Meningkatnya kesadaran masyarakat dunia termasuk Indonesia untuk hidup sehat
melalui proses kehidupan yang lebih alami atau Back to Nature, menyebabkan permintaan produk pertanian organik yang berkonotasi lebih sehat, aman, enak dan ramah lingkungan semakin meningkat. Salah satu bagian dari hidup ke alam, yaitu dengan mengkonsumsi produk organik yang bebas dari penggunaan bahan kimia sintetik yang membahayakan kesehatan manusia serta lingkungan. Sejak tahun 2000 pemerintah telah mencanangkan program Go Organic 2010 sebagai kebijakan nasional dalam mendukung pengembangan pertanian organik di Indonesia. Target yang ingin dicapai adalah menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen organik terbesar dunia. Program tersebut disambut baik oleh masyarakat Indonesia khususnya para pelaku agribisnis pelaku pertanian organik. Hampir semua komoditas pangan organik dari berbagai daerah di Indonesia telah dipasarkan dan telah mendapatkan sertifikat organik dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga pangan konvensional. Hal ini mendorong pelaku di bidang pertanian untuk mengembangkan pestisida alami berasal dari organisme yang disebut pestisida organik atau biopestisida. Penggunaan pestisida dalam pengendalian gulma telah menimbulkan dampak negatif, baik itu bagi kesehatan manusia maupun bagi kelestarian lingkungan. Dampak negatif pestisida non organik yaitu terjadinya pengumpulan pestisida (akumulasi) dalam tubuh manusia karena beberapa jenis pestisida sukar terurai. Pestisida yang terserap tanaman akan terdistribusi ke dalam akar, batang, daun, dan buah. Jika tanaman ini dimakan hewan atau manusia maka pestisidanya akan terakumulasi dalam tubuh sehingga dapat memunculkan berbagai risiko bagi kesehatan hewan maupun manusia. Selain itu, munculnya hama spesies baru yang lebih tahan terhadap takaran pestisida. Oleh karena itu, pengendalian hama atau organisme dalam sistem pertanian harus disubstitusi dengan produk yang ramah lingkungan dan tidak menyebabkan dampak negatif berkelanjutan. Untuk mengurangi dampak penggunaan pestisida dapat dilakukan dengan cara menggunakan pestisida alami atau pestisida yang dibuat dari bahan-bahan alami.
Karakteristik Senyawa alelopati merupakan senyawa yang bersifat toksik yang dihasilkan oleh suatu tanaman. Senyawa alelopati yang pertama ditemukan pada tahun 1928 oleh Davis pada larutan hasil leaching serasah kering Black Walnut (Kenari hitam) mampu menekan perkecambahan dan pertumbuhan benih tanaman yang ada dibawah pohon kenari hitam tersebut. Sebelumnya Condolle pada tahun 1832 menyatakan bahwa eksudat tanaman bisa menyebabkan terjadinya tanah yang marginal akibat adanya ekskresi atau eksudasi akar tanaman sebelumnya (Wilis 1985). Contoh Ada tiga jenis rumput yaitu masing-masing Dicanthium annulatum Stapf., Cenchruspennisetiformis Hochest and Sorghum halepense Pers., yang bersifat alelopatik dan mampu berperan dan potensial sebagai bioherbisida (Javaid dan Anjum 2006). Dilaporkan pula bahwa ekstrak terna dan akar dengan air dari ketiga jenis rumput tadi mampu menekan perkecambahan gulma Parthenium hysterophorus L. Selanjutnya ditambahkan pula bahwa ekstrak terna dari rumput D. annulatum Stapf., dan C. pennisetiformis Hochest mempunyai daya bunuh yang lebih kuat terhadap gulma P. hysteriporus dibandingkan dengan S. halepense. Beberapa jenis senyawa alelopati yang cukup potensial antara lain berasal dari ekstrak tumbuhan alang-alang (Imperata cylindrica), akasia (Acacia mangium), jagung (Zea mays) dan pinus (Pinus merkussi). Penggunaan senyawa alelopati dari keempat tumbuhan cukup prospektif karena relatif mudah didapat, murah dan dengan jumlah biomas yang cukup memadai. Ekstrak ini bisa didapat dari semua bagian alang-alang mulai dari akar, batang dan bagian lainnya. Namun menurut penelitian, allelopathy paling banyak ditemukan pada bagian akarnya dan ekstrak tersebut akan banyak jumlahnya jika akar yang digunakan banyak pula (http://www.pemanfaatan-allelopathy -alang-alang.html 19 September 2011) a. Alang-alang Tumbuhan alang-alang merupakan gulma yang sangat merugikan petani lada di Kabupaten Beltim. Namun demikian, alang-alang juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bioherbisida yang cukup efektif dan potensial. Ekstrak Rhizome alang-alang dan daun akasia mampu menekan panjang tunas jagung (http://4m3one.wordpress.com. 21 desember 2010) . Lebih lanjut dilaporkan pula bahwa eksudat rhizome alang-alang sangat efektif untuk menghambat pertumbuhan gulma daun lebar. Namun demikian, penggunaan ekstrak rhizome alang-alang perlu dibatasi mengingat ekstrak alang-alang tersebut juga dapat menghambat pertumbuhan tanaman semusim (http://hasanuzzaman. weebly.com/allelopathy. pdf. 5 Juni 2011). b. Akasia Telah dilaporkan bahwa dari hasil penelitian menunjukan bahwa ekstrak alelopati dari daun, kulit batang dan akar dari akasia (Acacia mangium Wild) berpengaruh negatif terhadap perkecambahan benih kacang hijau (Phaseolus radiatus L) dan benih jagung (Zea mays). Selanjutnya ditambahkan pula bahwa daya hambat senyawa alelopati yang ada di Acacia mangium Wild pada benih jagung lebih tinggi dibanding pada benih kacang hijau (Febian Tetelay 2003 dalam http://www.irwantoshut.com . 21 September 2011). Selanjutnya dilaporkan pula bahwa allelokimia yang berasal dari ekstrak Imperata cylindrica dan A. mangium mungkin bekerja mengganggu proses fotosintesis atau proses pembelahan sel. Penekanan pertumbuhan dan perkembangan karena ekstrak alang-alang dan akasia ditandai dengan penurunan tinggi tanaman, penurunan panjang akar, perubahan warna daun (Dari hijau normal menjadi kekuning-kuningan) serta bengkaknya akar (http://id.wikipedia.allelopati/wiki/2009). c. Jagung (Zea mays ) Informasi mengenai daya hambat pertumbuhan yang disebabkan oleh senyawa alelopati yang ada di jagung masih sangat terbatas. . Dalam sebuah laporan dinyatakan bahwa ekstrak akar jagung dapat digunakan untuk menghambat gulma melalui peningkatan aktivitas enzim katalase dan peroksidase. Dilaporkan pula bahwa sisa tanaman jagung mengandung lima jenis senyawa asam fenolat penyebab alelopati yaitu asam verulat, as p-koumarat, asam siringat, asam vanilat, dan asam hidroksibenzoat potensial untuk menekan gulma (Guenzi dan Mc Calla 1966). d. Pinus Dari beberapa kajian ekologis pada daerah pertumbuhan pohon pinus menunjukkan tidak ada pertumbuhan tanaman herba, hal tersebut diduga karena serasah daun pinus yang terdapat pada tanah mengeluarkan zat alelopati yang menghambat pertumbuhan herba. Hal tersebut diperkuat dengan hasil uji efektivitas ektrak daun pinus menunjukkan bahwa senyawa alelopati yang terdapat dalam ekstrak daun pinus dapat menghambat perkecambahan benih Amaranthus viridis (http://digilib.upi.edu/pasca/available. 29 September 2011). Lebih lanjut Noguchi et al. 2009 melaporkan pula bahwa ektrak metanol daun pinus merah dapat menghambat pertumbuha akar dan batang tanaman seledri (Lepidium sativum), selada (Lactuca sativa), alfalfa (Medicago sativa), dan gandum hitam (Lolium multiforum), Hal tersebut menunjukkan bahwa kandungan senyawa pada daun pinus merkusii mempunyai potensi sebagai bahan bioherbisida untuk mengkontrol pertumbuhan gulma yang dapat menganggu pertumbuhan produksi tanaman pangan antara lain tanaman