangkan dalam Akta
Kesepakatan yang ditandatangani oleh Nasabah atau Perwakilan
Nasabah dan Bank. Konsekuensi hukum setelah penandatangan Akta
Kesepakatan, yaitu bahwa Bank wajib melaksanakan hasil penyelesaian
sengketa perbankan antara Nasabah dan Bank. Hal ini terlihat dalam
ketentuan Pasal 13 PBI No. 8/5/PBI/2006 yang menyebutkan bahwa Bank
wajib melaksanakan hasil penyelesaian sengketa perbankan antara
Nasabah dengan Bank yang telah disepakati dan dituangkan dalam Akta
Kesepakatan. Apabila pihak bank tidak melaksanakannya, Bank Indonesia
akan menjatuhkan hukuman kepada bank yang bersangkutan, yaitu
sanksi administratif, mulai dari berupa denda uang, teguran tertulis,
penurunan tingkat kesehatan bank, larangan untuk turut serta dalam
kegiatan kliring, pembekuan kegiatan usaha tertentu maupun untuk bank
secara keseluruhan, pemberhentian pengurus bank dan pencantuman
anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang
tercela di bidang perbankan.

110

Dengan demikian berdasarkan pada peraturan perundang-
undangan sebagaimana tersebut di atas, kesepakatan yang diperoleh dari
Mediasi Perbankan mempunyai kekuatan hukum sehingga bagi para
pihak wajib melaksanakannya dengan penuh itikad baik ( in good faith).
Dalam hal pihak bank tidak melaksanakannya, Bank Indonesia akan
memberikan sanksi. Hal ini juga memberikan bukti, bahwa Mediasi
Perbankan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan mediasi pada
umumnya.
Badan arbitrase syariah sebenarnya mengemban tugas yang suci
dan mulia karena harus mengutamakan penyelesaian secara damai
(ishlah) sebagaimana dianjurkan dan ajran islam. Selain itu penyelesaian
sengketa melalui badan Arbitrase Syariah dapat menjamin kosnsistensi
pengalaman dan sekaligus penegakan syariah islam. Hal demikian tidak
mungkin terjadi jika penyelesaian sengketa melalui proses litigasi di
Pengadilan Negeri.
Melihat tugas mulia dari badan Arbitrase Syariah ini, seharusnya
badan ini terjadi tempat penyelesaian sengketa muaamalah bagi seluruh
umat islam. Pada kenyataannya hal tersebut belum dapat terjadi, contoh
Badan perkerditan rakyat syariah (BPRS) menilai badan ini kurang efektif.
Apabila dilihat dari lamanya eksistensi badan ini, perkembangannya
kurang menunjukan sesuatu yang berarti apabila dibandingkan dengan
perkembangan perbankan syariah. Beberapa faktor yang

111

menyebabkannya antara lain adalah kurangnya sumber daya manusia
dan kurangnya jaringan kantor dibaerbagai daerah. Badan Arbitrase
Syariah harus melakukan beberapa langkah agar dapat mencapai tujuan
berdirinya badan ini, seperti menyiapkan tenaga kerja yang berkualitas
mulai dari arbiter sampai pada karyawan agar dapat meningkatkan
kepercayaan masyarakat kepada kemampuan badan ini dalam
menyelesaikan sengketa. Tidak ada salahnya mempelajari perkembangan
pesat badan-badan Arbitrase internasional yang telah memiliki reputasi
yang sangat baik sebagai arbitrase institusional seperti London Court Of
Arbitration, atau badan internasional serupa yang menerapkan syariah
Islam seperti the Arab Chamber Of Commerce. Pelajaran yang dapat
diambil adalah seperti manajemen badan insitusional arbitrase dan
biayanya. Badan Arbitrase syariah Nasional merupakan badan arbitrase
satu-satunya di Indonesia yang menerapkan syariah Islam. Sehingga
diharapkan dapat memberikan kontribusi yang cukup berharga bagi
pengembangan hukum di Indonesia dan kegiatan perekonomian,
khususnya bagi umat Islam yang merupakan penduduk mayorits di
Indonesia. Di masa yang akan datang diharapkan tidak ada lagi keraguan
pelaku bisinis syariah, khususnya perbankan syariah terhadap
kemampuan dan kewenagan badan ini.



112

BAB V
PENUTUP


A KESIMPULAN

Dari hasil penjelasan dan analisa, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut.

1 Persoalan yang melatarbelakangi bank Syariah selalu mensyaratkan
adanya jaminan adalah menyangkut persoalan realitas hubungan
antara bank dengan nasabah. Masyarakat yang kompleks dan
sedemikian terbuka menjadikan bank sebagai penyedia pembiayaan
hanya mampu mengetahui keadaan calon nasabah yang akan dibiayai
dengan mudharabah sangat terbatas. Halini menjadikan hubungan
yang ada dan tercipta tidak sampai pada tingkat personal, tetapi lebih
bersifat formal. Oleh karena itu diperlukan jaminan agar pembiayaan
mudharabah yang diberikandapat efektif dan efisien.
2 Dalam RUU Perbankan Syariah yang akan segera disahkan harus
dimasukkan sebuah pasal yang menyebutkan, bahwa jika terjadi
perselisihan dalam masalah perbankan syariah, harus diselesaikan di
Peradilan Agama. Jadi bukan di pengadilan Umum atau Badan

113

Arbitrase. DPR jangan sempat melupakan klausul ini agar kedua
Undang-Undang tersebut sinkron dan tidak bertentangan.
3 Oleh karena seluruh perselisihan di bidang ekonomi syariah menjadi
wewenang Peradilan Agama, maka seluruh hakim agama yang selama
ini hanya memahami hukum-hukum keluarga (al-ahwal asy-
syakhsyiah) perlu memahami hukum-hukum tentang perbankan dan
lembaga keuangan syariah lainnya.
4 Proses penyelesaian sengeketa pada Bank Perkreditan Rakyat
Syariah (BPRS) dan perbankan syariah terutama pada kasus
pembiayaan sepenuhnya dilakukan melalui jalan damai (islah), yaitu
diselesaikan secara internal pihak bank dan nasabah dengan
bermusyawarah, atau sama dengan proses negosiasi. Dalam akad
pembiyaan. Terdapat kalusul Arbitrase syariah. Bank Perkreditan
rakyat syariah sampai dengan saat ini balum pernah mengajukan pada
yurisdiksi badan Arbitrase syaria. Samapi saat ini belum pernah
mengajukan permohonan arbitrase apalagi gugatan perdata
kepengadilan negeri. Dari hasil penjelas diatas maka proses
penyelesaian sengketa perbankan di bidang pembiyaan pada Bank
Perkreditan Rakyat syariah (BPRS) sudah sesuai dengan hukum Islam
dan telah memenuhi ketentuan yang telah memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.



114

B SARAN

1 Meletakan penyelesaian sengketa perbankan syariah pada
kewenangan peradilan Agama merupakan pilihan yang terbaik dan
menjadi momentum yang baik bagi perkembangan dan kemajuan
Islam. Namun, pelaksanaannya masih tidak dimungkinkan karena
terbentur dengan masalah regulasi. Hal-hal yang perlu dipersipkan
adalahmengadakan pedidkan serta pelatihan bagi para aparat
hukum yang akan menangani kasus perbankan syariah
2 Keberadaan badan arbitrase syariah Nasional masih dinilai kurang
efektifg oleh banyak kalangan praktisi perbankan syariah. Untuk itu
diperlukan perbaikan kualitas, SDM, serta perluasan jaringan
badan ini agar menjadi institusi penyelesaian sengketa yang dapat
diandalkan dan keberadaannya menjadi lebih efektif.
3 Peradilan Agama sebaiknya didorong sepenuhnya dalam
menyiapkan instruktur lunak (subtasi materi) dan keras (kantor)
yang meliputi sekurang-kurangnmya 1 banding 1) kewajiaban bagi
para hakim syariah dan ekonomi lainya dapat kita ketahui bahwa
kewengan mengadili bidang nikah, talak, cerai dan rujuk alat
pendukung kantor yang memadai. Untuk memperkuat eksitensinya
mulai dari makamah agung samapi pendilan tingkat Kabupaten
dan kota. Peradilan agana dan peradilan Negeri pada saat ini di
yakini lebih memungkinkan dalam penyelesaian sengketa

115

perbankan syariah diseluruh Indonesia dibandingkan Arbitrase
syariah.
4 Untuk peradialn agama berkewajiban mensosialisasikan Undang-
undang No 3 Tahun 2006 tentang Agam terutama Pasal 49
mengenai kewenangan baru perdilan Agama dibidang perbankan
syariah dan ekonomi lainnya

Anda mungkin juga menyukai