Anda di halaman 1dari 16

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya
bilateral di sisi nasal. Keadaan ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif
akibat sinar ultraviolet, daerah yang kering dan lingkungan yang banyak angin,
karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di
lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu atau berpasir. Temuan
patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan
hialin dan elastik.
5
Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus
diangkat secara bedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah
perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti
mengurangi resiko kekambuhan.
5
1.2. Batasan Masalah

Pembahasan pada makalah ini dibatasi pada diagnosis dan
penatalaksanaan pterigium.
1.3. Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis dan
pembaca mengenai diagnosis dan panatalaksanaan pterigium.
1.4. Metode Penulisan
Metode yang dipakai pada penulisan ini adalah tinjauan kepustakaan yang
merujuk pada berbagai kepustakaan.
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
2.1.1 Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata
bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva.
Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet.
3

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
- Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar
digerakkan dari tarsus.
- Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera
dibawahnya.
- Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal
dengan konjungtiva bulbi
3

Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan
jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak
3






Gambar 1. Anatomi Mata

3

2.1.2 Anatomi kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan.
3

Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
1. Epitel
- Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal
berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya
melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air,
elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.

-epitel berasal dari ektoderm permukaan.
3
2. Membran Bowman
-Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
- Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3
3. Stroma
- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan
lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer
serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu
yang lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma
kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga
keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio
atau sesudah trauma.
3

4

4. membrane descemet
- merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.
- bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal
40m.
3
5. Endotel
- berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40m.
endotel melekat pada membrane descemet melalui hemidesmosom dan zonula
okluden.
3
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk
ke dalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung
schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan
tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah
limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam
waktu 3 bulan.
3
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa
endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea.
Endotel tidak mempunyai daya regenarasi.
3
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di
sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri
dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.
3
5


Gambar 2. Histologi Kornea
2.2 PTERIGIUM
2.2.1 Definisi
Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk
segitiga, mirip daging yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular
konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif
3


Gambar 3. Pterigium
2.2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada
lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang
dari 2% untuk daerah di atas 40
o
lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis
6

lintang 28-36
o
. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan
daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang.
Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan
peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.
4

2.2.3 Mortalitas dan Morbiditas
Pterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi
visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi
sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.
4

Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :
1. Jenis Kelamin
Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak
dibandingkan wanita.
4

2. Umur
Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun. Untuk
pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan
pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterygium
yang paling tinggi.
4

2.2.4 Faktor Resiko
Faktor resiko pterigium yaitu peningkatan paparan terhadap sinar ultra
violet, terutama mereka yang hidup di daerah dengan iklim subtropikal dan
tropikal, serta mereka yang banyak melakukan aktifitas di luar ruangan.
medscape

Faktor resiko lainnya yaitu inflamasi pada mata, paparan terhadap debu dan angin
ataupun iritan lainnya.
1
2.2.5 Patofisiologi dan Histologi
Salah satu teori mengenai patofisiologi dari pterigium bahwa peningkatan
prevalensi kejadian pterigium diantara orang-orang di daerah ekuator yaitu akibat
efek merusak dari radiasi UV terutama radiasi UV-B. Hipotesis kerjanya yaitu
7

radiasi ini menyababkan mutasi pada tumor suppresor gen p53, yang
memfasilitasi profilerasi abnormal epitelium limbal.
2
Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan
proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium,
Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan
basofilia pada pewarnaan hematoksin dan eosin.
4






Gambar 4. Histologi pterigium
2.2.6 Gejala Klinis
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering
tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering
dialami pasien antara lain:
mata tampak merah,
mata gatal,
iritasi, dan
penglihatan kabur berkaitan dengan elevasi lesi pada konjungtiva dan
kornea pada satu atau dua mata.
4

2.2.7 Pemeriksaan Fisik
Pterigium dapat muncul sebagai perubahan fibrovaskuler pada permukaan
konjungtiva dan kornea. Dimana pterigium pada umumnya muncul di nasal
8

konjungtiva dan meluas ke nasal kornea, meskipun kadang muncul pada
daerah lainnya, seperti pada daerah temporal.
Munculan klinis dapat dibagi menjadi 2 kategori umum :
Pterigium muncul dengan proliferasi minimal dan atrofi yang relatif.
Dimana pterigium pada grup ini cenderung lebih datar dan
pertumbuhannya lambat serta memiliki derajat kekambuhan yang
rendah setelah eksisi.
Pterigium pada grup ini tumbuh lebih cepat dan memiliki komponen
fibrovaskular yang meningkat secara signifikan, serta cenderung
memiliki klinis yang lebih agresif dan derajat kekambuhan yang tinggi
setelah eksisi.
4

2.2.8 Terapi
2.2.8.1 Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati, kecuali jika lesinya
meluas atau tumbuh menuju pusat kornea atau pasien mengeluhkan gejala yang
signifikan seperti kemerahan, rasa tidak nyaman, atau terganggunya fungsi
penglihatan. Pterigium dapat diangkat untuk tujuan kosmetik begitu juga untuk
fungsi penglihatan yang abnormal.
4
Obat-obatan untuk pterigium terdiri dari topical lubricating drops
(contohnya refresh tears, genteal drops) serta penggunaan jangka pendek
kortokosteroid topikal (contohnya pred forte 1%) ketika gejalanya lebih hebat.
4
Selain obat-obatan dapat digunakan kacamata yang memblok radiasi
ultraviolet untuk mengurangi paparan radiasi UV lebih lanjut.
4

2.2.8.2 Bedah
Tujuan eksisi mikro surgikal pterigium yaitu untuk mencapai permukaan
okuler yang normal dan halus secara topografi.
1
9

A. Indikasi Operasi
1. Pterigium yang tumbuh menuju sentral kornea/visual aksis yang
menyebabkan terganggunya fungsi penglihatan.
2. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
3. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.
2

B. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik
bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena
tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi
pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih
memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang
mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut
yang minimal dan halus dari permukaan kornea.
2

1. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara
memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi,
antara 24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan dalam berbagai
laporan.
2

Gambar 5. Bare Sclera
10


2. Teknik Simple Closure
Ujung bebas sklera disatukan bersama (efektif jika defek
konjungtiva sangat kecil).
2

Gambar 6. Simple Closure

3. Teknik Sliding Flap
Insisi berbentuk L dibuat berdekatan dengan luka sehingga flap
konjungtiva dapat masuk kedalam.
1

Gambar 7. Sliding Flap
11

4. Teknik Autograft Konjungtiva
memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan
setinggi 40 persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan
pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal,
dan dijahit di atas sclera yang telah di eksisi pterygium
tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal
ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari
graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi
akurat dari grafttersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari Australia
merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium
dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.
2

Gambar 8. Autograft Konjungtiva

5. Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk
mencegah kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari
penggunaan membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar
peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor
penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan
epithelialisai.Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi
yang ada, diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan
setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari
12

teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar
konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera ,
dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke
bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin
untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral
dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam autografts
konjungtiva.
2

C. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam
pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah
jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi
tersebut.
2

MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya
untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis
minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini
digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi
pterygium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah
operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya
intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.
2


Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena
menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak
ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk
dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak,
dan ini telah mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap
penggunaannya.
2



13

2.2.9 Komplikasi
1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:
- Gangguan penglihatan
- Mata kemerahan
- Iritasi
- Gangguan pergerakan bola mata.
- Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
- Dry Eye sindrom
4

2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:
- Infeksi
- Ulkus kornea
- Graft konjungtiva yang terbuka
- Diplopia
- Adanya jaringan parut di kornea
4

Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan.
Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini
bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft dari konjungtiva atau
transplant membran amnion pada saat eksisi
4

2.2.10 Prognosis
Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik.
Prosedur yang baik dapat ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa hari
post operasi pasien akan merasa tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca
operasi pasien bisa memulai aktivitasnya. . Pasien dengan pterygia yang kambuh
lagi dapat mengulangi pembedahan eksisi dan grafting
dengan konjungtiva / limbal autografts atau transplantasi membran amnion pada
pasien tertentu
4


14

BAB III
KESIMPULAN
Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata
dan merupakan yang tersering nomor dua di indonesia setelah katarak, hal ini di
karenakan oleh letak geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga
banyak terpapar oleh sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab
dari piterigium. Pterigium banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya
aktivitas laki-laki lebih banyak di luar ruangan, serta dialami oleh pasien di atas
40 tahun karena faktor degeneratif.
Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun
(asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi
benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya.
Terapi dari pterigium umumnya tidak perlu diobati, hanya perawatan
secara konservatif seperti memberikan anti inflamasi pada pterigium yang iritatif.
Pada pembedahan akan dilakukan jika piterigium tersebut sudah sangat
mengganggu bagi penderita semisal gangguan visual, dan pembedahan ini pun
hasilnya juga kurang maksimal karena angka kekambuhan yang cukup tinggi
mengingat tingginya kuantitas sinar UV di Indonesia. Walaupun begitu penyakit
ini dapat dicegah dengan menganjurkan untuk memakai kacamata pelindung sinar
matahari.







15

BAB IV
PENUTUP

Demikian telah dibahas tentang Pterigium, di dalamnya telah dibahas
mengenai anatomi, definisi, patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan, diagnose
banding, komplikasi, dan penatalaksanaan.
Sekiranya apa yang telah kami bahas dalam referat ini dapat bermanfaat
bagi teman-teman yang membacanya agar dapat lebih memahami tentang
pterigium dan penatalaksanaannya.














16

Daftar Pustaka

1. American Academy of Ophtamology. External Disease and Cornea
Section 8. American Academy of ophtamology. San Fransisco, 2008
2. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD.
Management of Pterygium
http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm?
3. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007.
hal:2-6, 116 117
4. Jerome P Fisher, PTERYGIUM. 2009
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
5. Voughan & Asbury. Oftalmologi umum , Paul Riordan-eva, John P.
Whitcher edisi 17 Jakarta : EGC, 2009 Hal 119

Anda mungkin juga menyukai