Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Beberapa kasus pajak di Indonesia saat ini sudah meresahkan banyak
pihak, Pajak yang seharusnya menjadi alat pembiayaan dan pengaturan
negara sudah di komoditikan berbagai kepentingan. Pemerintah dianggap
kurang tegas dan memberikan banyak peluang dalam menghadapi kasus
pajak, Terlalu banyak terjadi pelanggaran atau kolusi di berbagai lini.
Memang ada yang ketahuan dan mendapat sanksi, namun jika dibandingkan
dengan yang tidak ketahuan, jumlahnya lebih banyak yang tidak ketahuan.
Grup Bakrie merupakan kumpulan perusahaan yang dimiliki oleh
Aburizal Bakrie (Ical), ada banyak perusahaan yang dimilikinya, antara lain
PT Bumi Resources Tbk PT Kaltim Prima Coal PT Arutmin Indonesia
(KPC). Seharusnya sudah menjadi kewajiban bagi mereka untuk membayar
pajak. Namun pada kenyataannya masih banyak kasus dimana mereka
merugikan masyarakat. Kasus ini menjadi menarik karena disatu sisi kegiatan
mafia pajak mereka dimaksudkan untuk kepentingan pribadi yang sebesar-
besarnya. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 pasal 39 Undang-Undang
Ketentuan Umum Perpajakan, disisi lain tindakan Grup Bakrie ini justru
belum atau bahkan tidak menunjukkan kinerja yang baik.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pentingnya kepatuhan perpajakan?
2. Apakah manfaat predikat wajib pajak patuh?
3. Apa saja hambatan pemungutan pajak?
4. Apakah kasus yang berkaitan dengan pemungutan pajak?

C. TUJUAN
Penulisan makalah ini bertujuan :
1. Untuk menjelaskan mengenai pentingnya kepatuhan perpajakan.
2. Untuk menjelaskan manfaat wajib pajak yang patuh membayar pajak.
3. Untuk menjelaskan tentang hambatan-hambatan pemungutan pajak.
4. Untuk menjelaskan tentang contoh kasus yang berkaitan dengan
hambatan pemungutan pajak.


BAB II
PEMBAHASAN

A. PENTINGNYA KEPATUHAN PERPAJAKAN
Kepatuhan wajib pajak merupakan masalah penting bagi negara maju
maupun negara berkembang karena jika wajib pajak tidak patuh maka akan
menimbulkan keinginan untuk melakukan tindakan penghindaran,
pengelakan, penyelundupan, dan pelalaian pajak.
Kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kondisi
sistem administrasi perpajakan suatu negara, pelayanan pada wajib pajak,
penegakan hukum perpajakan, pemeriksaaan pajak, dan tarif pajak.
Administrasi perpajakan di Indonesia masih perlu diperbaiki, dengan
perbaikan diharapkan wajib pajak lebih termotivasi dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya. Administrasi baik tentunya karena instansi pajak,
sumber daya aparat pajak, dan prosedur perpajakannya baik. Dengan kondisi
tersebut maka usaha memberikan pelayanan bagi wajib pajak akan lebih baik,
lebih cepat dan menyenangkan wajib pajak.
Kesadaran dan kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan tidak hanya
tergantung pada masalah-masalah teknik saja yang menyangkut metode
pemungutan, tarif pajak, teknis pemeriksaan, penyidikan, penerapan sanksi
sebagai perwujudan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, dan pelayanan pada wajib pajak selaku pihak pemberi dana bagi
negara dalam hal membayar pajak.
Membayar pajak bukanlah merupakan tindakan yang semudah dan
sesederhana membayar untuk mendapatkan sesuatu atau konsumsi bagi
masyarakat, tetapi didalam pelaksanaannya penuh dengan hal yang bersifat
emosional. Pada dasarnya tidak seorangpun yang menikmati kegiatan
membayar pajak seperti menikmati kegiatan berbelanja.
Disamping itu, potensi bertahan untuk tidak membayar pajak sudah
menjadi taxpayers behaviour. Pada umumnya mereka cenderung untuk
meloloskan diri dari setiap pajak. Kecenderungan melakukan kecurangan oleh
wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya lebih banyak terjadi
dalam sistem pemungutan pajak self-assesment. Sistem pemungutan pajak
dengan menggunakan self-assesment memberikan peran aktif wajib pajak
untuk melakukan sendiri perhitungan pajak terutang, menyetorkannya sendiri
dan melaporkan SPT sendiri.

B. MANFAAT PREDIKAT WAJIB PAJAK PATUH
Wajib pajak patuh adalah wajib pajak yang sadar pajak, paham hak dan
kewajiban perpajakannya, dan diharapkan peduli pajak, yaitu melaksanakan
kewajiban perpajakan dengan benar dan paham akan hak perpajakannya.
Wajib pajak yang berpredikat patuh dalam pemenuhan kewajiban
perpajakannya tentunya akan mendapat kemudahan dan fasilitas yang lebih
dibandingkan dengan pemberian pelayanan pada wajib pajak yang belum atau
tidak patuh. Fasilitas yang diberikan oleh Dirjen Pajak terhadap wajib pajak
patuh adalah :
a. Pemberian batas waktu penerbitan Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) paling lambat 3 bulan sejak
permohonan kelebihan pembayaran pajak yang diajukan wajib pajak
diterima untuk pajak penghasilan, dan 1 bulan untuk pajak pertambahan
nilai, tanpa melalui penelitian dan pemeriksaan oleh Dirjen Pajak.
b. Adanya kebijakan percepatan penerbitan Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) menjadi paling lambat 2bulan
untuk PPH dan 7 hari untuk PPN.
Bagi wajib pajak yang belum atau tidak patuh, fasilitas tersebut tidak
diberikan padanya, penerbitan SKPPKP harus menunggu penelitian dan
pemeriksaan yang memakan waktu, biaya, dan menjadi sumber terjadinya
korupsi, kolusi dan nepotisme.

C. HAMBATAN PEMUNGUTAN PAJAK
Di setiap negara pada umumnya masyarakat memiliki kecenderungan
untuk meloloskan diri dari pembayaran pajak. Membayar pajak adalah suatu
aktivitas yang tidak dapat lepas dari kondisi behavior wajib pajak. Faktor
yang bersifat emosional akan selalu menyertai pemenuhan kewajiban
perpajakan.
Usaha yang dilakukan wajib pajak untuk meloloskan diri dari pajak
merupakan usaha yang disebut perlawanan terhadap pajak. Usaha tidak
membayar pajak atau memanipulasi jumlah pajak maupun
meminimalisasikan jumlah pajak yang harus dibayar tentunya menjadi
hambatan dalam pemungutan pajak.
Berbagai bentuk perlawanan sebagai wujud reaksi ketidakcocokan atau
ketidakpuasan terhadap diberlakukannya pajak sering kali diwujudkan dalam
bentuk perlawanan pasif dan perlawanan aktif.
1. Perlawanan Pasif
Perlawanan pasif merupakan kondisi yang mempersulit
pemungutan pajak yang timbul dari kondisi struktur perekonomian,
kondisi sosial masyarakat, perkembangan intelektual penduduk, moral
warga masyarakat, dan perlunya sistem pemungutan pajak itu sendiri.
Faktor yang mendasari ekonomi yang kuat diantaranya adalah
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan jumlah penduduk (kaya,
menengah, dan miskin). Faktor-faktor kondisi sosial seperti kemiskinan,
keterbelakangan, dapat menyebabkan investasi fisik maupun investasi
sumber daya manusia rendah, sehingga dapat mengakibatkan tingkat
produktivitas rendah yang berakibat pada pendapatan rendah.
Kondisi rendahnya tingkat pendapatan , menyebabkan kemampuan
menabung rendah dan kemampuan membayar pajak menjadi rendah.
Intelektual penduduk yang merupakan hasil dari fundamental, ekonomi
yang belum sehat dan kuat tentunya akan menghasilkan tingkat intelektual
yang rendah. Intelektualitas penduduk akan mempengaruhi penyerapan
pengetahuan dan informasi mengenai perpajakan. Jika intelektualitas
tinggi maka pemahaman mengenai perpajakan akan terserap baik bagi
penduduk. Maka pemenuhan kewajiban perpajakan akan lebih baik.
Moral masyarakat akan mempengaruhi pemngumpulan pajak oleh
fiskus. Dengan integritas tinggi tentunya pemenuhan kewajiban
perpajakan akan lebih baik dimana voluntary compliance wajib pajak
berada pada posisi yang baik.
Merupakan suatu kenyatan dan pengalaman di beberapa negara
bahwa perlawanan pasif tidak begitu kuat tehadap pajak tidak langsung
daripada pajak langsung. Itulah sebabnya mengapa pada umumnya
kebanyakan negara cenderung untuk mengadakan pajak tak langsung.
2. Perlawanan aktif
Meliputi usaha masyarakat untuk menghindari, penyelundupan,
memanipulasi, melalaikan, dan meloloskan pajak yang langsung ditujukan
kepada fiskus.
a) Penghindaran Pajak
Penghindaran pajak adalah cara mengurangkan pajak yang masih
dalam batas ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan
dapat dibenarkan terutama melalui perencanaan perpajakan. (Robbert
H. Underson)
Penghindaran pajak ini menyebabkan permintaan akan barang yang
dikenakan pajak berkurang, yang berakibat meningkatnyua
penabungan, atau bertambahnya permintaan akan barang lain dan
sekaligus terjadi penambahan dalam produksi barang terakhir, dan
berkurangnya barang-barang yang dikenakan pajak berat.
b) Pengelakan atau penyelundupan pajak
Harry Graham Balter memberi pengertian mengenai penyelundupan
pajak yaitu sebagai usaha yang dilakukan oleh wajib pajak apakah
berhasil atau tidak untuk mengurangi atau sama sekali menghapus
utang pajak yang berdasrkan ketentuna ynag berlaku sebagai
pelanggaran terhadap perundang-undangan perpajakan.
Pengelakan pajak ini terutama terdapat pada pajak-pajak yang untuk
penentuan besarnya, para wajib pajak harus bekerja sendiri dengan
menggunakan pemberitahuan dan dokumen-dokumen lain. Para wajib
pajak dapat mengabaikan sama sekali formalitas-formalitas yang
harus dilakukannya atau memalsukan dokumen atau mengisinya
kurang lengkap. Pembukuan memberi kemungkinan untuk
mengelakkan pajak.
c) Melalaikan Pajak
Menurut Oliver Oldman dalam Moh. Zain melalaikan pemenuhan
kewajiban perpajakan disebabkan oleh :
(1) Ketidaktahuan, yaitu wajib pajak tidak sadar atau tidak tahu akan
adanya ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
tersebut.
(2) Kesalahan, yaitu wajib pajak paham dan mengerti mengenai
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tetapi salah
hitung.
(3) Kesalahpahaman, yaitu wajib pajak alpa untuk menyimpan buku
berserta bukti-buktinya secara lengkap.
Melalaikan pajak menurut R. Santoso Brotodihardjo merupakan
upaya menolak untuk membayar pajak yang telah ditetapkan dan
menolak memenuhi formalitas-formalitas yang harus dipenuhinya.
Penghindaran pajak (tax avoidance) merupakan tindakan legal, dapat
dibenarkan karena tidak melanggar undang-undang, dalam hal ini sama sekali
tidak ada suatu pelanggaran hukum yang dilakukan. Tujuan penghindaran
pajak adalah menekan atau meminimalisasi jumlah pajak yang harus dibayar.
Pada kenyataannya di dalam praktik wajib pajak selalu berusaha untuk
membayar pajak yang terutang sekecil mungkin, dan cenderung melakukan
penyelundupan pajak, yang tentunya melanggar peraturan perundang-
undangan perpajakan.

D. CONTOH KASUS PENYELEWENGAN PAJAK: PEYELEWENGAN
PAJAK OLEH BAKRIE GROUP
Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan dugaan penggelapan
pajak yang dilakukan PT Bumi Resources Tbk (BUMI) ke Direktorat
Jenderal (Ditjen) Pajak. ICW menemukan selisih pajak lebih rendah US$
1,060 miliar dalam laporan keuangan salah satu perusahaan Grup Bakrie
tersebut.
Beberapa perusahan Grup Bakrie melakukan tindakan pegurangan
dalam membayar pajak. Kasus ini berawal ketika Direktorat Jenderal Pajak
menemukan kekurangan bayar pajak tiga perusahaan Grup Bakrie pada 2007
senilai Rp 2,1 triliun. Jumlah ini merupakan rekor kasus pajak di Indonesia.
Kasus pajak terbesar sebelumnya berasal dari penyimpangan pajak Asian
Agri Group senilai Rp 1,3 triliun.
Berikut Kronologis Perseteruan Bakrie-Pajak:
2007
Keuntungan kotor PT Bumi Resources Tbkinduk usaha PT Kaltim Prima
Coal (KPC) dan PT Arutmin Indonesianaik 42 persen menjadi US$ 754 juta
(Rp 6,8 triliun) dari US$ 529 juta (Rp 4,8 triliun) pada 2006.
Pertengahan 2008
Direktorat Jenderal Pajak memeriksa kasus dugaan manipulasi pajak tiga
perusahaan Grup Bakrie itu untuk tahun buku 2007.
4 Maret 2009
Kantor Pajak menemukan dugaan kekurangan pembayaran pajak pada 2007
oleh ketiga perusahaan batu bara Grup Bakrie itu sekitar Rp 2,1 triliun.
Perinciannya: KPC kurang Rp 1,5 triliun, Bumi Resources kurang Rp 376
miliar, Arutmin kurang Rp 300 miliar.
20 Maret 2009
KPC menggugat Ditjen Pajak ke Pengadilan Pajak untuk membatalkan surat
perintah bukti permulaan penyidikan tanggal 4 Maret 2009.
29 Juni 2009
Kasus PT Bumi Resources ditingkatkan ke penyidikan.
8 Desember 2009
Pengadilan Pajak membatalkan surat tanggal 4 Maret 2009. Namun Ditjen
Pajak tetap melanjutkan penyidikan.
29 Januari 2010
Ditjen Pajak mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung atas
putusan pengadilan pajak tanggal 8 Desember 2009.
4 Februari 2010
KPC menggugat Ditjen Pajak ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena
tidak menaati putusan pengadilan pajak pada 8 Desember 2009.
9 Februari 2010
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengalahkan KPC.
24 Mei 2010
MA menolak PK Ditjen Pajak mengenai keberatan atas putusan pengadilan
pajak tanggal 8 Desember 2009 yang membatalkan surat dimulainya
penyidikan KPC.
3 November 2010
Gugatan Bumi Resources terhadap Ditjen Pajak dikalahkan Pengadilan Pajak.
Kasus pajak tiga perusahaan Grup Bakrie menjadi heboh, terutama
karena ada pengakuan Gayus, tersangka kasus dugaan penggelapan pajak,
memberikan keterangan di persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 28
September lalu. Gayus mengaku menerima dana US$ 3 juta dari Grup Bakrie
untuk mengurusi perkara pajak tiga perusahaan kelompok usaha itu.
Masing-masing untuk mengurus surat banding ketetapan pajak untuk
PT Bumi Resources Tbk, surat ketetapan pajak untuk PT Kaltim Prima Coal
dan sunset policy atau pemutihan pajak PT Arutmin. Gayus memerinci, untuk
Kaltim Prima dia dibayar US$ 500 ribu; Bumi US$ 500 ribu; dan Arutmin
US$ 2 juta.
Menurut Gayus mengaku pekerjaan itu diterima dari Alief Kuncoro
melalui adiknya yang bernama Imam Cahyo Maliki. Dua nama terakhir
menurut Gayus masing-masing mendapat bayaran US$ 500 ribu. Gayus juga
menyebut meminta bantuan atasannya Maruli Pandopotan Manurung, dengan
imbalan US$ 1,5 juta.
Pengakuan Gayus menerima bayaran dari Grup Bakrie itu, adalah
pengakuan yang kesekiankalinya. Pada 3 Juni 2010, Kabareskrim Komjen
Ito Sumardi mengatakan, berdasarkan hasil penyidikan, Gayus mengaku
menerima bayaran dari tiga perusahaan Grup Bakrie. Lalu di persidangan
Haposan, 3 Agustus lalu, Gayus kembali mengakui ada pembayaran dari
perusahaan-perusahaan Grup Bakrie.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dalam penerimaan negara yang bersumber dari pajak terdapat
beberapa hambatan yang menyebabkan proses pemungutan pajak menjadi
tidak berjalan lancar dan tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Seperti kasus penyelewengan pajak oleh perusahaan Bakrie Group.
Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa perusahaan Bakrie Group
telah melakukan tindakan molor pajak, yang menyebabkan kerugian pada
masyarakat. Tindakan Grup Bakrie ini telah melanggar pasal 39 Undang-
Undang Ketentuan Umum Perpajakan atau terindikasi tak melaporkan Surat
Pemberitahuan Tahunan secara benar.
Kasus ini juga menunjukkan bahwa sistem perpajakan di Indonesia
belum berjalan dengan semestinya. Masih banyak kasus-kasus
penyelewengan pajak yang terjadi baik kasus yang ketahuan atau tidak. Dan
banyak dari kasus-kasus tersebut yang tidak segera ditindaklanjuti.

B. SARAN
1. Sebagai warga negara yang baik kita harus memenuhi kewajiban sebagai
wajib pajak dan mematuhi peraturan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku.
2. Seharusnya pemerintah mengusahakan agar tidak terjadi penyelewengan
pajak melalui peraturan perpajakan yang berlaku, serta menindaklanjuti
pelanggaran terkait perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak dan
fiskus.

DAFTAR PUSTAKA

Devano, Sony, Siti Kurnia Rahayu. 2006. Perpajakan:Konsep, Teori, dan
I su. Jakarta : Kencana.

Diperoleh : 14 Mei 2013 Budi Marsono, dari :
http://marsonos.blogspot.com/2011/11/etika-bisnis-kasus-pajak-grup-
bakrie.html

Diperoleh : 14 Mei 2013 E Mei Amelia R, dari :
http://news.detik.com/read/2010/02/15/184247/1300103/10

Diperoleh : 14 Mei 2013 dari :
http://www.neraca.co.id/harian/article/25471/Kasus.Penggelapan.Pajak.Maki
n.Gelap

Anda mungkin juga menyukai