Anda di halaman 1dari 14

1

Tugas Mata Kuliah Manajemen Wilayah Perbatasan



SENGKETA BATAS MARITIM INDONESIA
SELAT MALAKA

Program Pascasarjana Teknik Geomatika Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta




Slamet Teguh (13/357082/PTK/09255)

2

Tugas Mata Kuliah Manajemen Wilayah Perbatasan
PROGRAM PASCASARJANA TEKNIK GEOMATIKA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

SENGKETA BATAS MARITIM INDONESIA
SELAT MALAKA

1. Pendahuluan
Sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dengan
garis pantai 95.181 km, Indonesia dihadapkan dengan masalah perbatasan yang
kompleks. Tantangan dan masalah yang dihadapi Indonesia secara domestik
lebih bersifat struktural-administratif. Sedangkan secara eksternal berkaitan
dengan kemampuan Indonesia dalam mengatasi masalah delimitasi, delineasi,
demarkasi dan demarkasi, ancaman-ancaman non-tradisional baru, serta
kemampuan Indonesia dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan negara-
negera tetangga lainnya.
Sesuai dengan konsepsi hukum internasional, maka cakupan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah seluruh wilayah yang
diwariskan dari penjajah Belanda. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum Uti
Possidetis Juris, yang artinya bahwa suatu negara mewarisi wilayah penguasa
penjajahnya. Di dalam hukum nasional, cakupan wilayah Indonesia tercantum di
dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Pada Pasal 25a dari UUD 1945
dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara
kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan haknya
ditetapkan dengan Undang-Undang. Peraturan perundangan lain, UNCLOS 1982
yang berlaku sejak 16 November 1994 dan diratifikasi melalui UU No. 17 tahun
1985, menegaskan pengakuan dunia internasional terhadap konsepsi negara
kepulauan (archipelagic state) yang diperjuangkan oleh bangsa Indonesia sejak
Deklarasi Juanda tahun 1957.
3



Perbatasan RI dengan 10 Negara Tetangga (Darat dan Laut)


2. Batas Laut RI Malaysia
Indonesia memiliki tiga lokasi yang berpotensi memerlukan delimitasi
batas maritim dengan Malaysia. Ketiga lokasi tersebut adalah Selat Malaka
antara Semenanjung Malaysia, Laut Cina Selatan, serta Laut Sulawesi. Batas
maritim ini meliputi meliputi Laut Teritorial, Landas Kontinen, dan ZEE. Batas
Laut Teritorial Indonesia-Malaysia di Selat Malaka telah disepakati melalui
Perjanjian Antara Republik Indonesia dan Malaysia Tentang Penerapan Garis
Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Selat Malaka yang ditandatangani pada
tanggal 17 Maret 1970 dan telah diratifikasi melalui UU No. 2 tahun 1971. Batas
Landas Kontinen RI-Malaysia di Laut Natuna sebelah barat dan timur telah
disepakati melalui Persetujuan Antara Republik Indonesia dan Pemerintah
4

Malaysia Tentang Penerapan Garis-Garis Landas Kontinen Antara Kedua Negara
pada tanggal 27 Oktober 1969 dan disahkan pemberlakuannya dengan Keppres
No. 89 tahun 1969. Sedangkan BLK antara RI- Malaysia-Thailand di bagian
utara Selat Malaka disepakati pada tanggal 17 Desember 1971 melalui
Keppres No. 20 Tahun 1972. Beberapa segmen batas maritim antara
Indonesia-Malaysia hingga saat ini belum disepakati yang disebabkan
klaim sepihak Malaysia berdasarkan Peta 1979. Malaysia mengklaim wilayah
maritim yang sangat eksesif mencakup wilayah maritim yang belum disepakati
batasnya seperti di Laut Sulawesi. Hal ini disebabkan Malaysia menerapkan
prinsip-prinsip penarikan garis pangkal lurus kepulauan padahal Malaysia
bukan merupakan negara kepulauan menurut Konvensi PBB tentang UNCLOS
1982. Hal tersebut mengakibatkan sebagian ZEE Indonesia di Laut Sulawesi
masuk menjadi laut teritorial Malaysia. Permasalahan batas maritim Indonesia-
Malaysia juga terjadi di Selat Singapura antara Pulau Bintan dan Johor Timur,
yang disebabkan oleh penggunaan suar Horsburg yang terletak pada pintu
masuk Selat Singapura dari arah timur sebagai titik dasar.


Batas maritim Indonesia - Malaysia
5

3. Selat Malaka
a. Kondisi Geografis
Selat Malaka merupakan wilayah yang sebagian besar terbentang antara
Indonesia dan Malaysia juga Singapura, yang memanjang antara Laut Andaman
di barat laut dan Selat Singapura di tenggara sejauh kurang lebih 520 mil laut
dengan lebar yang bervariasi 11-200 mil laut.
Selat Melaka berada di antara dua daratan besar yaitu Pulau Sumatera
dan Semenanjung Malaysia. Saat ini ada tiga negara berdaulat yang berbatasan
langsung dengan Selat Melaka yaitu Indonesia Malaysia dan Singapura. Pulau
Sumatera (Indonesia) yang kawasannya langsung berhadapan dengan Selat
Melaka adalah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi
dan Kepulauan Riau, sedangkan negara bagian di Malaysia yang berbatasan
langsung dengan Selat Melaka adalah Kedah, Perlis, Melaka, Johor, Selangor,
Negeri Sembilan, Perak, yang keseluruhan dari negara bahagian ini terletak di
Semenanjung Malaysia. Panjang Selat Malaka sekitar 805 km atau 500 mil
dengan lebar 65 km atau 40 mil di sisi selatan dan semakin ke utara semakin
melebar sekitar 250 km atau 155 mil (Cleary & Chuan, 2000). Ekologi kondisi
tanah dan lingkungan yang ada di sekitar Selat Malaka memiliki banyak
kemiripan.
Batas-batas Selat Malaka yaitu di sebelah Barat dibatasi atau sejajar
dengan bagian paling Utara pulau Sumatera (540LU 9526BT) dan Lem Voalan
di bagian paling Selatan dari Goh Phuket (Pulau Phuket) di Thailand (745LU
9818BT). Pada bagian Timur sejajar antara Tanjong Piai (Bulus), dan wilayah
paling selatan daripada Semenanjung Malaysia (116LU 10331BT) dan
kemudian ke arah Karimun (110LU 10323.5BT). Di sisi Utara dibatasi oleh
pantai Barat Daya Semenanjung Malaysia dan dari Selatan dibatasi oleh Pantai
6

bagian Timur Laut Pulau Sumatera ke arah Timur dari Tanjung Kedabu (106N
10258BT) kemudian ke pulau Karimun (Cleary dan Chuan, 2000).


b. Potensi Ekonomi
Selat Malaka yang merupakan jalur strategis yang berada dibawah
kedaulatan tiga negara di Asia yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapura. Perairan
perbatasan di Laut Andaman dan selat Malaka memiliki potensi ekonomi yang
besar antara lain potensi migas, perikanan tangkap, dan pariwisata bahari.
Selain itu kawasan ini merupakan pintu masuk ke selat Malaka yang
dari sisi ekonomi sangat strategis karena merupakan salah satu jalur pelayaran
terpenting di dunia. Dari segi ekonomi, Selat Malaka merupakan salah satu jalur
pelayaran strategis, sama pentingnya seperti Terusan Suez atau Terusan
Panama. Selat Malaka membentuk jalur pelayaran terusan antara Samudra
Hindia dan Samudra Pasifik yang dilintasi oleh 50.000 - 80.000 kapal setiap
tahunnya, dimana lebih 30 persen merupakan kapal-kapal kontainer.
7

Keberadaan Selat Malaka yang sangat strategis tersebut dapat menjadi
pendorong bagi berkembangnya kegiatan industri dan perdagangan
antarbangsa di kawasan ini. Apalagi diperkirakan volume perdagangan dunia
dua puluh tahun mendatang akan meningkat menjadi 2.5 kali dibandingkan
volume saat ini, sehingga akan dibutuhkan tambahan pelabuhan untuk
menampung kapal-kapal dengan jumlah maupun ukuran yang semakin besar.
Selain itu terdapat peluang pengembangan kawasan industri dan perdagangan
antar bangsa di pintu masuk selat Malaka yang dipengaruhi oleh keterbatasan
Selat Malaka untuk dilintasi kapal- kapal berukuran raksasa. Kapal-kapal
berukuran raksasa tersebut tidak dapat secara langsung melintas Selat Melaka,
tetapi perlu melakukan bongkar muat di pintu masuk selat yaitu di sekitar
wilayah Aceh untuk bagian barat atau di Singapura dan Tanjung Pelepas
(Malaysia) di bagian timur, untuk selanjutnya dibawa oleh kapal- kapal dengan
ukuran yang lebih kecil untuk melintasi Selat Malaka.
Salah satu lokasi di kawasan perbatasan laut RI-India/ Thailand/
Malaysia yang berpotensi dikembangkan sebagai pelabuhan transhipment
adalah pelabuhan Sabang yang mempunyai kolam pelabuhan laut dalam secara
alami (tanpa perlu pengerukan). Pengembangan pelabuhan Sabang sebagai
International Port pada gilirannya akan mendorong berkembangnya kegiatan
industri dan perdagangan di PKSN Sabang maupun untuk melayani kegiatan
ekonomi wilayah hinterland di daratan Aceh. Keberadaan pelabuhan
internasional yang berdekatan dengan negara tetangga juga berpotensi untuk
difungsikan sebagai pintu keluar masuk barang ekspor-impor. Dalam konteks
regional, peranan pelabuhan Sabang di masa depan berpotensi untuk
dikembangkan sebagai hub dari negara-negara Asia Selatan (SAARC) seperti
India, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan dan lainnya; negara-negara ASEAN
seperti Thailand, Malaysia, Filipina, Singapura, Brunai Darussalam, Vietnam dan
8

Myanmar; negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Korea, Tiongkok-Hongkong
dan Taiwan; serta Australia, Selandia baru dan Polynesia. Namun demikian
pengembangan kawasan perbatasan masih terkendala oleh sarana dan
prasarana wilayah seperti minimnya akses darat dan udara dari dan ke kawasan
perbatasan, minimnya infrastruktur informasi dan telekomunikasi. Hal ini
menyebabkan pengembangan kawasan perbatasan, khususnya PKSN Sabang
sabagai Free Trade Zone berjalan sangat lamban.

c. Sengketa Batas
Perbatasan laut merupakan wilayah yang hampir dapat dikatakan
merupakan kawasan beranda depan yang paling berpotensi menimbulkan
berbagai pelanggaran hukum, tidak seperti halnya perbatasan darat yang
memiliki garis batas jelas. Garis batas di perbatasan laut umumnya tidak tampak
adanya rambu-rambu tapal batas atau garis batas yang membatasi wilayah
teritorial kita dengan perairan bebas atau negara tetangga. Sehingga kondisi ini
sering menimbulkan permasalahan yang tidak jarang pada akhirnya bermuara
kepada urusan politik dan keamanan kedua negara.
Dalam hal Demarkasi dan Delimitasi Garis Batas laut, terutama Batas
Landas Kontinen (BLK) dan batas Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE) sebagian besar
belum disepakati bersama dengan negara-negara tetangga. Belum jelas dan
tegasnya batas laut antara Indonesia dengan negara tetangga serta
ketidaktahuan masyarakat, khususnya nelayan terhadap batas negara di laut
menyebabkan terjadinya pelanggaran batas. Permasalahan demarkasi dan
delimitasi ini merupakan permasalahan serius yang dapat mengancam
keutuhan wilayah serta kedaulatan negara RI.
9

Permasalahan tata batas yang menyangkut garis batas dan penentuan
titik dasar selalu timbul sebagai akibat dari ketidakjelasan posisi batas wilayah
ataupun perundangan yang mengaturnya, terutama menyangkut aspek
demarkasi dan delimitasi.
Karena keutuhan wilayah dan kedaulatan sebuah negara merupakan
masalah sangat prinsip dan menyangkut harkat dan martabat bangsa, maka
sudah sangat mendesak bagi pemerintah Indonesia untuk menentukan batas-
batas darat dan laut dengan semua negara tetangga secara tuntas dengan
melibatkan berbagai kementerian dan para ahli. Jika tidak, bukan mustahil
masalah yang sama akan terjadi dengan negara lain selain Malaysia. Belajar dari
sejarah hubungan antar- bangsa, konflik antar-negara bertetangga sering terjadi
karena masalah perbatasan yang tidak jelas.
Kegiatan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam di laut
semakin lama semakin berkembang, sehingga diperlukan pembatasan-
pembatasan agar tidak membahayakan kepentingan negara lain. Oleh karena itu
Majelis Umum PBB menyelenggarakan konferensi PBB I tentang hukum laut di
Jenewa tanggal 24 Februari s/d 29 April 1958. Konferensi ini menghasilkan 4
(empat) kovensi, namun hasil konferensi belum memuat ketentuan lebar laut
wilayah dan batas zona ekonomi . Selanjutnya PBB mengadakan konferensi
hukum laut ke III, sidang berlangsung hingga sebelas kali dan pada 30 April
1982 berhasil menyepakati konvensi tentang hukum laut (United Nations
convention on the Law of the Sea / UNCLOS82) dan konvensi mulai berlaku
(enter into force) tanggal 16 November 1994.
Pemerintah Indonesia kemudian meratifikasi UNCLOS82 dengan UU.
No: 17 tahun 1985, hal-hal fundamental yang diatur dalam konvensi ini adalah
diterimanya konsepsi negara kepulauan (Archipelagic State) , ditetapkannya
lebar laut wilayah (teritorial) 12 NM, batas zone ekonomi eksklusif (ZEE) 200
10

NM dan batas landas kontinen. Dengan berlakunya ketentuan UNCLOS82, maka
status Indonesia sebagai negara kepulauan secara formal telah diakui oleh
masyarakat internasional, termasuk mengenai hak-hak dan kewajiban yang
melekat pada wilayah-wilayah negara kepulauan. Untuk itu sebagai negara
kepulauan Indonesia dapat menerapkan ketentuan yang ada dalam konvensi
khususnya yang berkaitan dengan aspek penetapan batas laut Indonesia dengan
Negara-negara tetangga
Batas maritim antara Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka telah
ditetapkan oleh kedua negara dengan melakukan perjanjian batas landas
kontinen yang ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1969, perjanjian ini
masih berdasarkan ketentuan-ketentuan hasil konferensi Hukum Laut PBB I
tahun 1958, dimana hasil konferensi ini masih belum memuat ketentuan tentang
batas zona ekonomi. Sebagai implementasi lahirnya UNCLOS82 , Indonesia
berupaya untuk menetapkan batas maritim dengan Malaysia terutama batas laut
ZEE di perairan Selat Malaka.
Batas ZEE dengan Malaysia di Selat Malaka sampai saat ini belum
pernah dirundingkan dan diperjanjikan sehingga Indonesia menganggap masih
bermasalah dan mendesak Malaysia untuk segera diselesaikan. Selama ini
Malaysia menganggap perjanjian batas landas kontinen dengan Indonesia tahun
1969 sekaligus juga batas ZEE (single maritime boundaries). Pendapat Malaysia
ini , telah melanggar prinsip dan ketentuan dalam konvensi UNCLOS82 karena
rejim hukum dan ketentuan dalam ZEE pada pasal 55, 56 dan 57 berbeda
dengan rejim hukum dan ketentuan landas kontinen pada pasal 76 , sehingga
dengan adanya pendapat Malaysia di atas bangsa Indonesia akan dirugikan baik
dari segi politik, ekonomi dan hankam.
Dengan penetapan batas ZEE yang baru tentunya Indonesia akan
diuntungkan, karena garis batas ZEE Indonesia dengan Malaysia akan berada di
11

sebelah kanan garis batas landas kontinen atau mengarah ke pantai Malaysia.
Keuntungan lain yang diperoleh Indonesia dengan adanya garis batas ZEE baru
adalah wilayah perairan Indonesia akan bertambah luas dan dengan sendirinya
akan diperoleh keuntungan secara ekonomi karena sumberdaya perikanan di
daerah tersebut sangat melimpah. Sedangkan keuntungan politis yang diperoleh
pemerintah Indonesia adalah, hasil exercise penetapan garis batas ZEE di Selat
Malaka dapat digunakan sebagai dokumen teknis dalam perundingan batas ZEE
di Selat Malaka dan apabila hasil penetapan dipakai sebagai klaim unilateral
garis batas ZEE Indonesia di Selat Malaka maka dapat dipakai sebagai batas
operasional kapal-kapal TNI AL dalam penegakkan hak berdaulat NKRI di Selat
Malaka.
Indonesia dengan Malaysia telah menyepakati penetapan garis batas
landas kontinen terletak di perairan Selat Malaka pada tanggal 27 Oktober 1969,
perjanjian ini menyetujui penetapan 25 titik yang terdiri dari 10 titik koordinat
di Selat Malaka dan 15 titik koordinat di perairan Laut China Selatan (pantai
Timur Malaka). Penetapan titik-titik koordinat secara teknis menggunakan
ketentuan-ketentuan pada konferensi PBB I tahun 1958 termasuk dan oleh
Malaysia secara sepihak perjanjian batas landas kontinen dianggap sekaligus
garis batas ZEE (single line), sedangkan Indonesia menganggap batas ZEE kedua
negara belum pernah dirundingkan sehingga belum ada batasnya dan menurut
ketentuan UNCLOS82 batas landas kontinen tidak harus sama dengan batas
ZEE.
Perjanjian batas landas kontinen Indonesia dengan Malaysia di perairan
Selat Malaka tahun 1969, secara teknis dan yuridis sangat merugikan Indonesia.
Indonesia sebagai negara kepulauan, dalam penetapan batas tersebut
menggunakan titik-titik dasar dan garis dasar pada air rendah (kontur nol) di
pantai Timur Sumatera seperti tercantum dalam UU. No : 4 / Prp. Tahun 1960,
12

sedangkan Malaysia menarik garis dasar dari Pulau Jarak ke Pulau Perak sejauh
123 NM, ini tidak sesuai dengan ketentuan dalam UNCLOS 82 dimana pada
Pasal 47 ayat (2) hanya membolehkan maksimal 100 NM. Disamping itu sebagai
negara pantai (coastal state) Malaysia seharusnya menarik garis dasar dari main
island bukan dari Pulau Jarak ke Pulau Perak yang sangat jauh dari pantai, hal ini
menyebabkan penetapan batas landas kontinen hasil perundingan tahun 1969
sangat merugikan Indonesia karena garis batasnya cenderung masuk ke arah
pantai Indonesia.
Berdasarkan kondisi di atas maka, Indonesia tentunya harus melakukan
revisi atau mengkaji ulang hasil perjanjian landas kontinen tahun 1969. Kondisi
geografis pantai Indonesia dan pantai Malaysia di perairan Selat Malaka yang
saling berhadapan maka, berdasarkan ketentuan Pasal 74 UNCLOS82 dan Point
6. Bilateral Boundaries TALOS Sp. No. 51 1993 penetapan garis batas ZEE dapat
direkonstruksi menggunakan metode garis tengah (median line) untuk mencapai
pemecahan yang adil. Penarikan garis batas ZEE Indonesia dengan Malaysia di
perairan Selat Malaka ditetapkan berdasarkan metode garis tengah (median
line) yang diukur dari titik dasar (TD) di kedua pantainya metode ini bereferensi
pada Pasal 74 Ayat (1) UNCLOS 1982 dan teknis penggambarannya berdasarkan
referensi ketentuan Point 6 Bilateral Boundaries Between Opposite States, TALOS
Sp. No. 51 tahun 1993.
Rekonstruksi penetapan garis batas ZEE pada wilayah yang berhadapan
di Selat Malaka antara Indonesia dengan Malaysia, dilakukan dengan
menggunakan software Map Info dari sources peta laut digital no. 353 dan peta
laut lain di wilayah tersebut untuk menjaga akurasinya dilakukan juga
pengecekan secara kartografis di peta-peta laut tersebut. Hasil penetapan batas
ZEE Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka yaitu garis batas ZEE yang
13

menghubungkan koordinat titik batas (TB) yang berada paling Utara hingga titik
batas (TB) yang berada di sebelah Selatan.
Garis batas ZEE yang dihasilkan dari penetapan di atas mempunyai
cakupan perairan yang lebih luas dibandingkan cakupan perairan hasil
perjanjian batas landas kontinen tahun 1969. Apabila konsep penetapan batas
ZEE di Selat Malaka dihitung luasnya mulai dari garis dasar (baseline) sampai ke
garis batas ZEE, maka Indonesia memperoleh cakupan perairan sebesar 36.700
km
2
.
Sedangkan perhitungan luas batas landas kontinen berdasarkan
perjanjian tahun 1969 Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka, mulai dari
garis dasar (baseline) sampai garis batas landas kontinen diperoleh cakupan
perairan sebesar 22.670 km
2
. Apabila dilakukan perhitungan untuk memperoleh
selisih antara, luas perairan batas landas kontinen perjanjian tahun 1969 dengan
luas perairan penetapan batas ZEE hasil rekonstruksi, maka diperoleh hasil
sebagai berikut : (36.700 - 22.670) km
2
= 14.030 km2 ~ 7.576 NM
2
.
Asumsi perundingan Indonesia dengan Malaysia menyetujui konsep
penetapan batas ZEE di Selat Malaka di atas maka, bangsa Indonesia akan
mendapat keuntungan tambahan perairan yang mempunyai hak berdaulat
sebesar 14.030 km2 atau 7.576 NM
2
.
Konvensi hukum laut 1982 menyediakan berbagai metode dalam
rangka penyelesaian sengketa hukum laut. Dilihat dari perkembangan sistem
peradilan internasional, mekanisme konvensi ini merupakan yang pertama kali
dapat mengarahkan negara-negara peserta untuk menerima prosedur memaksa
(compulsoryprocedures), dengan sistem konvensi maka tidak ada lagi ruang bagi
negara-negara pihak konvensi untuk menunda-nunda sengketa hukum lautnya
dengan bersembunyi dibelakang konsep kedaulatan negara, karena konvensi
14

secara prinsip mengharuskan penyelesaian sengketa melalui mekanisme
konvensi.
Kesimpulan
1. Batas maritim Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka sampai saat ini
masih bermasalah karena Malaysia menganggap perjanjian batas landas
kontinen dengan RI tahun 1969, sekaligus juga batas ZEE (single maritime
boundaries) , sedangkan Indonesia menganggap belum pernah melakukan
perjanjian batas ZEE dan berdasarkan ketentuan UNCLOS82 batas landas
kontinen dan batas ZEE ketentuan rejimnya berbeda .
2. Indonesia harus mengkaji ulang hasil perjanjian landas kontinen tahun 1969
dengan melakukan rekonstruksi penetapan garis batas ZEE Indonesia
dengan Malaysia di Selat Malaka .
3. Hasil rekonstruksi penetapan batas ZEE Indonesia dengan Malaysia di Selat
Malaka, menggunakan metode garis tengah (median line) maka Indonesia
memperoleh keuntungan tambahan cakupan perairan yang mempunyai hak
berdaulat sebesar 14. 030 km
2
atau 7.576 NM
2
. diadakan perundingan
kedua Pemerintah di Jakarta dalam bulan Pebruari-Maret 1970 UU No. 2
Tahun 1971 tentang Perjanjian antara Republik Indonesia dan Malaysia tentang
Penetapan Garis Batas Laut wilayah dedua negara Di Selat Malaka

Anda mungkin juga menyukai