Anda di halaman 1dari 5

503

TINJAUAN PUSTAKA
Profilaksis Malaria di Perbatasan Indonesia-Timor Leste
Pendahuluan
Penyakit malaria sudah dikenal sejak 3.000
tahun silam. Hippocrates (400 - 377 BC) telah
membedakan beberapa tipe malaria.
Namun, pengetahuan tentang malaria baru
mulai berkembang dalam abad terakhir ini
dengan ditemukannya parasit dalam darah
oleh Alphonse Laveran pada tahun 1880.
Tidak lama sesudah itu, Ross (1897) mem-
buktikan bahwa malaria ditularkan oleh
nyamuk Anopheles. Beberapa dekade sete-
lahnya, Sort dan Garnham (1948) menemu-
kan bentuk-bentuk pra-eritrosit dalam hati
penderita malaria.
Penyakit malaria masih merupakan masalah
kesehatan di kawasan timur Indonesia yang
pada umumnya merupakan daerah meso-
dan hiperendemis malaria. Di daerah terse-
but, penyakit malaria masih termasuk dalam
kelompok 10 besar penyakit utama. Seiring
meningkatnya transformasi dan mobilisasi
penduduk, malaria menjadi salah satu
masalah kesehatan bagi seluruh masyarakat
di Indonesia,bahkan dunia.
Sebuah program kerja sama internasional
yang terpadu untuk pemberantasan malaria
pernah dilakukan dan berhasil menurunkan
angka kesakitan sejak 1945. Sempat terjadi
penurunan insidens pada lebih dari tiga
perempat daerah yang semula merupakan
daerah endemis malaria. Namun, kemun-
culan nyamuk Anopheles yang resisten
terhadap insektisida, Plasmodium yang
resisten terhadap obat, hambatan adminis-
tratif/sosial-ekonomi, dan mobilisasi popu-
lasi yang sedemikian tinggi menyebabkan
langkah mundur dalam usaha pemberan-
tasan malaria di dunia. Banyak kasus impor
terjadi di negara-negara maju, seperti
4. Plasmodium ovale, penyebabkan malaria
ovale.
Parasit malaria yang terbanyak di Indonesia
adalah P. falciparum dan P. vivax, atau
campuran keduanya, sedangkan P. ovale dan
P. malariae pernah ditemukan di Sulawesi,
Irian Jaya, dan Timor Timur (sekarang Timor
Leste).
Malaria ditularkan oleh beberapa spesies
nyamuk Anopheles. Penularan penyakit ma-
laria tidak terjadi pada suhu di bawah 16 C
atau di atas 33 Cdan ketinggian di atas 2.000
meter dari permukaan laut.Kondisi optimum
untuk transmisi adalah lingkungan dengan
kelembaban tinggi dan suhu antara 20 - 30
C dengan curah hujan yang tidak terlalu
tinggi.
Patogenesismalaria
Dalam penyakit malaria, manusia berperan
sebagai hospes perantara (intermediatehost)
tempat Plasmodium mengadakan skizogoni
(siklus aseksual), sedangkan nyamuk
Anopheles betina bertindak sebagai vektor
Amerika Serikat; anggota militer yang baru
kembali dari Vietnam membawa penyakit ini
kenegerinya.
Usaha untuk mencegah penyakit malaria
pun sudah lama dilakukan, di antaranya
dengan kemoprofilaksis anti-malaria. Bera-
gam obat telah dikembangkan dan berbagai
penelitian pun telah dilakukan guna mene-
mukan obat dengan efektivitas proteksi
maksimal dan efek sampingminimal.
Definisi malaria
Malaria adalah penyakit yang disebabkan
oleh parasit malaria (Plasmodium) bentuk
aseksual yang masuk ke tubuh manusia
lewat gigitan nyamuk malaria (Anopheles)
betina.
Parasit malaria terdiri dari beberapa spesies:
1. Plasmodium vivax, penyebab malaria
tersiana.
2. Plasmodium malariae, penyebab malaria
kuartana.
3. Pl asmodi um fal ci parum, penyebab
malaria tropika.
Rudy Dwi Laksono
Dokter Satgas Pengamanan Perbatasan Indonesia-Timor Leste
Satgas YONIF 131 TNI AD
Penyakit malaria masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia, terutama di wilayah Indonesia Timur. Upaya menurunkan
insidens penyakit ini telah dilakukan dengan berbagai macam cara, antara lain melalui profilaksis malaria. Obat untuk
profilaksis malaria yang telah lama dikenal adalah klorokuin dan/atau sulfadoksin-pirimetamin. Berbagai penelitian juga
telah dilakukan untuk meneliti efektivitas proteksi serta efek sampingyangterjadi.Tulisan ini merupakan hasil pengamatan
efektivitas proteksi obat-obat profilaksis malaria yang menjadi standar Departemen Kesehatan RI, yaitu klorokuin,
sulfadoksin-pirimetamin, doksisiklin, dan meflokuin, dibandingkan dengan obat-obat standar profilaksis negara tetangga
(tepatnya di perbatasan antara Timor Lestedan Indonesia) yangkasus malarianya sangat jarang.
ABSTRAK
P. malariae
15
15.000
P. ovale
9
15.000
P. vivax
8
10.000
P. falciparum
5,5
72
Tidak
18 - 40 (28)
Sel matang
50
Ya
16 - 18(17)
Retikulosit
48
Ya
12 - 17 (15)
Retikulosit
48
Tidak
9 - 14 (12)
Sel muda
(juga dapat
menyerang sel
pada semua
tingkat
pematangan)
Lama fase eritrosit (jam)
Kemampuan relaps
Masa inkubasi (hari)
Sel darah merah yang diserang
30.000
Tabel 1. Karakteristik Plasmodium yang menginfeksi manusia
Karakteristik
Temuan pada spesies
Lama fase intrahepatik (hari)
Jumlah merozoit yang dilepaskan
tiap hepatosit yang terinfeksi
CDK 188 / vol. 38 no. 7 / November 2011
504
TINJAUAN PUSTAKA
sekaligus hospes definitif tempat Plasmo-
dium melangsungkan siklus seksualnya.
Pada manusia, parasit ini hidup di dalam sel
tubuh dan sel darah merah.
Siklusaseksual
Ketika nyamuk Anopheles betina yang
terinfeksi parasit malaria menggigit manusia,
sporozoit keluar dari kelenjar liur nyamuk
dan masuk ke dalam darah. Sporozoit ini
segera menghilang dari sirkulasi darah dan
menetap di sel parenkim hati untuk
bermultiplikasi dan berkembang menjadi
skizon jaringan (skizogoni). Bagian siklus ini
dikenal sebagai stadium intrahepatik atau
pra-eritrosit/eksoeritrosit.
Selanjutnya, skizon jaringan akan pecah dan
mengeluarkan banyak merozoit. Merozoit-
merozoit tersebut akan menginvasi sel-sel
hati lainnya dan memasuki peredaran darah
untuk kemudian menginvasi eritrosit. Begitu
merozoit memasuki eritrosit, dimulailah
bagian siklus yang dinamakan fase eritrosit.
Pada infeksi P. falciparum dan P. malariae,
skizon jaringan pecah serentak, sedangkan
pada infeksi P. vivax dan P. ovale, beberapa
skizon jaringan tetap dalam keadaan laten
untuk menimbulkan relaps di kemudian hari.

Di dalam eritrosit, merozoit berkembang
menjadi sel uninukleus yang disebut
trofozoit cincin. Nukleus trofozoit cincin ter-
sebut kemudian membelah secara aseksual,
membentuk skizon yang mempunyai bebe-
rapa nukleus. Selanjutnya, skizon membelah
dan membentuk merozoit mononukelus.
Eritrosit kemudian pecah dan melepaskan 6-
24 merozoit ke sirkulasi. Penghancuran
eritrosit terjadi secara periodik sehingga
menimbulkan gejala khas malaria, yaitu
demam diikuti menggigil. Sebagian besar
merozoit masuk kembali ke eritrosit dan
mengulangi fase skizogoni. Sebagian kecil
membentuk gametosit jantan dan betina
yang siap diisap oleh nyamuk malaria betina
dan melanjutkan siklus hidup di tubuh
nyamuk (stadium sporogoni).
Siklusseksual
Sebagian merozoit dalam eritrosit berdife-
rensiasi menjadi gametosit yang akan
berpindah ke tubuh nyamuk saat menggigit
penderita. Pada lambungnyamuk, gametosit
akan menghasilkan gamet jantan (mikro-
gamet) dan betina (makrogamet) yang
kemudian menghasilkan zigot. Zigot akan
Gejala malaria
Gejala klasik ditemukan pada penderita
yang berasal dari daerah non-endemis, yang
belum mempunyai kekebalan (non-imun);
dengan kata lain, baru pertama kali mende-
rita malaria. Gejala klasik malaria merupakan
paroksisme, yang terdiri dari 3 stadium
berurutan:
1. Menggigil. Terjadi setelah pecahnya
skizon dalam eritrosit yang diikuti
keluarnya zat-zat antigen. Proses meng-
gigil berlangsung15- 60menit.
2. Demam. Timbul setelah menggigil,
biasanya sekitar 37,5 - 40 C; pada pen-
derita hiperparasitemia (hitung parasit
>5%), suhu bisa meningkat sampai >40 C.
Proses demam berlangsung2- 6jam.
3. Berkeringat. Timbul setelah demam,
terjadi akibat gangguan metabolisme
yang menjadikan produksi keringat
bertambah. Dalam keadaan yang berat,
keringat yang keluar bisa sampai mem-
basahi sekujur tubuh. Proses ini berjalan 2
- 4jam. Setelah berkeringat, biasanya pen-
derita merasa sehat kembali.
Di daerah endemis, penderita telah mem-
punyai imunitas. Dengan demikian, gejala
timbul tidak berurutan, bahkan tidak semua
gejala klasik ditemukan pada penderita
(kadang-kadangmuncul gejala lain).
berubah menjadi ookinet, lalu masuk dan
menetap pada dinding lambung nyamuk
dan berubah menjadi ookista. Setelah
ookista pecah, keluarlah sporozoit yang
selanjutnya memasuki kelenjar liur nyamuk
yangsiapuntuk menginfeksi manusia lain.
Khusus P.vivax dan P.ovale, pada siklus hidup-
nya di jaringan hati (skizon jaringan),
sebagian parasit yang berada dalam sel hati
tidak melanjutkan siklusnya ke fase eritrosit,
tetapi berdiam (dorman) di jaringan hati;
bentuk dorman ini disebut hipnozoit, yang
menyebabkan relaps jangka panjang dan
malaria rekuren. Apabila daya tahan tubuh
menurun, misalnya karena terlalu lelah, stres,
atau perubahan iklim (seperti saat musim
hujan), hipnozoit akan terangsang dan
melanjutkan siklus hidupnya, dari dalam sel
hati menuju eritrosit. Ketika eritrosit yang
mengandung parasit pecah, akan timbul
gejala penyakitnya kembali.
Infeksi P. falciparum dapat mengakibatkan
malaria berat atau malaria dengan kompli-
kasi, yang menimbulkan kerusakan pada
otak, ginjal, paru, hati, dan jantung, bahkan
menyebabkan kematian, sedangkan infeksi
P. vivax, P. ovale, dan P. malariae tidak
menimbulkan kerusakan organ.
Keterangan : I. Stadium pra-eritrosit/eksoeritrosit II. Stadium eritrosit
III. Hipnozoit (P. vivax & P. ovale) IV. Stadium sporogoni
Gambar 1. Siklus hidup parasit malaria
CDK 188 / vol. 38 no. 7 / November 2011
Da l a m s e l h a t i
NYAM UK ANOP HE L E S BE T I NA
Da l a m k e l e n j a r l i u r
M ANUS I A
M e r o z o i t
Ga m e t o s i t
L a m b u n g
I
I I I
I I
I V
Hi p n o z o i t
S k i z o n
S k i z o n
S p o r o z o i t
Da l a m d a r a h ( E r i t r o s i t )
T r o f o z o i t
M e r o z o i t S k i z o n
Z i g o t
Oo k i n e t
Oo k i s t a
S p o r o z o i t
505
TINJAUAN PUSTAKA
Diagnosismalaria
Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis dan
secara laboratoris. Secara klinis, diagnosis
malaria ditegakkan apabila ada gejala klasik
yang disertai gejala lain, seperti sakit kepala,
mual-muntah, nyeri otot, pucat, menggigil,
dan (pada balita) diare.
Diagnosis pasti dengan pemeriksaan apusan
darah tebal dan apusan darah tipis. Apusan
darah tebal dibuat dengan pewarnaan
Giemsa atau Field stain, sedangkan apusan
darah tipis dengan pewarnaan Wright atau
Giemsa. Pemeriksaan apusan darah tebal
bertujuan melihat parasit (plasmodium),
sementara pemeriksaan apusan darah tipis
bertujuan melihat perubahan bentuk
eritrosit dan jenis plasmodium.
Kemoprofilaksismalaria
Dikenal dua jenis kemoprofilaksis malaria:
1. Profilaksiskausal
Profilaksis jenis ini bertujuan menghambat
perkembangan parasit di hati dan eritrosit
manusia serta dalam tubuh nyamuk (sporon-
tosidal), sehingga tahap infeksi eritrosit
dapat dicegah dan transmisi lebih lanjut
dapat dihambat. Obat yang digunakan
untuk profilaksis kausal adalah obat go-
longan inhibitor DHFR (dihydrofolate reduc-
tase thymidylate synthetase), seperti pirime-
tamin,proguanil,dan klorproguanil.
2. Profilaksissupresif
Profilaksis jenis ini bertujuan menghambat
perkembangan stadium aseksual pada
eritrosit, tetapi tidak di hati. Obat-obat yang
dipakai untuk profilaksis supresi mempunyai
aktivitas gametosidal terhadap P. vivax, P.
malariae, dan P. ovale, tetapi tidak terhadap P.
falciparum. Contohnya adalah klorokuin,
amodiakuin, dan (yangterbaru) meflokuin.
curkan bentuk eritrositik seksual (gametosit)
sehingga mencegah penyebaran plasmo-
dium kenyamuk Anopheles.
Klorokuin fosfat merupakan obat pilihan
untuk pencegahan dan pengobatan se-
rangan akut malaria. Kombinasi dengan
primakuin digunakan untuk pencegahan
serangan semua jenis malaria. Pada dosis
kumulatif, profilaksis lebih dari 100 gram
(lebih dari 5 tahun profilaksis) meningkatkan
risiko retinopati, yang diduga berhubungan
dengan deposisi klorokuin pada jaringan
yangkaya akan melanin.
Klorokuin merupakan obat pilihan untuk
parasit malaria yang masih sensitif, digu-
nakan untuk P. vivax, P. malariae, dan P. ovale.
Dosis oral untuk pencegahan malaria adalah
300 mg/minggu, dimulai 2 minggu sebelum
ke daerah yang diduga ada malaria dan
dilanjutkan 8 minggu setelah meninggalkan
daerah tersebut.
Meflokuin
Meflokuin adalah turunan 4kuinolin
metanol terfluorinasi. Efek parasitidalnya
mirip dengan kuinin. Dengan dosis tunggal
yanglazim, meflokuin dapat menghilangkan
demam dan parasitemia pada penderita
yang terinfeksi galur P. falciparum yang
resisten terhadap klorokuin di daerah
endemis, juga efektif untuk pengobatan
malaria yang disebabkan oleh P. vivax. Obat
ini belum tersedia di Indonesia; di negara
lain,tersedia dalam bentuk tablet 250mg.
Toksisitas umumnya ditandai dengan mual,
muntah, pusing, rasa lemah, dan disforia.
Pada dosis profilaksis, insidens reaksi neuro-
psikiatrik akut hanya 1:10.000 (kejang,
psikosis, ensefalopati). Tidak dianjurkan
untuk wanita hamil dan bayi. Untuk
profilaksis pada dewasa dan anak, dapat
diberikan 4mgbasa/kgBBsekali seminggu.
Doksisiklin
Doksisiklin adalah antibiotik spektrum luas
golongan tetrasiklin semisintetik. Obat ini
mempunyai efek bakteriostatik pada mikro-
organisme yang sensitif dengan jalan meng-
hambat sintesis protein. Untuk profilaksis
malaria, digunakan dosis: dewasa 100 mg/
hari, anak >8 tahun, 2 mg/kg BB sekali sehari
sampai mencapai dosis dewasa. Profilaksis
dapat dimulai 1-2 hari sebelum masuk ke
daerah endemis. Diteruskan setiap hari,
Obat profilaksis malaria harus diminum
secara teratur untuk memastikan konsen-
trasi anti-malarianya. Regimen dosis yang
direkomendasikan untuk profilaksis tersaji
pada tabel 2.
Obat anti-malaria
Sulfadoksin-pirimetamin
Sulfadoksin adalah turunan sulfonamida.
Obat ini jarang digunakan sebagai terapi
tunggal, biasanya dikombinasi dengan
pirimetamin untuk pengobatan dan pence-
gahan infeksi P. falciparum yang resisten
terhadap klorokuin. Mekanisme kerjanya
adalah dengan menghambat pembentukan
asam di hi dropteroat secara i nhi bi si
kompetitif, yang menyebabkan kematian
parasit.
Pirimetamin adalah turunan diaminopiri-
midin yang merupakan skizontisida eksoeri-
trositik dan eritrositik terhadap P. falciparum
serta skizontisida eksoeritrositik terhadap P.
vivax. Obat ini juga merupakan sporontosida
yangcukupefektif.
Efek samping kombinasi sulfadoksin-
pirimetamin antara lain anemia aplastik dan
dermatitis eksfoliatif. Dosis pirimetamin oral
untuk pencegahan malaria ialah 25 mg/
minggu, dimulai 1 hari sebelum ke daerah
yangdiduga ada malaria dan dilanjutkan 6-8
minggu setelah meninggalkan daerah
tersebut.
Sediaan kombinasi sulfadoksin 500 mg dan
pirimetamin 25 mg merupakan obat pilihan
kedua untuk pencegahan dan pengobatan
malaria yang resisten terhadap klorokuin.
Untuk pencegahan malaria, dapat diberikan
1 dosis sediaan kombinasi ini sekali
seminggu.
Klorokuin
Klorokuin adalah derivat 4-aminokuinolin.
Klorokuin hanya efektif pada fase eritrosit.
Efektivitasnya sangat tinggi terhadapP. vivax
dan P. falciparum, juga efektif terhadap
gamet P. vivax. Efek supresi terhadap P. vivax
jauh lebih kuat dibandingkan dengan kina
dan kuinakrin.
Klorokuin merupakan skizontisida darah
(skizontisida eritrositik) yang bekerja secara
cepat. Obat ini bekerja terhadap merozoit
pada fase eritrositik aseksual dan meng-
ganggu skizogoni eritrositik. Juga sebagai
gametositosida. Klorokuin akan menghan-
Daerah sensitif klorokuin
Klorokuin
dan/atau
Proguanil
Daerah resisten klorokuin
Meflokuin
atau
Doksisiklin
5 mg basa/kg BB
setiap minggu
3 mg basa/kg BB
setiap hari
3,5 mg basa/kg BB
setiap minggu
1,5 mg/kg BB
setiap hari
Tabel 2. Regimen dosis kemoprofilaksis
malaria
CDK 188 / vol. 38 no. 7 / November 2011
506
TINJAUAN PUSTAKA
selama dan 4minggu setelah meninggalkan
daerah endemis.
Penggunaan profilaksis malaria di
lapangan
Profilaksis yang dianjurkan oleh Depar-
temen Kesehatan RI adalah sebagai berikut:
1. Untuk perorangan dan kelompok semen-
tara (tidak menetap): klorokuin 2 tablet
sekaligus setiap minggu, diminum pada
hari yang sama, 2 minggu sebelum,
selama, dan sampai 4 minggu setelah
meninggalkan daerah endemis.
2. Untuk kelompok menetap (pindah
tinggal ke daerah endemis): klorokuin 2
tablet sekaligus setiap minggu, diminum
pada hari yang sama, 2 minggu sebelum
dan selama 12 minggu setelah sampai di
l okasi daerah endemi s, kemudi an
dihentikan. Selanjutnya, obat malaria
hanya digunakan untuk terapi.
3. Untuk ibu hamil: klorokuin diminum pada
bulan ke-3kehamilan sampai masa nifas.
4. Di tempat ada resistensi P. falciparum
terhadap klorokuin: sulfadoksin-pirime-
tamin 1tablet setiapminggu.
Pengalaman penggunaan kemoprofilak-
sismalaria
Sulfadoksin-Pirimetamin
Profilaksis ini digunakan oleh batalyon
Infanteri 131 yang bertugas menjaga
perbatasan Indonesia dengan Timor Leste di
wilayah kabupaten Belu, bagian utara Nusa
Tenggara Timur. Tugas dilakukan dari bulan
Januari 2001 sampai Oktober 2001. Sulfa-
doksin-pirimetamin digunakan oleh para
anggota batalyon mulai bulan Januari
sampai Maret 2001. Obat diminum 1 minggu
sebelum masuk daerah tugas dan diteruskan
selama 3 bulan di daerah tugas pada hari
yangsama.
Hasilnya dievaluasi setelah 3 bulan pema-
kaian. Diagnosis malaria ditegakkan dengan
gejala klinis (baik klasik maupun dengan
gejala tambahannya: demam, menggigil,
berkeringat, mual, otot terasa ngilu, sakit
kepala) dan pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan di RSUD Atambua. Para prajurit
dianggap non-imun karena berasal dari
Padang (Sumatera Barat) dan sekitarnya,
yangbukan daerah endemis malaria. Jumlah
prajurit yang mendapat profilaksis dan
dapat dievaluasi sebanyak 650orang.
Penderita rawat jalan menggunakan obat
Doksisiklin
Doksisiklin digunakan untuk profilaksis
malaria bagi personel PBB yang bertugas di
Timor Leste. Dari data sekunder, didapatkan
hasil sebagai berikut:
Untuk Ausbatt (Australian Battalion) Yon
Group 1 RAR (Royal Australian Regiment),
digunakan doksisiklin 100 mg.Wilayah tugas
mereka adalah bagian utara sepanjang
perbatasan wilayah Timor Leste dengan
Indonesia. Personel yang menggunakan
obat ini kurang lebih 400 orang. Dari bulan
Desember 2000 sampai Mei 2001, hasilnya
sangat memuaskan. Tidak ada satu pun
prajurit yang sakit malaria selama 6 bulan
bertugas di Timor Leste.
New Zealand Batt III juga bertugas di
perbatasan Timor Leste dengan Indonesia.
Wilayah tugas mereka adalah daerah yang
berbatasan dengan wilayah Kabupaten Belu
bagian selatan. Doksisiklin digunakan
sebagai standar profilaksis malaria di Timor
Leste. Jumlah prajurit pengguna obat ini
kurang lebih 1.000 personel, dengan hasil
yang sama baiknya, yaitu tidak ada prajurit
yang terkena malaria selama berada di
daerah penugasan antara bulan Desember
2000sampai Mei 2001.
Pada tahun 1997, Ohrt dkk. melakukan
sebuah penelitian acak tersamar ganda
untuk mengetahui efektivitas dan tolera-
bilitas meflokuin dan doksisiklin pada 204
oral, yaitu klorokuin atau sulfadoksin-
pirimetamin. Keadaan umum pasien tidak
tampak toksik. Indikasi rawat inap dengan
terapi infus kinin adalah bila keadaan umum
pasien tampak toksik dan pucat, muntah
terus-menerus, dan pengobatan oral tidak
berhasil (penderita masih demam dan
menggigil setelah pengobatan oral selesai).
Jumlah penderita malaria dari Satuan Tugas
Yonif 131 selama 3 bulan (Januari sampai
Maret 2001) terlapor sebanyak 31 pasien: 26
rawat jalan dan 5 rawat inap (gambar 1).
Efektivitas penggunaan sulfadoksin-pirime-
tamin selama 3 bulan tercatat sebesar
95,23%.
Klorokuin
Profilaksis klorokuin digunakan selama 3
bulan berikutnya (April sampai Juni 2001).
Obat Diminum 2 butir sekaligus 1 minggu
sekali pada hari yang sama. Grafik penderita
malaria 3 bulan berikutnya melonjak tajam
(grafik 1), diduga akibat perubahan cuaca
(bulan Maret - April adalah akhir musim
penghujan) sehingga terjadi relaps karena P.
vivax yang tadinya berdiam (dorman) di hati
menjadi aktif kembali. Selain itu, daerah
Timor sudah dianggap sebagai daerah
resisten klorokuin. Jumlah penderita untuk 3
bulan berikutnya terlapor sebanyak 103
penderita: 39 rawat inap dan 64 rawat jalan.
Efektivitas klorokuin tercatat sebesar
84,15%.
0
5
10
15
20
25
30
Januari Februari Maret April Mei Juni
3
8 8
10
14 14
17
0
2
8
25 25
Rawat Inap
Rawat Jalan
Grafik 1. Penderita malaria dari jajaran Yonif 131
CDK 188 / vol. 38 no. 7 / November 2011
507
TINJAUAN PUSTAKA
prajurit Indonesia yang non-imun. Doksisi-
klin digunakan pada personel yang tidak
keberatan dengan dosis harian, tidak ada
kontraindikasi, tidak dapat menoleransi
meflokuin, dan bepergian ke daerah resisten
meflokuin. Efektivitas proteksi doksisiklin
pada penelitian ini tercatat sebesar 99%.
Meflokuin
Meflokuin belum ada di Indonesia. Pada
batalion Australia (Ausbatt), obat ini
digunakan untuk prajurit yang alergi dan
tidak nyaman menggunakan doksisiklin.
Obat ini (meflokuin 250 mg) lebih disukai
prajurit Ausbatt karena cukup diminum satu
tablet saja setiap minggu, sedangkan
doksisiklin harus diminum satu kapsul setiap
hari.
Meflokuin digunakan oleh kurang lebih 700
personel selama 6 bulan dari bulan
Desember 2000 sampai Mei 2001 dengan
hasil memuaskan, yaitu tidak ada prajurit
Ausbatt yangterkena malaria selama berada
di daerah penugasan.
Pada penelitian Ohrt dkk.,efektivitas proteksi
meflokuin terhitung sebesar 100%. Dalam
penelitian tersebut, meflokuin diberikan
dengan dosis awal 250mg/hari selama 3hari,
dilanjutkan 240 mg per minggu. Obat ini
ditoleransi dengan baik oleh 204 prajurit
Indonesia yangnon-imun.
Kesimpulan
Malaria masih menjadi masalah kesehatan di
Indonesia. Depkes RI masih menggunakan
sulfadoksinpirimetamin dan klorokuin
sebagai obat standar. Sebagai profilaksis
malaria bagi para prajurit TNI-AD yang
bertugas di perbatasan Indonesia dengan
Timor Leste, sulfadoksin-pirimetamin dan
klorokuin masih dapat diandalkan karena
efektivitasnya masih di atas 80%; sulfa-
doksin-pirimetamin lebih efektif.
Obat alternatif, doksisiklin atau meflokuin,
memberikan hasil yang sangat baik; tidak
satu pun prajurit dari Australia maupun New
Zealand yang terjangkit malaria selama 6
bulan di wilayah penugasan mereka, yang
merupakan daerah endemis malaria.
Doksisiklin atau meflokuin sangat efektif dan
dapat ditoleransi dengan baik oleh prajurit
yangnon-imun.
DAFTARPUSTAKA
1. Modul Pelatihan Penatalaksanaan Kasus Malaria Untuk Dokter Puskesmas. Jakarta: Depkes RI. Dirjen P2M&
PLP;1999.
2. Iskandar Zulkarnain.Malaria. Dalam:Soeparman (ed).Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta:Balai Penerbit FKUI,1993.
3. Bruce-Chwatt LJ. History of malaria from prehistory to eradication. In: Wernsdorfer WH & McGregor I (eds.).
Malaria: principles and practiceof malariology.Edinburgh:Churchill Livingstone,1988.
4. Kasper D, Barlam T. Malaria and other diseases caused by red blood cell parasites. In: Harrison's Principles of
Internal Medicine.14th ed.New York: McGraw Hill.2000.
5. Sukarno Sukarban, Zunilda SB. Obat Malaria. Dalam: Sulistia Gan (ed). Farmakologi dan Terapi. Edisi 3. Jakarta:
Fakultas Kedokteran UI.1987.
6. Arif Mansjoer, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 1999; hlm.
409-16.
7. Siswandono, Bambang Soekardjo (eds). Kimia medisinal (terjemahan). Surabaya: Airlangga University Press;
2000.
8. Noch.T.Malissa.Malaria di Irian Jaya.Warta Kesad.1999.
9. MIMS Annual Indonesia.1998/1999.
10. MIMS Annual Australia.2000.
11. Kitchener S,Cunningham J,Jensen A.Australian Military Medicine.2001; 10:1.
12. Ohrt, et al. Mefloquine compared with docycycline for the prophylaxis of malaria in Indonesian soldiers: a
randomized double-blind,placebo-controlled trial.Ann Intern Med.1997; 126:963.
CDK 188 / vol. 38 no. 7 / November 2011

Anda mungkin juga menyukai