Anda di halaman 1dari 4

1

Perang Bali, Sebuah Resensi Sejarah - Judul buku : Perang Bali - Penulis : I Gusti Ngurah
Pindha - Penerbit :Dolphins - Jumlah Halaman : 450
Jika bercerita tentang sejarah perjuangan kemerdekaan di Pulau Bali, umumnya awam hanya tahu tentang
perang puputan I Gusti Ngurah Rai. Karena itulah yang diajarkan di sekolah-sekolah, mulai tingkat SD
hingga SMU. Padahal, sejarah perjuangan rakyat Bali melebihi itu. Buku ini mengungkapkan dengan
gamblang bagaimana rakyat Bali berjuang mempertahankan kemerdekaan, lewat kesaksian mata I Gusti
Ngurah Pindha, salah satu anak buah I Gusti Ngurah Rai.
Walau Jepang sudah menyerah kepada sekutu yang dilanjutkan dengan proklamasi kemerdekaan RI oleh
Sukarno-Hatta, penduduk Bali belum merasakan kebebasan. Mereka masih harus menghadapi tentara
Jepang dan anteknya yang bersenjata lengkap dan enggan menyerahkan senjata. Ketika datang tentara
sekutu yang ditunggangi NICA, rakyat Bali pun siaga melawan Belanda yang hendak menjajah kembali.
Para pejuang Bali yang tergabung dalam TKR Sunda Kecil pimpinan I Gusti Ngurah Rai lalu melakukan
perlawanan. Karena terdesak, Pak Rai sebutan akrab I Gusti Ngurah Rai dalam buku ini- meminta bantuan
ke Jawa. Sambil menunggu bantuan, anggota pasukannya berpencar dan melakukan gerilya lokal. Ketika
Pak Rai kembali, pasukan pun bersatu dan melakukan gerilya di hutan-hutan dan gunung-gunung dengan
dukungan rakyat desa yang setia. Di tingkat permukaan, perjuangan ini berakhir ketika terjadi perang di
Desa Marga yang kemudian terkenal sebagai perang puputan Margarana dalam sejarah.
Namun benarkah perjuangan rakyat Bali berakhir usai peristiwa Margarana? Bagaimana perjuangan rakyat
Bali yang sesungguhnya? Apa benar Pak Rai memerintahkan melakukan puputan dalam perang itu?
Bagaimana dengan tuduhan yang dilontarkan pembesar RI bahwa Pak Rai melakukan kesalahan strategi
perang? Semua pertanyaan di atas diungkapkan secara jujur dalam buku yang ditulis oleh I Gusti Ngurah
Pindha ini. Pak Pindha adalah anak buah I Gusti Ngurah Rai dalam perang gerilya yang dimulai sejak pasca
proklamasi kemerdekaan hingga peristiwa Margana.
Buku ini berupa memoar, terdiri dari 6 bab yang ditulis Pak Pindha selama 6 tahun. Isi buku memaparkan
pengalaman Pak Pindha ketika bergerilya mengiringi pasukan Pak Rai. Baik pengalaman suka duka, hal-hal
yang menggelikan maupun kegetiran dalam perang, siksaan yang dialami rakyat pendukung perjuangan
maupun pejuang yang ditangkap. Juga kisah tentang siapa saja pejuang kemerdekaan itu, para antek
musuh atau biasa disebut NICA gandek, dan beragam warna lainnya.
Dikisahkan secara kronologis dengan gaya penceritaan orang pertama, buku setebal lebih 400 halaman ini
sama sekali tidak membosankan. Justru membuat minat pembaca meledak, didorong oleh berbagai emosi
seperti rasa ingin tahu, terharu, dan berujung pada kesadaran betapa mereka, para pejuang kemerdekaan,
telah berkorban begitu besar. Sungguh disayangkan kalau pengorbanan sebesar itu akhirnya lebih banyak
diisi dengan politisi korup, ketidakadilan, dan pembangunan yang compang seperti sekarang.
Secara umum, ada beberapa ungkapan menarik untuk ditangkap. Di antaranya:
Menurutku, bertempur itu untuk menang, bukan untuk mati... Ini salah satu ungkapan Pak Pindha untuk
menggambarkan perang gerilya. Bukan sok berani berperang lalu setor nyawa sia-sia. Tapi bagaimana bisa
melumpuhkan lawan sebanyak mungkin dengan korban di pihak kawan seminimal mungkin. Perang harus
menggunakan siasat. Otak. Prinsip ini berlaku bahkan di jaman modern seperti sekarang.
.. Dan setelah tentara NICA mendarat pada tanggal 2 Maret 1946 di Pantai Sanur, sasaran kami berikutnya
adalah mata-mata NICA, yang sejak menginjakkan kaki di Bali sudah berani mengobrak-abrik segala yang
2

berbau perjuangan, misalnya: menurunkan sang Merah putih, menangkapi pemuda yang memakai lencana
Merah Putih dan menyuruh mereka menelan lencana yang terbuat dari logam. (hal 15)
Ini salah satu bentuk kekejaman pasukan musuh untuk menindas perlawanan rakyat. Rasa ngeri mencuat
saat membaca kalimat ini.. Rasanya lebih baik mati ditembak pakai bedil ketimbang disuruh menelan
lencana merah putih dari seng. Ada lagi bentuk siksaan yang tak kenal ampun.
Misalnya yang dialami Sersan Ratja. Ia dipukuli dengan sebatang bambu hingga bambu itu hancur di
kepalanya. Tidak mau mengaku juga? Lain kali tangan diikat, kaki digantung, dan kepalanya dimasukkan ke
dalam drum berisi air sampai lemas karena tidak dapat bernafas. Masih juga tidak mau mengaku? Ia
disuruh merangkak seperti sapi. Di bawah badannya ditaruh kayu api atau batok kepala yang menyala.
Tentu saja dada pemuda itu terbakar seperti kulit babi panggang. (hal 107)
Setelah melalui percobaan beberapa kali, ditemukanlah cara menyiksa dengan listrik yang amat
menyenangkan hati mereka. Caranya begini: Korban diminta menggigit besi berkabel itu. Kemudian secara
tiba-tiba aliran listrik disetrukan. Hasilnya sungguh mengagumkan. Gigi-gigi korban yang menggigit besi tadi
copot dan terpelanting sedemikian rupa dengan kerasnya. Bahkan ada yang mengenai papan, menancap
dan melekat di sana. Para cecunguk itu tertawa senang seperti menyaksikan sebuah tontonan yang
menghibur. Di antara korban yang masih hidup hingga sekarang adalah I santra dari Busung Yeh.. (hal
109).
Perang memang jauh dari perikemanusiaan. Entah itu dilakukan oleh pasukan NAZI, tentara NICA atau
Jepang.
Lalu bagaimana gambaran pemuda jaman pejuang di masa itu? Pak Rai yang waktu itu berusia 28 tahun
digambarkan sudah termasuk tua. Penulisnya sendiri baru 22 tahun, sedang banyak pejuang baru berumur
belasan tahun. Tampilan mereka digambarkan ikut tren model rambut Bung Tomo. Gondrong.
Kami semua berambut gondrong karena terpengaruh Bung Tomo yang berjanji tidak akan potong rambut
sebelum kemerdekaan tercapai dan diakui dunia. Walaupun gondrong, kami tetap kelihatan simpatik dan
bagus... (hal 37)
Para pejuang tak melulu orang asli Bali. Selain keturunan Tionghoa, orang Jawa, ada juga tentara Jepang
yang membelot. Di antaranya perwira Jepang bernama Hore Uci (I Nyoman Sayan) dan Kajiwara (Bung Ali).
Hore Uci dulunya letko AL. Sebelum Jepang menyerah kalah, dia menjabat sebagai wakil serei (wakil
komandan AL Nusa Tenggara). Dia membelot karena hendak menuntaskan janji Kaisar untuk memberikan
kemerdekaan kepada RI.
Sementara Kajiwara dulunya letnan satu AU yang meninggalkan kesatuannya di Pulau Timor. Dia sangat
setia kepada Pak Rai atau Bapak Besar. Jika Pak Rai lelah atau melalui medan yang sulit, Kajiwara akan
membopongnya di atas pundaknya. Dia bergabung dengan pejuang di Bali, karena marah kepada orang
Sakura sebutan bagi kapitalis Jepang- yang menguasai perekonomian Jepang, hingga mampu memerintah
tentara Jepang untuk berperang, serta mengkhianati janji untuk memberi Indonesia kemerdekaan.
Terlalu lama di hutan, kerap kelaparan dan jarang mandi, membuat para pejuang gudikan. Tubuhnya
dipenuhi kutu, sehingga jika berjemur di pagi hari, pekerjaan mereka adalah saling mencari kutu. Baju
mereka pun compang-camping. Ada kisah menyentuh tentang pejuang berumur belasan ini.
3

..Di antara mereka ada seorang anak yang memikul sebuah bren. Dia berlari pelan. Kira-kira sepuluh meter
dari tempatku dia berhenti, duduk dan menangis terisak-isak. Aku mendekatinya. Dia seorang keturunan
Tionghoa. Foe Yong Si namanya. Umurnya kira-kira 15 tahun.
Mengapa menangis, Dik? Engkau kena? Anak itu menggoyang-goyangkan kepalanya sambil terus
menangis. Kalau tidak kena, mengapa menangis? tanya menyelidik . Saya lapar, sahutnya. (hal 287-288)
Kelaparan memang menjadi momok yang menakutkan saat perang gerilya. Kekuatan pejuang amat
bergantung kepada kebaikan hati penduduk desa yang bergotong-royong memberi dan menyediakan
makanan buat mereka. Jika beruntung, tulis Pindha, setiap kali melewati desa pro kemerdekaan, mereka
akan dijamu makan. Baik berupa nasi, dipotongkan ayam, babi, atau sapi. Dengan begitu, bisa saja mereka
makan tujuh kali sehari. Kerapkali desa yang pro kemerdekaan ini akhirnya dibakar NICA, sehingga
sebagian penduduk lalu menjadi pro NICA dan memusuhi pejuang. Menyadari hal ini, Pak Rai melarang
pasukannya untuk memusuhi penduduk. Menurutnya, penduduk sudah cukup sulit hidupnya. Andai mereka
menjadi pro NICA, karena mereka tak tahan menderita lebih lama lagi.
Untuk memenuhi tuntutan perut yang keroncongan, banyak cara ditempuh pejuang selama gerilya.
Memakan pakis, keladi mentah, hingga tak jarang menipu penduduk desa yang memihak NICA. Misalnya
dengan mengaku sebagai NICA gadungan untuk mendapat keladi bakar, atau mengaku sebagai Dewa
Agung, Raja di Bali sehingga mendapat pelayanan ramah dari seorang penduduk desa.
Muslihat ini pula yang diterapkan pejuang saat menyadari bahwa persenjataan mereka kalah jauh dengan
pasukan NICA. Misalnya, untuk membuat ban peluru senjata 12,7 yang beratnya mencapai sekitar 200
kilogram itu, mereka menggunakan kain bali.
Kenapa aku tidak yakin terhadap senjata itu? Ya, karena ban pelurunya kami buat sendiri dari kain Bali di
Pasar Badung oleh tukang jahit yang bernama Ketut Kaca. Tentu saja ukurannya tidak tepat. Waktu itu aku
belum tahu bahwa ban aslinya terbuat dari baja yang sangat kuat. Yang mengirim senjata itu juga tidak tahu
bahwa ia harus menggunakan ban demikian. (hal 44)
Untungnya peluru berhasil ditembakkan walau dengan ban kain. Kelak, setelah kerap diberondong pasukan
musuh dengan 12,7 lewat udara, Pindha dan anak buahnya berhasil mengumpulkan ban-ban peluru bekas
untuk dipakai pada senjata mereka. Senjata yang selalu dibawa anak buah Pak Rai selama melakukan
gerilya, naik turun gunung, masuk jurang, lewat sawah, dipikul oleh tiga orang.
Mistisme Bali dapat dijumpai pada para pejuangnya. Beberapa di antara mereka dibekali dengan beragam
jimat. Letnan Japa misalnya, yang gugur saat menyerang markas NICA di Denpasar karena memiliki terlalu
banyak jimat yang sifatnya saling bertentangan..
Aku pernah menasihatinya agar tidak memakai jimat terlalu banyak. Kami berjumpa di Desa Keduwa ketika
dia sedang sibuk dengan jimatnya. (hal 51)
Atau Letnan Sueca yang tak dapat mati-mati walau sudah diberondong peluru, disiksa, dan sebagainya.
Bahkan saat jimat ikat pinggangnya sudah dilepas paksa oleh musuh.
Membaca buku ini, mirip menikmati fragmen film Seven Samurai-nya Akira Kurosawa. Ada rasa haru, lucu,
sedih, marah, berbaur menjadi satu. Hanya, kisah di buku ini lebih luas, detil, dan berwarna.
Ada sebuah buku sejarah India yang ditulis mirip Perang Bali. Judulnya, Sisi Balik Senyap, Suara-Suara
dari Pemisahan India, ditulis oleh Urvashi Butalia. Buku ini menggambarkan pemisahan India dan Pakistan
4

di daerah Punjab. Menggunakan data-data yang dikumpulkan dari masyarakat awam. Mirip sejarah dari
pandangan arus bawah. Jadi bukan sejarah yang didiktekan oleh pihak penguasa atau kalangan yang
melek sejarah. Isinya sungguh membuka mata pembacanya.
Kita butuh banyak buku sejenis Perang Bali ini. Tak hanya memperkaya wawasan, namun juga membuat
kita tak kehilangan identitas diri. Semua orang tahu bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hadiah, tapi hasil
perjuangan. Namun hasil perjuangan semacam apa? Itu yang banyak generasi muda tak tahu. Karena
pengetahuan mereka hanya mengacu pada buku sejarah di sekolah, biografi yang ada di perpustakaan atau
toko buku, serta film perjuangan populer. Di masa depan, semoga buku sejarah populer ala saksi mata
semacam ini banyak diterbtkan. Kalau ada yang kurang dari buku ini, adalah ketiadaan kelengkapan sejarah
seperti foto dan peta lokasi gerilya. Andai ada, wah... !
- See more at:
http://inspirasi.co/forum/post/3815/perang_bali_sebuah_resensi_sejarah#sthash.eieYoxAp.dpuf
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/29022/anumana
anumana, ( Sanskrit: measuring along some other thing, or inference) in Indian philosophy, the
second of the five means of knowledge (pramana) that enable accurate cognitions. Inference occupies
a central place in the Hindu school of logic (Nyaya). This school worked out a syllogism that has the
form of an argument rather than a formula and that goes through five stages: (1) the proposition
(pratijna, literally promise), (2) the ground (hetu), (3) the illustration (udaharana), (4) the application
(upanaya), and (5) the conclusion (nigamana). A syllogism is vitiated by a fallacious ground; this is
calledhetvabhasa (the mere appearance of a ground). A number of types of invalid grounds are
distinguished: simple error, contradiction, tautology, lack of proof for the ground, and inopportunity.
prama, (Sanskrit: measure), in Indian philosophy, the means by which one obtains
accurate and valid knowledge (pram, pramiti) about the world. The accepted number
ofprama varies, according to the philosophical system or school; the exegetic system of
Mms accepts five, whereas Vednta as a whole proposes three.
The three principal means of knowledge are (1) perception, (2) inference, and (3) word.
Perception (pratyaka) is of two kinds, direct sensory perception (anubhava) and such
perception remembered (smti). Inference (anumna) is based on perception but is able to
conclude something that may not be open to perception. The word (abda) is, in the first place,
the Veda, the validity of which is self-authenticated. Some philosophers broaden the concept
of abda to include the statement of a reliable person (pta-vkya). To these, two additional
means of knowledge have been added: (4) analogy (upamna), which enables one to grasp
the meaning of a word by analogy of the meaning of a similar word, and (5) circumstantial
implication (arthpatti), which appeals to common sense (e.g., one does not see the sun move
from minute to minute, but, as it is in a different place at different times of day, one must
conclude that it has moved.

Anda mungkin juga menyukai